Anda di halaman 1dari 43

6

BAB 2

TINJAUAN TEORI

2.1. Konsep Spiritual

2.1.1. Definisi

Spiritual merupakan serangkaian dogma atau doktrin suatu agama

yang diyakini dengan sepenuh hati, taat pada ajaran tertentu sehingga

membuat pilihan untuk mengikat diri sesuai dengan prosedur yang telah

diatur (Hananime, Yanti 2019)

Menurut Florence Nightingale Spiritualitas adalah proses kesadaran

menanamkan kebaikan secara alami, yang mana menemukan kondisi

terbaik bagi kualitas perkembangan yang lebih tinggi dengan spiritualitas

mewakili totalitas keberadaan seseorang dan berfungsi sebagai perspektif

pendorong yang menyatukan berbagai aspek individual. (Yusuf, Ah 2016)

Spiritual merupakan sebagai sebuah pencarian yang signifikan

berhubungan dengan kepercayaan dasar yang terkait dengan agama

(pencarian kepada Ilahi yang tertinggi, suci atau yang melampaui diri

secara fisik), melibatkan rasa hubungan kepada Tuhannya ( Utami, Tri

Niswati ,2016)

2.1.2. Domain Spiritual

1. Mystery

Mystery adalah pengalaman manusia yang melekat dalam

kehidupannya, dan ini merupakan nilai spiritual yang melekat dalam

dirinya. Mystery adalah sesuatu yang dimengerti dan dapat

menjelaskan yang akan terjadi setelah kehidupan ini. Kepercayaan

terhadap apa yang terjadi setelah kehidupan inilah yang memberi nilai
7

spiritualitas manusia, sehingga dia bisa menilai kualitas perilaku dalam

kehidupan untuk kehidupan akhirat.

Kepercayaan terhadap nilai kehidupan akhirat akan memberikan

spirit khusus, menjadi motivator persepsi dalam memaknai sehat sakit,

menjadi sumber kekuatan dalam proses penyembuhan yang dapat

mengalahkan semua kesakitan dan penderitaan di dunia. Hidup di

dunia hanyalah sementara, kehidupan akhikrat akan kekal selamanya,

dan semua bekal kehidupan kekal di akhirat harus di bangun dan

diciptakan selama hidup di dunia.

2. Love

Cinta merupakan sumber dari segala kehidupan, menjadi bahan

bakar dari nilai spiritual, karena perasaan cinta berasal dari hati, pusat

dari penampilan ego seseorang. Ego adalah pemenuhan kebutuhan

dasar manusia sesuai dengan tahap pertumbuhan dan

perkembangannya. Cinta, seperti sebuah spirit, tidak jelas tempatnya,

waktu, dan situasi dimana perasaan tersebut dirasakan, tetapi ini

merupakan sumber energi dalam proses penyembuhan.

Hubungan antara cinta dan proses penyembuhan adalah

meneruskan berbagai sumber untuk eksplorasi sesuatu yang

menakjubkan dalam proses penyembuhan. Cinta termasuk suatu yang

misterius, terkait dengan pilihan dan perasaan, antara memberi dan

menerima. Cinta termasuk dimensi cinta pada diri sendiri, devine love

cinta untuk orang lain, cinta kepada Rasulullah, dengan kehidupan

rohaniah, dan cinta untuk seluruh aspek kehidupan. Adanya perasaan

cinta merupakan kunci dari domain spiritualitas seseorang.


8

3. Suffering

Keberadaan dan arti penderitaan merupakan domain spiritual.

Penderitaan adalah salah satu issue inti dari misteri kehidupan, dapat

terjadi karena masalah fisik, mental, emosional dan spiritual. Meskipun

demikian, tidak semua orang merasakan penderitaan yang sama untuk

suatu keadaan yang sama. Perasaan dipengaruhi oleh konsep sakit

dan nilai spiritual tentang makna penderitaan, budaya, latar belakang

keluarga, amalan keagamaan, dan kepribadian seseorang. Perawat

perlu memperhatikan respon penderitaan seseorang karena akan

mempengaruhi konsep sehat sakit dan upaya mencari penyembuhan.

Penderitaan atau kesengsaraan adalah sesuatu yang relatif,

tergantung fokus dan makna spiritual yang dikembangkan. Nabi Ayyub,

pernah dicoba oleh Allah dengan diberikan penderitaan berupa

penyakit kulit yang tidak kunjung sembuh. Beliau dengan sabar dan

ihlas menjalani penderitaan ini dengan makna spiritual yang sangat

tinggi, bahkan sampai ditinggalkan oleh anak dan istri, dikucilkan oleh

masyarakat. Meskipun demikian, sama sekali tidak ada penderitaan

yang dirasakan oleh Nabi Ayyub, bahkan beliau menjadi sangat

bahagia karena bisa memberi hak hidup bagi semua kuman penyebab

penyakit yang dialami. Ulat yang menggerogoti pinggir lukanya tetap

dibiarkan hidup, disisihkan ketika akan sholat, dan dikembalikan lagi

setelah sholat. Subhanallah, akhirnya Nabi Ayyub kembali diberikan

kesembuhan oleh Allah SWT.


9

4. Hope

Harapan terkait dengan keinginan di masa yang akan datang,

berorientasi pada masa yang akan datang. Ini adalah merupakan

energi spirit untuk mengantisipasi apa yang akan terjadi kemudian,

bagaimana caranya bisa menjadi lebih baik. Disinilah makna

spiritualitas dari sebuah harapan. Dia merupakan hubungan yang

positif antara harapan, spiritual well-being, nilai keagamaan, dan

perasaan positif lainnya.

Menanamkan harapan dalam kehidupan spiritual yang

sesungguhnya akan menjadi fondasi utama dalam menemukan makna

kehidupan seseorang, menjadi penentu arah dalam pilihan kehidupan,

menjadi dasar dalam berfikir dan berperilaku seseorang. Oleh karena

itu, penguatan nilai-nilai spiritual orang tua kepada anak menjadi hal

penting dalam membangun masadepan anak, menjadi penentu arah

kemana mereka akan berkembang.

5. Forgiveness

Pemaaf adalah komponen utama dari self-healing. Sikap mau

memaafkan adalah kebutuhan yang mendalam dan pengalaman yang

sangat diharapkan dapat dilaksanakan seseorang. Keadaan ini

memerlukan keyakinan kuat bahwa Tuhan Maha Pemaaf.

Memaafkan adalah suatu sifat, sikap dan perilaku yang sulit

dilaksanakan, apalagi ketika kita merasa pernah disakiti, semua akan

tetap membekas. Memerlukan kesadaran mendasar bahwa kita ini

bukan siapa-siapa, semua terjadi atas kehendak-Nya. Kita lahir tidak

membawa apa-apa, matipun tidak membawa apa-apa. Apa yang harus


10

kita sombongkan, kenapa tidak bisa memaafkan seseorang. Tuhan

saja maha pengampun. Kita memang bukan tuhan, kita bukan

malaikat, tetapi kesadaran untuk bisa memaafkan terhadap perilaku

yang kurang bisa terima adalah sesuatu yang harus kita latih dengan

mengedepankan makna spiritual bahwa kitapun belum tentu lebih

benar dan lebih baik dari mereka. Dengan demikian forgiveness akan

menjadi komponen utama dalam proses penyembuhan diri dan

mengurangi makna penderitaan.

6. Peace and Peacemaking

Damai dan pembentukan perdamaian bagi sebagian orang tidak

bisa dipisahkan dari keadilan yang melekat pada diri seseorang,

dimana seseorang bisa hidup dan berada dalam langkungan alamiah

dan menyembuhkan. Kedamaian ini tidak tergantung dari lingkungan

eksternal, banyak orang datang dari sisi kelam kehidupan atau brutal

menjadi pejuang perdamaian. Keadaan ini mengalir dari hubungan

yang membuat kita bertahan dalam kehidupan yang damai. Ini adalah

pencapaian spiritualitas yang besar.

