MAKASSAR
MAKASSAR
\
Kerajaan Makassar berdiri pada abad ke-16 Masehi yang awalnya terdiri atas dua
kerajaan yaitu kerajaan Gowa dan Tallo, Kemudian keduanya bersatu dibawah pimpinan raja
Gowa yaitu Daeng Manrabba. Setelah menganut agama Islam Ia bergelar Sultan Alauddin.
Sedangkan Raja Tallo sendiri yaitu Karaeng Mattoaya yang bergelar Sultan Abdullah,
Bersatunya kedua kerajaan ini bersamaan dengan tersebarnya agama Islam di Sulawesi Selatan.
Awalnya Upaya penyebaran agama Islam dari Jawa ke Makassar tidak banyak membawa
hasil. Demikian pula usaha Sultan Baabullah dari Ternate yang mendorong penguasa Gowa-
Tallo agar memeluk agama Islam. Islam baru dapat berpijak kuat di Makassar berkat upaya
Datok Ribandang dari Minangkabau.
Pada tahun 1650, Penguasa Gowa dan Tallo memeluk agama Islam. Dalam
perjalanannya kerajaan masing-masing, dua kerajaan bersaudara ini dilanda peperangan
bertahun-tahun. Hingga kemudian pada masa Gowa dipimpin Raja Gowa X, Kerajaan Tallo
mengalami kekalahan. Kedua kerajaan kembar itu pun menjadi satu kerajaan dengan
kesepakatan “Rua Karaeng se’re ata” (dua raja, seorang hamba). Kerajaan Gowa dan Kerajaan
Tallo ini akhirnya meleburkan Pusat pemerintahan dari Kerajaan Makassar terletak di
Sombaopu.
Letak kerajaan Makassar sangat strategis karena berada di jalur lalu lintas pelayaran
antara Malak dan Maluku. Letaknya yang sangat strategis itu menarik minat para pedagang
untuk singgah di pelabuhan Sombaopu. Dalam waktu singkat, Makassar berkembang menjadi
salah satu Bandar penting di wilayah timur Indonesia.
Pada awalnya di daerah Gowa terdapat sembilan komunitas, yang dikenal dengan nama
Bate Salapang (Sembilan Bendera), yang kemudian menjadi pusat kerajaan Gowa: Tombolo,
Lakiung, Parang-Parang, Data, Agangjene, Saumata, Bissei, Sero dan Kalili.
Melalui berbagai cara, baik damai maupun paksaan, komunitas lainnya bergabung untuk
membentuk Kerajaan Gowa. Cerita dari pendahulu di Gowa dimulai oleh Tumanurung sebagai
pendiri Istana Gowa, tetapi tradisi Makassar lain menyebutkan empat orang yang mendahului
datangnya Tumanurung, dua orang pertama adalah Batara Guru dan saudaranya.
Kesultanan Gowa adalah salah satu kerajaan besar dan paling sukses yang terdapat di
daerah Sulawesi Selatan. Rakyat dari kerajaan ini berasal dari Suku Makassar yang berdiam di
ujung selatan dan pesisir barat Sulawesi. Wilayah kerajaan ini sekarang berada di bawah
Kabupaten Gowa dan beberapa bagian daerah sekitarnya.
Kerajaan ini memiliki raja yang paling terkenal bergelar Sultan Hasanuddin, yang saat
itu melakukan peperangan yang dikenal dengan Perang Makassar (1666-1669) terhadap VOC
yang dibantu oleh Kerajaan Bone yang dikuasai oleh satu wangsa Suku Bugis dengan rajanya
Arung Palakka. Perang Makassar bukanlah perang antarsuku karena pihak Gowa memiliki
sekutu dari kalangan Bugis; demikian pula pihak Belanda-Bone memiliki sekutu orang
Makassar. Perang Makassar adalah perang terbesar VOC yang pernah dilakukannya di abad ke-
17.
Kerajaan Gowa dan Tallo lebih dikenal dengan sebutan Kerajaan Makassar. Kerajaan ini
terletak di daerah Sulawesi Selatan. Makassar sebenarnya adalah ibukota Gowa yang dulu
disebut sebagai Ujung pandang. Secara geografis Sulawesi Selatan memiliki posisi yang penting,
karena dekat dengan jalur pelayaran perdagangan Nusantara.
