Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

Kasus gawat darurat obstetri adalah kasus obstetri yang apabila tidak
segera ditangani akan berakibat kematian ibu dan janinnya. Kasus ini menjadi
penyebab utama kematian ibu janin dan bayi baru lahir. (Saifuddin, 2002)

Kematian maternal merupakan suatu fenomena puncak gunung es karena


kasusnya cukup banyak namun yang nampak di permukaan hanya sebagian kecil.
Diperkirakan 50.000.000 wanita setiap tahunnya mengalami masalah kesehatan
berhubungan dengan kehamilan dan persalinan. Komplikasi yang ada kaitannya
dengan kehamilan berjumlah sekitar 18% dari jumlah global penyakit yang
diderita wanita pada usia reproduksi. Diperkirakan 40% wanita hamil akan
mengalami komplikasi sepanjang kehamilannya. Disamping itu 15% wanita hamil
akan mengalami komplikasi yang bisa mengancam jiwanya dan memerlukan
perawatan obstetri darurat, dan perawatan tersebut biasanya masih belum tersedia
(Hasnah & Triratnawati, 2003).

Diseluruh dunia, satu wanita meninggal setiap menit akibat komplikasi


kehamilan. Di Negara Berkembang, kematian maternal memang jarang terjadi,
namun diperkirakan sekitar 2/3 pelayanan maternal diberikan dengan layanan
substandard dalam arti bahwa sebagian besar kasus kegawatdaruratan obstetrik
merupakan kasus yang jarang terjadi sehingga ketrampilan staf junior dalam
mengatasi masalah komplikasi kehamilan sangat kurang dan kasus kegawat
daruratan tersebut tidak memperoleh penanganan yang baik
(Widjanarko,2009).

Salah satu komplikasi yang sering terjadi selama kehamilan adalah


perdarahan. Perdarahan ini dapat terjadi baik pada saat hamil muda, hamil tua,
saat bersalin, ataupun setelah persalinan. Akan tetapi, perdarahan yang terjadi
setelah kehamilan 28 minggu biasanya lebih banyak dan lebih berbahaya daripada
perdarahan kehamilan sebelum 28 minggu ( Mochtar, 1998 ).

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Kegawat daruratan adalah kejadian yang tidak diduga atau terjadi
secara tiba-tiba, seringkali merupakan kejadian yang berbahaya(Dorlan,2011).
Kegawatdaruratan dapat juga didefinisikan sebagai situasi serius dan kadang
kala berbahaya yang terjadi secara tiba-tiba dan tidak terduga dan
membutuhkan tindakan segera guna menyelamatkan jiwa/nyawa (Campbell,
2000).Sedangkan kegawatdaruratan obstetri adalah kondisi kesehatan yang
mengancam jiwa yang terjadi dalam kehamilan atau selama dan sesudah
persalinan dan kelahiran. Terdapat sekian banyak penyakit dan gangguan
dalam kehamilan yang mengancam keselamatan ibu dan bayinya
(Chamberlain, Geoffrey, & Phillip Steer, 1999). Kasus gawatdarurat obstetri
adalah kasus obstetri yang apabila tidak segera ditangani akan berakibat
kematian ibu dan janinnya. Kasus ini menjadi penyebab utama kematian
ibu janin dan bayi baru lahir (Saifuddin, 2002). Masalah kedaruratan selama
kehamilan dapat disebabkan oleh komplikasi kehamilan spesifik atau penyakit
medis atau bedah yang timbul secara bersamaan.

2.2. Perdarahan Pada Hamil Tua (Antepartum)


Perdarahan antepartum adalah perdarahan yang terjadi setelah kehamilan 28
minggu. Biasanya lebih banyak dan lebih berbahaya daripada perdarahan
kehamilan sebelum 28 minggu ( Mochtar, 1998 ).
Bagaimanapun itu, perdarahan sebelum, sewaktu, dan sesudah bersalin
adalah kelainan yang tetap berbahaya dan mengancam jiwa ibu. Perdarahan
antepartum dapat diakibatkan oleh berbagai peyebab, seperti :
 Plasenta previa
Plasenta previa adalah keadaan dimana plasenta berimplantasi pada tempat
abnormal, yaitu pada segmen bawah rahim sehingga menutupi sebagian
atau seluruh pembukaan jalan lahir (ostium uteri internal).

2
 Solusio plasenta
Istilah lain dari solusio plasenta adalah ablatio plasentae, abruptio
plasentae, accidental haemorraghe, dan premature separation of the
normally implanted placenta.
Solusio plasenta adalah suatu keadaan dimana plasenta yang letaknya
normal namun terlepas dari perlekatannya sebelum janin lahir. Biasanya
dihitung sejak kehamilan 28 minggu ( Mochtar, 1998 ).

 Insersiovelamentosa (vasa previa)


Insersio velamentosa adalah tali pusat yang tidak berinsersi pada jaringan
plasenta, tetapi pada selaput janin sehingga pembuluh darah umblikus
berjalan diantara amnion dan korion menuju plasenta.

3
 Ruptura sinus marginalis
Ruptura sinus marginalis (solusio plasenta ringan) adalah terlepasnya
sebagiankecil plasenta yang tidak berdarah banyak, sama sekali tidak
mempengaruhi keadaan ibu ataupun janinnya.