Perdamaian adalah suatu cita-cita hidup yang luhur dan indah,

tetapi kenapa masih saja ada perang. Mereka berusaha mendapatkan

perdamaian tetapi dengan cara merusak, menyakiti dan membunuh

yang lain.

7. Grace

Anggun, lemah lembut adalah pengalaman yang mengandung

elemen surprise atau kejutan, perasaan terpesona, kagum, misteri dan

perasaan bersyukur akan keadaan kita. Grace merupakan dukungan


11

yang diperlukan untuk mengatasi sesuatu yang tidak menyenangkan

atau tidak diharapkan. Grace dalam kehidupan nyata lebih tampak

pada rasa bersyukur atas apa yang telah diberikan oleh Tuhan.

Bersyukur adalah berterimakasih, pengakuan kepada Tuhan bahwa

semua kenikmatan adalah pemberian Tuhan. Kita awalnya tidak ada,

lahir, tumbuh, berkembang, sehat, cantik, tampan, pandai, bahagia,

semua adalah pemberian Tuhan yang tidak ternilai harganya. Tidak

ada alasan manusia untuk tidak bersyukur sampai kita nanti kembali

menghadap Tuhan untuk mempertanggung jawabkan semua apa yang

telah diberikan. Bersyukur merupakan indikator keimanan dan

pengakuan atas kekuasaan Tuhan.

8. Prayer

Berdoa merupakan ekspresi dari spiritualitas seseorang. Berdoa

adalah insting terdalam dari manusia, keluar dari suatu kesadaran

yang tinggi bahwa Tuhan adalah maha mengatur semua kehidupan.

Berdoa meliputi pencarian terhadap hubungan erat dan komunikasi

dengan Tuhan atau sumber yang misterius. Berdoa adalah usaha

keras untuk memohon kepada Tuhan agar diberikan kebaikan,

keberkahan, kemudahan, kesehatan, jalan keluar dari segala kesulitan

dan lain-lain. ( Yusuf, AH dkk, 2016).

2.1.3. Dimensi Spiritual

1. Dimensi transenden
Orang spiritual memiliki kepercayaan atau belief berdasarkan

eksperensial bahwa ada dimensi transenden dalam hidup.

Kepercayaan atau belief disini dapat berupa perspektif tradisional

atau agama mengenai Tuhan sampai perspektif psikologis bahwa


12

dimensi transenden adalah eksistensi alamiah dari kesadaran diri dari

wilayah ketidaksadaran atau greater self. Orang spiritual memiliki

pengalaman transenden atau dalam istilah Maslow “peak

experience”. Individu melihat apa yang dilihat tidak hanya apa yang

terlihat secara kasat mata, tetapi juga dunia yang tidak dapat terlihat.
2. Dimensi Makna dan Tujuan hidup.

Orang spiritual akan memiliki makna hidup dan tujuan hidup yang

timbul dari keyakinan bahwa hidup itu penuh makna dan orang akan

memiliki eksistensi jika memiliki tujuan hidup. Secara aktual, makna

dan tujuan hidup setiap orang berbeda‐beda atau bervariasi, tetapi

secara umum mereka mampu mengisi “exixtential vacuum” dengan

authentic sense bahwa hidup itu penuh makna dan tujuan.

3. Dimensi Misi Hidup.

Orang spiritual merasa bahwa dirinya harus bertanggung jawab

terhadap hidup. Orang spiritual termotivasi oleh metamotivated dan

memahami bahwa kehidupan pada diri individu hilang dan individu

harus ditemukan.

4. Dimensi Kesucian Hidup.

Orang spiritual percaya bahwa hidup diinfus oleh kesucian dan

sering mengalami perasaan khidmad, takzim, dan kagum meskipun

dalam setting nonreligius. Dia tidak melakukan dikotomi dalam hidup

(suci and sekuler; akhirat dan duniawi), tetapi percaya bahwa seluruh

kehidupannya adalah akhirat dan bahwa kesucian adalah keharusan.

Orang spiritual dapat sacralize atau religionize dalam seluruh

kehidupannya.

5. Dimensi Kepuasan Spiritual.


13

Orang spiritual dapat mengapresiasi material good seperti uang

dan kedudukan, tetapi tidak melihat kepuasan tertinggi terletak pada

uang atau jabatan dan tidak mengunakan uang dan jabatan untuk

menggantikan kebutuhan spiritual. Orang spiritual tidak akan

menemukan kepuasan dalam materi tetapi kepuasan diperoleh dari

spiritual.

6. Dimensi Altruisme.

Orang spiritual memahami bahwa semua orang bersaudara dan

tersentuh oleh penderitaan orang lain. Dia memiliki perasaan/sense

kuat mengenai keadilan sosial dan komitmen terhadap cinta dan

perilaku altrusitik.

7. Dimensi Idealisme.

Orang spiritual adalah orang yang visioner, memiliki komitmen

untuk membuat dunia menjadi lebih baik lagi. Mereka berkomitmen

pada idealisme yang tinggi dan mengaktualisasikan potensinya untuk

seluruh aspek kehidupan.

8. Dimensi Kesadaran Akan Adanya Penderitaan

Orang spiritual benar‐benar menyadari adanya penderitaan dan

kematian. Kesadaran ini membuat dirinya serius terhadap kehidupan

karena penderitaan dianggap sebagai ujian. Meskipun demikian,

kesadaran ini meningkatkan kegembiraan, apresiasi dan penilaian

individu terhadap hidup (Wahyuningsih, Hepi, 2019).

2.2. Konsep Kesejahteraan Spiritual

2.2.1. Definisi
14

Menurut Gomez & Fisher Kesejahteraan Spiritual adalah konsep

mengenai pencarian untuk menemukan makna dalam kehidupan, mencari

kebenaran dan menyadari kesadaran keberadaan. Semuanya

memberikan tujuan, arti dan nilai untuk kehidupan, dengan cara

mensyukuri pemberian tuhan, mengasihi sesama dan belajar dari

pengalaman kehidupan (Hananime, Yanti, 2019).

Kesejahteraan spiritual adalah rasa keharmonisan, saling kedekatan

antara diri dengan orang lain, alam dan dengan kehidupan yang tertinggi.

Rasa keharmonisan ini dicapai ketika seseorang menemukan

keseimbangan antara nilai, tujuan, dan sistem keyakinan mereka dengan

hubungan mereka di dalam diri mereka sendiri dan dengan orang lain

( Ah. Yusuf, 2016).

2.2.2. Domain Kesejahteraan Spiritual

1. Personal

Domain personal adalah domain yang berfokus pada diri sendiri,

yaitu bagaimana seseorang individu masuk kedalam dirinya,

mengetahui makna, tujuan dan nilai hidupnya secara mendalam.

Menyadari setiap peristiwa dalam dirinya sebagai sebuah proses yang

menjadikan individu yang utuh dan beridentitas. Kesadaran diri ini

merupakan dorongan yang kuat pada individu untuk mencapai harga

diri aktualisasi diri, menjadi individu yang menikmati segala kejadian,

memiliki kesabaran dan penerimaan diri yang tinggi serta merasa

damai dan bahagia dengan kesadaran akan keberadaan dirinya

tersebut.

2. Komunal
15

Domain komunal adalah domain yang berkaitan dengan orang –

orang diluar individu, seperti kemampuan interpersonal yaitu

menciptakan kualitas hubungan yang baik dengan orang lain, memiliki

hubungan yang dalam, tidak sebatas mengetahui saja, tapi mampu

menjalanin hubungan yang dekat dan erat berdasarkan norma

moralitas dan budaya yang berlaku. Kemampuan individu dalam

menjaga hubungan baik dengan orang lain ditunjukkan melalui sikap

mencintai, mampu memaafkan orang lain, memiliki harapan dan

kepercayaan pada manusia, artinya tidak apatis dan peduli terhadap

keberadaan orang lain sekitarnya.

