PENDAHULUAN
Kasus gawat darurat obstetri adalah kasus obstetri yang apabila tidak
segera ditangani akan berakibat kematian ibu dan janinnya. Kasus ini menjadi
penyebab utama kematian ibu janin dan bayi baru lahir. (Saifuddin, 2002)
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Kegawat daruratan adalah kejadian yang tidak diduga atau terjadi
secara tiba-tiba, seringkali merupakan kejadian yang berbahaya(Dorlan,2011).
Kegawatdaruratan dapat juga didefinisikan sebagai situasi serius dan kadang
kala berbahaya yang terjadi secara tiba-tiba dan tidak terduga dan
membutuhkan tindakan segera guna menyelamatkan jiwa/nyawa (Campbell,
2000).Sedangkan kegawatdaruratan obstetri adalah kondisi kesehatan yang
mengancam jiwa yang terjadi dalam kehamilan atau selama dan sesudah
persalinan dan kelahiran. Terdapat sekian banyak penyakit dan gangguan
dalam kehamilan yang mengancam keselamatan ibu dan bayinya
(Chamberlain, Geoffrey, & Phillip Steer, 1999). Kasus gawatdarurat obstetri
adalah kasus obstetri yang apabila tidak segera ditangani akan berakibat
kematian ibu dan janinnya. Kasus ini menjadi penyebab utama kematian
ibu janin dan bayi baru lahir (Saifuddin, 2002). Masalah kedaruratan selama
kehamilan dapat disebabkan oleh komplikasi kehamilan spesifik atau penyakit
medis atau bedah yang timbul secara bersamaan.
2
Solusio plasenta
Istilah lain dari solusio plasenta adalah ablatio plasentae, abruptio
plasentae, accidental haemorraghe, dan premature separation of the
normally implanted placenta.
Solusio plasenta adalah suatu keadaan dimana plasenta yang letaknya
normal namun terlepas dari perlekatannya sebelum janin lahir. Biasanya
dihitung sejak kehamilan 28 minggu ( Mochtar, 1998 ).
3
Ruptura sinus marginalis
Ruptura sinus marginalis (solusio plasenta ringan) adalah terlepasnya
sebagiankecil plasenta yang tidak berdarah banyak, sama sekali tidak
mempengaruhi keadaan ibu ataupun janinnya.
Plasenta sirkumvalata
Plasenta sirkumvalata adalah plaseta yang pada permukaan vetalis dekat
pinggir terdapat cincin putih. Cincin ini menandakan pinggir plasenta,
sedangkan jeringan di sebelah luarnya terdiri dari villi yang tumbuh
kesamping dibawah desidua (Ubaidillah, 2010).
4
Perdarahan pada plasenta previa terjadi oleh karena :
5
2.1.4. Gejala Klinis Plasenta Previa
a. Gejala utama plasenta previa adalah perdarahan tanpa sebab, tanpa rasa
nyeri dan biasanya berulang (painless, causeless, recurrent bleeding),
darahnya berwarna merah segar.
b. Bagian terdepan janin tinggi (floating), sering dijumpai kelainan letak
janin.
c. Perdarahan pertama (first bleeding) biasanya tidak banyak dan tidak fatal,
kecuali bila dilakukan periksa dalam sebelumnya, sehingga pasien sempat
dikirim ke rumah sakit. Tetapi perdarahan berikutnya (recurrent bleeding)
biasanya lebih banyak.
d. Janin biasanya masih baik (Ubaidillah, 2010; Mochtar, 1998 ).
b. Pemeriksaan luar
Bagian bawah janin biasanya belum masuk pintu atas panggul presentasi
kepala, biasanya kepala masih terapung di atas pintu atas panggul
mengelak ke samping dan sukar didorong ke dalam pintu atas panggul.
c. Pemeriksaan In Spekulo
Pemeriksaan bertujuan untuk mengetahui apakah perdarahan berasal dari
osteum uteri eksternum atau dari ostium uteri eksternum, adanya plasenta
previa harus dicurigai.
6
e. Diagnosis Plasenta Previa Secara Defenitif
Dilakukan dengan PDMO yaitu melakukan perabaan secara langsung
melalui pembukaan serviks pada perdarahan yang sangat banyak dan pada
ibu dengan anemia berat, tidak dianjurkan melakukan PDMO sebagai
upaya menetukan diagnosis (Ubaidillah, 2010).
f. Pemeriksaan Ultrasonografi
Dengan pemeriksaan ini dapat ditentukan implantasi plasenta atau jarak
tepi plasenta terhadap ostium bila jarak tepi 5 cm disebut plasenta letak
rendah (Ubaidillah, 2010).