 Plasenta sirkumvalata
Plasenta sirkumvalata adalah plaseta yang pada permukaan vetalis dekat
pinggir terdapat cincin putih. Cincin ini menandakan pinggir plasenta,
sedangkan jeringan di sebelah luarnya terdiri dari villi yang tumbuh
kesamping dibawah desidua (Ubaidillah, 2010).

2.1.1. Etiologi Plasenta Previa

Angka kejadian PP meningkat dengan semakin bertambahnya usia pasien,


multiparitas dan riwayat seksio sesar sebelumnya, sehingga etiologi plasenta
previa diperkirakan adalah :

a. Vaskularisasi daerah endometrium yang buruk atau adanya jaringan parut.


b. Ukuran plasenta besar.
c. Plasentasi abnormal (lobus succenteriata atau plasenta difusa)
(Ubaidillah, 2010).

2.1.2. Faktor Risiko Plasenta Previa


a. Riwayat plasenta previa (4-8%).
b. Kehamilan pertama setelah sectio caesar.
c. Multiparitas (5% kejadian pada grandemultipara).
d. Usia ibu “tua”.
e. Kehamilan kembar.
f. Riwayat kuretase abortus.
g. Merokok.

4
Perdarahan pada plasenta previa terjadi oleh karena :

a. Separasi mekanis plasenta dari tempat implantasinya saat pembentukan


SBR atau saat terjadi dilatasi dan pendataran servik.
b. Plasentitis.
c. Robekan kantung darah dalam desidua basalis (Ubaidillah, 2010).

2.1.3. Klasifikasi Plasenta Previa


a. Plasenta previa totalis : seluruh ostium ditutupi oleh plasenta
b. Plasenta previa partialis : sebagian ostium ditutupi plasenta
c. Plasenta letak rendah (low – lying placenta) : tepi plasenta berada 3 – 4
cm di atas pinggir pembukaan, pada pemeriksaan dalam tidak teraba
( Mochtar, 1998 ).

Gambar 2.3. Berbagai Jenis Plasenta Previa

5
2.1.4. Gejala Klinis Plasenta Previa
a. Gejala utama plasenta previa adalah perdarahan tanpa sebab, tanpa rasa
nyeri dan biasanya berulang (painless, causeless, recurrent bleeding),
darahnya berwarna merah segar.
b. Bagian terdepan janin tinggi (floating), sering dijumpai kelainan letak
janin.
c. Perdarahan pertama (first bleeding) biasanya tidak banyak dan tidak fatal,
kecuali bila dilakukan periksa dalam sebelumnya, sehingga pasien sempat
dikirim ke rumah sakit. Tetapi perdarahan berikutnya (recurrent bleeding)
biasanya lebih banyak.
d. Janin biasanya masih baik (Ubaidillah, 2010; Mochtar, 1998 ).

2.1.5. Diagnosis Plasenta Previa


a. Anamnesis
Perdarahan jalan lahir pada kehamilan setelah 22 minggu berlangsung
tanpa nyeri terutama pada multigravida, banyaknya perdarahan tidak dapat
dinilai dari anamnesis, melainkan dari pada pemeriksaan hematokrit.

b. Pemeriksaan luar
Bagian bawah janin biasanya belum masuk pintu atas panggul presentasi
kepala, biasanya kepala masih terapung di atas pintu atas panggul
mengelak ke samping dan sukar didorong ke dalam pintu atas panggul.

c. Pemeriksaan In Spekulo
Pemeriksaan bertujuan untuk mengetahui apakah perdarahan berasal dari
osteum uteri eksternum atau dari ostium uteri eksternum, adanya plasenta
previa harus dicurigai.

d. Penentuan Letak Plasenta Tidak Langsung


Penentuan letak plasenta secara tidak langsung dapat dilakukan radiografi,
radioisotope, dan ultrasonagrafi. Ultrasonagrafi penentuan letak plasenta
dengan cara ini ternyata sangat tepat, tidak menimbulkan bahaya radiasi
bagi ibu dan janinnya dan tidak menimbulkan rasa nyeri.

6
e. Diagnosis Plasenta Previa Secara Defenitif
Dilakukan dengan PDMO yaitu melakukan perabaan secara langsung
melalui pembukaan serviks pada perdarahan yang sangat banyak dan pada
ibu dengan anemia berat, tidak dianjurkan melakukan PDMO sebagai
upaya menetukan diagnosis (Ubaidillah, 2010).
f. Pemeriksaan Ultrasonografi
Dengan pemeriksaan ini dapat ditentukan implantasi plasenta atau jarak
tepi plasenta terhadap ostium bila jarak tepi 5 cm disebut plasenta letak
rendah (Ubaidillah, 2010).

