Anda di halaman 1dari 18

UJI

DISOLUSI INTRINSIK

1. Tujuan
Tujuan dari praktikum ini yaitu mempelajari pengaruh keadaan bahan baku
(baku) obat (polimorfi, hidrat,solvat) terhadap kecepatan disolusi intrinsic sebagai
preformulasi untuk bentuk sediaannya.

2. Prinsip
Prinsip dari percobaan ini yaitu berdasarkan proses pelarutan senyawa aktif dari
bentuk sediaan padat ke dalam media pelarut. Pelarut suatu zat aktif sangat penting
artinya bagi ketersediaan suatu obat sangat tergantung dari kemampuan zat tersebut
melarut ke dalam media pelarut sebelum diserap ke dalam tubuh.

3. Teori Dasar
Pelepasan zat aktif dari suatu produk obat sangat dipengaruhi oleh sifat
fisikokimia zat aktif dan bentuk sediaan. Ketersediaan zat aktif biasanaya ditetapkan
oleh kecepatan pelepasan zat aktif dari bentuk sediaannya. Pelepasan zat aktif dari
bentuk sediaan biasanya ditenmtukan oleh kecepatan melarutnya dalam media
sekelilingnya (Amir, 2007).
Disolusi adalah suatu jenis khusus dari suatu reaksi heterogen yang
menghasilkan transfer massa karena adanya pelepasan dan pemindahan menyeluruh ke
pelarut dari permukaan padat. Teori disolusi yang umum adalah:
1. Teori film (model difusi lapisan)
2. Teori pembaharuan-permukaan dari Danckwerts (teori penetrasi)
3. Teori Solvasi terbatas/Inerfisial (Amir, 2007).
Kecepatan disolusi merupakan kecepatan zat aktif larut dari suatu bentuk
sediaan utuh/ pecahan/ partikel yang berasal dari bentuk sediaan itu sendiri. Kecepatan
disolusi zat aktif dari keadaan polar atau dari sediaannya didefinisikan sebagai jumlah
zat aktif yang terdisolusi per unit waktu di bawah kondisi antar permukaan padat-cair,

1
suhu dan kompisisi media yang dibakukan. Kecepatan pelarutan memberikan
informasi tentang profil proses pelarutan persatuan waktu. Hukum yang mendasarinya
telah ditemukan oleh Noyes dan Whitney sejak tahun 1897 dan diformulasikan secara
matematik sebagai berikut :
𝑑𝑐
= 𝐾 . 𝑆 . (𝐶𝑠 − 𝐶𝑡)
𝑑𝑡
dc / dt = kecepatan pelarutan ( perubahan konsentrasi per satuan waktu )
S = Luas permukaan bahan obat yang berdisolusi
Cs = kelarutan (konsentrasi jenuh bahan dalam bahan pelarut )
Ct = konsentrasi bahan dalam larutan untuk waktu t
K = konstanta yang membandingkan koefisien difusi, voume larutan
jenuh dan tebal lapisan difusi (Shargel, 1988)
Dari persamaan di atas dinyatakan bahwa tetapnya luas permukaan dan
konstannya suhu, menyebabkan kecepatan pelarutan tergantung dari gradien
konsentasi antara konsentrasi jenuh dengan konsentrasi pada waktu (Shargel, 1988).
Pada peristiwa melarut sebuah zat padat disekelilingnya terbentuk lapisan tipis
larutan jenuhnya, darinya berlangsung suatu difusi suatu ke dalam bagian sisa dari
larutan di sekelilingnya. Untuk peristiwa melarut di bawah pengamatan kelambatan
difusi ini dapat menjadi persamaan dengan menggunakan hukum difusi. Dengan
mensubtitusikan hukum difusi pertama Ficks ke dalam persamaan Hernsi Brunner dan
Bogoski, dapat memberikan kemungkinan perbaikan kecepatan pelarutan secara
konkret.
Kecepatan pelarutan berbanding lurus dengan luas permukaan bahan padat,
koefisien difusi, serta berbanding lurus dengan turunnya konsentrasi pada waktu t.
Kecepatan pelarutan ini juga berbanding terbalik dengan tebal lapisan difusi.
Pelepasan zat aktif dari suatu produk obat sangat dipengaruhi oleh sifat fisikokimia zat
aktif dan bentuk sediaan. Ketersediaan zat aktif ditetapkan oleh kecepatan pelepasan
zat aktif dari bentuk sediaan, dimana pelepasan zat aktif ditentukan oleh kecepatan
melarutnya dalam media sekelilingnya (Tjay, 2002).

