disusun oleh
dr. Pathrecia Natalia Siagian
Objektif kasus :
Keilmuan Keterampilan Penyegaran Tinjauan pustaka
Sesak napas dialami ± 2 tahun terakhir dan semakin dirasakan memberat dalam ±
1 bulan terakhir. Sesak semakin terasa pada dada sebelah kiri ± 2 jam SMRS. Nyeri
dada kiri dirasakan seperti ditusuk-tusuk dialami saat OS menarik nafas dan nyeri
dada berkurang jika OS tidur miring ke kiri. Batuk dialami ± 2 tahun ini dan
dirasakan semakin sering ± 1 bulan terakhir dengan dahak yang semakin
bertambah banyak dan kental serta perubahan warna dahak dari putih menjadi
kuning kehijauan. Riwayat batuk darah sebelumnya disangkal. Badan meriang (+)
dialami ± 1 bulan ini dan hilang dengan obat penurun panas yang didapat dari
Pustu. Nafsu makan menurun, ± 5 sdm/ kali makan. Mual (+) namun tidak disertai
muntah. Penurunan BB (+) ± 6 kg dalam 1 bulan terakhir. Riwayat merokok (+) ±
20 tahun terakhir, sebanyak 2 bungkus rokok/ hari. Pasien bekerja sebagai petani
yang sering menyemprot pestisida tanpa menggunakan masker.
Tiga jam SMRS, pasien ditemukan terduduk di teras rumahnya sambil memegang
dadanya, terlihat sesak berat, masih bisa berteriak untuk memanggil keluarganya.
Keluarga lalu membawa pasien masuk ke dalam rumah dan memanggil seorang
perawat di Pustu dan diberikan obat anti hipertensi. Saat perjalanan ke RS selama
2 jam, OS terlihat lemas dan tidak sadarkan diri. Sesampainya di IGD RS, bibir
pasien terlihat biru, badan terasa dingin dan keringat dingin. Setelah diberikan O 2
4 lpm via sungkup, SpO2 77%. Kemudian diganti menjadi O2 10 lpm via NRM, SpO2
menjadi 88%. Lapor konsulen penyakit dalam, diusulkan untuk dilakukan
thoracosintesis, namun setelah konsulen bedah dilapor, diusulkan untuk
pemasangan WSD cito. Di OK dilakukan pemasangan WSD pada hemithorax kiri.
2. Riwayat pengobatan
Riwayat minum OAT selama 6 bulan pada tahun 2014 dan menurut keluarga, OS
dinyatakan sudah membaik. Namun, keluhan batuk, sesak, badan meriang dan
keringat malam kembali timbul pada akhir tahun 2016, dengan hasil dahak (+) di
Pustu, namun OS tidak melakukan pengobatan OAT kembali.
Pasien mengaku tidak pernah menggunakan obat-obatan terlarang. Penggunaan
tato (-).
3. Riwayat penyakit dahulu
Hipertensi (+) namun OS jarang minum obat ataupun kontrol. Riwayat obat anti
hipertensi tidak jelas.
TB Paru (+) dan telah minum OAT dan dinyatakan sembuh tahun 2014, namun
dinyatakan BTA (+) akhir tahun 2016 namun tidak mau berobat.
Riwayat DM, stroke, dan jantung disangkal.
Ayah OS memiliki riwayat asma dan hernia. Ibu OS mengalami keluhan serupa dan
telah mendapat pengobatan OAT namun OS tidak tinggal serumah dengan Ibunya.
5. Riwayat sosioekonomi
Pasien sehari-hari bekerja sebagai petani. Pembiayaan menggunakan BPJS APBN.
6. Pemeriksaan fisik
Dilakukan pemeriksaan fisik pada tanggal 11/06/2018.
- Keadaan umum : lemah.
- Kesadaran : compos mentis.
- Vital Sign :
TD : 90/60 mmHg
HR : 94 x/mnt
RR : 20 x/mnt
SpO2 : 95%
WSD : bubble (+), undulasi (+)
- Warna Kulit : coklat
- Kepala : dalam batas normal
- Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil isokor ɸ 3 mm
refleks pupil direk (+/+), indirek (+/+)
- Hidung : simetris, tidak ada kelainan
- Gigi dan mulut : dalam batas normal
- Telinga : dalam batas normal
- Leher : peningkatan JVP (-), pembesaran KGB (-)
- Thoraks :
Cor :
Dilakukan foto thorax PA ulangan pada pasien ini untuk menentukan posisi WSD satu hari
setelah pemasangan WSD pada tanggal 10/06/2018. Evaluasi hasil foto thorax, kesan:
pneumothorax sinistra, posisi WSD baik.
