Anda di halaman 1dari 12

TINJAUAN TEORI

A. Konsep Dasar Skizofrenia

1. Pengertian
Skizofrenia berasal dari dua kata, yaitu “ Skizo “ yang artinya retak atau
pecah (split), dan “ frenia “ yang artinya jiwa. Dengan demikian seseorang yang
menderita skizofrenia adalah seseorang yang mengalami keretakan jiwa atau
keretakan kepribadian ( Hawari, 2006).
Skizofrenia adalah gangguan jiwa dimana terjadi gangguan
neurobiologi dengan karakteristik kekacauan pada pola pikir dan isi pikir,
halusinasi dan delusi, serta kekacauan pada proses persepsi, afek dan perilaku
sosialnya (Wardani & Apriliana,2018).
Skizofrenia adalah gangguan psikotik yang ditandai dengan gangguan
utama dalam pikiran, emosi, dan perilaku, pikiran yang terganggu, dimana
berbagai pemikiran tidak salaing berhubungan secara logis, persepsi dan
perhatian yang keliru afek yang datar atau tidak sesuai, dan berbagai gangguan
aktifitas motorik yang bizzare (perilaku aneh), pasien skizofrenia menarik diri
dari orang lain dan kenyataan, sering kali masuk ke dalam kehidupan fantasi
yang penuh delusi dan halusinasi. Orang-orang yang menderita skozofrenia
umunya mengalami beberapa episode akut simtom–simtom, diantara setiap
episode mereka sering mengalami simtom–simtom yang tidak terlalu parah
namun tetap sangat menggagu keberfungsian mereka. Komorbiditas dengan
penyalahguanaan zat merupakan masalah utama bagi para pasien skizofrenia,
terjadi pada sekitar 50 persennya. (Konsten & Ziedonis. 1997, dalam Davison
2010).

1
2. Rentang Respon Neurobiologis

3. Etiologi Skizofrenia
1. Teori Somatogenik
a. Keturunan Telah dibuktikan dengan penelitian bahwa angka kesakitan
bagi saudara tiri 0,9-1,8 %, bagi saudara kandung 7-15 %, bagi anak
dengan salah satu orang tua yang menderita Skizofrenia 40-68 %,
kembar 2 telur 2-15 % dan kembar satu telur 61-86 %.
b. Endokrin Teori ini dikemukakan berhubung dengan sering timbulnya
Skizofrenia pada waktu pubertas, waktu kehamilan atau puerperium dan
waktu klimakterium., tetapi teori ini tidak dapat dibuktikan.
c. Metabolisme Teori ini didasarkan karena penderita Skizofrenia tampak
pucat, tidak sehat, ujung extremitas agak sianosis, nafsu makan
berkurang dan berat badan menurun serta pada penderita dengan stupor
katatonik konsumsi zat asam menurun. Hipotesa ini masih dalam
pembuktian dengan pemberian obat halusinogenik.
d. Susunan saraf pusat Penyebab Skizofrenia diarahkan pada kelainan SSP
yaitu pada diensefalon atau kortek otak, tetapi kelainan patologis yang
ditemukan mungkin disebabkan oleh perubahan postmortem atau
merupakan artefakt pada waktu membuat sediaan.

2
2. Teori Psikogenik
a. Teori Adolf Meyer : Skizofrenia tidak disebabkan oleh penyakit
badaniah sebab hingga sekarang tidak dapat ditemukan kelainan
patologis anatomis atau fisiologis yang khas pada SSP tetapi Meyer
mengakui bahwa suatu suatu konstitusi yang inferior atau penyakit
badaniah dapat mempengaruhi timbulnya Skizofrenia. Menurut Meyer
Skizofrenia merupakan suatu reaksi yang salah, suatu maladaptasi,
sehingga timbul disorganisasi kepribadian dan lama kelamaan orang
tersebut menjauhkan diri dari kenyataan (otisme).
b. Teori Sigmund Freud Skizofrenia terdapat (1) kelemahan ego, yang
dapat timbul karena penyebab psikogenik ataupun somatik (2) superego
dikesampingkan sehingga tidak bertenaga lagi dan Id yamg berkuasa
serta terjadi suatu regresi ke fase narsisisme dan (3) kehilangaan
kapasitas untuk pemindahan (transference) sehingga terapi psikoanalitik
tidak mungkin.
c. Eugen Bleuler Penggunaan istilah Skizofrenia menonjolkan gejala
utama penyakit ini yaitu jiwa yang terpecah belah, adanya keretakan
atau disharmoni antara proses berfikir, perasaan dan perbuatan. Bleuler
membagi gejala Skizofrenia menjadi 2 kelompok yaitu gejala primer
(gaangguan proses pikiran, gangguan emosi, gangguan kemauan dan
otisme) gejala sekunder (waham, halusinasi dan gejala katatonik atau
gangguan psikomotorik yang lain).
d. Teori lain Skizofrenia sebagai suatu sindroma yang dapat disebabkan
oleh bermacam-macaam sebab antara lain keturunan, pendidikan yang
salah, maladaptasi, tekanan jiwa, penyakit badaniah seperti lues otak,
arterosklerosis otak dan penyakit lain yang belum diketahui.