Bahkan daerah Makassar menjadi pusat persinggahan para pedagang, baik yang berasal
dari Indonesia bagian timur maupun para pedagang yang berasal dari daerah Indonesia bagian
barat. Dengan letak seperti ini mengakibatkan Kerajaan Makassar berkembang menjadi
kerajaan besar dan berkuasa atas jalur perdagangan Nusantara.
Sultan Alauddin sebelumnya bernama asli Karaeng Matowaya Tumamenanga Ri Agamanna dan
merupakan raja Makassar pertama yang memeluk agama lslam. Pada pemerintahan Sultan
Alauddin, Kerajaan Makassar mulai terjun dalam dunia pelayaran dan perdagangan (dunia
maritim). Dengan perkembangan tersebut menjadikan kesejahteraan rakyat Makassar
meningkat.
Pada pemerintahan Sultan Muhammad Said, perkembangan Makassar maju pesat seba bandar
transit, bahkan Sultan Muhammad Said juga pernah mengirimkan pasukan ke Maluku untuk
membantu rakyat Maluku berperang melawan Belanda.
Sultan Hasanuddin adalah putra Sultan Muhammad Said. Pada masa pemerintahan Sultan
Hasanuddin, Makassar mencapai masa kejayaan. Makasar berhasil menguasai hampir seluruh
wilayah Sulawesi Selatan dan memperluas wilayah kekuasaannya ke Nusa Tenggara (Sumbawa
dan sebagian Flores). Berkat penguasaan wilayah tersebut seluruh aktivitas pelayaran dan
perdagangan yang melalui Laut Flores harus singgah di pusat Kerajaan Makassar.
Hal tersebut ditentang oleh Belanda yang memiliki wilayah kekuasaan di Maluku yang
pusatnya di Ambon terhalang oleh kekuasaan Makassar. Pertentangan antara Makassar dan
Belanda sering menimbulkan peperangan. Bahkan pertentangan itu sering terjadidi Maluku.
Keberanian Sultan Hasanuddin memporak-porandakan pasukan Belar di Maluku
mengakibatkan Belanda semakin terdesak. Oleh karena keberanian Sultan Hasanuddin tersebut,
kemudian Belanda memberikan julukan kepada Sultan Hasanudin “Ayam Jantan dari Timur”.
Untuk menguasai Makassar, Belanda melakukan politik devide et impera yang kemudian
menjalinhubungan dengan Kerajaan Bone yang diperintah oleh Raja Aru Palaka yang pada
waktu itu sedang melakukan pemberontakan terhadap Makassar. Pasukan Belanda yang
dibantu Aru Palaka berhasil mendesak Makassar dan dapat menguasai kota kerajaan. Akhirnya
Sultan Hasanuddin terpaksa harus menandatangani Perjanjian Bongaya pada tahun 1667 M
yang isinya antara lain sebagai berikut :
4. Raia Mapasomba
Raja Mapasomba (lmampasomba Daeng Nguraga dikenal sebagai Sultan Amir Hamzah) adalah
putra Sultan Hasanuddin yang turun takhta setelah menyerah kepada Belanda. Sultan
Hasanuddin sangat berharap agar Mapasomba dapat bekerja sama dengan Belanda yang
tujuannya agar Makassar tetap dapat bertahan. Namun, pada kenyataannya Mapasomba jauh
lebih keras dari pada Sultan Hasanuddin sehingga Belanda kemudian mengerahkan seluruh
pasukannya untuk menghadapi perlawanan yang dilakukan Mapasomba.
KEHIDUPAN EKONOMI
Sebagai negara Maritim, maka sebagian besar masyarakat Makasar adalah nelayan dan
pedagang. Mereka giat berusaha untuk meningkatkan taraf kehidupannya, bahkan tidak jarang
dari mereka yang merantau untuk menambah kemakmuran hidupnya. Walaupun masyarakat
Makasar memiliki kebebasan untuk berusaha dalam mencapai kesejahteraan hidupnya, tetapi
dalam kehidupannya mereka sangat terikat dengan norma adat yang mereka anggap sakral.