Pemeriksaan fisik pada tanggal 12/06/2018
- Keadaan umum : sedang
- Kesadaran : compos mentis
- TD : 100/70 mmHg
- RR : 17x/menit
- HR : 89x/menit
- SpO2 : 98%
- WSD : bubble (+), undulasi (+)
- Mata : CA (-/-), SI (-/-), pupil isokor ɸ 3mm, refleks cahaya (+/+)
- Thorax : retraksi suprasternal (+)
- Pulmo : asimetris, stem fremitus kiri < kanan, sonor memendek pada paru
kanan, vesikuler melemah paru kiri, rhonki kasar (+/+), wheezing (+/+)
- Ekstremitas : akral hangat, edema (-/-), sianosis (-/-)
7. Pemeriksaan Penunjang
Lab : Hb/Ht/Leu/Tr : 17,2/49/23.000/227.000
Hitung Jenis : 0/2/85/7/6
Ureum/kreatinin : 15/0,6
SGOT/SGPT : 50/32
GDS : 165
EKG : Normal sinus rhythm, HR 87 bpm, early repolarization dengan zona transisi
dimulai dari V2. Kesan : EKG normal
8. Diagnosis
Saat di IGD
- O2 10 lpm via NRM
- Inj. Cefotaxime 1 gr /12 jam IV
- Inj. Dexamethasone 1 ampul/8 jam IV (2 hari)
- Nebu ventolin 1 respule + nebu pulmicort 1 respule
- Ambroxol 3 x 30 mg
Setelah di ruangan
- O2 2 lpm via NK
- Inj. Cefotaxime 1 gr / 12 jam IV
- Inj. Ketorolac 30 mg / 8 jam IV (k/p)
- Nebu ventolin 1 respule / 8 jam rutin
- Azitromisin 1 x 500 mg
- Ambroxol 3 x 30 mg
DAFTAR PUSTAKA
1. Yakar HI. The Role of Tuberculosis in COPD. International Journal of COPD 2017:12
323-329.
2. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease. Pocket Guide to COPD
Diagnosis, Management and Prevention: A Guide for Health Care Professionals.
2017 Report.
3. Baig IM. Post-Tuberculous Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Journal of the
College of Physicians and Surgeons Pakistan 2010, Vol. 20 (8): 542-544.
4. Sarkar M. Tuberculosis Associated Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Review
Article DOI: 10.1111/crj.12621. Clin Respir J. 2017;11:285-295.
5. Pauwels, RA. Global Strategy for The Diagnosis, Mangement, and Prevention of
Chronic Obstructive Pulmonary Disease : NHLBI/WHO Global Initiative for Chronic
Obstructive Lung Disease (GOLD) Workshop Summary. Am J Respir Crit Care Med
Vol 163. pp 1256-1276. 2001.
6. Rabe KF. Global Strategy for The Diagnosis, Management and Prevention of
Chronic Obstructive Pulmonary Disease : GOLD Executive Summary. Am J Respir
Crit Care Med Vol. 176. pp 532-555, 2007.
7. Elkington PT. Matrix Metalloproteinases in Destructive Pulmonary Pathology.
Thorax 2006; 61:259-266. DOI: 10.1136/thx.2005.051979.
8. Low, LL. A Unique Case of Spontaneous Secondary Pneumothorax (SSP) Occuring
During an Acute Exacerbation of Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD).
Proceedings of Singapore Healthcare Volume 23 Number 2 2014.
9. Hobbs BD. Pneumothorax Risk Factors in Smokers With and Without Chronic
Obstructive Pulmonary Disease. Ann Am Thorac Soc Vol 11, No 9, pp 1387-1394,
Nov 2014.
10. Pipavath SN. Chronic Obstructive Pulmonary Disease: Radiology-Pathology
Correlation. J Thorac Imaging Volume 24, Number 3, August 2009.
11. Noppen M. Pneumothorax. Respiration 2008; 76: 121-127. DOI:
10.1159/000135932.
12. Noppen M. Spontaneous Pneumothorax: Epidemiology, Pathophysiology and
Cause. Eur Respir Rev 2010; 19: 117, 217-219. DOI: 10.1183/09059180.00005310.
13. Baumann, MH. Pneumothorax. Respirology (2004) 9, 157-164.
14.