4. Patofisiologis Skizofrenia
Prevalensi penderita schizophrenia di Indonesia adalah 0,3 – 1 % dan
biasanya timbul pada usia sekitar 18 - 45 tahun. Schizophrenia disebabkan oleh
beberapa faktor antara lain: faktor genetik, faktor lingkungan dan faktor
keluarga. Schizophrenia tidak hanya menimbulkan penderitaan bagi individu

3
penderitanya tetapi juga bagi orang-orang terdekat ( Arif, 2006). Penderita
schizophrenia sering kali mengalami gejala positif dan negatif yang
memerlukan penanganan serius. Penderita schizophrenia juga mengalami
penurunan motivasi dalam berhubungan sosial, perilaku ini sering tampak
dalam bentuk perilaku autistic dan mutisme.
Akibat adanya penurunan motivasi ini sering tampak timbulnya masalah
keperawatan isolasi sosial menarik diri dan jika tidak diatasi dapat
menimbulkan perubahan persepsi sensoris halusinasi. Halusinasi yang terjadi
pada penderita schizophrenia tidak saja disebabkan oleh perilaku isolasi sosial
tetapi juga dapat disebabkan oleh gangguan konsep diri harga diri rendah.
Dampak dari halusinasi yang timbul akibat schizophrenia ini sangat tergantung
dari isi halusinasi. Jika isi halusinasi mengganggu, maka penderita
schizophrenia akan cenderung melakukan perilaku kekeeraan sedangkan
halusinasi yang isinya menyenagkan dapat mengganggu dalam berhubungan
sosial dan dalam pelaksanaan aktivitas sehari-hari termasuk aktivitas perwatan
diri ( Stuart, 2007).
Schizophrenia sering dimanifestasikan dalam bentuk waham, perilaku
katatonik, adanya penurunan motivasi dalam melakukan hubungan sosial serta
penurunan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Waham yang dialami pasien
schizophrenia dapat berakibat pada kecemasan yang berlebihan jika isi
wahamnya tidak mendapatkan perlakuan dari lingkungan sehingga berisiko
menimbulkan perilaku kekerasan yang diarahkan pada diri sendiri, orang lain,
dan lingkungan. Adanya perilaku katatonik, menyebabkan perasaan tidak
nyaman pada diri penderita, hal ini karena kondisi katatonik ini berdampak pada
hambatan untuk melakukan aktivitas sehari-hari.
Hambatan dalam aktivitas sehari-hari menyebabkan koping individu
menjadi tidak efektif yang dapat berlanjut pada gangguan konsep diri harga diri
rendah dan bila tidak diatasi berisiko menimbulkan perilaku kekerasan.
Penderita dapat mengalami ambivalensi, kondisi ini dapat menimbulkan
terjadinya penurunan motivasi dalam melakukan aktivitas perawatan diri dan
kemampuan dalam berhubungan sosial dengan orang lain. Adanya ambivalensi
membuat penderita menjadi kesulitan dalam pengambilan keputusan sehingga
dapat berdampak pada penurunan motivasi dalam melakukan aktivitas sehari-
hari. Penderita schizophrenia yang menunjukkkan adanya gejala negatif

4
ambivalensi ini, sering kali dijumpai cara berpakaian dan berpenampilan yang
tidak sesuai dengan realita seperti rambut tidak rapi, kuku panjang, badan kotor
dan bau ( Rasmun, 2007). Prognosis untuk schizophrenia pada umumnya
kurang begitu menggembirakan sekitar 25 % pasien dapat pulih dari episode
awal dan fungsinya dapat kembali pada tingkat sebelum munculnya gangguan
tersebut. Sekitar 25% tidak pernah pulih dan perjalanan penyakitnya cenderung
memburuk, dan sekitar 50 % berada diantaranya ditandai dengan kekambuhan
periodik dan ketidakmampuan berfungsi dengan efektif kecuali akan waktu
singkat ( Arif, 2006)

