Anda di halaman 1dari 19

Penatalaksanaan Infertilitas

Farhan Riza Ridwan


102013377

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana


Jl. Arjuna No.6 Jakarta Barat 11510 Telp. 021-56942061 Fax. 021-5631731
Email : farhanridwan96@gmail.com

A. Pendahuluan
Infertilitas merupakan masalah yang dihadapi oleh pasangan suami istri yang telah
menikah selama minimal satu tahun, melakukan hubungan senggama teratur, tanpa
menggunakan kontrasepsi, tetapi belum memperoleh kehamilan. Pada prinsipnya masalah
yang terkait dengan infertilitas ini dapat dibagi berdasarkan masalah yang sering dijumpai
pada perempuan dan masalah yang sering dijumpai pada lelaki. Mengingat faktor usia
meruapakan faktor yang sangat mempengaruhi keberhasilan pengobatan, maka bagi
perempuan berusia 35 tahun atau lebih tentu tidak perlu harus menunggu selama 1 tahun.
Minimal enam bulan sudah cukup bagi pasien dengan masalah infertilitas untuk dating ke
dokter untuk melakukan pemeriksaan dasar.1
Infertilitas dikatakan sebagai infertilitas primer jika sebelumnya pasangan suami
istri belum pernah mengalami kehamilan. Sementara itu, dikatakan sebagai infertilitas
sekunder jika pasangan suami istri gagal untuk memperolah kehamilan setelah satu tahun
pasca persalinan atau pasca abortus, tanpa menggunakan kontrasepsi apapun.1

B. Anamnesis
Anamnesis dapat berupa usia pasangan suami istri, durasi infertilitas, dan
penggunaan spermisidal saat koitus. Pada awal pertemuan, penting sekali untuk
memperoleh data apakah pasangan suami istri atau salah satunya memiliki kebiasaan
merokok atau minum minuman beralkohol. Perlu juga diketahui apakah pasutri atau salah
satunya menjalani terapi khusus seperti antihipertensi, kortikosteroid, dan sitostatika.1,6
Siklus haid merupakan variabel yang sangat penting. Dapat dikatakan siklus haid
normal jika berada dalam kisaran antara 21-35 hari. Sebagian besar perempuan dengan
siklus haid yang normal akan menunjukkan siklus haid yang berovulasi. Untuk
mendapatkan rerata siklus haid perlu diperoleh informasi haid dalam kurun 3-4 bulan
terakhir. Perlu juga diperoleh informasi apakah terdapat keluhan nyeri haid setiap
bulannya dan perlu dikaitkan dengan adanya penurunan aktivitas fisik saat haid akibat
nyeri atau terdapat penggunaan obat penghilang nyeri saat haid terjadi.1
Perlu dilakukan anamnesis terkait dengan frekuensi senggama yang dilakukan
selama ini. Akibat sulitnya menentukan saat ovulasi secara tepat, maka dianjurkan bagi
pasutri untuk melakukan senggama secara teratur dengan frekuensi 2-3 kali per minggu.
Upaya untuk mendeteksi adanya ovulasi seperti pengukuran suhu basal badan dan
penilaian kadar luteinizing hormone (LH) di dalam urin seringkali sulit untuk dilakukan
dan sulit untuk diyakini ketepatannya, sehingga hal ini sebaiknya dihindari saja.1 Selain
itu, perlu juga ditanyakan tentang riwayat penyakit, seperti mumps orchitis, penyakit
ginjal, terapi radiasi, penyakit kronik seperti tuberculosis, stress dan kelelahan yang
berkepanjangan, atau adanya riwayat demam tinggi yang bersifat akut.6

C. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang perlu dilakukan pada pasutri dengan masalah infertilitas
adalah pengukuran tinggi badan, penilaian berat badan, dan pengukuran lingkar pinggang.
Penentuan indeks massa tubuh perlu dilakukan dengan menggunakan formula berat badan
(kg) dibagi dengan tinggi badan (m2). Perempuan dengan indeks massa tubuh (IMT) lebih
dari 25 kg/m2 termasuk ke dalam kelompok kriteria berat badan lebih. Hal ini memiliki
kaitan erat dengan sindrom metabolik. IMT yang kurang dari 19 kg/m2 seringkali dikaitkan
dengan penampilan pasien yang terlalu kurus dan perlu dipikirkan adanya penyakit kronis
seperti infeksi tuberkulosis (TB), kanker, atau masalah kesehatan jiwa seperti anoreksia
nervosa dan bulimia nervosa.1,6
Adanya pertumbuhan rambut abnormal seperti kumis, jenggot, jambang, bulu dada
yang lebat, bulu kaki yang lebat dan sebagainya (hirsutisme) atau pertumbuhan jerawat
yang banyak dan tidak normal pada perempuan, seringkali terkait dengan kondisi
hiperandrogenisme, baik klinis maupun biokimiawi.1 Pemeriksaan fisik pasangan yang
infertil disajikan dengan jelas pada tabel berikut ini:7
Tabel 1. Pemeriksaan pada Pasangan yang Infertil
Wanita Pria
Tinggi badan, berat badan, IMT, Tinggi badan, berat badan, IMT,
Pemeriksaan
tekanan darah, distribusi lemak tekanan darah
Umum
dan rambut, jerawat dan galaktorea
Pemeriksaan abdomen: ada Ada tidaknya hernia pada
tidaknya skar atau massa pada daerah ingunalis. Selain itu,
abdomen. pada genitalia, periksa apakah
Pemeriksaan pelvis: pemeriksaan terdapat testis atau tidak,
genitalia eksterna dan interna bagaimana lokasi dan
(dengan spekulum), dan peiksa ukurannya, apakah ada
Pemeriksaan
apakah terdapat infeksi atau epididimitis, varikokel, atau
Status Lokalis
septum pada vagina, apakah ada abnormalitas structural pada
polip pada serviks. Lakukan penis, seperti: hipospadia.
palpasi bimanual pada uterus, nilai
ukuran, bentuk, posisi, dan
mobilitasnya, serta ada tidaknya
massa dan nyeri pada adneksa.

D. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan penunjang pada pria
1) Analisis cairan semen
Analisis cairan semen meliputi konsentrasi sperma, motilitas, morfologi, dan
viabilitas. Berikut parameter analisa cairan semen berdasarkan World Health
Organization (WHO):5,6
- Volume : 2-5 mL
- pH level : 7.2-7.8
- Konsentrasi sperma : 20 juta atau lebih per ml
- Motilitas : > 50%
- Morfologi : sperma normal (> 40%)
- Sel darah putih : < 1 juta sel/mL
Morfologi sperma harus > 40% untuk dikatakan normal, dikatakan infertilitas berat
apabila < 4% dan menjadi indikasi assisted reproduction technology
(ART)/intracytoplasmic sperm injection.5
Aglutinasi sperma merupakan indikasi tidak langsung indikator hadirnya antibodi anti
sperma. Tes imunologis dapat dilakukan secara langsung pada sperma atau pada
sperma dan darah secara tidak langsung. Antibodi permukaan immunoglobulin A
(IgA) atau immunoglobulin G (IgG) dapat muncul. Bisa antibodi spesifik untuk kepala
atau ekor sperma. Antibodi IgA sperma terlibat dalam interaksi sperma-sel telur dan
penurunan fertilisasi, antibodi IgG sperma menyebabkan gangguan motilitas sperma.
Antibodi sperma berkaitan dengan infeksi (contohnya orchitis), trauma testis, dan
riwayat vasektomi.5
2) Interpretasi analisis cairan semen
Spermatogenesis terjadi sekitar 72 hari. Hasil analisis cairan semen
abnormal dapat berhubungan dengan alasan yang tidak diketahui (misalnya
periode seksual abstinens yang pendek, pengumpulan yang tidak lengkap,
stimulus seksual yang jelek), sehingga penting untuk mengulangi analisa cairan
semen setidaknya sebulan sebelum diagnosis dibuat.5
- Azoospermia menandakan absennya sperma yang diakibatkan oleh absen
kongenital atau sumbatan bilateral dari vas deferens atau duktus
ejakulatorius, spermatogenesis arrest, Sertoli cell syndrome, atau post
vasektomi.
- Oligozoospermia menandakan konsentrasi < 20 juta sperma/mL dan
mungkin berhubungan dengan gangguan ejakulasi seperti ejakulasi
retrograde, kondisi genetik, atau gangguan hormonal.
- Asthenozoospermia menandakan motilitas sperma < 50%. Dapat
disebabkan oleh suhu ekstrem dan analisa sperma yang terlambat.
- Teratospermia menandakan peningkatan jumlah morfologi abnormal
sperma pada kepala, leher, atau ekor.
- Hipospermia menandakan penurunan volume cairan semen < 2 mL per
ejakulasi.
- Hiperspermia menandakan peningkatan volume cairan semen > 8 mL per
ejakulasi.
3) Tes fungsi sperma
Berfungsi untuk memeriksa fekundabilitas sperma, termasuk: (1) tes
reaksi akrosom dengan fluorescent lectins atau antibodi, (2) penilaian kepala
sperma dengan komputer, (3) penilaian motilitas dengan komputer, (4) hemizona-
binding assay, (5) hamster penetration test, dan (6) human sperm-zona
penetration assay.5
4) Tes endokrin
Pada pria dengan azoospermia, kadar serum FSH dapat membantu untuk
membedakan antara penyebab obstruktif dan non-obstruktif. Kadar yang normal
merupakan indikasi untuk azoospermia obstruktif di mana pengambilan sperma
melalui tindakan pembedahan perlu dilakukan, sementara kadar yang meningkat
menandakan kecurigaan spermatogenesis yang gagal. Pengukuran kadar
testosterone dan LH juga membantu ketika terdapat defisiensi androgen akibat
kecurigaan adanya tumor testis atau adrenal yang mensekresi steroid.5
Pemeriksaan penunjang yang lain yang dapat dilakukan pada pria, antara lain:
pemeriksaan kromosom dan genetik, pemeriksaan mikrobiologi semen,
pemeriksaan radiologi pada traktus genital pria, pemeriksaan fungsi sperma
secara in vitro, biopsy testikuler, dan pemeriksaan antibodi antisperma.7