HASIL PEMBELAJARAN
SUBJEKTIF
Pada pasien mengeluhkan sesak nafas sejak ± 1 bulan dan dirasakan semakin
memberat dalam 1 minggu terakhir. Pada manusia produktif, gejala sesak nafas
harus dievaluasi apakah terlibat masalah pulmoner atau kardiak. Dalam hal ini,
perlu ditanyakan gejala klinis yang menyertainya. Sesak yang berkaitan dengan
masalah kardiak biasanya diperberat dengan aktivitas. Sementara sesak karena
masalah pulmoner biasanya tidak dipengaruhi aktivitas dan sering disertai dengan
gejala lain seperti demam dan batuk. Pada pasien ini mengeluhkan batuk berdahak
yang dialami sejak ± 2 tahun terakhir dan dirasakan semakin sering dalam ± 1 bulan
terakhir dengan perubahan warna dahak dari putih menjadi kuning kehijauan
dengan dahak yang bertambah banyak dan kental. Pada pasien ini lebih
dititikberatkan penyebabnya PPOK karena dari anamnesis dikatakan pasien
merupakan perokok berat dengan riwayat merokok 2 bungkus per hari. Pasien
bekerja sebagai petani dengan riwayat terpapar pestisida tanpa menggunakan
masker. Selain itu, di rumah pasien memakai obat nyamuk bakar di dalam rumah
dan kayu bakar untuk memasak. Namun hal ini masih didiagnosis banding dengan
bekas TB paru karena pasien mengaku pernah minum OAT selama 6 bulan pada
tahun 2014, dan kemudian di akhir tahun 2016, pasien kembali mengalami batuk ±
1 bulan, keringat malam dan sesak nafas dan dinyatakan status BTA (+) di Pustu,
namun pasien tidak mau berobat rutin untuk kedua kalinya. Atas keluhan tersebut,
dipikirkan bahwa pasien menderita PPOK dengan diagnosis banding bekas TB paru.
Hal ini disebabkan oleh anamnesis pasien yang mengatakan pernah mengalami
batuk berdahak yang dirasakan semakin bertambah banyak dengan dahak yang
semakin banyak, kental dan berubah warna. Hal ini sesuai dengan trias PPOK
eksasebasi akut. Namun, dari anamnesis riwayat minum OAT, pasien didiagnosis
banding dengan bekas TB paru. Setelah mendapatkan anamnesis yang cukup,
nantinya perlu didukung dengan hasil pemeriksaan fisik maupun penunjang yang
sesuai. Hasil pemeriksaan fisik dan penunjang inilah yang nantinya diharapkan dapat
menegakkan diagnosis pasti penyakit pasien ini.
OBJEKTIF
Dari pemeriksaan fisik dan penunjang yang dilakukan di ruangan rawat inap
satu hari post pemasangan WSD pertama, dijumpai adanya tanda pneumothorax
dengan pemeriksaan fisik thorax menunjukkan asimetris, ketertinggalan gerak
napas pada dada kiri. Saat mempalpasi thorax dijumpai stem fremitus hemithoraks
kiri lebih lemah daripada hemithoraks kanan. Pada perkusi ditemukan batas jantung
bergeser ke kanan dengan kesan jantung tidak membesar. Pada auskultasi dijumpai
suara pernapasan vesikuler, yang melemah pada lapangan paru kiri dibandingkan
paru kanan dengan suara tambahan berupa rhonki kasar dan wheezing di kedua
lapangan paru. Dari tanda tersebut dapat disimpulkan pasien mengalami
pneumothorax.
Dari hasil pemeriksaan fisik dijumpai mulut mencucu, dimana tanda seperti
itu disebabkan banyaknya residu udara dalam paru-paru. Dari inspeksi thorax
dijumpai bentuk dada seperti tong dengan diameter anteroposterior sama dengan
diameter lateral thorax. Hal ini disebabkan adanya air trapping pada cavum thorax.
Dari anamnesis juga dikatakan pasien dengan riwayat merokok 2 bungkus/ hari dan
terpapar pestisida tanpa menggunakan masker, sehingga anamnesis dan temuan ini
dikaitkan dengan PPOK. Namun, pasien juga memiliki riwayat TB dan riwayat
minum OAT. Berdasarkan temuan ini, disimpulkan bahwa pasien mengalami
pneumothorax spontan sekunder, karena pneumothorax pada pasien ini terjadi
akibat adanya suatu penyakit paru yang mendasari.
Pada hari ketiga rawatan di ruangan, tampak pasien lebih sesak dengan
retraksi suprasternal dan intercostal lebih jelas. Pada pemeriksaan fisik, diraba
krepitasi pada daerah wajah, leher, dada, perut, punggung, lengan hingga kaki.
