Anda di halaman 1dari 22

42

BAB V

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian


2
Luas wilayah Kota langsa adalah 6,15 Km (615 Ha). Letak Geografis

0 0
95,30810 BT dan 95,52230 LU, tinggi rata-rata 3,8 meter diatas permukaan laut,

dengan batas wilayah adalah sebelah Utara berbatasan dengan kecamatan Geudubang

Jawa, sebelah Selatan berbatasan dengan kecamatan Sei Pauh, sebelah Timur

berbatasan dengan Paya Bujok dan sebelah Barat berbatasan dengan kabupaten

Seuallah.

Jumlah penduduk kecamatan pada tahun 2018 adalah 23.735 jiwa yang terdiri

dari 11.584 jiwa penduduk berjenis kelamin laki-laki dan 12.151 jiwa penduduk

berjenis kelamin perempuan dengan jumlah kepala keluarga (KK) sebanyak 7.237

jiwa. Dari hasil survei pada saat penelitian didapatkan bahwa banyak responden yang

memiliki pendidikan yang rendah dan juga hampir sebagian responden berasal dari

keluarga dengan status sosial ekonomi yang rendah. Meskipun tidak didapatkan

orang tua balita (ayah) yang tidak bekerja tetapi mayoritas ayah dari Kelompok

kasus memiliki pekerjaan yang tidak tetap. Jenis pekerjaan responden cukup

beragam, baik itu sebagai petani, buruh, tukang becak, pedagang, maupun pegawai

swasta tetapi jumlah pendapatan yang mereka dapatkan masih rendah ( < Rp.

1.750.000,-) di bawah UMR (upah minimum provinsi).

42
43

Tabel 5.1.
Gambaran Karakteristik Keluarga

No. Karakteristik Keluarga Kasus Kontrol


n % n %
1 Pendidikan Ibu
SD 8 21,1 0 0
SLTP 5 13,2 10 26,3
SLTA 17 44,7 17 44,7
D3 6 15,8 3 7,9
S1 2 5,3 8 21,1
38 100 38 100
2 Pekerjaan Ibu
Tidak Bekerja 37 97,4 33 86,8
Bekerja 1 2,6 5 13,2
38 100 38 100
3 Pendidikan Ayah
SD 8 21,1 2 5,3
SLTP 5 13,2 5 13,2
SLTA 20 52,6 24 63,2
D3 1 2,6 0 0
S1/S2 4 10,5 7 18,4
38 100 38 100
4 Pekerjaan Ayah
PNS 3 7,9 7 18,4
Swasta 17 44,7 11 28,9
Wiraswasta 12 31,6 12 31,6
Buruh 4 10,5 6 15,8
Petani 2 5,3 2 5,3
38 100 38 100
5 Pendapatan keluarga
 Rendah 26 68,4 13 34,2
 Tinggi 12 31,6 25 65,8
38 100 38 100
6 Jumlah Anak
≤ 2 orang 24 63,2 30 78,9
> 2 orang 14 36,8 8 21,1
38 100 38 100
7 Jumlah Anak Balita
Satu 26 68,4 32 84,2
> satu 12 31,6 6 15,8
38 100 38 100
44

Berdasarkan Tabel 5.1 diketahui bahwa perbandingan kelompok kasus

dan kontrol berdasarkan pendidikan ibu dimana yang berpendidikan SD lebih

banyak pada kelompok kasus 8 orang (21,1%) sedangkan kelompok kontrol

tidak ada yang tamatan SD, tamatan SLTP lebih banyak pada kelompok

kontrol yaitu 10 orang (26,3%) dari pada kelompok kasus 5 orang (13,2%),

tamatan SLTA pada kelompok kasus dan kelompok kontrol sama yaitu 17

orang (44,7%), tamatan D3 lebih banyak pada kelompok kasus 6 orang

(15,8%) dari pada kelompok kontrol 3 orang (7,9%) dan tamatan S1 lebih

banyak pada kelompok kontrol 8 orang (21,1% dari pada kelompok kasus 2

orang (5,3%).

