Otitis Media dengan Efusi dan Atopy: Apakah Terdapat Hubungan Sebab
Akibat?
Abstrak:
Otitis media dengan efusi (OME) adalah kondisi inflamasi pada liang telinga tengah,
akut atau kronik, dengan kumpulan cairan di telinga tengah dalam keadaan membran
timpani yang intak. Ini merupakan penyakit yang umum terjadi pada usia anak-anak,
penyebab gangguan pendengaran tersering pada anak-anak dan seringkali
memerlukan intervensi pembedahan. OME dikatakan kronik ketika cairan di telinga
tengah bertahan selama lebih dari 3 bulan atau terjadi episode berulang sebanyak 6
kali atau lebih dalam setahun. Artikel ini meliputi berbagai aspek mengenai OME
mencakup definisi, epidemiologi, patomekanisme, faktor risiko, peran alergi pada
OME, dampak penyakit jalan nafas atas pada OME, otitis media eosinofilik, dan
manajemen OME.
Kata kunci: OME, Faktor risiko, Balita, Inflamasi, Otitis media eosinifilik, Alergi,
Rhinosinusitis.
Latar Belakang
OME merupakan penyakit terbanyak yang terjadi pada usia anak-anak dan
merupakan penyebab hilangnya pendengaran pada anak-anak. Delapan puluh persen
dari seluruh anak pernah mengalami episode OME hingga usia 10 tahun, terbanyak
hingga usia 3 tahun. Prevalensi sekitar 20% pada usia 2 tahun dengan penurunan
prevalensi menjadi 8% pada usia 8 tahun. Lebih dari setengah kasus didahului oleh
Otitis MediaAkut (OMA). Disfungsi tuba eustachius memegang peranan penting
untuk terjadinya OME. OME dianggap merupakan penyakit multifactorial, dimana
1
tampilan klinisnya munculnya dengan berbagai tingkatan, disebabkan oleh beberapa
faktor predisposisi. Urutan kelahiran dan jenis kelamin merupakan faktor
predisposisi. Saudara yang lebih muda demikian juga anak-anak yang mengunjungi
sekolah pengasuhan dan ibu yang merokok merupakan faktor risiko yang beragam.
Peranan penyakit alergi pada patogenesis OME telah diinvestigasi secara intensif
dalam beberapa tahun terakhir. Terdapat hubungan yang luas antara 5-80% pada
anak-anak.
Epidemiologi
Data epidemiologi mengenai OME masih menjadi kontroversi dan berbeda.
Penyakit ini, yang secara khusus menyerang anak-anak, menunjukkan prevalensi
0,6% diantara orang dewasa, berbanding terbalik dengan fakta bahwa 90% anak-
anak berusia di bawah 2 tahun pernah mengalami setidaknya 1 kali episode OME dan
sekitar 80% anak usia pra sekolah mengalami OME.
Prevalensi OME mencapai puncaknya pada musim dingin dan terendah pada
musim panas [4].
Faktor Predisposisi
Etiologi terjadinya OME multifactorial, tetapi fungsi sistem imun yang
imatur dan disfungsi tuba eustachius merupakan faktor etiologi terpenting [5].
Beberapa faktor predisposisi telah diidentifikasi pada pasien OME kronik (Tabel
2
1). Usia merupakan salah satu faktor yang terpenting [4]. OME memiliki
prevalensi yang rendah pada usia beberapa minggu, mulai meningkat pada usia 10
bulan, dan mencapai puncaknya pada usia antara 2 hingga 5 tahun [5]. Kondisi dan
situasi yang juga memainkan peranan dalam etiologi terjadinya penyakit anak-anak
ini mencakup: infeksi jalan napas atas; infeksi telinga tengah oleh bakteri ataupun
virus; primary ciliary dyskinesia; pengasuh harian dan saudara yang lebih tua; bayi
premature berat lahir sangat rendah; jenis kelamin laki-laki; pajanan rokok
tembakau (terutama berhubungan dengan atopy); rhinosinusitis kronik; hipertrofi
adenoid (menyebabkan obstruksi mekanik pada nasofaring dan daerah inflamasi);
dan abnormalitas kraniofasial (misal celah palatum) [4,5]. Pada anak usia muda
(dibawah usia 3 tahun) rhinitis infektif, diperkirakan merupakan penyebab umum
tersering terjadinya OME [1].
3
sensitisasi asimptomatik, asma atau ekzim [10]. Tetapi hubungan ini tampak
signifikan pada anak usia 6 tahun dan lebih tua, dimana tidak ada hubungan yang
signifikan pada anak usia muda [8].
4
dari normal hingga mengalami atelectasis, dengan warna kuning atau biru
disebabkan pengumpulan cairan pada telinga tengah, menjadi berwarna coklat
karena proses berlangsung kronik secara alamiah. Seringkali cahaya segitiga
Politzer menghilang ketika diamati dengan otoskopi. Otoskopi pneumatic
merupakan alat dianostik terbaik untuk OME karena seseorang dapat mengamati
dan mengidentifikasi kurangnya pergerakan membrane timpani. Sayangnya, ini
tidak digunakan secara luas [15]. Diagnosis harus didukung lebih lanjut oleh
investigasi lain seperti audiometri dan timpanometri. Audiometri akan
menunjukkan berbagai air bone gap. Timpanometri akan menunjukkan kurva
landau karena membran timpani dan tulang pendengaran tidak akan bergerak
disebabkan keberadaan cairan pada telinga tegah. Hal ini akan menyebabkan
ketiadaan akustik refleks (Tabel 2).