3. Environmental

Individu memiliki keterikatan yang erat dengan alam, mampu

bersinergi dan saling peduli, terhubung satu sama lain. Bahkan

individu juga bisa merasakan pengalaman puncak melalui dialog

dengan alam, melalui ketakjuban terhadap apa yang dipersembahkan

alam secara visual, maupun auditori seperti suara angin dan kicauan

burung yang merdu. Terciptanya suatu sikap yang lebih dari kepedulian

dan pemeliharaan fisik dan biologi, suatu perasaan kagum yang luar

biasa sehingga terciptalah sebuah hubungan spesial, sebuah sinergi

yang hidup.

4. Transendental

Meliputi hubungan individu dengan suatu kekuatan besar diluar

dirinya, kekuatan yang tidak bisa terjangkau seperti yang paling mulia,
16

suatu energi yang besar, kekuatan kosmik, kenyataan transendetal

atau tuhan. Individu menjalin hubungan dengan kekuatan tersebut,

tunduk dan patuh padanya, memiliki kepercayaan, memuju dan

beribadah melalui ritual – ritual yang diyakini atau salah satu domain

tidak ada dalam diri individu, maka keutuhan itu tidak lagi tercipta

karena salah satu domain atau kerangka yang mengisinya hilang. Saat

itu juga individu dikatakan mengalami sakit secara spiritual, dimana

kondisi tersebut sering dikatakan sebagai penyakit spiritual

(Hananime, Yanti, 2019).

2.2.3. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Spiritual

Kesejahteraan spiritual adalah kontruk teori yang tergolong baru, dan

hingga saat ini masih terus tergolong baru, dan hingga saat ini masih

dikembangkan. Fisher mengkaji tentang kesejahteraan spiritual dalam

disertasinya, yang fokus pada bidang pendidikan sehingga ditemukan

beberapa faktor kesejahteraan spiritual didalamnya. Adapun faktor –

faktor yang mempengaruhi kesejahteraan spiritual yang diungkapkan

Fisher :

1. Lingkungan terdekat

Keberadaan orang – orang terdekat adalah hal yang sangat

berpengaruh pada kondisi kesejahteraan spiritual seseorang. Ayah,

Ibu, Nenek, Keluarga merupakan faktor utama yang membangun

konsep – konsep mengenai hubungan personal dan komunal.

2. Pemimpin Keagamaan

Pemimpin keagamaan berpengaruh pada penanaman nilai – nilai

spiritualitas yang lebih spesifik menjurus pada domain transendental,


17

membangun konsep keutuhan dan keterhubungan dengan kekuatan

semesta alam.

3. Guru atau Pendidik

Guru sebagai figur yang sangat berpengaruh, mengajarkan

pengetahuan secara umum untuk kontrol perilaku, berdampak secara

spesifik pada keempat domain kesejahteraan spiritual.

4. Pengalaman Hidup

Pengalaman hidup adalah segala suatu yang pernah dilewati oleh

individu, proses yang sudah berlangsung dimana individu menemukan

kesadaran – kesadaran baru untuk pembentuk kedewasaan proses

mental dan berpikir (Hananime, Yanti, 2019).

Menurut Fisher (2010) menjelaskan berbagai faktor yang

mempengaruhi kesejahteraan spiritual seseorang yang berbeda,

dimana berbeda kondisi maka pula faktor yang mempengaruhinya,

Adapun faktor yang mempengaruhi kesejahteraan spiritual pada

perawat dan sukarelawan ditempat kerja antara lain :

1. Usia

Usia mempengaruhi tingkat dan kualitas kesejahteraan spiritual

dalam diri seseorang, seiring bertambahnya usia maka sekaligus

menambah pengalaman hidup pada diri individu, begitu pula dengan

kesejahteraan spiritual yang terdapat dalam dirinya.

2. Gender
18

Faktor gender memiliki pengaruh yang kecil dalam menentukan

kesejahteraan spiritual seseorang. Namun, pada umumnya perempuan

memiliki skor yang lebih tinggi pada domain personal dan komunal.

3. Posisi

Posisi pada saat perawatan pasien serta lingkungan kerja

berdampak pada kesejahteraan spiritual individu. Perempuan yang

bekerja pada bidang perawatan sebelum kematian, memilik

kesejahteraan spiritual yang lebih tinggi dibandingkan dengan posisi

lain.

4. Agama

Pada domain transendental yang artinya orang yang memiliki

agama memiliki kesejahteraan spiritual yang lebih tinggi dibandingkan

dengan individu yang tidak memilik agama, dengan komunitas diluar

lingkar pengajian yang diikuti. Terlebih konflik dengan keluarga dekat,

karena tidak mampu menerima perubahan, karena itulah ketiga subjek

tidak mampu memenuhi kesejahteraan spiritual karakteristik individu

yang memiliki kesejahteraan spiritual (Hananime, Yanti 2019).

2.2.4. Alat Ukur Kesejahteraan Spiritual

Alat Ukur Kesejahteraan Spiritual (SWBS) yang berisi 20 item

pernyataan. Alat Ukur Kesejahteraan Spiritual (SWBS) terdiri dari dua

subskala yaitu penilaian persepsi tentang kesejahteraan dalam beragama

(RWB) dan penilaian persepsi tentang kesejahteraan eksistensi (EWB).

Dengan 10 item untuk subskala RWB yaitu pernyataan nomor

1,3,5,7,9,11,13,15,17,19 dan 10 item untuk subskala EWB yaitu

pernyataan nomor 2,2,6,8,10,12,14,16,18,20. Sembilan item dibuat dalam


19

kalimat terbaik (unfavorable) yaitu nomor 1,2,5,6,9,12,13,16 dan 18

sebagai penjaga terhadap bias respon yang ditetapkan. Setiap item

memiliki angka 1 sampai 6 dengan pilihan jawaban untuk masing-masing

pernyataan favourable adalah : Sangat Tidak Setuju (STS) dinilai 1, Tidak

Setuju (CTS) dinilai 2, Tidak Setuju (TS) dinilai 3, Setuju (S) dinilai 4,

Cukup Setuju (CS) dinilai 5 dan Sangat Setuju (SS) dinilai 6. Sedangkan

untuk pernyataan unfavorable adalah sebaliknya. Peneliti menggunakan

instrumen SWBS yang dibuat oleh Andini agar dapat melakukan

penyesuaian terhadap pasien yang ada di Indonesia (Annissa Puspa,

2019).

2.3. Konsep Kecemasan

2.3.1. Definisi

Kecemasan adalah suatu perasaan tidak santai yang samar-samar

karena ketidaknyamanan atau rasa takut yang disertai suatu respons

(penyebab tidak spesifik atau tidak diketahui oleh individu). Perasaan

takut dan tidak menentu sebagai sinyal yang menyadarkan bahwa

peringatan tentang bahaya akan datang dan memperkuat individu

mengambil tindakan menghadapi ancaman (Yusuf, 2015).

kecemasan adalah suatu keadaan emosional yang mempunyai ciri

keterangsangan fisiologis, perasaan tegang yang tidak menyenangkan,

dan perasaan aprehensif bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi (Fitri,

Dona, 2016 )

Syamsul Yusuf (2009) dalam Dona Fitri Annisa (2016)

mengemukakan anxiety (cemas) merupakan ketidakberdayaan neurotik,

rasa tidak aman, tidak matang, dan kekurangmampuan dalam


20

menghadapi tuntutan realitas (lingkungan), kesulitan dan tekanan

kehidupan sehari-hari.

2.3.2. Aspek – Aspek Kecemasan

Gail W. Stuart (2006: 149) mengelompokkan kecemasan (anxiety)

dalam respon perilaku, kognitif, dan afektif, diantaranya.

1. Perilaku meliputi gelisah, ketegangan fisik, tremor, reaksi terkejut,

bicara cepat,kurang koordinasi, cenderung mengalami cedera, menarik

diri dari hubungan interpersonal, inhibisi, melarikan diri dari masalah,

menghindar, hiperventilasi, dan sangat waspada.

