Anda di halaman 1dari 19

PRESENTASI KASUS

Pneumothorax Spontan Sekunder et causa


Penyakit Paru Obstruktif Kronis dd/ Bekas TB Paru

Disusun Sebagai Tugas Presentasi Kasus


Program Dokter Internship Indonesia

disusun oleh
dr. Pathrecia Natalia Siagian

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH MALINAU


KABUPATEN MALINAU, KALIMANTAN UTARA
PERIODE DOKTER INTERNSHIP SEPTEMBER 2017 - 2018
PORTOFOLIO BEDAH

Topik : Pneumothorax Spontan Sekunder Sinistra et causa PPOK dd Bekas TB Paru

Tanggal kasus : 10 Juni 2018 Presenter : dr. Pathrecia Natalia Siagian

Tanggal presentasi : 22 Juni 2018 Pendamping : dr. Anggraeni O. Pangkey

Tempat presentasi : Ruang Komite Medik RSUD Kabupaten Malinau

Objektif kasus :
 Keilmuan  Keterampilan  Penyegaran  Tinjauan pustaka

 Diagnostik  Manajemen  Masalah  Istimewa



 Bayi  Anak  Remaja  Dewasa  Lansia  Bumil
Neonatus
 Deskripsi : Laki-laki, 44 tahun datang dengan keluhan sesak napas disertai batuk ± 1
bulan terakhir dengan riwayat pengobatan TB lengkap tahun 2014 dan TB
relaps tahun 2016. Pasien bekerja sebagai petani dan memiliki riwayat
terpapar dengan pestisida tanpa masker selama 20 tahun dan riwayat
merokok ± 2 bungkus/hari.
 Tujuan : Mengetahui penyebab dan terapi yang tepat sesuai dengan deskripsi
kasus.
 Tinjauan
Bahan bahasan :  Riset  Kasus  Audit
pustaka
Presentas
Cara membahas:  Diskusi  Email  Pos
i & diskusi

Data pasien : Nama : Tn. DI No RM : 83.09.12


Nama klinik : RSUD Kabupaten Malinau Terdaftar : 10-06-
Malinau sejak 2018
DATA UTAMA
Untuk bahan diskusi
1. Diagnosis/Gambaran Klinis

Sesak napas dialami ± 2 tahun terakhir dan semakin dirasakan memberat dalam ±
1 bulan terakhir. Sesak semakin terasa pada dada sebelah kiri ± 2 jam SMRS. Nyeri
dada kiri dirasakan seperti ditusuk-tusuk dialami saat OS menarik nafas dan nyeri
dada berkurang jika OS tidur miring ke kiri. Batuk dialami ± 2 tahun ini dan
dirasakan semakin sering ± 1 bulan terakhir dengan dahak yang semakin
bertambah banyak dan kental serta perubahan warna dahak dari putih menjadi
kuning kehijauan. Riwayat batuk darah sebelumnya disangkal. Badan meriang (+)
dialami ± 1 bulan ini dan hilang dengan obat penurun panas yang didapat dari
Pustu. Nafsu makan menurun, ± 5 sdm/ kali makan. Mual (+) namun tidak disertai
muntah. Penurunan BB (+) ± 6 kg dalam 1 bulan terakhir. Riwayat merokok (+) ±
20 tahun terakhir, sebanyak 2 bungkus rokok/ hari. Pasien bekerja sebagai petani
yang sering menyemprot pestisida tanpa menggunakan masker.
Tiga jam SMRS, pasien ditemukan terduduk di teras rumahnya sambil memegang
dadanya, terlihat sesak berat, masih bisa berteriak untuk memanggil keluarganya.
Keluarga lalu membawa pasien masuk ke dalam rumah dan memanggil seorang
perawat di Pustu dan diberikan obat anti hipertensi. Saat perjalanan ke RS selama
2 jam, OS terlihat lemas dan tidak sadarkan diri. Sesampainya di IGD RS, bibir
pasien terlihat biru, badan terasa dingin dan keringat dingin. Setelah diberikan O 2
4 lpm via sungkup, SpO2 77%. Kemudian diganti menjadi O2 10 lpm via NRM, SpO2
menjadi 88%. Lapor konsulen penyakit dalam, diusulkan untuk dilakukan
thoracosintesis, namun setelah konsulen bedah dilapor, diusulkan untuk
pemasangan WSD cito. Di OK dilakukan pemasangan WSD pada hemithorax kiri.

2. Riwayat pengobatan

Riwayat minum OAT selama 6 bulan pada tahun 2014 dan menurut keluarga, OS
dinyatakan sudah membaik. Namun, keluhan batuk, sesak, badan meriang dan
keringat malam kembali timbul pada akhir tahun 2016, dengan hasil dahak (+) di
Pustu, namun OS tidak melakukan pengobatan OAT kembali.
Pasien mengaku tidak pernah menggunakan obat-obatan terlarang. Penggunaan
tato (-).
3. Riwayat penyakit dahulu
Hipertensi (+) namun OS jarang minum obat ataupun kontrol. Riwayat obat anti
hipertensi tidak jelas.
TB Paru (+) dan telah minum OAT dan dinyatakan sembuh tahun 2014, namun
dinyatakan BTA (+) akhir tahun 2016 namun tidak mau berobat.
Riwayat DM, stroke, dan jantung disangkal.