Penyebab emfisema pada pasien ini masih perlu ditelusuri. Emfisema subkutan
pada pneumothorax dapat disebabkan akibat adanya bullae di perifer berdekatan
dengan pleura yang pecah, sehingga mengakibatkan udara diantara pleura viseral
dan parietal dapat masuk ke bawah kulit. Mekanisme lain yang bisa terjadi adalah
iatrogenik, dimana bisa terjadi akibat kesalahan pasien dan kesalahan dokter
sendiri. Kesalahan pasien adalah apabila pasien bergerak terlalu banyak dan kurang
memperhatikan posisi selang WSD. Sementara itu, kesalahan dokter dikaitkan
dengan kesalahan saat pemasangan WSD, dimana selang WSD yang diinsersi tidak
melebihi 5 cm dari jarak lubang terakhir pada selang WSD, sehingga ketika paru-
paru mulai berkembang dan udara di antara pleura parietal dan viseral mulai keluar
melalui selang WSD, selang tersebut menjadi terdorong sehingga masuk ke dalam
subkutan, sehingga menyebabkan emfisema subkutan.
Kemudian dilakukan foto thorax ulangan sebelum dilakukan
perbaikan/penggantian WSD dan multiple incision. Setelah menilai dan
mempertimbangkan foto thorax tersebut disertai hilangnya bubble dan undulasi
pada selang WSD, diputuskan untuk menutup bekas WSD yang lama dan memasang
WSD yang baru serta multiple incision. Pada hari keempat rawatan di ruangan (1
hari setelah pemasangan WSD yang kedua), dijumpai klinis pasien membaik dengan
bubble dan undulasi (+) pada selang WSD. Pada foto thorax kontrol dijumpai
pneumothorax sinistra minimal pada lapangan paru kiri dan emfisema subkutan
yang masih tersebar pada seluruh tubuh. Pasien dianjurkan untuk meniup botol
yang kosong atau balon. Hal ini ditujukan untuk melatih perkembangan paru.
ASSESSMENT
Berdasarkan data subjektif dan objektif yang didapatkan pada pasien ini,
dapat disimpulkan adanya pneumothoraks spontan sekunder ec PPOK dd/ Bekas TB
Paru. Berdasarkan hasil studi pustaka yang dilakukan, didapatkan hasil sebagai
berikut :
Definisi Pneumothorax
Pneumothorax adalah adanya udara di dalam kavum pleura, diantara pleura
viseral dan parietal sehingga menyebabkan kolaps pada paru. Istilah ini digunakan
oleh seorang dokter Prancis pada tesisnya tahun 1803, meskipun adanya kumpulan
udara dan cairan di dalam dada sudah disimpulkan secara dini sebagai hippocratic
succussion of the chest oleh dokter di Yunani Kuno pada abad ke-5 SM.
Klasifikasi Pneumothorax
Klasifikasi pneumothorax umumnya dibagi berdasarkan penyebabnya. Trauma
(iatrogenik ataupun kecelakaan) adalah penyebab umum pneumothorax. Jika
pneumothorax terjadi tanpa kejadian trauma sebelumnya, maka diklasifikasikan
sebagai peneumothorax spontan, dimana pneumothorax spontan terbagi atas
primer (tanpa bukti adanya penyakit pada dinding dada atau paru-paru secara klinis
atau radiologis) dan sekunder (dengan bukti adanya penyakit yang mendasari).
Tabel 1. Klasifikasi pneumothorax
3. Pneumothorax Iatrogenik
Penyebab paling sering menyebabkan pneumothorax iatrogenik adalah
transthoracic needle aspiration atau biopsi, dengan angka insidensi sekitar 20%.
Resiko terjadinya pneumothorax jenis ini meningkat akibat insersi yang terlalu
dalam, banyak dan lesi lebih kecil saat melakukan penanganan terhadap penyakit
paru obstruktif yang mendasari.
Tabel 3. Penyebab Pnemothorax Iatrogenik
Berdasarkan Frekuensi Terjadinya
4. lanf
Etiologi Pneumothorax
Patofisiologi Pneumothorax
PLAN
Pada pasien segera dilakukan manajemen awal perawatan bayi dengan asfiksia.
Setelah itu, bayi dipasangkan C-PAP sebagai alat bantu pernafasan agar bayi tidak
semakin sesak. Pada pasien ini mode yang diberikan adalah PEEP 8 FiO2 61%.
Sebagai terapi kejang, diberikan injeksi sibital loading dose 60 mg/i.v/bolus pelan
selama 10-15 menit. Injeksi sibital dosis rumatan diberikan sebesar 12 mg/12
jam/i.v. Namun obat kejang ini diberikan jika pada pasien ditemukan kejang.
