Anda di halaman 1dari 32

Tugas Volkanologi

Gunung Kelud

Disusun oleh :

1. Trivenna A. Oratmangun (12.2016.1.00277)


2. Lintang D. Kusuma (12.2016.1.00278)
3. Korneles M. Arbol (12.2016.1.00287)

FAKULTAS TEKNOLOGI MINERAL DAN KELAUTAN


INSTITUT TEKNOLOGI ADHI TAMA SURABAYA
TEKNIK GEOLOGI
2018
G. KELUD

g. Kelud, jawa timur , pvmbg/1 juni 2009

KETERANGAN UMUM

NAMA GUNUNGAPI : G. KELUD, JAWA TIMUR

NAMA LAIN : Kelud, Klut, Coloot

NAMA KAWAH :-

LOKASI : a. Geografis : 7° 56' 00 LS dan 112° 18' 30 BT\


b. Administrasi : Kab. Kediri, Kab. Blitar dan Kab.
Malang, Propinsi Jawa Timur

KETINGGIAN : a. Puncak 1731 m dpl

b. Danau kawah : 1113,9 m (Hadikusumo, 1960)

TIPE GUNUNGAPI : Strato

Kota Terdekat : Kediri

Desa Margomulyo, Kecamatan Wates, Kediri

POS PENGAMATAN : Posisi Geografi 08° 55' 40,14" LS dan 112° 14' 45,48"
BT

Ketingian 675 dpl

PENDAHULUAN

Cara Mencapai Puncak

Jalan yang biasa digunakan oleh kendaraan bermotor adalah dari Kediri menuju Wates
dilanjutkan ke Margomulyo - Bambingan hingga puncak (mulut terowongan), dengan
kondisi jalan beraspal.

Demografi (kependudukan):

Data penduduk yang berada di Kawasan Rawan Bencana G. Kelud menurut BPS
Kabupaten Kediri dan Blitar bulan Juni 2004 berjumlah 427.702 jiwa.

Tabel jumlah penduduk yang terletak di Kawasan Rawan Bencana tahun 2004

Kabupaten Kecamatan Desa Dusun Penduduk

Kediri 3 19 34 31.001

Blitar 6 79 - 396.701
Wisata

Manfaat G. Kelud bagi daerah sekitarnya dapat ditinjau dari beberapa aspek, antara
lain aspek wisata, budaya maupun ekonomi. Aspek wisata berkaitan dengan
pengembangan dan pemanfaatan nilai-nilai alam, misalnya wisata alam dan agrowisata
yang mengembangkan kawasan perkebunan di sekitar Kelud dan hutan di sepanjang
jalan menuju kawah serta wisata alam di daerah sekitar kawah.

Aspek budaya dapat dilihat dari peninggalan purbakala berupa candi-candi yang
terdapat di daerah Blitar dan Kediri. Keberadaan candi-candi tersebut berkaitan dengan
perkembangan sejarah dan budaya Jawa pada masa kejayaan kerajaan-kerajaan Hindu
seperti Jenggala, Kediri dan Singasari. Pada perkembangan selanjutnya, beberapa
candi di daerah sekitar G. Kelud telah terpendam akibat dari bencana lahar dan letusan
dari G. Kelud, mengikuti surutnya masa keemasan kerajaan tersebut.

Aspek ekonomi, letusan dan lahar menghasilkan material pasir dan batu yang dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat disekitarnya sebagai bahan galian golongan C untuk
bahan bangunan.

Kawah dan sekitarnya merupakan daya tarik wisata yang perlu dikembangkan.
Keberadaan terowongan yang merupakan budidaya manusia untuk mengurangi
bencana juga merupakan ciki khas dari G. Kelud.

Pemilihan lokasi wisata di sekitar kawah dapat mempertimbangkan berbagai hal, antara
lain kemudahan pencapaian lokasi, tingkat bahaya, variasi jenis wisata. Lokasi wisata
di daerah sekitar kawah antara lain kawasan hutan lindung, air terjun, pemandian air
panas alam dan panjat tebing.

Kekayaan obyek wisata di Kabupaten Kediri dan Kabupaten Blitar yaitu berupa
kekayaan obyek sejarah dan kekayaan obyek alamiah. Banyaknya peninggalan candi-
candi berhubungan erat dengan Gunung kelud. Kehancuran candi-candi, dari analisis
di lapangan umumnya disebabkan karena tertimbun material produk letusan seperti
abu, pasir serta endapan lahar. Banyak peninggalan budaya, yang pada saat ini, berada
di bawah permukaan rata-rata tanah. Hal ini menandakan besarnya pengaruh letusan
G, Kelud terhadap keberadaan situs-situs budaya yang ada pada saat lampau.
G. Kelud - Geologi
GEOLOGI

G. Kelud (1731 m) merupakan produk dari proses tumbukan antara lempeng Indo-
Australia yang menunjam ke bawah lempeng Asia tepatnya di sebelah selatan Jawa.
Sebagai gunungapi muda yang tumbuh pada zaman Kwarter Muda (Holosen), G.Kelud
merupakan salah satu gunungapi dalam deretan gunungapi yang tumbuh dan
berkembang di dalam Sub Zona Blitar dari Zona Solo, yang dimulai dari daerah bagian
selatan Jawa bagian tengah (G.Lawu) hingga Jawa bagian timur (G.Raung), yang
dibatasi gawir sesar Pegunungan Selatan. Perkembangan gunungapi muda ini sangat
terbatas, hal ini nampak dari kerucut gunungapi yang rendah, puncak tidak teratur,
tajam dan terjal. Keadaan puncak - puncak tersebut disebabkan oleh sifat letusannya
yang sangat merusak (eksplosif) yang disertai dengan pertumbuhan sumbat- sumbat
lava seperti puncak Sumbing, Gajahmungkur dan puncak Kelud.