4. Riwayat penyakit keluarga

Ayah OS memiliki riwayat asma dan hernia. Ibu OS mengalami keluhan serupa dan
telah mendapat pengobatan OAT namun OS tidak tinggal serumah dengan Ibunya.
5. Riwayat sosioekonomi
Pasien sehari-hari bekerja sebagai petani. Pembiayaan menggunakan BPJS APBN.
6. Pemeriksaan fisik
Dilakukan pemeriksaan fisik pada tanggal 11/06/2018.
- Keadaan umum : lemah.
- Kesadaran : compos mentis.

- Vital Sign :
 TD : 90/60 mmHg
 HR : 94 x/mnt
 RR : 20 x/mnt
 SpO2 : 95%
 WSD : bubble (+), undulasi (+)
- Warna Kulit : coklat
- Kepala : dalam batas normal
- Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil isokor ɸ 3 mm
refleks pupil direk (+/+), indirek (+/+)
- Hidung : simetris, tidak ada kelainan
- Gigi dan mulut : dalam batas normal
- Telinga : dalam batas normal
- Leher : peningkatan JVP (-), pembesaran KGB (-)
- Thoraks :
 Cor :

o Inspeksi : ictus cordis tampak pada ICS IV linea mid clavicularis


dextra
o Palpasi : teraba ictus cordis pada ICS IV linea mid clavicularis
dextra
o Perkusi : batas atas jantung di ICS III
batas kiri jantung di ICS IV linea parasternal dextra
batas kanan jantung di ICS V linea mid clavicularis
dextra
batas bawah jantung di ICS V
o Auskultasi : S1-S2 reguler, bising (-)
 Pulmo :

o Inspeksi: asimetris, ketinggalan gerak (+) pada dada kiri


retraksi dada (+)
o Palpasi : stem fremitus kiri < kanan, trakea bergeser ke kanan
o Perkusi : sonor memendek pada lapangan paru kanan, sonor
pada lapangan paru kiri
o Auskultasi : vesikuler melemah pada lapangan paru kiri
suara tambahan : rhonki kasar (+/+), wheezing (+/+)
- Abdomen :

 Inspeksi : simetris, darm contur (-), darm steifung (-)


 Auskultasi : BU (+) normal
 Perkusi : timpani (+)
 Palpasi : soepel, NT (-) epigastrium, hepar/lien/renal : tidak teraba
- Ekstremitas :

 Ekstremitas atas : akral hangat, edema (-/-), sianosis (-/-)


 Ekstremitas bawah : akral hangat, edema (-/-), sianosis (-/-)

Dilakukan foto thorax PA ulangan pada pasien ini untuk menentukan posisi WSD satu hari
setelah pemasangan WSD pada tanggal 10/06/2018. Evaluasi hasil foto thorax, kesan:
pneumothorax sinistra, posisi WSD baik.
Pemeriksaan fisik pada tanggal 12/06/2018
- Keadaan umum : sedang
- Kesadaran : compos mentis
- TD : 100/70 mmHg
- RR : 17x/menit
- HR : 89x/menit
- SpO2 : 98%
- WSD : bubble (+), undulasi (+)
- Mata : CA (-/-), SI (-/-), pupil isokor ɸ 3mm, refleks cahaya (+/+)
- Thorax : retraksi suprasternal (+)
- Pulmo : asimetris, stem fremitus kiri < kanan, sonor memendek pada paru
kanan, vesikuler melemah paru kiri, rhonki kasar (+/+), wheezing (+/+)
- Ekstremitas : akral hangat, edema (-/-), sianosis (-/-)

Pemeriksaan fisik pada tanggal 13/06/2018


- Keadaan umum : sedang
- Kesadaran : compos mentis
- TD : 110/70 mmHg
- RR : 26x/menit
- HR : 87x/menit
- SpO2 : 96%
- WSD : bubble (-), undulasi (+)
- Mata : CA (-/-), SI (-/-), pupil isokor ɸ 3mm, refleks cahaya (+/+)
- Thorax : retraksi suprasternal (+)
teraba krepitasi di ICS IV-VIII linea parasternal sinistra-linea midaxilla
- Pulmo : asimetris, stem fremitus kiri < kanan, sonor memendek pada paru
kanan, vesikuler melemah pada paru kiri, rhonki (+/+), wheezing (+/+)
- Ekstremitas : akral hangat, edema (-/-), sianosis (-/-)

Pemeriksaan fisik pada tanggal 14/06/2018


- Keadaan umum : lemah
- Kesadaran : compos mentis
- TD : 100/70 mmHg
- RR : 36x/menit
- HR : 105x/menit
- SpO2 : 93%
- WSD : bubble (-), undulasi (+)
- Mata : CA (-/-), SI (-/-), pupil isokor ɸ 3mm, refleks cahaya (+/+)
- Leher : dijumpai pembengkakan pada leher, teraba krepitasi (+)
- Thorax : retraksi suprasternal (+)
- Pulmo : asimetris, stem fremitus kiri < kanan, sonor memendek pada paru
kanan, vesikuler melemah pada paru kiri, rhonki (+/+), wheezing (+/+)
- Ekstremitas : akral hangat, edema (-/-), sianosis (-/-)
teraba krepitasi mulai dari zygomaticum dextra-sinistra, kedua
extremitas atas, seluruh thorax, abdomen, hingga femur dextra
dan gastrocnemius dextra
Dilakukan foto thorax ulangan sebelum dilakukan perbaikan/penggantian WSD terdahulu.
Evaluasi hasil foto thorax, dijumpai adanya pneumothorax sinistra, kesan posisi WSD tidak
sesuai. Lalu diputuskan untuk mengganti WSD setelah melihat klinis pasien sesak dan
tidak ada bubble serta undulasi pada WSD pasien. Penanganan emfisema subkutan
berupa multiple incision di ruang OK.

