Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
TUGAS P-TREATMENT
EPILEPSI
Oleh :
Dorothy Karya Yogi (0708015031)
Dewi Puspita Ayu (0708015019)
Pembimbing:
dr. Ika Fikriah, M.Kes
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2012
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Judul....................................................................................................................
Daftar Isi.............................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang..............................................................................................................
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan ..................................................................................................................
4.2 Saran ............................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
2.1 Definisi
Epilepsi didefinisikan sebagai kumpulan gejala dan tanda-tanda klinis yang muncul
disebabkan gangguan fungsi otak secara intermiten, yang terjadi akibat lepas muatan listrik
abnormal atau berlebihan dari neuron-neuron secara paroksismal dengan berbagai macam etiologi.
Sedangkan serangan atau bangkitan epilepsi yang dikenal dengan nama epileptic seizure adalah
manifestasi klinis yang serupa dan berulang secara paroksismal, yang disebabkan oleh
hiperaktivitas listrik sekelompok sel saraf di otak yang spontan dan bukan disebabkan oleh suatu
penyakit otak akut (“unprovoked”).
International League Against Epilepsy (ILAE) dan International Bureau for Epilepsy (IBE)
pada tahun 2005 merumuskan definisi epilepsi yaitu suatu kelainan otak yang ditandai oleh adanya
faktor predisposisi yang dapat mencetuskan bangkitan epileptik, perubahan neurobiologis,
kognitif, psikologis dan adanya konsekuensi sosial yang diakibatkannya. Definisi ini
membutuhkan sedikitnya satu riwayat bangkitan epilepsi sebelumnya. Sedangkan bangkitan
epileptik didefinisikan sebagai tanda dan/atau gejala yang timbul sepintas (transien) akibat
aktivitas neuron yang berlebihan atau sinkron yang terjadi di otak.
Dengan demikian, terdapat beberapa elemen penting dari definisi epilepsi yang baru
dirumuskan oleh ILAE dan IBE yaitu:
Riwayat sedikitnya satu bangkitan epileptik sebelumnya.
Perubahan di otak yang meningkatkan kecenderungan terjadinya bangkitan selanjutnya.
Berhubungan dengan gangguan pada faktor neurobiologis, kognitif, psikologis, dan
konsekuensi sosial yang ditimbulkan.
Epilepsi tipe bangkitan umum sekunder adalah tipe bangkitan yang berkembang dari
bangkitan yang pada awalnya bersifat parsial,baik sederhana atau kompleks dan dalam waktu
singkat menjadi bersifat umum.
Manifestasi serangan atau bangkitan epilepsi secara klinis dapat dicirikan sebagai berikut
yaitu gejala yang timbulnya mendadak, hilang spontan dan cenderung untuk berulang. Sedangkan
gejala dan tanda-tanda klinis tersebut sangat bervariasi dapat berupa gangguan tingkat penurunan
kesadaran, gangguan sensorik (subyektif), gangguan motorik atau kejang (obyektif), gangguan
otonom (vegetatif) dan perubahan tingkah laku (psikologis). Semuanya itu tergantung dari letak
fokus epileptogenesis atau sarang epileptogen dan penjalarannya sehingga dikenallah bermacam
jenis epilepsi.
2.2 Etiologi
Epilepsi sebagai gejala klinis bisa bersumber pada banyak penyakit di otak. Sekitar 70%
kasus epilepsi yang tidak diketahui sebabnya dikelompokkan sebagai epilepsi idiopatik dan 30%
yang diketahui sebabnya dikelompokkan sebagai epilepsi simptomatik, misalnya trauma kepala,
infeksi, kongenital, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik dan metabolik.
Epilepsi kriptogenik dianggap sebagai simptomatik tetapi penyebabnya belum diketahui, misalnya
West syndrome dan Lennox Gastaut syndrome.
Bila salah satu orang tua epilepsi (epilepsi idiopatik) maka kemungkinan 4% anaknya
epilepsi, sedangkan bila kedua orang tuanya epilepsi maka kemungkinan anaknya epilepsi menjadi
20%-30%.
Beberapa jenis hormon dapat mempengaruhi serangan epilepsi seperti hormon estrogen,
hormon tiroid (hipotiroid dan hipertiroid) meningkatkan kepekaan terjadinya serangan epilepsi,
sebaliknya hormon progesteron, ACTH, kortikosteroid dan testosteron dapat menurunkan
kepekaan terjadinya serangan epilepsi.
Kita ketahui bahwa setiap wanita di dalam kehidupannya mengalami perubahan keadaan
hormon (estrogen dan progesteron), misalnya dalam masa haid, kehamilan dan menopause.
Perubahan kadar hormon ini dapat mempengaruhi frekwensi serangan epilepsi.
2.3 Klasifikasi
Ada dua klasifikasi epilepsi yang direkomendasikan oleh ILAE yaitu pada tahun 1981 dan
tahun 1989. International League Against Epilepsy (ILAE) pada tahun 1981 menetapkan
klasifikasi epilepsi berdasarkan jenis bangkitan (tipe serangan epilepsi):
2.3.1 Bangkitan Parsial
Kesadaran utuh walaupun mungkin berubah; focus di satu bagian tetapi dapat menyebar ke
bagian lain.
