Anda di halaman 1dari 45

PENENRAPAN MINUM AIR REBUSAN DAUN SALAM DALAM

MENURUNKAN NYERI PADA PENDERITA GOUT ARTHRITIS PADA


ASKEP GERONTIK

PROPOSAL PENELITIAN

OLEH :
Mohamad Noval. S
P00220217028

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN PALU


PROGRAM STUDI DIIIKEPERAWATAN POSO
TAHUN 2019
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Gout Arthitis atau yang sering orang awam katakan asam urat

merupakan pembentukan kristal pada persendian, akibat tingginya kadar

asam urat dalam darah. Asam urat merupakan sisa dari sel-sel tubuh yang

mati, sehigga sel-sel tubuh yang mati melepas purin.Dan asam urat

menumpuk di persendian yang membentuk garam urat (monosodium

urate). Penumpukan kristal tersebut mengakibatkan kerusakan pada daerah

persendian sehingga dapat menimbulkan nyeri. ( Siregar Munawaroh, dkk.

2018 )

Gout Arthitis merupakan penyakit yang ditandai dengan nyeri yang

terjadi berulang-ulang yang disebabkan adanya endapan kristal

monosodium urat yang terkumpul didalam sendi sebagai akibat dari

tingginya kadar asam urat di dalam darah. Kadar asam urat normal pada

pria berkisar 3,5-7 mg/dl dan pada perempuan 2,6-6 mg/dl. (Margowati Sri

& Priyanto Sigit. 2017 ).

Data World Heatlh Oraganization (2018), penderita Asam Urat

sekitar 1370, akan terus meningkat pada tahun 2020. Kejadian Asam
Urat akan terus meningkat pada Negara maju maupun Negara

berkembang (WHO, 2018).

Gout Arthitis banyak di derita oleh lansia berkaitan dengan proses

penuaan. Gejala utama yang di rasakan oleh penderita Gout Arthitis

adalah nyeri pada persendian yang di sebabkan oleh penumpukan kristal.

Nyeri merupakan mekanisme pertahanan tubuh manusia yang dapat

merasakan bahwa tubuh seseorang mengalami masalah.Penurunan

kemampuan musculoskeletal karena nyeri sendi dapat berdampak pada

penurunan aktivitas pada lansia. Aktivitas yang dimaksud antara lain

makan, minum, berjalan, mandi, buang air besar, dan buang air kecil.

( Ribka Seran, dkk. 2016 ).

Di Indonesia jumlah lanjut usia yaitu 18,1% jiwa. Pada tahun 2014,

jumlah penduduk lanjut usia di Indonesia menjadi 18, 781 juta jiwa dan

di perkirakan pada tahun 2025, jumlahnya mencapai 36 juta jiwa, jika

dilihat sebaran penduduk lansia menurut provinsi, presentase lansia

diatas 10% sekaligus paling tinggi ada di provinsi Jawa Timur (10,40%)

dan penderita Asam Urat di Indonesia sebanyak 11,9% (Ning Sri

Rahayu, 2016).

Hasil data Rikesdas tahun 2018, mengatakan bahwa preverensi

penyakit sendi pada lansia di Sulawesi Tengah sebanyak 7,72%.

Peningkatan kejadian Asam Urat disebabkan oleh berbagai faktor

resiko seperti faktor asupan purin, obesitas, dan penyakit penyerta

diantaranya hipertensi dan diabetes mellitus. Asupan purin adalah


mengkonsumsi makanan yang mengandung purin. Asupan purin dapat

mempengaruhi terjadinya Gout Arthtritis (Asam Urat) dan akan

bertambah berat apabila disertai dengan pola konsumsi yang tidak

seimbang. Adapun jenis-jenis makanan dengan kandungan purin tinggi

seperti jeroan, daging sapi, ikan sarden, daging bebek, ikan laut, kerang,

daging ayam, udang, kacang-kacangan, tempe, jamur, tapai dan tahun,

juga pada beberapa sayuran seperti kacang-kacangan, daun singkong,

kangkung, kembang kol, dan bayam (Dewi dan Asnita, 2016).

Salah satu intervensi Keperawatan yang di gunakan untuk

mengontrol nyeri dengan menggunakan pemberian air rebusan daun

salam yang dapat di lakukan seorang perawat secara mandiri dalam

menurunkan skala nyeri Gout Arthitis. Pemberian air rebusan daun salam

merupakan pengobatan tradisional atau terapi alternative dan

Komplementer dalam mengurangi nyeri pada penderita Gout Arthitis.

Efek Non farmakologi yang di miliki dari air rebusan daun salam

mengobati penyakit: kolesterol, hipertensi, diabetes, diare (Hariana A,

2011 ).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan (Cumayunaro 2017) bahwa

terlihat adanya penurunan intensitas nyeri dengan didapatkan data

sebelum pemberian air rebusan daun salamintensitas nyeri penderita

arthritis gout berada pada kategori berat sebanyak 41,70%, kategori

sedang seabanyak 50,00% dan kategori ringan sebanyak 8,30%. Sesudah

pemberian air rebusan daun salam tidak ditemukan lagi penderita arthritis
gout dengan intensitas nyeri kategori berat, sedangkan kategori sedang

seabanyak 41,50%, intensitas nyeri pada kategori ringan didapatkan

sebanyak 50,00%, dan tidak nyeri sebanyak 8,30%. Hal ini menunjukan

pemberian air rebusan daun salam dapat menurunkan intensitas nyeri.

Berdasarkan latar belakang ini, maka peneliti tertarik untuk melihat

“Pemberian Air Rebusan Daun Salam (Syzgium polyanthum) terhadap

Penurunan Nyeri pada Asuhan Keperawatan Gerontik pada Pasien

dengan kasus Gout Arthritis di Kelurahan ….. di Wilayah kerja

Puskesmas ….

B. Rumusan Masalah

Mampu menerapkan pemberian air rebusan daun salam untuk

masalah nyeri pada asuhan keperawatan gerontik.

C. Tujuan

1. Tujuan Umun

Menganalisis pengaruh pemberian air rebusan daun salam

terhadap penurunan kadar Asam Urat pada lansia.

