Anda di halaman 1dari 21

Puji Nurul Aeni

240210160054
Kelompok 2
IV. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN
Bahan hasil pertanian bersifat mudah rusak (perishable). Selama
pengolahan bahan pangan akan mengalami perubahan-perubahan baik secara
fisik, kimiawi maupun biokimiawi dengan adanya beberapa perlakuan. Secara
umum operasi pengolahan dapat dibedakan atas operasi praproses, proses dan
pasca proses. Pengupasan merupakan operasi pra-proses yang bertujuan untuk
memisahkan kulit dari bahan. Pengupasan merupakan kegiatan penting pada
penyiapan berbagai jenis sayuran dan buah-buahan yang akan diolah lebih lanjut.
Pengupasan harus dilakukan dengan sempurna karena mempengaruhi
kenampakan produk dan kebersihan bahan. Menurut Wills (1981),
pengupasan harus dilakukan seefisien mungkin agar kehilangan bahan
bersama kulitnya dapat ditekan serendah-rendahnya. Pengupasan dapat
dilakukan dengan dua cara, yaitu pengupasan dengan tangan dan pengupasan
dengan cara pengelupasan kulit (panas). Pengupasan dengan tangan terdiri
dari pengupasan dengan pisau stainless steel, pengupasan dengan peeler, dan
pengupasan dengan sabut cuci piring. Sedangkan pengupasan dengan cara
pengelupasan kulit (panas) terdiri dari pencelupan dalam air mendidih
dan pengelupasan dengan uap panas (Wills, 1981).
Produk pangan memerlukan perlakuan guna mempertahankan kesegaran
serta nilai gizi, salah satunya dengan pengolahan minimalis. Istilah minimalis ini
merujuk teknik penanganan pengawetan dan pengolahan yang sangat minimal
dengan tidak menerapkan teknik penanganan berefek kuat seperti sterilisasi atau
penggunaan bahan-bahan pengawet, melainkan hanya dengan penerapan
penyimpanan dingin, pengemasan yang termodifikasi, dan penanganan yang
higienis (Pardede, 2005). Pengolahan minimalis merupakan pengolahan yang
tidak menerapkan teknik penanganan yang memiliki pengaruh sangat besar atau
efek yang besar melainkan hanya dengan penerapan penyimpanan dingin
pengemasan yang termodifikasi dan penanganan higienis (Pardede, 2005).
Salah satu metode yang sering digunakan untuk memperpanjang umur
simpan dari suatu komoditas pangan adalah pemanfaatan energi panas. Tujuan
dari pemanfaatan panas ini adalah mengurangi kadar air pada bahan pangan dan
juga untuk membunuh mikroba yang ada pada bahan pangan tersebut.
Puji Nurul Aeni
240210160054
Kelompok 2
Penggunaan panas dalam proses pengolahan pangan pertama kali dilakukan oleh
ilmuwan Perancis bernama Nicolas Appert (1749- 1841). Ia menyatakan bahwa
peningkatan umur simpan berbagai komoditas pangan dapat dilakukan dengan
memanfaatkan energi panas.
Prinsip utama dari pengolahan dengan menggunakan suhu tinggi adalah
membunuh mikroorganisme dan menonaktifkan enzim. Suhu yang digunakan
tergantung dengan kebutuhan dan karakteristik bahan pangan. Semakin tinggi
suhu yang digunakan, makin singkat waktu pemanasan yang digunakan untuk
mematikan mikroba. (Buckle. et al, 1987). Panas yang digunakan juga akan
menginaktivasi enzim sehingga proses kerusakan dari sayur buah akan menjadi
lambat sehingga umur simpannya dapat menjadi lebih lama (Winarno, 1997).
Umur simpan menjadi lebih panjang karena aktivitas mikroba dan aktivitas
biokimia benar-benar terhenti pada proses pengolahan dengan suhu tinggi (apabila
digunakan suhu yang tepat), sehingga pangan menjadi lebih awet.
Proses thermal terbagi tiga yaitu blansing, pasteurisasi, dan sterilisasi.
Blansing yaitu perlakuan panas yang ringan dalam air mendidih (merebus) atau
uap air (pengukusan). Blansing dapat dilakukan dengan cara dikukus atau
menggunakan uap air. Pengukusan merupakan pemanasan yang biasa dilakukan
didandang yang telah menghasilkan atau mengeluarkan banyak uap air. Blansing
dengan cara pengukusan ini mempunyai waktu proses yang berkisar antara 2-4
menit pada suhu 98,5 ℃ - 100 ℃ dengan ukuran tipis atau kecil (Desroiser,
1989). Metode pasteurisasi adalah metode pemanasan dengan temperatur yang
tidak terlalu tinggi (sekitar 70- 100oC) dalam waktu yang singkat yaitu sekitar 10-
20 detik (Silva et al., 2014). Metode ini biasanya diaplikasikan pada produk
cairan seperti pada proses pasteurisasi susu, wine, dan bir. Pada proses
pasteurisasi, sel vegetatif sel mikroorganisme akan hancur namun tidak dengan
spora mikroorganisme tersebut. Hal ini terjadi karena spora mempunyai lapisan
pelindung yang akan hancur pertama kali pada saat terkena perlakuan seperti
pemberian panas ataupun pemeberian asam. Sterilisasi adalah proses termal untuk
mematikan semua mikroorganisme beserta sporanya dan dilakukan pada suhu
121oC selama 15 menit. Perlakuan pemanasan yang diterapkan pada pangan harus
Puji Nurul Aeni
240210160054
Kelompok 2
diperhitungkan untuk mencegah perlakuan berlebihan yang dapat merusak
komponen gizi dan menurunkan mutu sensori (Tjahjadi, 2008).
Praktikum kali ini dilakukan dua perlakuan pada sayur dan buah yaitu
pengolahan minimal dan pengolahan suhu tinggi sayur dan buah. Praktikum
pengolahan minimal dilakukan cara pengupasan sayur dan buah-buahan yaitu
pengupasan dengan tangan (manual), pengupasan kulit denhan panas dan
pengelupasan kulit dengan kaustik. Pengupasan merupakan proses pra-pengolahan
yang bertujuan untuk memisahkan bagian yang dapat dimakan (BDD) dengan
kulit dan bagian lainnya yang dibuang. Sampel yang digunakan pada praktikum
tersebut adalah kentang dan wortel. Sementara itu, pada praktikum pengolahan
sayur dan buah-buah suhu tinggi dilakukan pembuatan sayur atau buah dalam jar
dan pembuatan sari buah. Sampel yang digunakan adala nenas, wortel dan melon.