5
Studi melihat kepada hubungan EOM dan keparahan asma menunjukkan bahwa
keparahan asma secara statistik lebih besar pada pasien dengan EOM disbanding
pasien tanpa EOM. EOM seringkali diperparah oleh eosinofilik rhinosinusitis
[18,19]. Lebih lanjut, terdapat hubungan erat antara EOM dan keparahan asma
pada pasien asma kronik dengan rhinosinusitis kronik.
Sejumlah besar sel positif EG-2 ditemukan secara signifikan pada mukosa
telinga tengah pasien EOM dibanding kelompok kontrol (EOM tanpa asma
bronkial), mendukung bahwa inflamasi eosinofilik aktif terjadi pada pasien ini
[19]. Kemoatraktan eosinofil seperti interleukin (IL)-5 dan eotaxin, diatur pada
aktivasi, ekspresi sel T normal dan sekresi (RANTES), dan ecalectin pada middle
ear effusion (MEE) secara signifikan lebih tinggi pada pasien EOM dibanding
control [20,1], tidak hanya pada tingkat protein tetapi juga pada tingkat mRNA,
mengindikasikan bahwa inflamasi eosinofilik aktif terjadi pada telinga tengah itu
sendiri. Tingkat ECP ditemukan berkorelasi positif dengan IL-5, menunjukkan
bahwa IL-5 mungkin memainkan peranan penting dalam akumulasi eosinofil pada
telinga tengah [22]. Secara imunohistokimia, sel IL-5 + dan ecalectin +, meningkat
secara signifikan pada mukosa telinga tengah pasien EOM, yang dibandingkan
dengan kelompok control. Tingkat IL-5 pada middle ear effusion (MEE) lebih
tinggi secara signifika dalam darah pada kedua kelompok pasien dan pada pasien
OME dengan asma dibanding kelompok kontrol. Sebagai tambahan, pada pasien
OME dengan asma, terdapat korelasi yang signifikan antara presentase eosinofil
dan tingkat IL-5 pada MEE [20]. Tingkat eotaxin dalam darah secara signifikan
lebih tinggi pada MME dan eosinophilia pada MME lebih bergantung pada IL-5
dibanding eotaxin, yang dengan demikian memobilisasi eosinofil dari sumsum
tulang ke dalam darah.
Pada pasien dengan EOM, 62% pasien dibanding 11% pasien kontrol,
memiliki antigen IgE spesifik pada efusi telinga tengah meskipun tidak terdapat
perbedaan yang bermakna pada konsentrasi total IgE serum [23]. Nilai keparahan
EOM pada kelompok antigen IgE spesifik positif lebih tinggi secara signifikan
6
dibanding kelompok IgE spesifik antigen negatif menunjukkan bahwa IgE spesifik
antigen melawan inhalansia dan antigen bakteri dapat diproduksi secara lokal pada
mukosa telinga tengah pasien dengan EOM. Secara khusus, sensitisasi lokal
melawan jamur bersama dengan Staphylococcus aureus dapat menghasilkan
produksi IgE lokal pada telinga tengah dan dapat bertanggung jawab terhadap
keparahan EOM. Sel IgE positif, terutama sel mast, tetapi juga sebagian dari
sitoplasma di dalam sel yang muncul sebagai sel plasma mengindikasikan produksi
IgE secara lokal pada mukosa telinga tengah. Keberadaan jumlah IgE yang tinggi
dapat mengeksaserbasi infalamsi eosinofil pada mukosa telinga tengah.
Konsentrasi IgE pada efusi telinga tengah secara signifikan dan berkorelasi secara
positif dengan tigkat pendengaran bone conduction pada 2kHz dan 4kHz pada
pasien EOM. Kelebihan produksi IgE secara lokal pada telinga tengah dapat
berhubungan dengan kondisi patologi EOM dan akhirnya menyebabkan kerusakan
telinga dalam.
Enam puluh satu persen pasien mengalami aktivasi sel mast secara
ekstensif pada telinga tengah [24]. Diantaranya dengan peningkatan tryptase pada
efusi mereka, 95,6% atopi dan 94,7% juga mengalami peningkatan protein kation
eosinofilik. Tryptase meningkat hanya pada efusi pasien dengan atopi disbanding
kontrol. Dengan demikian, pasien asma yang memiliki predisposisi dominan T-
helper tipe 2, tuba eustachius dengan mudah memungkinkan masuknya antigen
material ke dalam telinga tengah, menyebabkan inflamasi dominan eosinofil.
Eosinofil meningkatkan produksi mucin; dan protein sitotoksik yang diperoduksi
oleh eosinofil merusak epitel sel mengakibatkan debris sel infiltrasi, dan sel epitel
digabung dengan produksi mucin secara massif, menghasilkan efusi yang lebih
kental.