Berdasarkan pekerjaan ibu pada kelompok kasus lebih banyak ibu yang

tidak bekerja 37 orang (97,4%) dari pada kelompok kontrol 33 orang (86,8%),

sedangkan ibu yang bekerja lebih banyak pada kelompok kontrol 5 orang

(13,2%) dari pada kelompok kasus 1 orang (2,6%).

Berdasarkan pendidikan terakhir ayah didapatkan bahwa yang tamat SD

lebih banyak pada kelompok kasus 8 orang (21,1%) dari pada kelompok

kontrol 2 orang (5,3%), tamatan SLTP pada kelompok kasus dan kontrol sama

yaitu 5 orang (13,2%), tamatan SLTA lebih banyak pada kelompok kontrol 24

orang (63,2%) dari pada kelompok kasus 20 orang (52,6%), tamatan D3 pada

kelompok kasus 1 orang (2,6%), dan tamatan S1/S2 lebih banyak pada

kelompok kontrol 7 orang (18,4%) dari pada kelompok kasus 4 orang.


45

Pekerjaan ayah sebagai PNS lebih banyak pada kelompok kontrol 7

orang (18,4%) dari pada kelompok kasus 3 orang (7,9%), bekrja sebagai

pegawai swasta lebih banyak pada kelompok kasus 17 orang (44,7%) dari

pada kelompok kontrol 11 orang (28,9%), yang pekerjaanya wiraswasta baik

kelompok kasus maupun kontrol sama yaitu 12 orang (31,6%), bekerja

sebagai buruh lebih banyak pada kelompok kontrol 6 orang (15,8%) dari pada

kelompok kasus 4 orang (10,5%), bekerja sebagai petani baik pada kelompok

kasus maupun kontrol sama yaitu 2 orang (5,3%).

Berdasarkan pendapatan keluarga pada kelompok kasus lebih banyak

keluarga yang berpendapatan rendah 26 orang (68,4%) dari pada kelompok

kontrol 13 orang (34,2%), sedangkan keluarga yang pendapatan tinggi banyak

pada kelompok kontrol 25 orang (65,8%) dari pada kelompok kasus 12 orang

(31,6%).

Keluarga dengan jumlah anak≤ 2 orang lebih banyak pada kelompok

kontrol 30 orang (78,9%) dari pada kelompok kasus 24 orang (68,4%), dan

keluarga dengan jumlah anak > 2 orang lebih banyak pada kelompok kasus 14

orang (36,8%) dari pada kelompok kontrol 8 orang (21,1%).

Keluarga dengan jumlah anak balita satu orang pada kelompok kontrol

32 orang (84,2%) dari pada kelompok kasus 26 orang (68,4%), dan keluarga

dengan jumlah balita lebih dari satu orang lebih banyak pada kelompok kasus

12 orang (31,6%) dari pada kelompok kontrol 6 orang (15,8%).


46

Tabel 5.2. Tabulasi Silang Pengaruh Berat Badan Lahir terhadap Kejadian
Stunting pada Anak Usia 12-24 Bulan di Kota Langsa
Tahun 2019
Stunting
Berat Badan Kasus Kontrol
P value OR (CI 95%)
Lahir n % n %
BBLR 4 10,5 3 7,9 1,373
1,000
Tidak BBLR 34 89,5 35 92,1 (0,286-6,595)
Total 38 100,0 38 100,0
Sumber data primer tahun 2019

Hasil analisis pengaruh berat badan lahir terhadap kejadian stunting

diperoleh bahwa ada sebanyak 4 orang (10,5%) anak dengan berat badan lahir

rendah mengalami stunting, sedangkan yang tidak stunting sebanyak 3 orang

(7,9%). Hasil uji statistik diperoleh nilai p>0,05 menunjukkan bahwa tidak ada

pengaruh berat badan lahir terhadap kejadian stunting. Nilai OR=1,373 ( CI

95% ; 0,286 – 6,595 ) artinya berat badan lahir rendah bukan merupakan faktor

resiko terjadinya stunting pada anak.