Norma kehidupan masyarakat Makasar diatur berdasarkan adat dan agama Islam yang
disebut PANGADAKKANG. Dan masyarakat Makasar sangat percaya terhadap norma-norma
tersebut.Di samping norma tersebut, masyarakat Makasar juga mengenal pelapisan sosial yang
terdiri dari lapisan atas yang merupakan golongan bangsawan dan keluarganya disebut dengan
“Anakarung/Karaeng”, sedangkan rakyat kebanyakan disebut “to Maradeka” dan masyarakat
lapisan bawah yaitu para hamba-sahaya disebut dengan golongan “Ata”.
Sebelum abad 16 M, raja-raja Makasar belum memeluk Islam, setelah kedatangan Dato’
Ri Bandang, seorang penyiar Islam dari Sumatra, Makasar berkembang menjadi kerajaan Islam.
Sultan Alaudin adalah raja Makasar pertama yang memeluk agama Islam, yang berkuasa dari
tahun 1591 sampai 1638 M.Nama asli Sultan Alaudin adalah Karaeng Ma’towaya
Trumamenanga Ri Agamanna. Di bawah kekuasaannya Makasar tumbuh menjadi kerajaan
maritim. Para pelaut mengembangkan perahu jenis Pinisi dan Lambo.
Setelah Sultan Alaudin meninggal, digantikan oleh Muhammad Said pada tahun 1638 –
1653 M. Raja berikutnya adalah Sultan Hasanuddin yang berkuasa dari tahun 1653. Pada masa
pemerintahan Sultan Hasanuddin Makasar menjadi gemilang, majunya perdagangan dan
melakukan ekspansi.Kerajaan yang berhasil dikuasai Makasar di Sulawesi Selatan adalah Lawu,
Wajo, Soppeng dan Bone.
2. Belanda dapat mendirikan benteng Rotterdam di Makasar, dan Makasar harus melepas
kerajaan daerah yang dikuasainya seperti Bone, Soppeng.
Setelah Sultan Hasanuddin turun tahta pada tahun 1669 Map Somba putranya berusaha
meneruskan perjuangan ayahnya melawan Belanda. Belanda yang sangat menghargai tindakan
kooperatif dari Mapa Somba harus mempersiapkan armada perang.
Pelaut Makasar sangat tangguh ini ditunjang dengan keahlian mendesain berbagai kapal
yang kuat dan indah seperti Pinisi, Lambo dan Padewalang yang dapat mengarungi daerah
nusantara bahkan sampai ke India dan Cina.Makasar memiliki hukum perdagangan yang
disebut Ade Alloping Bicaranna Pabbahi’e, juga mengadopsi hukum-hukum Islam dan menjalin
kerjasama dengan Kerajaan Islam seperti Demak dan Malaka.
Sikapnya yang keras dan tidak mau bekerja sama menjadi alasan Belanda mengerahkan
pasukan secara besar-besaran. Pasukan Mapasomba berhasil dihancurkan dan Mapasomba
sendiri tidak diketahui nasibnya. Belanda pun berkuasa sepenuhnya atas kesultanan Makassar.
1. Fort Rotterdam
Fort Rotterdam atau Benteng Ujung Pandang (Jum Pandang) adalah sebuah benteng
peninggalan Kerajaan Gowa-Tallo. Letak benteng ini berada di pinggir pantai sebelah barat Kota
Makassar, Sulawesi Selatan. Benteng ini dibangun pada tahun 1545 oleh Raja Gowa ke-9 yang
bernama I manrigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tumapa’risi’ kallonna.