IV.1. Pengolahan Minimal
Pengolahan minimal yang dilakukan pada praktikum kali ini adalah
pengupasan sayur dan buah-buahan. Teknik pengupasan yang dilakukan yaitu,
manual (menggunakan pisau stainless steel, peeler dan sabut pencuci),
menggunakan panas (dengan air mendidih dan uap panas), serta menggunakan
larutan kaustik. Sampel yang digunakan adalah kentang dan wortel.
Praktikum pegupasan dengan cara manual diawali dengan sampel ditimbang
untuk mengetahui berat awal sampel sebelum dikupas. Kemudian dicuci untuk
menghilangkan kotoran dan tanah yang menempel pada kulit kentang. Proses
pengupasan seharusnya dilakukan setelah pencucian. Hal ini dimaksudkan
agar zat-zat gizi yang terkandung pada bahan pangan terutama vitamin larut
air tidak ikut terbuang saat pencucian. Setelah sampel dicuci, baru dilakukan
pengupasan, pengupasan pada sampel dilakukan 3 perlakukan yaitu pengupasan
dengan sabut cuci piring, pisau, dan peeler. Kemudian kentang ditimbang kembali
untuk mengetahui berat kentang sesudah dikupas dan diamati kenampakan,
rendemen dan waktu pengupasannya.
Praktikum selanjutnya merupakan praktikum pengupasan dengan panas.
Praktikum diawali dengan menimbang dan mencuci sampel dengan tujuan untuk
mengetahui berat awal tomat dan membersihkan tomat dari kotoran dan debu
yang menempel. Kemudian dilanjutkan dengan blansing kukus (memanfaatkan
Puji Nurul Aeni
240210160054
Kelompok 2
uap panas) atau blansing rebus (pencelupan dalam air mendidih) selama 10 menit.
Blansing dengan air mendidih atau rebus, bahan dimasukkan dalam saringan atau
wadah berlubang-lubang lalu dicelupkan ke dalam air mendidih. Airnya harus
mendidih karena pada suhu yang lebih rendah kulit tidak akan bisa mengelupas,
tetapi hanya akan menyebabkan pelunakan jaringan bahan. Blansing dengan
uap air, prinsip kerjanya sama seperti blansing air mendidih, hanya
pemanasan dilakukan dengan uap bertekanan. Agar perlakuan ini merata, produk
ini harus mengalami grading terlebih dahulu dan lama pengukusan disesuaikan
dengan kondisi bahan. Proses blansing termasuk ke dalam proses termal
dan umumnya membutuhkan suhu sekitar 75-95 oC. Tujuan dari blansing
adalah untuk melunakkan jaringan dari sampel sehingga mudah untuk dikupas.
Selain itu, blansing juga akan menonaktifkan enzim polifenoloksidase yang dapat
menyebabkan pencoklatan enzimatis. Setelah diblansing, sampel dimasukkan ke
dalam air dingin selama 3 menit. Hal ini dilakukan agar sampel tidak mengalami
pemasakan secara lebih lanjut. Kemudian kulit dikupas dan dicatat waktu
pengelupasan, lalu timbang kembali untuk mengatahui berat tomat setelah dikupas
dan amati kenampakan sampel setelah dikupas.
Praktikum terakhir yang dilakukan dalam pengolahan minimalis adalah
pengupasan sayur dan buah menggunakan kaustik. Hal pertama yang dilakukan
membuat larutan kaustik, untuk wortel dibuat larutan kaustik 4,5% dalam 500 ml
air, ditimbang 22,5 g NaOh lalu dilarutkan pada 500 ml air dalam panci email.
Sementara itu, untuk sampel kentang dibuat larutan kaustik 10% dalam 500 ml,
proses pembuatan sama dengan pembuatan larutan kaustik untuk wortel hanya
jumlah NaOH yang ditambahkan berbeda yaitu 50 g. Pengupasan dengan kaustik
biasa dilakukan untuk sayur dan buah-buahan yang berkulit tipis. Sampel dicuci
terlebih dahulu untuk menghilangkan kotoran yang masih menempel dan
dilakukan penimbangan untuk mengetahui berat awal sampel. Setelah itu, sampel
dimasukkan kedalam larutan kaustik yang sudah mendidih, untuk sampel wortel
dimasukkan selama 1,5 menit dan sampel kentang selama 5 menit. Lama
perendaman dan besarnya konsetrasi dari larutan kaustik yang digunakan
tergantung dari jenis dan kualitas bahan. Sampel wortel direndam dan
menggunakan larutan kaustik lebih sedikit karena kuli wortel lebih tipis dan lebih
Puji Nurul Aeni
240210160054
Kelompok 2
mudah dikupas. Setelah sampel direndam dalam larutan kaustik, sampel disiram
dengan air dingin. Peniyiraman dengan air dingin bertujuan untuk mempermudah
pengupasan dan memberhentikan proses pemasakan yang terjadi. Sampel
kemudian dikupas dan dihitung lama waktu pengupasan, kemudian ditimbang
berat akhir untuk mengetahui rendemen yang tersisa dan diamati kenampakannya.
Berikut ini merupakan hasil pengamatan pada pengupasan wortel dan kentang
dengan berbagai perlakuan.
Tabel 1. Pengupasan wortel dan kentang dengan berbagai perlakuan
Perlakuan Sampel Wo W1 Rendeme Waktu Penampaka
(g) (g) n pengupasan n
Pengupasan 18
Kentang 218 7’ 9”
dengan pisau 8
Wortel 14 12
Pengupasan 16
dengan Kentang 196 9’ 13”
6
peeler
Wortel 18 16 2’ 13”
Pengupasan 19
dengan sabut Kentang 202 96% 11’ 22”
4
pencuci
Wortel 12 10 83% 2’ 3”
Pengupasan 18
dengar air Kentang 206 90% 6’ 51”
6
mendidih
Wortel 18 18 100% 1’ 37”
Pengupasan 16 6 menit 10
dengan uap Kentang 172 93%
0 detik Tidak rata,
panas keras
4 menit 22
Wortel 36 32 88%
detik
Pengupasan
20 2 menit 15
dengan Kentang 240 85%
4 detik Warna lebih
larutan
pekat
kaustik
Lembek
Wortel 46 26 56% 54 detik

(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2019)


Berdasarkan hasil pengamatan pengupasan dengan manual yang memiliki
hasil akhir lebih baik adalah pengupasan dengan menggunakan pisau stainlees
steel. Kemudian diikuti dengan pengupasan dengan peeler dan yang memiliki
kenampakan paling tidak baik adalah pengupasan kentang dengan sabut cuci
piring. Pengupasan menggunakan sabut cuci piring akan memberikan
Puji Nurul Aeni
240210160054
Kelompok 2
kenampakan kecoklatan dan permukaan kentang menjadi kasar. Hal ini
disebabkan pengupasan dengan cuci piring lebih lama sehingga kentang
mengalami pencoklatan karena udara. Menurut Tranggono, (1989) buah atau
sayuran akan menjadi coklat apabila kontak dengan udara, yang berarti akan
menambah jumlah oksigen yang sebenarnya secara alami sudah ada dalam bahan
tersebut. Permukaan yang kasar juga disebabkan karena kentang digesek
menggunakan sabut cuci piring yang kasar sehingga kulit terkelupas tetapi bagian
dalam kentang menjadi kasar. Pengupasan dengan menggunakan sabut jarang
dilakukan, biasanya pengupasan dengan menggunakan sabut dilakukan pada
bahan pangan yang memiliki permukaan tipis, namun tidak terlalu tipis agar
tidak mengoyak permukaan lebih luas. Perubahan warna juga terjadi dari hasil
setelah pengupasan, yaitu menghasilkan warna yang tidak secerah kondisi awal.