2. Kognitif meliputi perhatian terganggu, konsentrasi buruk, pelupa, salah

dalam memberikan penilaian, preokupasi, hambatan berpikir, lapang

persepsi menurun, kreativitas menurun, produktivitas menurun,

bingung, sangat waspada, keasadaran diri, kehilangan objektivitas,

takut kehilangan kendali, takut pada gambaran visual, takut cedera

atau kematian, kilas balik, dan mimpi buruk

3. Afektif meliputi mudah terganggu,tidak sabar, gelisah, tegang, gugup,

ketakutan, waspada, kengerian, kekhawatiran, kecemasan, mati rasa,

rasa bersalah, dan malu.

Kemudian Shah (dalam M. Nur Ghufron & Rini Risnawita, S, 2014:

144) membagi kecemasan menjadi tiga aspek, yaitu.

1. Aspek fisik seperti pusing, sakit kepala, tangan mengeluarkan keringat,

menimbulkan rasa mual pada perut, mulut kering, grogi, dan lain-lain.

2. Aspek emosional seperti timbulnya rasa panik dan rasa takut.


21

3. Aspek mental atau kognitif seperti timbulnya gangguan terhadap

perhatian dan memori, rasa khawatir, ketidakteraturan dalam berpikir,

dan bingung.

Kemudian menurut Ivi Marie Blackburn & Kate M. Davidson (1994: 9)

membagi analisis fungsional gangguan kecemasan, diantaranya.

1. Suasana hati diantaranya: kecemasan, mudah marah, perasaan

sangat tegang.

2. Pikiran diantaranya khawatir, sukar berkonsentrasi, pikiran kosong,

membesar-besarkan ancaman, memandang diri sebagai sangat

sensitif, dan merasa tidak berdaya.

3. Motivasi diantaranya menghindari situasi, ketergantungan tinggi, dan

ingin melarikan diri.

4. Perilaku, diantaranya gelisah, gugup, kewaspadaan yang berlebihan.

5. Gejala biologis, diantaranya: gerakan otomatis meningkat, seperti

berkeringat, gemetar, pusing, berdebar-debar, mual, dan mulut kering.

3.1.1. Rentang Respon Tingkat Kecemasan

1. Ansietas ringan ialah berhubungan dengan ketegangan dalam

kehidupan sehari-hari dan menyebabkan seseorang menjadi

waspada dan meningkatkan lahan persepsinya. Ansietas

menumbuhkan motivasi belajar serta menghasilkan pertumbuhan dan

kreativitas.

2. Ansietas sedang ialah memungkinkan seseorang untuk memusatkan

perhatian pada hal yang penting dan mengesampingkan yang lain,

sehingga seseorang mengalami perhatian yang selektif tetapi dapat

melakukan sesuatu yang lebih terarah.


22

3. Ansietas berat ialah sangat mengurangi lahan persepsi seseorang.

Adanya kecenderungan untuk memusatkan pada sesuatu yang

terinci dan spesifik dan tidak dapat berpikir tentang hal lain. Semua

perilaku ditujukan untuk mengurangi ketegangan. Orang tersebut

memerlukan banyak pengarahan untuk dapat memusatkan pada

suatu area lain.

4. Tingkat panik ialah dari ansietas berhubungan dengan ketakutan dan

merasa diteror, serta tidak mampu melakukan apapun walaupun

dengan pengarahan. Panik meningkatkan aktivitas motorik,

menurunkan kemampuan berhubungan dengan orang lain, persepsi

menyimpang, serta kehilangan pemikiran rasional (Yusuf, 2015).

3.1.2. Faktor – faktor yang Mempengaruhi Kecemasan

1. Faktor Predisposisi

a. Faktor Biologis.

Otak mengandung reseptor khusus untuk benzodiazepine.

Reseptor ini membantu mengatur kecemasan. Penghambat GABA

juga berperan utama dalam mekanisme biologis berhubungan

dengan kecemasan sebagaimana halnya dengan endorfin.

Kecemasan mungkin disertai dengan gangguan fisik dan selanjutnya

menurunkan kapasitas seseorang untuk mengatasi stresor

b. Faktor Psikologis

1) Pandangan Psikoanalitik

Kecemasan adalah konflik emosional yang terjadi antara

antara dua elemen kepribadian id dan superego. Id mewakili

dorongan insting dan impuls primitif, sedangkan superego


23

mencerminkan hati nurani seseorang dan dikendalikan oleh

norma-norma budaya seseorang. Ego atau aku berfungsi

menengahi tuntutan dari dua elemen yang bertentangan dan

fungsi kecemasan adalah mengingatkan ego bahwa ada bahaya.

2) Pandangan Interpersonal

Kecemasan timbul dari perasaan takut terhadap tidak

adanya penerimaan dan penolakan interpersonal. Kecemasan

berhubungan dengan perkembangan trauma, seperti perpisahan

dan kehilangan, yang menimbulkan kelemahan spesifik. Orang

yang mengalami harga diri rendah terutama mudah mengalami

perkembangan kecemasan yang berat.

3) Pandangan Perilaku

Kecemasan merupakan segala sesuatu yang mengganggu

kemampuan seseorang untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

Pakar perilaku menganggap sebagai dorongan belajar

berdasarkan keinginan dari dalam untuk menghindari kepedihan.

Individu yang terbiasa dengan kehidupan dini dihadapkan pada

ketakutan berlebihan lebih sering menunjukkan ansietas dalam

kehidupan selanjutnya.

c. Sosial Budaya

Kecemasan merupakan hal yang biasa ditemui dalam

keluarga. Ada tumpang tindih dalam gangguan kecemasan dan

antara gangguan kecemasan dengan depresi. Faktor ekonomi

dan latar belakang pendidikan berpengaruh terhadap terjadinya

kecemasan (Yusuf, 2015).


24

2. Faktor Presipitasi

Faktor presipitasi dibedakan menjadi berikut.

a. Ancaman terhadap integritas seseorang meliputi ketidakmampuan

fisiologis yang akan datang atau menurunnya kapasitas untuk

melakukan aktivitas hidup sehari-hari.

b. Ancaman terhadap sistem diri seseorang dapat membahayakan

identitas, harga diri, dan fungsi sosial yang terintegrasi seseorang

( Yusuf, 2015 ).

3.1.3. Mekanisme Koping Kecemasan

Tingkat kecemasan sedang dan berat menimbulkan dua jenis

mekanisme koping sebagai berikut :

1. Reaksi Yang Berorientasi Pada Tugas

Yaitu upaya yang disadari dan berorientasi pada tindakan untuk

memenuhi secara realistik tuntunan situasi stress, misalnya perilaku

menyerang untuk mengubah atau mengatasi hambatan pemenuhan

kebutuhan, menarik diri untuk memindahkan dari sumber stress,

kompromi untuk mengganti tujuan atau mengorbankan kebutuhan

personal.

2. Mekanisme pertahanan ego

Yaitu membantu mengatasi ansietas ringan dan sedang, tetapi

berlangsung tidak sadar dan melibatkan penipuan diri dan distorsi

realitas dan bersifat maladaptif (Herman, Ade 2011).

3.1.4. Alat Ukur Kecemasan

Rentang respon tingkat kecemasan seseorang dapat diukur

menggunakan alat ukur kecemasan yang disebut HARS (Hamilton


25

Anxiety Rating Scale). Skala HARS merupakan alat pengukuran dan

deteksi dini (alat skrinning) tingkat kecemasan yang didasarkan pada

munculnya gejala pada individu yang mengalami kecemasan. Sesuai

dengan skala HARS, terdapat 14 pertanyaan yang mewakili gejala dari

kecemasan suatu individu. Pertanyaan tersebut dikelompokkan dalam

head of question seperti: perasaan ansietas, ketegangan, ketakutan,

gangguan tidur, gangguan kecerdasan, adanya perasaan depresi, gejala

somatik (otot), gejala somatik (sensorik), kardiovaskuler, respiratorim

gastrointestinal, urogenital, gejala otonom, serta penilaian tingkah laku

pada saat wawancara. Setiap sub pertanyaan yang diberikan akan diberi

5 tingkatan skor antara 0 (tidak ada), 1 (ringan), 2 (sedang), 3 (berat),

sampai dengan 4 (berat sekali). Skala HARS oleh Max Hamilton pertama

kali digunakan pada tahun 1959 dan saat ini telah menjadi standar dalam

pengukuran tingkat kecemasan terutama pada penelitiani clinical trial.