5. Tanda dan Gejala Skizofrenia

Tanda dan gejala yang dialami pasien skizofrenia mencakup gangguan


dalam beberapa hal penting pikiran, persepsi, dan perhatian. Perilaku motorik ,
afek, atau emosi, dan keberfungsian hidup.
Rentang masalah orang-orang yang didiagnosis menderita skizofrenia
sangat luas, meskipun dalam satu waktu pasien umumnya mengalami hanya
beberapa dari masalah tersebut. Dalam hal ini akan diuraikan beberapa tanda
dan gejala utama skizofrenia dalam tiga kategori yaitu gejala positif, gejala
negatif, dan gejala disorganisasi (Davison, 2010).
1. Gejala positif.
Mencakup hal–hal yag berlebihan dan distorsi, seperti halusinasi dan
waham, tanda dan gejala ini, sebagian terbesarnya, menjadi ciri episode
akut skizofrenia, antara lain :
a. Delusi (waham), yaitu keyakinan yang berlawanan dengan
kenyataan semacam itu merupakan simtom–simtom positif yang
umum pada skizofrenia.
b. Halusinasi, para pasien skizofrenia seringkali menuturkan bahwa
dunia tampak berbeda dalam satu atau lain cara atau bahkan tidak
nyata bagi mereka. Dan distorsi persepsi yang paling dramatis
adalah halusinasi yaitu diamana pengalaman indrawi tanpa
adanya stimulasi dari lingkuangan.

5
2. Gejala negatif.
Tanda dan gejala negatif skizofrenia mencakup berbagai devisit
behavioral, seperti avolition, alogia, anhedonia, afek datar dan
asosiolitas. Tanda dan gejala ini cenderung bertahan melampaui suatu
episode akut dan memiliki afek parah terhadap kehidupan para pasien
skizofrenia.
3. Gejala disorganisasi.
Tanda dan gejala disorganisasi mencakup disorganisasi pembicaraan
dan perilaku aneh (bizarre). Disorganisasi pembicaraan juga dikenal
sebagai gangguan berfikir formal, disorganisasi pembicaraan merujuk
pada masalah dalam mengorganisasi berbagai pemikiran dan dalam
berbicara sehingga pendengar dapat memahaminya. Perilaku aneh
terwujud dalam banyak bentuk, pasien dapat meledak dalam kemarahan
atau konfrontasi singkat yang tidak dapat dimengerti, memakai pakaian
yang tidak biasa, bertingkah seperti anak–anak, atau dengan gaya yang
konyol, menyimpan makanan, mengumpulkan sampah atau melakukan
perilaku seksual yang tidak pantas.

6. Klasifikasi Skozofrenia

1. Tipe Hebefrenik
Tipe ini disebut juga disorganized type atau kacau balau yang dimulai
dengan gejala-gejala antara lain :
a. Inkoherensi yaitu jalan pikiran yang kacau, tidak dapat dimengerti apa
maksudnya. Hal ini dapat dilihat dari kata-kata yang diucapkan tidak ada
hubungannya satu dengan yang lain.
b. Alam perasaan (mood, effect) yang datar tanpa ekspresi serta tidak serasi
(incongrose) atau ketolol-tololan (silly).
c. Perilaku dan tertawa kekanak-kanakan (giggling), senyum yang
menunjukan rasa puas diri atau senyum yang hanya dihayati sendiri .
d. Waham (delusion) tidak jelas dan tidak sistimatik (terpecah-pecah) tidak
terorganisir suatu satu kesatuan.
e. Halusinasi yang terpecah-pecah yang isi temanya tidak terorganisir sebagai
satu kesatuan.

6
f. Perilaku aneh, misalnya menyeringai sendiri, menunjukkan gerakan-
gerakan aneh, berkelakar, pengucapan kalimat yang diulang-ulang dan
kecenderungan untuk menarik diri secara ekstrim dari hubungan sosial .