2. Tujuan Khusus

a. Dapat melakukan pengkajian pada pasien Gout Arthitis.

b. Dapat merumuskan diagnose keperawatan pada pasien Gout

Arthitis.

c. Dapat melakukan perencanaan keperawatan pada pasien Gout

Arthitis.
d. Dapat melakukan tindakan/implementasi bemberian air

rebusan daun salam pada pasien Gout Arthitis.

e. Dapat melakukan evaluasi pelaksanaan bemberian air rebusan

daun salam pada pasienGout Arthitis.

f. Dapat melakukan Dokumentasi Keperawatan pada pasien

Gout Arthitis

D. Manfaat

1. Manfaat teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat pada

perkembangan ilmu keperawatan untuk menurunkan kadar Asam

Urat pada lansia dengan menggunakan pengobatan non farmakologi

pemberian air rebusan daun salam.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi petugas kesehatan, perawat dan puskesmas

Pemberian air rebusan daun salam pada lansia dengan

Asam Urat dapat digunakan untuk pengobatan non farmakologi.

b. Bagi lansia ditempat penelitian

Air rebusan daun salam dapat digunakan lansia sebagai

obat non farmakologidalam upaya menurunkan kadar Asam

Urat.

c. Bagi institusi pendidikan


Menjadi bahan masukkan dan tambahan untuk bacaan

mahasiswa di perpustakaan.

d. Bagi peneliti

Memperoleh pengalaman dalam menerapkan pemberian air


rebusan daun salam terhadap penurunan nyeri pada pada pasien
Arthritis Gout
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Teori Penyakit Gout Arthitis

1. Definisi Gout Arthitis


Gout Arthitis merupakan penyakit metabolic yang di sebabkan

oleh kelebihan kadar senyawa urat di dalam tubuh, baik karna

produksi berlebih, eliminasi yang jarang, atau peningkatan asupan

purin. Biasanya Gout terjadi pada pria dewasa menengah, namun

dapat mencapai puncak di pertengahan puncak usia 40-an pada

sebagian orang. Gout sering kali di kaitkan dengan obesitas,

hipertensi, kadar kolestrol tinggi, dan konsumsi alcohol yang berlebih.

Hanya 3-6% kasus Gout terjadi pada wanita, keadaan ini sebagian

besar berkaitan dengan status menopause, kecuali pada wanita dengan

riwayat keluarga yang kuat. (Chang Esther,Dkk.2009 )

Gout terjadi sebagai respon terhadap produksi berlebihan atau

ekskresi asam urat yang kurang, menyebabkan tingginya kadar asam

urat dalam darah ( hiperurisemia ) dan pada cairan tubuh lainnya,

termaksut cairan synovial. Gout biasanya datang secara tiba-

tiba.biasanya di malam hari, dan sering kali melibatkan sendi

matetarsofalangeal pertama ( jari kaki besar ). Seiring dengan

kemajuan penyakit, urat menumpuk di berbagai jaringan ikat lain.

Penumpukan dalam cairan synovial menyebabkan inflamasi akut


sendi ( arthritis gout ). Kadar asam urat normal pada pria berkisar 3,5-

7 mg/dl dan pada perempuan 2,6-6 mg/dl.

Artritis gout berasal dari deposit kristal asam urat seperti jarum

di sendi, menyebabkan inflamasi dengan nyeri yang berat pada sendi

yang terkena. Salah satu penyakit inflamasi sendi yang paling sering

ditemukan, ditandai dengan penumpukan kristal monosodium urat di

dalam ataupun di sekitar persendian. (Margowati Sri & Priyanto Sigit,

2017)

2. Etiologi

Gangguan metabolic dengan meningkatnya kosentrasi asan

urat ini di timbulkan dari penimbunan kristal di sendi oleh

monosodium urat ( MSU, gout ) dan kalsium pirofosfat dihidrat

( CPPD, pseudogout ) dan pada tahap yang lebih lanjut terjadi

degenerasi tulang rawan sendi.

Klasifikasi gout terbagi 2 yaitu :

a. Gout primer : di pengaruhi oleh faktor genetik, terdapat

produksi/sekresi asam urat yang berlebihan dan tidak di ketahui

penyebabnya.

b. Gout sekunder

1) Pembentukan asam urat yang berlebihan.

a) Kelainan mieloproliferatif ( polisitemia, leukemia,

myeloma retikularis )
b) Sindrom Lech-Nyhan yaitu suatu kelainan akibat

defisiensi hipoxantin guanine fosforibosil tranferase

yang terjadi pada anak-anak dan pada sebagian orang

dewasa.

c) Gangguan penyimpanan glikogen

d) Pada pengobatan animia pernisiosa oleh karena

maturasi sel megaloblastik menstimulasi pengeluaran

asam urat.

2) Sekresi asam urat yang berkurang misalnya ;

a) Kegagalan ginjal kronik

b) Pemakaian obat salisilat, tiazid, beberapa macam

diuretic dan sulfonamide

c) Keadaan-keadaan alkoholik, asidosis laktik,

hiperparatiroidisme dan pada miksedema.

Faktor predisposisi terjadinya penyakit gout yaitu, umur, jenis

kelamin lebih sering terjadi pada pria, iklim, herediter, dan keadaan-

keadaan yang menyebabkan timbulnya hiperurikemia. (Nurarif Huda

Amin, & Kusuma Hardhi. 2015)

3. Patofisiologis

Penyakit Gout Arthitis merupakan gangguan metabolisme

asam urat yang memuncak dengan terjadinya endapan garam

monosodium urat dalam sendi dan akhirnya dalam jaringan

subkutan. Biasanya Gout Arthitis di tandai dengan inflamasi sendi


yang sangat nyeri dan endapan urat di sekitar sendi, sering di sertai

dengan kadar asam urat yang sangat tinggi di dalam darah. Senyawa

urat berasal dari purin dalam makanan dan hasil daur ulang

penguraian atau perbaikan jaringan.

Pada hiperurisemia, peningkatan pada kadar urat ada dalam

cairan ekstraselular lain, termaksut cairan synovial, dan juga pada

plasma. Akan tetapi cairan synovial merupakan pelarut yang buruk

untuk urat dari pada plasma.Kristal monosodium urat dapat

terbentuk dalam cairan synovial atau dalam membran synovial,

kartilago, atau jaringan ikat sendi lainnya.Kristal cenderung

terbentuk pada jaringan perifer tubuh, sementara itu suhu yang lebih

rendah mengurangi kelarutan asam urat.Kristal juga terbentuk di

jaringan ikat dan ginjal. Kristal ini menstimulus dan melanjutkan

proses inflamasi, selama neutrophil berespon dengan ingesti kristal.

Neutrophil melepaskan fagolisosom, menyebabkan kerusakan

jaringan yang menyebabkan terjadinya inflamasi terus menerus dan

pada akhirnya proses inflamasi merusak kartilago sendi dan tulang

yang menyertai.(Lemone Priscilla, Dkk. 2015).