Pengupasan dengan pisau stainless steel memiliki kenampakan yang lebih baik
dimana warna sampel mejadi lebih cerah. Stainles steel merupakan logam
campuran antara Fe, Al dan Zn yang mempunyai sifat tidak mudah berkarat.
Senyawa Al dan Zn bersifat melapisi dan melindungi besi dari proses oksidasi
dengan oksigen dan reaksi dengan air. Pisau stainless steel adalah jenis pisau besi
yang dilapisi baja tahan asam dan basa sehingga tidak mudah berkarat karena
tidak mudah mengalami oksidasi. Hal ini dapat terjadi karena lapisan pisau
stainless steel bersifat inert. Penggunaan peeler dan pisau stainless steel ini sangat
mudah, sehingga dapat mempercepat dalam pengupasan kentang, namun dengan
menggunakan peeler dan pisau ini kurang efisien karena karena mengalami
penurunan BDD dibawah 90%. Hal tersebut bisa terjadi karena orang yang
mengupas kentang terlalu tebal dalam mengupas, sehingga ada bagian yang bisa
dimakan namun ikut terkelupas (Kader, 1992). Selain itu, keahlian seorang
pengupas juga mempengaruhi bagaimana kenampakan kentang setelah dikupas.
Sementara itu, berdasakan hasil pengamatan pengupasan dengan panas
(blansing) membuat terjadinya perubahan pada kenampakan pada sampel. Warna
sampel hasil blansing lebih terang dibandingkan karakteristik awalnya dan
teksturnya menjadi lebih lunak. Hal ini terjadi karena dampak dari blansing
terhadap sifat-sifat inderawi adalah dapat merubah tekstur menjadi lunak, warna
menjadi lebih terang. Waktu pengupasan sampel dengan cara blansing rebus lebih
Puji Nurul Aeni
240210160054
Kelompok 2
cepat daripada kukus yang direbus karena penetrasi panas lebih cepat terjadi pada
medium cair. Blansing dengan menggunakan medium air memungkinkan
kehilangan komponen-komponen larut air dari bahan lebih besar jika
dibandingkan dengan menggunakan uap air. Itulah yang menyebabkan bahan
pangan dengan perlakuan blansing rebus mengalami perubahan yang lebih besar
dibanding dengan perlakuan blansing kukus sehingga waktu pengupasannya juga
dapat mempengaruhi. Pengupasan sampel dengan blansing kukus membutuhkan
waktu yang lebih lama. Hal tersebut dapat terjadi karena bahan tidak mengalami
kontak langsung dengan air mendidih melainkan hanya dengan uap panas. Bahan
akan mengalami pelunakan jaringan sebagian akibat air yang digunakan kurang
mendidih, sehingga massanya menjadi berkurang (Winarno, 2004). Perlakuan
sebelum pengupasan dengan panas berdasarkan hasil pengamatan menujukan
waktu pengupasan yang lebih cepat dibandingkan dengan pengupasan manual.
Hal tersebut dapat terjadi karena kulit wortel dan kentang mudah terkelupas
apabila terkena panas. Protopektin merupakan istilah senyawa-senyawa pektin
yang tidak larut,yang banyak terdapat pada jaringan tanaman yang masih muda.
Bila jaringan-jaringan tanaman ini dipanaskan di dalam air yang juga
mengandung basa maka protopektin dapat diubah menjadi pectin yang dapat
terdispersi oleh air, sehingga jaringan-jaringan tanaman itu menjadi lunak, empuk
dan kulitnya mudah terkelupas (Winarno, 2004).
Berdasarkan hasil pengamatan praktikum, sampel kentang dan wortel
proses pengupasan yang paling mudah dan cepat adlahpenguasan dengan adanya
perlakuan pendahuluan menggunakan larutan kaustik. Pengupasan dengan
penggunaan larutan kaustik ini memang lebih mudah dibandingkan dengan
pengupasan dengan panas lainnya, namun penggunaan larutan kaustik ini sedikit
berbahaya dan diperlukan kehati-hatian yang lebih dibandingkan dengan metode
lainnya. Larutan kaustik istilah yang digunakan untukbasa kuat, soda kaustik yang
digunakan pada praktikum ini adalah NaOH 10%. NaOH akan melepaskan panas
ketika dilarutkan, dan menimbulkan bau yang tidak baik jika terhirup oleh alat
pernafasan manusia. Selain itu, pengupasan dengan larutan kaustik juga
menyebabkan adanya perubahan kenampakan dimana warna sampel lebih pekat
dan teksturnya menjadi lembek, serta BDD atau rendemen yang dihasilkan akan
Puji Nurul Aeni
240210160054
Kelompok 2
lebih kecil apabila dibandingkan dengan sampel yang dikupas dengan perlakuan
pendahuluan menggunakan panas.
IV.2. Pengolahan Menggunakan Suhu Tinggi
Pengolahan suhu tinggi yang dilakukan pada praktikum kali ini adalah pembuatan
nenas dan wortel dalam jar kaleng dan pembuatan sari buah. Sampel untuk
pembuatan sari buah adalah buah melon.
IV.2.1. Pembuatan Nenas dalam Jar
Buah-buahan mempunyai arti penting sebagai sumber vitamin, mineral
dan zat-zat lain dalam menunjang kecukupan gizi, tetapi buah-buahan segar
termasuk komoditi yang tidak tahan lama. Daya tahan buah-buahan tergantung
pada jenis buah dan perlakuan lepas panen yang diberikan. Pengolahan buah-
buahan penting dilakukan karena sifatnya yang mudah rusak dan musiman
sehingga perlu dilakukan pengawetan untuk memperpanjang masa simpan. Bahan
pengawet adalah bahan kimia yang dapat membantu memertahankan bahan
pangan dari serangan mikroorganisme pembusuk, baik bakteri, kapang maupun
khamir dengan cara menghambat, mencegah, dan menghentikan proses
pembusukan, pengasaman, atau kerusakan komponen lain dari bahan pangan.
