disusun oleh
dr. Pathrecia Natalia Siagian
Objektif kasus :
Keilmuan Keterampilan Penyegaran Tinjauan pustaka
Sesak napas dialami ± 2 tahun terakhir dan semakin dirasakan memberat dalam ±
1 bulan terakhir. Sesak semakin terasa pada dada sebelah kiri ± 2 jam SMRS. Nyeri
dada kiri dirasakan seperti ditusuk-tusuk dialami saat OS menarik nafas dan nyeri
dada berkurang jika OS tidur miring ke kiri. Batuk dialami ± 2 tahun ini dan
dirasakan semakin sering ± 1 bulan terakhir dengan dahak yang semakin
bertambah banyak dan kental serta perubahan warna dahak dari putih menjadi
kuning kehijauan. Riwayat batuk darah sebelumnya disangkal. Badan meriang (+)
dialami ± 1 bulan ini dan hilang dengan obat penurun panas yang didapat dari
Pustu. Nafsu makan menurun, ± 5 sdm/ kali makan. Mual (+) namun tidak disertai
muntah. Penurunan BB (+) ± 6 kg dalam 1 bulan terakhir. Riwayat merokok (+) ±
20 tahun terakhir, sebanyak 2 bungkus rokok/ hari. Pasien bekerja sebagai petani
yang sering menyemprot pestisida tanpa menggunakan masker.
Tiga jam SMRS, pasien ditemukan terduduk di teras rumahnya sambil memegang
dadanya, terlihat sesak berat, masih bisa berteriak untuk memanggil keluarganya.
Keluarga lalu membawa pasien masuk ke dalam rumah dan memanggil seorang
perawat di Pustu dan diberikan obat anti hipertensi. Saat perjalanan ke RS selama
2 jam, OS terlihat lemas dan tidak sadarkan diri. Sesampainya di IGD RS, bibir
pasien terlihat biru, badan terasa dingin dan keringat dingin. Setelah diberikan O 2
4 lpm via sungkup, SpO2 77%. Kemudian diganti menjadi O2 10 lpm via NRM, SpO2
menjadi 88%. Lapor konsulen penyakit dalam, diusulkan untuk dilakukan
thoracosintesis, namun setelah konsulen bedah dilapor, diusulkan untuk
pemasangan WSD cito. Di OK dilakukan pemasangan WSD pada hemithorax kiri.
2. Riwayat pengobatan
Riwayat minum OAT selama 6 bulan pada tahun 2014 dan menurut keluarga, OS
dinyatakan sudah membaik. Namun, keluhan batuk, sesak, badan meriang dan
keringat malam kembali timbul pada akhir tahun 2016, dengan hasil dahak (+) di
Pustu, namun OS tidak melakukan pengobatan OAT kembali.
Pasien mengaku tidak pernah menggunakan obat-obatan terlarang. Penggunaan
tato (-).
3. Riwayat penyakit dahulu
Hipertensi (+) namun OS jarang minum obat ataupun kontrol. Riwayat obat anti
hipertensi tidak jelas.
TB Paru (+) dan telah minum OAT dan dinyatakan sembuh tahun 2014, namun
dinyatakan BTA (+) akhir tahun 2016 namun tidak mau berobat.
Riwayat DM, stroke, dan jantung disangkal.
Ayah OS memiliki riwayat asma dan hernia. Ibu OS mengalami keluhan serupa dan
telah mendapat pengobatan OAT namun OS tidak tinggal serumah dengan Ibunya.
5. Riwayat sosioekonomi
Pasien sehari-hari bekerja sebagai petani. Pembiayaan menggunakan BPJS APBN.
6. Pemeriksaan fisik
Dilakukan pemeriksaan fisik pada tanggal 11/06/2018.
- Keadaan umum : lemah.
- Kesadaran : compos mentis.
- Vital Sign :
TD : 90/60 mmHg
HR : 94 x/mnt
RR : 20 x/mnt
SpO2 : 95%
WSD : bubble (+), undulasi (+)
- Warna Kulit : coklat
- Kepala : dalam batas normal
- Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil isokor ɸ 3 mm
refleks pupil direk (+/+), indirek (+/+)
- Hidung : simetris, tidak ada kelainan
- Gigi dan mulut : dalam batas normal
- Telinga : dalam batas normal
- Leher : peningkatan JVP (-), pembesaran KGB (-)
- Thoraks :
Cor :
Dilakukan foto thorax PA ulangan pada pasien ini untuk menentukan posisi WSD satu hari
setelah pemasangan WSD pada tanggal 10/06/2018. Evaluasi hasil foto thorax, kesan:
pneumothorax sinistra, posisi WSD baik.