7
eustachius dipertimbangkan menjadi faktor utama yang bertanggung jawab
terhadap terjadinya OME [30], faktor lain dari pejamu yang juga berhubungan
dengan onset terjadinya OME mencakup: infeksi jalan napas atas, obstruksi
mekanik nasofaring oleh hipertrofi adenoid atau melformasi kraniofasial seperti
celah bibir dan palatum [31], sindrom Down [32,33], faktor alergi dan imunologi
[34-36], bakteri biofilm [37,38], dan faktor genetik [39,40]. OME dapat terjadi
sebagai konsekuensi dari otitis media akut (OMA) memerlukan waktu yang lebih
lama untuk penyembuhan [41]. Saat ini juga diketahui bahwa biofilm bakteri
penting pada pathogenesis OME [37,38,42]. Pemindaian laser confocal mikroskopi
menunjukkan bahwa biofilm bakteri tampil dalam 3 dimensi kluster bakteri yang
terbungkus dalam matrix ekstraselular yang diproduksi sendiri olehnya melekat
pada permukaan dalam telinga tengah [38], dan diperkirakan menjadi stimulus
inflamasi kronik menyebabkan terjadinya OME. Demikian pula, pedoman terbaru
dari otologist, pediatricians, dan allergists juga mendukung peran alergi dalam
perjalanan terjadinya OME, berdasarkan bukti klinis [43-46]. Lebih lanjut, terdapat
beberapa bukti bahwa faktor lingkungan dan sosioekonomi juga mempengaruhi
pathogenesis OME, seperti: faktor musim, riwayat alergi, tingkat kelembapan,
kemampuan mencapai sarana kesehatan, status sosioekonomi, durasi pemberian
ASI, lingkungan hidup sekitar, kebiasaan yang tidak higenis, perokok pasif dan
reflux gastroesofageal [47-52].
Ketika disfungsi tuba eustachius telah diperkirakan menjadi efusi telinga
tengah melalui tekanan negatif dalam liang telinga tengah, bukti terbaru
menunjukkan bahwa disfungsi tuba eustachius diperkirakan berhubungan dengan
efusi yang lebih kompleks sebagaimana tuba eustachius diperkirakan memegang
peranan pada pengaturan tekanan, bersihan sekresi, dan perlindungan dari
pathogen nasofaring [53] (Tabel 1). Secara histologi, OME dapat dianggap sebagai
kondisi peradangan kronik, dimana baik pejamu atau lingkungan atau stimulus
sosioekonomi menginduksi reaksi inflamasi pada mukosa telinga tengah [54]
dengan produksi mucin berlebih dan produksi mucin yang lebih kental [29], yang
8
menganggu sistem pembersihan mukosiliar normal dalam telinga tenga,
menghasilkan sumbatan pada tuba eustachius dan akumulasi lebih lanjut dari efusi
telinga tengah yang kaya mucin [53].
Ketika tidak diterapi, OME dapat menyebabkan otitis media adesiva,
abnormalitas membrane timpani (misal drainase telinga kronik), sclerosis timpani,
granuloma kolesterol, kolesteatom primer didapat, infeksi lain seperti meningitis,
dan sekuele lainnya [54-57]. Lebih lanjut, OME berhubungan dengan hilangnya
pendengaran dan dapat menyebabkan merusakan telinga tengah permanen dengan
perubahan mukosa. Kehilangan pendengaran pada OME sering bersifat transien
seiring dengan efusi telinga tengah yang kebanyakan sembuh secara spontan,
terutama jika OME diikuti oleh episode AOM [58].
Ketika OME bpersisten, teruatama jika bilateral diawal kehidupan, itudapat
berpengaruh pada perkembangan negatif kemampuan bicara, edukasi, dan
kebiasaan yang mempengaruhi seseorang, meskipun keterlibatan lebih lanjut hal
ini dapat bervariasi dan kontroversial [41]. Lebih lanjut, otorea persisten dan
hilang pendengaran yang berlanjut seringkali menyebabkan kualitas hidup yang
jelek bagi individu yang terkena.
9
mediator pada mucosa hidung pasien dengan rhinitis alergi atau secara tidak
langsung oleh obstruksi nasal [62]. Dalam analisis multivariate, rhinitis alergi,
adeonoiitis, dan usia yang lebih muda menunjukkan hubungan yang tidak langsung
dalam diagnosis OME [63]. Sebuah penelitian cohort kelahiran 291 anak dari
Copenhagen pada tahun ke-6 kehidupan menunjukkan hubungan dengan rhinitis
alergi (OR = 3,36, CI = 1,26-8,96, p = 0,02), tetapi tidak dengan pembengkakan
mukosa nasal [64]. Sebuah hubungan yang signifikan telah dilaporkan antara
OME, nilai protein kationik eosinofildalam efusi telinga tengah dan gejala menetap
dari rhinitis alergi [65].
Penemuan peningkatan yang bermakna dari efusi myeloperoxidase pada
pasien atopi dibanding pasien bukan atopi menunjukkan bahwa atopi dapat
berkontribusi pada peningkatan aktivitas neutrofil dalam OME kemungkinan
disebabkan peningkatan pada respon sel inflamasi primer ke bakteri [66].