Daya penggawet dari bahan-bahan tersebut sangat tergantung dari konsentrasi,
komposisi bahan pangan, dan jenis mikroorganisme yang akan dicegah
pertumbuhannya (Tjahjadi, C., dkk, 2008).
Nenas segar memiliki umur simpan pendek, yakni hanya 4-6 hari. Jika ada
luka atau memar, nenas yang disimpan pada suhu ruang akan terfermentasi dan
segera membusuk. Hal ini mengakibatkan distribusi nenas segar ke berbagai
penjuru dunia menjadi terbatas, sehingga yang lebih banyak beredar adalah nenas
olahan. Nanas kaleng merupakan sebuah produk yang dibuat dengan bahan buah
nanas segar dan dicampur dengan larutan sirup sehingga menghasilkan rasa manis
asam.
Tahap pembuatan nanas dalam kaleng, pertama nanas dicuci hingga bersih
yang bertujuan untuk menghilangkan kotoran serta getah yang menempel pada
daging. Selanjutnya nanas dipotong menjadi ukuran yang lebih kecil dan
dimasukkan kedalam jar atau botol kaca agar tidak pecah selama sterilisasi.
Pengecilan ukuran juga bertujuan untuk mempermudah penetrasi panas. Jika
Puji Nurul Aeni
240210160054
Kelompok 2
pemotongan dilakukan dengan sembarangan, maka akan mengakibatkan
diskolorisasi, yaitu timbulnya warna yang gelap atau hilangnya warna asli
maupun pemucatan warna. Selanjutnya ditambahkan sirup gula bertujuan untuk
mempermudah dan mempercepat tekanan osmosis dalam bahan dan juga dapat
digunakan sebagai pengawetan. Menurut Pujimulyani (2009) Tujuan dilakukan
penambahan larutan pengisi adalah menambah flavor, mengisi sela-sela kaleng
dan mempercepat penetrasi panas. Pengisian larutan harus diperhatikan dengan
adanya pemberian headspace. Pemberian headspace bertujuan untuk memberikan
ruang bagi larutan untuk menguap, sehingga saat dilakukan sterilisasi jar tidak
pecah dan penutup tidak menggembung. Menurut Tjahjadi (2008), head space
berfungsi sebagai ruang cadangan untuk pengembangan produk selama sterilisasi
agar tekanan dalam wadah tidak berlebihan.
Tahap selanjutnya adalah jar yang telah diisi dengan buah nanas dan
larutan gula kemudian dilakukan proses exhausting. Exhausting merupakan proses
pemanasan bahan yang sudah dikemas dengan kaleng dan dilakukan sebelum
proses penutupan kemasan yang bertujuan untuk mengurangi atau menghilangkan
gas udara yang ada pada bahan yang telah dikemas karena udara merupakan
sumber kontaminasi. Menurut Muchtadi (1994), penghampaan udara (exhausting)
adalah proses pengeluaran sebagian besar oksigen dan gas-gas lain dari dalam
wadah agar tidak bereaksi dengan produk sehingga dapat mempengaruhi mutu,
nilai gizi, dan umur simpan produk kalengan. Exhausting juga dilakukan untuk
memberikan ruang bagi pengembangan produk selama proses sterilisasi sehingga
kerusakan wadah akibat tekanan dapat dihindari dan untuk meningkatkan suhu
produk di dalam wadah sampai mencapai suhu awal (initial temperature). Tujuan
dari exhausting adalah menghilangkan udara sehingga tekanan didalam kaleng
setelah perlakuan panas dan pendinginan sehingga tekanan didalam kaleng lebih
rendah dari pada tekanan atmosfer. Kondisi vakum menjaga tutup kaleng tertutup
sehingga mengurangi tingkat oksigen dalam head space. Hal ini juga akan
memperpanjang umur simpan dari produk makanan dan mencegah
penggembungan kaleng pada daerah yang tinggi. Pengurangan jumlah udar
bertujuan mengurangi oksigen dan kesempatan oksidasi dari bahan.
Puji Nurul Aeni
240210160054
Kelompok 2
Tahap yang terakhir adalah proses sterilisasi dan pendinginan. Sterilisasi
adalah proses termal untuk mematikan semua mikroba beserta spora-sporanya.
Spora-spora bersifat tahan panas, maka umumnya diperlukan pemanasan selama
15 menit pada suhu 121oC atau ekivalennya, artinya semua partikel bahan pangan
tersebut harus mengalami perlakuan panas. Sterilisasi tidak hanya bertujuan untuk
menghancurkan mikroba pembusuk dan patogen, tetapi juga berguna untuk
membuat produk menjadi cukup masak, yaitu dilihat dari penampilannya,
teksturnya, dan citarasa sesuai yang diinginkan. Oleh karena itu, proses
pemanasan ini harus dilakukan pada suhu yang cukup tinggi untuk
menghancurkan mikroba, tetapi tidak boleh terlalutinggi sehingga membuat
produk menjadi terlalu masak. Pendinginan dilakukan sampai suhu ruangan,
maksudnya agar air yang menempel pada dinding wadah cepat menguap, sehingga
terjadinya karat dapat dicegah. Setelah pendinginan nanas dalam didiamkan
selama saru mingggu kemudian dilakukan pengamatan terhadap warna, kekerasan
dan pH. Berikut ini marupakan hasil pengamatan pembuatan nanas dalam jar.
Tabel 2. Hasil Pengamatan Nenas dalam Jar
Sampe Perlakuan kekerasan pH Warna
l sebelum setelah sebelum setelah Sebelum Setelah
Nanas +Sirup Agak Lunak 4,42 4,04 kuning Kuning+
gula 40% lunak
+sirup gula Agak Agak 4,16 4,09 Kuning Kuning+
60% lunak Lunak cerah
(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2019)
Berdasarkan hasil pengamatan pada tabel 2. nanas dalam jar atau nanas
yang telah melewati pengawetan suhu tinggi tidak banyak mengalami perubahan
setelah disimpan selama 1 minggu. Hal tersebut menujukan proses pengawetan
dengan suhu tinggi ditambah penggunaan gula efektif dilakukan untuk
memperpanjang umur simpan, karena nanas segar apabila disimpan dalam suhu
ruang hanya tahan 4-6 hari sudah mengalami pembusukan. Penyimpanan selama
satu minggu tetap akan menyebabkan terjadi perubahan pada nanas terutama
perubahan yang terlihat adalah pH semakin asam. Penurunan pH tersebut
disebabkan oleh Nanas banyak mengandung senyawa asam sitrat yang
menyebabkan rasa asam pada buah. Menurut Caesarita (2011) bahwa semakin
lama penyimpanan nanas maka pH yang dihasilkan semakin asam. Nilai pH
Puji Nurul Aeni
240210160054
Kelompok 2
menjadi faktor penentu kestabilan dari produk yang dibuat. Perubahan nilai pH
selama penyimpanan dapat menandakan adanya reaksi atau kerusakan komponen
penyusun didalam sediaan tersebut sehingga dapat menurunkan atau menaikkan
nilai pH sediaan tersebut, dimana perubahan nilai pH akan mempengaruhi efek
yang diberikan oleh sediaan tersebut ketika diaplikasikan. Perubahan pH larutan
selama penyimpanan juga menandakan kurang stabilnya sediaan selama
penyimpanan. Ketidak stabilan ini dapat merusak produk selama penyimpanan
atau penggunaan. Perubahan nilai pH akan terpengaruh oleh media yang
terdekomposisi oleh suhu tinggi saat pembuatan atau penyimpanan yang
menghasilkan asam atau basa. Asam atau basa ini yang mempengaruhi pH. Selain
itu perubahan pH juga disebabkan faktor lingkungan seperti suhu, penyimpanan
yang kurang baik, kombinasi ke tiga ekstrak yang kurang stabil dalam sediaan
karena teroksidasi (Young et al., 2002).