2
Lapisan difusi adalah lapisan molekul-molekul air yang tidak bergerak oleh
adanya kekuatan adhesi dengan lapisan padatan. Lapisan ini juga dikenal sebagai
lapisan yang tidak teraduk atau lapisan stagnasi. Tebal lapisan ini bervariasi dan sulit
untuk ditentukan, namun umumnya 0,005 cm (50 mikron) atau kurang (Tjay, 2002).
Hal-hal dalam persamaan Noyes Whitney yang mempengaruhi kecepatan
melarut:
a. Kenaikan dalam harga A menyebabkan naiknya kecepatan melarut
b. Kenaikan dalam harga D menyebabkan naiknya kecepatan melarut
c. Kenaikan dalam harga Cs menyebabkan naiknya kecepatan melarut
d. Kenaikan dalam harga Ct menyebabkan naiknya kecepatan melarut
e. Kenaikan dalam harga d menyebabkan naiknya kecepatan melarut
Hal-hal lainnya yang juga dapat mempengaruhi kecepatan melarut adalah :
a. Naiknya temperatur menyebabkan naiknya Cs dan D
b. Ionisasi obat (menjadi spesies yang lebih polar) karena perubahan pH akan
menaikkan nilai Cs (Ansel, 1989)
UJI DISOLUSI OBAT
Uji hancur pada suatu tablet didasarkan pada kenyataan bahwa, tablet itu pecah
menjadi partikel-partikel kecil, sehingga daerah permukaan media pelarut menjadi
lebih luas, dan akan berhubungan dengan tersedianya obat dalam cairan tubuh.
Namun, sebenarnya uji hancur hanya menyatakan waktu yang diperlukan tablet untuk
hancur di bawah kondisi yang ditetapkan. Uji ini tidak memberikan jaminan bahwa
partikel-partikel itu akan melepas bahan obat dalam larutan dengan kecepatan yang
seharusnya. Oleh sebab itu, uji disolusi dan ketentuan uji dikembangkan bagi hampir
seluruh produk tablet. Laju absorpsi dari obat-obat bersifat asam yang diabsorpsi
dengan mudah dalam saluran pencernaan sering ditetapkan dengan laju larut obat
dalam tablet (Voigt, 1995).
Agar diperoleh kadar obat yang tinggi di dalam darah, maka kecepatan obat
dan tablet melarut menjadi sangat menentukan. Karena itu, laju larut dapat
berhubungan langsung dengan efikasi (kemanjuran) dan perbedaan bioavaibilitas dari
berbagai formula. Karena itu, dilakukannya evaluasi mengenai apakah suatu tablet