Peta Geologi G. Kelud


Secara morfologi, G.Kelud dapat dibedakan menjadi 5 satuan morfologi
(A.Djumarma,1991) yaitu : Satuan morfologi Puncak dan Kawah ; Satuan Morfologi
Tubuh Gunungapi; Satuan Morfologi Kerucut Samping; Satuan Morfologi Kaki dan
Dataran serta Satuan Morfologi Pegunungan sekitar.

Satuan Morfologi Puncak dan kawah mempunyai ketinggian diatas 1000 m dpl
tersusun oleh aliran lava, kubah lava, dan batuan piriklastik; bentuk morfologi tidak
teratur, bukit - bukit kecil dengan tebing curam dengan kemiringan lereng lebih besar
dari 40 , serta pola aliran yang ada pada satuan morfologi ini adalah pola aliran radial.
Satuan Morfologi Tubuh Gunungapi terletak pada ketinggian antara 600 - 1000 m dpl,
tersusun atas batuan piroklastik aliran, jatuhan dan endapan lahar. Kemiringan lereng
antara (5 - 20), serta pola aliran yang berkembang adalah pola radial - paralel.
Satuan Morfologi Kerucut Samping yang terdiri dari bukit Umbuk (1014 m) di sebelah
barat daya, bukit Pisang (865 m) di sebelah selatan dan bukit Kramasan (944 m)
disebelah tenggara lereng G.Kelud. Satuan ini tersusun oleh aliran lava, piroklastik
aliran dan kubah lava. Satuan morfologi ini mempunyai kemiringan lereng lebih besar
dari 20. Satuan Morfologi Kaki dan Dataran mempunyai ketinggian kurang dari 600 m
dpl, kemiringan lereng kurang dari 5 dan pola alirannya parallel - braided, litologi
penyusunnya terdiri dari endapan lahar dan piroklastik jatuhan.
G. Kelud - Sejarah Letusan

SEJARAH LETUSAN
Sejarah aktivitas G.Kelud yang tercatat sejak tahun 1000 hingga abad 20 tercantum
pada tabel di bawah ini.
Tahun Korban Jiwa Keterangan