b. Pemeriksaan penunjang pada wanita


Siklus menstruasi yang normal merupakan patokan yang digunakan untuk
menandai terjadinya ovulasi. Untuk mengkonfirmasi adanya ovulasi, biasanya
diperoleh dari rata-rata level serum progesterone mid-luteal yang melebihi 30
nmol/l, 7 hari sebelum onset menstruasi (siklus hari ke-21 dari 28 hari). Selain tes
ovulasi, pemeriksaan screening rubella juga dilakukan pada setiap wanita.7 Selain
itu, pemeriksaan yang lanjut dapat berupa:5
1) Serviks
Tes pasca senggama (Tes Sims-Huhner), terdiri dari pemeriksaan jumlah
spermatozoa dan motilitasnya dalam lendir serviks selama periode pre
ovulasi. Tes tersebut tidak rutin dilakukan dalam pemeriksaan infertilitas
standar karena menunjukkan keterbatasan diagnosis dan nilai prediksi yang
buruk. Stenosis serviks dapat didiagnosa dengan pemeriksaan inspekulo.
Stenosis serviks komplit dipastikan dengan kegagalan alat memasuki kavum
uterus.5
2) Uterus
a) HSG (Hysterosalpingogram)
Kelainan-kelainan seperti tidak adanya vagina dan uterus, septum
vagina, dan adanya fibroid dapat dideteksi dengan pemeriksaan panggul.
Hampir seluruh kelainan tersebut membutuhkan pemeriksaan penunjang
seperti HSG, USG ginekologi, histerosonogram, dan MRI. Prosedur
operasi seperti laparoskopi dan histeroskopi sering digunakan untuk
memastikan diagnosis akhir. Histerosalpingogram (HSG) sering
digunakan untuk memeriksa kavum endometrium dan memberikan
informasi seputar: (1) kanalis endoserviks; (2) diameter dan konfigurasi
tulang dalam; (3) kavum endometrium; (4) saluran uterus/tuba (kornu
ostium); (5) diameter, lokasi, dan arah tuba falopi; (6) status fimbria; dan
(7) tumpahan ke kavum endometrium. HSG juga memberikan informasi
tidak langsung seputar adhesi pelvis dan uterus, sel telur, atau massa
adneksa.5
HSG sebaiknya dilakukan selama fase awal fase folikuler. Saat itu,
endometrium tipis HSG memberikan gambaran kelainan minor yang
lebih baik. Serviks dibersihkan dengan povidone-iodine solution
(Betadine) untuk menghindari perpindahan bakteri ke kavum
endometrium selama prosedur. Spekulum lepas digunakan dan
dilepaskan sebelu injeksi medium radiopak. Tenakulum gigi satu
digunakan untuk menambahkan traksi uterus dan membenarkan posisi
antrofleksi atau retrofleksi. Kanula Jarcho-type metal atau balon kateter
HSG digunakan untuk menginjeksikan media radiokontras. Penggunaan
media kontras berbahan air lebih baik daripada media berbahan minyak
untuk menghindari risiko emboli minyak dan formasi granula.5

Gambar 1. Gambaran HSG pada tuba paten (kiri atas), polip endometrium (kanan
atas), sumbatan tuba bilateral (kiri bawah), dan uterus bikornu (kanan bawah)
(dikutip dari kepustakaan 5)
b) USG (Ultrasonography)
USG ginekologi menjadi bagian rutin pemeriksaan ginekologi karena
dapat memeriksa posisi uterus dalam pelvis dan memberikan informasi
seputar ukuran dan kelainan. Sonogram panggul juga membantu deteksi
dini fibroid uterus, polip endometrium, kista ovarium, massa adneksa,
dan endometrioma. USG dapat membantu diagnosis anovulasi,
polikistik ovarium, dan kista korpus luteum yang persisten.5
c) MRI
MRI dilakukan apabila diagnosis tidak dapat ditegakkan melalui
pemeriksaan HSG konvensional, USG, dan histeroskopi. MRI berfungsi
untuk menggambarkan massa pelvis yang kompleks dan membantu
diagnosis kondisi seperti malformasi kongenital yang terkait dengan
kriptomenore dan kabsennya serviks.5
d) Histeroskopi
Histeroskopi merupakan suatu metode visualisasi langsung kavum
endometrium. Operasi histeroskopi didesain berdasarkan prinsip
resectoscope yang memperbolehkan diagnosis sekaligus penanganan
kelainan endometrium seperti uterine sinekia, polip endometrium,
mioma submukosa, dan pengangkatan benda asing (misalnya AKDR).5