3
melepas kandungan zat aktifnya atau tidak bila berada di saluran cerna, menjadi minat
utama dari para ahli farmasi (Voigt, 1995).
Diperkirakan bahwa pelepasan paling langsung obat dari formula tablet
diperoleh dengan mengukur bioavaibilitas in vivo. Ada berbagai alasan mengapa
penggunaan in vivo menjadi sangat terbatas, yaitu lamanya waktu yang diperlukan
untuk merencanakan, melakukan, dan mengitepretasi; tingginya keterampilan yang
diperlukan bagi pengkajian pada manusia.; ketepatan yang rendah serta besarnya
penyimpangan pengukuran; besarnya biaya yang diperlukan; pemakaian manusia
sebagai obyek bagi penelitian yang “nonesensial”; dan keharusan menganggap adanya
hubungan yang sempurna antara manusia yang sehat dan tidak sehat yang digunakan
dalam uji. Dengan demikian, uji disolusi secara in vitrodipakai dan dikembangkan
secara luas, dan secara tidak langsung dipakai untuk mengukur bioavabilitas obat,
terutama pada penentuan pendahuluan dari faktor-faktor formulasi dan berbagai
metoda pembuatan yang tampaknya akan mempengaruhi bioavaibilitas. Seperti pada
setiap uji in vitro, sangat penting untuk menghubungkan uji disolusi dengan tes
bioavaibilitas in vitro. Ada dua sasaran dalam mengembangkan uji disolusi in
vitro yaitu untuk menunjukkan :
1. Penglepasan obat dari tablet kalau dapat mendekati 100%
2. Laju penglepasan obat seragam pada setiap batch dan harus sama dengan laju
penglepasan dari batch yang telah dibuktikan bioavaibilitas dan efektif secara klinis
(Shargel, 1988).
Tes kecepatan melarut telah didesain untuk mengukur berapa kecepatan zat
aktif dari satu tablet atau kapsul melarut ke dalam larutan. Hal ini perlu diketahui
sebagai indikator kualitas dan dapat memberikan informasi sangat berharga tentang
konsistensi dari “batch” satu ke “batch” lainnya. Tes disolusi ini didesain untuk
membandingkan kecepatan melarutnya suatu obat, yang ada di dalam suatu sediaan
pada kondisi dan ketentuan yang sama dan dapat diulangi (Shargel, 1988).
Kecepatan disolusi sediaan sangat berpengaruh terhadap respon klinis dari
kelayakan sistem penghantaran obat. Disolusi menjadi sifat sangat penting pada zat
aktif yang dikandung oleh sediaan obat tertentu, dimana berpengaruh terhadap

4
kecepatan dan besarnya ketersediaan zat aktif dalam tubuh. Jika disolusi makin cepat,
maka absorbsi makin cepat. Zat aktif dari sediaan padat (tablet, kapsul, serbuk,
seppositoria), sediaan system terdispersi (suspensi dan emulsi), atau sediaan-sediaan
semisolid (salep,krim,pasta) mengalami disolusi dalam media/cairan biologis
kemudian diikuti absorbsi zat aktif ke dalam sirkulasi sistemik (Voigt, 1995).
Kecepatan disolusi dalam berbagai keadaan dapat menjadi tahap pembatasan
kecepatan zat aktif ke dalam cairan tubuh. Apabila zat padat ada dalam saluran cerna,
mama terdapat dua kemungkinan tahap pembatasan kecepatan zat aktif tersebut, yaitu:
a. Zat aktif mula-mula harus larut
b. Zat aktif harus dapat melewati membrane saluran cerna (Voigt, 1995).
Analisis kecepatan disolusi zat aktif dari sediaannya merupakan analisis yang
penting dalam pengujian mutu untuk sediaan-sediaan obat. Analisis disolusi telah
masuk persyaratan wajib USP untuk persyaratan tablet dan kapsul, sejak tahun
1960. Berbagai studi telah berhasil dalam korelasi disolusi invivo dengan disolusi
invitro. Namun, disolusi bukan merupakan suatu peramal koefisien terapi, tetapi
disolusi lebih merupakan parameter mutu yang dapat memberikan informasi berharga
tentang ketersediaan hayati dari suatu produk (Voigt, 1995).
Pengembangan dan penggunaan uji disolusi invitro untuk mengevaluasi dan
menggambarkan disolusi dan absorbsi invitro bertujuan :
a) Untuk mengetahui kepentingan bahwa sifat-sifat fisikokimia yang ada dalam model
disolusi dapat berarti atau berpengaruh dalam proses invivo apabila dikembangkan
suatu model yang berhasil meniru situasi invivo
b) Untuk menyaring zat aktif penting dikaitkan dengan formulasinya dengan sifat
disolusi dan absorbsinya sesuai.
c) Sistem uji disolusi invitro dapat digunakan sebagai prosedur pengendalian mutu
untuk produk akhir.
d) Menjamin kesetaraan hayati (bioekivalen) dari batch yang berbeda dari bentuk
sediaan solid apabila korelasi antara sifat disolusi dan ketersdiaan hayati telah
ditetapkan.