5.2.1. Pengaruh Berat Badan Lahir terhadap Kejadian Stunting

Hasil analisis bivariat setelah dilakukan tabulasi silang dan uji statistik

chi- square antara berat badan lahir dengan kejadian stunting dapat dilihat pada

tabel berikut ini :

Tabel 5.3. Tabulasi Silang Jenis Kelamin terhadap Kejadian Stunting pada
Anak Usia 12-24 Bulan di Kota Langsa
Tahun 2019
Stunting
47

Kasus Kontrol
Jenis Kelamin
n n %
Laki-laki Sumber17
data primer44,7
tahun 2019 17 44,7
Perempuan 21% 55,3 21 55,3
Total 38 100 38 100
48

Pada Tabel 5.3. menunjukkan jumlah sampel minimal yang dibutuhkan

adalah 76 orang dimana yang berjenis kelamin perempuan pada kelompok

kasus dan kontrol lebih besar yaitu 21 orang (55,3%) sedangkan yang berjenis

kelamin laki-laki pada kelompok kasus dan kontrol sebanyak 17 orang

(44,7%).

Tabel 5.4. Tabulasi Silang Pengaruh Pemberian ASI Eksklusif terhadap


Kejadian Stunting pada Anak Usia 12-24 Bulan di
Kota Langsa Tahun 2019
Stunting
Kasus Kontrol
Pemberian ASI P value OR (CI 95%)
n % n %
Tidak ASI
21 55,3 10 26,3 3,459
Eksklusif 0,002
(1,318-9,074)
ASI Eksklusif 17 44,7 28 73,7
Total 38 100, 38 100,0
0
Sumber data primer tahun 2019
Hasil analisis pengaruh pemberian ASI Eksklusif terhadap kejadian

stunting diperoleh bahwa ada sebanyak 21 orang (55,3%) anak tidak

mendapatkan ASI Eksklusif menderita stunting, sedangkan yang tidak

stunting sebanyak sebanyak 10 orang (26,3%). Hasil uji statistik diperoleh

nilai p < 0,05 menunjukkan bahwa ada pengaruh pemberian ASI Eksklusif

terhadap kejadian stunting. Nilai OR = 3,459 ( CI 95% ; 1,31 – 9,07 )

artinya anak yang tidak mendapatkan ASI Eksklusif beresiko 3,4 kali lebih

besar mengalami stunting dibanding anak yang mendapatkan ASI Eksklusif.

5.2.2. Pengaruh Pendapatan Keluarga terhadap Kejadian Stunting

Hasil analisis bivariat setelah dilakukan tabulasi silang dan uji

statistik chi- square antara pendapatan keluarga dengan kejadian stunting


49

dapat dilihat pada tabel berikut ini :


50

Tabel 5.5. Tabulasi Silang Pengaruh Pendapatan Keluarga terhadap Kejadian


Stunting pada Anak Usia 12-24 Bulan di Kota Langsa
Tahun 2019
Stunting
Pendapatan Kasus Kontrol
P value OR (CI 95%)
Keluarga n % n %
Rendah 26 68,4 13 34,2 4,167
0,006
Tinggi 12 31,6 25 65,8 (1,599-10,856)
Total 38 100,0 38 100,0
Sumber data primer tahun 2019

Hasil analisis pengaruh pendapatan keluarga terhadap kejadian stunting

diperoleh bahwa ada sebanyak 26 orang (68,4%) anak dengan pendapatan

keluarga rendah mengalami stunting, sedangkan yang tidak stunting sebanyak

13 orang (34,2%). Hasil uji statistik diperoleh nilai p < 0,05 menunjukkan

bahwa ada pengaruh peendapatan keluarga terhadap kejadian stunting. Nilai

OR = 4,167 ( CI 95% ; 1,599– 10,856 ) artinya anak dengan pendapatan

keluarga rendah beresiko 4,16 kali lebih besar mengalami stunting dibanding

anak dengan pendapatan keluarga tinggi.