1000 ? Erupsi Pusat


1311,1334,1376 Ada Tidak ada catatan yang rinci
1385,1395,1411 ? Tidak ada catatan yang rinci
1145,1462, 1481 ? Tidak ada catatan yang rinci
1548 ? Tidak ada catatan yang rinci
1586 10.000 Tidak ada catatan yang rinci
1641 ? Tidak ada catatan yang rinci
1716, 20 Juli Ada Tidak ada catatan yang rinci
1752, 1 Mei Tidak ada -
1771, 10 Januari Tidak ada -
1776 ? Tidak ada catatan yang rinci
1785 ? Tidak ada catatan yang rinci
1811, 5 Juni ? Tidak ada catatan yang rinci
1825 - -
1826, 11-14-
- -
18-25 Oktober
1835 - -
1848, 16 Mei - -
1851, 24 Januari - Tidak ada catatan yang rinci
1864, 3-4 Januari - Tidak ada catatan yang rinci
Letusan G. Kelud terjadi pada
tengah malam antara tanggal 22
dan 23 Mei 1901. Letusan pertama
terjadi sekitar pukul 00.00 - 01.00.
Selama dua jam aktivitas erupsi
semakin meningkat dan pada pukul
03.00 letusan utama terjadi. Asap
letusan pekat membumbung dari
kawah Kelud, kemudian hujan
lapilli mulai terjadi di sekitar
Kelud. Segera setelah lapilli jatuh,
diikuti dengan debu basah dan
lumpur. Kejadian selanjutnya
berupa hujan abu panas. Di Kediri
abu panas mulai turun sekitar pukul
03.30 dan bau belerang tercium di
segala tempat. Letusan terdengar
sampai jarak jauh bahkan sampai di
1901, 22-23 Mei ada Pekalongan. Distribusi hujan abu
sampai mencapai Sukabumi dan
Bogor. Letusan Mei 1901 ini
terjadi setelah selang waktu sekitar
37 tahun masa tenang yaitu sejak
letusan tahun 1864. Letusan ini
terjadi masih berada di dalam
kawah Kelud dan tidak
mengakibatkan hancurnya dinding
kawah. Informasi yang diperoleh
menjelang letusan bahwa sekitar 12
hari sebelum letusan terlihat air
danau kawah Kelud mendidih.
Zona pendidihan tersebut
membentuk lingkaran besar di
permukaan danau kawah. Pada saat
letusan sebagian air danau kawah
terlemparkan. Diperkirakan volume
air danau kawah sekitar 38 juta m3
sebelum letusan. Material padat
yang dilemparkan selama letusan
kira- kira 200 juta m3. Korban jiwa
cukup banyak namun informasi
tentang jumlahnya tidak jelas. Pada
tanggal 11 Juli 1907 dilakukan
penggalian di lereng barat untuk
mengurangi volume air danau
kawah, namun hanya berkurang
setinggi 7,4 meter atau
pengurangan volume sebesar 4,3
juta m3. Produk letusan 120 juta
m3
Letusan tahun 1919 merupakan
bencana terbesar yang dihasilkan
oleh aktivitas G. Kelud pada abad
ke 20. Letusan terjadi pada tengah
malam antara tanggal 19 dan 20
Mei 1919 yang ditandai dengan
suara dentuman amat keras bahkan
terdengar sampai di Kalimantan.
Sekitar pukul 01.15, terdengar
suara gemuruh yang sangat keras
dari arah G. Kelud . Diperkirakan
pada saat itulah terjadi letusan
utama. Beberapa saat kemudian
1919, 20 Mei 5160 hujan abu mulai turun. Selain hujan
abu, di daerah perkebunan di lereng
Kelud terjadi hujan batu dan
kerikil. Di Darungan hujan batu
cukup hebat sehingga sebagian
besar atap rumah hancur. Hujan
abu menyebar terbawa angin
terutama ke arah timur. Di Bali
hujan abu terjadi pada tanggal 21
Mei 1919. Dari perhitungan
endapan abu dapat ditaksir bahwa
sekitar 284 juta m3 abu
terlemparkan, jumlah ini setara
dengan sekitar 100 juta m3 batuan
andesit. Secara keseluruhan
diperkirakan 190 juta m3 material
telah keluar dari perut G. Kelud.
Bencana letusan G. Kelud itu
sendiri berasal dari kejadian lahar
panas yang menyertainya. Sebelum
letusan, volume air danau kawah
mencapai 40 juta m3, air sejumlah
itu terlempar keluar kawah pada
saat letusan. Lahar yang terbentuk
merupakan lahar primer yang
terjadi secara langsung oleh air
danau kawah yang tertumpahkan
pada saat letusan. Sekitar pukul
01.30 aliran lahar yang merupakan
campuran dari air panas, lumpur,
pasir, batu- batuan memasuki kota
Blitar menciptakan kehancuran
yang hebat. Kecepatan lahar yang
mengalir di kota Blitar sekitar 18
m/detik atau sekitar 65 km/jam.
Jarak maksimum aliran lahar
primer mencapai 37,5 km (dihitung
dari puncak Kelud). Letusan 1919
ini mengakibatkan 104 desa rusak
berat, kerusakan sawah, tegal,
pekarangan dan perkebunan kopi,
tebu dan ketela mencapai 20.200
dan korban binatang sebanyak
1571 ekor. Bencana letusan 1919
memberikan pelajaran bagi
pemerintah saat itu untuk
mengurangi volume air yang ada di
danau kawah. Dari pengamatan
yang dilakukan antara tahun 1901
sampai 1905, diperkirakan air yang
masuk ke danau kawah mencapai
rata - rata 6,5 juta m3 per tahun.
Air hujan yang masuk ke kawah
akan membentuk danau lagi, maka
air tersebut harus dikeluarkan
sehingga volume air akan terjaga
pada volume yang tetap kecil.
Mulai tahun 1920 dibangun
terowongan pembuangan air
dengan panjang sekitar 980 meter
dan garis tengah 2 meter.
Terowongan tersebut di buat mulai
dari kawah menuju barat untuk
mengalirkan air danau kawah ke K.
Badak, namun demikian
kecelakaan yang disebabkan oleh
runtuhnya dinding kawah
menyebabkan pekerjaan pembuatan
terowongan dihentikan pada tahun
1923. Pekerjaan kontruksi
terowongan akhirnya selesai tahun
1924. Dengan adanya terowongan
tersebut, ketinggian air dapat
dikurangi sebesar 134,5 m dengan
volume tersisa hanya sebesar 1,8
juta m3.
1920 - -
Dua kali gempa terasa terjadi
sekitar 3 minggu sebelum letusan.
Letusan terjadi pada tanggal 31
Agustus 1951. Pukul 06.15 terlihat
asap tebal berwarna putih keluar
dari puncak Kelud. Makin lama
1951 7 makin besar dan disertai dengan
suara gemuruh. Beberapa saat
kemudian, sekitar pukul 06.30,
terdengar suara letusan. Sesaat
terlihat asap tebal kehitaman
membumbung dari kawah Kelud
condong ke selatan. Sekitar 4 suara
dentuman terdengar dari Wlingi.
Tiga puluh menit kemudian di
Margomulyo terjadi hujan batu
sebesar buah mangga dan abu.
Pandangan mata hanya dapat
mencapai 3 - 4 meter. Informasi
dari Candisewu menyebutkan hujan
batu yang berlangsung sekitar 1
jam, disamping itu juga terasa
gempa sebanyak 2 kali. Abu
tercatat turun sampai di Bandung.
Pengamatan menyebutkan bahwa
pada saat letusan terjadi angin
kencang ke arah barat.
Diperkirakan sekitar 200 juta m3
material dilontarkan selama
letusan. Setelah dibangun
terowongan maka volume air danau
kawah sebelum letusan sekitar 1,8
juta m3. Pada saat letusan, air
tersebut sebagian besar diuapkan
dan tidak mengalir sebagai lahar
panas. Lahar hanya mencapai jarak
maksimal sekitar 12 km. Korban
letusan sebanyak 7 orang
meninggal, tiga diantaranya adalah
pegawai Dinas Vulkanologi yang
bertugas yaitu Suwarna Atmadja,
Diman dan Napan. Sedangkan yang
luka-luka sebanyak 157 orang.
Sekitar 320 hektar areal
perkebunan dan kehutanan rusak.
Gejala menjelang letusan telah
diamati sebelumnya yaitu suhu air
kawah naik dari sekitar 28 C pada
bulan Pebruari 1951 menjadi
sekitar 40,8 C pada bulan Agustus
1951. Kenaikan suhu air tersebut
berlangsung dalam dua tahap
secara perlahan dari bulan Pebruari
ke pertengahan Agustus (dari 28 C
menjadi 38,5 C) namun terjadi
kenaikan suhu air yang cepat mulai