4. Pathway
Penyakit Gout Arthits :

Diet tinggi purin Peningkatan pemecahan Asam urat dalam


sel serum

Metabolisme purin
Asam urat dlm sel keluar Tdk di sekresi melalui
urin

Penyakit ginjal
Asam uarat dalam Kemampuan sekresi (glomerulonetritis
serum meningkat ( asam urat dan gagal ginjal)
hiperurisemia ) terganggu/menurun

Hipersaturasi asam Peningkatan asam


Konsumsi alcohol
urat dlm plasma laktat sebagai
dan garam urat di produk sampingan
cairan tubuh metabolisme

Terbentuk kristal Di bungkus oleh


monosodium urat berbagai protein Merangsang
(MSU) (termaksud IgG) ( leukosit PMN)

Terjadi fagositosis
kristal oleh leukosit
Di ginjal Di jaringan lunak dan
persendian

Penumpukan Terbentuk
dan Penumpukan dan fagolisosom
pengendapan pengendapan MSU
MSU

Merusak selaput
Pembentukan
Pembentukan protein kristal
topus
batu ginjal
asam urat
Respon inflamasi Terjadi ikatan hydrogen
Proteinuria,hiperte meningkat antara permukaan
nsi ringan,urin kristal dgn memberan
asam,pekat lisosom
Resiko Membran lisosom
ketidakseimbangan robek, terjadi pelepasan
volume cairan enzym dan oksida
radikal ke sitoplasma
(synovial)

hipetermia Pembesaran dan


penonjolan sendi Peningkatan
kerusakan sendi

Nyeri akut Deformitas sendi

Kontraktur sendi Kekakuan sendi

Kerusakan Fibrosis atau Hambatan


intergritas akilosis mobilisasi fisik
jaringan tulang

Sumber :Nurarif Huda Amin, & Kusuma Hardhi. 2015


5. Manifestasi

Manifestasi gout biasanya terjadi dalam empat tahap :

a. Hiperurisemia Asimtomatik

Tahap pertama dengan kadar serum pada rentang 9 hingga 10

mg/dL. Sebagian besar orang yang mengalami hiperurisemia

tidak berlanjut ke tahap lanjut penyakit.

b. Arthritis gout akut

Tahap kedua, serangan akut ( flare ) biasanya mengenai sendi

tunggal, terjadi tidak terduga, sering kali di mulai pada malam

hari. Hal tersebut dapat di picu oleh trauma, ingesti alcohol,

kelebihan diet, atau steror pembedahan, sendi yang terkena

menjadi merah, hangat, bengkak, dan secara khas nyeri dan

nyeri tekan.

Sekitar 50% serangan awal arthritis gout akut terjadi pada sendi

metatarsophalangeal pada jari besar. Tempat lain untuk

serangan akut, antara punggung kaki, pergelangan kaki, tumit,

lutut, pergelangan tangan, jari dan sendi.

c. Interkritis

Tidak terdapat gejala-gejala pada tahap ini, yang dapat

berlangsung dari beberapa bulan sampai tahun.Kebanyakan

orang mengalami serangan gout berulang dalam waktu kurang

dari 1 tahun jika tidak di obati.


d. Gout tingkat lanjut

Terjadi ketika hiperurisemia tidak di tangani. Bendungan urat

melebar dan penumpukan kristal monosodium urat ( tofi )

terjadi pada kartilago, memberan synovial, tendon, dan

jaringan lunak. (Lemone Priscilla, Dkk. 2015)

6. Komplikasi

Penyakit Ginjal dapat terjadi pada pasien Gout Arthitis yang

tidak di tangani.Kristal urat menumpuk di jaringan interstisial

ginjal.Kristal asam urat juga terbentuk dalam tubula pengumpulan

pelvis, ginjal, dan ureter, dan membentuk batu.Batu dapat memiliki

ukuran yang beragam dari butiran pasir sampai struktur manif yang

mengisi ruang ginjal.Batu asam urat dapat berpotensi mengobtruksi

aliran urin dan menyebakan gagal ginjal akut.(Lemone Priscilla,

Dkk. 2015)

7. Pemeriksaan Penunjang

a. Kadar asam urat serum meningkat

b. Laju sedimentasi eritrosit ( LSE ) meningkat

c. Kadar asam urat urine dapat normal atau meningkat

d. Analisa cairan synovial dari sendi terinflamasi atau tofi

menunjukan kristal urat monosodium yang membuat diagnose.

e. Sinar X sendi menunjukan massa tofaseus dan destruksi tulang

dan perubahan sendi


8. Penatalaksanaan

Penangan gout biasanya di bagi menjadi penanganan serangan

akut dan penanganan hiperurisemia pada pasien arthritis kronik. Ada 3

tahapan dalam terapi penyakit ini :

a. Mengatasi serangan akut

b. Mengurangi kadar asam urat untuk mencegah penimbunan kristal

urat pada jaringan, terutama persendian

c. Terapi pencegahan menggunakan terapi hipourisemik

Terapi Non-Farmakologi

Terapi Non-Farmakologi merupakan strategi esensial dalam

penanganan Gout Arthitis.Intervensi seperti istrahat yang cukup,

penggunaan kompres kompres hangat, modifikasi diet,

mengurangi asupan alcohol dan menurunkan berat badan pada

pasien yang kelebihan berat badan terbukti efektif. (Nurarif Huda

Amin, & Kusuma Hardhi. 2015)

B. Konsep Teori Menua

Menua atau menjadi tua adalah suatu yang terjadi dalam kehidupan

manusia. Proses menua merupakan proses sepanjang hidup, tidak hanya di

mulai dari suatu waktu tertentu, tetapi di mulai sejak permulaan

kehidupan. Menjadi tua merupakan perubahan yang alamiah, yang berarti

seorang telah melalui tiga tahap kehidupannya yaitu anak, dewasa, dan tua.

Menua didefinisikan sebagai penurunan, kelemahan, meningkatnya

kerentanan terhadap berbagai penyakit dan perubahan lingkungan,


hilangnya mobilitas dan ketangkasan, serta perubahan fisiologis yang

terkait dengan usia. Salah satunya yaitu Otot mengalami atrofi sebagai

akibat dari berkurangnya aktivitas, gangguan metabolik, atau denervasi

saraf. Dengan bertambahnya usia, perusakan dan pembentukan tulang

melambat. Hal ini terjadi karena penurunan hormon esterogen pada

wanita, vitamin D, dan beberapa hormon lain. Tulang-tulang trabekulae

menjadi lebih berongga, mikroarsitektur berubah dan seiring patah baik

akibat benturan ringan maupun spontan.

World Health Organization ( WHO ) dan Undang-Undang No.3

tahun 1998 tentang kesejahteraan lansia pada Bab 1 pasal 1 ayat 2

menyebutkan bahwa umur 60 tahun adalah usia permulaan tua, menua

bukanlah suatu penyakit, tetapi merupakan proses yang berangsur-angsur

mengakibatkan perubahan yang kumulatif, merupakan menurunnya daya

tahan tubuh menghadapi ransangan dari dalam maupun dari luar tubuh

berakhir dengan kematian.