5
e) Metode yang baik sekali dan handal untuk memantau proses formulasi dan
manufaktur.
f) Penetapan kecepatan disolusi intrinsik berguna untuk mengetahui sifat disolusi zat
aktif yang baru.
g) Agar sistem disolusi invitro bernilai maka system harus meniru secara dekat sistem
invivo sampai tingkat invitro-invivo yang konsisten tercapai. Oleh karena itu
keuntungan dalam biaya, tenaga kerja, kemudahan dapat diberikan dengan
penggunaan sistem (Ansel, 1989).
Disolusi dapat terjadi langsung pada permukaan tablet, dari granul-granul
bilamana tablet telah pecah atau dari partikel-partikel halus bilamana granul-granul
telah pecah. Pada tablet yang tidak berdesintegrasi, kecepatan disolusinya ditentukan
oleh proses disolusi dan difusi. Namun demikian, bagi tablet yang berdesintegrasi,
profil disolusinya dapat menjadi sangat berbeda tergantung dari apakah desintegrasi
atau disolusinya yang menjadi penentu kecepatan (Ansel, 1989).

4. Metode percobaan
4.1. Alat yang digunakan
Alat-alat yang digunakan adalah Alat Spektrofotometri, Alat Uji disolusi,
Beaker glass, Botol vial, Kuvet, Pipet tetes, Syringe, Stopwatch
Bahan-bahan yang dgunakan Air, Pelet Teophyllin anhidrat dan monohidrat
serta kloramfenikol dan kloramfenikol yang telah di rendam dalam metanol,
Lilin, Medium disolusi dapar fosphat pH 6,8.
4.2. Bahan yang digunakan
Bahan-bahan yang dgunakan Air, Pelet Teophyllin anhidrat dan monohidrat
serta kloramfenikol dan kloramfenikol yang telah di rendam dalam metanol,
Lilin, Medium disolusi dapar fosphat pH 6,8.

5. Prosedur
Pellet ditaruh pada penyangga, lalu bagian atas pelet dituangi lilin cair,
sehingga hanya satu permukaan pellet yang terbuka, yang langsung dapat

6
bersinggungan dengan medium disolusi. Langkah selanjutnya adalah tablet
dicelupkan ke dalam medium dapar phospat pH 6,8 yang terdapat dalam labu
sebanyak 500 mL, suhu dipertahankan pada 37.5oC, motor diatur pada kecepatan
konstan 50 rpm. Kemudian cairan sample diambil 5 mL pada selang waktu
menit ke 5, menit ke 10 , menit ke 15, menit ke 20, dan menit ke 30 untuk
menentukan jumlah obat dalam cairan itu. Kemudian ditentukan absorbansinya
pada panjang gelombang maksimum yang didapat pada percobaan. Untuk
menentukan kadar obat maka digunakan alat spektrophotometri dengan
mengukur tingkat absorbansi-nya.
6. Data Pengamatan
Tabel 1. Standar Teofilin anhidrat (Kurva Baku)
Konsentrasi
Konsentrasi
(ppm) Absorbansi
1 18 0.791
2 16 0.671
3 14 0.587
4 12 0.523
5 10 0.386

Tabel 2. Standar Teofilin Monohidrat (kurva baku)


Konsentrasi
Konsentrasi (ppm) Absorbansi
1 14 0.6935
2 12 0.6376
3 11 0.5865
4 9 0.4889
5 6 0.3871

7
Tabel 3. Standar Choramphenicol (kurva baku)
Konsentrasi
Konsentrasi (ppm) Absorbansi
1 100 0.6444
2 95 0.6064
3 90 0.5561
4 85 0.5104
5 80 0.4504