tanggal 19 Agustus 1951 dan
mencapai 40,8 C pada tanggal 24
Agustus, sekitar seminggu sebelum
letusan. Pada keadaan suhu
maksimal tersebut warna air danau
mulai berubah dari hijau tua ke
hijau muda kekuningan.
Gelembung dan bualan bertambah
banyak dan semakin melebar.
Penurunan suhu air tercatat pada
tanggal 26 Agustus. Diperkirakan,
karena tidak ada data sesudahnya
sampai kejadian letusan terjadi
penurunan secara pelan-pelan sejak
tanggal 25 Agustus.
Sesudah letusan tahun 1951, dasar
kawah baru lebih rendah 79 meter
dari pada dasar kawah sebelumnya.
Penurunan dasar kawah ini
menyebabkan volume air danau
mencapai sekitar 21,6 juta m3
sebelum letusan 1966. Volume ini
jauh lebih besar dari volume air
sebelum letusan 1951 yang hanya
1,8 juta meter 3. Letusan terjadi
1966 210 pada tanggal 26 April 1966 pukul
20.15 yang menyebabkan
terjadinya lahar pada alur K.Badak,
K.Putih, K.Ngobo, K.Konto, dan
K.Semut. Korban manusia
berjumlah 210 orang di daerah
Jatilengger dan Atas Kedawung.
Letusan ini menghasilkan tephra
sekitar 90 juta meter 3. Seismograf
yang berada di Pos Margomulyo
mencatat gempa pada 15 menit
menjelang letusan. Warna air danau
menjelang letusan juga berubah,
dimana sebulan sebelum letusan air
yang semula berwarna hijau tua
berubah menjadi hijau kekuningan
dan perubahan tersebut merata di
seluruh permukaan kawah. Dua
hari menjelang letusan teramati
bahwa warna air berubah kembali
seperti semula. Perkembangan
perubahan suhu air kawah tidak
teramati demikian pula tumbuhan
di sekitar mulut kawah tetap segar
saat menjelang letusan.
Peningkatan Kegiatan
1984 -
(kegempaan). Tidak terjadi erupsi
Letusan terjadi pada tanggal 10
Pebruari 1990, Volume air danau
yang hannya sekitar 1,8 juta m3
merupakan faktor yang membuat
tidak terjadinya lahar panas pada
letusan kali ini. Sebagaimana pada
letusan 1951 volume air yang kecil
tersebut teruapkan ketika terjadi
letusan. Letusan terjadi secara
beruntun mulai pukul 11.41 sampai
1990 34 12.21 WIB. Tahap awal dari
letusan merupakan fase
freatomagmatik yang
mengakibatkan sebaran abu tipis di
sekitar puncak, sedangkan letusan
berikutnya lebih besar dengan
lemparan pasir, lapilli, dan batu
yang tersebar pada radius 3,5 km 2
. Jarak jangkau 1,5 km ke arah
timur dan sekitar 5 km ke arah
barat, barat laut dan barat daya.
Letusan utamanya berupa letusan
plinian dengan awanpanas
menyusuri lembah di baratdaya
sejauh 5 km dari kawah. Letusan
tersebut berintensitas sedang
dengan tephra sekitar 130 juta
meter 3. Daerah yang rusak tidak
terlalu luas, hanya dalam jangkauan
radius sekitar 2 km dari kawah,
namun demikian sebaran abu
letusan jauh lebih luas dan
diperkirakan mencapai luasan
sekitar 1700 km 2. Kerusan rumah
penduduk dan fasilitas publik pada
umumnya disebabkan oleh hujan
abu tersebut. Sekitar 500 rumah
dan 50 gedung sekolah rusak,
kerusakan terjadi dalam isopach 10
cm yaitu pada jarak maksimum
sekitar 15 km dari puncak, korban
manusia tercatat 32 orang. Gejala
menjelang letusan teramati pada
bulan November 1989 yaitu adanya
peningkatan suhu air danau kawah
dari sekitar 31 - 34 C menjadi
sekitar 35 C. Suhu permukaan air
danau kawah ini secara rata- rata
mengalami peningkatan terus
sampai saat terjadinya letusan,
bahkan sampai sekitar 41 C
menjelang letusan. Warna air danau
kawah berubah dari hijau muda
jernih menjadi hijau muda agak
putih. Tingkat keasamaan air danau
meningkat dari pH sekitar 5,5 - 6
pada bulan Oktober 1989 berangsur
semakin asam sampai mencapai pH
4,2 pada bulan Januari 1990.
Peningkatan aktivitas kegempaan
mulai terlihat pada tanggal 9
November 1989, yang ditandai
dengan kenaikan jumlah Gempa
Vulkanik yang biasanya kurang
dari satu kejadian perhari menjadi 9
kejadian Gempa Vulkanik perhari
pada tanggal 9 November 1989.
Kemudian pada tanggal 20
November 1989 gempa vulkanik
bahkan tercatat sebanyak 40 kali.
Jumlah gempa harian kemudian
mengalami penurunan dari tanggal
22 November sampai minggu
pertama Januari 1990. Rata- rata
penurunan tersebut terjadi dari
sekitar 12 gempa per hari pada
sekitar tanggal 27 November 1989
sampai sekitar 1-2 gempa per hari
pada awal Januari. Penurunan
kejadian gempa ini diakhiri dengan
munculnya tremor antara tanggal 3
- 9 Januari 1990. Kejadian tremor
ini yang mengakhiri kecenderungan
penurunan dan juga menjadi awal
peningkatan secara mencolok
aktivitas kegempaannya. Dari
tanggal 14 januari sampai 21
januari merupakan episode dimana
aktivitas gempa vulkanik cukup
intensif. Tanggal 22 Januari sampai
8 Februari merupakan periode
tenang. Gempa vulkanik tidak lebih
dari 5 gempa per hari. Pada periode
ini terjadi peningkatan derau
akustik di dalam danau kawah.
Intensitas derau meningkat sekitar
4 kali lipat dari rata - rata ambang
sebelumnya. Kejadian letusan
diawali dengan munculnya swarm
gempa vulkanik pada tanggal 9
Februari pada pukul 12.17 wib.
Secara cepat gempa meningkat dan
pada tanggal 10 Februari muncul
tremor vulkanik pada pukul 09.32
dengan amplituda yang semakin
membesar dan berlanjut pada
kejadian letusan.
Tanggal 10 September 2007, pukul
19.00-24.00 WIB tercatat Gempa
Vulkanik Dalam (VA) 15 kali
kejadian dengan pusat gempa
berada pada kedalaman 0,5 - 5 km.
Tanggal 11 September 2007, pukul
00.00-12.00 WIB tercatat Gempa
Vulkanik Dalam (VA) 1 (satu) kali,
Low frequensi 1 (satu) kali, Gempa
Tremor 1 (satu) kali dengan
amplituda maksimum 1 - 5 mm.
Pada tanggal 11 September 2007 ;
pukul 23:00 status G. Kelud
dinaikan dari Normal ke Waspada.
Aktivitas kegempaan yang terus
2007 - meningkat, data deformasi EDM
dan Tiltmeter menunjukkan inflasi
dan data kimia juga menunjukkan
adanya kenaikan suhu danau kawah
yang signifikan (Rosadi dkk,
2007), maka pada tanggal 29
September 2007 status aktivitas
dinaikkan menjadi Siaga (Level
III). Tanggal 16 Oktober 2007,
pukul 10:00 WIB hingga 17:00
WIB terekam 306 kejadian gempa
Vulkanik Dangkal (VB) yang
merupakan proses terjadinya
rekahan batuan secara progresif
oleh fluida (magma, gas atau uap)
menuju permukaan, maka pada
tanggal 16 Oktober 2007 status
dinaikkan menjadi Awas (Level
IV), ketika terekam sekitar 500
gempa Vulkanik Dangkal (VB).
Setelah peningkatan aktivitas yang
cukup signifikan pada tanggal 16
Oktober 2007, aktivitas kegempaan
G. Kelud cenderung menurun.
Tanggal 24 Oktober 2007 kembali
terekam gempa Vulkanik Dalam
(VA) dan Vulkanik Dangkal (VB)
dalam jumlah yang signifikan.
Keadaan ini berlangsung sampai
tanggal 31 Oktober 2007. Puncak
krisis terjadi pada tanggal 3
Nopember 2007, Keesokan
harinya, pada tanggal 4 Nopember
2007, teramati munculnya kubah
lava di tengah danau kawah, yang
menandakan fase letusan G. Kelud
telah terjadi dan bersifat efusif.
Sifat letusan efusif ini berbeda
dengan karakter letusan
sebelumnya, pada tahun 1901,
1919, 1951, 1966 dan 1990 yang
bersifat eksplosif.
Selang waktu letusan G. Kelud setelah abad 20.