Lanjut usia (lansia) adalah seseorang yang sudah memasuki usia 65

tahun. Batasan Lansia menurut World Health Organization ( WHO )

meliputi usia pertengahan (middle age) antara 45-59 tahun, usia lanjut

(Elderly) antara 60-74 tahun dan usia lanjut tua (Old) antara 75-90 tahun,

serta usia sangat tua (very old) diatas 90 tahun. (Nugroho, H Wahjudi

B.Sc., SKM. 2008)


C. Konsep Teori Nyeri

1. Pengertian Nyeri

Nyeri adalah pengalaman pribadi, subyektif, yang dipengaruhi

oleh budaya, persepsi seseorang, perhatian dan variabel-variabel

psikologis lain, yang mengganggu perilaku berkelanjutan dan

memotivasi setiap orang untuk menghentikan rasa tersebut (Judha,

2010 dalam Andarmoyo, 2013).

Nyeri sendi pada penderita Artitis Gout terjadi karena adanya

endapan kristal monosodium urat yang terkumpul di dalam sendi

sebagai akibat dari tingginya kadar Artitis Gout didalam darah.

(Margowati Sri & Priyanto Sigit. 2017 ).

2. Klasifikasi Nyeri

Manurut Andarmoyo, 2013 sebagai berikut :

a. Nyeri berdasarkan durasi

1) Nyeri akut

Nyeri akut adalah nyeri yang terjadi setelah cidera akut,

penyakit atau intervesi bedah yang memiliki awitan yang

cepat, dengan intensitas yang bervariasi (dari ringan sampai

berat) dan berlangsung untuk waktu singkat.

2) Nyeri kronik

Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermitten yang

menetap sepanjang suatu bperiode tertentu.


b. Nyeri berdasarkan asal

1) Nyeri Nosiseptif

Nyeri nosiseptif (nociceptive pain) adalah nyeri yang

diakibatkan oleh aktivitas atau sensitisasi nosiseptor perifer

yang merupakan reseptor khusus yang menghantarkan

stimulus noxious.

2) Nyeri Neouropatik

Nyeri neuropatik adalah hasil suatu cedera atau

abnormalitas yang didapat pada struktur saraf perifer

maupun sentral.

c. Nyeri berdasarkan lokasi

1) Superfisial atau kutaneus

Superfisial atau kutaneus adalah nyeri yang disebabkan

stimulus kulit.

2) Visceral dalam

Visceral dalam adalah nyeri yang terjadi akibat stimulus

organ-organ internal.

3) Nyeri alih

Nyeri alih merupakan fenomena umum dalam nyeri visceral

karena banyak organ tidak memiliki reseptor nyeri.

4) Radiasi

Radiasi merupakan sensasi nyeri yang meluas dari tempat

awal cidera kebagian tubuh yang lain.


3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Respon Nyeri

a. Usia

Anak yang masih kecil mempunyai kesulitan memahami

nyeri dan prosedur tindakan yang dilakukan perawat yang

menyebabkan nyeri.Sebab, mereka belum dapat mengucapkan

kata-kata untuk mengungkapkan secara verbal dan

mengekspresikan nyeri kepada orang tua atau petugas kesehatan.

Pada sebagian anak, terkadang segan untuk mengungkapkan

keberadaan nyeri yang dialami disebabkan mereka takut akan

tindakan perawat yang harus mereka terima nantinya.

Pada pasien lansia, seorang perawat harus melakukan

pengkajian secara lebih rinci ketika seorag lansia melaporkan

adanya nyeri.Pada kondisi lansia sering kali memiliki sumber

nyeri lebih dari satu. Terkadang penyakit yang berbeda-beda yang

diderita lansia menimbulkan gejala yang sama, sebagai contoh

nyeri dada tidak selalu mengindikasikan serangan jantung. Nyeri

dada dapat timbul karena gejala arthriritis pada spinal dan gejala

pada gangguan abdomen. Sebagian lansia terkadang pasrah

terhadap apa yang mereka rasakan. Mereka menganggap hal

tersebut merupakan konsekuensi penuaan yang tidak bisa

dihindari.

Meskipun banyak lansia mencari perawatan kesehatan

karena nyeri, yang lainnya enggan unuk mencari bantuan bahkan


ketika mengalami nyeri hebat, karena mereka menganggap bahwa

nyeri yang dirasakan adalah bagian dari proses penuaan yang

normal yang terjadi pada setiap lansia. Diperkirakan lebih dari

85% dewasa tua mempunyai sedikitnya satu masalah kesehatan

kronis yang dapat menyebabkan nyeri.Lansia cenderung untuk

mengabaikan nyeri dan menahan nyeri yang berat dalam waktu

yang lama sebelum melaporkannya atau mencari perawatan

kesehatan.Lansia yang lainnya tidak mencari perawatan karena

merasa takut nyeri tersebut menandakan penyakit yang serius atau

takut kehilangan kontrol.

b. Jenis kelamin

Secara umum pria dan wanita tidak berbeda secara

bermakna dalam berespon terhadap nyeri.Diragukan apakah

hanya jenis kelamin saja yang merupakan suatu faktor dalam

mengekspresikan nyeri. Beberapa kebudayaan mempengaruhi

jenis kelamin dalam memaknai nyeri (misalnya menganggap

bahwa seorang anak laki-laki harus berani dan tidak boleh

menangis, sedangkan anak perempuan boleh menangis dalam

situasi yang sama.

c. Kebudayaan

Keyakinan dan nilai-nilai kebudayaan mempengaruhi cara

individu mengatasi nyeri. Individu mempelajari apa yang


diharapkan dan apa yang diterima oleh kebudayaan mereka. Hal

ini meliputi bagaimana bereaksi terhadap nyeri.

Budaya dan etnisitas berpengaruh bagaimana seseorang

merespon terhadap nyeri.Sejak dini pada masa kanak-kanak,

individu belajar dari sekitar mereka respon nyeri yang bagaimana

yang dapat dierima atau tidak diterima. Sebagai contoh, anak

dapat belajar bahwa cedera akibat olah raga tidak diperkirakan

akan terlalu menyakitkan dibandingkan dengan cedera akibat

kecelakaan motor. Sementara yang lainnya mengajarkan anak

stimulasi apa yang diperkirakan akan menimbulkan nyeri dan

respon peilaku apa yang diterima.