Gambar 2.4. Gambaran Plasenta Previa pada USG

7
2.1.6. Diagnosa Banding Plasenta Previa
a. Solusio Plasenta
b. Plasenta Sirkumvalata

2.1.7. Penilaian
A. Pengumpulan data subjektif
1) Riwayat penyakit / keluhan utama saat ini
a) Pendarahan: onset, durasi, jumlah, dan karakter
(1) Placenta previa: tiba-tiba pendarahan vagina merah terang; mungkin
berlimpah
(2) Abruptio placentae: perdarahan vagina merah gelap; jumlah variabel
karena perdarahan dapat disembunyikan
b) Nyeri (lihat Bab 9): perut, panggul, dan / atau punggung
(1) Placenta previa: biasanya tidak ada
(2) Abruptio placentae: intensitas variabel
c) Usia kehamilan (LNMP, EDC)
d) Usia ibu: risiko meningkat dengan usia lanjut
e) Trauma terkini
f) Hubungan seksual baru-baru ini
g) Penurunan / kehilangan gerakan janin

2) Riwayat kesehatan masa lalu


a) Penyakit / penyakit saat ini atau yang sudah ada sebelumnya
b) Multiparitas
c) Ketuban pecah dini
d) Sejarah plasenta previa, abruptio placentae, seksio sesarea sebelumnya
e) Penggunaan / penyalahgunaan zat
f) Merokok
g) Status sosial ekonomi rendah
h) Obat-obatan
i) Alergi

8
B. Pengumpulan data yang objektif
1) Pemeriksaan fisik
a) Penampilan umum
(1) Kemungkinan orthostasis positif
(2) Kesusahan / ketidaknyamanan ringan sampai sedang, mungkin sakit
kritis
b) Auskultasi : FHT
c) Palpasi : Nyeri perut, tonus uterus, kontraksi
d) Pemeriksaan perineum: bukti perdarahan (spekulum atau pemeriksaan
panggul manual dikontraindikasikan pada perdarahan vagina trimester
kedua dan ketiga sampai lokasi plasenta dikonfirmasi oleh sonografi dan
plasenta previa disingkirkan)
2) Prosedur diagnostik
a) CBC dengan diferensial
b) Profil koagulasi: PT, PTT, tingkat fibrinogen, produk pemecahan fibrin
c) Jenis dan crossmatch (setidaknya empat unit dikemas sel darah merah
pada pasien pendarahan)
d) Tes Kleihauer-Betke
e) Kimia serum
f) Sonografi panggul
g) Pemantauan kardiotokografi (pemantauan janin)

Analisis: diagnosis keperawatan diferensial / masalah kolaboratif


a. Hipovolemia
b. Perfusi jaringan yang tidak efektif: ibu dan janin
c. Ansietas
d. Berduka antisipatif

Perencanaan dan implementasi / intervensi


a. Pertahankan jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi (lihat Bab 1 dan 31)
b. Berikan oksigen tambahan seperti yang ditunjukkan

9
c. Menetapkan akses IV untuk pemberian cairan / produk darah / obat
kristaloid sesuai kebutuhan
d. Pertahankan pasien dalam posisi dekubitus lateral kiri
e. Mempersiapkan / membantu intervensi medis
1) seksio sesarea darurat
2) Pelahiran darurat melalui vagina dan kemungkinan resusitasi bayi
3) Membantu masuk rumah sakit dan mengangkut ke unit persalinan dan
persalinan bila secara hemodinamik stabil
f. Berikan terapi farmakologis seperti yang diperintahkan : Globulin imun
Rh (RhoGAM atau Rhophylac) untuk semua wanita Rh-negatif

Evaluasi dan pemantauan yang sedang berlangsung (lihat Lampiran B)


a. Status hemodinamik ibu dan bayi
b. Pendarahan vagina: warna dan jumlah, gumpalan dan jaringan
c. Nyeri perut / kontraksi uterus
d. Tinggi fundus (dapat meningkat dengan perdarahan intrauterin yang
tersembunyi)
e. FHT
f. Pereda sakit

2.1.7. Terapi Plasenta Previa


a. Terapi Ekspektatif (mempertahankan kehamilan)
Kriteria :
 Umur kehamilan kurang dari 37 minggu
 Perdarahan sedikit
 Belum ada tanda-tanda persalinan
 Keadaan umum baik, kadar Hb 8 gr% atau lebih.

Rencana Penanganan :

1. Istirahat baring mutlak.


2. Infus D 5% dan elektrolit.

10
3. Spasmolitik. tokolitik, plasentotrofik, roboransia.
4. Periksa Hb, HCT, .COT, golongan darah
5. Pemeriksaan USG.
6. Awasi perdarahan terus-menerus, tekanan darah, nadi dan denyut
jantung janin.
7. Apabila ada tanda-tanda plasenta previa tergantung keadaan pasien
ditunggu sampai kehamilan 37 minggu selanjutnya penanganan
secara aktif.

b. Terapi Aktif (mengakhiri kehamilan)


Kriteria:
 umur kehamilan >/ = 37 minggu, BB janin >/ = 2500 gram.
 Perdarahan banyak 500 cc atau lebih.
 Ada tanda-tanda persalinan.
 Keadaan umum pasien tidak baik ibu anemis Hb < 8 gr%.
Untuk menentukan tindakan selanjutnya SC atau partus pervaginum,
dilakukan pemeriksaan dalam kamar operasi, infusi ransfusi darah
terpasang (Ubaidillah, 2010).

Indikasi Seksio Sesarea :

1. Plasenta previa totalis.


2. Plasenta previa pada primigravida.
3. Plasenta previa janin letak lintang atau letak sungsang.
4. Anak berharga dan fetal distres.
5. Plasenta previa lateralis jika:
 Pembukaan masih kecil dan perdarahan banyak
 Sebagian besar OUI ditutupi plasenta
 Plasenta terletak di sebelah belakang (posterior).
6. Profause bleeding, perdarahan sangat banyak dan mengalir dengan
cepat (Ubaidillah, 2010).