Karakter letusan
Ada tiga macam ciri letusan yaitu :
1. Letusan semi magmatik merupakan letusan freatik yang terjadi akibat penguapan air
danau kawah yang merembes melalui rekahan pada dasar kawah yang secara serentak
kemudian dihembuskan ke atas permukaan. Jenis letusan ini umumnya mengawali
aktivitas gunung Kelud terutama memicu terjadinya letusan magmatik.
2. Letusan magmatik merupakan letusan yang menghasilkan rempah- rempah
gunungapi baru berupa lava, jatuhan piroklastik, dan aliran piroklastik. Letusan
magmatik yang terjadi umumnya bersifat eksplosif yang dipengaruhi penambahan
kandungan gas vulkanik disertai meningkatnya energi letusan terutama energi panas.
3. Erupsi efusif, magma mengalir ke permukaan, dapat membentuk kubah lava atau
mengalir ke lereng
Letusan G. Kelud Februari 1990
Danau kawah G. Kelud sebelum muncul kubah lava (kiri atas) dan sesudah ada kubah
lava (kanan atas) diambil dari kamera CCTV. Kawah G.Kelud setelah terisi kubah
lava (kiri bawah) dan air danau kawah yang masih tersisa (kanan bawah).
G. Kelud - Kawasan Rawan Bencana Gunungapi