Nilai-nilai budaya perawat dapat berbeda dengan nilai-nilai

budaya pasien dari budaya lain. Harapan dan nilai-nilai budaya

perawat dapat mencakup menghindari ekspresi nyeri yang

berlebihan, mencari pereda nyeri dengan segera dan memberikan

deskripsi lengkap terhadap nyeri. Harapan budaya pasien

mungkin saja menerima orang untuk meringis atau menangis

ketika merasa nyeri, untuk menolak tindakan pereda nyeri yang

tidak menyembuhkan penyebab nyeri, dan untuk menggunakan

kata sifat seperti “tidak tertahankan” dalam menggambarkan

nyeri. Pasien dari latar belakang budaya lainnya bisa bertingkah

secara berbeda, seperti diam seribu bahasa ketimbang

mengekspresikan nyeri dengan suara keras.Perawat harus


bereaksi terhadap persepsi nyeri pasien dan bukan pada perilaku

nyeri karena perilaku berbeda dari satu pasien dengan pasien

lainnya.

d. Makna nyeri

Makna seseorang yang dikaitkan dengan nyeri

mempengaruhi pengalaman nyeri dan cara seseorang beradaptasi

terhadap nyeri. Hal ini juga dikaitkan secara dekat dengan latar

belakang budaya individu tersebut. Individu akan

mengekspresikan nyeri dengan cara yang berbeda-beda, apabila

nyeri tersebut member kesan ancaman, suatu kehilangan,

hukuman dan tantangan. Misalnya, seorang wanita yang sedang

bersalin akan mengekspresikan nyeri berbeda dengan seorang

wanita yang mengalami nyeri akibat cedera karena pukulan

pasangannya. Derajat dan kualitas nyeri akan di persepsikan klien

dengan makna nyeri.

e. Perhatian

Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada

nyeri dapat mempengaruhi persepsi nyeri.Perhatian yang

meningkat dihubungkan dengan nyeri yang meningkat, sedangkan

upaya pengalihan (distraksi) dihubungkan dengan respon nyeri

yang menurun.
f. Ansietas

Hubungan antara nyeri dan ansietas bersifat

kompleks.Ansietas seringkali meningkatkan persepsi nyeri, tetapi

nyeri juga dapat menimbulkan sesuatu perasaan ansietas.

g. Pengalaman sebelumnya

Apabila individu sejak lama sering mengalami serangkaian

episode nyeri tanpa pernah sembuh atau menderita nyeri yang

berat maka ansietas atau bahkan rasa takut dapat muncul.

Sebaliknya, apabila individu mengalami nyeri dengan jenis yang

sama berulang-ulang, tetapi kemudian nyeri tersebut dengan

berhasil dihilangkan, akan lebih mudah bagi individu tersebut

untuk menginterpretasikan akibatnya, klien akan lebih siap untuk

melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk

menghilangkan nyeri.

h. Gaya koping

Nyeri dapat menyebabkan ketidakmampuan, baik sebagian

maupun keseluruhan atau total. Klien seringkali menemukan

berbagai cara untuk mengembangkan koping terhadap efek fisik

dan psikologis nyeri.

i.Dukungan keluarga dan sosial

Faktor yang mempengaruhi nyeri ialah kehadiran orang-

orang terdekat klien dan bagaiman sikap mereka terhadap


klien.Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung pada

anggota keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan,

bantuan atau perlindungan. Walaupun nyeri tetap klien rasakan,

kehadiran orang yang dicintai klien akan meminimalkan kesepian

dan ketakutan (Prasetya, 2010 dalam Astuty, 2014).

4. Penilaian Respon Intensitas Nyeri

Intensitas nyeri (skala nyeri) adalah gambaran tentang seberapa

parah nyeri dirasakan individu, pengukuran intensitas nyeri sangat

subyektif dan individual dan kemungkinan nyeri dalam intensitas yang

sama dirasakan sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda (Tamsuri,

2007). Intensitas nyeri seseorang dapat diukur dengan menggunakan

skala nyeri (Smeltzer dan Bare, 2002). Skala nyeri tersebut adalah :

a. Skala Wong Baker/Faces Pain Score

Terdiri dari 6 gambar skala wajah kartun yang bertingkat

dari wjah yang tersenyum untuk ‘tidak ada nyeri’ sampai wajah

yang berlinang air mata untuk ‘nyeri paling buruk’. Kelebihan

dari skala wajah ini yaitu anak dapat menunjukkan sendiri rasa

nyeri yang dialaminya sesuia dengan gambar yang telah ada dan

membuat usaha mendeskripsikan nyeri menjadi lebih sederhana.

Gambar 1.1 Skala Wong Baker


b. NuNumerac Ratting Scale (NRS)

Suatu alat ukur yang meminta pasien untuk menilai rasa nyerinya

sesuai dengan level intensitas nyerinya pada skala numeral dari 0-10.

Angka 0 berarti ‘no pain’ dan 10 berarti ‘severe pain’ (nyeri

hebat).Numeric Ratting Scale lebih digunakan sebagai alat

pendeskripsi kata.

Gambar 2.2 Numeral Ratting Scale


Skala paling efektif digunakan saat mengkaji intensitas nyeri

sebelum dan setelah intervensi terapeutik. Ketika menggunakan

Numeric Ratting Scale, skala 0-3 mengindikasikan nyeri ringan, 4-6

nyeri sedang, dan 7-10 nyeri hebat.

Ket : 0 : Tidak ada nyeri

1 : Nyeri seperti gatal, tersetrum atau nyut-nyutan

2 : Nyeri seperti melilit atau terpukul

3 : Nyeri seperti perih

4 : Nyeri seperti kram atau kaku

5 : Nyeri seperti tertekan atau bergerak

6 : Nyeri seperti terbakar atau tertusuk-tusuk

7, 8, 9 : Sangat nyeri, tetapi masih dapat di kontrol oleh klien

10 : Sangat nyeri dan tidak dapat dikontrol

D. Daun Salam (Syzgium polyanthum)

Tanaman salam memiliki nama latin Eugenia polyantha Wight dan

nama ilmiah Syzygium polyantha Wight (Tersono, 2006). Menurut falsafah

jawa tanaman salam mempunyai makna yang tersirat, filosofi yang dapat

diambil dari pohon salam berarti keselamatan. Cici-ciri biologi salam :

pohon salam tumbuh tegak lurus tinggi > 25 meter, daun salam berwarna

hijau dengan ujung tajam, memiliki bunga berwana putih dan wangi yang

tumbuh di dahan yang tidak berdaun, buah pohon salam berukuran kecil dan

berwarna kehitaman. Tanaman salam mudah dibudayakan diberbagai jenis

tanah (Mardisna, 2013).


Pohon salam memiliki banyak manfaat bagi masyarakat mulai dari

batang, kulit batang, daun salam, dan buah salam. Daun salam merupakan

bagian yang paling banyak dimanfaatkan mansyarakat. Daun salam dikenal

masyarakat untuk penyedap masakan. Masyarakat menggunakan daun salam

untuk memasak dengan memasukan beberapa lembar daun salam segar

maupun kering kedalam masakan untuk membuat masakan lebih beraroma

harum. Selain sebagai penyedap masakan daun salam juga dapat digunakan

sebagai terapi non farmakologi untuk berbagai penyakit berbahaya

contohnya stroke, kolesterol, radang lambung, kencing manis, dan juga

temasuk asam urat (Agoes, 2010).