7
2.1.6. Diagnosa Banding Plasenta Previa
a. Solusio Plasenta
b. Plasenta Sirkumvalata
2.1.7. Penilaian
A. Pengumpulan data subjektif
1) Riwayat penyakit / keluhan utama saat ini
a) Pendarahan: onset, durasi, jumlah, dan karakter
(1) Placenta previa: tiba-tiba pendarahan vagina merah terang; mungkin
berlimpah
(2) Abruptio placentae: perdarahan vagina merah gelap; jumlah variabel
karena perdarahan dapat disembunyikan
b) Nyeri (lihat Bab 9): perut, panggul, dan / atau punggung
(1) Placenta previa: biasanya tidak ada
(2) Abruptio placentae: intensitas variabel
c) Usia kehamilan (LNMP, EDC)
d) Usia ibu: risiko meningkat dengan usia lanjut
e) Trauma terkini
f) Hubungan seksual baru-baru ini
g) Penurunan / kehilangan gerakan janin
8
B. Pengumpulan data yang objektif
1) Pemeriksaan fisik
a) Penampilan umum
(1) Kemungkinan orthostasis positif
(2) Kesusahan / ketidaknyamanan ringan sampai sedang, mungkin sakit
kritis
b) Auskultasi : FHT
c) Palpasi : Nyeri perut, tonus uterus, kontraksi
d) Pemeriksaan perineum: bukti perdarahan (spekulum atau pemeriksaan
panggul manual dikontraindikasikan pada perdarahan vagina trimester
kedua dan ketiga sampai lokasi plasenta dikonfirmasi oleh sonografi dan
plasenta previa disingkirkan)
2) Prosedur diagnostik
a) CBC dengan diferensial
b) Profil koagulasi: PT, PTT, tingkat fibrinogen, produk pemecahan fibrin
c) Jenis dan crossmatch (setidaknya empat unit dikemas sel darah merah
pada pasien pendarahan)
d) Tes Kleihauer-Betke
e) Kimia serum
f) Sonografi panggul
g) Pemantauan kardiotokografi (pemantauan janin)
9
c. Menetapkan akses IV untuk pemberian cairan / produk darah / obat
kristaloid sesuai kebutuhan
d. Pertahankan pasien dalam posisi dekubitus lateral kiri
e. Mempersiapkan / membantu intervensi medis
1) seksio sesarea darurat
2) Pelahiran darurat melalui vagina dan kemungkinan resusitasi bayi
3) Membantu masuk rumah sakit dan mengangkut ke unit persalinan dan
persalinan bila secara hemodinamik stabil
f. Berikan terapi farmakologis seperti yang diperintahkan : Globulin imun
Rh (RhoGAM atau Rhophylac) untuk semua wanita Rh-negatif
Rencana Penanganan :
10
3. Spasmolitik. tokolitik, plasentotrofik, roboransia.
4. Periksa Hb, HCT, .COT, golongan darah
5. Pemeriksaan USG.
6. Awasi perdarahan terus-menerus, tekanan darah, nadi dan denyut
jantung janin.
7. Apabila ada tanda-tanda plasenta previa tergantung keadaan pasien
ditunggu sampai kehamilan 37 minggu selanjutnya penanganan
secara aktif.
11
c. Partus Per Vaginam
Dilakukan pada plasenta previa marginalis atau lateralis pada multipara
dan anak sudah meninggal atau prematur.
1. Jika pembukaan serviks sudah agak besar (4-5 cm), ketuban dipecah
(amniotomi) jika hid lemah, diberikan oksitosin drips.
2. Bila perdarahan masih terus berlangsung, dilakukan SC.
3. Tindakan versi Braxton-Hicks dengan pemberat untuk menghentikan
perdarahan (kompresi atau tamponade bokong dan kepala janin
terhadap plasenta) hanya dilakukan pada keadaan darurat, anak masih
kecil atau sudah mati, dan tidak ada fasilitas untuk melakukan operasi
(Ubaidillah, 2010).
12
2.1.8. Komplikasi Plasenta Previa
Prolaps tali pusat
Prolaps plasenta
Plasenta melekat, sehingga harus dikeluarkan manual dan kalau perlu
dibersihkan dengan kerokan
Robekan – robekan jalan lahir karena tindakan.