Pemeriksaan fisik pada tanggal 15/06/2018


- Keadaan umum : sedang
- Kesadaran : compos mentis
- TD : 90/60 mmHg
- RR : 17x/menit
- HR : 97x/menit
- SpO2 : 96%
- WSD : bubble (+), undulasi (+)
- Mata : CA (-/-), SI (-/-), pupil isokor ɸ 3mm, refleks cahaya (+/+)
- Leher : dijumpai pembengkakan pada leher, teraba krepitasi (+)
- Thorax : retraksi suprasternal (-)
- Pulmo : asimetris, stem fremitus kiri < kanan, sonor memendek pada paru
kanan, vesikuler melemah pada paru kiri, rhonki (+/+), wheezing (+/+)
minimal
- Ekstremitas : akral hangat, edema (-/-), sianosis (-/-)
teraba krepitasi mulai dari zygomaticum dextra-sinistra, kedua
extremitas atas, seluruh thorax, abdomen, hingga femur dextra
dan gastrocnemius dextra
Dilakukan foto thorax ulangan setelah dilakukan penggantian WSD pertama. Evaluasi hasil
foto thorax, dijumpai adanya pneumothorax sinistra minimal dengan posisi WSD baik.
Dilakukan penggantian verban pada luka multiple incision. Dari luka insisi tersebut,
dilakukan pengeluaran udara di bawah kulit dengan cara memijat ke arah luka insisi.

7. Pemeriksaan Penunjang
Lab : Hb/Ht/Leu/Tr : 17,2/49/23.000/227.000
Hitung Jenis : 0/2/85/7/6
Ureum/kreatinin : 15/0,6
SGOT/SGPT : 50/32
GDS : 165

EKG : Normal sinus rhythm, HR 87 bpm, early repolarization dengan zona transisi
dimulai dari V2. Kesan : EKG normal

Hasil pemeriksaan BTA SP dan TCM


(12/06/2018)  BTA : Pagi : saliva  negatif
Sewaktu : saliva  negatif
TCM : sampel tidak memadai
(13/06/2018)  BTA : Pagi : saliva  negatif
Sewaktu : saliva  negatif
TCM : sampel tidak memadai

Hasil pemeriksaan Foto Thorax PA


(10/06/2018)  tampak bercak berawan pada kedua lapangan paru
tampak lusen avaskular pada lapangan paru kiri
Cor: bentuk dan ukuran normal, letak jantung dan trakea tertarik
ke kanan
Sinus kostofrenikus kanan baik, sinus kostofrenikus kiri sulit dinilai
Tulang intak
Kesimpulan: TB paru lama yang luas
Pneumothorax sinistra
Atelektasis

(11/06/2018)  tampak bercak berawan pada kedua lapangan paru


tampak lusen avaskular pada lapangan paru kiri
Cor: bentuk dan ukuran normal, letak cor, trakea dan organ
mediastinum tertarik ke kanan
kedua sinus kostofrenikus dan diafragma baik
tulang intak
kesimpulan: TB paru lama yang luas
Pneumothorax sinistra
Atelektasis

(14/06/2018)  tampak bercak berawan pada kedua lapangan paru


tampak lusen avaskular pada lapangan paru kiri kesan membaik
tampak emfisema subcutis di lateral kiri dan kanan dinding thorax
Cor: bentuk dan ukuran normal, letak cor, trakea dan organ
mediastinum tertarik ke kanan
kedua sinus kostofrenikus dan diafragma baik
tulang intak
kesimpulan: TB paru lama yang luas
Pneumothorax sinistra
Atelektasis
Emfisema subkutan

(15/06/2018)  tampak bercak berawan pada kedua lapangan paru


tampak lusen avaskular pada lapangan paru kiri
tampak emfisema subcutis di lateral kiri dan kanan dinding thorax
Cor: bentuk dan ukuran normal, letak cor, trakea dan organ
mediastinum tertarik ke kanan
kedua sinus kostofrenikus dan diafragma baik
tulang intak
kesimpulan: TB paru lama yang luas
Pneumothorax sinistra minimal
Atelektasis
Emfisema subkutan

8. Diagnosis

Pneumothorax spontan sekunder sinistra ec PPOK dd/ Bekas TB Paru


9. Tatalaksana

 Saat di IGD
- O2 10 lpm via NRM
- Inj. Cefotaxime 1 gr /12 jam IV
- Inj. Dexamethasone 1 ampul/8 jam IV (2 hari)
- Nebu ventolin 1 respule + nebu pulmicort 1 respule
- Ambroxol 3 x 30 mg

 Setelah di ruangan
- O2 2 lpm via NK
- Inj. Cefotaxime 1 gr / 12 jam IV
- Inj. Ketorolac 30 mg / 8 jam IV (k/p)
- Nebu ventolin 1 respule / 8 jam rutin
- Azitromisin 1 x 500 mg
- Ambroxol 3 x 30 mg