Daun salam mengandung senyawa flavonoid tanim, tritepen, polifenol,

alkaloid, steroid, sitral dan eugunol, yang bekerja sama untuk menurunkan

kadar asam urat dan intensitas nyeri pada pasien dengan gout arthritis

(Utami P, 2009).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan (Azuma et all, 2010)

penurunan intensitas nyeri setelah pemberian air rebusan daun salam

dipengaruhi oleh senyawa eugunol yang terkandung dalam daun salam,

sebagai analgetik senyawa eugunol dapat menghambat biosintesis

prostaglandin dan sebagai anti inflamasi dari senyawa fenol yang

menghambat leucoyte chemataxis, oleh sebab itu nyeri sendi pada penderita

Gout Arthritis dapat berkurang.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan (Suparni, 2013) penurunan

kadar asam sesudah pemberian air rebusan daun salam dipengaruhi oleh
kandungan flafonoid yang bersifat antioksidan yang dapat menghambat

sintesis xanthin oxidase, sehingga pembentukan asam urat dalam tubuh

terhambat serta dipengaruhi juga oleh kandungan tritepen, polyphenol dan

alkaloid yang bersifat diuretic yang memproduksi urin lebih banyak

sehingga asam urat keluar melalui urin.

Penggunaan terapi non farmakologi untuk menurunkan kadar asam

urat membutuhkan waktu yang kebih lama dibandingkan dengan

pengobatan secara farmakologi. Hal ini disebabkan karena senyawa-

senyawa yang terkandung dalam obat non farmakologi tersebut

membutuhkan waktu untuk menyatu dalam metabolisme tubuh, pernyataan

ini didukung oleh teori Kurnia (2009) bahwa pengobatan secara non

farmakologi bekerja dengan cara membangun dan memperbaiki sistim

metabolisme. Sedangkan pengobatan secara farmakologi bekerja dengan

cara merendam gejala penyakit.

E. Konsep Asuhan Keperawatan Gerontik

1. Pengkajian

a. Data Biografi Pasien

Nama, TTL, gol darah, status perkawinan, pendidikan terakhir,

agama, alamat, No tlfn, jenis kemalamin, orang yang paling dekat

di hubungi, hubungan dengan lansia, alamat dan jenis kelamin

orang/keluarga tersebut

Riwayat keluarga
1) Pasangan : hidup/mati, kesehatan, umur, pekerjaan, alamat,

kematian, sebab kematian, tahun kematian

2) Anak : hidup/mati, nama, alamat,kematian, tahun meninggal,

penyebab kematian.

b. Riwayat pekerjaan

Ststus pekerjaan saat ini, pekerjaan sebelumnya, sumber-sumber

pendapatan, dan kecukupan terhadap kebutuhan, alamat pekerjaan,

jarak tempat kerja dari rumah, alat tranportasi.

c. Riwayat lingkungan hidup

Tipe tempat tinggal/panti, jumlah kamar, jumlah orang yang tiggal

di rumah/panti, derajat privasi, tetangga terdekat, alamat/tlfn,

kondisi panti.

d. Riwayat rekreasi

Hobby/minat, keanggotaan organisasi, liburan perjalanan, kegiatan

di panti atau di rumah.

e. Sumber/system pendukung yang di gunakan

Dokter/perawat/bidan/fisioterapi, dll, RS, klinik, yankes lain, jarak

dari rumah/panti, yankes di rumah/panti, makanan yang di antar,

perawatan sehari-hari oleh keluarga.

f. Kebiasaan ritual

Agama, istrahat tidur, kebiasaan ibadah, kepercayaan.

g. Status kesehatan saat ini


Status kesehatah selama 1 tahun dan 5 tahun yang lalu, keluhan

kesehatan utama ( PQRST ).

1) Obat-obatan

Nama dan dosis obat, waktu dan cara penggunaan, dokter

yang memberi, tgl resep dan masalah karna obat-obatan

2) Status imunisasi

Tgl imunisasi terbaru, difteri, influenza, dll

3) Alergi (obat, makanan, kontak substansi, faktor lingkungan)

4) Penyakit yang di derita

5) Nutrisi

6) Diet 24 jam, riwayat peningkatan, dan penurunan BB,

masalah dalam pemenuhan nutrisi, kebiasaan.

h. Status kesehatan masa lalu

Penyakit masa anak-anak, penyakit serius atau kronik, trauma,

perawatan di rumah sakit ( alasan, tgl, tempat, durasi, dokter,

perawat ), operasi ( jenis, tgl, tempat, alasan, dokter, hasil,

perawat ), riwayat ibstetric.

i. Pemeriksaan Fisik

1) Keadaan umum

Kelelahan, penurunan BB setahun lalu, perubahan napsu

makan, demam, keringat malam, kesulitan tidur, sering


pilek dan infeksi, penilaian diri seluruh status kesehatan,

kemampuan melek, ADL, tingkat kesadaran, TTV

2) Integument

Lesi/luka, pruritus, perubahan pigmentasi, perubahan

tektur, perubahan nevi, sering memar, perubahan rambut,

perubahan kuku, katimumul pada jari kaki, dan kallus, pola

penyembuhan lesi dan memar, elastisitas/turgor.

3) Kepala

Sakit kepala, trauma pada masa lalu, pusing, gatal kulit

kepala, lesi/luka.

4) Mata

Perubahan penglihatan, pemakaian kaca mata/lensa kontak,

nyeri, bengkak sekitar mata, riwayat infeksi, tanggal

pemeriksaan paling akhir.

5) Telinga

Perubahan pendengaran, riwayat infeksi, tanggal

pemeriksaan paling akhir.

6) Hidung dan sinus

7) Mulut dan tenggorokan

Sakit tenggorakan, lesi/ulkus, kesulitan menelan,

pendarahan gusi, riwayat infeksi, tanggal pemeriksaan

paling akhir.

8) Leher
Kakakuan, nyeri tekan, benjolan/massa, keterbatasan gerak,

pembesaran kelenjar tiroid

9) Payudara

Benjolan/massa, nyeri tekan, bengkak, keluar cairan dari

putting susu, perubahan dari putting susu, pola pemeriksaan

payudara, tanggal pemeriksaan terakhir.

10) Kardivaskular

Nyeri/ketidaknyamanan dada, sesak napas, dispnus pada

aktivitas, edema.

11) Pernapasan

Batuk, sesak napas, asma/alergi pernapasan, frekuensi,

auskulatsi, palpasi, perkusi, wheezing.

12) Gastroinstestinal

Tidak dapat mencerna, nyeri uluhati, pembesaran hepar,

mual/munta, perubahan napsu makan, benjolan/massa.

13) Reproduksi pria/wanita

14) Perkemihan

Nyeri saat berkemih, batu, infeksi, oliguria, polyuria

15) Muskulokeletal

Nyeri persendian, kekakuan, pembekakan sendi,

deformitas, spasme, kram, kelelahan otot, masalah


caraberjalan, nyeri punggung, nyeri punggung, protesa, pola

kebiasaan latihan, dampak pada penampilan ADL.

16) System syaraf pusat

Sakit kepala, kejang, sinkope/serangan jatuh, cidera kepala,

masalah memori.

17) System endokrin

Intoleransi pana atau dingin, pigmentasi kulit/tekstur,

perubahan rambut.

