Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH FARMAKOTERAPI II

Gastroesophageal Reflux Disease (GERD)

Disusun Oleh:

1. Agus Eramas Setiawan (F120155002)


(F120155002)
2. Ana Nurul Fitriyani (F120155004)
(F120155004)
3. Lailil Mukarromah
Mukarromah (F120155014)
(F120155014)
4. Susanti (F120155028)
5. M. Anwar Sidiq

Dosen Pengampu : Aji Tetuko, M.Sc., AptSEKOLAH TINGGI ILMU


KESEHATAN MUHAMMADIYAH KUDUS
PROGRAM STUDI S-1 FARMASI
 Alamat : Jl. Ganesha I Purwosari Kudus 59316, Jawa Tengah, Indonesia
TAHUN 2017/2018
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

DAFTAR ISI ..........................................


...............................................................
............................................
.............................................
...............................
......... ii

BAB I PENDAHULUAN

I. Latar Belakang ...........................................


.................................................................
............................................
...............................
......... 1
II. Rumusan Masalah ..........................................
...............................................................
............................................
............................
..... 1
III. Tujuan ..........................................
...............................................................
...........................................
............................................
........................
.. 1

BAB II PEMBAHASAN

I. Pengertian Gastroesophageal Disease (GERD) .......................................


...................................................
............ 2
II. Etiologi, Epidemiologi, dan Patofisiologi dari GERD .........................................
......................................... 2
III. Penatalaksanaan Terapi GERD .........................................
...............................................................
...................................
............. 7

BAB III DESKRIPSI KASUS

I. Uraian Kasus ............................................


..................................................................
............................................
......................................
................ 13
II. Analisis SOAP ....................................................
..........................................................................
............................................
...........................
..... 15
III. KIE (Komunikasi, Informasi, dan Edukasi) ............................................
........................................................
............ 22
IV. Monitoring dan Follow Up ...........................................
..................................................................
.......................................
................ 23

BAB III DESKRIPSI KASUS

Kesimpulan ...............................
.....................................................
............................................
............................................
...............................
......... 24

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

I. Latar Belakang

Refluks gastroesophageal adalah fenomena fisiologis normal dialami


sesekali oleh kebanyakan orang, terutama setelah makan.
Gastroesophageal reflux disease (GERD) terjadi ketika jumlah asam
lambung yang refluks ke kerongkongan melebihi batas normal,
menyebabkan gejala dengan atau tanpa cedera mukosa esofagus yang
terkait (yaitu, esofagitis).

II. Rumusan Masalah


1. Apa Pengertian dari Gastroesophageal Reflux Disease (GERD)?
2. Apa Etiologi, Epidemiologi, dan Patofisiologi dari Gastroesophageal Reflux
Disease (GERD)?
3. Bagaimana Penatalaksanaan Terapi dari Gastroesophageal Reflux Disease
(GERD)?

III. Tujuan
1. Mengetahui pengertian dari Gastroesophageal Reflux Disease (GERD)
2. Mengetahui Epidemiologi, dan Patofisiologi dari Gastroesophageal Reflux
Disease (GERD)
3. Mengetahui Penatalaksanaan Terapi dari Gastroesophageal Reflux
Disease (GERD)

1
BAB II

PEMBAHASAN

I. Pengertian Gastroesophageal Reflux Disease (GERD)

Gastroesophageal reflux disease (GERD) merupakan suatu keadaan


melemahnya Lower Esophageal Sphincter (LES) yang mengakibatkan terjadinya
refluks cairan asam lambung ke dalam esofagus. GERD adalah suatu keadaan
 patologis akibat refluks kandungan lambung ke dalam esofagus dengan berbagai
gejala akibat keterlibatan esofagus, faring, laring dan saluran napas.