Berdasarkan hasil pengamatan yang diperoleh nanas yang ditambah sirup
gula lebih tinggi (60%) dibandingkan sirup gula yang lebih rendah (40%)
menunjukan hasil yang lebih baik, dimana perubahan yang terjadi lebih sedikit.
Penurunan ph lebih kecil dan perubahan tekstur lebih tidak terlihat. Hal tersebut
terjadi karena penggulaan merupakan proses pengolahan dan pengawetan
menggunakan gula pada konsentrasi tinggi. Gula tersebut berfungsi untuk
memberi rasa pada produk dan mengawetkan produk dengan menghambat bakteri
yang menyebabkan pembusukan. Penambahan gula selain untuk memberikan rasa
manis, juga berfungsi dan terlibat dalam pengawetan. Apabila gula ditambahkan
ke dalam bahan pangan dalam konsentrasi yang tinggi (paling sedikit 40%
padatan terlarut), maka sebagian air yang ada terikat oleh gula sehingga menjadi
tidak tersedia untuk pertumbuhan mikroorganisme dan aktivitas air (aw) dari
bahan pangan berkurang. Padahal mikroorganisme memiliki kebutuhan aw
minimum untuk pertumbuhannya. Kemampuan gula untuk mengikat air itulah
yang menyebabkan gula dapat berfungsi sebagai pengawet. Oleh karena itu,
penambahan konsentrasi gula yang lebih tinggi akan menyebabkan nanas menjadi
lebih awet, tetapi apabila terlalu tinggi juga akan menyebabkan terjadinya
perubahan lain seperti organoleptik.
IV.2.2. Pembuatan Wortel dalam Jar
Puji Nurul Aeni
240210160054
Kelompok 2
Pengolahan sayuran penting dilakukan karena sifatnya yang mudah rusak
sehingga perlu dilakukan pengawetan untuk memperpanjang masa simpan. Bahan
pengawet adalah bahan kimia yang dapat membantu memertahankan bahan
pangan dari serangan mikroorganisme pembusuk, baik bakteri, kapang maupun
khamir dengan cara menghambat, mencegah, dan menghentikan proses
pembusukan, pengasaman, atau kerusakan komponen lain dari bahan pangan.
Daya penggawet dari bahan-bahan tersebut sangat tergantung dari konsentrasi,
komposisi bahan pangan, dan jenis mikroorganisme yang akan dicegah
pertumbuhannya (Tjahjadi, C., dkk, 2008).
Pembuatan wortel dalam jar memiliki tahapan yang hampir sama dengan
pembuatan nanas dalam jar hanya penambahan larutannya saja yang berbeda.
Pada pembuatan wortel dalam jar larutan yang ditambahkan merupakan larutan
garam. Tahap pembuatan wortel dalam jar, pertama wortel di trimming terlebih
dahulu dan dicuci hingga bersih, lalu di potong menjadi ukuran yang lebih kecil.
Selanjutnya di blansing pada potongan wortel . Blansing adalah perlakuan
pemanasan pendahuluan yang umumnya diberikan pada sayuran dalam air
mendidih atau mendidih, untuk waktu yang singkat. Waktu blansing sangat
penting untuk diperhatikan sesuai jenis sayur dan ukurannya, sayuran dan buah
yang terlalu lama di blansing akan menyebabkan hilangnya aroma, rasa, warna
dan nilai gizi didalamnya, sehingga waktu blansing yang digunakan hanya 3-4
menit. Tujuan dari blansing adalah untuk melunakkan jaringan wortel,
mempertahankan intensitas warna, dan menonaktifkan enzim polifenolase yang
dapat menyebabkan pencoklatan. Setelah diblansing wortel direndam ke dalam air
dingin agar tidak terlalu overcooked. Menurut Tjahjadi dan Marta (2008) bahwa
jika perlakuan panas yang berlebihan maka sayuran menjadi terlalu lunak karena
overcooked.
Wortel yang sudah di blansing lalu dimasukkan ke dalam kaleng / jar dan
ditambahkan larutan garam 2% pada satu perlakuan, serta tanpa garam pada
perlakuan lain. Pengisian larutan harus diperhatikan dengan adanya pemebrian
headspace. Penambahan larutan garam sebagai larutan media yang bertujuan
sebagai pengawet wortel dalam kaleng karena garam dapat meng-osmosis
mikroba sehingga mikroba tidak dapat hidup. Garam dipergunakan manusia
Puji Nurul Aeni
240210160054
Kelompok 2
sebagai salah satu metode pengawetan pangan. Garam akan berperan sebagai
penghambat selektif pada mikroorganisme pencemar tetentu. Garam juga
mempengaruhi aktivitas air (aw) dari bahan, jadi mengendalikan pertumbuhan
mikroorganisme dengan suatu metode yang bebas dari pengaruh racunnya (Buckle
et al., 2009). Garam dapur merupakan racun untuk jasad renik. Mikroba perusak
yang terdapat dalam buah menjadi mati bila ditambahkan garam. Pemakaian
garam dapat dengan cara perendaman dalam larutan garam, pemberian langsung
lantas diaduk atau dengan pelumuran. Garam yang digunakan adalah garam dapur
biasa atau NaCl (Natrium Clorida) (Satuhu, 1994).