2. Tipe Katatonik
a. Stupor katatonik, yaitu suatu pengurangan hebat dalam reaktivitas
terhadap lingkungan dan atau pengurangan dari pergerakkan atau aktivitas
spontan sehingga nampak seperti patung, atau diam membisu (mute).
b. Negativisme Katatonik yaitu suatu penolakkan yang nampaknya tanpa
motif terhadap semua perintah atau upaya untuk menggerakkan bagian
tubuh dirinya .
c. Kekakuan (rigidity) Katatonik yaitu mempertahankan suatu sikap kaku
terhadap semua upaya untuk menggerakkan bagian tubuh dirinya.
d. Kegaduhan Katatonik, yaitu kegaduhan aktivitasmotorik (otot alat gerak)
yang nampaknya tak bertujuan dan tidak dipengaruhi oleh rangsang luar.
e. Sikap tubuh katatonik yaitu sikap (posisi tubuh) yang tidak wajar atau
aneh.
3. Tipe paranoid
a. Waham (delucion) kejar atau waham kebesaran, misi atau utusan sebagai
penyelamat bangsa dunia atau agama, misi kenabian atau mesias, atau
perubahan tubuh. Waham cemburu sering kali juga ditemukan.
b. Halusinasi yang berisi kejaran atau kebeseran.
c. Gangguan alam perasaan dan perilaku, misalnya kecemasan yang tidak
menentu, kemrahan, suka bertengkar dan berdebat kekerasan. Sering kali
ditemukan kebingungan tentang identitas jenis kelamin dirinya (gender
identity) atau ketakutan bahwa dirinya diduga sebagai seorang
homoseksual atau merasa dirinya didekati oleh orang-orang homoseksual.
4. Tipe Residual
Tipe ini merupakan sisa-sisa (residu) dari gejala skizofrenia yang tidak
begitu menonjol. Misalnya alam perasaan yang tumpul dan mendatar serta
tidak serasi (inappropriate), penarikan diri dari pergaulan sosial, tingkah laku
eksentrik, pikiran tidak logis dan tidak rasional atau pelonggaran asosiasi
pikiran.

7
5. Tipe tak tergolongkan
Tipe ini tidak dapat dimasukkan dalam tipe-tipe yang telah diuraikan hanya
ganbaran klinisnya terdapat waham, halusinasi, inkoherensi atau tingkah laku
kacau.

7. Penatalaksanaan Skizofrenia

1. Medis
Obat antipsikotik digunakan untuk mengatasi gejala psikotik (misalnya
perubahan perilaku, agitasi, agresif, sulit tidur, halusinasi, waham, proses
piker kacau). Obat-obatan untuk pasien skizophrenia yang umum diunakan
adalah sebaga berikut :
a. Pengobatan pada fase akut
1) Dalam keadaan akut yang disertai agitasi dan hiperaktif diberikan
injeksi :
a) Haloperidol 3x5 mg (tiap 8 jam) intra muscular.
b) Clorpromazin 25-50 mg diberikan intra muscular setiap 6-8 jam
sampai keadaan akut teratasi.
c) Kombinsi haloperidol 5 mg intra muscular kemudian diazepam 10
mg intra muscular dengan interval waktu 1-2 menit.
2) Dalam keadaan agitasi dan hiperaktif diberikan tablet :
a) Haloperidol 2x1,5 – 2,5 mg per hari.
b) Klorpromazin 2x100 mg per hari
c) Triheksifenidil 2x2 mg per hari

b. Pengobaan fase kronis


Diberikan dalam bentuk tablet :
1) Haloperidol 2x 0,5 – 1 mg perhari
2) Klorpromazin 1 x 50 mg sehari (malam)
3) Triheksifenidil 1- 2x 2 mg sehari

8
a) Tingkatkan perlahan-lahan, beri kesempatan obat untuk
bekerja, disamping itu melakukan tindakan perawatan dan
pendidikan kesehatan.
b) Dosis maksimal
Haloperidol : 40 mg sehari (tablet) dan klorpromazin 600 mg
sehari (tablet).
2. Tindakan keperawatan efek samping obat
a. Klorpromazine
1) Mulut kering : berikan permen, es, minum air sedikit-sedikit dan
membersihkan mulut secara teratur.
2) Pandangan kabur : berikan bantuan untuk tugas yang membutuhkan
ketajaman penglihatan.
3) Konstipasi : makan makanan tinggi serat
4) Sedasi : tidak menyetir atau mengoperasikan peralatan ang
berbahaya.
5) Hipoensi ortostatik : perlahan-lahan bangkit dari posisi baring atau
duduk.
b. Haloperidol
1) Mulut kering : berikan permen, es, minum air sedikit-sedikit dan
membersihkan mulut secara teratur.
2) Pandangan kabur : berikan bantuan untuk tugas yang membutuhkan
ketajaman penglihatan.
3) Konstipasi : makan makanan tinggi serat
4) Sedasi : tidak menyetir atau mengoperasikan peralatan ang
berbahaya.
5) Hipotensi ortostatik : perlahan-lahan bangkit dari posisi baring atau
duduk