Investigasi terkini mengungkapkan bahwa sitokin pro inflamasi ditemukan dalam
konsentrasi tingi pada efusi telinga tengah baik pada anak-anak atopi maupun non
atopi yang dapat bergna dalam manajemen anti inflamasi [67]. Percobaan
korticosteroid intranasal dalam manajemen OME menunjukkan hasil yang
menjanjikan. Meskipun begitu, sebuah penelitian double blind randomized
placebo controlled dari kortikosterpid intranasal pada anak usia 4-11 tahun dengan
OME persisten bilateral yang mendatangi pelayanan kesahatan primer
menunjukkan respon yang minimal [68].
OME yang terjadi pada 2 tahun pertama kehidupan diketahui berhubungan
dengan rhinitis alergi pada usia 6 tahun sebagaimana penyakit alergi lainnya
[67,70]. Dihipotesiskan bahwa infeksi otitis media pada awal kehidupan, terutama
yang sering atau parah dapat mempengaruhi perkembangan sistem imun,
menyebabkan risiko yang lebih besar untuk terjadinya ekzim alergi onset lambat
dan asma pada usia sekolah terutama pada mereka yang mengalami 3 atau lebih
serangan OME [69,71]. Kemungkinan terjadinya rhinitis alergi dan asma
ditemukan lebih tinggi pada pasien dengan efusi serosa dibanding mucus [72].
10
Peran Alergi Diperantarai IgE pada OME
Alergi diperantarai IgE telah diketahui sebagai faktor penyebab sekitar
sepertiga pasien OME yang berulang berdasarkan observasi klinis dan pemeriksaan
kulit [73-75]. Sebuah meta analisis dari 24 studi mengungkapkan bahwa kehadiran
atopi meningkatkan risiko otitis media yang kronik dan berulang (OR = 1,36; CI =
1,13-1,64; p = 0,001) [76]. Penapisan dari 2320 anak mengungkapkan hubungan
yang dejkat antara atopi dan terjadinya OME [77]. Setelah analisis multivariate data
yang diambil dari 88 anak berusia 1 hingga 7 tahun dengan OME, sensitisasi IgE,
wheezing, obstruksi nasal, riwayat otitis pada keluarga, dan kunjungan anak ke
tempat pengasuhan merupakan faktor risiko independen yang utama [78].
Atopi diindikasikan oleh hasil skin prick test (STP) yang tampak jelas pada 11
dari 45 (24%) pasien yang menjalani pemasangan tabung tympanostomy untuk OME
dan adenoidectomy untuk hipertrofi adenoid secara bersamaan [79]. Pada sebuah
investigasi, 36,4% anak dengan otitis media kronik dan berulang mesikpun telah
menjalani adenoidectomy dan pemasangan VT menunjukkan hasil skin prick test
yang positif untuk alergi inhalan dan makanan. Alergi kemungkinan memainkan
peran yang lebih penting dalam terjadinya OME berulang dibanding OME tanpa
komplikasi [80]. Pada laporan lain, insidensi atopi sebesar 24% pada 59 anak dengan
OME persisten [81]. Hasil skin prick test yang positif terdapat pada 51 dari 122
(41,8%) anak dengan OME kronik yang berpartisipasi pada randomized control trial.
Dua puluh dua persen positif terhadap tungau debu rumah, 13.9% terhadap allergen
anjing atau kucing, 13.1% terhadap campuran Alternaria atau Aspergilus, 10.7%
terhadap rumput, 9.8% terhadap kecoak, dan 9% terhadap ragweed [82].
Hubungan dengan alergi makanan juga telah diinvestigasi pada beberapa
studi. Pada sebuah studi, 78% dari 104 pasien yang tidak dipilih berusia antara 1,5-
9% dengan OME berulang yang mengalami sensitisasi terhadap 1 atau lebih allergen
makanan diketahui dari skin prick test,tes IgE spesifik dan perubahan makanan.
Eliminasi diet terhadap makanan yang disuspek memberikan perbaikan terhadap
11
OME pada 86% pasien dan ketika diberikan kembali memprovokasi kekambuhan
pada 94% (66/70) pasien selama 16 minggu [83]. Otitis media berulang telah
dilaporkan pada sebuah follow up cohort dari 56 anak dengan alergi susu sapi
dibanding 204 anak control (27%, dibanding 12%, p = 0,009) [84]. Baik ototos media
kronik dengan efusi maupun Meniere’s disease dianggap membaik dengan pemberian
terapi terhadap alergi makanan [85].
12
dari OME dan lebih lanjut merupakan faktor risiko yang lebih besar
dibanding faktor lain yang identifikasi berkontribusi [36,46,92,93].
Mukosa telinga tengah, yang berkembang dari ectoderm yang sama
dengan epitel traktus respiratorius bagian atas, telah ditemukan
pada studi hewan yang memiliki respon imunologi intrinsik aktif
yang sama terhadap stimulus antigen seperti pada traktus nasal,
sinus dan bronchus [94].
Memang, sekarang diakui bahwa respon saluran nafas atas
sebagai suatu kesatuan jalan nafas dan alergi dapat mempengaruhi
target organ yang berbeda pada usia yang berbeda [95-97].