Tabel 4. Standar Choramphenicol metanol (kurva baku)


Konsentrasi
Konsentrasi (ppm) Absorbansi
1 140 0.862
2 135 0.758
3 130 0.653
4 125 0.532
5 120 0.431
6 115 0.333

Tabel 5. Hasil pengujian disolusi Teofilin anhidrat


t ppm mg faktor mg %
absorbansi
(menit) (µg/ml) terdisolusi koreksi terkoreksi disolusi
0 0 0 0 0 0 0
5 0.347 8.894 4.447 0.044 4.447 1.112
10 0.607 14.322 7.161 0.072 7.205 1.801
15 0.899 20.418 10.209 0.102 10.325 2.581
20 1.21 26.910 13.455 0.135 13.673 3.418
30 1.782 38.852 19.426 0.194 19.779 4.945

Tabel 6. Hasil pengujian disolusi Teofilin Monohidrat

8
t ppm mg faktor mg %
absorbansi
(menit) (µg/ml) terdisolusi koreksi terkoreksi disolusi
0 0 0 0 0 0 0
5 0.282 10.721 5.361 0.054 5.361 1.340
10 0.539 17.178 8.589 0.086 8.643 2.161
15 0.783 23.309 11.655 0.117 11.794 2.949
20 1.036 29.666 14.833 0.148 15.089 3.772
30 1.502 41.374 20.687 0.207 21.092 5.273

Tabel 7. Hasil pengujian disolusi Chloramphenicol


t ppm mg faktor mg %
absorbansi
(menit) (µg/ml) terdisolusi koreksi terkoreksi disolusi
0 0 0 0 0 0 0
5 0.034 36.258 18.129 0.181 18.129 4.532
10 0.026 35.433 17.716 0.177 17.898 4.474
15 0.028 35.639 17.820 0.178 18.178 4.545
20 0.022 35.021 17.510 0.175 18.047 4.512
30 0.027 35.536 17.768 0.178 18.480 4.620

Tabel 7. Hasil pengujian disolusi Chloramphenicol dalam metanol


t ppm mg faktor mg %
absorbansi
(menit) (µg/ml) terdisolusi koreksi terkoreksi disolusi
0 0 0 0 0 0 0
5 0.014 100.425 50.213 0.502 50.213 12.553
10 0.016 100.519 50.259 0.503 50.761 12.690
15 0.021 100.752 50.376 0.504 51.381 12.845
20 0.019 100.659 50.329 0.503 51.838 12.959
30 0.021 100.752 50.376 0.504 52.388 13.097

7. Diskusi dan Pembahasan


Pada praktikum ini dilakukan uji disolusi terhadap sediaan, dimana disolusi
merupakan pelepasan zat aktif dari sediaan dan melarut (diabsorbsi) ke seluruh
sistemik. Dalam penentuan kecepatan disolusi dari bentuk sediaan padat terlihat
berbagai macam proses disolusi yang melibatkan zat murni supaya partikel padat
terdisolusi. Molekul solut pertama-tama harus memisahkan diri dari permukaan
padatan, kemudian bergerak menjauhi permukaan memasuki pelarut, tergantung pada