Kuesioner HARS versi bahasa Indonesia telah dibuktikan memiliki angka

validitas dan reliabilitas yang cukup tinggi bila digunakan pada penelitian

clinical trial yaitu sebesar 0,93 dan 0,97. Kondisi ini menunjukkan bahwa

pengukuran kecemasan dengan menggunakan skala HARS akan

diperoleh hasil yang valid dan reliable (Claresta dan Purwoko, 2017).

Cara melakukan penilaian tingkat kecemasan adalah dengan

memberikan skor sesuai kategori berikut (Chandratika dan Purnawati,

2014):

a. 0 = (tidak ada) ketika tidak ada gejala yang muncul sama sekalii

b. 1 = (ringan) ketika satu gejala yang munculi

c. 2 = (sedang)ketika lebih dari satu atau setengah dari gejala timbul i


26

d. 3 = (berat) lebih dari setengah gejala timbuli

e. 4 = (berat sekali) semua gejala timbuli

Penentuan derajat tingkat kecemasan ditentukan dengan

menjumlahkan skor dari sub pertanyaan dengan kategori hasil

(Chandratika dan Purnawati, 2014):

a. Skor kurang dari 14 = tidak ada kecemasan

b. Skor 14 – 20 = kecemasan ringan

c. Skor 21 – 27 = kecemasan sedang

d. Skor 28 – 41 = kecemasan berat

e. Skor 42 – 56 = kecemasan berat sekali

3.2. Konsep Keluarga

3.2.1. Definisi

Menurut Bussard dan Ball keluarga merupakan lingkungan sosial

yang sangat dekat hubungannya dengan seseorang. Di keluarga itu

sesorang dibesarkan, bertempat tinggal, berinteraksi satu dengan yang

lain, dibentuknya nilai - nilai, pola pemikiran dan kebiasaanya dan

berfungsi sebagai saksi segenap budaya luar dan mediasi hubungan

anak dengan lingkungannya.

Menurut WHO Keluarga adalah anggota rumah tangga yang saling

berhubungan melalui pertalian darah, adopsi atau perkawinan.

Menurut Depkes Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang

terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang berkumpul dan

tinggal di suatu tempat dibawah suatu atap dalam keadaan saling

bergantungan.
27

Menurut Helvie Keluarga adalah sekelompok manusia yang tinggal

dalam satu rumah tangga dalam kedekatan yang konsisten dan

hubungan yang erat ( Harnilawati, 2013).

3.2.2. Ciri – ciri Keluarga

1. Keluarga meruapakan hubungan perkawinan.

2. Keluarga berbentuk suatu kelembagaan yang berkaitan dengan

hubungan perkawinan yang sengaja dibentuk atau dipelihara.

3. Keluarga mempunyai suatu system tata nama termasuk perhitungan

garis keturunan.

4. Keluarga mempunyai fungsi ekonomi yang dibentuk oleh anggota –

anggota berkaitan dengan kemampuan untuk mempunyai keturunan

dan membesarkan anak.

5. Keluarga merupakan tempat tinggal bersama, rumah atau rumah

tangga.

3.2.3. Tipe – Tipe Keluarga

1. Secara Tradisional

Secara tradisional keluarga dikelompokkan menjadi 2 yaitu

a. Keluarga Inti ( Nuclear Family ) adalah keluarga yang hanya terdiri

dari Ayah, Ibu dan Anak yang diperoleh dari keturunan atau adopsi

atau keduanya.

b. Keluarga Besar ( Extended Family ) adalah keluarga inti ditambah

anggota lain yang masih mempunyai hubungan darah ( Kakek –

Nenek, Paman – Bibi ).


28

2. Secara Modern ( berkembangnya peran individu dan meningkatnya

rasa indivudualism maka pengelompokkan tipe keluarga adalah

a. Tradisional Nuclear

Keluarga inti (Ayah, Ibu dan Anak) tinggal dalam satu rumah

ditetapkan oleh sanksi – sanksi legal dalam suatu ikatan

perkawinan, satu atau keduanya dapat bekerja diluar rumah.

b. Reconstituted Nuclear

Pembentukan baru dari keluarga inti melalui perkawinan

kembali suami istri, tinggal dalam pembentukan satu rumah

dengan anak – anaknya, baik itu bawaan dari perkawinan baru,

satu atau keduanya dapat bekerja di luar rumah.

c. Middle Age / Aging Couple

Suami pencari uang, istri dirumah keduanya bekerja dirumah,

anak –anak meninggalkan rumah karena sekolah atau perkawinan

atau meniti karier.

d. Dyadic Nuclear

Suami istri yang sudah berumur dan tidak mempunyai anak

yang keduanya atau salah satu bekerja dirumah.

e. Single Parent

Satu orang tua sebagai akibat perceraian atau kematian

pasangannya dan anak – anaknya dapat tinggal dirumah atau

diluar rumah.

f. Dual Carrier

Yaitu suami istri atau keduanya orang karier dan tanpa anak.
29

g. Commuter Married

Suami istri atau keduanya orang karier dan tinggal terpisah

pada jarak tertentu. Keduanya saling mencari pada waktu – waktu

tertentu.

h. Single Adult

Wanita atau pria dewasa yang tinggal sendiri dengan tidak

aadanya keinginan untuk kawin.

i. Three Generation

Yaitu tiga generasi atau lebih tinggal dalam suatu rumah.

j. Insitusional

Yaitu anak – anak atau orang – orang dewasa tinggal dalam

suatu panti – panti.

k. Communal

Yaitu satu rumah terdiri dari dua atau lebih pasangan yang

monogami dengan anak – anaknya dan bersama – sama dalam

penyediaan fasilitas.

l. Group Marriage

Yaitu satu perumahan terdiri dari orang tua dan keturunannya

didalam satu kesatuan keluarga dan tiap individu adalah kawin

dengan yang lain dan semua adalah orang tua dari anak –

anaknya.

m. Unmarried Parent and Child

Yaitu ibu dan anak dimana perkawinan tidak dikehendaki,

anaknya diadopsi.
30

n. Cohibing Couple

Yaitu dua orang atau satu pasangan yang tinggal bersama

tanpa kawin.

o. Gay and Lesbian Family

Yaitu keluarga yang dibentuk oleh pasangan yang berjenis

kelamin sama.

3.2.4. Struktur Keluarga

1. Patrilineal

Adalah keluarga sedarah yang terdiri dari sanak saudara

sedarah dalam beberapa generasi, dimana hubungan itu disusun

melalui jalur garis ayah.

2. Matrilineal

Adalah keluarga sedarah yang terdiri dari sanak saudara

sedarah dalam beberapa generasi dimana hubungan itu disusun

melalui jalur garis ibu.

3. Matrilokal

Adalah sepasang suami istri yang tinggal bersama keluarga

sedarah seistri.

4. Patrilokal

Adalah sepasang suami istri yang tinggal bersama keluarga

sedarah suami.

5. Keluarga Kawin

Adalah sepasang suami istri sebagai dasar bagi pembinaan

keluarga dan beberapa sanak saudara yang menjadi bagian keluarga

karena adanya hubungan suami atau istri.


31

3.2.5. Fungsi Pokok Keluarga

Secara umum fungsi keluarga adalah sebagai berikut:

1. Fungsi Keagamaan

a. Membina norma ajaran – ajaran agama sebagai dasar dan tujuan

hidup seluruh anggota keluarga.

b. Menerjemahkan agama kedalam tingkah laku hidup sehari hari

kepada seluruh anggota keluarga.

c. Memberikan contoh konkrit dalam hidup sehari – hari dalam

pengalaman dari ajaran agama.

d. Melengkapi dan menambah proses kegiatan belajar anak tentang

keagaman yang kurang diperolehnya di sekolah atau masyarakat.

e. Membina rasa, sikap dan praktik kehidupan keluarga beragama

sebagai pondasi menuju keluarga kecil bahagia sejahtera.