18) System imun

Kerentanan dan seringnya terkena penyakit, imunisasi

19) System pengecapan

Berkurangnya rasa asin dan panas

20) System penciuman

21) Psikososial

Cemas, depresi, insomnia, menangis, takut, gugup, masalah

dalam mengambil keputusan, kesulitan berkosentari, stress

saat ini.

j . Pengakjian status fugsional, kognitif, afektif, dan social

1) Pengkajian status fungsional

Pengkajian pada aktifitas kehidupan sehari-hari dapat di ukur

dengan menggunakan INDEKS KATZ

2) Pengkajian kognitif dan afektif


Menggunakan Short Portable mental Status Questionnaire

( SPMSQ), Mini Mental State Exam (MMSE), Invenaris

Depresi Beck dan Skala Depresi Geriatrik Yesavage untuk

mendektesi adanya dan tingkat kerusakan intelektual

3) Pengkajian status social

Status social lansia dapat di ukur dengan menggunakan

APGAR keluarga

2. Diagnosa Keperawatan

a. Nyeri akut b/d agen-agen penyebab cidera biologis ( inflamasi

sendi )

b. Hambatan mobilisasi fisik b/d nyeri

c. Defisiensi Pengetahuan b/d keterbatasan kognitif

d. Risiko jatuh : faktor resiko ( fisiologis )

1) Arthritis

2) Penurunan kekuatan ekstermitas bawah

3) Masalah pada kaki

4) Gangguan pada sikap tubuh

5) Gangguan keseimbangan

6) Hambatan mobilitas fisik

7) Adanya penyakit akut

8) Gangguan tidur
3. Intervensi Keperawatan
No Diagnosa Keperawatan
Tujuan Intervensi Keperawatan
1 Nyeri b/d agen-agen Setelah di lakukan Manajemen nyeri :
cidera fisik perawatan selama 1 minggu 1. Lakukan pengkajian
( inflamasi sendi ) di harapkan masalah nyeri nyeri komprehensif yang
akut dapat teratasi dengan meliputi lokasi,
kriteria hasil : karekteristik, durasi,
1. Menyatakan rasa frekuensi, kualitas,
nyaman setelah nyeri intensitas, atau beratnya
berkurang nyeri dan faktor
2. Melaporkan nyeri pencetus.
berkurang dengan 2. Gunakan komunikasi
menggunakan terapeutik agar klien
menajemen nyeri dapat mengekspresikan
3. Mampu mengontrol nyeri
nyeri (tahu penyebab 3. Ajarkan penggunaan
nyeri) teknik kompres kayu
manis
4. Ajarkan prinsip-prinsip
manajemen nyeri
5. Lakukan pemeriksaan
kadar asam urat.
6. Kurangi atau eliminasi
faktor-faktor yang dapat
mencetuskan atau
meningkatkan nyeri
( misalnya, ketakutan,
kelelahan, keadaan
monoton, dan kurang
pengetahuan )
7. Dukung istrahat/tidur
yang adekuat untuk
membantu penurunan
nyeri
8. Evaluasi keefektifan dan
tindakan mengontrol
nyeri.
2 Hambatan mobilisasi Setelah di lakukan Terapi latihan : mobilitas sendi
fisik b/d perawatan selama 1 minggu 1. Tentukan batasan
muskuloskeletal di harapkan masalah pergerakan sendi dan
hambatan mobilisasi fisik afeknya terhadap fungsi
dapat teratasi dengan kriteri sendi
hasil : 2. Monitor lokasi dan
1. Klien meningkat kecenderungan adanya
dalam aktivitas fisik nyeri dan
2. Mengerti tujuan dari ketidaknyamanan selama
peningkatan pergerakan/aktivitas
mobilitas 3. Pakaikan baju yang tidak
menghambat pergerakan
pasien
4. Lakukan latihan ROM
aktif atau ROM dengan
bantuan, sesuai dengan
indikasi
5. Istruksikan
pasien/keluarga cara
melakukan latihan ROM
pasif ROM dengan
bantuan atau ROM aktif.
3 Defisiensi Pengetahuan Setelah di lakukan tindakan Pengajaran proses penyakit :
b/d keterbatasan keperawatan selama 4 kali 1. Kaji tingkat pengetahuan
kognitif kunjungan di harapkan pasien terkait dengan
masalah defisensi proses penyakit yang
pengetahuan dapat teratasi spesifik
dengan kriteria hasil : 2. Jelaskan tanda dan gejala
1. Pasien dan keluarga yang umum dari
mampu menjelaskan penyakit, sesuai
kembali apa yang di kebutuhan
jelaskan perawat 3. Identifikasi perubahan
2. Pasien dan keluarga kondisi fisik pasien
mampu memahami 4. Diskusikan perubahan
kondisi perawat dan gaya hidup yang
diet yang di mungkin di perlukan
sarankan. untuk mencegah
komplikasi di masa yang
akan datang dan/atau
mengontrol proses
penyakt
5. Jelaskan alasan di balik
manajemen/terapi/penan
ganan yang di
rekomendasikan
6. Intruksikan pasien
mengenai tindakan untuk
mencegah/meminimalka
n efek samping
penanganan dari
penyakit, sesuai
kebutuhan..
4 Risiko jatuh Setelah di lakukan Pencegahan jatuh :
Faktor risiko : fisiologis perawatan selama 1 minggu 1. Identifikasi perilaku dan
1. Arthritis di harapkan masalah risiko faktor yang
2. Penurunan jatuh dapat teratasi dengan mempengaruhi resiko
kekuatan kriteria hasil : jatuh
ekstermitas 1. Klien tidak terjatuh 2. Monitor kemampuan
bawah 2. Klien dapat untuk berpindah dari
3. Masalah pada beraktivitas seperti tempat tidur ke kursi dan
kaki biasa. sebaliknya
4. Gangguan pada 3. Monitor gaya berjalan
sikap tubuh ( terutama kecepatan ),
5. Gangguan keseimbangan dan
keseimbangan tingkat kelelahan dengan
6. Hambatan ambulasi
moblitas fisik 4. Dukung pasien untuk
7. Adanya menggunakan tongkat
penyakit akut atau walker dengan tepat.
8. Gangguan tidur 5. Sarankan menggunakan
alas kaki yang aman
6. Ajarkan anggota
keluarga mengenai faktor
risiko yang berkontribusi
tehadap danya kejadian
jatuh dan bagaimana
keluarga bisa
menurunkan resiko ini
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang di gunakan adalah studi kasus yaitu untuk

mendapatkan gambaran Penerapan Pemberian Rebusan Daun Salam

terhadap Penurunan Nyeri pada Asuhan Keperawatan Gerontik pada kasus

Gout Arthitis.

B. Lokasi Dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan bulan…..2020, bertempat di Desa

…… di Kelurahan …… Wilayah kerja Puskesmas ……, Kecamatan Poso

….., Kabupaten Poso, selama …… hari.

