Anda di halaman 1dari 8

Teori Konseling Realitas

William Glasser

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas dalam mata kuliah Teori Konseling
yang diampu oleh :

Dr. Anne Hanifa, M.Pd.

Dr. Nandang Budiman, M.Si.

Oleh :

Annisa Shelsa Lailia (1800738)

Apriliani Fauzia T (1805694)

Inggita Alhuuri Salam (1800165)

Windy Sri Rahayu (1800974)

DEPARTEMEN PSIKOLOGI PENDIDIKAN DAN


BIMBINGAN

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

2019
Biografi William Glasser
William Glasser lahir pada tanggal 11 Mei 1925 di Cleveland, Ohio. Pada
mulanya Glasser belajar dibidang teknik kimia di Universitas Case Institute Of
Technology. Pada usia 19 tahun ia dikabarkan sebagai menderita shyness atau rasa
malu yang akut.
Pada perkembangan selanjutnya Glasser tertarik pada studi Psikologi,
kemudian dia mengambil program psikologi klinis di Western Reserve University
dan membutuhkan waktu tiga tahun untuk meraih gelar Ph.D yang pada akhirnya
Glasser menekuni profesinya dengan menetapkan diri sebagai psikiater.
Setelah beberapa waktu melakukan praktek pribadi dibidang klinis, Glasser
mendapatkan kepercayaan dari California Youth Authority sebagai kepala psikiater
di Ventura School For Girl. (Tanpa Nama, 2010, hal. 1-2). Mulai saat itu Glasser
melakukan eksperimen tentang prinsip dan teknik reality terapi.
Pada tahun 1969 Glasser berhenti bekerja dari Ventura dan pada saat itu
Glasser mulai mendirikan Institute For Reality di Brent Wood. Kemudian
menyelenggarakan educator treaning centre yang bertujuan untuk meneliti dan
mengembangkan program-program untuk mencegah kegagalan sekolah. Banyak
pihak yang dilatih dalam lembaganya ini antara lain: perawat, pengacara, dokter,
polisi, psikolog, pekerja sosial dan guru.
Glasser was married to Naomi for 47 years, and she was very involved with
the William Glasser Institute until her death in 1992. In 1995 Glasser married
Carleen, who is an instructor at the Institute. ( Corey, G., 2009, 316)
William Glasser adalah seorang psikiater yang mengembangkan konseling
realitas pada tahun 1950-an. Glasser mengembangkan teori ini karena merasa
tidak puas dengan praktek psikiatri yang telah ada dan dia mempertanyakan
dasar-dasar keyakinan terapi yang berorientasi kepada Freudian.(Tanpa Nama,
2010, hal. 1-2).

A. Pandangan Tentang Manusia


Glasser mengemukakan pemikirannya bahwa sikap dan perilaku manusia bukan
merupakan hasil dari rangsangan eksternal dan kejadian dimasa lalu, namun
didorong oleh pilihannya untuk memenuhi lima kebutuhan dasar universal.
Kebutuhan-kebutuhan dasar kita semua motivasi dan perilaku manusia
dirancang untuk memenuhi satu atau lebih dari lima ‘kebutuhan’ dasar yang
dibangun di dalam susunan genetis kita, yaitu: (Stephen Palmer, 2017, 528)
(a) Kelangsungan hidup, kesehatan, dan reproduksi: termasuk semua fungsi
fisiologis yang dilakukan oleh tubuh dalam upaya menjaga kesehatan
homeostasi: (‘keseimbangan kesehatan’kita). Termasuk juga dorogan
seksual yang pada gilirannya, tentu saja, memampukan spesies manusia
untuk bertahan hidup.
(b) Cinta dan kepemilikan: kebutuhan penting yang kita punyai untuk cinta dan
persahabatan, untuk berbagi dan bekerja sama.
(c) Kekuatan/harga diri: kata lain dari kompetensi, martabat, pemberdayaan,
atau ‘kemampuan’.
(d) Kebebasan: berarti kemampuan untuk membuat pilihan-pilihan;untuk
berubah;untuk menjadi mandiri;untuk bebas dan tak dibatasi (termasuk
memiliki ruang fisik yang cukup).
(e) Kesenangan dan kegembiran: kebutuhan yang dapat mengekspresikan
bentuknya di hampir semua kegiatan manusia. Termasuk ‘minat’ dan
permainan yang, menurut Glasser, penting dipelajari.
In Glasser’s theory, humans are front-wheel drive vehicles, which ascribes
importance to the thinking and doing aspects of total behavior. Glasser
maintains that people have much more control over thinking and action than
feeling and physiology. It is easier to adjust one’s thinking about a situation,
for example, to stop dwelling on the difficulty of a situation and start thinking
about possible solutions, or to run faster or slower than it is to make yourself
instantly feel differently or make yourself spontaneously sweat or digest your
food more quickly. People have the innate potential to control their thoughts
and actions directly, but to control their feelings and physiology only indirectly,
through changing their thoughts and actions. For example, to sweat less, stop
running or, in the case of anxious sweating, think calming thoughts. This
assumption has importan implications for change. Namely, if one wants to have
the highest probability of successful change, one needs to target those areas of
total behavior that one can control: thinking and doing; then the car (organism)
will move in a new direction. (A.Fall, K., Holden, J. M., & Marquis, A, 2004,
224).