9
kedua proses ini dan cara bagaimana transport berlangsung. Perilaku disolusi dapat
digambarkan secara fisika. Ada 3 dasar model fisika yang dapat menggambarkan
mekanisme kecepatan disolusi yang terlibat dalam zat murni, yakni model lapisan
difusi (diffusion layer model), model halangan antar muka (interfacial barier model),
dan model dankwert (Dankwert model).
Pengujian dilakukan pada laju disolusi intrinsik yang mana dapat didefinisikan
sebagai laju disolusi dari suatu zat aktif murni yang diperoleh dengan menjaga konstan
kondisi-kondisi yang bisa mempengaruhi laju disolusi zat tersebut, yaitu luas
permukaan, suhu, laju pengadukan, pH, dan kekuatan ionik dari medium disolusi yang
digunakan. Dengan demikian, besarnya laju disolusi intrinsik suatu zat aktif tidak
dipengaruhi oleh faktor formulasi sehingga bisa dijadikan ukuran kelarutan obat
tersebut di dalam medium disolusi.
Pelarutan intrinsik merupakan pelarutan dari suatu serbuk yang
mempertahankan luas permukaan yang tetap, yang biasanya dinyatakan dalam
mg/cm2menit. Obat-obat tersebut umumnya meliputi obat-obat yang kecepatan
disolusinya sangat lambat yang disebabkan oleh kelarutannya yang sangat lambat
yang disebabkan oleh kelarutannya yang sangat kecil.
Dalam praktikum ini, bahan obat yang digunakan adalah tephyllin anhidrat,
teophyllin monohidrat, kloramfenikol, dan kloramfenikol yang telah direndam dalam
methanol, dengan medium disolusi dapar phospat pH 6,8 500 mL dan volume sampel
5 mL, dengan interval waktu menit ke 5, menit ke 10 , menit ke 15, menit ke 20, dan
menit ke 30 . Kemudian persamaan kurva baku ditentukan pada panjang gelombang
271 nm untuk sediaan obat kloramphenicol dan pada panjang gelombang 274 nm
untuk sediaan obat teofilin.
Dalam proses disolusi dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu sifat fisiko kimia
zat aktif (polimorfisme, karakteristik partikel, kompleksasi) dan formulasi sediaan
yaitu eksipien, ukuran partikel, pengikat, pelicin, dsb. Suhu yang digunakan pada uji
disolusi ini yaitu 37 oC untuk menyamakan dengan konsidi suhu tunbuh manusia
normal. Media dapar digunakan media dapar Phospat pH 6,8, media ini digunakan
untuk menujukan atau menggambarkan pH pada usus, dimana biasanya obat obat yang

10
di absorbsi di usus adalah obat-obat yang biasanya dapat mengiritasi lambung,
sehingga obat di tujukan untuk lepas di usus. Sedangkan kecepatan Perputaran yang di
gunakan sebesar 50 rpm, kecepatan ini di gunakan untuk menggambarkan kondisi
gerakan peristaltik dalam usus.
Hasil pengujian terhadap sampel bahan baku theopyllin monohidrat dan
anhidrat memiliki persamaan regresi linier R² =0,9911 dan R² =0,9862. Sedangkan %
disolusi yang didapat dari pengujian bahan baku kloramfenicol yaitu 0; 1,34 ; 2,161 ;
2,949; 3,772; dan 5,273. Untuk theophyllin anhidrat % disolusi yang diperoleh yaitu 0;
1,112; 1,801; 2,581; 3,418; dan 4,945. Dari hasil yang diperoleh menunjukan bahwa
% disolusi theophyllin anhidrat lebih baik daripada theophylin monohidrat, hal ini
tidak sesuai bila dilihat dari perbedaan struktur Theophyllin Monohidrat dan
Theophyllin Anhidrat dimana Theophyllin Monohidrat mengandung kristal air
didalamnya sedangkan Theophylline Anhidrat tidak mempunyai struktur air di
dalamnya. Dengan bentuk monohidrat dapat membantu meningkatkan kecepatan
disolusi karena dengan adanya kandungan air maka dapat memperluas permukaannya
ketika kontak dengan medium disolusi.
Sedangkan hasil pengujian yang diperoleh pada sampel bahan baku
kloramfenicol dan kloramfenicol yang telah direndam dalam metanol memiliki
persamaan regresi linier R² =0,9945 dan R² =0,9992. Sedangkan % disolusi yang
didapat dari pengujian bahan baku kloramfenicol yaitu 0; 4,532 ; 4,474 ; 4,545; 4,512;
dan 4,620. Untuk kloramfenicol dalam metanol % disolusi yang diperoleh yaitu 0;
12,553; 12,690; 12,845; 12,959; dan 13,097. Dari hasil yang diperoleh menunjukan
bahwa % disolusi kloramfenikol yang telah direndam dalam metanol lebih baik
daripada kloramfenikol yang tanpa perendaman terlebih dahulu, hal ini disebabkan
karena perbedaan dari strukturnya dimana polimorfisme dari kloramfenikol yang
direndam metanol mengembang karena ada kisit di strukturnya dan ikatan senyawa
akan mlemah sehingga absorbsinya lebih baik dari kloramfenikol biasa. Dari
polimorfisme juga yang dapat merubah bentuk sehingga meningkatkan kelarutan dan
meningkatkan pula persen disolusinya.