DAFTAR PUSTAKA
1. Yakar HI. The Role of Tuberculosis in COPD. International Journal of COPD 2017:12
323-329.
2. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease. Pocket Guide to COPD
Diagnosis, Management and Prevention: A Guide for Health Care Professionals.
2017 Report.
3. Baig IM. Post-Tuberculous Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Journal of the
College of Physicians and Surgeons Pakistan 2010, Vol. 20 (8): 542-544.
4. Sarkar M. Tuberculosis Associated Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Review
Article DOI: 10.1111/crj.12621. Clin Respir J. 2017;11:285-295.
5. Pauwels, RA. Global Strategy for The Diagnosis, Mangement, and Prevention of
Chronic Obstructive Pulmonary Disease : NHLBI/WHO Global Initiative for Chronic
Obstructive Lung Disease (GOLD) Workshop Summary. Am J Respir Crit Care Med
Vol 163. pp 1256-1276. 2001.
6. Rabe KF. Global Strategy for The Diagnosis, Management and Prevention of
Chronic Obstructive Pulmonary Disease : GOLD Executive Summary. Am J Respir
Crit Care Med Vol. 176. pp 532-555, 2007.
7. Elkington PT. Matrix Metalloproteinases in Destructive Pulmonary Pathology.
Thorax 2006; 61:259-266. DOI: 10.1136/thx.2005.051979.
8. Low, LL. A Unique Case of Spontaneous Secondary Pneumothorax (SSP) Occuring
During an Acute Exacerbation of Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD).
Proceedings of Singapore Healthcare Volume 23 Number 2 2014.
9. Hobbs BD. Pneumothorax Risk Factors in Smokers With and Without Chronic
Obstructive Pulmonary Disease. Ann Am Thorac Soc Vol 11, No 9, pp 1387-1394,
Nov 2014.
10. Pipavath SN. Chronic Obstructive Pulmonary Disease: Radiology-Pathology
Correlation. J Thorac Imaging Volume 24, Number 3, August 2009.
11. Noppen M. Pneumothorax. Respiration 2008; 76: 121-127. DOI:
10.1159/000135932.
12. Noppen M. Spontaneous Pneumothorax: Epidemiology, Pathophysiology and
Cause. Eur Respir Rev 2010; 19: 117, 217-219. DOI: 10.1183/09059180.00005310.
13. Baumann, MH. Pneumothorax. Respirology (2004) 9, 157-164.
14.