B. Tujuan Konseling Realitas

Tujuan Utama dalam Konseling Realitas adalah untuk membantu konseli dapat
terhubung atai dapat menghubungkan kembali dengan orang yang mereka pilih
untuk bisa dimasukan. Tujuan Konseling ini secara luas adalah untuk mencapai
identitas yang memiliki keberhasilan (Success Identity) . Tujuan Konseling Realitas
Menurut Corey (Lubis, 2011 : 188) adalah membantu individu mencapai otonomi.

Otonomi yang dimaksud adalah sebuah kematangan emosional yang


dibutuhkan individu untuk menggantikan motivasi eksternal dengan motivasi
internal. Tujuan Konseling Realitas menurut Darmon (Mashoran, 2014 :5 ) adalah
membantu konseli agar memiliki kontrol yang lebih besar terhadap kehidupannya
sendiri dan mampu membuat pilihan yang lebih baik. Pilihan baik yang
dimaksudkan adalah pilihan yang memiliki kriteria: membantu memenuhi
kebutuhan dasar, dapat dipertanggung jawabkan, Realistik (sesuai dengan keadaan
masalah sesungguhnya), dapat memungkinkan untuk bisa menjalin hubungan yang
saling memuaskan dengan orang lain, bisa mengembangkan identitas keberhasilan
,dan memiliki keterampilan konsisten untuk bisa membentuk tindakan yang sehat
agar dapat meningkatkan perilaku keseluruhannya.

C. Tahapan Konseling Realitas

Menurut Dr. Robert Wubbolding dalam Stephen Palmer (2017), ada dua strategi
utama yang menjadi pedoman dalam pendekatan konseling realitas, yaitu kondisi
lingkungan yang kondusif dan cara-cara yang mengakibatkan adanya perubahan
dalam diri konseli. Untuk memenuhi kedua unsur tersebut, maka dilakukan tahapan
sebagai berikut :

1) Konselor menunjukkan keterlibatan dengan konseli (be friend)


Tahap pertama ini bisa ditunjukkan dengan membangun relasi yang
baik pada awal pertemuan, seperti bersifat hangat, ramah, terbuka,
menunjukkan kepedulian, dll. Penciptaan hubungan yang baik dari awal
pertemuan ini menjadi sangat penting, karena akan membuat konseli merasa
aman untuk terbuka dan menjalani proses konseling selanjutnya.
Penunjukkan keterlibatan dengan konseli juga dapat ditunjukan
dengan perilaku attending. Perilaku ini tampak dalam kontak mata (menatap
konseling), ekspresi wajah (menunjukkan minatnya tanpa dibuat-buat),
poros tubuh (agak condong dan diarahkan ke konseli), melakukan respon
refleksi, memperhatikan perilaku nonverbal konseli, dan memberikan
respon parafrase. (Gerald Corey dalam skripsi Amamiyatul Amali)

2) Fokus pada perilaku saat ini


Setelah hubungan di awal konseling terjalin dengan baik, tahap
kedua yakni eksplorasi diri bagi konseli. Konselor dapat melakukan
wawancara untuk mengetahui ketidaknyamanan yang dirasakan konseli
dalam menghadapi permasalahannya. Pada tahap ini, baik untuk dibuat
komitmen konseling seperti apasaja yang dapat konselor lakukan untuk
membantu konseli menghadapi permasalahannya, apa yang menjadi sasaran
perubahan konselor terhadap konseli, dan bagaimana sudut pandang
konselor.
3) Mengeksplorasi total behavior konseli
Tahap selanjutnya adalah ketika konselor telah mengetahui apa saja
yang menjadi ketidaknyamanan konseli, maka selanjutnya adalah bertanya
secara spesifik apa saja yang biasanya dilakukan konseli. Hal ini sejalan
dengan cara pandang konseling realitas, bahwa akar permasalahan konseli
bukan pada perasaannya melainkan perilakunya (doing).
Misal, konseli mengungkapkan bahwa setiap ia akan menghadapi
ujian, ia merasakan kecemasan yang berlebih. Dalam pandangan konseling
realitas, yang harus diatasi bukan kecemasannya tetapi hal-hal apa saja yang
telah dilakukannya untuk menghadapi ujian. (Amamiyatul Amali, 2019)