Nguyen dan rekan [98] telah menunjukkan bahwa telinga tengah
dapat bertindak dalam “perilaku yang sama seperti paru dibawah
kondisi inflamasi alergi” dan bahwa “telinga tengah dapat masuk ke
dalam kesatuan jalan nafas”. Lebih lanjut, Parietti-Winkler dan rekan
[99,100] telah menunjukkan bahwa terjadinya OME dapat dijadikan
sebagai penanda keparahan penyakit inflamasi yang mengarah ke
polip nasi, asma dan intoleransi aspirin, dan bahwa karakteristik
polip nasal yang lebih baik pada pasien dengan OME dapat
memperlihatkan perjalanan yang lebih natural, tipe dan keparahan
dari proses inflamasi yang mendasari. Meskipun, hipotesis yang
paling sering disebutkan dari beberapa decade yang lalu megaitkan
antara OME dan alergi bahwa allergen tidak masuk sendiri ke dalam
telinga tengah karena fungsi tuba eustachius sebagai struktur
penjaga [100], telah dihipotesiskan bahwa imunitas sekretori tiak
hanya bergantung pada transport allergen llangsung ke telinga
tengah tetapi lebih kepada kedua imunitas baik humoral dan yang
diperantarai sel [101].
13
Demikian juga, pemeriksaan histologi dari efusi telinga
tengah telah menunjukkan keberadaan eosinofil dalam julah besar,
yang dianggap sebagai musin eosinofil. Meskipun, eosinofil yang
ditemukan pada mukosa telinga tengah tidak sebanyak pada efusi
telinga tengah, hal ini mmebuat anggapan bahwa eosinofil yang
berpindah ke mukosa telinga tengah tidak menetap di telinga
tengah secara lokal tetapi berpindah secara cepat ke liang telinga
tengah. Di sisi lain, mukosa sinus nasal dan paranasal pada pasien
dengan rhinitis alergi dan rhinosinusitis kronik eosinofilik
menunjukkan akumulasi ekstensif eosinofil pada submukosa, hal ini
mungkin bahwa mekanisme migrasi eosinofil dan kemampuan
bertahannya berbeda antara mukosa telinga tengah dan mukosa
hidung pada pasien rhinitis alergi dan polip nasal.
14
Dukungan terhadap produksi IgE lokal berasal dari
peningkatan keberadaan rhinitis alergi lokal, sebuah bentuk rhinitis
alergi dalam sebuah subgroup individu rhinitis idiopatik dengan tes
alergi negatif dimana inflamasi diperkirakan dimedidiasi oleh IgE
lokal, dan allergen IgE spesifik juga dapat diukur pada sekresi nasal
[103]. Demikian pula, Bachert dan rekan [104] telah melaporkan
konsentrasi signifikan dari IgE spesifik terhadap enterotoksin
Staphylococcus aureus pada jaringan polip nasal dan menganggap
bahwa pasien yang tidak menunjukkan peningkatan kadar serum
IgE spesifik antigen dan tidak positif reaksi skin prick test terhadap
IgE spesifik Staphylococcus aureus diproduksi secara lokal pada
polip nasal (Gambar 1).
15
Childhood (ALSPAC). Midgley dkk, melaporkan bahwa terdapat penurunan
prevalensi OME pada usia yang meningkat dan efek musim yang bermakna terhadap
frekuensi OME. Tampak jelas bahwa terdapat keterkaitan antara rhinitis alergi dan
OME, tetapi efek usia belum jelas. Hubungan patofisiologi antara rhinitis alergi dan
OME tidak sepenuhnya dimengerti, tetapi terdapat beberapa studi klinis. Tekanan
negatif telinga tengah mengikuti perubahan allergen nasal pada subjek dengan rhinitis
alergi telah dilaporkan 30 tahun lalu dan keterlibatan kedua mekanisme imunologi
dan mekanik telah dihipotesis [107]. Gideon dkk, mencoba membuktikan mekanisme
patofisiologi dari OME sebagai inflamasi Th2 pada efusi telinga tengah dari individu
atopi, tetapi ia ragu untuk menyimpulkan bahwa inflamasi alergi adalah penyebab
OME [108].
Sejak kemunculan hubungan patofisiologi dari rhinitis alergi dan OME, terapi
yang menargetkan inflamasi alergi seperti antihistamin, LTRA, kortikosteroid
intranasal atau kombinasi mereka dapat berguna dalam manajemen OME, sebelum
memutuskan intervensi bedah [109].
Kesimpulan
Prevalensi OME tinggi pada anak-anak. Kehilangan pendengaran sebagai
akibat OME merupakan isu kesehatan yang besar. Mekanisme perlawanan natural
pada jalan nafas atas melalui barrier perlindungan epitel dan imunias inate melawan
lingkungan oleh mikroba. Kerusakan perlindungan ini disebabkan karena alergi yang
meningkatkan infeksi organisme pada traktur respiratorius dan mukosa telinga
tengah. Pada konteks ini, diketahui bahwa variasi sinyal reseptor Toll-like
berhubungan dengan fenotipe klinis dan risiko infeksi pada telinga tengah. Alergi
tidak hanya dapat menginduksi reaksi inflamasi pada liang telinga tengah tetapi juga
kerentanan terhadap infeksi mikroba. Meskpun alergi memainkan peran penting pada
penyebab OME terdapat beberapa faktor lain yang juga berperan terhadap terjadinya
OME. Seseorang dapat berhipotesis bahwa seperti pada asma, mungkin terdapat
fenotipe yang berbeda dari OME, salah satunya yang paling sering disebabkan atopi.