HASIL PEMBELAJARAN
SUBJEKTIF
Pada pasien mengeluhkan sesak nafas sejak ± 1 bulan dan dirasakan semakin
memberat dalam 1 minggu terakhir. Pada manusia produktif, gejala sesak nafas
harus dievaluasi apakah terlibat masalah pulmoner atau kardiak. Dalam hal ini,
perlu ditanyakan gejala klinis yang menyertainya. Sesak yang berkaitan dengan
masalah kardiak biasanya diperberat dengan aktivitas. Sementara sesak karena
masalah pulmoner biasanya tidak dipengaruhi aktivitas dan sering disertai dengan
gejala lain seperti demam dan batuk. Pada pasien ini mengeluhkan batuk berdahak
yang dialami sejak ± 2 tahun terakhir dan dirasakan semakin sering dalam ± 1 bulan
terakhir dengan perubahan warna dahak dari putih menjadi kuning kehijauan
dengan dahak yang bertambah banyak dan kental. Pada pasien ini lebih
dititikberatkan penyebabnya PPOK karena dari anamnesis dikatakan pasien
merupakan perokok berat dengan riwayat merokok 2 bungkus per hari. Pasien
bekerja sebagai petani dengan riwayat terpapar pestisida tanpa menggunakan
masker. Selain itu, di rumah pasien memakai obat nyamuk bakar di dalam rumah
dan kayu bakar untuk memasak. Namun hal ini masih didiagnosis banding dengan
bekas TB paru karena pasien mengaku pernah minum OAT selama 6 bulan pada
tahun 2014, dan kemudian di akhir tahun 2016, pasien kembali mengalami batuk ±
1 bulan, keringat malam dan sesak nafas dan dinyatakan status BTA (+) di Pustu,
namun pasien tidak mau berobat rutin untuk kedua kalinya. Atas keluhan tersebut,
dipikirkan bahwa pasien menderita PPOK dengan diagnosis banding bekas TB paru.
Hal ini disebabkan oleh anamnesis pasien yang mengatakan pernah mengalami
batuk berdahak yang dirasakan semakin bertambah banyak dengan dahak yang
semakin banyak, kental dan berubah warna. Hal ini sesuai dengan trias PPOK
eksasebasi akut. Namun, dari anamnesis riwayat minum OAT, pasien didiagnosis
banding dengan bekas TB paru. Setelah mendapatkan anamnesis yang cukup,
nantinya perlu didukung dengan hasil pemeriksaan fisik maupun penunjang yang
sesuai. Hasil pemeriksaan fisik dan penunjang inilah yang nantinya diharapkan dapat
menegakkan diagnosis pasti penyakit pasien ini.
OBJEKTIF
Dari pemeriksaan fisik dan penunjang yang dilakukan di ruangan rawat inap
satu hari post pemasangan WSD pertama, dijumpai adanya tanda pneumothorax
dengan pemeriksaan fisik thorax menunjukkan asimetris, ketertinggalan gerak
napas pada dada kiri. Saat mempalpasi thorax dijumpai stem fremitus hemithoraks
kiri lebih lemah daripada hemithoraks kanan. Pada perkusi ditemukan batas jantung
bergeser ke kanan dengan kesan jantung tidak membesar. Pada auskultasi dijumpai
suara pernapasan vesikuler, yang melemah pada lapangan paru kiri dibandingkan
paru kanan dengan suara tambahan berupa rhonki kasar dan wheezing di kedua
lapangan paru. Dari tanda tersebut dapat disimpulkan pasien mengalami
pneumothorax.
Dari hasil pemeriksaan fisik dijumpai mulut mencucu, dimana tanda seperti
itu disebabkan banyaknya residu udara dalam paru-paru. Dari inspeksi thorax
dijumpai bentuk dada seperti tong dengan diameter anteroposterior sama dengan
diameter lateral thorax. Hal ini disebabkan adanya air trapping pada cavum thorax.
Dari anamnesis juga dikatakan pasien dengan riwayat merokok 2 bungkus/ hari dan
terpapar pestisida tanpa menggunakan masker, sehingga anamnesis dan temuan ini
dikaitkan dengan PPOK. Namun, pasien juga memiliki riwayat TB dan riwayat
minum OAT. Berdasarkan temuan ini, disimpulkan bahwa pasien mengalami
pneumothorax spontan sekunder, karena pneumothorax pada pasien ini terjadi
akibat adanya suatu penyakit paru yang mendasari.
Pada hari ketiga rawatan di ruangan, tampak pasien lebih sesak dengan
retraksi suprasternal dan intercostal lebih jelas. Pada pemeriksaan fisik, diraba
krepitasi pada daerah wajah, leher, dada, perut, punggung, lengan hingga kaki.
Penyebab emfisema pada pasien ini masih perlu ditelusuri. Emfisema subkutan
pada pneumothorax dapat disebabkan akibat adanya bullae di perifer berdekatan
dengan pleura yang pecah, sehingga mengakibatkan udara diantara pleura viseral
dan parietal dapat masuk ke bawah kulit. Mekanisme lain yang bisa terjadi adalah
iatrogenik, dimana bisa terjadi akibat kesalahan pasien dan kesalahan dokter
sendiri. Kesalahan pasien adalah apabila pasien bergerak terlalu banyak dan kurang
memperhatikan posisi selang WSD. Sementara itu, kesalahan dokter dikaitkan
dengan kesalahan saat pemasangan WSD, dimana selang WSD yang diinsersi tidak
melebihi 5 cm dari jarak lubang terakhir pada selang WSD, sehingga ketika paru-
paru mulai berkembang dan udara di antara pleura parietal dan viseral mulai keluar
melalui selang WSD, selang tersebut menjadi terdorong sehingga masuk ke dalam
subkutan, sehingga menyebabkan emfisema subkutan.
Kemudian dilakukan foto thorax ulangan sebelum dilakukan
perbaikan/penggantian WSD dan multiple incision. Setelah menilai dan
mempertimbangkan foto thorax tersebut disertai hilangnya bubble dan undulasi
pada selang WSD, diputuskan untuk menutup bekas WSD yang lama dan memasang
WSD yang baru serta multiple incision. Pada hari keempat rawatan di ruangan (1
hari setelah pemasangan WSD yang kedua), dijumpai klinis pasien membaik dengan
bubble dan undulasi (+) pada selang WSD. Pada foto thorax kontrol dijumpai
pneumothorax sinistra minimal pada lapangan paru kiri dan emfisema subkutan
yang masih tersebar pada seluruh tubuh. Pasien dianjurkan untuk meniup botol
yang kosong atau balon. Hal ini ditujukan untuk melatih perkembangan paru.
ASSESSMENT
Berdasarkan data subjektif dan objektif yang didapatkan pada pasien ini,
dapat disimpulkan adanya pneumothoraks spontan sekunder ec PPOK dd/ Bekas TB
Paru. Berdasarkan hasil studi pustaka yang dilakukan, didapatkan hasil sebagai
berikut :
Definisi Pneumothorax
Pneumothorax adalah adanya udara di dalam kavum pleura, diantara pleura
viseral dan parietal sehingga menyebabkan kolaps pada paru. Istilah ini digunakan
oleh seorang dokter Prancis pada tesisnya tahun 1803, meskipun adanya kumpulan
udara dan cairan di dalam dada sudah disimpulkan secara dini sebagai hippocratic
succussion of the chest oleh dokter di Yunani Kuno pada abad ke-5 SM.
Klasifikasi Pneumothorax
Klasifikasi pneumothorax umumnya dibagi berdasarkan penyebabnya. Trauma
(iatrogenik ataupun kecelakaan) adalah penyebab umum pneumothorax. Jika
pneumothorax terjadi tanpa kejadian trauma sebelumnya, maka diklasifikasikan
sebagai peneumothorax spontan, dimana pneumothorax spontan terbagi atas
primer (tanpa bukti adanya penyakit pada dinding dada atau paru-paru secara klinis
atau radiologis) dan sekunder (dengan bukti adanya penyakit yang mendasari).
Tabel 1. Klasifikasi pneumothorax