4) Proses penilaian diri konseli


Proses ini bukan lagi dilaksanakan oleh konselor, namun konseli
sebagai pelaku utama penilaian terhadap dirinya sendiri sekaligus untuk
mengevaluasi apa saja yang telah dilakukannya. Pada tahap ini, konselor
dapat bertanya apakah perilaku konseli selama ini disadari oleh keyakinan
bahwa hal tersebut membawa pengaruh positif baginya. Selain itu juga
dengan bertanya apakah perilakunya tersebut dapat membuatnya keluar dari
permasalahan tersebut atau tidak.
Konselor tidak bersifat sebagai judger yang menilai benar atau salah
nya perilaku konseli, melainkan membimbing konseli untuk mengevaluasi
perilakunya sendiri.
5) Merencanakan tindakan yang bertanggung jawab.
Tahap ini bermula ketika konseli menyadari ada kesalahan pilihan
dalam perilakunya yang membuat ia tidak dapat keluar dari masalahnya.
Konselor kemudian membantu dan membimbing konseli untuk menyusun
rencana yang bersifat spesifik dan kongkret guna mengeluarkan konseli dari
permasalahnnya.
6) Membuat komitmen
Komitmen dalam tahap ini bukan lagi seputar konseling yang akan
berlangsung kedepannya, melainkan komitmen terhadap diri konseli guna
mendorongnya merealisasikan rencana yang telah disusun sebelumnya
sesuai jangka waktu yang diharapkan.
7) Tindak lanjut
Merupakan tahap terakhir dalam konseling realitas. Konselor dan
konseli mengevaluasi perkembangan yang dicapai, konseling dapat berakhir
atau dilanjutkan jika tujuan yang telah disusun tadi belum tercapai. (Gantina
Komalasari, dkk : 2011, 243-252)
D. Teknik-teknik Konseling Realitas

Teknik-teknik Terapi Realitas Menurut Corey (2009), pada hakikatnya terapi


interaksi sama sekali tidak menggunakan teknik khusus seperti pada pendekatan
yang lain. Terapi realita tidak menggunakan obat-obatan dan medikasi konservatif
dengan alasan bahwa medikasi cenderung menyingkirkan tanggung jawab pribadi.
Selain itu, terapi realitas juga tidak menggunakan diagnostik karena dianggap
membuang waktu dan merusak klien dengan menyematkan label pada dirinya
sendiri. (Dr. Namora Lumongga Lubis, 2011, p. 189).

Teknik lain yang tidak digunakan adalah: penafsiran, pemahaman, wawancara


nondirektif, sikap diam berkepanjangan, asosiasi behas, analisis transferensi dan
esistensi dan analisis mimpi yang membahas tentang fokus utama teknik
pengembangan yang mengembangkan sumber daya yang dibutuhkan klien untuk
mendapatkan keuntungannya dalam hidup Menurut Corey (2009) , teknik-teknik
yang dapat dilakukan terdiri dari:

a. Terlibat dalam permainan peran dengan klien


b. menggunakan humor
c. Mengonfrontasikan klien dan menolak alasan apa pun dari klien
d. Membantu klien merumuskan rencana kerja secara khusus
e. Bertindak sebagai guru / model
f. Memasang batas-batas dan menyusun situasi terapi
g. Menggunakan terapi kejutan verbal atau sarkasme yang layak untuk
mengonfortasikan klien dengan tingkah lakunya yang tidak realistis
h. Melibatkan diri dengan klien untuk mencari kehidupan yang lebih efektif.
Pelaksanaan teknik tersebut dibuat tidak secara kaku. Hal ini disesuaikan
dengan karakteristik konselor dank lien yang menjalani terapi realitas. (Dr.
Namora Lumongga Lubis, 2011, p. 189)
Daftar Pustaka

A.Fall, K., Holden, J. M., & Marquis, A. (2004). Theoretical Models Of Counseling
and Psychotherapy. New York: Brunner-Routledge.

Amali, A. (2019). Terapi Realitas untuk Mengendalikan Self Control pada


Seorang Remaja yang Melakukan Bullying di Desa Bendet. Jurnal
UINSBY, 32-35.

Corey, G. (2009). Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy.


Belomnt: Thomson Higher Education.

Dr. Namora Lumongga Lubis, M. S. (2011). Memahi Dasar-Dasar Konseling


Dalam Teori dan Praktik. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Lubis, N. L (2011). Memahami Dasar-Dasar Konseling dalam Teori dan Praktik.

Mashoran, A. (2014). Unesa Jurnal Mahasiswa Bimbingan dan Konseling.


Penerapan Konseling Kelompok Realita Teknik Wdep Untukmeningkatkan
Disiplin Belajar Siswa Kelas Xi Ips SMA Negeri 1 Rogojampi Banyuwangi.

Nama, T. (2010). William Glasser. 1-2.

Palmer, Stephen. (2017). Konseling dan Psikoterapi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Anda mungkin juga menyukai