2. Fungsi Budaya

a. Membina tugas – tugas keluarga sebagai lembaga untuk

meneruskan norma – norma dan budaya masyarakat dan bangsa

yang ingin dipertahankan.

b. Membina tugas – tugas keluarga sebagai lembaga untuk

menyaring norma dan budaya asing yang tidak sesuai.

c. Membina tugas – tugas keluarga sebagai lembaga yang

anggotanya mencari pemecahan masalah dari berbagai pengaruh

negatif globalisasi dunia.

d. Membina tugas – tugas keluarga sebagai lembaga yang

anggotanya dapat berperilaku yang baik sesuai dengan norma

bangsa indonesia dalam menghadapi tantangn globalisasi.


32

e. Membina budaya keluarga yang sesuai, selaras dan seimbang

dengan budaya masyarakat atau bangsa untuk menjunjung

terwujudnya norma keluarga kecil bahagia sejahtera.

3. Fungsi Cinta Kasih

a. Menumbuhkembangkan potensi kasih sayang yang telah ada

antar anggota keluarga ke dalam simbol – simbol nyata secara

optimal dan terus menerus.

b. Membina tingkah laku saling menyayangi baik antar anggota

keluarga secara kuantitatif dan kualitatif.

c. Membina praktik kecintaan terhadap kehidupan duniawi dan

ukhrowi dalam keluarga secara serasi, selaras dan seimbang.

d. Membina rasa sikap dan praktik hidup keluarga yang mampu

memberikan dan menerima kasih sayang sebagai pola hidup ideal

menuju keluarga kecil bahagia sejahtera.

4. Fungsi Perlindungan

a. Memenuhi kebutuhan rasa aman anggota keluarga baik dari rasa

tidak aman yang timbul dari dalam maupun dari luar keluarga.

b. Membina keamanan keluarga baik fisik maupun psikis dari berbagi

bentuk ancaman dan tantangan yang datang sari luar.

c. Membina dan menjadikan stabilisasi dan keamanan keluarga

sebagai modal menuju keluarga kecil bahagia sejahtera.

5. Fungsi Reproduksi

a. Membina kehidupan keluarga sebagai wahana pendidikan

reproduksi sehat baik anggota keluarga maupun bagi keluarga

sekitarnya.
33

b. Memberikan contoh pengalaman kaidah – kaidah pembentukan

keluarga dalam hal usia, pendewasaan fisik maupun mental.

c. Mengamalkan kaidah – kaidah reproduksi sehat baik yang

berkaitan dengan waktu melahirkan, jarak antara 2 anak dan

jumlah ideal anak yang diinginkan dalam keluarga.

d. Mengembangkan kehidupan reproduksi sehat sebagai modal yang

kondusif menuju keluarga kecil bahagia sejahtera.

6. Fungsi Sosialisasai

a. Menyadari, merencanakan dan menciptakan lingkungan keluarga

sebagai wahana pendidikan dan sosialisasi anak pertama dan

utama.

b. Menyadari, merencanakan dan menciptakan kehidupan keluarga

sebagai pusat tempat anak dapat mencari pemecahan dari

berbagai konflik dan permasalahan yang dijumpainya baik

dilingkungan sekolah maupun masyarakat.

c. Membina proses pendidikan dan sosialisasi anak tentang hal – hal

yang diperlukan untuk meningkatkan kematangan dan

kedewasaan, yang tidak kurang diberikan oleh lingkungan sekolah

maupun masyarakat.

d. Membina proses pendidikan dan sosialisasi yang terjadi dalam

keluarga sehingga tidak saja dapat bermanfaat positif bagi anak,

tetapi juga bagi orang tua dalam rangka perkembangan.


34

7. Fungsi Ekonomi

a. Melakukan kegiatan ekonomi baik diluar maupun didalam

lingkungan keluarga dalam rangka menopang kelangsungan dan

perkembangan kehidupan keluarga.

b. Mengelola ekonomi keluarga sehingga terjadi kerasian,

keselarasan dan keseimbangan antara pemasukan dan

pengeluaran keluarga.

c. Mengatur waktu sehingga kegiatan orang tua diluar rumah dan

perhatiannya terhadap anggota keluarga berjalan secara serasi,

selaras dan seimbang.

d. Membina kegiatan dan hasil ekonomi keluarga sebagai modal

untuk mewujudkan keluarga kecil bahagia dan sejahtera.

8. Fungsi Pelestarian Lingkungan

a. Membina kesadaran, sikap dan praktik pelestarian lingkungan

intern keluarga.

b. Membina kesadaran, sikap dan praktik pelestarian lingkungan

ekstern keluarga.

c. Membina kesadaran, sikap dan praktik pelestarian lingkungan

yang serasi, selaras dan seimbang antara lingkungan hidup

masyarakat sekitarnya.

d. Membina kesadaran, sikap dan praktik pelestarian lingkungan

hidup keluarga menuju keluarga kecil bahagia sejahtera.


35

3.2.6. Peranan Keluarga

Setiap anggota keluarga mempunyai peran masing – masing antara

lain adalah

1. Ayah

Ayah sebagai pemimpin keluarga mempunyai peran sebagai

pencari nafkah, pendidik, pelindung atau pengayom, pemberi rasa

aman bagi setiap anggota keluarga dan juga sebagai anggota

masyarakat kelompok sosial tertentu.

2. Ibu

Ibu sebagai pengurus rumah tangga, pengasuh dan pendidik anak

– anak, pelindung keluarga dan juga sebagai pencari nafkah tambahan

keluarga dan juga sebagai anggota masyarakat kelompok sosial

tertentu.

3. Anak

Anak berperan sebagai pelaku psikososial sesuai dengan

perkembangan fisik, sosial, mental dan spiritual.

3.2.7. Indikator – Indikator Keluarga Sejahtera

1. Indikator Keluarga Sejahtera Tahap 1

a. Melaksanakan ibadah menurut agama masing – masing yang

dianut.

b. Makan dua kali sehari atau lebih.

c. Pakaian yang berbeda untuk berbagai keperluan.

d. Lantai rumah bukan berbagai keperluan.

e. Lantai rumah bukan dari tanah.


36

f. Kesehatan ( anak sakit atau pasangan usia subur ( PUS ) ingin ber

– KB dibawa ke sarana.

2. Indikator Keluarga Sejahtera 2

a. Melaksanakan ibadah menurut agama masing – masing yang

dianut.

b. Makan dua kali sehari atau lebih.

c. Pakaian yang berbeda untuk berbagai keperluan.

d. Lantai rumah bukan berbagai keperluan.

e. Lantai rumah bukan dari tanah.

f. Kesehatan ( anak sakit atau pasangan usia subur ( PUS ) ingin ber

– KB dibawa ke sarana.

g. Anggota keluarga melaksanakan ibadah secara teratur menurut

agama masing – masing yang dianut.

h. Makan daging atau ikan atau telur sebagai lauk pauk paling kurang

sekali dalam seminggu.

3. Indikator Keluarga Sejahtera 3

a. Makan daging atau ikan atau telur sebagai lauk pauk paling kurang

sekali dalam seminggu.

b. Memperoleh pakaian baru dalam satu tahun terakhir.

c. Luas lantai tiap penghuni tiap penghuni rumah 8 m2 per orang.

d. Anggota keluarga sehat dalam tiga bulan terakhir sehingga dapat

melaksanakan fungsi masing – masing.

e. Keluarga yang berumur 15 tahun ke atas mempunyai penghasilan

tetap.
37

f. Bisa baca tulis latin bagi seluruh anggota keluarga dewasa yang

berumur 10 sampai 60 tahun.

g. Anak hidup dua atau lebih, keluarga masih PUS, saat ini memakai

kontrasepsi.

h. Upaya keluarga untuk untuk meningkatkan atau menambah

pengetahuan agama.

i. Keluarga mempunyai tabungan.

j. Makan bersama paling kurang sekali sehari.

k. Ikut serta dalam kegiatan masyarakat.

l. Rekreasi bersama atau penyegaran paling kurang dalam 6 bulan.

m. Memperoleh berita dari surat kabar, radio, televisi, dan majalah.

n. Anggota keluarga mampu menggunakan sarana transportasi.