11
8. Kesimpulan
Berdasarkan hasil percobaan uji disolusi yang diperoleh bahwa seharusnya
kecepatan disolusi teophyllin monohidrat lebih baik dibanding anhidrat karena
perbedaan struktur dimana Theophyllin Monohidrat mengandung kristal air
didalamnya sedangkan Theophyllin Anhidrat tidak mempunyai struktur air di
dalamnya. Sedangkan kecepatan disolusi kloramfenikol yang telah direndam dalam
metanol lebih baik daripada kloramfenikol biasa, karena perbedaan dari strukturnya
dimana polimorfisme dari kloramfenikol yang direndam metanol mengembang karena
ada kisit di strukturnya dan ikatan senyawa akan mlemah sehingga absorbsinya lebih
baik dari kloramfenikol biasa. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa keadaan
bahan baku dari obat dapat berpengaruh terhadap kecepatan disolusinya.

12
DAFTAR PUSTAKA

Agoes. 2008. Seri Farmasi Industri Sistem Penghantaran Obat Pelepasan


Terkendali. ITB. Bandung
Alache. 1993. Farmasetika 2 Biofarmasetika, Edisi kedua. Airlangga
University Press. Surabaya
Shargel. 1998. Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan. Airlangga
University Press. Surabaya
Voight. 1971. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. UGM Press. Yogyakarta
Amir, Syarif.dr, dkk.2007. Farmakologi dan Terapi. Edisi kelima. Gaya Baru.
Jakarta.
Ansel, C Howard. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi keempat.
Penerjemah Farida Ibrahim. Universitas Indonesia Press. Jakarta.
Shargel, Leon, dan Andrew B.C.Y.U. 1988. Biofarmasi dan Farmakokinetika
Terapan. Edisi II. Penerjemah Dr. Fasich, Apt. dan Dra. Siti Sjamsiah, Apt.
Airlangga University Press. Surabaya.
Tjay, Hoan Tan dan Kirana Rahardja. 2002. Obat-obat Penting Khasiat,
Penggunaan, dan Efek-efek Sampingnya. Edisi kelima. Cetakan kedua. PT. Elex
Media Komputindo Kelompok Gramedia. Jakarta:

13
Lampiran
Grafik

Kurva Baku Teofilin Anhidrat


0.9
0.8 y = 0.0479x - 0.079
R² = 0.9862
0.7
0.6
Absorbansi

0.5
0.4 Absorbansi
0.3 Linear (Absorbansi)
0.2
0.1
0
0 5 10 15 20
Konsentrasi (ppm)

Grafik 1. Kurva Baku Teofilin Anhidrat

Kurva Baku Teofilin Monohidrat


6.000

5.000

4.000
Absorbansi

3.000
Absorbansi
2.000 Linear (Absorbansi)
y = -0.4739x + 9.7328
1.000 R² = 0.9788

0.000
0 5 10 15 20
Konsentrasi (ppm)

Grafik 2. Kurva Baku Teofilin Monohidrat

14
Kurva Baku Chloramphenicol
0.7
y = 0.0097x - 0.3177
0.6 R² = 0.9945
0.5
Absorbansi

0.4

0.3 Absorbansi
Linear (Absorbansi)
0.2

0.1

0
0 20 40 60 80 100 120
Konsentrasi (ppm)