Gastro-oesophageal reflux disease (GERD) adalah salah satu kelainan


yang sering dihadapi di lapangan dalam bidang gastrointestinal. Penyakit ini
 berdampak buruk pada kualitas hidup penderita dan sering dihubungkan dengan
morbiditas yang bermakna. Berdasarkan Konsensus Montreal tahun 2006 ( the
 Montreal definition and classification of gastroesophageal reflux disease: a
 global evidence-based consensus), penyakit refluks gastroesofageal
(Gastroesophageal Reflux Disease/GERD) didefinisikan sebagai suatu keadaan
 patologis sebagai akibat refluks kandungan lambung ke dalam esofagus yang
menimbulkan berbagai gejala yang mengganggu (troublesome) di esofagus
maupun ekstra-esofagus dan/atau komplikasi (Vakil dkk, 2006). Komplikasi yang
 berat yang dapat timbul adalah Barret’s esophagus, striktur, adenokarsinoma di
kardia dan esofagus (Vakil dkk, 2006), (Makmun, 2009).

II. Etiologi, Epidemiologi, dan Patofisiologi dari Gastroesophageal Reflux


Disease (GERD)

A. Etiologi GERD

Terdapat berbagai faktor yang menyebabkan terjadinya GERD. Esofagitis


dapat terjadi akibat reflux esofageal apabila:

2
1. Terjadi kontak dalam waktu yang cukup lama antara bahan refluksat
dengan mukosa esofagus.
2. Terjadi penurunan resistensi jaringan mukosa esophagus
3. Menurunnya tonus LES (Lower Esophageal Sphincter)
4. Bersihan asam dari lumen esofagus menurun
5. Bahan refluksat mengenai dinding esofagus yaitu pH <2, adanya pepsin,
garam empedu, HCL
6. Infeksi H. Pylori dengan corpus predominan gastritis
7.  Non acid reflux (reflux gas) menyebabkan hipersensitivitas
8. Alergi makanan atau tidak bisa menerima makanan juga membuat reflux
9. Mengkonsumsi makanan berasam, coklat, minuman berkafein dan
 berkarbonat, alkohol, merokok, dan obat-obatan yang bertentangan dengan
fungsi esophageal sphincter bagian bawah termasuk yang memiliki efek
antikolinergik (seperti beberapa antihistamin), penghambat saluran
kalsium, progesteron, dan nitrat.
10. Kelainan anatomi, seperti penyempitan kerongkongan.

B. Epidemiologi GERD

Selama 40 tahun terakhir, kejadian penyakit refluks meningkat.Hal ini


menjadi salah satu masalah klinis yang dominan dalam bidang
Gastroenterologi.Awalnya, penyakit ini banyak terjadi di negara-negara Barat
tetapi sekarang sudah berkembang di negara-negara lain di dunia termasuk
Asia. (Diah Anis, 2014).

Kejadian GERD di Asia adalah yang terendah dari negara-negara lain


di dunia, termasuk Indonesia, secara umum lebih rendah dibandingkan dengan
negara barat, namun belum ada data epidemiologi mengenai penyakit ini
secara pasti, walau demikian data terakhir menunjukkan bahwa prevalensinya
semakin meningkat (Scholten, 2007; Tielemans, 2013).

3
Prevalensi di Asia Timur 5,2 %-8,5 % (tahun 2005-2010), sementara
sebelum 2005 2,5%-4,8%; Asia Tengah dan Asia Selatan 6,3%-18,3%, Asia
Barat yang diwakili Turki menempati posisi puncak di seluruh Asia dengan
20%. Asia Tenggara juga mengalami fenomena yang sama; di Singapura
 prevalensinya adalah 10,5%, di Malaysia insiden GERD meningkat dari 2,7%
(1991-1992) menjadi 9% (2000-2001), sementara belum ada data
epidemiologi di Indonesia (Jung, 2009), (Goh dan Wong, 2006).