4. Indikator Keluarga Sejahtera tahap 3 Plus

a. Melaksanakan ibadah menurut agama masing – masing yang

dianut.

b. Makan dua kali sehari atau lebih.

c. Pakaian yang berbeda untuk berbagai keperluan.

d. Lantai rumah bukan dari tanah.

e. Kesehatan ( anak sakit atau pasangan usia subur ( PUS ) ingin ber

– KB dibawa ke sarana.

f. Anggota keluarga melaksanakan ibadah secara teratur menurut

agama masing – masing yang dianut.

g. Makan daging atau ikan atau telur sebagai lauk pauk paling kurang

sekali dalam seminggu.

h. Luas lantai tiap penghuni tiap penghuni rumah 8 m2 per orang.


38

i. Anggota keluarga sehat dalam tiga bulan terakhir sehingga dapat

melaksanakan fungsi masing – masing.

j. Keluarga yang berumur 15 tahun ke atas mempunyai penghasilan

tetap.

k. Bisa baca tulis latin bagi seluruh anggota keluarga dewasa yang

berumur 10 sampai 60 tahun.

l. Anak hidup dua atau lebih, keluarga masih PUS, saat ini memakai

kontrasepsi.

m. Upaya keluarga untuk untuk meningkatkan atau menambah

pengetahuan agama.

n. Keluarga mempunyai tabungan.

o. Makan bersama paling kurang sekali sehari.

p. Ikut serta dalam kegiatan masyarakat.

q. Rekreasi bersama atau penyegaran paling kurang dalam 6 bulan

r. Memperoleh berita dari surat kabar, radio, televisi, dan majalah.

s. Anggota keluarga mampu menggunakan sarana transportasi.

t. Memberikan sumbangan secara teratur (waktu tertentu) dan

sukarela dalam bentuk material kepada masyarakat.

u. Aktif sebagai pengurus yayasan atau panti (Suprajitno,2014).

3.2.8. Beban Keluarga

Beban keluarga adalah tingkat pengalaman yang tidak

menyenangkan dalam keluarga sebagai efek dari kondisi anggota

keluarganya (Nuraenah, dkk, 2012).

Beban keluarga merupakan akumulasi dari beberapa kategori yang

meliputi kecewa karena klien tidak patuh minum obat, putus asa terhadap
39

penyakit yang dialami klien, rasa marah dan takut dengan perilaku klien,

dan perasaan malu terhadap tetangga sekitar (Khoirun Amin, Muhammad,

2018).

Beban keluarga adalah keluarga yang kurang akan integrasi

keluarga, pengurangan kesempatan bagi keluarga, dan finansial masalah

yang terkait dengan penyakit dan Stres untuk Keluarga dengan kronis

sakit atau Anggota penyandang cacat (DeTore, Nicole R, 2018)

3.2.9. Jenis – Jenis Beban Keluarga

Menurut WHO (2008) mengkatagorikan beban keluarga dengan klien

skizofrenia menjadi 2 jenis, yaitu :

1. Beban subyektif

Merupakan beban yang berhubungan dengan reaksi psikologis

anggota keluarga meliputi perasaan kehilangan, kesedihan,

kecemasan dan malu dalam situasi sosial, koping, setress terhadap

perilaku dan frustasi yang disebabkan karena perubahan hubungan.

2. Beban obyekif

Merupakan beban yang berhubungan dengan masalah-masalah

dan pengalaman keluarga meliputi gangguan hubungan antar anggota

keluarga, terbatasnya hubungan sosial dan aktifitas kerja, kesulitan

finansial dan dampak negatif terhadap kesehatan fisik anggota

keluarga.

3.2.10. Faktor – Faktor Beban Keluarga Pada Skizofren

1. Dukungan sosial
Beban keluarga dalam merawat klien gangguan jiwa memiliki

keterkaitan dengan dukungan sosial yang diperoleh keluarga baik dari

keluarga besar, teman, komunitas, kelompok keagamaan, maupun


40

kelompok sosial lainnya. beban keluarga cenderung tinggi pada

keluarga yang kurang dukungan sosial dan fungsi keluarga tidak

adekuat.
2. kesulitasn transportasi saat membawa klien ke pelayanan kesehatan

dikarenakan tidak mempunyai kendaraan pribadi.


3. Strategi koping adaptif
beban keluarga yang tinggi dalam merawat klien, namun caregiver

dapat menemukan cara masing-masing untuk beradaptasi dengan

masalah yang sedang dihadapinya menyebutkan bahwa agama dan

spritualitas dapat dijadikan sebagai koping terhadap kejadian stres dan

kecemasan.
4. kualitas caregiver dalam merawat klien skizofrenia.
Responden mengatakan kesulitan untuk membagi waktu untuk

bekerja, menyelesaikan pekerjaan rumah tangga, dan merawat klien.


5. kurang memiliki pengetahuan yang memadai terkait dengan penyakit

dan perawatan klien gangguan jiwa.


Keluarga sebagai support system utama harus memahami dengan

baik tentang perawatan klien gangguan jiwa sehingga akan lebih siap

dan mampu menangani setiap masalah terkait beban yang dirasakan


( Alfiandi, Rudi 2019).
6. Stigma

Pada kehidupan masyarakat, skizofrenia masih di anggap sebagai

penyakit yang memalukan dan merupakan aib bagi keluarga dan

sering di anggap sebagai ancaman yang mengganggu. Keadaan ini

menyebabkan keluaraga dikucilkan dari masyarakat. Hal ini menjadi

beban bagi keluarga baik beban subyektif maupun beban obyektif.

7. Ekonomi

Faktor ekonomi merupakan salah satu faktor yang paling penting

dalam penilaian beban keluarga. Perawatan klien skizofrenia

mebutuhkan waktu yang lama sehingga membutuhkan biaya yang


41

banyak oleh karena itu apabila keluarga tidak memiliki sumber dana

yang cukup atau jaminan kesehatan, maka hal ini akan menjadi beban

yang berat bagi keluarga (Nuraenah, 2012).

8. Perjalanan penyakit skizofren yang merupakan salah satu faktor beban

keluarga karena perawatannya yang juga lama dalam merawat pasien

skizofren bahkan ketika pengobatan baru dilakukan, terlihat bahwa

pemulihan masih tidak terlihat.


9. tingkat kecacatan pasien mungkin memiliki hubungan yang lebih

bermakna (Rhee, Taeho Greg, 2019)

3.2.11. Dampak Beban Keluarga

1. kecewa karena klien tidak patuh minum obat.

2. putus asa terhadap penyakit yang dialami klien.

3. rasa marah dan takut dengan perilaku klien.

4. perasaan malu terhadap tetangga sekitar.

5. masalah rasa kehilangan.

6. rasa takut.

7. merasa bersalah.

8. rasa marah dan perasaan negatif lainnya yang dialami ( Khoirun,

Amin, 2019).

3.2.12. Alat Ukur Baban Keluarga

Instrumen Caregiver Burden Scale merupakan alat ukur untuk

melakukan penilaian terhadap beban perawatan pada caregiver penderita

skizofrenia. Instrumen ini berisi 16 pertanyaan yang terbagi dalam 2

komponen atau domain, yaitu beban obyektif sebanyak 8 pernyataan (1,

4, 6, 8, 10, 11, 13, 15), beban subyektif sebanyak 8 pernyataan (2, 3, 5, 7,

9, 12, 14, 16) Tiap jawaban pertanyaan ditetapkan 4 kriteria tidak pernah
42

4, kadang-kadang 3, sering 2, selalu 1. Nilai tertinggi adalah 64 dan nilai

terendah adalah 16. Banyak kelas dalam penelitian ini adalah dua, yaitu

ringan dengan skor nilai 41-64 dan berat dengan skor nilai 16 – 40.

9.1. Konsep Skizofren

9.1.1. Definisi

Skizofren adalah salah satu gangguan jiwa berat yang dapat

mempengaruhi pikiran, perasaan, dan perilaku individu ( Yudhantarara,

surya, 2018 ).