16
Daftar Pustaka
1. Kenna MA. Otitis Media and the new guidelines. J Otolaryngol. 2005;
34(suppl 1):S24–32.
2. Luong A, Roland PS. The link between allergic rhinitis and chronic otitis
media with effusion in atopic patients. Otolaryngol Clin N Am. 2008;41:311–
23.
17
3. Senturia BS, Bluestone CD, Klein JO, et al. Report or the ad hoc committee
on definition and classification of otitis media with effusion. Ann Otol Rhinol
Laryngol. 1980;89:3–4.
4. Engel J, Anteunis L, et al. Risk factors of otitis media with effusion during
infancy. Int J Pediatr Otorhinolaryngol. 1999;48:239–49.
5. Elicora SS, Ozturk M, Sevinc R, Derin S, Dinc AE, Erdem D. Risk factors for
otitis media effusion in children who have adenoid hypertrophia. Int J Pediatr
Otorhinolaryngol. 2015;79(3):374–7.
8. Roditi RE, Veling M, Shin JJ. Age: an effect modifier of the association
between allergic rhinitis and otitis media with effusion. Laryngoscope 2015
(Epub ahead of print).
10. Kreiner-Moller E, Chawes LK, et al. Allergic rhinitis is associated with otitis
media with effusion: a birth cohort study. Clin Exp Allergy. 2012;42:1615–20.
11. Gravel JS, Wallace IF. Effects of otitis media with effusion on hearing in the
first 3 years of life. J Speech Lang Hear Res. 2000 Jun;43(3):631–44.
12. Madell JR. Impact of otitis media on auditory function. In: Rosenfeld RM,
Bluestone CD, editors. Evidence-based otitis media. Canada: B.C. Decker Inc;
1999. p. 337–51.
13. Rosenfeld RM, Culpepper L, Doyle KJ, et al. Clinical practice guideline: otitis
media with effusion. Otolaryngol Head Neck Surg. 2004 May;130(5 Suppl):
S95–118.
18
14. Tomioka S, Yuasa R, Iino Y: Intractable otitis media in cases with bronchial
asthma. In Recent Advances in Otitis Media: Proceedings of the Second
Extraordinary International Symposium on Recent Advances in Otitis Media.
Edited by Mogi G, Honjo I, Ishii T, et al.
15. Takata GS, Chan LS, Morphew T, et al. Evidence assessment of the accuracy
of methods of diagnosing middle ear effusion in children with otitis media
with effusion. Pediatrics. 2003;112(6):1379–87.
21. Nonaka M, Fukumoto A, Ozu C, Pawankar R, et al. IL-5 and eotaxin levels in
middle ear effusion and blood from asthmatics with otitis media with effusion.
Acta Otolaryngol. 2003;123:383–7.
19
23. Kanazawa H, Yoshida N, Shinnabe A, Iino Y. Antigen-specific IgE in middle
ear effusion of patients with eosinophilic otitis media. Ann Allergy Asthma
Immunol. 2014;113(1):88–92.
24. Hurst DS, Amin K, Sevéus L, Venge P. Mast cells and tryptase in the middle
ear of children with otitis media with effusion. Int J Pediatr Otorhinolaryngol.
1999;49(Suppl 1):S315–9.
25. Daly KA, Hoffman HJ, Kvaerner KJ, Kvestad E, Casselbrant ML, Homoe P,
et al. Epidemiology, natural history, and risk factors: panel report from the
ninth international research conference on otitis media. Int J Pediatr
Otorhinolaryngol. 2010;74:231–40.
28. Portmann M. The etiology and pathogenesis of otitis media with effusion. A
review Acta Otolaryngol Suppl. 1984;414:41–4.
29. Kubba H, Pearson JP, Birchall JP. The aetiology of otitis media with effusion:
a review. Clin Otolaryngol Allied Sci. 2000;25:181–94.
31. Kuo CL, Lien CF, Chu CH, Shiao AS. Otitis media with effusion in children
with cleft lip and palate: a narrative review. Int J Pediatr Otorhinolaryngol.
2013;77:1403–9.
20
32. Maris M, Wojciechowski M, Van de Heyning P, Boudewyns A. A
crosssectional analysis of otitis media with effusion in children with down
syndrome. Eur J Pediatr. 2014;173:1319–25.
35. Leichtle A, Lai Y, Wollenberg B, Wasserman SI, Ryan AF. Innate signaling in
otitis media: pathogenesis and recovery. Curr Allergy Asthma Rep.
2011;11:78–84.
37. Bakaletz LO. Bacterial biofilms in the upper airway - evidence for role in
pathology and implications for treatment of otitis media. Paediatr Respir Rev.
2012;13:154–9.