Kaleng yang telah selesai diisi, dilakukan proses exhausting untuk
menghilangkan udara pada kaleng. Proses exhausting dilakukan dengan
melewatkan kaleng ke dalam kotak uap (exhauster) pada suhu 80 oC selama 5
menit. Tujuan proses ini antara lain untuk mencegah adanya oksigen yang bisa
memicu korosi pada kaleng dan menstimulus oksidasi pada pangan, serta untuk
mengurangi kemungkinan destruksi vitamin C dan untuk menciptakan kondisi
vakum saat kaleng didinginkan (FAO 1995). Produk kaleng yang telah di
exhausting, selanjutnya dilakukan sterilisasi pada suhu 116oC selama 35 menit.
Tahapan berikutnya adalah proses cooling terhadap sampel sayur kaleng hingga
mencapai suhu ruang. Setelah itu wortel dalam jar didiamkan selama satu minggu,
kemudian diamati perubahan tekstur, warna dan pH. Berikut ini merupakan hasil
pengamatan dari pembuatan wortel dalam jar.
Tabel 3. Hasil Pengamatan Wortel dalam Jar
Sampe Perlakua Kekerasan pH Warna
l n Sebelu Setela Sebelu Setela Sebelu Setela
m h m h m h
Wortel +Air Keras Sangat 7.32 5,69 Orange Orange
Sedikit lunak Pudar cerah
Lunak
+Larutan Keras Lunak 6.66 5.15 Orange Orange
Garam Sedikit +++++ Pudar +++++
2% Lunak
(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2019)
Berdarkan hasil pengamatan menunjukan penyimpanan selama 1 minggu
menyebabkan terjadinya perubahan pada sampel, tetapi proses pengawetan
dengan suhu tinggi dan penambahan garam dapat memperpanjang umur simpan
Puji Nurul Aeni
240210160054
Kelompok 2
karena setelah 1 minggu penyimpanan, wortel tidak mengalami pembusukan.
Berdasarkan hasil pengamatan warna dari wortel mengalami perubahan akibat
perlakuan suhu tinggi. Hal ini dikarenakan pigmen warnanya keluar dan bahan
kehilangan komponen yang bersifat larut dalam air danpeka terhadap panas
seperti klorofil. Sebagian terdapat warna yang memudar yang disebabkan karena
pigmen larut dalam air yang digunakan selama proses blansing rebus. Warna
wortel yang telah diblansing mengalami peningkatan warna. Hal ini disebabkan
karena kristal pigmen karotenoida yang terkandung larut dalam butiran-butiran
minyak dalam sel saat proses blansing. Setelah dilakukan penyimpanan selama 7
hari, warna dari beberapa sampel wortel yang ditambah garam semakin pekat
(semakin orange). Hal ini membuktikan bahwa penambahan larutan garam dapat
mempertahankan warna dari bahan pangan. Sedangkan pada sampel tanpa
penambahan larutan garam mengalami perubahan warna.
Menurut Tjahjadi dan Marta (2008) bahwa jika perlakuan panas yang
berlebihan maka sayuran menjadi terlalu lunak karena overcooked. Blansing juga
menyebabkan pelenturan jaringan, dimana saat perebusan sampel akan lebih
banyak menyerap air daripada pengukusan sehingga tekstur pada sampel yang
direbus menjadi lebih lunak. Sehingga pada kedua sampel wortel mengalami
penurunan tekstur menjadi lebih lunak. Ditinjau dari pH, wortel memiliki pH
yang lebih tinggi dari pada nanas. pH wortel tidak asam sehingga wortel yang
diuji memiliki pH rata-rata diatas 6. Berdasarkan pengamatan semua sampel
wortel yang telah disimpan selama 7 hari mengalami penurunan pH. Nilai pH
menjadi faktor penentu kestabilan dari produk yang dibuat. Perubahan nilai pH
selama penyimpanan dapat menandakan adanya reaksi atau kerusakan komponen
penyusun didalam sediaan tersebut sehingga dapat menurunkan atau menaikkan
nilai pH sediaan tersebut, dimanan perubahan nilai pH akan mempengaruhi efek
yang diberikan oleh sediaan tersebut ketika diaplikasikan. Perubahan pH larutan
selama penyimpanan juga menandakan kurang stabilnya sediaan selama
penyimpanan. Ketidak stabilan ini dapat merusak produk selama penyimpanan
atau penggunaan. Perubahan nilai pH akan terpengaruh oleh media yang
terdekomposisi oleh suhu tinggi saat pembuatan atau penyimpanan yang
menghasilkan asam atau basa. Asam atau basa ini yang mempengaruhi pH. Selain
Puji Nurul Aeni
240210160054
Kelompok 2
itu perubahan pH juga disebabkan faktor lingkungan seperti suhu, penyimpanan
yang kurang baik, kombinasi ke tiga ekstrak yang kurang stabil dalam sediaan
karena teroksidasi (Young et al., 2002).
IV.2.3. Pembuatan Sari Buah Melon
Sari buah merupakan hasil pengepresan atau hasil ekstraksi buah yang
sudah disaring. Sari buah adalah cairan yang diperoleh dari bagianbuah yang
dapat dimakan yang dicuci, dihancurkan, dijernihkan (jika dibutuhkan), dengan
atau tanpa pasteurisasi dan dikemas untuk dapat dikonsumsi langsung (BPOM,
2006). Pembuatan sari buah utamanya bertujuan untuk meningkatkan ketahanan
simpan serta diversifikasi produk buah-buahan. Sari buah pada umumnya dibuat
dengan cara menghancurkan daging buah dan kemudian ditekan (pressing) untuk
memperoleh sarinya. Gula ditambahkan pada proses pembuatan sebagai pemanis
sari buah. Pengawet biasanya ditambahkan untuk memperpanjang daya simpan
pada sari buah, selanjutnya cairan tersebut disaring, dibotolkan, dan dipasteurisasi
agar daya simpan pada sari buah semakin lama (BPOM, 2006).