1. Pneumothorax Spontan Primer


Pneumothorax Spontan Primer merupakan istilah yang sering digunakan pada
pasien tanpa adanya kejadian pemicu atau penyakit paru yang mendasari.
Kebanyakan pasien ini memiliki lesi emfisematous yang dapat dideteksi pada CT
Scan Thorax atau selama bedah thoracoscopy. Lesi ini biasanya ditemukan di apeks
paru. Ada hubungan kuat antara tingkat kebiasaan merokok dengan kejadian
Pneumothorax Spontan Primer. Pasien yang mengalami pneumothorax jenis ini
biasanya usia muda, berperawakan kurus dan tinggi. Semakin panjang ukuran dada
seseorang, maka kemungkinan terbentuknya bleb suprapleura semakin meningkat.
Hal ini disebabkan oleh tekanan pleura yang turun sekitar 0,2 cmH 2O per cm tinggi
vertikal, sehingga tekanan pleura akan lebih negatif pada apeks paru orang yang
berperawakan tinggi daripada pendek. Hal ini menyebabkan alveoli pada apex paru
mengalami tekanan rata-rata lebih besar untuk periode waktu yang lama sehingga
menyebabkan pembentukan subpleural blebs. Hal ini biasanya terjadi pada orang
yang memiliki kecenderungan genetik untuk terjadinya subpleural blebs.
2. Pneumothorax Spontan Sekunder
Pneumothorax jenis ini biasanya disebabkan oleh adanya penyakit yang
mendasarinya. Meskipun banyak jenis penyakit yang bisa menyebabkan
pneumothorax spontan sekunder, namun paling banyak disebabkan oleh PPOK.
Insiden terjadinya pneumothorax jenis ini dikaitkan dengan usia yang semakin tua.
Salah satu penyakit yang paling sering menyebabkan pneumothorax spontan
sekunder pada beberapa tahun terakhir adalah AIDS dengan komorbid infeksi
Pneumocystis carinii.

Tabel 2. Penyebab Pneumothorax Spontan Sekunder


Berdasarkan Frekuensi Terjadinya

3. Pneumothorax Iatrogenik
Penyebab paling sering menyebabkan pneumothorax iatrogenik adalah
transthoracic needle aspiration atau biopsi, dengan angka insidensi sekitar 20%.
Resiko terjadinya pneumothorax jenis ini meningkat akibat insersi yang terlalu
dalam, banyak dan lesi lebih kecil saat melakukan penanganan terhadap penyakit
paru obstruktif yang mendasari.
Tabel 3. Penyebab Pnemothorax Iatrogenik
Berdasarkan Frekuensi Terjadinya

4. lanf

Etiologi Pneumothorax

Manifestasi Klinis Pneumothorax


Manifestasi klinis pneumothorax memiliki spektrum luas, mulai dari asimtomatik
sampai dengan gejala berat, tergantung dari derajat kolaps paru dan patologi
penyakit paru yang mendasari. Secara umum, gejala kinis pneumothorax spontan
sekunder lebih berat daripada gejala klinis pneumothorax spontan sekunder,
misalnya sesak napas, nyeri dada, suara napas yang menurun hingga hilang
unilateral, hiper resonansi pada perkusi, takikardia, pulsus paradoksus, deviasi
trakea hingga hipotensi.
Tension pneumothorax harus dipikirkan pada pasien yang sulit dalam ventilasi saat
sedang dilakukan resusitasi jantung paru. Tension pneumothorax harus dipikirkan
sebagai pada pasien yang tiba-tiba menurun pada kondisi pneumothorax, atau yang
sedang menjalani prosedur yang diketahui dapat menyebabkan pneumothorax.

Patofisiologi Pneumothorax

Mekonium yang kental dapat menyebabkan obstruksi mekanik total atau


parsial. Pada saat bayi mulai bernafas, mekonium bergerak dari saluran nafas
sentral ke perifer. Partikel mekonium yang terhirup ke saluran nafas bagian distal
akan menyebabkan obstruksi dan atelektasis sehingga dapat terjadi area yang tidak
terjadi ventilasi dan perfusi menyebabkan hipoksemia. Obstruksi parsial
menghasilkan dampak katup-bola atau ball valve effect yaitu udara yang dihirup
dapat memasuki alveoli tetapi tidak dapat keluar dari alveoli. Sehingga dapat terjadi
air trapping di alveoli dengan gangguan ventilasi dan perfusi yang dapat
mengakibatkan sindrom kebocoran udara dan hiperekspansi.
Patofisiologi cedera otak karena cedera hipoksik-iskemik dapat
disederhanakan menjadi dua fase patologis berupa cedera otak dalam beberapa
minggu disebut fase kegagalan energi primer dan fase kegagalan energi sekunder,
yaitu gangguan perkembangan saraf dalam beberapa bulan atau tahun, serta
periode laten diantara dua fase tersebut.
Fase kegagalan energi primer ditandai dengan penurunan aliran darah otak
yang menyebabkan penurunan transpor oksigen dan substrat lain ke jaringan otak.
Kejadian ini menyebabkan metabolisme anaerob, peningkatan asam laktat,
penurunan ATP, penurunan transpor transeluler, serta peningkatan kadar natrium,
air, dan kalsium intrasel. Proses tersebut berakhir pada kematian sel dan nekrosis.
Setelah fase kegagalan primer, metabolisme serebral kembali pulih karena reperfusi
dan reoksigenasi, namun berlanjut ke fase kegagalan energi sekunder yang
berakibat apoptosis sel dan hasil akhir yang lebih buruk. Saat onset dan resolusi fase
kegagalan energi primer pada bayi dengan HIE tidak selalu diketahui pasti.
Fase laten yang berada di antara fase kegagalan energi primer dan fase
kegagalan energi sekunder merupakan saat optimal untuk memulai terapi agar
mengurangi cedera otak, karena terhindar dari fase kegagalan energi sekunder.
Pada penelitian Agus dkk, didapatkan hubungan bermakna antara kadar NSE
(neuron specific enolase) serum dengan derajat HIE pada asfiksia neonatorum,
semakin tinggi kadar NSE serum maka derajat HIE akan semakin tinggi
Pemeriksaan Fisik
Pada neonatus dengan ensefalopati dapat disertai nilai APGAR rendah saat
persalinan dan asidosis metabolik darah umbilikal ; dalam 24 jam kehidupan dapat
muncul gejala apneu dan kejang serta abnormalitas EEG. Aspirasi mekonium dapat
menimbulkan obstruksi jalan nafas kecil yang membuat distres pernafasan pada 1
jam pertama, ditandai juga dengan adanya takipneu, retraksi, bayi merintih, dan
sianosis. Kondisi ini dapat bertambah parah dalam 72 jam dan meningkatkan angka
mortalitas. Takipneu dapat muncul untuk beberapa hari atau bahkan beberapa
minggu. Setiap bayi baru lahir dengan air ketuban keruh yang mengalami gejala
gangguan napas atau distres pernafasan harus dipertimbangkan diagnois MAS.
Gambaran pemeriksaan radiologi menunjukan sebaran infiltrat difus dan asimetris.
Seringkali didapatkan gambaran hiperaerasi yang dapat menimbulkan sindrom
kebocoran udara seperti pneumothoraks, pneumomediatinum, dan emfisema
pulmonum intersisial.
Selama beberapa jam, dapat timbul hipotonus atau bahkan berubah dari
hipotonus menjadi hipertonus, atau tonus ototnya akan nomal saja. Pucat, sianosis,
apneu, bradikardi, dan tidak respon terhadap rangsangan adalah juga tanda dari
HIE. Edema otak dapat muncul dalam waktu 24 jam dan akan menyebabkan depresi
batang otak yang dalam. Pada waktu ini, kejang dapat timbul. Terkadang pada
pasien dengan HIE, kejang yang muncul pada pasien riwayat asfiksia dapat timbul
juga hipoglikemi, hipokalsemi, atau infeksi. Dalam waktu beberapa jam setelah
paparan, bayi berada dalam kondisi penurunan kesadaran. Periode pernafasan
dengan apneu atau bradikardi akan muncul. Pemeriksaan penunjang lainnya yang
dapat dilakukan adalah EEG, USG, CT-Scan, dan MRI.