Pemeriksaan fisik pada tanggal 12/06/2018
- Keadaan umum : sedang
- Kesadaran : compos mentis
- TD : 100/70 mmHg
- RR : 17x/menit
- HR : 89x/menit
- SpO2 : 98%
- WSD : bubble (+), undulasi (+)
- Mata : CA (-/-), SI (-/-), pupil isokor ɸ 3mm, refleks cahaya (+/+)
- Thorax : retraksi suprasternal (+)
- Pulmo : asimetris, stem fremitus kiri < kanan, sonor memendek pada paru
kanan, vesikuler melemah paru kiri, rhonki kasar (+/+), wheezing (+/+)
- Ekstremitas : akral hangat, edema (-/-), sianosis (-/-)
7. Pemeriksaan Penunjang
Lab : Hb/Ht/Leu/Tr : 17,2/49/23.000/227.000
Hitung Jenis : 0/2/85/7/6
Ureum/kreatinin : 15/0,6
SGOT/SGPT : 50/32
GDS : 165
EKG : Normal sinus rhythm, HR 87 bpm, early repolarization dengan zona transisi
dimulai dari V2. Kesan : EKG normal
8. Diagnosis
Saat di IGD
- O2 10 lpm via NRM
- Inj. Cefotaxime 1 gr /12 jam IV
- Inj. Dexamethasone 1 ampul/8 jam IV (2 hari)
- Nebu ventolin 1 respule + nebu pulmicort 1 respule
- Ambroxol 3 x 30 mg
Setelah di ruangan
- O2 2 lpm via NK
- Inj. Cefotaxime 1 gr / 12 jam IV
- Inj. Ketorolac 30 mg / 8 jam IV (k/p)
- Nebu ventolin 1 respule / 8 jam rutin
- Azitromisin 1 x 500 mg
- Ambroxol 3 x 30 mg
DAFTAR PUSTAKA
1. Yakar HI. The Role of Tuberculosis in COPD. International Journal of COPD 2017:12
323-329.
2. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease. Pocket Guide to COPD
Diagnosis, Management and Prevention: A Guide for Health Care Professionals.
2017 Report.
3. Baig IM. Post-Tuberculous Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Journal of the
College of Physicians and Surgeons Pakistan 2010, Vol. 20 (8): 542-544.
4. Sarkar M. Tuberculosis Associated Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Review
Article DOI: 10.1111/crj.12621. Clin Respir J. 2017;11:285-295.
5. Pauwels, RA. Global Strategy for The Diagnosis, Mangement, and Prevention of
Chronic Obstructive Pulmonary Disease : NHLBI/WHO Global Initiative for Chronic
Obstructive Lung Disease (GOLD) Workshop Summary. Am J Respir Crit Care Med
Vol 163. pp 1256-1276. 2001.
6. Rabe KF. Global Strategy for The Diagnosis, Management and Prevention of
Chronic Obstructive Pulmonary Disease : GOLD Executive Summary. Am J Respir
Crit Care Med Vol. 176. pp 532-555, 2007.
7. Elkington PT. Matrix Metalloproteinases in Destructive Pulmonary Pathology.
Thorax 2006; 61:259-266. DOI: 10.1136/thx.2005.051979.
8. Low, LL. A Unique Case of Spontaneous Secondary Pneumothorax (SSP) Occuring
During an Acute Exacerbation of Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD).
Proceedings of Singapore Healthcare Volume 23 Number 2 2014.
9. Hobbs BD. Pneumothorax Risk Factors in Smokers With and Without Chronic
Obstructive Pulmonary Disease. Ann Am Thorac Soc Vol 11, No 9, pp 1387-1394,
Nov 2014.
10. Pipavath SN. Chronic Obstructive Pulmonary Disease: Radiology-Pathology
Correlation. J Thorac Imaging Volume 24, Number 3, August 2009.
11. Noppen M. Pneumothorax. Respiration 2008; 76: 121-127. DOI:
10.1159/000135932.
12. Noppen M. Spontaneous Pneumothorax: Epidemiology, Pathophysiology and
Cause. Eur Respir Rev 2010; 19: 117, 217-219. DOI: 10.1183/09059180.00005310.
13. Baumann, MH. Pneumothorax. Respirology (2004) 9, 157-164.
14.
HASIL PEMBELAJARAN
SUBJEKTIF
Pada pasien mengeluhkan sesak nafas sejak ± 1 bulan dan dirasakan semakin
memberat dalam 1 minggu terakhir. Pada manusia produktif, gejala sesak nafas
harus dievaluasi apakah terlibat masalah pulmoner atau kardiak. Dalam hal ini,
perlu ditanyakan gejala klinis yang menyertainya. Sesak yang berkaitan dengan
masalah kardiak biasanya diperberat dengan aktivitas. Sementara sesak karena
masalah pulmoner biasanya tidak dipengaruhi aktivitas dan sering disertai dengan
gejala lain seperti demam dan batuk. Pada pasien ini mengeluhkan batuk berdahak
yang dialami sejak ± 2 tahun terakhir dan dirasakan semakin sering dalam ± 1 bulan
terakhir dengan perubahan warna dahak dari putih menjadi kuning kehijauan
dengan dahak yang bertambah banyak dan kental. Pada pasien ini lebih
dititikberatkan penyebabnya PPOK karena dari anamnesis dikatakan pasien
merupakan perokok berat dengan riwayat merokok 2 bungkus per hari. Pasien
bekerja sebagai petani dengan riwayat terpapar pestisida tanpa menggunakan
masker. Selain itu, di rumah pasien memakai obat nyamuk bakar di dalam rumah
dan kayu bakar untuk memasak. Namun hal ini masih didiagnosis banding dengan
bekas TB paru karena pasien mengaku pernah minum OAT selama 6 bulan pada
tahun 2014, dan kemudian di akhir tahun 2016, pasien kembali mengalami batuk ±
1 bulan, keringat malam dan sesak nafas dan dinyatakan status BTA (+) di Pustu,
namun pasien tidak mau berobat rutin untuk kedua kalinya. Atas keluhan tersebut,
dipikirkan bahwa pasien menderita PPOK dengan diagnosis banding bekas TB paru.