11
c. Partus Per Vaginam
Dilakukan pada plasenta previa marginalis atau lateralis pada multipara
dan anak sudah meninggal atau prematur.
1. Jika pembukaan serviks sudah agak besar (4-5 cm), ketuban dipecah
(amniotomi) jika hid lemah, diberikan oksitosin drips.
2. Bila perdarahan masih terus berlangsung, dilakukan SC.
3. Tindakan versi Braxton-Hicks dengan pemberat untuk menghentikan
perdarahan (kompresi atau tamponade bokong dan kepala janin
terhadap plasenta) hanya dilakukan pada keadaan darurat, anak masih
kecil atau sudah mati, dan tidak ada fasilitas untuk melakukan operasi
(Ubaidillah, 2010).

12
2.1.8. Komplikasi Plasenta Previa
 Prolaps tali pusat
 Prolaps plasenta
 Plasenta melekat, sehingga harus dikeluarkan manual dan kalau perlu
dibersihkan dengan kerokan
 Robekan – robekan jalan lahir karena tindakan.
 Perdarahan postpartum
 Infeksi karena perdarahan yang banyak
 Bayi prematur atau lahir mati (Mochtar, 1998).

2.1.9. Prognosa Plasenta Previa


Sekarang penanganan relatif bersifat operatif dini, maka angka kematian
dan kesakitan ibu dan perinatal jauh menurun. Kematian maternal menjadi
0,1 – 5% terutama disebabkan perdarahan, infeksi, emboli udara, dan trauma
karena tindakan. Kematian perinatal juga turun menjadi 7 – 25%, terutama
disebabkan oleh prematuritas, asfiksia, prolaps funikuli, dan persalinan buatan
(tindakan) (Mochtar, 1998).

2.3. Perdarahan Sewaktu Bersalin


Perdarahan sewaktu bersalin dapat diakibatkan oleh :
 Ruptura uteri
Ruptura uteri adalah robeknya dinding uterus pada saat kehamilan atau
dalam persalinan dengan atau tanpa robeknya perioneum visceral
(Senoputra, 2011).

 Retensio plasenta
Retensio plasenta adalah keadaan dimana plasenta belum lahir dalam
waktu 1 – 2 jam setelah bayi lahir (Mochtar, 1998; Aprillia, 2012).

13
2.2.1. Klasifikasi Ruptura Uteri

Menurut waktu terjadinya, ruptur uteri dapat dibedakan:

 Ruptur Uteri Gravidarum


Terjadi waktu sedang hamil, sering berlokasi pada korpus.

 Ruptur Uteri Durante Partum


Terjadi waktu melahirkan anak, lokasinya sering pada SBR. Jenis inilah
yang terbanyak (Mochtar, 1998).

Menurut lokasinya, ruptur uteri dapat dibedakan:

 Korpus Uteri
Biasanya terjadi pada rahim yang sudah pernah mengalami operasi, seperti
seksio sesarea klasik (korporal) atau miomektomi.

 Segmen Bawah Rahim


Biasanya terjadi pada partus yang sulit dan lama (tidak maju). SBR
tambah lama tambah regang dan tipis dan akhirnya terjadilah ruptur uteri.

 Serviks Uteri
Biasanya terjadi pada waktu melakukan ekstraksi forsep atau versi dan
ekstraksi, sedang pembukaan belum lengkap.

 Kolpoporeksis-Kolporeksis
Robekan – robekan di antara serviks dan vagina (Mochtar, 1998).

14
Menurut robeknya peritoneum, ruptur uteri dapat dibedakan:

 Ruptur Uteri Kompleta


Robekan pada dinding uterus berikut peritoneumnya (perimetrium),
sehingga terdapat hubungan langsung antara rongga perut dan rongga
uterus dengan bahaya peritonitis.

 Ruptur Uteri Inkompleta


Robekan otot rahim tetapi peritoneum tidak ikut robek. Perdarahan terjadi
subperitoneal dan bisa meluas sampai ke ligamentum latum .

Menurut etiologinya, ruptur uteri dapat dibedakan :

1. Ruptur Uteri Spontanea


Berdasarkan etiologinya, ruptur uteri spontanea dapat dibedakan lagi menjadi:
a. Karena dinding rahim yang lemah dan cacat, misalnya pada bekas SC,
miomektomi, perforasi waktu kuretase, histerorafia, pelepasan plasenta
secara manual. Dapat juga pada graviditas pada kornu yang rudimenter
dan graviditas interstisialis, kelainan kongenital dari uterus seperti
hipoplasia uteri dan uterus bikornus, penyakit pada rahim, misalnya mola
destruens, adenomiosis dan lain-lain atau pada gemelli dan hidramnion
dimana dinding rahim tipis dan regang.
b. Karena peregangan yang luar biasa dari rahim, misalnya pada panggul 
sempit atau kelainan bentuk panggul, janin besar seperti janin penderita
DM, hidrops fetalis, postmaturitas dan grandemultipara. Juga dapat
karena kelainan kongenital dari janin: Hidrosefalus, monstrum,
torakofagus, anensefalus dan shoulder dystocia; kelainan letak janin:
letak lintang dan presentasi rangkap; atau malposisi dari kepala : letak
defleksi, letak tulang ubun-ubun dan putar paksi salah. Selain itu karena
adanya tumor pada jalan lahir; rigid cervix: conglumeratio cervicis,
hanging cervix, retrofleksia uteri gravida dengan sakulasi;
grandemultipara dengan perut gantung (pendulum); atau juga pimpinan
partus yang salah (Mochtar, 1998).