Grafik 3. Kurva Baku Chloramphenicol

Kurva Baku Chloramphenicol dalam


Metanol
0.7
0.6 y = 0.0097x - 0.3177
R² = 0.9945
0.5
Absorbansi

0.4
0.3 Absorbansi

0.2 Linear (Absorbansi)

0.1
0
0 20 40 60 80 100 120
Konsentrasi (ppm)

Grafik 4. Kurva Baku Chloramphenicol dalam Metanol

15
Disolusi sampel uji
14

12

10
Teofilin Anhidrat
8
% disolusi

Teofilin Monohidrat
6
Chloramphenicol
4 Chloramphenicol metanol
2 Linear (Teofilin Anhidrat)

0
0 5 10 15 20 30
-2
waktu (menit)

Grafik 5. Disolusi sampel

16
Perhitungan Sampel Uji Teofilin Anhidrat
1. Penentuan konsentrasi
A. 0.347 + 0.079 = 8.894 ppm
0.0479
B. 0.607 + 0.079 = 14.322 ppm
0.0479
C. 0.899 + 0.079 = 20.418 ppm
0.0479
D. 1.21 + 0.079 = 26.910 ppm
0.0479
E. 1.782 + 0.079 = 38.852 ppm
0.0479
2. Penentuan mg terdisolusi
A. 8.894 x 0.5 = 4.447 mg
B. 14.32 x 0.5 = 7.161 mg
C. 20.42 x 0.5 = 10.209 mg
D. 26.91 x 0.5 = 13.455 mg
E. 38.85 x 0.5 = 19.426 mg
3. Faktor Koreksi
A. 8.894 x 5 = 0.044 ppm
1000
B. 14,32 x 5 = 0.072 ppm
1000
C. 20.41 x 5 = 0.102 ppm
1000
D. 26,91 x 5 = 0.135 ppm
1000
E. 38.85 x 5 = 0.194 ppm
1000

17
4. Mg terkoreksi
A. 4.447 + 0 = 4.447 mg
B. 7.161 + 0 + 0.044 = 7.205 mg
C. 10.325 + 0 + 0.044 + 0.072 = 10.325 mg
D. 13.455 + 0 + 0.044 + 0.072 + 0.135 = 13.673 mg
E. 38.852 + 0 + 0.044 + 0.072 + 0.135 + 0.194 = 13.673 mg

5. Persen disolusi (%)


A. 4.447 x 100 = 1.112 %
400
B. 7.205 x 100 = 1.801 %
400
C. 10.325 x 100 = 2.581 %
400
D. 13.673 x 100 = 3.418 %
400
E. 19.779 x 100 = 4.945 %
400

18

Anda mungkin juga menyukai

  • Anfisman Kulit
    Anfisman Kulit
    Dokumen63 halaman
    Anfisman Kulit
    Lia Tri Mariani
    Belum ada peringkat
  • Tahap I Kimor
    Tahap I Kimor
    Dokumen116 halaman
    Tahap I Kimor
    Lia Tri Mariani
    Belum ada peringkat
  • Tba 1-3
    Tba 1-3
    Dokumen17 halaman
    Tba 1-3
    Lia Tri Mariani
    Belum ada peringkat
  • GEL
    GEL
    Dokumen29 halaman
    GEL
    Lia Tri Mariani
    Belum ada peringkat
  • KULIT
    KULIT
    Dokumen29 halaman
    KULIT
    Lia Tri Mariani
    Belum ada peringkat
  • Makalah Biofarmasi
    Makalah Biofarmasi
    Dokumen25 halaman
    Makalah Biofarmasi
    Lia Tri Mariani
    Belum ada peringkat
  • Salep Kloramfenikol
    Salep Kloramfenikol
    Dokumen5 halaman
    Salep Kloramfenikol
    Lia Tri Mariani
    Belum ada peringkat
  • Lotion - As - Salisilat
    Lotion - As - Salisilat
    Dokumen5 halaman
    Lotion - As - Salisilat
    Lia Tri Mariani
    Belum ada peringkat