Hal ini disebabkan oleh anamnesis pasien yang mengatakan pernah mengalami
batuk berdahak yang dirasakan semakin bertambah banyak dengan dahak yang
semakin banyak, kental dan berubah warna. Hal ini sesuai dengan trias PPOK
eksasebasi akut. Namun, dari anamnesis riwayat minum OAT, pasien didiagnosis
banding dengan bekas TB paru. Setelah mendapatkan anamnesis yang cukup,
nantinya perlu didukung dengan hasil pemeriksaan fisik maupun penunjang yang
sesuai. Hasil pemeriksaan fisik dan penunjang inilah yang nantinya diharapkan dapat
menegakkan diagnosis pasti penyakit pasien ini.
OBJEKTIF
Dari pemeriksaan fisik dan penunjang yang dilakukan di ruangan rawat inap
satu hari post pemasangan WSD pertama, dijumpai adanya tanda pneumothorax
dengan pemeriksaan fisik thorax menunjukkan asimetris, ketertinggalan gerak
napas pada dada kiri. Saat mempalpasi thorax dijumpai stem fremitus hemithoraks
kiri lebih lemah daripada hemithoraks kanan. Pada perkusi ditemukan batas jantung
bergeser ke kanan dengan kesan jantung tidak membesar. Pada auskultasi dijumpai
suara pernapasan vesikuler, yang melemah pada lapangan paru kiri dibandingkan
paru kanan dengan suara tambahan berupa rhonki kasar dan wheezing di kedua
lapangan paru. Dari tanda tersebut dapat disimpulkan pasien mengalami
pneumothorax.
Dari hasil pemeriksaan fisik dijumpai mulut mencucu, dimana tanda seperti
itu disebabkan banyaknya residu udara dalam paru-paru. Dari inspeksi thorax
dijumpai bentuk dada seperti tong dengan diameter anteroposterior sama dengan
diameter lateral thorax. Hal ini disebabkan adanya air trapping pada cavum thorax.
Dari anamnesis juga dikatakan pasien dengan riwayat merokok 2 bungkus/ hari dan
terpapar pestisida tanpa menggunakan masker, sehingga anamnesis dan temuan ini
dikaitkan dengan PPOK. Namun, pasien juga memiliki riwayat TB dan riwayat
minum OAT. Berdasarkan temuan ini, disimpulkan bahwa pasien mengalami
pneumothorax spontan sekunder, karena pneumothorax pada pasien ini terjadi
akibat adanya suatu penyakit paru yang mendasari.
Pada hari ketiga rawatan di ruangan, tampak pasien lebih sesak dengan
retraksi suprasternal dan intercostal lebih jelas. Pada pemeriksaan fisik, diraba
krepitasi pada daerah wajah, leher, dada, perut, punggung, lengan hingga kaki.
Penyebab emfisema pada pasien ini masih perlu ditelusuri. Emfisema subkutan
pada pneumothorax dapat disebabkan akibat adanya bullae di perifer berdekatan
dengan pleura yang pecah, sehingga mengakibatkan udara diantara pleura viseral
dan parietal dapat masuk ke bawah kulit. Mekanisme lain yang bisa terjadi adalah
iatrogenik, dimana bisa terjadi akibat kesalahan pasien dan kesalahan dokter
sendiri. Kesalahan pasien adalah apabila pasien bergerak terlalu banyak dan kurang
memperhatikan posisi selang WSD. Sementara itu, kesalahan dokter dikaitkan
dengan kesalahan saat pemasangan WSD, dimana selang WSD yang diinsersi tidak
melebihi 5 cm dari jarak lubang terakhir pada selang WSD, sehingga ketika paru-
paru mulai berkembang dan udara di antara pleura parietal dan viseral mulai keluar
melalui selang WSD, selang tersebut menjadi terdorong sehingga masuk ke dalam
subkutan, sehingga menyebabkan emfisema subkutan.