15
2. Ruptur Uteri Violenta (Traumatika), karena tindakan dan trauma lain seperti :
 Ekstraksi Forsep
 Versi dan ekstraksi
 Embriotomi
 Versi Braxton Hicks
 Sindroma tolakan (Pushing syndrome)
 Manual plasenta
 Kuretase
 Ekspresi Kristeller atau Crede
 Pemberian Pitosin tanpa indikasi dan pengawasan
 Trauma tumpul dan tajam dari luar.

Menurut Gejala Klinis, ruptur uteri dapat dibedakan:

1. Ruptur Uteri Iminens (membakat = mengancam)


2. Ruptur Uteri sebenarnya (Mochtar, 1998).

2.2.2. Mekanisme Ruptura Uteri

Pada umumnya uterus dibagi atas dua bagian besar: Korpus uteri dan
servik uteri. Batas keduanya disebut ismus uteri (2-3 cm) pada rahim yang tidak
hamil. Bila kehamilan sudah kira-kira ± 20 minggu, dimana ukuran janin sudah
lebih besar dari ukuran kavum uteri, maka mulailah terbentuk SBR ismus ini
(Mochtar, 1998).

Batas antara korpus yang kontraktil dan SBR yang pasif disebut lingkaran
dariBandl. Lingkaran Bandl ini dianggap fisiologik bila terdapat pada 2-3 jari
diatas simfisis, bila meninggi maka kita harus waspada terhadap kemungkinan
adanya ruptur uteri mengancam. Ruptur uteri terutama disebabkan oleh
peregangan yang luar biasa dari uterus. Sedangkan kalau uterus telah cacat,
mudah dimengerti karena adanya lokus minoris resistens (Mochtar, 1998).

16
Rumus mekanisme terjadinya ruptur uteri:

R=H+O

Dimana : R = Ruptur

H = His Kuat (tenaga)

O = Obstruksi (halangan)

Pada waktu in-partu, korpus uteri mengadakan kontraksi sedang SBR tetap
pasif dan cervix menjadi lunak (effacement dan pembukaan). Bila oleh sesuatu
sebab partus tidak dapat maju (obstruksi), sedang korpus uteri berkontraksi terus
dengan hebatnya (his kuat), maka SBR yang pasif ini akan tertarik ke atas menjadi
bertambah regang dan tipis. Lingkaran Bandl ikut meninggi, sehingga suatu waktu
terjadilah robekan pada SBR tadi. Dalam hal terjadinya ruptur uteri jangan
dilupakan peranan dari anchoring apparatus untuk memfiksir uterus yaitu
ligamentum rotunda, ligamentum latum, ligamentum sacrouterina dan jaringan
parametra (Mochtar, 1998).

2.2.3. Diagnosis dan Gejala Klinis Ruptura Uteri

Terlebih dahulu dan yang terpenting adalah mengenal betul gejala dari
ruptura uteri mengancam (threatened uterine rupture) sebab dalam hal ini kita
dapat bertindak secepatnya supaya tidak terjadi ruptur uteri yang sebenarnya.

Gejala Ruptur Uteri Iminens/mengancam (RUI/RUM)

 Dalam anamnesa dikatakan telah ditolong/didorong oleh dukun/bidan,


partus sudah    lama berlangsung

 Pasien tampak gelisah, ketakutan, disertai dengan perasaan nyeri diperut

 Pada setiap datangnya his pasien memegang perutnya dan mengerang


kesakitan bahkan meminta supaya anaknya secepatnya dikeluarkan.

17
 Pernafasan dan denyut nadi lebih cepat dari biasa (Mochtar, 1998).

 Ada tanda dehidrasi karena partus yang lama (prolonged labor), yaitu


mulut kering, lidah kering dan haus, badan panas (demam).

 His lebih lama, lebih kuat dan lebih sering bahkan terus-menerus.

 Ligamentum rotundum teraba seperti kawat listrik yang tegang, tebal dan
keras terutama sebelah kiri atau keduanya.

 Pada waktu datang his, korpus uteri teraba keras (hipertonik) sedangkan
SBR teraba tipis dan nyeri kalau ditekan.

 Diantara korpus dan SBR nampak lingkaran Bandl sebagai lekukan


melintang yang bertambah lama bertambah tinggi, menunjukan SBR yang
semakin tipis dan teregang. Sering lengkaran bandl ini dikelirukan dengan
kandung kemih yang penuh, untuk itu dilakukan kateterisasi kandung
kemih. Dapat peregangan dan tipisnya SBR terjadi di dinding belakang
sehingga tidak dapat kita periksa, misalnya terjadi pada asinklitismus
posterior atau letak tulang ubun-ubun belakang.

 Perasaan sering mau kencing karena kandung kemih juga tertarik dan
teregang ke atas, terjadi robekan-robekan kecil pada kandung kemih, maka
pada kateterisasi ada hematuri.

 Pada auskultasi terdengar denyut jantung janin tidak teratur (asfiksia)

 Pada pemriksaan dalam dapat kita jumpai tanda-tanda dari obstruksi,


seperti oedem porsio, vagina, vulva dan kaput kepala janin yang besar
(Mochtar, 1998).