5.2.3. Variabel yang Paling Berpengaruh terhadap Stunting

Analisis multivariat bertujuan untuk mendapatkan variabel yang paling

berpengaruh sebagai faktor resiko kejadian stunting. Analisis multivariat yang

digunakan dalam penelitian ini adalah regresi logistik ganda dengan tingkat

kepercayaan 95%. Dalam pemodelan ini semua kandidat dicobakan secara

bersama- sama, kemudian variabel yang memiliki nilai p > 0,05 akan

dikeluarkan secara berurutan dimulai dari nilai p yang terbesar (backward

selection).
51

5.3. Pembahasan

5.3.1. Pengaruh Berat Badan Lahir terhadap Stunting

Hasil uji statistik diperoleh nilai p=1,000 artinya tidak ada

pengaruh kejadian berat badan lahir rendah terhadap kejadian stunting.

Berat badan lahir rendah bukan merupakan faktor resiko terjadinya

stunting pada anak dengan nilai OR=1,37. Pada penelitian ini ditemukan

sebanyak 89,5 % anak yang mengalami stunting dengan riwayat berat

badan lahir normal. Hal ini bisa disebabkan karena ketidak cukupan

asupan zat gizi pada balita normal sehingga menyebabkan terjadinya

growth faltering (gagal tumbuh). Rendahnya asupan zat gizi dan paparan

terhadap infeksi memberikan dampak gagal tumbuh yang lebih berat pada

balita normal (Irviani., 2018).

Bayi yang lahir normal juga dapat berisiko stunting jika asupan

gizinya kurang (Kusharisupeni, 2002). Kualitas dan kuantitas MP-ASI

yang baik merupakan komponen penting dalam makanan balita karena

mengandung sumber zat gizi makro dan mikro yang berperan dalam

pertumbuhan linier (Sari M, et al dalam Irviani., 2018) pemberian ASI

yang kurang baik dan MP-ASI terlalu dini dapat meningkatkan resiko

stunting karena bayi cenderung lebih mudah terkena penyakit infeksi

seperti diare. Berat lahir memberikan kontribusi utama pada tahun

pertama lalu menyusul proses menyusui, pelayanan kesehatan dan postur

ibu yang tinggi secara signifikan menurunkan kemungkinan terhambatnya


52

pertumbuhan anak (Enggar., 2017).

Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian Anugraheni dan

Mitra (2015) yang menemukan bahwa berat badan lahir rendah bukan

merupakan faktor resiko kejadian stunting pada anak usia 12-36 bulan

dikecamatan Pati Kabupaten Pati. Begitu juga dengan hasil penelitian

Hutasoit (2012) yang menyatakan bahwa berat badan lahir bukanlah

merupakan faktor resiko terjadinya stunting pada anak sekolah dasar di

kabupaten Tapanuli Utara.

Dalam penelitian Dewi., 2018, menemukan hasil yang berbeda

dengan penelitian ini. Penelitiannya menyatakan bahwa berat badan lahir

rendah berhubungan secara signifikan dengan stunting pada balita

(p<0,05). Balita yang mempunyai berat badan lahir rendah beresiko

menjadi stunting 1,7 kali dibanding balita yang mempunyai berat badan

lahir normal.

Berat badan lahir berpengaruh terhadap pertumbuhan dan

perkembangan anak dimasa yang akan datang. Berat badan lahir rendah

erat kaitannya dengan kurang gizi selama kehamilan. Selain berdampak

pada angka kematian bayi, berat badan lahir rendah juga berdampak pada

tingginya kasus gizi kurang dan gizi buruk pada anak balita (Lidia, 2018).

Menurut asumsi peneliti masa balita sering dinyatakan sebagai

masa kritis dalam rangka mendapatkan sumber daya manusia yang


53

berkualitas, terlebih pada periode 2 tahun pertama merupakan masa emas

untuk pertumbuhan dan perkembangan otak yang optimal. Kejadian

kurang gizi pada balita dapat diakibatkan oleh keadaan gizi sebelumnya,

salah satunya adalah kelahiran bayi dengan berat badan lahir rendah

(Lidia, 2018).