Kemudian dilakukan foto thorax ulangan sebelum dilakukan
perbaikan/penggantian WSD dan multiple incision. Setelah menilai dan
mempertimbangkan foto thorax tersebut disertai hilangnya bubble dan undulasi
pada selang WSD, diputuskan untuk menutup bekas WSD yang lama dan memasang
WSD yang baru serta multiple incision. Pada hari keempat rawatan di ruangan (1
hari setelah pemasangan WSD yang kedua), dijumpai klinis pasien membaik dengan
bubble dan undulasi (+) pada selang WSD. Pada foto thorax kontrol dijumpai
pneumothorax sinistra minimal pada lapangan paru kiri dan emfisema subkutan
yang masih tersebar pada seluruh tubuh. Pasien dianjurkan untuk meniup botol
yang kosong atau balon. Hal ini ditujukan untuk melatih perkembangan paru.
ASSESSMENT
Berdasarkan data subjektif dan objektif yang didapatkan pada pasien ini,
dapat disimpulkan adanya pneumothoraks spontan sekunder ec PPOK dd/ Bekas TB
Paru. Berdasarkan hasil studi pustaka yang dilakukan, didapatkan hasil sebagai
berikut :
Definisi Pneumothorax
Pneumothorax adalah adanya udara di dalam kavum pleura, diantara pleura
viseral dan parietal sehingga menyebabkan kolaps pada paru. Istilah ini digunakan
oleh seorang dokter Prancis pada tesisnya tahun 1803, meskipun adanya kumpulan
udara dan cairan di dalam dada sudah disimpulkan secara dini sebagai hippocratic
succussion of the chest oleh dokter di Yunani Kuno pada abad ke-5 SM.
Klasifikasi Pneumothorax
Klasifikasi pneumothorax umumnya dibagi berdasarkan penyebabnya. Trauma
(iatrogenik ataupun kecelakaan) adalah penyebab umum pneumothorax.
Pneumothorax yang terjadi akibat trauma dibagi atas 2 jenis, yaitu pneumothorax
yang terjadi akibat barotrauma, dan pneumothorax traumatik yang terjadi akibat
trauma, pembedahan atau suatu tindakan intervensi tertentu. Jika pneumothorax
terjadi tanpa kejadian trauma sebelumnya, maka diklasifikasikan sebagai
peneumothorax spontan, dimana pneumothorax spontan terbagi atas primer (tanpa
bukti adanya penyakit pada dinding dada atau paru-paru secara klinis atau
radiologis) dan sekunder (merupakan komplikasi dari penyakit paru sebelumnya,
dengan bukti adanya penyakit yang mendasari).
3. Pneumothorax Iatrogenik
Penyebab paling sering menyebabkan pneumothorax iatrogenik adalah
transthoracic needle aspiration atau biopsi, dengan angka insidensi sekitar 20%.
Resiko terjadinya pneumothorax jenis ini meningkat akibat insersi yang terlalu
dalam, banyak dan lesi lebih kecil saat melakukan penanganan terhadap penyakit
paru obstruktif yang mendasari.
Tabel 3. Penyebab Pnemothorax Iatrogenik
Berdasarkan Frekuensi Terjadinya
4. lanf
Etiologi Pneumothorax
Patofisiologi Pneumothorax
Normalnya, tekanan di dalam pleura selalu negatif sehubungan dengan tekanan
atmosfer di seluruh siklus pernapsan. Tekanan yang berbeda antara alveoli
pulmonal dan kavum pleura disebut tekanan transpulmonal, dan tekanan ini lah
yang menyebabkan pengembangan elastik paru-paru. Pada kejadian pneumothorax,
terjadi hubungan antara alveoli pulmonal atau saluran nafas dengan kavum pleura,
dan udara akan bermigrasi dari alveoli ke kavum pleura sampai tekanan di dua
tempat tersebut sama. Sama dengan ketika dinding dada dan kavum pleura
terhubung, maka udara akan masuk dari lingkungan ke dalam kavum pleura sampai
tidak ada perbedaan tekanan lagi. Ketika udara yang berada di kavum pleura cukup
untuk menaikkan tekanan pleura, dari -5cmH 2O menjadi -2,5 cmH2O, maka tekanan
transpulmonal berkurang dari 5 cmH2O menjadi 2.5 cmH2O, dan kapasitas vital
paru-paru turun sebesar 33%. Masuknya udara ke dalam kavum pleura dapat
menekan paru-paru, sehingga menurunkan kapasitas vital sebesar 25%. Perubahan
tekanan kavum intra pleural dapat menaikkan volume thorax, menyebabkan
perubahan pada daya kembang kempis dinding dada dan penurunan kapasitas vital
sebesar 8%. Ketika tekanan pada kavum pleura meningkat, maka mediastinum akan
bergeser ke arah yang berlawanan, memperluas thorax pada sisi yang sama, dan
menekan diafragma. Perubahan ini terlihat pada tension pneumothorax dan
pneumothorax jenis lain.