Gambar 2. Histeroskopi dari uterine sinekia (kiri) dan polip endometrium (kanan)
(dikutip dari kepustakaan 5)
e) Biopsi endometrium
Jones memaparkan bahwa disfungsi fase luteal dan hubungannya
dengan keguguran berulang. Disfungsi fase luteal didasari atas
kurangnya hubungan antara (1) perkembangan endometrium, didiagnosa
menggunakan biopsi endometrium premenstrual, dan (2) onset siklus
menstruasi yang sedang terjadi. Diagnosisnya berdasarkan kriteria:
terdapat perbedaan lebih dari 2 hari antara tanggal endometrium dan
awal dari periode menstruasi selanjutnya, temuan yang sama harus
diulangi dalam 2 siklus menstruasi yang berurutan.5
3) Tuba dan peritoneum
Tes yang sering digunakan untuk diagnosis untuk melihat kelainan tuba
adalah laparoskopi dan HSG. Laparoskopi tidak termasuk pemeriksaan
infertilitas rutin. Laparoskopi digunakan ketika ditemukan kelainan pada
USG, HSG, atau kecurigaan gejala. Dibutuhkan anestesi dan biaya operasi
sehingga hanya digunakan saat ada indikasi yang jelas.5
Laparoskopi kontraindikasi pada pasien dengan kemungkinan obstruksi usus
(ileus) dan distensi usus, penyakit kardiopulmoner, atau syok karena
perdarahan dalam. Karena risiko perforasi usus, uterus dan perlukaan
pembuluh pelvis, trauma kandung kemih, dibutuhkan ahli bedah yang
terampil dan berpengalaman. Kontraindikasi relatif lainnya termasuk
obesitas masif, dan massa abdomen yang besar atau kehamilan lanjut, adhesi
panggul lanjut, dan peritonitis.5
4) Ovarium
a) Ovulasi
Siklus menstruasi normal dapat menandakan terjadinya ovulasi.
Konfirmasi terjadinya ovulasi.5,6
E. Diagnosis
Infertilitas adalah tidak terjadinya kehamilan setelah menikah 1 tahun atau lebih dengan
catatan pasangan tersebut melakukan hubungan seksual secara teratur tanpa adanya
pemakaian kontrasepsi. Mengingat faktor usia merupakan faktor yang sangat
mempengaruhi keberhasilan pengobatan, maka bagi perempuan berusia 35 tahun atau
lebih tentu tidak perlu harus menunggu selama 1 tahun. Minimal enam bulan sudah cukup
bagi pasien dengan masalah infertilitas untuk datang ke dokter untuk melakukan
pemeriksaan dasar.
WHO memberi batasan :
1. Infertilitas primer adalah belum pernah hamil pada wanita yang telah berkeluarga
meskipun hubungan seksual dilakukan secara teratur tanpa perlindungan
kontrasepsi untuk selang waktu paling kurang 12 bulan.
2. Infertilitas sekunder adalah tidak terdapat kehamilan setelah berusaha dalam waktu
1 tahun atau lebih pada seorang wanita yang telah berkeluarga dengan hubungan
seksual secara teratur tanpa perlindungan kontrasepsi, tetapi sebelumnya pernah
hamil.
F. Epidemiologi
Prevalensi wanita yang didiagnosis dengan infertilitas, kira-kira 13%, dengan
jangkauan 7-28%, tergantung pada usia seorang wanita. Dan prevalensi ini cenderung
stabil selama 40 tahun terakhir; etnis atau ras memiliki pengaruh yang kecil pada
prevalensi. Namun, insidensi dari infertilitas primer telah meningkat, bersamaan dengan
penurunan insidensi infertilitas sekunder, yang kemungkinan besar akibat perubahan sosial
seperti penundaan kehamilan.2
Data yang berasal dari National Survey of Family Growth tahun 1995
mengungkapkan bahwa 7% dari pasangan yang sudah menikah, di mana pasangan wanita
adalah usia reproduksi, tidak mendapatkan kehamilan setelah 12 bulan melakukan
hubungan seksual tanpa kontrasepsi. Selain itu, 15% dari wanita usia reproduksi
dilaporkan telah menerima pelayanan infertilitas dalam hidup mereka. Dalam beberapa
tahun terakhir, permintaan pelayanan infertilitas telah meningkat, terutama di negara-
negara Barat. Alasan utama hal ini adalah kecenderungan wanita untuk kehadiran seorang
anak karena karir pekerjaan. Faktor-faktor lainnya, antara lain adanya peningkatan dan
efektivitas berbagai metode assisted reproductive technology (ART), kesadaran
masyarakat yang semakin tinggi berkaitan dengan penanganan infertilitas, peningkatan
jumlah infertilitas akibat faktor tuba sebagai konsekuensi dari penyakit menular seksual,
dan tersedianya alat kontrasepsi yang efektif, dan peningkatan ketersediaan pelayanan
aborsi.3
G. Etiologi
1. Faktor Pria
Penyebab infertilitas pada pria dapat dibagi menjadi 3 kategori utama, yaitu:4
a. Gangguan produksi sperma, misalnya akibat kegagalan testis primer
(hipergonadotropik hipogonadisme) yang disebabkan oleh faktor genetik
(Sindroma Klinefelter, mikrodelesi kromosom Y) atau kerusakan langsung
lainnya terkait anatomi (cryptorchidism, varikokel), infeksi (mumps orchitis),
atau gonadotoksin. Stimulasi gonadotropin yang tidak adekuat yang disebabkan
karena faktor genetik (isolated gonadotropin deficiency), efek langsung maupun
tidak langsung dari tumor hipotalamus atau pituitari, atau penggunaan androgen
eksogen, misalnya Danazol, Metiltestosteron (penekanan pada sekresi
gonadotropin) merupakan penyebab lain dari produksi sperma yang buruk.4
b. Gangguan fungsi sperma, misalnya akibat antibodi antisperma, radang saluran
genital (prostatitis), varikokel, kegagalan reaksi akrosom, ketidaknormalan