Gejala Ruptur Uteri

Bila ruptur uteri yang mengancam dibiarkan terus, maka suatu saat akan terjadilah
ruptur uteri sebenarnya.

18
1. Anamnesis dan Inspeksi

 Pada suatu his yang kuat sekali, pasien merasa kesakitan yang luar biasa,
menjerit seolah-olah perutnya sedang dirobek kemudian jadi gelisah, takut,
pucat, keluar keringat dingin sampai kolaps.

 Pernafasan jadi dangkal dan cepat, kelihatan haus.

 Muntah-muntah karena perangsangan peritoneum.

 Syok, nadi kecil dan cepat, tekanan darah turun bahkan tidak terukur.

 Keluar perdarahan pervaginam yang biasanya tak begitu banyak, lebih-


lebih kalau bagian terdepan atau kepala sudah jauh turun dan menyumbat
jalan lahir.

 Kadang-kadang ada perasaan nyeri yang menjalar ke tungkai bawah dan


dibahu .

 Kontraksi uterus biasanya hilang.

 Mula-mula terdapat defans muskulaer kemudian perut menjadi kembung


dan meteoristis (paralisis usus) (Mochtar, 1998).

2. Palpasi

 Teraba krepitasi pada kulit perut yang menandakan adanya emfisema


subkutan.

 Bila kepala janin belum turun, akan mudah dilepaskan dari pintu atas
panggul.

 Bila janin sudah keluar dari kavum uteri, jadi berada di rongga perut, maka
teraba bagian-bagian janin langsung dibawah kulit perut dan disampingnya
kadang-kadang teraba uterus sebagai suatu bola keras sebesar kelapa.

19
 Nyeri tekan pada perut, terutama pada tempat yang robek.

3. Auskultasi

 Biasanya denyut jantung janin sulit atau tidak terdengar lagi beberapa
menit setelah ruptur, apalagi kalau plasenta juga ikut terlepas dan masuk
ke rongga perut (Mochtar, 1998).

4. Pemeriksaan Dalam

 Kepala janin yang tadinya sudah jauh turun ke bawah, dengan mudah
dapat didorong ke atas dan ini disertai keluarnya darah pervaginam yang
agak banyak

 Kalau rongga rahim sudah kosong dapat diraba robekan pada dinding
rahim dan kalau jari atau tangan kita dapat melalui robekan tadi, maka
dapat diraba usus, omentum dan bagian-bagian janin. Kalau jari tangan
kita yang didalam kita temukan dengan jari luar maka terasa seperti
dipisahkan oleh bagian yang tipis seklai dari dinding perut juga dapat
diraba fundus uteri.

5. Kateterisasi

Hematuri yang hebat menandakan adanya robekan pada kandung kemih.

6. Catatan

 Gejala ruptur uteri inkompleta tidak sehebat kompleta

 Ruptur uteri yang terjadi oleh karena cacat uterus yang biasanya tidak
didahului oleh ruptur uteri mengancam.

 Lakukanlah selalu eksplorasi yang teliti dan hati-hati sebagai kerja rutin
setelah mengerjakan suatu operative delivery, misalnya sesudah versi
ekstraksi, ekstraksi vakum atau forsep, embriotomi dan lain-lain
(Mochtar, 1998).

20
2.2.4. Diagnosis Banding Ruptura Uteri
1. Solusio plasenta
2. Plasenta previa (Mochtar, 1998)

2.2.5. Upaya Pencegahan Ruptura Uteri

Banyak kiranya ruptur uteri yang seharusnya tidak perlu terjadi kalau
sekiranya ada pengertian dari para ibu, masyarakat dan klinisi, karena sebelumnya
dapat kita ambil langkah-langkah preventif. Maka, sangatlah penting arti
perawatan antenatal (prenatal) (Mochtar, 1998).

21
1. Panggul sempit atau CPD

Anjurkan bersalin di rumah sakit. Lakukan pemeriksaan yang teliti misalnya


kalau kepala belum turun lakukan periksa dalam dan evaluasi selanjutnya dengan
pelvimetri. Bila panggul sempit (CV 8 cm), lakukan segera seksio sesarea primer
saat inpartu.

2. Malposisi Kepala

Coba lakukan reposisi, kalau kiranya sulit dan tak berhasil, pikirkan untuk
melakukan seksio sesarea primer saat inpartu.

3. Malpresentasi

Letak lintang atau presentasi bahu, maupun letak bokong, presentasi rangkap.

4. Hidrosefalus
5. Rigid cervix
6. Tetania uteri
7. Tumor jalan lahir
8. Grandemultipara + abdomen pendulum
9. Pada bekas seksio sesarea

Beberapa sarjana masih berpegang pada diktum : Once a Caesarean always a


Caesarean, tetapi pendapat kita disini adalah Once a Caesarean not
necessarily a Caesarean, kecuali pada panggul yang sempit. Hal ini disebut
Repeat Caesarean Section. Pada keadaan dimana seksio yang lalu dilakukan
korporal pasien harus bersalin dirumah sakit dengan observasi yang ketat dan
cermat mengingat besarnya kemungkinan terjadi ruptur spontan. Kalau perlu
lakukan segera repeat c section. Pasien seksio sesaria dengan insisi SBR
dibandingkan dengan korporal menurut statistik kemungkinan terjadinya
ruptur relatif kecil, Namun demikian partus harus dilakukan di RS dan kalau
kepala sudah turun lakukan ekstraksi forsep (Mochtar, 1998).