5.3.2. Pengaruh Pemberian ASI Eksklusif terhadap Stunting

Hasil penelitian didapatkan bahwa ada pengaruh pemberian ASI

Eksklusif terhadap kejadian stunting. Hasil uji statistik diperoleh nilai

p=0,020 menunjukkan bahwa kejadian stunting pada anak usia 12-24 bulan

disebabkan karena tidak mendapatkan ASI Eksklusif. Hasil analisis

didapatkan bahwa anak yang tidak mendapatkan ASI Eksklusif beresiko

3,4 kali lebih besar mengalami stunting dibanding anak yang mendapatkan

ASI Eksklusif.

Air Susu Ibu adalah emulsi lemak dalam larutan protein, laktosa

dan garam- garam anorganik yang disekresi oleh kelenjar mamae ibu yang

berguna sebagai makanan bagi bayinya. Menurut Roesli (2000) ASI

sebagai nutrisi terbaik dan sumber kekebalan tubuh bagi bayi. ASI

memiliki komposisi yang seimbang karena disesuaikan dengan kebutuhan

bayi pada masa pertumbuhannya. ASI adalah makanan yang paling

sempurna bagi bayi 0-6 bulan baik kualitas maupun kuantitasnya. Dengan

menyusui secara tepat dan benar, maka produksi ASI seorang ibu akan
54

cukup sebagai makanan tunggal bagi bayi normal sampai dengan usia 6

bulan. Selain itu ASI dapat melindungi bayi dari infeksi. ASI mengandung

berbagai antibodi terhadap penyakit yang disebabkan oleh bakteri, virus,

jamur dan juga parasit.

Berdasarkan hasil wawancara dilapangan ditemukan bahwa pada

anak yang stunting pada saat baru lahir tidak langsung diberikan ASI

tetapi diberi susu formula dengan alasan ASI tidak keluar. Selain itu ibu

juga tidak memberikan kolostrum (ASI yang pertama keluar) dengan

alasan ASI yang pertama keluar adalah ASI kotor karena berwarna

kuning keruh. Selain itu jika ASI sudah keluar tetapi jumlahnya sedikit,

ibu langsung memberikan susu formula dengan alasan bayi terus

menangis karena lapar, jadi dengan memberikan susu formula bayi

menjadi tenang dan tidurnya lebih nyenyak.

Pemberian susu formula sebelum bayi berumur 6 bulan dapat

mengakibatkan timbulnya penyakit diare pada bayi karena saluran

pencernaan bayi belum dapat mencerna makanan lain selain ASI. Selain

itu bayi yang tidak mendapatkan ASI Eksklusif akan mudah terserang

penyakit karena pemberian ASI yang baik oleh ibu akan membantu

menjaga keseimbangan gizi anak sehingga segala kebutuhan gizi anak

akan terpenuhi untuk mencapai tumbuh kembang yang optimal

(Anugraheni, 2012)
55

Menurut Adair dan Guilkey (1997) menyatakan bahwa

pemberian makanan pendamping ASI yang terlalu dini juga

berhubungan dengan kejadian stunting pada anak. Pemberian MP-ASI

harus diberikan kepada anak sejak usia 6 bulan karena jumlah dan

komposisi ASI mulai berkurang sehingga tidak mampu mencukupi

kebutuhan anak. Pada usia 1-2 tahun, ASI hanya berfungsi sebagai

makanan pendamping utama. Namun ASI tidak harus digantikan oleh

makanan utama.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Wardah (2012),

menyatakan bahwa pemberian ASI Eksklusif merupakan faktor resiko

kejadinya stunting (p<0,05). Demikian pula dengan hasil penelitian

Anggiana, et al (2013), pemberian ASI Eksklusif secara klinis

berpengaruh terhadap pertumbuhan anak, dimana anak yang stunting

banyak ditemukan pada mereka yang tidak memberikan ASI Eksklusif.

Anak yang tidak diberikan ASI Eksklusif memiliki resiko 3,4 kali

lebih besar untuk menjadi stunting dibandingkan dengan anak yang

yang diberi ASI Eksklusif (OR=3,4).