Skizofren merupakan penyakit neurologis yang mempengaruhi

persepsi klien, cara berfikir, bahasa, emosi, dan perilaku sosial (Yosep,

Iyus, 2014).

9.1.2. Jenis Skizofren

1. Skizofren Simplex

Merupakan penyakit neurologis dengan gejala utama kedangkalan

emosi dan kemunduran kemauan.

2. Skizofren Hebefrenik

Merupakan penyakit neurologis dengan gejala utamagangguan

proses berfikir, gangguan kemauan dan dipersonalisasi. Banyak

terdapat waham dan halusinasi.

3. Skizofren Katatonik

Merupakan penyakit neurologis dengan gejala utama pada

psikomotor seperti stupor maupun gaduh gelisah katatonik.


43

4. Skizofren Paranoid

Merupaka penyakit neurologis dengan gejala utama kecurigaan

yang ekstrim disertai waham kejar atau kebesaran.

5. Episode Schizoprenia Akut

Merupakan penyakit neurologis dengan kondisi akut mendadak

yang disertai dengan perubahan kesadaran, kesadaran mungkin

berkabut.

6. Skizofrenia Psiko – Afektif

Merupakan penyakit neurologis dengan gejala utama skizofren

yang menonjol dengan disertai gejala depresi atau mania.

7. Skizofren Residual

Merupakan penyakit neurologis dengan gejala – gejala primernya

dan muncul setelah beberapa kali serangan skizofren (Yosep, Iyus,

2014).

9.1.3. Tanda dan gejala skizofren

Pembagian gejala skizofren cukup bervariasi. Ada yang

menyebutkan bahwa skizofren terdiri dari tiga kelompok gejala utama

yaitu gejala positif misalnya waham dan halusinasi, gejala negatif

misalnya afek tumpul, avolisi, asosial), dan defisit kognitif misalnya

gangguan pada fungsi eksekutif, working memori, dan perhatian. Gejala

disorganisasi juga disebut sebagai salah satu domain skizofren misalnya

perilaku dan pikiran kacau. Namun, ada juga yang menambahkan dua

gejala lagi pada skizofren yaitu gejala afektif misalnya depresi, termasuk

juga cemas dan gejala agresif misalnya kekerasan secara fisik dan

secara verbal ( Yudhantarara, surya, 2018 ).


44

1. Tanda dan gejala primer

a. Gangguan proses berfikir.

b. Gangguan afek emosi.

c. Terjadi kedanggalan afek – emosi.

d. Emosi dan afek serta ekspresinya tidak mempunyai satu

kesatuan

e. Emosi berlebihan.

f. Hilangnya kemampuan untuk mengadakan hubungan emosi

yang baik.

g. Gangguan kemauan ialah terjadinya kelemahan kemauan,

perilaku negativisme atas permintaan, otomatisme merasa

pikiran atau perbuatannya dipengaruhi oleh orang lain.

h. Gangguan psikomotor ialah stupor atau hiperkinesia, logorea dan

neologisme, stereotipi, katelep : mempertahankan posisi tubuh

dalam waktu yang lama, autisme ( Herman, Ade 2011).

2. Tanda dan gejala sekunder

a. Waham.

b. Halusinasi ( Herman, Ade 2011).

3. Tanda gejala positif

a. Halusinasi ( Auditory Hallucination )

Klien skizofren mungkin mendengar suara – suara atau

melihat sesuatu yang sebenarnya tidak ada atau mengalami

sensasi yang tidak biasa pada tubuhnya, gejala yang biasanya

timbul yaitu klien klien merasakan ada suara dari dalam dirinya.
45

Kadang suara itu dirasakan menyejukkan hati, memberi

kedamaian, tapi kadang suara itu menyuruhnya melakukan

sesuatu yang sangat berbahaya seperti bunuh diri.

b. Penyesatan Pikiran

Kepercayaan yang kuat dalam menginterpresentasikan

sesuatau yang kadang berlawanan dengan kenyataan. Beberapa

skizofren berubah menjadi seorang paranoid. Mereka selalu

merasa sedang diamat – amati, diintai atau hendak diserang.

c. Kegagalan berpikir

Biasanya mengarah kepada masalah dimana klien skizofren

tidak mampu memproses dan mengatur pikirannya. Karena klien

skizofren tidak dapat mengatur pikirannya membuat mereka

berbicara secara serampangan dan tidak bisa ditangkap logika.

Dampak ketidakmampuan dalam berpikir mengakibatkan

ketidakmampuan mengendalikan emosi dan perasaan. Hasilnya,

kadang penderita skizofren tertawa dan berbicara sendiri dengan

keras tanpa memedulikan sekelilingnya.

Semua itu membuat penderita skizofren tidak bisa memahami

siapa dirinya, tidak berpakaian, dan tidak bisa mengertiapa itu

manusia. Dia juga tidak bisa mengerti kapan dia lahir, dimana dia

berada dan sebagainya. (Yosep, Iyus, 2014).

4. Tanda gejala negatif

a. Kehilangan motivasi dan apatis berarti kehilangan energi dan

minat dalam hidup yang membuat klien menjadai orang yang

malas.
46

b. Tidak bisa melakukan hal – hal yang lain selain tidur dan makan.

c. Klien skizofren tidak memiliki ekspresi baik dari raut muka maupun

gerakan tangannya, seakan – akan dia tidak memiliki emosi

apapun.

d. Depresi yang tidak mengenal perasaan ingin ditolong dan

berharap.

e. Tidak merasa memiliki perilaku yang menyimpang, tidak bisa

me,bina hubungan relasi dengan orang lain dan tidak mengenal

cinta.

f. Depresi yang berkelanjutan pada penderita skizofren dapat

menimbulkan klien menarik diri dari lingkungannya.

g. Mereka selalu merasa aman bila sendirian (Yosep, Iyus, 2014).

9.1.4. Patofisiologi Skizofren

Gejala mulai timbul biasanya pada masa remaja atau dewasa awal

sampai dengan umur pertengahan dengan memulai beberapa fase

antara lain :

1. Fase Prodomal ialah berlangsung antara 6 bulan sampai 1 tahun,

gangguan dapat berupa self care, gangguan dalam akademik,

gangguan dalam pekerjaan, gangguan fungsi sosial, gangguan

pikiran dan persepsi.

2. Fase Aktif ialah berlangsung kurang lebih 1 bulan, gangguan dapat

berupa gejala psikotik : halusinasi, delusi, disorganisasi proses

berpikir, gangguan bicara, gangguan perilaku, disertai kelainan

neurokimiawi.
47

3. Fase Residual ialah klien mengalami minimal 2 gejala gangguan

afek dan gangguan peran, serangan biasanya berulang ( Herman,

Ade 2011).

9.1.5. Tipe Skizofren

1. Delusion

2. Hallucination

3. Incoherence

4. Catatonic os hyperactive behavior

5. Flat affect (Yosep, Iyus, 2014).

9.1.6. Prinsip Implementasi Keperawatan Skizofren

Secara umum klien skizofren akan mengalami beberapa masalah

keperawatan seperti halusinasi, harga diri rendah, isolasi sosial, perilaku

kekerasan, waham, depresi dan sebagainya. Prinsip perencaan

keperawatan yang perlu dipertimbangkan adalah

1. Pentingnya perawatan dirumah sakit dan pemenuhan kebutuhan

dasar selama di rumah sakit

2. Perawat melakukan identifikasi dan pemenuhan kebutuhan dasar

selama dirumah sakit

3. Terapi medis yang tuntas

4. Merencanakan tindak lanjut dan proses rujukan klien dan peran serta

keluarga

5. Merencakan keterampilan dan perangkat kehidupan setelah kembali

ke masyarakat seperti sumber penghasilan dan ekonomi, dukungan

sosial, hubungan kekeluargaan dan ketahanan apabila mendapatlkan

stres
48

6. Memberikan terapi modalitas dan melatih terapi kerja.

7. Pendidikan masyarakat dalam mencegah stigma (Yosep, Iyus, 2014).

Anda mungkin juga menyukai