Tahap pertama pembuatan sari buah melon adalah melon dikupas, dicuci
dan dipotong. Pencucian dan sampel buah melon dan dipotong yang bertujuan
untuk memudahkan pencampuran dalam blender. Pengupasan dilakukan dengan
pisau stainless steel agar apel tidak mudah mengalami pencoklatan jika
menggunakan pisau besi. Setelah di potong sampel dihancurkan menggunakan
blender dengan perbandingan 1:2, kemudian disaring yang bertujuan untuk
menghilangkan serat-serat dari buah agar. Tujuan dari penghancuran ini untuk
menghasilkan bubur buah. Hasil dari penyaringan ini adalah sari buah murni
sehingga memiliki kenampakan yang masih keruh. Tahap selanjutnya dilakukan
pengendapan untuk memisahkan endapan dan sari buah jernih. Pengendapan
dilakukan kurang lebih 15 menit hingga terbentuk endapan. Bagian sari buah yang
jernih diambil dengan perlahan dan kemudian ditambahkan gula. Penambahan
gula pada sari buah bertujuan untuk memberikan rasa manis pada sari buah
(Nicol, 1982). Sari buah kemudian diaduk agar gula larut dan tercampur dengan
rata. Gula yang ditambahkan untuk menambahkan rasa manis dan juga sebagai
pengawet sehingga memperpanjang daya simpan sari buah. Selain penambahan
gula juga ditambahkan asam yaitu asam sitrat pada satu perlakuan dan lemon pada
Puji Nurul Aeni
240210160054
Kelompok 2
perlakuan lainnya, penambahan asam dilakukan hingga mencapai pH 4 bertujuan
untuk menciptakan rasa asam segar yang disukai oleh konsumen dan juga untuk
mempercepat proses sterilisasi karena mikroorganisme mudah di reduksi pada
bahan yang bersifat asam. pH dari sari buah minimal 4 dikarenakan, sari buah
dengan pH 4 kebawah memiliki daya simpan lebih lama karena pada kondisi
tersebut mikroorganisme tidak dapat berkembang sehingga diberikan batas
minimal pH 4. Pemberian hingga asam yang ditentukan dimaksudkan agar sari
buah dapat memiliki daya simpan lebih lama karena mikroorganisme
dimungkinkan tidak dapat hidup pada pH tersebut (Andi, 2016). Menurut Santoso
(2000), fungsi penambahan asam sitrat adalah memberikan rasa dan aroma yang
khas , meningkatkan flavor, memperpanjang umur simpan, dan mencapai pH yang
diinginkan. Setelah diberi penambahan asam, sari buah kemudian dilakuakan
pemanasan selama 15-20 menit dengan suhu 90oC guna menghasilkan warna yang
lebih baik, setelah dilakukan pemanasan sari buah dituang ke dalam botol dengan
menyisakan head space. Setelah itu sampel disimpan selama satu minggu dan
diamati perubahan warna, aroma, rasa, rendemen dan perubahan lainnya. Berikut
merupakan hasil pengamatan dari pembuatan sari buah melon.
Tabel 4. Pembuatan Sari Buah Melon
Rendeme
Warna Rasa Aroma pH
Samp Perlak n
el uan Set Se Se
Seb. Set. Seb. Set. Seb. Set. Seb.
. b t
Kunin Asam
Manis Mani Khas
+Lemo Hijau g Khas 84.6 6.8 3.9
Keasa s, Lem -
n Pudar Homo Lemo % 0 5
m-an asam on
g-en n
Melon
Hijau Asa
Manis Khas
+Asam Pudar m+ Asam 82,5 6.9 3.0
Keruh Keasa Melo -
Sitrat Kuni +, ++ % 8 2
m-an n
ng Pahit
(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2019)
Berdasarkan hasil pengamatan, rata – rata warma yang dihasilkan adalah
hijau hingga kuning yang setelah disimpan selama satu minggu mengalami
perubahan menjadi kuning dan keruh. Pada sampel dengan penambahan asam
sitrat aroma yang dihasilkan adalah khas melon, yang sesuai menurut SNI 01-
3719-1995 minuman sari buah beraroma khas dan pada hari ke-7 khas sari buah
apel berkurang dan tercium asam. Hal ini disebabkan pembentukan volatile yang
Puji Nurul Aeni
240210160054
Kelompok 2
banya menguap selama proses sterilisasi dan aroma asam dihasilkan dari asam
sitrat yang ditambahkan semakin lama penyimpanan maka tingkat keasaman akan
semakin aroma lebih tercium. Penambahan asam sitrat pada pembuatan sari buah
bertujuan untuk mengasamkan larutan. Bila buah yang digunakan sangat asam
maka penambahan asam sitrat cukup 1-1,5g untuk tiap 1 sari buah yang
dihasilkan. Sementara itu, pada sari buah yang ditambahkan lemon aroma yang
dihasilkan sudah aroma asam khas lemon pada haripertama dan tidak mengalami
perubahan, hal tersebut menunjukan bahwa aroma khas lemon lebih mendominasi
dibandingkan aroma dari melon yang dijadikan sari buah. Menurut Cravelling
(1968), ester merupakan senyawa volatil pemberi aroma pada sebagian besar
buah-buahan.
Dilihat dari endapannya sari buah yang ditambahkan asam sitrat
mengalami pengendapan, sementara yang ditambahkan lemon tidak mengalami
pengendapan. Hal tersebut dapat terjadi karena dalam pembuatan sari buah tidak
ditambahkan CMA atau bahan penstabil agar tidak terdapat endapan. Penambahan
CMC atau bahan stabilizer dapat mencegah terjadinya endapan di dasar sari buah
karena apabila terkena panas stabilizer tersebut akan mengalami gelatinisasi dan
mengikat partikel-partikel padatan sehingga tetap melayang pada sari buah. Oleh
karena itu, dapat disimpulkan selain berfungsi sebagai pengasam lemon juga dapat
berfungsi sebagai penstabil.
Rasa sari buah melon adalah manis dan ada yang memiliki rasa sedikit
asam. Rasa suatu bahan pangan dapat berasal dari bahan pangan itu sendiri dan
apabila telah mendapat perlakuan dan pengolahan, maka rasanya dipengaruhi oleh
bahan yang ditambahkan selama pengolahan (Kumalaningsih et al., 2005).
Pembuatan sari buah kali ini sudah hampir memenuhi standar sari buah menurut
SNI karena memiliki kenampakan dan rasa yang normal. Kejernihan dari sari
buah adalah sangat jernih. Standar sari buah dengan kualitas baik terdapat dalam
SNI 01-3719-1995 dengan karakteristik warna, aroma, dan rasa harus normal khas
buah.
Puji Nurul Aeni
240210160054
Kelompok 2
V. KESIMPULAN
Kesimpulan yang diperoleh dari praktikum pengolahan minimal dan
pengolahan menggunakan suhu tinggi pada sayur dan buah-buahan kali ini, yaitu:
 Proses perlakuan sebeleum pengupasan seperti penggunaan panas dan
perendaman dengan larutan kaustik akan mempercepat proses pengupasan.
 Proses pengupasan dengan perendaman larutan kaustik menghasilkan waktu
pengupasan paling singkat dibandingkan perlakuan lain, tetapi menghasilkan
rendemen yang paling kecil, terjadi perubahan kenampakan dan culup
berbahaya.
 Pengupasan dengan panas memiliki waktu pengupasan lebih cepat
dibandingkan pengupasan manual dan lebih lama dibandingkan dengan
kaustik, tetapi kenampakan dan rendemen yang dihasilkan lebih baik apabila
dibandingkan dengan pengupasan dengan kaustik.
 Pengupasan dengan panan menggunakan air mendidih lebih cepat
dibandingkan menggunakan uap panas.