Dari penelitian-penelitian yang dilakukan selama sepuluh tahun

terakhir menunjukkan bahwa ASI kaya akan antibodi untuk melawan

infeksi bakteri dan virus, terutama selama minggu pertama (4 sampai

dengan 6 hari) payudara akan menghasilkan kolostrum yaitu ASI awal


56

yang mengandung zat kekebalan yang sangat penting untuk melindungi

bayi dari infeksi (Anggiana, 2013).

Menurut WHO menyatakan bahwa pemberian ASI Eksklusif dapat

menurunkan resiko kejadian stunting karena kandungan kalsium pada ASI

mempunyai bioavailabilitas yang tinggi sehingga dapat diserap dengan

optimal terutama dalam fungsi pembentukan tulang (Horta BL, et al,

WHO, 2007) (Susilowati, et al, 2010). Dari penelitian Rona, 2015 bahwa

terdapat hubungan yang bermakna antara pemberian ASI Eksklusif

dengan kejadian pertumbuhan anak usia masuk sekolah (p<0,05).

Rendahnya pemberian ASI Eksklusif menjadi salah satu pemicu

terjadinya kependekan (stunting) pada anak balita akibat dari kejadian

masa lalu dan akan berdampak terhadap masa depan anak. Sebaliknya

pemberian ASI yang baik oleh ibu akan membantu menjaga

keseimbangan gizi anak sehingga tercapainya pertumbuhan anak yang

normal (Rahmad, et al, 2013). Oleh karena itu ibu harus memberikan ASI

secara eksklusif kepada bayi sampai umur 6 bulan dan tetap memberikan

ASI sampai bayi berumur 2 tahun untuk memenuhi kebutuhan gizi bayi.

Menurut asumsi peneliti Gizi seimbang bagi anak usia 0-2 tahun

dimulai sejak konsepsi sampai dua tahun pertama lahir, masa ini adalah

masa kritis, periode ini, sel-sel otaknya sudah mencapai lebih dari 80%.

Oleh sebab itu periode ini merupakan masa kritis bagi komponen otak
57

yang bertanggung jawab terhadap kecerdasan anak, yang hanya terjadi

sekali seumur hidup dan tak akan berulang. Bila anak dalam periode ini

mengalami kekurangan gizi yang diperlukan otak, perkembangan otak

dan kecerdasannya akan terpengaruh. Kekurangan gizi pada masa

kehidupan ini perlu perhatian serius. Pola makan dengan gizi seimbang,

bayi akan tumbuh dan berkembang secara optimal, termasuk

kecerdasannya. Kurang perhatian orang tua khususnya ibu pada periode

kritis ini, kegagalan tumbuh kembang optimal akan terbawa terus sampai

dewasa secara permanen. Bila pola pemberian ASI tidak benar atau MP-

ASI tidak mencukupi kebutuhan zat gizi yang diperlukan tubuh, bayi akan

mengalami gangguan pertumbuhan (Ahmad, 2012)

5.3.3. Pengaruh Pendapatan terhadap Stunting

Hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi anak dengan

stunting adalah 68,4% berasal dari keluarga dengan pendapatan rendah.

Hasil uji chi square menunjukkan bahwa ada pengaruh antara pendapatan

keluarga dengan kejadian stunting (p<0,05), dimana anak yang

mengalami stunting beresiko 4,16 kali lebih besar disebabkan oleh

pendapatan keluarga yang rendah dibandingkan dengan keluarga yang

berpendapatan tinggi.

Adanya pengaruh pendapatan keluarga dengan stunting

dikarenakan pendapatan merupakan faktor yang turut menentukan status


58

gizi balita. Pendapatan keluarga yang baik dapat menunjang tumbuh

kembang anak karena orang tua dapat menyediakan semua kebutuhan

anaknya. Adanya ketidakmampuan kepala keluarga dalam memenuhi

kebutuhan gizi anaknya baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya

sehingga berdampak pada petumbuhan gizi anak. Masih rendahnya

tingkat pendapatan keluarga merupakan rintangan yang menyebabkan

keluarga tidak mampu memenuhi kebutuhan baik pangan maupun non

pangan dalam jumlah yang dibutuhkan.