KAWASAN RAWAN BENCANA GUNUNGAPI

Berdasarkan potensi bahaya yang mungkin terjadi, Peta Kawasan Rawan Bencana G.
Kelud dapat dibagi menjadi tiga tingkat kerawanan, yakni: Kawasan Rawan Bencana-
III (KRB-III), Kawasan Rawan Bencana-II (KRB-II), dan Kawasan Rawan Bencana-I
(KRB-I).

Kawasan Rawan Bencana-III (KRB-III)

Kawasan Rawan Bencana-III (KRB-III), adalah kawasan yang selalu terlanda lahar
letusan, awan panas, bahan lontaran batu pijar, gas beracun, dan kemungkinan aliran
lava. Perluasan awan panas kemungkinan dapat terjadi apabila letusan di masa
mendatang lebih besar dari letusan 1990 atau terjadi percampuran magma (magma
mixing) sehingga terjadi letusan hebat yang banyak merubah morfologi G. Kelud
secara drastis. KRB-III ini meliputi areal seluas 14, 36 km2 (1.436 ha).

Kawasan Rawan Bencana Terhadap Aliran Massa

Daerah yang kemungkinan besar berpotensi terlanda oleh produk erupsi akan datang,
adalah lereng atas bagian barat dan baratdaya dengan jarak tidak lebih dari 5 km dari
pusat letusan. Sebaliknya sebaran ke arah lain dikontrol oleh adanya morfologi di
sekitar puncak, seperti G. Gajahmungkur (+1455 m), G. Kelud (+1731 m), dan G.
Umbuk (+1014 m).

Kawasan Rawan Bencana Terhadap Bahan Lontaran Batu (pijar)

Berdasarkan letusan terdahulu, bahan lontaran produk G. Kelud mencapai 2 km untuk


berukuran bom vulkanik, dan berjarak hingga 10 km dari pusat letusan untuk fragmen
batuan berukuran kurang dari 2 cm. Daerah yang sering terlanda lontaran batu (pijar)
adalah sektor barat.
Kawasan Rawan Bencana-II (KRB-II)

Kawasan Rawan Bencana-II (KRB-II), adalah kawasan yang berpotensi terlanda awan
panas, lahar letusan, aliran lava, lontaran batu (pijar) dan hujan abu lebat. Kawasan ini
dibedakan menjadi dua bagian, yaitu:

a. Kawasan rawan bencana terhadap aliran massa berupa awan panas, aliran lava dan
lahar letusan.

b. Kawasan rawan bencana terhadap bahan lontaran dan jatuhan seperti lontaran batu
(pijar), hujan abu lebat.

Perluasan awan panas kemungkinan dapat terjadi apabila letusan di masa datang lebih
besar dari letusan 1990 atau terjadi percampuran magma (magma mixing) sehingga
terjadi letusan hebat yang banyak merubah keadaan morfologi G. Kelud secara drastis.
Luas Kawasan Rawan Bencana-II (KRB-II) ini diprediksi mencakup areal seluas 91,8
km2 (9.180 ha).

Kawasan Rawan Bencana Terhadap Aliran Massa

Data geologi dan sejarah kegiatan masa lalu menunjukkan, bahwa produk letusan G.
Kelud banyak didominasi oleh aliran piroklastik (awan panas) dan lahar panas (lahar
letusan), bahkan hingga letusan magmatik terakhir (1990) masih didominasi aliran
piroklastik (awan panas) dan jatuhan piroklastik yang terutama menghancurkan dan
menutup lereng barat dan baratdaya G. Kelud. Sementara lahar hujan dialirkan melalui
K. Bladak (sungai besar yang mengalir ke arah baratdaya).

Kawasan Rawan Bencana Terhadap Bahan Lontaran dan Hujan Abu Lebat

Material lontaran adalah semua jenis bahan letusan yang dilontarkan ke semua arah
pada saat terjadi letusan berupa bom vulkanik (kerak roti) yang berasal dari magma
dan pecahan batuan tua (fragmen litik). Bahan lontaran ini tidak terpengaruh oleh arah
tiupan angin saat terjadi letusan, karena berukuran besar.
Berdasarkan data geologi, morfologi dan pengamatan di lapangan, daerah-daerah yang
diperkirakan dapat terkena material lontaran (bom gunungapi, pecahan lava), hujan
lumpur (panas) dan fragmen batuan lainnya serta hujan abu lebat diperkirakan meliputi
kawasan hingga radius 5 km dari pusat erupsi.