a. Terapi Psikososial
Terapi kelompok merupakan salah satu jenis terapi humanistik. Pada
terapi ini, beberapa klien berkumpul dan saling berkomunikasi dan terapis
berperan sebagai fasilitator dan sebagai pemberi arah di dalamnya. Para
peserta terapi saling memberikan feedback tentang pikiran dan perasaan
yang dialami. Peserta diposisikan pada situasi sosial yang mendorong

9
peserta untuk berkomunikasi, sehingga dapat memperkaya pengalaman
peserta dalam kemampuan berkomunikasi.
Pada terapi keluarga merupakan suatu bentuk khusus dari terapi kelompok.
Terapi ini digunakan untuk penderita yang telah keluar dari rumah sakit jiwa
dan tinggal bersama keluarganya. Keluarga berusaha untuk menghindari
ungkapan-ungkapan emosi yang bisa mengakibatkan penyakit penderita
kambuh kembali.Dalam hal ini, keluarga diberi informasi tentang cara-cara
untuk mengekspresikan perasaan-perasaan, baik yang positif maupun yang
negative secara konstruktif dan jelas, dan untuk memecahkan setiap
persoalan secara bersama-sama. Keluarga diberi pengetahuan tentang
keadaan penderita dan cara-cara untuk menghadapinya. Campur tangan
keluarga sangat membantu dalam proses penyembuhan, atau sekurang-
kurangnya mencegah kambuhnya penyakit penderita, dibandingkan dengan
terapi-terapi secara individual.

8. Komplikasi

a. Aktifitas hidup sehari-hari


Klien tidak mampu melakukan fungsi dasar secara mandiri, misalnya
kebersihan diri, penampila dan sosialisasi.
b. Hubungan interpersonal
Klien digambarkan sebagai individu yang apatis, menarik diri, terisolasi
dari teman-teman dan keluarga. Keadaan ini merupakan proses adaptasi
klien terhadap lingkungan kehidupan yang kaku dan stimulus yang
kurang.
c. Sumber koping
Isolasi social, kurangnya system pendukung dan adanya gangguan fungsi
pada klien, menyebabkan kurangnya kesempatan menggunakan koping
untuk menghadapi stress.
d. Harga diri rendah
Klien menganggap dirinya tidak mampu untuk mengatasi
kekurangannya, tidak ingin melakukan sesuatu untuk menghindari
kegagalan (takut gagal) dan tidak berani mencapai sukses.

10
e. Kekuatan
Kekuatan adalah kemampuan, ketrampilan aatau interes yang dimiliki
dan pernah digunakan klien pada waktu yang lalu.
f. Motivasi
Klien mempunyai pengalaman gagal yang berulang.
g. Kebutuhan terapi yang lama
Klien disebut gangguan jiwa kronis jika ia dirawat di rumah sakit satu
periode selama 6 bulan terus menerus dalam 5 tahun tau 2 kali lebih
dirawat di rumah sakit dalam 1 tahun.

11
Daftar Pustaka

Davison. 2010. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa . EGC. Jakarta.


Durand & Barlow, 2007. Manual Psychiatric Nursing Care Plan. 5 th Edition . Lippincott.
Philadelphia .
Fitria , Nita. 2009. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan Strategi
Pelaksanaan Tindakan Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika
Hawari D. ,2006, pendekatan holistik pada gangguan jiwa skizofrenia, Jakarta, balai penerbit
FKUI
Keliat, Budi Anna dan Akemat. 2010. Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa. Jakarta:
EGC
Maramis, Willy F. 2009. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Ed 2. Surabaya. Airlangga University
Press
Padma,Sri & Yuli Wijayanti.2014.Keperawatan Spiritualitas Pada Pasien Skizofrenia.Jurnal
Ners.Vol 9:1. https://e-journal.unair.ac.id/JNERS/article/download/3262/2353.Diakses
pada 21 Desember 2019
Stuart dan Sunden, 2010. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Ed 5. Jakarta. EGC
Stuart, Gail W. 2006. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Ed 5. Jakarta. EGC
Yosep. 2009. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Ed 5. Jakarta. EGC

12

Anda mungkin juga menyukai