39. Allen EK, Chen WM, Weeks DE, Chen F, Hou X, Mattos JL, et al. A
genomewide association study of chronic otitis media with effusion and
recurrent otitis media identifies a novel susceptibility locus on chromosome 2.
J Assoc Res Otolaryngol. 2013;14:791–800.
21
40. MacArthur CJ, Wilmot B, Wang L, Schuller M, Lighthall J, Trune D.
Geneticsusceptibility to chronic otitis media with effusion: candidate gene
single nucleotide polymorphisms. Laryngoscope. 2014;124:1229–35.
41. Qureishi A, Lee Y, Belfield K, Birchall JP, Daniel M. Update on otitis media
prevention and treatment. Infect Drug Resist. 2014;7:15–24.
44. Hurst DS. The role of allergy in otitis media with effusion. Otolaryngol Clin
N Am. 2011;44:637–54. viii-ix
45. Lack G, Caulfield H, Penagos M. The link between otitis media with effusion
and allergy: a potential role for intranasal corticosteroids. Pediatr Allergy
Immunol. 2011;22:258–66.
46. Luong A, Roland PS. The link between allergic rhinitis and chronic otitis
mediawith effusion in atopic patients. Otolaryngol Clin N Am. 2008;41:311–
23.
47. Tasker A, Dettmar PW, Panetti M, Koufman JA, Birchall JP, Pearson JP.
Reflux of gastric juice and glue ear in children. Lancet. 2002;359:493.
22
49. Caylan R, Bektas D, Atalay C, Korkmaz O. Prevalence and risk factors of
otiti media with effusion in Trabzon, a city in northeastern Turkey, with an
emphasi on the recommendation of OME screening. Eur Arch
Otorhinolaryngol. 2006;263:404–8.
50. Tong MC, Yue V, Ku PK, Lo PS, Wong EM, van Hasselt CA. Risk factors for
otitis media with effusion in Chinese schoolchildren: a nested case-control
study and review of the literature. Int J Pediatr Otorhinolaryngol.
2006;70:213–9.
51. Rovers MM, de Kok IM, Schilder AG. Risk factors for otitis media: an
international perspective. Int J Pediatr Otorhinolaryngol. 2006;70:1251–6.28.
53. Rovers MM, Schilder AG, Zielhuis GA, Rosenfeld RM. Otitis media. Lancet
2004;363:465–73.
54. MacArthur CJ, Pillers DA, Pang J, Kempton JB, Trune DR. Altered
expression of middle and inner ear cytokines in mouse otitis media.
Laryngoscope. 2011;121:365–71.
55. Daly KA, Hunter LL, Levine SC, Lindgren BR, Giebink GS. Relationships
between otitis media sequelae and age. Laryngoscope. 1998;108:1306–10.
56. Johnston LC, Feldman HM, Paradise JL, Bernard BS, Colborn DK,
Casselbrant ML, et al. Tympanic membrane abnormalities and hearing levels
at the ages of 5 and 6 years in relation to persistent otitis media and
tympanostomy tube insertion in the first 3 years of life: a prospective study
incorporating a randomized clinical trial. Pediatrics. 2004;114:e58–67.
57. Grevers G. Challenges in reducing the burden of otitis media disease: anENT
perspective on improving management and prospects for prevention. Int J
Pediatr Otorhinolaryngol. 2010;74:572–7.
23
58. Rosenfeld RM, Kay D. Natural history of untreated otitis media.
Laryngoscope. 2003;113:1645–57.
59. Hardjojo A, Shek LP, van Bever HP, Lee BW. Rhinitis in children less than 6
years of age: current knowledge and challenges. Asia Pac Allergy.
2011;1:115–22.
61. Smirnova MG, Birchall JP, Pearson JP. The immunoregulatory and
allergyassociated cytokines in the aetiology of the otitis media with effusion.
Mediat Inflamm. 2004;13:75–88.
62. Pelikan Z. Role of nasal allergy in chronic secretory otitis media. Curr Allergy
Asthma Rep. 2009;9:107–13.
65. Passali D, Passali GC, Lauriello M, Romano A, Bellussi L, Passali FM. Nasal
allergy and otitis media: a real correlation? Sultan Qaboos Univ Med J.
2014;14:e59–64.
24
67. Zielnik-Jurkiewicz B, Stankiewicz-Szymczak W.Pro-inflammatory
interleukins in middle ear effusions from atopic and non-atopic children with
chronic otitis media with effusion. Eur Arch Otorhinolaryngol 2015 Jun 16.
[Epub ahead of print].
69. MacIntyre EA, Chen CM, Herbarth O, Borte M, Schaaf B, Krämer U, von
Berg A, Wichmann HE, Heinrich J, LISA Study Group. Early-life otitis media
and incident atopic disease at school age in a birth cohort. Pediatr Infect Dis J.
2010;29:e96–9.
70. Thomson JA, Widjaja C, Darmaputra AA, Lowe A, Matheson MC, Bennett
CM, Allen K, Abramson MJ, Hosking C, Hill D, Dharmage SC. Early
childhood infections and immunisation and the development of allergic
disease in particular asthma in a high-risk cohort: a prospective study of
allergy-prone children from birth to six years. Pediatr Allergy Immunol.