C. Subjek Study Kasus

Subyek penelitian pasien Gout Arthritis yang mengalami Nyeri dan

bersedia menjadi pasien atau responden.

D. Fokus Study

Fokus studi dalam kasus ini yaitu untuk menggambarkan Penerapan

Pemberian Air Rebusan Daun Salam terhadap Penurunan Nyeri pada

Asuhan Keperawatan Gerontik pada pasien dengan kasus Gout Arthritis di

Kelurahan …… Wilayah kerja Puskesmas ….., Kecamatan Poso …..,

Kabupaten Poso.
E. Definisi Operasional

1. Asuhan Keperawatan

Asuhan Keperawatan adalah Studi kasus penerapan prosedur

keperawatan dimulai dari proses pengkajian, merumuskan diagnosa,

menyusun perencanaan keperawatan, melakukan implementasi dan

mengevaluasi hasil implementasi atau tindakan yang di berikan yaitu

Penerapan Pemberian Air Rebusan Daun Salam.

2. Pemberian Air Rebusan Daun Salam

Rebusan Air Daun Salam digunakan untuk mengurangi nyeri

pada penderita Gout Arthitis, Daun Salam digunakan sebanyak 10

lembar dan direbus menggunakan 200 ml air hingga airnya menjadi 100

ml, dan diminum 2 x sehari selama 1 minggu untuk mendapatkan hasil

yang efektif.

3. Lansia

Lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas.

4. Gout Arthitis

Gout Arthitis merupakan asam urat yang di sebabkan oleh

tingginya kadar asam urat dalam darah.

F. Pengumpulan Data

Menjelaskan metode pengumpulan data yang digunakan yaitu :

1. Wawancara : hasil anamnesis tentang identitas pasien, keluhan utama,

riwayat penyakit sekarang dan dahulu ,keluarga, wawancara bisa

dengan pasien, keluarga, perawat.


G. Analisa Data

Analisa data dilakukan sejak dilakukan pengumpulan data sampai

semua data terkumpul. Analisa di lakukan dengan cara mengemukakan fakta

dan membandingkan dengan teori. Teknik yang digunakan adalah dengan

menarasikan jawaban-jawaban dari hasil pengumpulan data ( wawancara

observasi ) yang dilakukan untuk menjawab rumusan masalah dan tujuan

penelitian. Urutan dalam analisa data :

1. Pengumpulan Data :

Data yang dikumpulkan dari hasil wawancara, observasi, studi

dokumen di tuliskan dalam bentuk catatan lapangan selanjutnya disalin

untuk transkrip.

2. Mereduksi data dengan membuat koding dan kategori :

Data yang sudah di buat transkrip di buat koding oleh peneliti

sesuai dengan topic penelitian. Data obyektif di analisa berdasarkan

hasil pemeriksaan diagnostic dan di bandingkan dengan nilai normal.

3. Penyajian Data

Penyajian data di lakukan dalam bentuk tabel, gambar, bagan di

sertai narasi. Kerahasiaan responden tetap harus diperhatikan.

4. Kesimpulan

Data yang di sajiakan selanjutnya dibahas dan di bandingkan

dengan hasil-hasil penelitian sebelumnya data dan teori-teori yang

mendukung. Penarikan kesimpulan dapat dilakukan dengan metode


induktif. Pembahasan dilakukan sesuai dengan tahapan asuhan

keperawatan pengkajian, diagnose, perencanan, tindakan dan evaluasi.

H. Etika Penelitian

1. Prinsip Autonomi

Prinsip otonomi didasarkan pada keyakinan bahwa individu

mampu berpikir logis dan mampu membuat keputusan sendiri. Orang

dewasa mampu memutuskan sesuatu dan orang lain harus

menghargainya. Otonomi merupakan hak kemandirian dan kebebasan

individu yang menuntut pembedaan diri. Salah satu contoh yang tidak

memperhatikan otonomi adalah Memberitahukan klien bahwa

keadaanya baik,padahal terdapat gangguan atau penyimpangan.

2. Prinsip benefisiens dan nonmalefisien

Benefisiensi berarti hanya mengerjakan sesuatu yang baik.

Kebaikan juga memerlukan pencegahan dari kesalahan atau kejahatan,

penghapusan kesalahan atau kejahatan dan peningkatan kebaikan oleh

diri dan orang lain. Kadang-kadang dalam situasi pelayanan kesehatan

kebaikan menjadi konflik dengan otonomi sedangkan non malafiesien

adalah Prinsip yang berarti segala tindakan yang dilakukan pada klien

tidak menimbulkan bahaya / cedera secara fisik dan psikologik.

3. Prinsip justices

Nilai ini direfleksikan dalam praktek professional ketika perawat

bekerja untuk terapi yang benar sesuai hukum, standar praktik dan

keyakinan yang benar untuk memperoleh kualitas pelayanan kesehatan.


Contoh ketika perawat dinas sendirian dan ketika itu ada klien baru

masuk serta ada juga klien rawat yang memerlukan bantuanperawat,

maka perawat harus mempertimbangkan faktor-faktor dalam faktor

tersebut kemudian bertindak sesuai dengan asas keadilan.


Tabel 2.1 SOP

SOP AIR REBUSAN DAUN SALAM


1 Pengertian Rebusan daun salm merupakan metode
yang di gunakan untuk mengurangi nyeri
dengan menggunakan daun salam dengan
air yang direbus sebanyak 200 ml.
2 Tujuan a. Menurunkan kadar asam urat
b. Mengurangi intensitas nyeri
3 Indikasi Pasien dengan riwayat Gout Arthitis
dengan nyeri
4 Persiapan alat a. Daun salam 10 lembar
b. Gelas ukuran 100 ml
c. Air putih 200 cc
d. Panci
e. Sendok
f. Kompor
5 Pre interaksi a. Persiapan perawat, cuci tangan,
persiapan alat.
b. Persiapan lingkungan: jaga privasi
pasien
6 Fase orientasi a. Beri salam dan perkenalkan diri
b. Validasi : bagaimana perasaannya hari
ini ?
c. Jelaskan tujuan, prosedur tindakan dan
lama waktu yang di gunakan untuk
melakukan tindakan
d. Memberi kesempatan pasien untuk
bertanya
7 Tahap kerja a. Masukan air ke dalam panic sebanyak
200 ml
b. Masukan 10 lembar daun salam
kedalam panci
c. Rebus daun salam hingga airnya
menjadi 100 ml
d. Tunggu air rebusan daun salam menjadi
hangat kemudian berikan untuk
diminum
e. Bereskan alat dan cuci tangan
8 Tahap terminasi a. Evaluasi perasaan pasien
b. Simpulkan hasil kegiatan
c. Lakukan kontrak untuk kegiatan
selanjutnya dan Dokumentasi

Anda mungkin juga menyukai