Perdarahan postpartum
Infeksi karena perdarahan yang banyak
Bayi prematur atau lahir mati (Mochtar, 1998).
Retensio plasenta
Retensio plasenta adalah keadaan dimana plasenta belum lahir dalam
waktu 1 – 2 jam setelah bayi lahir (Mochtar, 1998; Aprillia, 2012).
13
2.2.1. Klasifikasi Ruptura Uteri
Korpus Uteri
Biasanya terjadi pada rahim yang sudah pernah mengalami operasi, seperti
seksio sesarea klasik (korporal) atau miomektomi.
Serviks Uteri
Biasanya terjadi pada waktu melakukan ekstraksi forsep atau versi dan
ekstraksi, sedang pembukaan belum lengkap.
Kolpoporeksis-Kolporeksis
Robekan – robekan di antara serviks dan vagina (Mochtar, 1998).
14
Menurut robeknya peritoneum, ruptur uteri dapat dibedakan:
15
2. Ruptur Uteri Violenta (Traumatika), karena tindakan dan trauma lain seperti :
Ekstraksi Forsep
Versi dan ekstraksi
Embriotomi
Versi Braxton Hicks
Sindroma tolakan (Pushing syndrome)
Manual plasenta
Kuretase
Ekspresi Kristeller atau Crede
Pemberian Pitosin tanpa indikasi dan pengawasan
Trauma tumpul dan tajam dari luar.
Pada umumnya uterus dibagi atas dua bagian besar: Korpus uteri dan
servik uteri. Batas keduanya disebut ismus uteri (2-3 cm) pada rahim yang tidak
hamil. Bila kehamilan sudah kira-kira ± 20 minggu, dimana ukuran janin sudah
lebih besar dari ukuran kavum uteri, maka mulailah terbentuk SBR ismus ini
(Mochtar, 1998).
Batas antara korpus yang kontraktil dan SBR yang pasif disebut lingkaran
dariBandl. Lingkaran Bandl ini dianggap fisiologik bila terdapat pada 2-3 jari
diatas simfisis, bila meninggi maka kita harus waspada terhadap kemungkinan
adanya ruptur uteri mengancam. Ruptur uteri terutama disebabkan oleh
peregangan yang luar biasa dari uterus. Sedangkan kalau uterus telah cacat,
mudah dimengerti karena adanya lokus minoris resistens (Mochtar, 1998).
16
Rumus mekanisme terjadinya ruptur uteri:
R=H+O
Dimana : R = Ruptur
O = Obstruksi (halangan)
Pada waktu in-partu, korpus uteri mengadakan kontraksi sedang SBR tetap
pasif dan cervix menjadi lunak (effacement dan pembukaan). Bila oleh sesuatu
sebab partus tidak dapat maju (obstruksi), sedang korpus uteri berkontraksi terus
dengan hebatnya (his kuat), maka SBR yang pasif ini akan tertarik ke atas menjadi
bertambah regang dan tipis. Lingkaran Bandl ikut meninggi, sehingga suatu waktu
terjadilah robekan pada SBR tadi. Dalam hal terjadinya ruptur uteri jangan
dilupakan peranan dari anchoring apparatus untuk memfiksir uterus yaitu
ligamentum rotunda, ligamentum latum, ligamentum sacrouterina dan jaringan
parametra (Mochtar, 1998).
Terlebih dahulu dan yang terpenting adalah mengenal betul gejala dari
ruptura uteri mengancam (threatened uterine rupture) sebab dalam hal ini kita
dapat bertindak secepatnya supaya tidak terjadi ruptur uteri yang sebenarnya.
17
Pernafasan dan denyut nadi lebih cepat dari biasa (Mochtar, 1998).
His lebih lama, lebih kuat dan lebih sering bahkan terus-menerus.
Ligamentum rotundum teraba seperti kawat listrik yang tegang, tebal dan
keras terutama sebelah kiri atau keduanya.
Pada waktu datang his, korpus uteri teraba keras (hipertonik) sedangkan
SBR teraba tipis dan nyeri kalau ditekan.
Perasaan sering mau kencing karena kandung kemih juga tertarik dan
teregang ke atas, terjadi robekan-robekan kecil pada kandung kemih, maka
pada kateterisasi ada hematuri.
Bila ruptur uteri yang mengancam dibiarkan terus, maka suatu saat akan terjadilah
ruptur uteri sebenarnya.