Pemberian injeksi aminophilin dosis awal dan rumatan juga diberikan secara
intravena untuk merangsang pusat pernafasan dengan meningkatkan kepekaan
terhadap CO2, menigkatkan frekuensi nafas, dan menyebabkan relaksasi otot.
Pemberian antibiotik pada pasien ini adalah dengan kombinasi injeksi ampisilin-
gentamisin.
Penatalaksaan
Segera setelah lahir, maka sisa-sisa mekonium yang masih tersisa dalam
mulut dan saluran nafas harus segera dihisap. Untuk menghindari resiko
berlanjutnya teraspirasi mekonium, maka sisa mekoneum yang terdapat pada
rongga hidung, mulut, atau tenggorokan segera dikeluarkan, dengan mengunakan
pengisap (suction). Sebaiknya dilakukan pengisapan sampai saluran pernafasan
yang lebih dalam sampai tidak ada lagi mekonium yang keluar dalam suction.
Bila bayi tidak memperlihatkan pernafasan spontan atau depresi pernafasan,
tonus otot berkurang, dan denyut jantung bayi kurang dari 100x per menit, maka
sesegera mungkin dilakukan laringoskopi untuk pengisapan sisa mekonium dari
hipofaring (dengan penglihatan langsung), kemudian dilakukan intubasi dan
penghisapan trakea.
Apabila bayi mengalami distres respirasi, maka perlu segera diberikan
oksigen. Untuk mempertahankan oksigenasi yan adekuat, PaO2 dipertahankan
antara 50-80 mmHg, untuk memenuhi kebutuhan normal fungsi jaringan dan
mencegah asidosis dan kemungkinan terjadinya syok. Untuk mempertahankan
keadaan tersebut, dapat dicapai dengan pemberian oksigen dengan menggunakan
head box atau C-PAP atau pernafasan buatan yang tergantung dari hasil AGD. Bila
didapatkan denyut jantung bayi dan pernapasan mengalami depresi sangat berat,
lebih baik dilakukan VTP meskipun masih didapatkan mekoniuma pada saluran
pernafasan. Bayi yang tercemar mekonium dan kemudian mengalami apneu atau
distres pernafasan, maka harus dilakukan pengisapan trakea terlebih dahulu
sebelum diberikan VTP.
Menurut AAP, rekomendasi perawatan pasa resusitasi adalah STABLE (sugar
and safe care, temperature, airway, blood pressure, laboratory, and emotional
support). Sugar and safe care adalah langkah untuk menstabilkan gula darah
neonatus. Target gula darah pada neonatus adalah 50-110 mg/dL. Temperature
dilakukan untuk menghindari kondisi bayi hipotermia. Dilakukan dengan cara
meletakkan bayi dalam inkubator dengan suhu 34 oC menggunakan selimut untuk
menutupi bayi serta pengaturan dan pemantauan suhu badan agar tetap berada di
suhu 35,5-37,5oC. Airway dilakukan upaya untuk membuka alveoli paru. Selain itu
dilakukan penilaian apakah ada terjadi kegawatan napas menggunakan skor Down.
Beberapa pemeriksaan penunjang yang bisa membantu menilai kegawatan napas
adalah pemeriksaan darah tepi dengan hitung jenis, pengukuran glukosa secara
serial, serta AGD bila terdapat kecurigaan distress pernapasan. Tatalaksana distres
pernafasan pada neonatus secara umum yaitu rawat di inkubator untuk
mempertahankan suhu tubu neonatus, oksigenasi untuk mempertahankan saturasi
oksigen (95-98%) dengan metode C-PAP, puasa peroral dengan memberikan cairan
parenteral dengan D10% mulai dari 60 cc/kgBB/hari, serta pemberian antibiotik.
Blood pressure, pada bayi dapat terjadi syok kaena gangguan perfusi dan gangguan
oksigenasi organ. Penyebab terseringnya adalah kehilangand arah saat persalinan,
kehilangan darah setelah lahir, dan dehidrasi. Gejala syok dini berupa gangguan
napas. Laboratory adalah sebagai perawatan selanjutnya dengan melakukan
pemeriksaan laboratorium untuk mencari kemungkinan infeksi. Pemeriksaan
laboratorium yang dilakukan adalah hitung jenis, leukosit, trombosit, dan kultur
darah. Emotional support adalah dengan memberikan edukasi kepada orangtua
tentang kondisi anak agar orangtua lebih siap menerima kondisi bayi saat ini dan
kemungkinan buruk yang dapat terjadi selanjutnya.
Mengetahui,
Dokter Pembimbing, Dokter Pembimbing,