Anda di halaman 1dari 4

SOAL UTS PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

bagaimana memupuk keimanan di era milenial saat ini ?


Generasi milenial merupakan generasi yang keterbukaan dengan segala bentuk informasi.
Selain itu generasi milenial dalam menanggapi suatu perubahan dalam tata cara berkomunikasi
dapat dipengaruhi dengan cara berpikir yang out of the box. Generasi milenial bukan hanya
membentuk pola pikir yang hanya stay tapi lebih bergerak dalam perkembangan kreativitas,
inovatif, dan menanggapi segala bentuk keilmuan yang baru.
Namun, yang perlu dicanamkan adalah bagaimana generasi milenial ini tetap memiliki pemikiran
maju yang dilandasi dengan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah. Oleh sebab itu Fakultas
Bahasa dan Seni menggelar kajian dengan mengangkat tema Milenial Memupuk Iman dengan
narasumber Ustad Dennis Lim Setiawan dari Pondok Pesantren Daarut Tauhid.
Ustad Dennis menerangkan bahwa generasi milenial harus memiliki iman dan taqwa yang kuat
sebagai benteng dalam menghadapi segala macam perubahan. Hal ini akan menuntun seluruh
umat untuk bisa mendapatkan tiga nikmat. Diantaranya nikmat hidup, nikmat merdeka, dan
nikmat iman.
Untuk itu zaman modern ini memang menjadi perjalanan generasi milenial dalam membentuk
suatu perubahan yang didasari dengan nilai-nilai agama. Pandangan terkait informasi, ide, dan
kreativitas menjadi aset besar generasi milenial dengan beriringan dengan norma keimanan.
Sehingga munculah kehidupan modern berkualitas yang taat asas agama.

Ada Dua Macam Air

Perlu diketahui bahwa air itu ada dua macam yaitu air muthlaq dan air najis.

Pertama: Air Muthlaq

Air muthlaq ini biasa disebut pula air thohur (suci dan mensucikan).
Maksudnya, air muthlaq adalah air yang tetap seperti kondisi asalnya. Air ini
adalah setiap air yang keluar dari dalam bumi maupun turun dari langit.
Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

‫اءَ ِمنََ َوأ َ ْنزَ ْلنَا‬


ِ ‫س َم‬ َ
َّ ‫ط ُهورا َماءَ ال‬

“Dan Kami turunkan dari langit air yang suci.” (QS. Al Furqon: 48)

Yang juga termasuk air muthlaq adalah air sungai, air salju, embun, dan air
sumur kecuali jika air-air tersebut berubah karena begitu lama dibiarkan atau
karena bercampur dengan benda yang suci sehingga air tersebut tidak
disebut lagi air muthlaq.

Begitu pula yang termasuk air muthlaq adalah air laut. Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam pernah ditanyakan mengenai air laut, beliau pun menjawab,
َ‫ورَ ه َُو‬ َّ َُ‫َم ْيتَتُهَُ ْال ِحلَ َما ُؤه‬
ُ ‫الط ُه‬

“Air laut tersebut thohur (suci lagi mensucikan), bahkan bangkainya pun
halal.” [1]

Air-air inilah yang boleh digunakan untuk berwudhu dan mandi tanpa ada
perselisihan pendapat antara para ulama.

Bagaimana jika air muthlaq tercampur benda lain yang suci?

Di sini ada dua rincian, yaitu:

1. Jika air tersebut tercampur dengan benda suci dan jumlahnya sedikit,
sehingga air tersebut tidak berubah apa-apa dan masih tetap disebut air (air
muthlaq), maka ia boleh digunakan untuk berwudhu. Misalnya, air dalam bak
yang berukuran 300 liter kemasukan sabun yang hanya seukuran 2 mm,
maka tentu saja air tersebut tidak berubah dan boleh digunakan untuk
berwudhu.