22
10. Uterus cacat karena miomektomi, kuretase, manual uri, maka dianjurkan
bersalin di RS dengan pengawasan yang teliti.
11. Ruptur uteri karena tindakan obstetrik dapat dicegah dengan bekerja secara
lege artis, jangan melakukan tindakan kristaller yang berlebihan, bidan
dilarang memberikan oksitocin sebelum janin lahir, kepada dukun diberikan
penataran supaya waktu memimpin persalinan jangan mendorong-dorong,
karena dapat menimbulkan ruptura uteri traumatika (Mochtar, 1998).

2.2.6. Penanganan Ruptura Uteri

Untuk mencegah timbulnya ruptura uteri pimpinan persalinan harus


dilakukan dengan cermat, khususnya pada persalinan dengan kemungkinan
distosia, dan pada wanita yang pernah mengalami sectio sesarea atau pembedahan
lain pada uterus. Pada distosia harus diamati terjadinya regangan segmen bawah
rahim, bila ditemui tanda-tanda seperti itu, persalinan harus segera diselesaikan
(Mochtar, 1998).

Jiwa wanita yang mengalami ruptur uteri paling sering bergantung pada
kecepatan dan efisiensi dalam mengoreksi hipovolemia dan mengendalikan
perdarahan. Perlu ditekankan bahwa syok hipovolemik mungkin tidak bisa
dipulihkan kembali dengan cepat sebelum perdarahan arteri dapat dikendalikan,
karena itu keterlambatan dalam memulai pembedahan tidak akan bisa diterima.

Bila keadaan umum penderita mulai membaik, selanjutnya dilakukan


laparotomi dengan tindakan jenis operasi (Mochtar, 1998) :

1. Histerektomi, baik total maupun subtotal.

2. Histerorafia, yaitu tepi luka dieksidir lalu dijahit sebaik-baiknya.

3. Konservatif, hanya dengan tamponade dan pemberian antibiotik yang cukup.

23
Tindakan aman yang akan dipilih, tergantung dari beberapa faktor, antara
lain:

 Keadaan umum

 Jenis ruptur, inkompleta atau kompleta

 Jenis luka robekan

 Tempat luka

 Perdarahan dari luka

 Umur dan jumlah anak hidup

 Kemampuan dan keterampilan penolong.

2.2.7. Prognosis Ruptura Uteri

Harapan hidup bagi janin sangat suram. Angka mortilitas yang ditemukan
dalam berbagai penelitian berkisar dari 50 hingga 70 persen. Tetapi jika janin
masih hidup pada saat terjadinya peristiwa tersebut, satu-satunya harapan untuk
mempertahankan jiwa janin adalah dengan persalinan segera, yang paling sering
dilakukan lewat laparotomi.

Jika tidak diambil tindakan, kebanyakan wanita akan meninggal karena


perdarahan atau mungkin pula karena infeksi yang terjadi kemudian, kendati
penyembuhan spontan pernah pula ditemukan pada kasus-kasus yang luar biasa.
Diagnosis cepat, tindakan operasi segera, ketersediaan darah dalam jumlah yang
besar dan terapi antibiotik sudah menghasilkan perbaikan prognosis yang sangat
besar dan terapi antibiotik sudah menghasilkan perbaikan prognosis yang sangat
besar bagi wanita dengan ruptura pada uterus yang hamil (Fanani, 2010).

24
2.4. Perdarahan Postpartum
Perdarahan postpartum adalah perdarahan lebih dari 500 – 600 ml dalam
masa 24 jam setelah anak lahir. Dalam pengertian ini dimaksudkan juga
perdarahan karena retensio plasenta.
Menurut waktu terjadinya dibagi atas dua bagian :
a. Perdarahan postpartum primer (early postpartum hemorrhage) yang
terjadi dalam waktu 24 jam setelah anak lair.
b. Perdarahan postpartum skunder (late postpartum hemorrhage) yang
terjadi setelah 24 jam, biasanya antara hari ke 5 sampai 15 postpartu.

2.3.1. Etiologi
 Atonia uteri
Atonia uteri (relaksasi otot uterus adalah uteri tidak berkontraksi dalam 15
detik setelah dilakukan pemijatan fundus uteri (plasenta telah lahir)
(Anonim, 2012).
Faktor predisposisi terjadinya atonia uteri adalah :
 Umur : umur yang terlalu muda atau tua
 Parits : sering dijumpai pada multipara dan grandemultipara
 Partus lama dan partus terlantar
 Obstetri operatif dan narkoba
 Uterus terlalu regang dan besar, misalnya pada gemeli, uterus couvelair
pada solusio plasenta.
 Faktor sosio ekonomi, yaitu malnutrisi (mochtar, 1998).

 Sisa – sisa plasenta dan selaput ketuban

 Laserasi jalan lahir : robekan perineum, vagina serviks, forniks, dan rahim.

 Kelainan darah
Kelainan pembekuan darah misalnya a atau hipofibrinogenemia yang
sering dijumpai pada :
 Perdarahan yang banyak

25
 Solusio plasenta
 Kematian janin yang lama dalam kandungan
 Pre – eklamsi dan eklamsi
 Infeksi, hepatitis, dan septik syok (mochtar, 1998).