GERD dapat terjadi pada anak-anak maupun dewasa, dan


 prevalensinya meningkat pada usia diatas 40 tahun. Walaupun begitu angka
kematian akibat GERD ini jarang(1 dari 100.000 pasien). Prevalensi dan
kejadian GERD sangat susah dinilai karena:
(a) Penderita tidak melakukan pengobatan

(b) Gejala yang tidak menunjukan hubungan dengan penyakit GERD

(c) Tidak ada standar acuan yang tepat untuk mendiagnosa penyakit tersebut

Sekitar 44% dari penduduk Amerika menderita gejala GERD bulanan,


dan lebih dari 20% menderita dengan gejala setiap minggu. Meskipun
 prevalensi GERD, banyak pasienmemilih untuk tidak mencari bantuan medis
dari dokter . Hal ini mungkin karena kurangnya pemahaman mereka tentang
gejala GERD, termasuk heartburn, atau mungkin karena beberapa alasan
keuangan atau pribadi. Heartburn adalah gejala khas dari GERD dan
umumnya digambarkan sebagai sensasi substernal seperti rasa terbakarnaik
dari perut yang dapat menyebar ke leher.Sebanyak 46% daripasien dengan
 penyakit ringan akan sembuh spontan dengan selfmedication,dan lain 31%
akan menunjukkan peningkatan yang signifikan.

C. Patofisiologi GERD

Faktor kunci atau faktor penting dalam perkembangan GERD adalah


gerakan retrograde (gerakan kembali/balik ) zat asam berbahaya atau lainnya

4
ini yang dikenal sebagai Barrett’s esophagus, penyakit Barrett bisaditemukan
di 3,5% sampai 12% dari pasien yang menjalani pertama kali endoskopiuntuk
gejala refluks, dan prevalensinya mungkin lebih tinggi pada pasiendengan
keparahan lebih atau komplikasi penyakit.
Pasien dengan BE memiliki insiden 30% lebih besar dari pembentukan
striktur esofagus. Selain itu, risiko adenocarcinoma esofagus adalah 30 sampai
60 kali lebih tinggi pada pasien dengan BE dibandingkan dengan populasi.
Menariknya, resiko adenocarcinoma esofagus dapat ditingkatkan pada pasien
dengan lama dan sering berulang gejala refluks (Heartburn dan regurgitasi)
meskipun ada atau tidak adanya BE.

III. Penatalaksanaan Terapi Gastroesophageal Reflux Disease (GERD)


1. Tujuan pengobatan GERD secara umum yaitu:
a. Mengurangi atau menghilangkan gejala-gejala yang dialami pasien
 b. Mengurangi frekuensi atau kekambuhan dan durasi reflux
gastroesophageal
c. Mempercepat penyembuhan mukosa yang terluka
d. Mencegah perkembangan komplikasi
Terapi diarahkan pada meningkatkan mekanisme pertahanan
yangmencegah refluks dan/atau mengurangi faktor-faktor agresif yang
memperburuk refluksatau kerusakan mukosa.

7
2. Tujuan pengobatan GERD secara khusus yaitu:
a. mengurangi keasaman refluxate
 b. mengurangi volume lambung yang tersedia untuk direfluks
c. meningkatkan pengosongan lambung
d. meningkatkan tekanan LES
e. meningkatkan pembersihan asam esophagus
f. melindungi mukosa esophagus

3. Pendekatan Umum
Terapi dikategorikan dalam beberapa fase:

Fase I : Mengubah gaya hidup dan dianjurkan terapi dengan menggunakan


antasida dan atau OTC antagonis reseptor H2 (ARH2) atau inhibitor
 pompa proton (IPP).
Fase II : Intervensi Farmakologi terutama dengan obat penekan asam dosis
tinggi.
Fase III : Terapi intervensional (Pembedahan antirefluks atau terapi
endoluminal).

Terapi awal yang digunakan tergantung pada kondisi pasien (frekuensi


gejala, tingkat esofagitis, dan adanya komplikasi). Secara historis, pendekatan
yang digunakan, dimulai dengan modifikasi gaya hidup dan pengarahan terapi
kepada pasien dan mengembangkan manajemen farmakologi atau pendekatan
intervensi.

Perubahan diet makanan dan gaya hidup dengan pendidikan tentang


faktor-faktor yang dapat memperburuk gejala GERD harus didiskusikan
dengan pasien meskipun mereka tidak mungkin untuk mengontrol gejala-
gejala yang timbul. Pasien dengan gejala ringan atau sedang dapat diobati
dengan obat –  obatan tanpa resep seperti H2-reseptor, inhibitor pompa proton,
antasida, atau asam alginate. Pada pasien dengan GERD sedang sampai parah,

8
terutama mereka dengan penyakit erosif, pengobatan dimulai dengan inhibitor
 pompa proton sebagai terapi awal.