2. Jika air tersebut tercampur dengan benda suci sehingga air tersebut tidak
lagiَdisebutَairَ(airَmuthlaq),َnamunَadaَ“embel-embel”َ(sepertiَjikaَ
tercampur sabun, disebut air sabun atau tercampur teh, disebut air teh),
maka air seperti ini tidak disebut dengan air muthlaq sehingga tidak boleh
digunakan untuk bersuci (berwudhu atau mandi).

Kedua: Air Najis

Air najis adalah air yang tercampur najis dan berubah salah satu dari tiga
sifat yaitu bau, rasa atau warnanya. Air bisa berubah dari hukum asal (yaitu
suci) apabila berubah salah satu dari tiga sifat yaitu berubah warna, rasa
atau baunya.

Dari Abu Umamah Al Bahiliy, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa


sallam bersabda,

َ‫س َهُ لََ ْال َما َءَ إِ َّن‬ َ ََّ‫بَ َما إِل‬
ُ ‫ش ْىءَ يُن َِج‬ َ َ‫غ ل‬
َ ‫ع لَ ى‬
َ َ‫يح ِه‬ َ ‫َولَ ْونِ َِه َو‬
ِ ‫ط ْع ِم ِهَ ِر‬

“Sesungguhnya air tidaklah dinajiskan oleh sesuatu pun selain yang


mempengaruhi bau, rasa, dan warnanya.”

Tambahanَ“selain yang mempengaruhi bau, rasa, dan warnanya”َadalahَ


tambahanَyangَdho’if.َNamun,َAnَNawawiَmengatakan,َ“Paraَulamaَtelahَ
sepakatَuntukَberhukumَdenganَtambahanَini.”َIbnulَMundzirَmengatakan,َ
“Paraَulamaَtelahَsepakatَbahwaَairَyangَsedikitَmaupunَbanyakَjikaَ
terkena najis dan berubah rasa, warna dan baunya, maka itu adalah air yang
najis.”َIbnulَMulaqqinَmengatakan,َ“TigaَpengecualianَdalamَhaditsَAbuَ
Umamahَdiَatasَtambahanَyangَdho’ifَ(lemah).َYangَmenjadiَhujahَ
(argumen)َpadaَsaatَiniَadalahَijma’َ(kesepakatanَkaumَmuslimin)َ
sebagaimana dikatakan oleh Asy Syafi’i,َAlَBaihaqi,َdll.”َSyaikhulَIslamَIbnuَ
Taimiyahَmengatakan,َ“Sesuatuَyangَtelahَdisepakatiَolehَkaumَmuslimin,َ
maka itu pasti terdapat nashnya (dalil tegasnya). Kami tidak mengetahui
terdapat satu masalah yang telah mereka sepakati, namun tidak ada
nashnya.”[2]

Intinya, air jenis kedua ini (air najis) tidak boleh digunakan untuk
berwudhu.[3]

Simak selengkapnya disini. Klik

Najis Mughalladhah adalah najis yang paling berat dalam hukum Islam.
Najis ini berasal dari air liur anjing dan babi atau menyentuh keduanya.

Cara mensucikan najis mughallazah dengan menyiramkan air sebanyak


tujuh kali, dan salah satunya harus dicampur dengan abu.

Tetapi sebelum menyiramkan air alangkah baiknya teman-teman harus


menghilangkan dulu wujud najisnya. Agar dapat menghilangkan wujud
najis (ainiyah), seperti warna dan baunya.

Namun secara hukum, najisnya masih ada karna masih belum disiram
dengan air. Adapun cara pencampuran abu dengan air, ada tiga macam
diantaranya:

1. Menyiram air terlebih dahulu ke anggota badan yang terkena najis


Mughalladhah. Lalu dicampur dengan abu, baru kemudian dibasuh
keduanya.
2. Memberinya abu terlebih dahulu ke anggota badan, lalu
memberinya air dengan cara dicampur, kemudain dibasuh.
3. Mencampurkan abu dan air secara bersamaan kemudian dibasuh
ke anggota badan yang terkena najis. Dan cara inilah yang paling
utama digunakan.

Anda mungkin juga menyukai