 Inversio uteri
Inversio uteri adalah keadaan dimana fundus uteri terbalik sebagian atau
seluruhnya masuk ke dalam kavum uteri (mochtar, 1998).

2.3.2. Diagnosis
 Palpasi uterus : bagaimana kontraksi uterus dan TFU.
 Memeriksa plasenta dan air ketuban : apakah lengkap atau tidak.
 Lakukan eksplorasi kavum uteri untuk mencari :
 Sisa plasenta dan ketuban
 Robekan rahim
 Plasenta suksenturiata
 Inspekulo : untuk melihat robekan pada serviks, vagina, dan varises yang
pecah.
 Pemeriksaan laboratorium : pemeriksaan darah, Hb, COT, dl.
 Pengawasan TD, nadi, dan RR (mochtar, 1998).

2.3.3. Penanganan
 Pencegahan perdarahan pospartum
 Melakukan ANC yang baik dan rutin.
 Siap siaga pada kasus – kasus yang di sangka akan terjadi perdarahan
 Di RS di periksa keadaan fisik, keadaan umum, kadar Hb, golda, dan
bila mungkin tersedia donor darah.
 Sambil mengawasi persalinan, dipersiapkan keperluan untuk infus dan
obat – obatan penguat rahim (uterotonika).

26
 Setelah ketuban pecah dan kepala janin mulai membuka vulva, infus
dipasang dan sewaktu bayi lahir diberikan 1 ampul methergin atau
kombinasi dengan 5 satuan sintosinon (=sintometrin iv). Hasilnya
biasanya memuaskan (mochtar, 1998).

 Pengobatan perdarahan kala uri


 Berika oksitosin
 Cobalah mengeluarkan plasenta menurut cara crede (1-2 kali)
 Pengeluaran plasenta dengan tangan segera sesudah janin lahir
dilakukan jika :
a. Ada sangkaan akan terjadi perdarahan postpartum
b. Ada perdarahan yang banyak (lebih dari 500 cc)
c. Terjadi retensio plasenta
d. Dilakukan tindakan obstetri dalam narkosa (anastesi)
e. Ada riwayat perdarahan postpartum pada persalinan yang dulu.
 Jika masi ada sisa plasenta yang melekat dan masih terdapat perdarahan
segera lakukan utero – vaginal tamponade selama 24 jam, diikuti
pemberian uterotonika dan antibiotik selama 3 hari berturut – turut; dan
pada hari ke – 4 baru lakukan kuretase untuk membersihkannya.
 Bila semua upaya di atas tidak menolong juga, maka usaha terakhir
adalah menghilangkan sumber perdarahan dengan cara meligasi arteri
hipogastrika atau histerektomi (mochtar, 1998).

2.3.4. Prognosis

Pada perdarahan postpartum, Mochtar R. Dkk, (1969) melaporkan angka


kematian ibu sebesar 7,9% dan Wiknjosastro H. (1960) 1,8 – 4,5%. Tingginya
angka kematian ibu karena banyak penderita yang dikirim dari luar dengan
keadaan umum yang sangat jelek dan anemis dimana tindakan apapun kadang –
kadang tidak menolong (mochtar, 1998).

27
BAB III

PENUTUP

1. Kasus gawat darurat obstetri adalah kasus obstetri yang apabila tidak segera
ditangani akan berakibat kematian ibu dan janinnya.
2. Salah satu komplikasi yang paling sering terjadi selama kehamilan adalah
perdarahan.
3. Perdarahan dapat terjadi baik pada saat hamil muda, hamil tua, selama
persalinan, ataupun setelah persalinan.
4. Prinsip penanganan perdarahan ini adalah menghentikan perdarahan sesegera
mungkin dan mencegah terjadinya syok serta anemia.
5. Sangat dianjurkan kepada ibu – ibu hamil dengan faktor risiko untuk lebih rutin
dalam melakukan antenatal care.
6. Untuk yang memiliki faktor risiko tinggi, di anjurkan untuk melakukan
persalinan di RS dan dibantu oleh tim medis yang ahli

28
DAFTAR PUSTAKA

Hasnah &Triratnawati A. 2003. Penelusuran Kasus – Kasus Kegawatdaruratan


Obstetri Yang Berakibat Kematian Maternal Studi Kasus Di Rsud
Purworejo, Jawa Tengah. Di unduh dari :
http://repository.ui.ac.id/dokumen/lihat/56.pdf [diakses pada 13 Juni 2012]

Fanani B. 2010. Ruptur Uteri. Diunduh dari : http://ifan050285.wordpress.com/


2010/02/21/ruptur-uteri/[diakses pada 13 Juni 2012]

Idhuu. 2012. Perdarahan Awal Kehamilan. Diunduh dari :


http://healthyenthusiast.com/perdarahan-awal-kehamilan.html [diakses pada 14
Juni 2012]

Mochtar, R. 1998. Sinopsis Obstetri (Jilid 1, Edisi 2). Jakarta : EGC

Saifudin. 2006. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan


Neonatal. Jakarta : YBP-SP

Widjanarko B. 2009. Kegawatdaruratan Obstetrik. Diunduh dari :


http://reproduksiumj.blogspot.com/2009/09/kegawat-daruratan-obstetrik.html
[diakses pada 13 Juni 2012]

29

Anda mungkin juga menyukai