biokimia, atau gangguan dengan perlengketan sperma (ke zona pelusida) atau
penetrasi.4
c. Sumbatan pada duktus, misalnya akibat vasektomi, tidak adanya vas deferens
bilateral, atau sumbatan kongenital atau yang didapat (acquired) pada epididimis
atau duktus ejakulatorius.4
2. Faktor Wanita
Penyebab infertilitas pada wanita dapat dibagi menjadi beberapa kategori, antara lain:
serviks dan uterus, ovarium, tuba, dan lainnya.5
a. Faktor infertilitas yang berasal dari serviks
Faktor infertilitas yang berasal dari serviks dapat disebabkan oleh stenosis atau
abnormalitas dari interaksi mukus dan sperma. Serviks uteri memiliki peran yang
sangat penting dari segi kemampuan transportasi sperma setelah berhubungan
seksual. Kira-kira 5-10% faktor yang berasal dari serviks uteri dapat
menyebabkan infertilitas. Sekresi mukus dapat mengalami perubahan karena
adanya perubahan hormon dan pengaruh obat-obatan, yang dapat menurunkan
produksi mukus. Hipoestrogenisme dapat menyebabkan penebalan mukus
serviks, yang dapat menghalangi perjalanan dari sperma. Stenosis servikal dapat
menyebabkan infertilitas dengan menghalangi perjalanan sperma dari serviks ke
cavum intrauterine. Stenosis servikal dapat berupa kongenital atau didapat,
seperti akibat prosedur pembedahan, infeksi, hipoestrogenisme, dan terapi
radiasi.5,6
b. Faktor infertilitas yang berasal dari uterus
Uterus merupakan tujuan akhir dari embrio dan merupakan tempat
berkembangnya fetus sampai dilahirkan. Oleh karena itu, uterus dapat
diasosiasikan dengan infertilitas primer atau keguguran dan persalinan premature.
Faktor uterus dapat berupa kongenital atau didapat. Mereka dapat merusak
endometrium atau myometrium dan bertanggung jawab pada sekitar 2-5%
infertilitas. Kelainan kongenital, dapat berupa kelainan perkembangan dari
duktus mulleri yang berperan dalam konfigurasi anatomik uterus, tuba fallopi,
serviks, dan bagian atas vagina. Kelainan perkembangan duktus mulleri
bervariasi dari tidak terdapatnya uterus dan vagina (sindrom Rokitansky-Kuster-
Hauser) sampai ke defek minor seperti uterus arkuata dan adanya septum pada
vagina (transversal dan longitudinal). Persalinan premature dapat diasosiasikan
dengan inkompetensi serviks dan uterus yang bersepta. Uterus yang bersepta juga
dapat menyebabkan masalah implantasi dan miscarriage pada trimester pertama.
Sedangkan, kelainan uterus yang didapat dapat berupa endometritis yang
berhubungan dengan trauma, dilatasi dan kuretase, alat kontrasepsi dalam rahim,
atau instrumentasi lainnya (miomektomi, histeroskopi) pada cavum endometrium
yang dapat menyebabkan adhesi dan sinekia intrauterine (sindrom Asherman),
dengan obliterasi total dan parsial pada cavum endometrium.5
c. Faktor infertilitas yang berasal dari ovarium
Disfungsi ovulasi merupakan perubahan pada frekuensi dan durasi dari siklus
menstruasi. Gagalnya ovulasi terjadi merupakan penyebab tersering dari
infertilitas. Absennya ovulasi dapat dihubungkan dengan amenore primer,
amenore sekunder, atau oligomenore.5
d. Usia yang meningkat
Prevalensi infertilitas meningkat secara dramatis seiring dengan meningkatnya
usai. Lebih lanjut lagi, fertilitas menurun seiring dengan lamanya durasi
pernikahan karena frekuensi berhubungan seksual yang rendah dan/atau
penggunaan kontrasepsi. Penelitian mengatakan bahwa fertilitas akan stabil
sampai usia 36 tahun, menurun perlahan sampai usia 4 tahun, dan menurun drastis
setelah usia 42 tahun.5
e. Faktor infertilitas yang berasal dari tuba
Kelainan atau kerusakan pada tuba fallopi dapat mempengaruhi fertilitas dan
bertanggung jawab pada implantasi yang abnormal (kehamilan ektopik).
Obstruksi pada distal tuba falopi menyebabkan akumulasi cairan tuba,
menyebabkan distensi pada tuba yang mengakibatkan kerusakan silia epitel
(hidrosalfing).5
f. Faktor infertilitas yang berasal dari peritoneal
1) Penyakit radang panggul, berhubungan dengan infeksi gonorrhea atau
klamidia, dapat dikonfirmasi dengan kultur serviks dan antibodi serologis
untuk gonorrhea and klamidia.5,6
2) Endometriosis
Endometriosis klasik tampak sebagai pigmen hitam-kebiruan (seperti lesi
“powder-burn”) pada permukaan kandung kemih, ovarium, tuba falopi,
kantong rekto-uterina, dan usus besar. Endometriosis non klasik tampak
seperti lesi dan vesikel merah, coklat, atau putih. Endometriosis berat dengan
kerusakan tuba falopi dan ovarium menyebabkan adhesi atau munculnya
endometrioma, merupakan penyebab infertilitas. Endometriosis minimal
atau ringan menyebabkan penurunan kesuburan dengan mekanisme sebagai
berikut:5,6
- meningkatkan makrofag peritoneal yang meningkatkan fagositosis
sperma
- mengurangi perlekatan sperma ke zona pelusida
- proliferation limfosit peritoneal
- meningkatkan jumlah sitokin
- meningkatkan produksi imunoglobulin
- serum embrio toksin
- defek aktivitas natural killer
3. Faktor Keduanya
Infertilitas yang terjadi pada pasangan suami istri juga dapat disebabkan oleh kedua
belah pihak, seperti:5