Perubahan fisiologis utama yang terjadi pada pneumothorax adalah turunnya
tegangan oksigen arteri sehingga menurunkan kapasitas vital paru-paru. Pasien
yang mengalami pneumothorax primer dapat menanggung penurunan kapasitas
vital dengan baik. Beda halnya dengan pasien yang mengalami pneumothorax
sekunder yang disebabkan suatu penyakit, penurunan kapasitas vitalnya dapat
menyebabkan hipoventilasi alveolar dan gagal napas. Pada penelitian dikatakan dari
12 pasien yang didiagnosis dengan pneumothorax spontan, 9 orang (75%) memiliki
PO2 ≤80 mmHg, dan 2 orang yang didiagnosis dengan pneumothorax sekunder
memiliki PO2 ≤55 mmHg.
Tegangan oksigen yang berkurang dapat menyebabkan anatomic shunt dan pada
beberapa kasus, tercipta hipoventilasi alveolar pada area pneumothorax akibat
penurunan rasio ventilasi-perfusi pada alveoli paru. Pada studi yang melibatkan 12
orang tersebut diatas, ditemukan shunt dari pembuluh darah kanan ke kiri untuk
rasio > 10% rata-rata pada orang normal. Saat pneumothorax meliputi <25% lateral
thorax, shunt vaskular tidak meningkat. Ketika ukuran pneumothorax bertambah,
maka ukuran shunt juga bertambah.
Secara umum, ketika udara yang tertahan di dalam kavum pleura dikeluarkan, maka
saturasi oksigen akan meningkat dalam beberapa jam. Sebagai contohnya, pasien
pneumothorax yang memiliki shunt >20%, saat dilakukan evakuasi udara dalam
kavum pleura, maka shunt akan berkurang ≤10% dalam waktu 90 menit, meskipun
sekita 5% shunt masih terjadi. Angka penyembuhan shunt yang lama biasanya
berhubungan dengan durasi pnneumothorax.
Patogenesis Pneumothorax
Pneumothorax spontan primer biasanya ditemukan pada pria yang berperawakan
tinggi, kurus, berusia sekitar 10-30 tahun, dan kebanyakan ditemukan pada oang
yang terbiasa merokok. Dikatakan bahwa 91% pasien yang didiagnosis dengan
pneumothorax spontan primer merupakan perokok lama atau saat ini, dan semakin
kebiasaan merokok meningkat, maka kejadian pneumotorax juga meningkat.
Bronkiolitis yang disebabkan merokok juga memiliki kaitan dengan terjadinya
pneumothorax pada perokok.
Kebanyakan kasus pneumothorax spontan primer terjadi akibat rupturnya bleb atau
bulla subpleural secaa spontan, sehingga menyebabkan kebocoran udara ke dalam
kavum pleura. Bleb atau bullae pulmoner adalah suatu kantung kecil udara yang
terbentuk antara jaringan paru da pleura, berasal dari pembesaran alveoli
pulmoner (diameter 1-2 cm) dan biasanya berkembang di daerah apeks. Ada 2
mekanisme terbentuknya bleb atau bulla. Pertama karena kongenital, yaitu lobus
paru atas berkembang lebih cepat daripada vaskularisasinya, sehingga
menyebabkan kurangnya suplai darah dan pembentukan bullae. Mekanisme kedua
terjadi akibat tekanan pada kavum pleura yang negatif pada daerah apkes paru.
Pada orang yang berperawakan tinggi, maka tekanan kavum pleura yang negatif
semakin meningkat pada lobus paru atas, dan tekanan alveoli juga meningkat.
Peningkatan ini lah yang dapat menyebabkan pembentukan bullae dan
pneumothorax. Pneumothorax spontan primer jarang terjadi pada orang yang
memiliki turunan gen spesifik. Gen ini merupakan warisan autosomal dominant
dengan beragam penetrasi. Faktor resiko genetik meliputi HLA haplotype A2B40,
fenotipe M1M2 α-1 antitripsin, dan mutasi genetik FBN1. PSP dapat terjadi pada
pasien yang memiliki penyakit paru, seperti asma, pneumonia, abses paru dan
pertusis, dan juga dapat terjadi pada pasin dengan Marphan syndrome atau
karsinoma paru.
Pneumothorax spontan sekunder biasanya ditemukan pada pasien dengan penyakit
paru. Penyebab paling sering adalah PPOK yang dikenal sebagai bronkitis kronik dan
emfisema paru. Bullae multipel juga dapat berkembang pada pasien yang terkena
diikuti dengan pneumothorax.
Pada pasien dengan pneumothorax spontan primer yang terjadi tanpa kejadian
penyakit paru sebelumnya, ditemukan bullae subpleural pada 76-100% kasus
selama dilakukan tindakan video-assisted thoracoscopic. Sampai saat ini,
mekanisme terbentuknya bullae belum jelas. Adanya bleb dan bullae bilateral
terlihat pada CT scan pasien dengan pneumothorax spontan primer, yang tampak
sebagai emphysema-like changes (ELC). Suatu penelitian mengatakan, sekitar 89%
ELC ditemukan secara ipsilateral, dan 80% tampak pada kedua sisi. Mereka
membandingkan pasien dengan pneumothorax spontan primer yang tidak merokok
dengan individu sehat yang tidak merokok juga. Pada penderita pneumothorax yang
tidak perokok, ditemukan 81% kasus memiliki bullae. Hal ini terlihat sangat berbeda
dengan grup kontrol yang tidak dijumpai bullae, sehingga dapat disimpulkan bahwa
bullae memiliki kaitan erat terhadap terjadinya pneumothorax spontan primer.