Berdasarkan letusan terdahulu, bahan lontaran produk G. Kelud umumnya mencapai 5


km untuk ukuran >2 cm hingga ukuran bom vulkanik, dan berjarak hingga 10 km dari
pusat letusan untuk fragmen batuan berukuran kurang dari 2 cm. Hujan abu lebat adalah
material letusan berbutir kecil (pasir hingga abu) yang dilontarkan secara vertikal ke
atas lalu jatuh kembali ke tanah, sedangkan yang berbutir lebih halus umumnya
terbawa angin lebih jauh sesuai dengan arah tiupan angin pada saat letusan.

Kawasan Rawan Bencana-I (KRB-I)

Kawasan Rawan Bencana-I (KRB-I) adalah kawasan yang berpotensi terlanda lahar
dan kemungkinan terkena penyimpangan aliran lahar. Apabila letusannya membesar,
maka kawasan ini berpotensi tertimpa bahan jatuhan piroklastik berupa hujan abu dan
lontaran batu (pijar). Kawasan Rawan Bencana-I (KRB-I) ini dibedakan menjadi dua
bagian, terdiri dari:

a. Kawasan rawan bencana terhadap aliran massa berupa lahar, dan kemungkinan
penyimpangan aliran lahar, terletak di sepanjang sungai/di dekat lembah sungai atau di
bagian hilir sungai yang berhulu di daerah puncak.

b. Kawasan rawan bencana terhadap jatuhan piroklastik/lontaran berupa hujan abu


tanpa memperhatikan arah tiupan angin (saat terjadi letusan), dan kemungkinan terkena
lontaran batu (pijar).

Kawasan Rawan Bencana-I ini diberi warna kuning, meliputi areal seluas 351 km2
(35.100 ha). Apabila saat terjadi letusan/kegiatan gunungapi disertai dengan turun
hujan lebat, maka masyarakat yang bertempat tinggal di dalam Kawasan Rawan
Bencana-I (KRB-I) perlu meningkatkan kewaspadaan.
Kawasan Rawan Bencana Terhadap Aliran Massa

Daerah yang perlu waspada terhadap lahar umumnya terletak di dekat lembah atau
bagian hilir sungai, sedangkan perluasannya sering terjadi terutama pada kelokan-
kelokan sungai yang bertebing rendah. Kawasan rawan bencana terhadap aliran massa
berupa lahar, dan kemungkinan penyimpangan aliran lahar (apabila terjadi letusan yang
lebih besar dari 1990).

Lahar/banjir yang mungkin terjadi di lereng dan kaki selatan akan melalui sungai K.
Putih, K. Semut, dan K. Lekso. Unit-unit pemukiman yang berpotensi terlanda lahar di
alur K. Putih, di antaranya adalah Kp. Leling, Purwosari, Sumberharjo, Mungklung,
Tawang 1, Jeblog 1, Sonogunting, dan sebagian Kp. Kali Putih. Sedangkan di alur K.
Semut, di antaranya adalah Kp. Lading 1, Babadan, Bogoangin, Kromasan 2, dan
sebagian Kp. Sragi. Penyimpangan aliran lahar kemungkinan dapat melanda kawasan
hulu dan cabang-cabang K. Semut, K. Soso, K. Icir, dan K. Putih. Sungai yang
berpotensi dilalui lahar/banjir di lereng dan kaki selatan-baratdaya adalah K. Abab dan
K. Jari. Pemukiman yang berpotensi dilanda lahar di kawasan ini adalah Kp.
Karangrejo, Babadan, Tawangsari, Jurangmenjeng, Garum, Diren, Combong Gajah,
Kuningan, dan sebagian Kp. Gaprang Dua. Penyimpangan aliran lahar kemungkinan
dapat terjadi di daerah hulu dan lembah K. Abab dan K. Jari.

Sungai yang berpotensi dilalui lahar/banjir di lereng dan kaki baratdaya adalah K.
Lahargedog, K. Bladak, dan K. Kajar. Kawasan yang berpotensi terlanda
penyimpangan aliran laharr adalah di hulu K. Bladak.

Sungai yang berpotensi dilalui lahar/banjir di barat adalah K. Petungkobong, sementara


unit pemukiman yang mungkin terlanda lahar/banjir adalah Kp.Sumberurip,
Sumberejo, Sindurejo, Lumpang, Kutukan, Japan, Jabalan, Larangan, Singosari, dan
sebagian Kp. Kandat. Penyimpangan aliran lahar dapat terjadi dari K. Bladak ke K.
Gedok dan K. Petung kobong. Sungai yang berpotensi dilalui lahar/banjir di lereng
baratlaut adalah K. Sumberagung, K. Toyoaning, K. Dermo, dan K. Puncu/K. Krinjing.
Unit pemukiman yang mungkin terlanda lahar/banjir adalah Kp. Sagi, Lorejo,
Brenggolo, Bangkok, Besuk, Wonosari, Bulupasar, sebagian Kp. Kranggan (melalui
aliran K.Sumberagung); Kp. Sidomukti, Karangkletak, Nambakan, Rejosari, sebagian
Kp.Tawangsari (melalui aliran K. Toyoaning); Kp. Listrikan, Karangnongko kidul,
Dawuhan, Bolorejo, Wanoksian, Sitimerto, Semanding, dan sebagian Kp. Cangkring
(melalui aliran K. Dermo); Kp. Lestari, Gadungan, Gedangsewu, Duluran, Talun,
Gondosari, dan sebagian Kp. Mojoduwur (melalui aliran K. Puncu/K. Krinjing).
Penyimpangan aliran lahar kemungkin bisa terjadi di sekitar hulu K. Ngobo, dan K.
Puncu/K. Krinjing.