a. Lingkungan dan pekerjaan
Radiasi yang berlebihan dapat merusak sel-sel germinal. Faktor lain seperti
pajanan panas yang berlebihan, radiasi microwave, USG, dan bahan-bahan
berbahaya lainnya dianggap kontroversi pemicu infertilitas.5
b. Toksin
Toksin seperti rokok, mariyuana, dan obat-obat lainnya: percobaan rokok
terhadap binatang percobaan membuktikan bahwa nikotin dan polisiklik
hidrokarbon aromatik menghalangi spermatogenesis dan mengecilkan ukuran
testis. Pada wanita, rokok mepengaruhi lendir serviks dan epitel silia dan
transportasi gamet. Mariyuana dan sejenisnya, delta-9-tetrahydrocannabinol,
menghambat sekresi LH dan FSH, memicu kelainan ovulasi dan disfungsi fase
luteal pada wanita. Efek mariyuana pada pria adalah mengurangi jumlah dan
kualitas sperma. Heroin dan kokain memicu efek yang sama tetapi menyebabkan
terjadinya penyakit radang panggul dan infeksi HIV. Konsumsi alkohol kronik
dapat memicu disfungsi ovulasi, yang akan berefek pada kesuburan. Konsumsi
alkohol pada pria mengganggu sistesis testosteron yang berimplikasi pada
konsentrasi sperma. Konsumsi alkohol dapat menghambat gairah seksual dan
menyebabkan impotensi.5
c. Berat badan berlebih atau sangat kurang
Kehilangan berat badan terkait anoreksia nervosa atau bulimia memicu amenore
hipotalamus, sedangkan obesitas dapat berkaitan dengan anovulasi dan
oligomenore. Pada pria, obesitas berhubungan dengan kualitas sperma.5
H. Patofisiologi
a. Wanita
Beberapa penyebab dari gangguan infertilitas dari wanita diantaranya
gangguan stimulasi hipofisis hipotalamus yang mengakibatkan pembentukan FSH
dan LH tidak adekuat sehingga terjadi gangguan dalam pembentukan folikel di
ovarium. Penyebab lain yaitu radiasi dan toksik yng mengakibatkan gangguan pada
ovulasi. Gangguan bentuk anatomi sistem reproduksi juga penyebab mayor dari
infertilitas, diantaranya cidera tuba dan perlekatan tuba sehingga ovum tidak dapat
lewat dan tidak terjadi fertilisasi dari ovum dan sperma. Kelainan bentuk uterus
menyebabkan hasil konsepsi tidak berkembang normal walapun sebelumnya
terjadi fertilisasi. Abnormalitas ovarium, mempengaruhi pembentukan folikel.
Abnormalitas servik mempegaruhi proses pemasukan sperma. Faktor lain yang
mempengaruhi infertilitas adalah aberasi genetik yang menyebabkan kromosom
seks tidak lengkap sehingga organ genitalia tidak berkembang dengan baik.
Beberapa infeksi menyebabkan infertilitas dengan melibatkan reaksi imun
sehingga terjadi gangguan interaksi sperma sehingga sperma tidak bisa bertahan,
infeksi juga menyebebkan inflamasi berlanjut perlekatan yang pada akhirnya
menimbulkan gangguan implantasi zigot yang berujung pada abortus.
b. Pria
Abnormalitas androgen dan testosteron diawali dengan disfungsi
hipotalamus dan hipofisis yang mengakibatkan kelainan status fungsional testis.
Gaya hidup memberikan peran yang besar dalam mempengaruhi infertilitas
dinataranya merokok, penggunaan obat-obatan dan zat adiktif yang berdampak
pada abnormalitas sperma dan penurunan libido. Konsumsi alkohol mempengaruhi
masalah ereksi yang mengakibatkan berkurangnya pancaran sperma. Suhu
disekitar areal testis juga mempengaruhi abnormalitas spermatogenesis. Terjadinya
ejakulasi retrograt misalnya akibat pembedahan sehingga menyebebkan sperma
masuk ke vesika urinaria yang mengakibatkan komposisi sperma terganggu.
I. Manifestasi klinis
a. Wanita
 Terjadi kelainan sistem endokrin
 Hipomenore dan amenore
 Diikuti dengan perkembangan seks sekunder yang tidak adekuat
menunjukkan masalah pada aksis ovarium hipotalamus hipofisis atau
aberasi genetik
 Wanita dengan sindrom turner biasanya pendek, memiliki payudara yang
tidak berkembang,dan gonatnya abnormal
 Wanita infertil dapat memiliki uterus
 Motilitas tuba dan ujung fimbrienya dapat menurun atau hilang akibat
infeksi, adhesi, atau tumor
 Traktus reproduksi internal yang abnormal
b. Pria
 Riwayat terpajan benda – benda mutan yang membahayakan reproduksi
(panas, radiasi, rokok, narkotik, alkohol, infeksi)
 Status gizi dan nutrisi terutama kekurangan protein dan vitamin tertentu
Riwayat infeksi genitorurinaria
 Hipertiroidisme dan hipotiroid
 Tumor hipofisis atau prolactinoma
 Disfungsi ereksi berat
 Ejakulasi retrograt
 Hypo/epispadia
 Mikropenis
 Andesensus testis (testis masih dalam perut/dalam liat paha
 Gangguan spermatogenesis (kelainan jumla, bentuk dan motilitas sperma)
 Hernia scrotalis (hernia berat sampai ke kantong testis )
 Varikhokel (varises pembuluh balik darah testis)
 Abnormalitas cairan semen
J. Penatalaksanaan
Inseminasi intrauterine
Inseminasi intrauterine menjadi salah satu pilihan dalam penanganan infertilitas
primer. Ada beberapa indikasi pada inseminasi intrauterine dengan menggunakan
cairan semen suami ataupun pasangan (donor), yaitu:8
Tabel 2. Indikasi Inseminasi Intrauterine
Subfertilitas pria
Faktor servikal
Efektif
Kegagalan ejakulasi
Infertilitas yang tidak dapat dijelaskan/idiopatik
Infertilitas imunologis
Kemungkinan efektif
Endometriosis