PLAN
Pada pasien segera dilakukan manajemen awal perawatan bayi dengan asfiksia.
Setelah itu, bayi dipasangkan C-PAP sebagai alat bantu pernafasan agar bayi tidak
semakin sesak. Pada pasien ini mode yang diberikan adalah PEEP 8 FiO2 61%.
Sebagai terapi kejang, diberikan injeksi sibital loading dose 60 mg/i.v/bolus pelan
selama 10-15 menit. Injeksi sibital dosis rumatan diberikan sebesar 12 mg/12
jam/i.v. Namun obat kejang ini diberikan jika pada pasien ditemukan kejang.
Pemberian injeksi aminophilin dosis awal dan rumatan juga diberikan secara
intravena untuk merangsang pusat pernafasan dengan meningkatkan kepekaan
terhadap CO2, menigkatkan frekuensi nafas, dan menyebabkan relaksasi otot.
Pemberian antibiotik pada pasien ini adalah dengan kombinasi injeksi ampisilin-
gentamisin.
Penatalaksaan
Segera setelah lahir, maka sisa-sisa mekonium yang masih tersisa dalam
mulut dan saluran nafas harus segera dihisap. Untuk menghindari resiko
berlanjutnya teraspirasi mekonium, maka sisa mekoneum yang terdapat pada
rongga hidung, mulut, atau tenggorokan segera dikeluarkan, dengan mengunakan
pengisap (suction). Sebaiknya dilakukan pengisapan sampai saluran pernafasan
yang lebih dalam sampai tidak ada lagi mekonium yang keluar dalam suction.
Bila bayi tidak memperlihatkan pernafasan spontan atau depresi pernafasan,
tonus otot berkurang, dan denyut jantung bayi kurang dari 100x per menit, maka
sesegera mungkin dilakukan laringoskopi untuk pengisapan sisa mekonium dari
hipofaring (dengan penglihatan langsung), kemudian dilakukan intubasi dan
penghisapan trakea.
Apabila bayi mengalami distres respirasi, maka perlu segera diberikan
oksigen. Untuk mempertahankan oksigenasi yan adekuat, PaO2 dipertahankan
antara 50-80 mmHg, untuk memenuhi kebutuhan normal fungsi jaringan dan
mencegah asidosis dan kemungkinan terjadinya syok. Untuk mempertahankan
keadaan tersebut, dapat dicapai dengan pemberian oksigen dengan menggunakan
head box atau C-PAP atau pernafasan buatan yang tergantung dari hasil AGD. Bila
didapatkan denyut jantung bayi dan pernapasan mengalami depresi sangat berat,
lebih baik dilakukan VTP meskipun masih didapatkan mekoniuma pada saluran
pernafasan. Bayi yang tercemar mekonium dan kemudian mengalami apneu atau
distres pernafasan, maka harus dilakukan pengisapan trakea terlebih dahulu
sebelum diberikan VTP.
Menurut AAP, rekomendasi perawatan pasa resusitasi adalah STABLE (sugar
and safe care, temperature, airway, blood pressure, laboratory, and emotional
support). Sugar and safe care adalah langkah untuk menstabilkan gula darah
neonatus. Target gula darah pada neonatus adalah 50-110 mg/dL. Temperature
dilakukan untuk menghindari kondisi bayi hipotermia. Dilakukan dengan cara
meletakkan bayi dalam inkubator dengan suhu 34 oC menggunakan selimut untuk
menutupi bayi serta pengaturan dan pemantauan suhu badan agar tetap berada di
suhu 35,5-37,5oC. Airway dilakukan upaya untuk membuka alveoli paru. Selain itu
dilakukan penilaian apakah ada terjadi kegawatan napas menggunakan skor Down.
Beberapa pemeriksaan penunjang yang bisa membantu menilai kegawatan napas
adalah pemeriksaan darah tepi dengan hitung jenis, pengukuran glukosa secara
serial, serta AGD bila terdapat kecurigaan distress pernapasan. Tatalaksana distres
pernafasan pada neonatus secara umum yaitu rawat di inkubator untuk
mempertahankan suhu tubu neonatus, oksigenasi untuk mempertahankan saturasi
oksigen (95-98%) dengan metode C-PAP, puasa peroral dengan memberikan cairan
parenteral dengan D10% mulai dari 60 cc/kgBB/hari, serta pemberian antibiotik.
Blood pressure, pada bayi dapat terjadi syok kaena gangguan perfusi dan gangguan
oksigenasi organ. Penyebab terseringnya adalah kehilangand arah saat persalinan,
kehilangan darah setelah lahir, dan dehidrasi. Gejala syok dini berupa gangguan
napas. Laboratory adalah sebagai perawatan selanjutnya dengan melakukan
pemeriksaan laboratorium untuk mencari kemungkinan infeksi. Pemeriksaan
laboratorium yang dilakukan adalah hitung jenis, leukosit, trombosit, dan kultur
darah. Emotional support adalah dengan memberikan edukasi kepada orangtua
tentang kondisi anak agar orangtua lebih siap menerima kondisi bayi saat ini dan
kemungkinan buruk yang dapat terjadi selanjutnya.