Awalnya benteng ini berbahan dasar tanah liat, namun pada masa pemerintahan Raja Gowa ke-
14 Sultan Alauddin konstruksi benteng ini diganti menjadi batu padas yang bersumber dari
Pegunungan Karst yang ada di daerah Maros. Benteng Ujung Pandang ini berbentuk seperti
seekor penyu yang hendak merangkak turun ke lautan. Dari segi bentuknya sangat jelas filosofi
Kerajaan Gowa, bahwa penyu dapat hidup di darat maupun di laut. Begitu pun dengan Kerajaan
Gowa yang berjaya di daratan maupun di lautan. Nama asli benteng in i adalah Benteng Ujung
Pandang
2. Masjid Katangka
Mesjid Katangka didirikan pada tahun 1605 M. Sejak berdirinya telah mengalami beberapa kali
pemugaran. Pemugaran itu berturut-turut dilakukan oleh Sultan Mahmud (1818), Kadi Ibrahim
(1921), Haji Mansur Daeng Limpo, Kadi Gowa (1948), dan Andi Baso, Pabbicarabutta Gowa
(1962) sangat sulit mengidentifikasi bagian paling awal (asli) bangunan mesjid tertua Kerajaan
Gowa ini.
Berdasarkan basil penggalian (excavation) yang dilakukan oleh Suaka Peninggalan sejarah dan
Purbakala (1976¬-1982) ditemukan gejala bah wa komplek makam ber¬struktur tumpang-
tindih. Sejumlah makam terletak di atas pondasi bangunan, dan kadang-kadang ditemukan
fondasi di atas bangunan makam.
Penempatan balok batu pasir itu semula tanpa memper¬gunakan perekat. Perekat digunakan
Proyek Pemugaran. Bentuk bangunan jirat dan kubah pada kompleks ini kurang lebih serupa
dengan bangunan jirat dan kubah dari kompleks makam Tamalate, Aru Pallaka, dan Katangka.
Pada kompleks ini bentuk makam dominan berciri abad XII Masehi.
Istana ini teletak di Kelurahan Sungguminasa, Kecamatan Somba Opu, Kabupaten Gowa, yang
Didirikan oleh Raja Gowa ke-35 I Mangimangi Daeng Matutu Karaeng Bonionompo Sultan
Muhammad Tahir Muhibuddin Tumenangari Sungguminasa. Saat ini, istana dengan 54 tiang,
enam jendala di sisi kiri dan empat jendela di depan difungsikan sebagai Museum Balla Lompoa
yang menyimpan benda-benda kerajaan.
Runtuhnya Kerajaan Makassar
Peperangan demi peperangan melawan Belanda dan bangsanya sendiri (Bone) yang
dialami Gowa, membuat banyak kerugian. Kerugian itu sedikit banyaknya membawa pengaruh
terhadap perekonomian Gowa. Sejak kekalahan Gowa dengan Belanda terutama setelah
hancurnya benteng Somba Opu, maka sejak itu pula keagungan Gowa yang sudah berlangsung
berabad-abad lamanya akhirnya mengalami kemunduran.
Akibat perjanjian Bongaya, pada tahun 1667 sultan Hasanuddin Tunduk. Dalam
perjanjian itu, nyatalah kekalahan Makassar. Pardagangannya telah habis dan negeri-negeri
yang ditaklukkannya harus dilepaskan. Apalagi sejak Aru Palakka menaklukkan hampir seluruh
daratan Sulawesi Selatan dan berkedudukan di Makassar, maka banyak orang Bugis yang
pindah di Makassar. Sejak itu pula penjajahan Belanda mulai tertanam secara penuh di
Indonesia.
Demikian Gowa telah mengalami pasang surut dalam perkembangan sejak Raja Gowa
pertama, Tumanurung (abad 13) hingga mencapai puncak keemasannya pada abad XVIII
kemudian sampai mengalami transisi setelah bertahun-tahun berjuang menghadapi penjajahan.
Dalam pada itu, sistem pemerintahanpun mengalami transisi di masa Raja Gowa XXXVI Andi
Idjo Karaeng Lalolang, setelah menjadi bagian Republik Indonesia yang merdeka dan bersatu,
berubah bentuk dari kerajaan menjadi daerah tingkat II Otonom. Sehingga dengan perubahan
tersebut, Andi Idjo pun tercatat dalam sejarah sebagai Raja Gowa terakhir dan sekaligus Bupati
Gowa pertama.