Kegagalan ejakulasi adalah indikasi yang klasik, karena pria tidak dapat
mengejakulasikan sperma ke dalam vagina. Indikasi yang paling sering pada
inseminasi intrauterine adalah faktor infertilitas pria dan infertilitas yang tidak dapat
dijelaskan/idiopatik. Indikasi lainnya adalah infertilitas akibat imunologis dan
endometriosis.8
Kondisi-kondisi tertentu, seperti faktor tuba, penyakit-penyakit pelvis,
endometriosis, usia wanita yang telah lanjut, dan faktor infertilitas pria yang berat,
memiliki kesempatan yang kecil pada keberhasilan inseminasi intrauterine.9
Indikasi utama untuk inseminasi donor adalah: 8
 Infertilitas berat pada pria atau subfertilitas (azoospermia atau
oligoastenoteratozoospermia yang berat), untuk pasangan yang tidak dapat atau
menolak fertilisasi in vitro dengan berbagai alasan.
 Penyakit-penyakit genetik, seperti penyakit Huntington, hemofilia, dan
inkompabilitas rhesus yang berat.
Penggunaan cryopreserved semen pada program inseminasi donor telah
diaplikasikan pada berbagai negara, untuk meminimalisasi kemungkinan transmisi
dari Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan infeksi lain pada resepien.8
Beberapa prosedur yang dilakukan pada inseminasi intrauterine, sebagai
berikut:
 Perkembangan folikuler
Selama siklus menstruasi wanita, biasanya hanya satu folikel yang matang yang
dilepaskan oleh ovarium, dan mengakibatkan suatu ovulasi dengan satu telur.
Pertumbuhan folikel dari ovarium pada awal pertengahan siklus menstruasi
wanita dipengaruhi oleh hormon. Ketika folikel matang, kelenjar hipofisis
melepaskan sejumlah besar hormon LH. Adanya “lonjakan LH” membantu
tahapan akhir dari maturasi sel telur dan akan mencetuskan timbulnya ovulasi
pada 36-40 jam berikutnya. Inseminasi kemudian dilakukan pada hari saat ovulasi
terjadi. Proses ini dipantau dengan menggunakan alat tes melalui darah atau urin
wanita atau dengan menggunakan ultrasonografi atau dengan menggunakan
metode lainnya. Dalam beberapa kasus, tahap ini biasanya menggunakan obat-
obatan untuk menginduksi ovulasi, bisa dengan menggunakan Clomid saja, atau
dengan Clomid dan injeksi FSH, atau hanya FSH saja.10
 Persiapan sampel semen
Pada hari dilaksanakannya inseminasi, pasangan (pria) wajib menyediakan
sampel semen yang masih segar (fresh). Sampel ini kemudian dibawa ke klinik,
dikumpulkan atau mungkin sebelumnya telah dibekukan dan akan dicairkan
untuk digunakan dalam proses inseminasi. Sampel semen akan diproses di
laboratorium sebagai persiapan untuk melakukan inseminasi. Persiapan meliputi
pemindahan plasma semen (bagian yang cair pada semen) dan pengeluaran
sperma yang mati atau tidak/kurang bergerak. Sperma yang bergerak kemudian
dikonsentrasikan dalam volume yang kecil dan dimasukkan melalui kateter.10
 Inseminasi intrauterine
Untuk melakukan suatu inseminasi intrauterine, sebuah spekulum dimasukkan ke
dalam vagina jadi serviks dapat terlihat. Mukus serviks dibersihkan dengan
menggunakan large Q tip dan kateter dimasukkan melalui serviks masuk ke
dalam uterus. Sperma yang telah dikonsentrasikan kemudian dimasukkan ke
dalam uterus. Setelah itu, wanita tersebut akan berbaring di meja pemeriksaan
selama lima sampai sepuluh menit sebelum meninggalkan ruangan. Setelah
inseminasi dilakukan, kegiatan yang normal kembali dapat dilakukan.10
 Hasil akhir
Angka keberhasilan (lahirnya seorang bayi) dari sebuah teknik inseminasi
intrauterine tergantung dari berbagai macam faktor. Beberapa faktor tersebut,
antara lain: usia wanita tersebut, jenis obat penyubur yang digunakan (jika ada);
diagnosis, berapa banyak pengobatan yang telah dilakukan, dan kualitas dari
sampel semen.10
Banyak faktor yang dapat menyebabkan tindakan ini menjadi gagal atau tidak
berhasil. Beberapa faktor ada yang diketahui dan ada yang tidak diketahui. Beberapa
faktor yang diketahui dapat menjadi penyebab tidak berhasilnya tindakan inseminasi
intrauterine, antara lain:10
 Tidak terjadi perkembangan folikel
 Pasangan (suami) tidak dapat memproduksi sampel semen yang segar (fresh)
 Pemasangan kateter ke dalam uterus atau serviks sulit atau tidak mungkin secara
teknis
 Meskipun inseminasi berhasil dilakukan, kehamilan tidak terjadi
Jika kehamilan terjadi, kehamilan mungkin tidak akan berjalan dengan normal atau
akan mengalami miscarriage.
Fertilisasi in Vitro
Untuk pasien dengan penyakit infertilitas, bisa ditujukan langsung pada
etiologi yang menyebabkannya, baik laki-laki maupun perempuan. Terapi yang paling
sering adalah IVF (In vitro fertilization), dimana oosit multiple yang dipisahkan
difertilisasi oleh spermatozoa didalam laboratorium. Embrio-embrio yang dihasilkan
ditumbuhkan di dalam laboratorium selama 2-5 hari, kemudian sekelompok embrio
dipilih dan dipindahkan kembali ke rongga uterus. IVF standar dapat dimodifikasi
melalui beberapa cara. Pada kasus infertilitas pria yang berat, sperma dapat disuntikkan
langsung ke dalam sitoplasma oosit untuk menimbulkan fertilisasi (injeksi sperma
intrasitplasma/intracytoplasmic sperm injection, ICSI). Sperma-sperma ini mungkin
imotil. Sperma tersebut dapat diambil langsung dari vas deferens, epididimis atau
bahkan testis pada pria dengan azoospermia obstruktif. Akhirnya, teknologi yang
berkembang baru-baru ini memeungkinkan pemeriksaan genetic pada embrio yang
dihasilkan melalui IVF. Dengan menggunakan diagnosis genetik praimplantasi (pre-
implantation genetic diagnosis, PGD), blastomer tunggal diangkat dari blastokista yang
sedang berkembang. Blastomer ini dapat diskrining untuk berbagai defek gen yang
diturunkan atau jumlah kandungan kromosom. Hasil skrining dapat digunakan untuk
menyeleksi embrio-embrio yang akan dipindahkan kembali ke uterus.8
K. Komplikasi
Komplikasi Infertilitas dapat memiliki dampak besar pada emosi pasangan suami istri.
Depresi, kecemasan, dan pernikahan masalah mungkin terjadi.
L. Prognosis
Menurut Behrman dan Kistner, prognosis terjadinya kehamilan tergantung
pada umur suami, umur istri, dan lamanya dihadapkan kepada kemungkinan kehamilan
(frekuensi senggama dan lamanya perkawinan). Fertilitas maksimal wanita dicapai
pada umur 24 tahun, kemudian menurun perlahan-lahan sampai umur 30 tahun, dan
setelah itu menurun dengan cepat. Menurut MacLeod, fertilitas maksimal pria dicapai
pada umur 24-25 tahun. Hampir pada setiap golongan umur pria proporsi terjadinya
kehamilan dalam waktu kurang dari 6 bulan meningkat dengan meningkatnya frekuensi
senggama. Ternyata, senggama 4 kali seminggu paling meluangkan terjadinya
kehamilan karena ternyata kualitas dan jenis motilitas spermatozoa menjadi lebih baik
dengan seringnya ejakulasi.6
Penyelidikan jumlah bulan yang diperlukan untuk terjadinya kehamilan
tanpa pemakaian kontrasepsi telah dilakukan di Taiwan dan di Amerika Serikat dengan
kesimpulan bahwa 25% akan hamil dalam 1 bulan pertama, 63% dalam 6 bulan
pertama, 75% dalam 9 bulan pertama, 80% dalam 12 bulan pertama, dan 90% dalam
18 bulan pertama. Dengan demikian, makin lama pasangan kawin tanpa hasil, makin
menurun prognosis kehamilannya.6