18
1. Anamnesis dan Inspeksi
Pada suatu his yang kuat sekali, pasien merasa kesakitan yang luar biasa,
menjerit seolah-olah perutnya sedang dirobek kemudian jadi gelisah, takut,
pucat, keluar keringat dingin sampai kolaps.
Syok, nadi kecil dan cepat, tekanan darah turun bahkan tidak terukur.
2. Palpasi
Bila kepala janin belum turun, akan mudah dilepaskan dari pintu atas
panggul.
Bila janin sudah keluar dari kavum uteri, jadi berada di rongga perut, maka
teraba bagian-bagian janin langsung dibawah kulit perut dan disampingnya
kadang-kadang teraba uterus sebagai suatu bola keras sebesar kelapa.
19
Nyeri tekan pada perut, terutama pada tempat yang robek.
3. Auskultasi
Biasanya denyut jantung janin sulit atau tidak terdengar lagi beberapa
menit setelah ruptur, apalagi kalau plasenta juga ikut terlepas dan masuk
ke rongga perut (Mochtar, 1998).
4. Pemeriksaan Dalam
Kepala janin yang tadinya sudah jauh turun ke bawah, dengan mudah
dapat didorong ke atas dan ini disertai keluarnya darah pervaginam yang
agak banyak
Kalau rongga rahim sudah kosong dapat diraba robekan pada dinding
rahim dan kalau jari atau tangan kita dapat melalui robekan tadi, maka
dapat diraba usus, omentum dan bagian-bagian janin. Kalau jari tangan
kita yang didalam kita temukan dengan jari luar maka terasa seperti
dipisahkan oleh bagian yang tipis seklai dari dinding perut juga dapat
diraba fundus uteri.
5. Kateterisasi
6. Catatan
Ruptur uteri yang terjadi oleh karena cacat uterus yang biasanya tidak
didahului oleh ruptur uteri mengancam.
Lakukanlah selalu eksplorasi yang teliti dan hati-hati sebagai kerja rutin
setelah mengerjakan suatu operative delivery, misalnya sesudah versi
ekstraksi, ekstraksi vakum atau forsep, embriotomi dan lain-lain
(Mochtar, 1998).
20
2.2.4. Diagnosis Banding Ruptura Uteri
1. Solusio plasenta
2. Plasenta previa (Mochtar, 1998)
Banyak kiranya ruptur uteri yang seharusnya tidak perlu terjadi kalau
sekiranya ada pengertian dari para ibu, masyarakat dan klinisi, karena sebelumnya
dapat kita ambil langkah-langkah preventif. Maka, sangatlah penting arti
perawatan antenatal (prenatal) (Mochtar, 1998).
21
1. Panggul sempit atau CPD
2. Malposisi Kepala
Coba lakukan reposisi, kalau kiranya sulit dan tak berhasil, pikirkan untuk
melakukan seksio sesarea primer saat inpartu.
3. Malpresentasi
Letak lintang atau presentasi bahu, maupun letak bokong, presentasi rangkap.
4. Hidrosefalus
5. Rigid cervix
6. Tetania uteri
7. Tumor jalan lahir
8. Grandemultipara + abdomen pendulum
9. Pada bekas seksio sesarea
22
10. Uterus cacat karena miomektomi, kuretase, manual uri, maka dianjurkan
bersalin di RS dengan pengawasan yang teliti.
11. Ruptur uteri karena tindakan obstetrik dapat dicegah dengan bekerja secara
lege artis, jangan melakukan tindakan kristaller yang berlebihan, bidan
dilarang memberikan oksitocin sebelum janin lahir, kepada dukun diberikan
penataran supaya waktu memimpin persalinan jangan mendorong-dorong,
karena dapat menimbulkan ruptura uteri traumatika (Mochtar, 1998).
Jiwa wanita yang mengalami ruptur uteri paling sering bergantung pada
kecepatan dan efisiensi dalam mengoreksi hipovolemia dan mengendalikan
perdarahan. Perlu ditekankan bahwa syok hipovolemik mungkin tidak bisa
dipulihkan kembali dengan cepat sebelum perdarahan arteri dapat dikendalikan,
karena itu keterlambatan dalam memulai pembedahan tidak akan bisa diterima.
23
Tindakan aman yang akan dipilih, tergantung dari beberapa faktor, antara
lain:
Keadaan umum
Tempat luka
Harapan hidup bagi janin sangat suram. Angka mortilitas yang ditemukan
dalam berbagai penelitian berkisar dari 50 hingga 70 persen. Tetapi jika janin
masih hidup pada saat terjadinya peristiwa tersebut, satu-satunya harapan untuk
mempertahankan jiwa janin adalah dengan persalinan segera, yang paling sering
dilakukan lewat laparotomi.