Hal ini sejalan dengan dengan penelitian Eko (2018) bahwa

pendapatan perkapita yang rendah merupakan faktor resiko yang

berpengaruh terhadap kejadian stunting (p=0,013; OR=7,4). Demikian

juga penelitian yang dilakukan oleh Fitri (2012) yang menyatakan bahwa

balita yang status ekonomi keluarganya rendah, memiliki resiko menjadi

stunting sebesar 1,8 kali dibanding balita yang status ekonomi

keluarganya tinggi. Sejalan dengan penelitian Lidia, 2018, dimana

keluarga dengan status ekonomi rendah beresiko 11,8 kali lebih besar

anaknya mengalami stunting (p=0,006) dibandingkan dengan keluarga

yang status ekonomi tinggi.

Pendapatan perkapita juga merupakan faktor yang turut

menentukan status gizi balita. Hasil penelitian di Maluku menunjukkan

bahwa tingkat pendapatan yang rendah berhubungan dengan kejadian


59

stunting (Ramli, et al. 2009). Pendapatan keluarga yang memadai akan

menunjang tumbuh kembang anak, karena orang tua dapat menyediakan

semua kebutuhan anak baik primer maupun sekunder (Soetjiningsih,

1998). Mengutip pendapat Aritonang (1994) dalam Lindri, G (2009)

menyatakan bahwa status sosial ekonomi berpengaruh langsung terhadap

kemampuan keluarga untuk memenuhi kebutuhan akan makanan,

terhadap praktek pemberian makanan pada bayi, praktek pemeliharaan

kesehatan dan sanitasi lingkungan yang akhirnya akan mempengaruhi

pertumbuhan, dan dampaknya secara keseluruhan adalah adanya

gangguan pertumbuhan pada anak (Aditianti. 2010)

Menurut asumsi peneliti perkapita juga merupakan faktor yang

turut menentukan status gizi balita. Kemiskinan yang berlangsung dalam

waktu lama dapat mengakibatkan rumah tangga tidak mampu untuk

memenuhi kebutuhan pangan dengan kuantitas dan kualitas yang baik.

Penurunan kualitas konsumsi pangan rumah tangga yang dicirikan oleh

keterbatasan membeli pangan sumber protein, vitamin dan mineral.


60

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai

berikut :

1. Tidak Ada pengaruh BBLR terhadap kejadian stunting, dimana nilai

OR=1,373 ( CI 95% ; 0,286 – 6,595 ) artinya berat badan lahir rendah

bukan merupakan faktor resiko terjadinya stunting pada anak, dengan

nilai P.Value 1,00> α (0,005)

2. Ada pengaruh pendapatan keluarga terhadap kejadian stunting,

dimana anak yang mengalami stunting resikonya 4,1 kali lebih besar

disebabkan oleh pendapatan keluarga yang rendah dibandingkan

dengan keluarga yang berpendapatan tinggi, dengan nilai P.Value

0,006< α (0,005)

3. Ada pengaruh pemberian ASI Eksklusif terhadap kejadian stunting,

dimana anak yang mengalami stunting beresiko 3,4 kali lebih besar

disebabkan karena tidak mendapatkan ASI Eksklusif dibandingkan

dengan anak yang mendapatkan ASI Eksklusif, dengan nilai P.Value

0,002< α (0,005)

58
61

4. Hasil uji regresi logistik menunjukkan bahwa variabel pendapatan

merupakan variabel yang paling berpengaruh terhadap kejadian

stunting pada anak usia 12- 24 bulan di Kota Langsa Tahun 2019

6.2 Saran

6.2.1. Perlu adanya kerjasama antara Dinas Kesehatan kota Langsa

dengan berbagai pihak untuk menanggulangi masalah gizi dengan

meningkatkan pendidikan masyarakat, meningkatkan keadaan

sosial ekonomi masyarakat dengan membuka lapangan pekerjaan,

penggalakan program ASI Eksklusif dan program peningkatan

pemantauan pertumbuhan balita untuk mengurangi masalah gizi

terutama stunting pada anak balita.

6.2.2. Bagi petugas gizi dan bidan desa di puskesmas perlu meningkatkan

kegiatan penyuluhan pada kegiatan posyandu secara terarah dan

terpadu tentang pentingnya kebutuhan gizi yang seimbang bagi

anak balita.