M. Kesimpulan
Ketidakmampuan sepasang suami istri untuk memiliki keturunan, dimana
wanita belum mengalami kehamilan setelah bersenggama secara teratur 2 – 3 kali
seminggu, tanpa memakai metode pencegahan selama 1 tahun. Infertilitas dikatakan
sebagai infertilitas primer jika sebelumnya pasangan suami istri belum pernah
mengalami kehamilan. Sementara itu, dikatakan sebagai infertilitas sekunder jika
pasangan suami istri gagal untuk memperoleh kehamilan setelah satu tahun
pascapersalinan atau pasca abortus, tanpa menggunakan kontrasepsi apapun.
Daftar Pustaka
1. Setiati S, Laksmi PW. Kesehatan perempuan. Buku ajar ilmu penyakit dalam Jilid
I. Edisi ke-5. Interna Publishing. Jakarta: 2009.h.108-9.
2. Manuaba IBG. Kepaniteraan klinik obstetri dan ginekologi. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta: 2004.h.29-31.
3. Wiknjosastro H. Infertilitas. Ilmu kandungan. Edisi ke-3. PT Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo. Jakarta: 2011.h.424-35.
4. Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, Wardhani WI, Setiowulan W. Infertilitas. Kapita
selekta kedokteran. Edisi ke-3. Media Aesculapius Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta: 2001.h.389.
5. Willms JL, Schneiderman H, Algranati PS. Diagnosis fisik evaluasi diagnosis &
fungsi dibangsal. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta: 2005.h.451-72.
6. Benson RC, Pernoll ML. Buku saku obstetri & ginekologi. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta: 2009.h.687
7. Wiknjosastro H. Infertilitas. Ilmu kandungan. Edisi ke-3. PT Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo. Jakarta: 2011.h.424-35.
8. Heffner JL, Schust DJ. At a glance sistem reproduksi. Erlangga. Jakarta: 2006.h.62.

Anda mungkin juga menyukai