24
2.4. Perdarahan Postpartum
Perdarahan postpartum adalah perdarahan lebih dari 500 – 600 ml dalam
masa 24 jam setelah anak lahir. Dalam pengertian ini dimaksudkan juga
perdarahan karena retensio plasenta.
Menurut waktu terjadinya dibagi atas dua bagian :
a. Perdarahan postpartum primer (early postpartum hemorrhage) yang
terjadi dalam waktu 24 jam setelah anak lair.
b. Perdarahan postpartum skunder (late postpartum hemorrhage) yang
terjadi setelah 24 jam, biasanya antara hari ke 5 sampai 15 postpartu.
2.3.1. Etiologi
Atonia uteri
Atonia uteri (relaksasi otot uterus adalah uteri tidak berkontraksi dalam 15
detik setelah dilakukan pemijatan fundus uteri (plasenta telah lahir)
(Anonim, 2012).
Faktor predisposisi terjadinya atonia uteri adalah :
Umur : umur yang terlalu muda atau tua
Parits : sering dijumpai pada multipara dan grandemultipara
Partus lama dan partus terlantar
Obstetri operatif dan narkoba
Uterus terlalu regang dan besar, misalnya pada gemeli, uterus couvelair
pada solusio plasenta.
Faktor sosio ekonomi, yaitu malnutrisi (mochtar, 1998).
Laserasi jalan lahir : robekan perineum, vagina serviks, forniks, dan rahim.
Kelainan darah
Kelainan pembekuan darah misalnya a atau hipofibrinogenemia yang
sering dijumpai pada :
Perdarahan yang banyak
25
Solusio plasenta
Kematian janin yang lama dalam kandungan
Pre – eklamsi dan eklamsi
Infeksi, hepatitis, dan septik syok (mochtar, 1998).
Inversio uteri
Inversio uteri adalah keadaan dimana fundus uteri terbalik sebagian atau
seluruhnya masuk ke dalam kavum uteri (mochtar, 1998).
2.3.2. Diagnosis
Palpasi uterus : bagaimana kontraksi uterus dan TFU.
Memeriksa plasenta dan air ketuban : apakah lengkap atau tidak.
Lakukan eksplorasi kavum uteri untuk mencari :
Sisa plasenta dan ketuban
Robekan rahim
Plasenta suksenturiata
Inspekulo : untuk melihat robekan pada serviks, vagina, dan varises yang
pecah.
Pemeriksaan laboratorium : pemeriksaan darah, Hb, COT, dl.
Pengawasan TD, nadi, dan RR (mochtar, 1998).
2.3.3. Penanganan
Pencegahan perdarahan pospartum
Melakukan ANC yang baik dan rutin.
Siap siaga pada kasus – kasus yang di sangka akan terjadi perdarahan
Di RS di periksa keadaan fisik, keadaan umum, kadar Hb, golda, dan
bila mungkin tersedia donor darah.
Sambil mengawasi persalinan, dipersiapkan keperluan untuk infus dan
obat – obatan penguat rahim (uterotonika).
26
Setelah ketuban pecah dan kepala janin mulai membuka vulva, infus
dipasang dan sewaktu bayi lahir diberikan 1 ampul methergin atau
kombinasi dengan 5 satuan sintosinon (=sintometrin iv). Hasilnya
biasanya memuaskan (mochtar, 1998).
2.3.4. Prognosis
27
BAB III
PENUTUP
1. Kasus gawat darurat obstetri adalah kasus obstetri yang apabila tidak segera
ditangani akan berakibat kematian ibu dan janinnya.
2. Salah satu komplikasi yang paling sering terjadi selama kehamilan adalah
perdarahan.
3. Perdarahan dapat terjadi baik pada saat hamil muda, hamil tua, selama
persalinan, ataupun setelah persalinan.
4. Prinsip penanganan perdarahan ini adalah menghentikan perdarahan sesegera
mungkin dan mencegah terjadinya syok serta anemia.
5. Sangat dianjurkan kepada ibu – ibu hamil dengan faktor risiko untuk lebih rutin
dalam melakukan antenatal care.
6. Untuk yang memiliki faktor risiko tinggi, di anjurkan untuk melakukan
persalinan di RS dan dibantu oleh tim medis yang ahli
28
DAFTAR PUSTAKA
29