Pada perokok, kejadian yang dapat menjelaskan mengapa dapat terbentuk bullae
ini adalah adanya degradasi serat elastik pada paru akibat rokok, disertai dengan
influks neutrofil dan makrofag. Degradasi ini selanjutnya menyebabkan
ketidakseimbangan antara sistem protease-antiprotease dan oksidan-antioksidan.
Setelah itu, inflamasi yang ditimbulkan oleh bullae akan menginduksi obstruksi pada
saluran pernapasan kecil sehingga menaikkan tekanan alveoli, yang nantinya dapat
menyebabkan kebocoran udara ke dalam interstisial paru. Udara ini kemudian akan
berpindah ke hilum menyebabkan pneumomediastinum. Ketika tekanan
mediastinum meningkat, maka terjadilah ruptur pada pleura mediastinal yang
nantinya menyebabkan pneumothorax.
Pada pasien yang sedang dirawat di unit perawatan intensif, kasus pneumothorax
seringkali terjadi akibat barotrauma yang berhubungan dengan ventilasi mekanik
akibat adanya penurunan compliance paru. Proses awal terjadinya barotrauma
adalah terbentuknya emfisema interstisial perivaskular. Ketika gradien tekanan
antara alveoli dan insterstisial melebihi level kritisnya, maka terjadilah ruptur alveoli
dan udara akan masuk ke dalam interstisial. Tekanan yang dapat menyebabkan
proses ini terjadi bervariasi sesuai dengan tingkat keparahan penyakit paru dan
berhubungan dengan penggunaan volume tidal yang berlebihan selama ventilasi.
Distensi yang berlebihan pada area bebas pada paru dan rupturnya pleura
mediastinal inilah yang menjelaskan mengapa pneumothorax pada ARDS seringkali
terjadi di bagian anterior, medial dan sub pulmonal. Strategi yang dapat dipakai
untuk mencegah kebocoran udara ini adalah dengan membatasi ventilasi.
Pneumothorax yang terjadi sebelumnya cenderung mengalami pembesaran dan
semakin tegang akibat penggunaan ventilasi tekanan positif, penggunaan anestesi
nitrous oxide, dan pengurangan tekanan barometrik (misalnya pada dataran tinggi/
transportasi udara). Perubahan pada tekanan inilah yang nantinya menyebabkan
pneumothorax pada pasien dengan kejadian kebocoran udara sebelumnya.
Tatalaksana Pneumothorax
terdapat tiga perbedaan strategi tatalaksana selain dari menyuplai pasien dengan
oksigen, observasi, aspirasi atau pasang selang dada. Meskipun kedua guideline
ACCP dan BTS mendiskusikan secara detail tatalaksana pneumothorax, keduanya
membedakan keparahan pneumothorax dan kepentingan aspirasi.
1. Terapi oksigen
Gas pada kavum pleura diabbsorpsi oleh proses difusi dan dapat difasilitasi dengan
cara mengubah komposisi gas di dalam kavum pleura. Oksigen diserap 62 kali
lebih cepat daripada nitrogen dan karbon dioksida diserap 23 kali lebih cepat
daripada oksigen. Ketika pasien menghirup 100% oksigen, maka nitrogen akan
menghilang dari dalam kavum pleura, sehingga menyisakan hanya oksigen, yang
mana diserap lebih cepat dari kavum pleura ke dalam vena.
Daya absorpsi gas pada kavum pleura berkisar 1,25% per hari dalam udara sekitar;
suatu pneumothorax yang menempati 25% dari kavum akan membutuhkan 20
hari untuk diabsorpsi. Sebaliknya, ketika seseorang mendapatkan oksigen, daya
absorpsinya meningkat 3-4 kali; efek ini sangat menonjol ketika suatu volume gas
yang besar menempati kavum pleura. BTS guideline merekomendasikan
penggunaan oksigen aliran tinggi (10 L/menit) pada pasien simtomatik. Akan
tetapi, kewaspadaan tetap harus iperhatikan untuk menghindari hiperkarbia pada
pasien PPOK.
2. Observasi
Observasi dapat dilakukan pada kasus PSP dan SSP. Oleh karena PSP memiliki
angka mortalitas yang rendah, pasien yang stabil dapat diobservasi secara hati-
hati ketika gas diabsorpsi secara pasif dari kavum pleura. ACCP dan BTS
merekomendasikan observasi hanya diperuntukkan bagi pasien yang stabil dengan
pneumothorax yang kecil. Menurut ACCP guideline, pasien stabl harus diobservasi
selama 3-6 jam dan dapat dipulangkan jika foto kontrol mengeksklusikan progresi
pneumothorax, yang mengindikasikan bahwa lesi penyebab sudah tertutup.