Sungai yang berpotensi dilalui lahar/banjir di lereng utara adalah K. Konto dengan
sejumlah unit pemukiman, di antaranya adalah Kp. Sukorejo, Ngalik, Damarwulan,
Pandeyan, Sambong, Besuk, dan sebagian Kp. Blereng. Penyimpangan aliran lahar
kemungkin bisa terjadi di sekitar hulu K. Konto.

Kawasan Rawan Bencana Terhadap Bahan Lontaran

Berdasarkan letusan 1990 menunjukan bahwa, bom volkanik dan bahan lontaran batu
(pijar) lain bediameter >2 cm dapat mencapai jarak 5 km dari kawah pusat, dan bahan
lontaran berdiameter lebih kecil dari 2 cm bisa mencapai jarak lebih dari 10 km dari
kawah pusat, sedangkan jatuhan abu letusan bisa mencapai jarak yang lebih jauh lagi.

Apabila terjadi letusan kembali di kawah pusat G. Kelud (setelah beristirahat 14 tahun),
maka skala letusannya bisa kecil, menengah atau besar. Besar/kecilnya skala letusan di
masa mendatang, akan sangat bergantung kepada besar/kecilnya akumulasi energi
yang dikumpulkan selama G. Kelud beristirahat. Untuk mengantisipasi hal tersebut
maka sebaran bahan lontaran (berbutir lebih besar dari 2 cm) dibatasi pada radius 5 km
dari pusat letusan, sedangkan untuk butir lebih halus (lebih kecil dari 2 cm) berupa
pasir halus dan abu diperkirakan dapat mencapai jarak hingga 10 km dari pusat erupsi.
Radius sebaran bahan lontaran bisa saja lebih besar lagi manakala skala erupsi G. Kelud
lebih besar dari skala letusan 1990.
Peta Kawasan Rawan Bencana G. Kelud
G. Kelud - Mitigasi Bencana Gunungapi

MITIGASI BENCANA GUNUNGAPI

Untuk mengantisipasi sekecil mungkin dampak negatif yang ditimbulkan oleh letusan
G.Kelud, maka telah dilakukan usaha penanggulangan bahaya baik sebelum, selama
berlangsung dan sesudah letusan. Kegiatan usaha penanggulangan bahaya sebelum
kejadian letusan antara lain adalah : pemantauan aktivitas gunung secara menerus dan
terpadu baik secara visual ataupun non visual dengan bermacam- macam metoda
geofisika .

Visual

Pemantauan sehari-hari G.Kelud dipusatkan di Pos Pengamatan Margomulyo, meliputi


pemantauan visual dari warna, ketebalan dan tinggi asap solfatara dan cuaca di sekitar
puncak. Disamping itu pula dilakukan pengamatan langsung ke kawah meliputi
pengukuran suhu air dan pengamatan perubahan warna air G. Kelud serta pengamatan
pergeseran gelembung-gelembung gas yang muncul yang dapat diamati pada
permukaan air kawah. Selain secara visual pemantauan G. Kelud juga dilakukan
dengan metoda seismisitas atau kegempaan.

Seismik

Pemantauan kegempaan G. Kelud dimulai sejak dibangunnya Pos Pengamatan


permanen akhir tahun 1925, dengan dipasangnya sebuah seismograf Wiechert
komponen vertikal. Pada tahun 1987 mulai diperkenalkan seismograf Kinemetics PS-
2 dengan sistem telemetri radio. Sejak April 2007 telah dipasang tiga stasion tambahan.
Sehingga dengan adanya 4 empat stasion seismometer
Sistem Posisi Posisi Ketinggian
Stasion
Pemantauan Geografi Geografi (meter)

Bujur Lintang
Timur Selatan

112º 18' 7º 56'


Kelud Digital 1444
37,03" 36,05"

112º 17' 7º 56'


Sumbing Digital 1268
55,06" 41,07"

112º 17' 7º 56'


Lirang Digital 1288
58,80" 00,46"

Digital dan 112º 18' 7º 56'


Kawah 1349
Analog 13,09" 32,08"
112º15' 7º 56'
Umbuk Digital 763
23,05" 35,04"

Stasion Seismik G. Kelud dan Lokasi seismometer untuk pemantauan G. Kelud


Daftar Pustaka

A.Djumarma, Some studies of volcanology,petrology and structure of Mt.Kelud,

east Java,Indonesia,thesis,1991.

G.Kelud, Buletin berkala Vulkanologi, Dit Vulkanologi,1985

Penyelidikan Vulkanologi G.Kelud, BPPTK, Dit Vulkanologi,2000.

Buku Kelud Seri Letusan 2007, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi,
2007.

Mulyana A.R., dkk, 2003. Peta Kawasan Rawan Bencana Gunungapi Kelud.

Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi.

Rosadi. U., dkk, 2007. Laporan Tanggap Darurat Letusan G. Kelud.

Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, 2007.

Anda mungkin juga menyukai