6.2.3. Diharapkan bagi keluarga yang memiliki anak dengan status gizi

kurang (stunting) agar selalu memperhatikan status gizi anaknya

dengan cara lebih aktif ke posyandu untuk menimbang dan

mengukur tinggi badan balita, menjaga asupan zat gizi,

memberikan ASI Eksklusif.


62

DAFTAR PUSTAKA

Aditianti. 2010. Faktor Determinan Stunting pada Anak Usia 24-59


Bulan di Indonesia. Jurnal Info Pangan dan Gizi Volume XIX
Nomor 2 Tahun 2010.
Ahmad, A, dkk. 2012. Hubungan Pola Pemberian MP-ASI dengan
Anemia dan Stunting pada Anak Usia 6-24 Bulan di
Kecamatan Darul Imarah Kabupaten Aceh Besar. Jurnal
Kesehatan Ilmiah Nasuwakes, Volume 5 nomor 1, Poltekkes
Kemenkes Aceh.
Anggiana, dkk. 2013. Kejadian Stunting pada Balita Usia 24-36 Bulan
di Kabupaten Tangerang. Jurnal Gizi dan Pangan. Journal of
Nutrition and Food, Abstrak Simposium Nasional 125
Penelitian Terkini Gizi dan Pangan, Volume 8 Nomor 1. Juni
2013. IPB. Pergizi Pangan Indonesia Bogor.
Anugraheni, HS dan Kartasurya, MI. 2012. Faktor Risiko Kejadian
Stunting pada Anak Usia 12-36 Bulan di Kecamatan Pati,
Kabupaten Pati. Journal of Nutrition College. Volume 1,
Nomor 1 (30-37). Online di : http://ejourna-
S1.undip.ac.id/index.php/jnc

Dewi., 2018. Perbedaan Panjang Badan Lahir, Riwayat Penyakit


Infeksi, Dan Perkembangan Balita Stunting Dan Non Stunting
Erni., 2017. Pola Pemberian Makan Dengan Status Gizi
Anak Usia 1 Sampai 5 Tahun Di Kabunan
Taman Pemalang

Eko., 2018. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian


Stunting pada Anak Usia 24-59 Bulan di Wilayah Kerja
Puskesmas Andalas
Enggar., 2017. Hubungan Tingkat Kecukupan Zat Besi Dan Seng
Dengan Kejadian Stunting Pada Balita 6-23 Bulan
Irviani., 2018. Pengaruh Pemberian Biskuit Ubi Jalar Ungu (Ipomea
Batatas L. Poiret) Terhadap Status Gizi Kurang Pada Anak
Balita Usia 12-36 Bulan Di Wilayah Kerja Puskesmas Somba
Opu
Khoirun., 2015. Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Stunting
63

Pada Balita
Lidia., 2018. Hubungan Bblr Dan Asi Ekslusif Dengan Kejadian
Stunting Di Puskesmas Lima Puluh Pekanbaru
Mitra., 2015. Permasalahan Anak Pendek (Stunting) dan Intervensi
untuk Mencegah Terjadinya Stunting (Suatu Kajian
Kepustakaan)
Janirah., 2016. Analisis Determinan Kejadian Stunting Pada Balita Usia
12-24 Bulan Di Wilayah Kerja Puskesmas Puuwatu Kota
Kendari
Rona., 2015. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi
Anak Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Nanggalo Padang
Restika., 2016. Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Stunting
Pada Balita Usia 24-59 Bulan
Sri., 2018. Faktor penyebab anak Stunting usia 25-60 bulan di
Kecamatan Sukorejo Kota Blitar
Tiara., 2016. Hubungan Pola Asuh Ibu dengan Status Gizi Balita di
Wilayah Kerja Puskesmas Belimbing Kota Padang
Uliyanti., 2017. Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Stunting
Pada Balita Usia 24-59 Bulan
Wiwien., 2016. Faktor risiko stunting pada anak umur 12-24 bulan

Anda mungkin juga menyukai