Pasien yang tidak melakukan modifikasi gaya hidup dan pengarahan


terapi setelah 2 minggu harus melakukan terapi medis dan biasanya dimulai
 pada terapi empirik yang terdiri dari agen acid-suppression. Terapi
 pemeliharaan umumnya diperlukan untuk mengontrol gejala dan mencegah
komplikasi.Pada pasien dengan gejala yang lebih berat (dengan atau tanpa
erosi kerongkongan), atau pada pasien dengan komplikasi lain, terapi
 pemeliharaan dengan inhibitor pompa proton merupakan terapi yang paling
efektif. Penggunaan rutin terapi kombinasi tidak dapat digunakan sebagai
terapi pemeliharaan GERD. GERD yang refrakter terhadap penekanan asam
yang cukup jarang terjadi.Dalam kasus ini, diagnosis harus dikonfirmasi
melalui tes diagnostik lebih lanjut, terapi dosis tinggi atau pendekatan
intervensi (operasi antireflux atau terapi endoskopi).

Tabel 1. Pendekatan terapi refluks gastroesofagus (RGE)


Kondisi Pasien Terapi yang dianjurkan Keterangan
Fase I a. Merubah gaya Perubahan gaya hidup sebaiknya
Gejala hidup dimulai dari awal dan dilanjutkan
Ringan  pada saat pengobatan

PLUS Jika setelah 2 minggu gejala tidak


 b. Antasid (Milanta)  berhenti dengan merubah gaya
Dan Atau hidup dan obat antagonis H2 ,
c.Dosis rendah untuk mulailah untuk terapi farmakologi
antagonis reseptor H2 (terapi fase II)
(Simetidin,
Famotidin, Nizatidin,

9
Ranitidin)
Fase II Untuk pertanda yang khas,
Gejala  pengobatan empiris dengan terapi
GERD a. Modifikasi pola fase II
hidup

GERD dapat diobati secara efektif


dengan antagonis reseptor H2.
PLUS Pasien dengan gejala yang sedang,
 b. Dosis standar dari seharusnya menerima IPP sebagai
antagonis reseptor H2 terapinya. Jika gejala berkurang
untuk 6-12 minggu  pengobatan dilakukan seperlunya.
 Simetidin 400 mg
 Famotidin 20 mg
  Nizatidin 150 mg
 Ranitidin 150 mg
Jika gejala sering kambuh,
terapinya harus mempertimbangkan
 biaya dengan dosis efektif terkecil.

ATAU Cat: untuk gejala-gejala tidak

c. Penghambat normal, memperoleh endoskopi

 pompa proton untuk (jika mungkin) untuk evaluasi

4 –  8 minggu mukosa.

 Esomeprazol 20 Berikan IPP atau antagonis H2.

mg/hr IPP merupakan terapi utama pada

 Lansoprazol 15-  pasien dengan gejala tidak normal,

30 mg/hr gejala-gejala komplikasi dan


 penyakit.
 Omeprazol 20
mg/hr
 Pantoprazol 40

10
- Bronkitis: Teosal tetap dilanjutkan

25
DAFTAR PUSTAKA

Dipiro. J.T., Talbert, R.L.,Yee, G.C., et al. 2008.  Pharmacoterapy A


 Pathophysiologic Approach. 7th Edition. McGraw Hill: New York

Jung, H.K. 2011.  Epidemiology of Gastroesophageal Reflux Desease in Asia: A


Systemic Review. Journal Neurogastroenterol Motil

Goh. K.L., Wong, C.H. 2006. Gastroesophageal Reflux Desease: An Emerging


 Disease in Asia. Journal Gastroenterol Hepatol

Katz, P.O. et al.2013. Guidlines for Diagnosis and Management of


Gastroesophageal Reflux Desease. The American Journal of
Gastroenterology Volume 18

Anonim, 2014/2015.  MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi Edisi 14. Buana Ilmu
Populer: Jakarta

Anda mungkin juga menyukai