 Waktu pengupasan dengan menggunakan manual dipengaruhi oleh
keterampilan dari orang yang melakukan pengupasan.
 Pengupasan dengan serabut cuci, peeler, larutan kaustik dan panas lebih
cocok digunakan untuk sayur dan buah berkulittipis.
 Waktu pengupasan wortek lebih cepat dibandingkan kentang, karena
perbedaan ukuran dan ketebalan kulit.
 Proses pengolahan dengan suhu tinggi akan menambah umur simpan dari
saur dan buah-buahan.
 Semakin tinggi konsentrasi gula yang ditambahkan pada pembuatan nanas
dalam kaleng akan membuat perubahan selama penyimpanan semakin sedikit.
 Selama penyimpanan terdapat sedikit perubahan baik pada tekstur menjadi
lebih lunak, warna berubah, pH menurun pada pembuatan wortel dan nanas
dalam kaleng.
 Perlakuan penambahan garam pada pembuatan wortel dalam jar lebih baik
dibandingkan tanpa penambahan.
 Pembuatan sari buah dengan penambahan asam menggunakan lemon dan
asam sitrat terdapat perbedaan terutama pada aroma, rasa dan endapan. Pada
Puji Nurul Aeni
240210160054
Kelompok 2
sari buah dengan penambahan lemon aroma yang dihasilkan khas lemon dan
tidak berubah setelah penyimpanan, sementara aroma dengan penambahan
asam sitat adalah khas melon dan berubah asam setelah penyimpana. Sari
buah dengan penambahan asam sitrat terdapat endapan setelah penyimpanan,
sementara dengan penambahan lemon tidak. Rasa dari sari buah yang
ditambahkan lemon adalah manis keasaman dan tidak mengalami perubahan,
sementara yang ditambahkan asam sitrat terdapat perubahan rasa dari manis
keasaman menjadi asam cenderung pahit.
Puji Nurul Aeni
240210160054
Kelompok 2
DAFTAR PUSTAKA
[FAO] Food and Agricultural Organization of The United Nations. 1995. Fruitand
Vegetable Processing. http://www.fao.org/docrep/v5030E/v5030E0q.htm
di akses pada tanggaL 22 oktober 2019
Andi, S. 2016. Sari Buah dan Tahapan Proses Pembuatan. Available at
www.analisispangan.com (Diakses pada tanggal 22 Oktober 2019).
Badan Pengolahan Obat dan Makanan. 2006. Sari Buah. Jakarta.
Badan Standarisasi Nasional – BSN. 1995. Standar Nasional Indonesia Minuman
Sari Buah. SNI 01-3719-1995. Jakarta.
Buckle, K. A., Edward R. A., Fleet G. H., Souness R., dan Wotton M. 2009. Ilmu
Pangan. Penerjemah H. Purnomo dan Adiono. UI-Press, Jakarta.
Buckle, K.A.,R.A. Edwards, G.H. Fleet, M. Wootton. 1987. Ilmu Pangan.
Penerjemah: Hari Purnomo dan Andiono. Penerbit Universitas Indonesia
(UI-Press), Jakarta.
Caesarita, D.P. (2011). Pengaruh Ekstrak Buah Nanas (Ananas Comosus (L.)
Merr) 100% Terhadap Bakteri Staphylococcus aureus dari Pioderma,
Artikel Karya Tulis Ilmiah, Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro,
Semarang.
Cravelling. 1968. Pineapple Extract Volatile Component.Dalam: Tropical and
Subtropical Fruit. Naggy S, Shaw. Avi Publisihing Co Inc, Wesport
Connec-ticut
Desroisier, N.W. 1989. Teknologi Pengawetan pangan. Edisi ketiga. Penerjemah
Muljoharjo,M Universitas Indonesia (UI Press), Jakarta.
Estiasih, Tati. Kgs Ahmadi. 2009. Teknologi Pengolahan Pangan. Penerbit Bumi
Aksara, Jakarta
Kartasapoetra, A. G. 1994. Teknologi Penanganan Pasca Panen. PT. Rineka
Cipta, Jakarta.
Koswara, Sutrisno. 2009. Teknologi Pengolahan Sayuran dan Buah-
buahan. http://www.ebookpangan.com
Latifah. 2009. Pengaruh Edible Coating Pati Ubi Jalar Putih (Ipomoea batatas L.)
Terhadap Perubahan Warna Apel Potong Segar (Fresh-Cut Apple).
Skripsi. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi
Pertanian Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Puji Nurul Aeni
240210160054
Kelompok 2
Muchtadi D. 1994. Makanan Kaleng : Teknologi dan Pengawasan Mutu. Bogor:
Institut Pertanian Bogor.
Muchtadi, Tien R. Sugiyono. 2013. Prinsip dan Proses Teknologi Pangan.
Penerbit Alfabeta, Bandung.
Nicol, W. M., 1982. Sucrose, The Optimum Sweetener. Edited by G. G. Birch dan
K. J. Parker. Applied Science Publishers Ltd. London.
Pardede, E. 2005. Pasca Panen dalam Industri Pertanian, dalam Yustika, A.E.
Menjinakkan Liberalisme: Revitalisasi sektor pertanian dan kehutanan.
Pustaka Pelajar, Jogjakarta.
Praptiningsih, Y. 1999. Teknologi Pengolahan. Proyek DUE UNEJ, Jember.
Pujimulyani D. 2009. Teknologi Pengolahan Sayur-Sayuran dan Buah-
Buahan.Yogyakarta (ID): Graha Ilmu.
Saksono, Lukman. 1986. Pengantar Sanitasi Makanan. Bandung : PT. Alumni.
Santoso, B. 2000. Teknologi Tepat Guna Pembuatan Sari Buah. Penerbit
Kanisius, Yogyakarta.
Satuhu, S. 1994. Penanganan dan Pengolahan Buah. Penebar Swadaya, Jakarta.
Silva, F. V. M., Gibss, P. A. 2010. Non- Proteolytic Clostridium Botulinum
spores in low acid cold distributed foods and design of pasteurization
processes. Trends Food Science. Technol. 21: 95- 105
Tjahjadi, C. 2008. Teknologi Pengolahan Sayur dan Buah. Widya Padjadjaran.
Jatinangor.
Tranggono. 1989. Biokimia dan Teknologi Pasca Panen. Pusat Antar Universita –
Pangan dan Gizi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Wills, R.B.H., T.H. Lee, P. Graham, W.B. McGlasson and E.G. Hall, 1981. Post
Harvest : an Introduction to The Physiology and Handling of Fruit and
Vegetable. New South Wales University-Press, Australia..
Winarno, F. G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.
Winarno, F.G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT Gramedia
Young, Anne. 2002. Practical Cosmetic Science. 39-40, Mills and Boon Limited,
London.

Anda mungkin juga menyukai