Prinsip manajemen bayi baru lahir yang mengalami cedera hipoksik-iskemik


dan berisiko cedera sekunder adalah :
a. Identifikasi awal bayi dengan risiko tinggi. Tanda yang mungkin didapat
adalah denyut jantung janin abnormal, bayi depresi berat (skor APGAR
rendah dan berkepanjangan), perlu resusitasi, asidosis berat, diikuti hasil
pemeriksaan neurologis awal abnormal atau hasil EEG abnormal.
b. Perawatan suportif intensif untuk memfasilitasi perfusi dan nutrisi otak
yang adekuat dengan melakukan koreksi gangguan hemodinamik,
ventilasi yang adekuat, koreksi gangguan metaboli, penangaan kejang,
serta monitor kegagalan fungsi organ lainnya.
c. Pertimbangan intervensi untuk memperbaiki proses cedera otak yangs
edang terjadi. Intervensi terapi neuroprotektif menjadi pertimbangan
untuk dilakukan. Tujuannya untuk mengurangi kerusakan serebral. Namun
pada penelitian, hingga saat ini belum ada neuroprotektan yang aman dan
efektif untuk mengobati sekuele neurologis setelah kejadian HIE pada
neonatus.

Terapi intervensi non farmakologis yang dapat dilakukan adalah terapi


hipotermia. Terapi ini tebukti sangat efektif mengurangi risiko kematian dan
disabilitas bayi baru lahir usia gestasi ≥ 36 minggu dengan klasifikasi HIE derajat
sedang-berat. Tujuan utama terapi adalah menurunkan metabolisme otak,
menyimpan energi, dan mencegah kegagalan energi sekunder dan kematian sel,
sehingga tidak terjadi fase cedera sekunder. Dua mode terapi yaitu whole body
cooling (penurunan temperatur hingga suhu 33,5o±0,5oC) dan selective head
cooling (penurunan suhu hingga 34,5o±0,5oC). Untuk setiap penurunan 1o core
temperature, laju metabolik serebral turun sebesar 6-7%. Terapi ini dilakukan
berdasarkan faktor-faktor seperti berat lahir ≥ 1800 gram, hasil AGD, riwayat
kejadian perinatal akut, skor APGAR, kebutuhan resusitasi, dan pemeriksaan fisik.
Waktu yang tepat untuk memulai terapi adalah sesegera mungkin dalam usia
kehidupan enam jam, serta dijaga hingga 48-72 jam. Selama terapi harus dipantau
beberapa parameter seperti laju dan fungsi jantung, tekanan darah, elektrolit, gas
darah, gula darah, faktor koagulasi. Setelah terapi selesai, proses penghangatan
harus dilakukan bertahap dan perlahan menggunakan selimut penghangat atau
udara hangat.
Fenobarbital adalah obat pilihan utama untuk mengatasi kejangnya.
Fenorbarbital diberikan secara intravena dengan dosis awal adalah 20 mg/kgBB,
dosis tambahan sebagai rumatan adalah 5-10 mg/kgBB. Fenitoin dengan dosis awal
20 mg/kgBB dapat diberikan jika terjadi kejang refrakter. Fenobarbital harus
dimonitor 24 jam setelah dosis awal diberikan dan dosis rumatan (5 mg/kgBB/24
jam) dimulai.

Mengetahui,
Dokter Pembimbing, Dokter Pembimbing,

dr. Syahperlan W, S. Msc, Sp. A dr. I Ketut Rutin, S.Msc, Sp.A

Anda mungkin juga menyukai