Namun, apda pasien yang berada jauh dari rumah sakit, masuk untuk observasi
adalah pilihan yang terbaik. Meskipun pasien tidak dirawat di rumah sakit, pasien
harus diedukasi untuk pemeriksaan follow-up dalam 2 hari, tergantung sesuai
kebutuhan masing-masing pasien. Untuk pasien yang didiagnosis dengan SSP,
ACCP dan BTS merekomendasikan untuk dirawat, meskipun kasus pneumothorax
kecil.
3. Simple aspiration
Aspirasi dilakukan dengan menggunakan kateter kecil. Kateter tersebut
dimasukkan ke dalam kavum pleura dan dikeluarkan segera setelah udara
dikeluarkan dari kavum pleura atau meninggalkannya dalam keadaan insersi saat
pasien diobservasi. Angka keberhasilan aspirasi pada kasus pneumotorax spontan
adalah 53-58%, dengan angka rata-rata keberhasilan pada PSP adalah 75%, yang
jauh lebih tinggi daripada kasus SSP dengan angka keberhasilan 37%.
ACCP merekomendasikan untuk aspirasi sederhana pada pasien PSP yang stabil
dengan kondisi yang semakin buruk saat observasi. Sementara BTS
merekomendasikan penggunaan aspirasi pada seluruh pasien PSP yang butuh
intervensi.
4. bfsj
Tujuan dari penatalaksanaan pneumothorax ini adalah drainase udara dalam kavum
pleura dan mencegah berulangnya kejadian pneumothorax ke depan. Berbagai
pilihan terapeutik beragam, mulai dari observasi hingga torakotomi posterolateral
dengan bullectomy dan pleurectomy. Prosedur invasif biasanya diperlukan jika
ukuran pneumothorax melebihi 15% dari volume hemithorax, atau jika
pneumothorax semakin memburuk. Saat ini, pilihan pengobatan tergantung gejala
pasien, kejadian pneumothorax pertama atau berulang, ukuran pneumothorax dan
tingkat ELC. Namun, seperti yang sudah dijelaskan, adanya ELC tidak memiliki nilai
prediktif apakah kejadian pneumothorax spontan primer ini dapat berulang atau
tidak, serta tidak mempengaruhi pemilihan pengobatan. Maka, piliha pengobatan
seharusnya tidak tergantung dari ada tidaknya ELC ataupun kejadian pertama kali
atau berulang, tetapi tergantung dari efektif tidaknya pengobatan. Pneumothorax
spontan yang berulang merupakan salah satu indikasi dilakukannya terapi invasif
seperti drainase pleuradengan pleurodesis kimiawi, ataupun pembedahan.
The American College of Chest Physicians (AACP) membuat rekomendasi terkait
pencegahan berulangnya kejadian pneumothorax, menyatukan ukuran
pneumothorax dengan derajat dari gejala dalam memilih pilihan pengobatan yang
tepat. Sekitar 85% para ahli pneumothorax merekomendasikan tindakan
pencegahan berulangnya kejadian pneumothorax dilakukan setelah kejadian
pneumothorax spontan primer yang kedua, sementara 15% pakar berpendapat
bahwa tindakan pencegahan tersebut lebih baik dilakukan setelah kejadian
pneumthorax spontan primer yang pertama. Intervensi yang dilakukan untuk
mencegah berulangnya kejadian pneumothorax spontan primer adalah
pembedahan dengan pendekatan thoracoscopic. Metode yang disarankan adalah
staple bullectomy dengan tuntunan thoracoscopic diikuti prosedur abrasi pleura
parietal. Disisi lain, British Thoracic Society menyimpulkan bahwa pembedahan
lebih efektif daripada pleurodesis kimiawi sebagai tindakan untuk mencegah
berulangnya kejadian pneumothorax spontan primer. Pembedahan ini bertujuan
untuk reseksi ELC dan pleural porosities dan juga membuat suatu penyatuan antar
kedua permukaan pleura. Jika pasien terlalu lemah untuk pembedahan atau
menolak, makan pleurodesis kimiawi dapat dipertimbangkan. Open Thoracotomy
memiliki angka berulang yang lebih rendah daripada VATS, namun VATS
pleurectomy lebih stabil dengan angka morbiditas dan waktu rawat inap yang lebih
pendek.
Pleurodesis kimiawi
Aspirasi jarum, drainase dan penggunaan Heimlich flutter valve telah terbukti aman
dalam pengobatan pneumothorax spontan primer, dengan efek samping minimal.
Namun, angka kejadian berulangnya cukup tinggi (30%) pada sisi ipsilateral.
Pleurodesis kimiawi menunjukkan angka kejadian berulang pada sisi ipsilateral yang
rendah.
PLAN
Pada pasien segera dilakukan manajemen awal perawatan bayi dengan asfiksia.
Setelah itu, bayi dipasangkan C-PAP sebagai alat bantu pernafasan agar bayi tidak
semakin sesak. Pada pasien ini mode yang diberikan adalah PEEP 8 FiO2 61%.