2010;21:1076–85.
71. MacIntyre EA, Heinrich J. Otitis media in infancy and the development of
asthma and atopic disease. Curr Allergy Asthma Rep. 2012;12:547–50.
72. Kwon C, Lee HY, Kim MG, Boo SH, Yeo SG. Allergic diseases in children
with otitis media with effusion. Int J Pediatr Otorhinolaryngol. 2013;77:158–
61.
73. Bernstein JM, Lee J, Conboy K, Ellis E, Li P. Further observations on the role
of IgE-mediated hypersensivity in recurrent otitis media with effusion.
Otolaryngol Head Neck Surg. 1985;93:611–5.
25
74. Becker S, Koch T, Philipp A. Allergic origin of recurrent middle ear effusion
and adenoids in young children. HNO. 1991;39:182–4.
75. Corey JP, Adham RE, Abbass AH, Seligman I. The role of IgE-mediated
hypersensivity in otitis media with effusion. Am J Otolaryngol. 1994;15:138–
44.
76. Zhang Y, Xu M, Zhang J, Zeng L, Wang Y, Zheng QY. Risk factors for
chronic and recurrent otitis media–a meta-analysis. PLoS One.
2014;9:e86397.
79. Nguyen LHP, Manoukian JJ, Sobol SE, et al. Similar allergic inflammation in
the middle ear and the upper airway: evidence linking otitis media with
effusion to the united airways concept. J Allergy Clin Immunol.
2004;114:1110–5.
80. Döner F, Yariktas M, Demirci M. The role of allergy in recurrent otitis media
with effusion. J Investig Allergol Clin Immunol. 2004;14:154–8.
81. Tracy JM, Demain JG, Hoffman KM, Goetz DW. Intranasal beclomethasone
as an adjunct to treatment of chronic middle ear effusion. Ann Allergy Asthma
Immunol. 1998;80:198–206.
26
83. Nsouli TM, Nsouli SM, Linde RE, O’Mara F, Scanlon RT, Bellanti JA. Role
of food allergy in serous otitis media. Ann Allergy. 1994;73:215–9.
84. Juntti H, Tikkanen S, Kokkonen J, Alho OP, Niinimäki A. Cow’s milk allergy
is associated with recurrent otitis media during childhood. Acta Otolaryngol.
1999;119:867–73.
85. Ramakrishnan JB. The role of food allergy in otolaryngology disorders. Curr
Opin Otolaryngol Head Neck Surg. 2010;18:195–9.
87. Iino Y. Role of IgE in eosinophilic otitis media. Allergol Int. 2010;59:233–8.
90. Tomonaga K, Kurono Y, Mogi G. The role of nasal allergy in otitis media with
effusion. A clinical study. Acta Otolaryngol Suppl. 1988;458:41–7.
91. Irander K, Borres MP, Bjorksten B. Middle ear diseases in relation to atopy
and nasal metachromatic cells in infancy. Int J Pediatr Otorhinolaryngol.
1993;26:1–9.
92. Stenstrom C, Ingvarsson L. General illness and need of medical care in otitis
prone children. Int J Pediatr Otorhinolaryngol. 1994;29:23–32.
27
93. Kreiner-Moller E, Chawes BL, Caye-Thomasen P, Bonnelykke K, Bisgaard
H. Allergic rhinitis is associated with otitis media with effusion: a birth cohort
study. Clin Exp Allergy. 2012;42:1615–20.
96. Braunstahl GJ, Overbeek SE, Kleinjan A, Prins JB, Hoogsteden HC, Fokkens
WJ. Nasal allergen provocation induces adhesion molecule expression and
tissue eosinophilia in upper and lower airways. J Allergy Clin Immunol.
2001;107:469–76.
98. Nguyen LH, Manoukian JJ, Sobol SE, Tewfik TL, Mazer BD, Schloss MD, et
al. Similar allergic inflammation in the middle ear and the upper airway:
evidence linking otitis media with effusion to the united airways concept. J
Allergy Clin Immunol. 2004;114:1110–5.
28
103. De Schryver E, Devuyst L, Derycke L, Dullaers M, Van Zele T, Bachert C,
et al. Local immunoglobulin e in the nasal mucosa: clinical implications.
Allergy Asthma Immunol Res. 2015;7:321–31.
105. Roditi RE, Veling M, Shin JJ. Age: An effect modifier of the association
between allergic rhinitis and otitis media with effusion. Laryngoscope.
2015; Published online ahead of print, (30 September).
doi:10.1002/lary.25682.
106. Midgley EJ, Dewey C, Pryce K, Maw AR, Study Team ALSPAC. The
frequencyof otitis media with effusion in British pre-school children: a
guide for treatment. Clin Otolaryngol Allied Sci. 2000;25:485–91.
107. O’Connor RD, Ort H, Leong AB, Cook DA, Street D, Hamburger RN.
Tympanometric changes following nasal antigen challenge in children with
allergic rhinitis. Ann Allergy. 1984;53:468–71.
108. Lack G, Caulfield H. Penagos M the link between otitis media with
effusion and allergy: a potential role for intranasal corticosteroids. Pediatr
Allergy Immunol. 2011;22:258–66.
29