Sebagai terapi kejang, diberikan injeksi sibital loading dose 60 mg/i.v/bolus pelan
selama 10-15 menit. Injeksi sibital dosis rumatan diberikan sebesar 12 mg/12
jam/i.v. Namun obat kejang ini diberikan jika pada pasien ditemukan kejang.
Pemberian injeksi aminophilin dosis awal dan rumatan juga diberikan secara
intravena untuk merangsang pusat pernafasan dengan meningkatkan kepekaan
terhadap CO2, menigkatkan frekuensi nafas, dan menyebabkan relaksasi otot.
Pemberian antibiotik pada pasien ini adalah dengan kombinasi injeksi ampisilin-
gentamisin.
Penatalaksaan
Segera setelah lahir, maka sisa-sisa mekonium yang masih tersisa dalam
mulut dan saluran nafas harus segera dihisap. Untuk menghindari resiko
berlanjutnya teraspirasi mekonium, maka sisa mekoneum yang terdapat pada
rongga hidung, mulut, atau tenggorokan segera dikeluarkan, dengan mengunakan
pengisap (suction). Sebaiknya dilakukan pengisapan sampai saluran pernafasan
yang lebih dalam sampai tidak ada lagi mekonium yang keluar dalam suction.
Bila bayi tidak memperlihatkan pernafasan spontan atau depresi pernafasan,
tonus otot berkurang, dan denyut jantung bayi kurang dari 100x per menit, maka
sesegera mungkin dilakukan laringoskopi untuk pengisapan sisa mekonium dari
hipofaring (dengan penglihatan langsung), kemudian dilakukan intubasi dan
penghisapan trakea.
Apabila bayi mengalami distres respirasi, maka perlu segera diberikan
oksigen. Untuk mempertahankan oksigenasi yan adekuat, PaO2 dipertahankan
antara 50-80 mmHg, untuk memenuhi kebutuhan normal fungsi jaringan dan
mencegah asidosis dan kemungkinan terjadinya syok. Untuk mempertahankan
keadaan tersebut, dapat dicapai dengan pemberian oksigen dengan menggunakan
head box atau C-PAP atau pernafasan buatan yang tergantung dari hasil AGD. Bila
didapatkan denyut jantung bayi dan pernapasan mengalami depresi sangat berat,
lebih baik dilakukan VTP meskipun masih didapatkan mekoniuma pada saluran
pernafasan. Bayi yang tercemar mekonium dan kemudian mengalami apneu atau
distres pernafasan, maka harus dilakukan pengisapan trakea terlebih dahulu
sebelum diberikan VTP.
Menurut AAP, rekomendasi perawatan pasa resusitasi adalah STABLE (sugar
and safe care, temperature, airway, blood pressure, laboratory, and emotional
support). Sugar and safe care adalah langkah untuk menstabilkan gula darah
neonatus. Target gula darah pada neonatus adalah 50-110 mg/dL. Temperature
dilakukan untuk menghindari kondisi bayi hipotermia. Dilakukan dengan cara
meletakkan bayi dalam inkubator dengan suhu 34 oC menggunakan selimut untuk
menutupi bayi serta pengaturan dan pemantauan suhu badan agar tetap berada di
suhu 35,5-37,5oC. Airway dilakukan upaya untuk membuka alveoli paru. Selain itu
dilakukan penilaian apakah ada terjadi kegawatan napas menggunakan skor Down.
Beberapa pemeriksaan penunjang yang bisa membantu menilai kegawatan napas
adalah pemeriksaan darah tepi dengan hitung jenis, pengukuran glukosa secara
serial, serta AGD bila terdapat kecurigaan distress pernapasan. Tatalaksana distres
pernafasan pada neonatus secara umum yaitu rawat di inkubator untuk
mempertahankan suhu tubu neonatus, oksigenasi untuk mempertahankan saturasi
oksigen (95-98%) dengan metode C-PAP, puasa peroral dengan memberikan cairan
parenteral dengan D10% mulai dari 60 cc/kgBB/hari, serta pemberian antibiotik.
Blood pressure, pada bayi dapat terjadi syok kaena gangguan perfusi dan gangguan
oksigenasi organ. Penyebab terseringnya adalah kehilangand arah saat persalinan,
kehilangan darah setelah lahir, dan dehidrasi. Gejala syok dini berupa gangguan
napas. Laboratory adalah sebagai perawatan selanjutnya dengan melakukan
pemeriksaan laboratorium untuk mencari kemungkinan infeksi. Pemeriksaan
laboratorium yang dilakukan adalah hitung jenis, leukosit, trombosit, dan kultur
darah. Emotional support adalah dengan memberikan edukasi kepada orangtua
tentang kondisi anak agar orangtua lebih siap menerima kondisi bayi saat ini dan
kemungkinan buruk yang dapat terjadi selanjutnya.
Mengetahui,
Dokter Pembimbing, Dokter Pembimbing,