2.3.1.1 Bangkitan parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran) ; berlangsung kurang dari satu
menit. Dapat bersifat :
a. Dengan gejala motorik ; merupakan gerakan abnormal unilateral.
b. Dengan gejala sensorik ; merasakan, membaui, mendengar sesuatu yang abnormal.
c. Dengan gejala otonomik ; takikardia, bradikardia, takipneu, kemerahan, rasa tidak enak
pada epigastrium, gangguan daya ingat.
d. Dengan gejala psikik.
2.3.1.2 Bangkitan parsial kompleks; biasanya berlangsung 1-3 menit
a. Awalnya parsial sederhana, kemudian diikuti gangguan kesadaran
- Bangkitan parsial sederhana, diikuti gangguan kesadaran
- Dengan automatisme
b. Dengan gangguan kesadaran sejak awal bangkitan
- Dengan gangguan kesadaran saja
- Dengan automatisme
c. Bangkitan umum sekunder (tonik-klonik, tonik atau klonik)
- Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi bangkitan umum
- Bangkitan parsial kompleks berkembang menjadi bangkitan umum
- Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi parsial kompleks, dan berkembang
menjadi bangkitan umum
2.3.2 Bangkitan umum (konvulsi atau non-konvulsi) ; hilangnya kesadaran, tidak ada awitan fokal,
bilateral dan simetrik, serta tidak disertai aura.
a. Bangkitan lena (absence) ;sering disalah diagnosis sebagai melamun.
- Typical absences :
Usia 4-20 tahun, muncul dan selesai tiba-tiba, lama 10 – 20 detik, penderita
terdiam/bengong/tidak sadar, berkali – kali dalam sehari, tanpa aura, biasanya disertai
gerakan klonik kelopak mata. Penyebab idiopatik, gambaran EEG yang khas
( gambaran paku-ombak simetris, bisinkron 3 spd/ 2-4 spd, latar belakang normal),
periode konfus post ictal tidak ada.
- Atypical absences :
Seperti typical absences, tetapi serangan lebih lama, otomatisme lebih menonjol,
terjadi pada semua usia. Gambaran EEG berupa latar belakang abnormal dengan paku-
ombak 2-2,5 spd.
b. Bangkitan mioklonik
Kontraksi mirip syok mendadak yang terbatas dibeberapa otot dan tungkai;
cenderung singkat.
c. Bangkitan tonik
d. Bangkitan atonik
Hilangnya secara mendadak tonus otot disertai lenyapnya postur tubuh ( drop
attack)
e. Bangkitan klonik
Gerakan menyentak, repetitive, tajam, lambat, tunggal dan multiple di lengan,
tungkai, dan torso.
f. Bangkitan tonik-klonik
Spasme tonik – klonik otot, inkontinensia urin dan alvi ; menggigit lidah ; fase
pasca ictus.
2.3.3 Bangkitan epileptik yang tidak tergolongkan berdasarkan Sindroma menurut ILAE 1989 :
2.3.3.1 Idiopatik
a. Benign childhood epilepsy with centrotemporal spikes
b. Childhood epilepsy with occipital paroxysm
2.3.3.2 Symptomatik
a. Subklasifikasi dalam kelompok ini ditentukan berdasarkan lokasi anatomi
yang diperkirakan berdasarkan riwayat klinis,tipe kejang predominan, EEG
interiktal dan iktal, gambaran neuroimaging
b. Kejang parsial sederhana, kompleks atau kejang umum sekunder berasal dari
lobus frontal, parietal, temporal, oksipital, fokus multipel atau fokus tidak
diketahui
c. Localization related tetapi tidak pasti simtomatik atau idiopatik
2.3.4 Epilepsi Umum
2.3.4.1 Idiopatik
a. Benign neonatal familial convulsions, benign neonatal convulsions
b. Benign myoclonic epilepsy in infancy
c. Childhood absence epilepsy
d. Juvenile absence epilepsy
e. Juvenile myoclonic epilepsy (impulsive petit mal)
f. Epilepsy with grand mal seizures upon awakening
g. Other generalized idiopathic epilepsies
2.3.4.2 Epilepsi Umum Kriptogenik atau Simtomatik
a. West’s syndrome (infantile spasms)
b. Lennox gastaut syndrome
c. Epilepsy with myoclonic astatic seizures
d. Epilepsy with myoclonic absences
2.3.4.3 Simtomatik
a. Etiologi non spesifik
b. Early myoclonic encephalopathy
c. Specific disease states presenting with seizures
2.4 Patofisiologi
Otak terdiri dari sekian biliun sel neuron yang satu dengan lainnya saling berhubungan.
Hubungan antar neuron tersebut terjalin melalui impuls listrik dengan bahan perantara kimiawi
yang dikenal sebagai neurotransmiter. Dalam keadaan normal, lalu-lintas impuls antar neuron
berlangsung dengan baik dan lancar. Apabila mekanisme yang mengatur lalu-lintas antar
neuron menjadi kacau dikarenakan breaking system pada otak terganggu maka neuron-neuron
akan bereaksi secara abnormal.
Neurotransmiter yang berperan dalam mekanisme pengaturan ini :
a. Glutamat, yang merupakan brain’s excitatory neurotransmitter.
b. GABA (Gamma Aminobutyric Acid), yang bersifat sebagai brain’s inhibitory
neurotransmitter.
c. Golongan neurotransmiter lain yang bersifat eksitatorik adalah aspartat dan asetil kolin,
sedangkan yang bersifat inhibitorik lainnya adalah noradrenalin, dopamine, serotonin (5-
HT) dan peptida. Neurotransmiter ini hubungannya dengan epilepsy belum jelas dan masih
perlu penelitian lebih lanjut.
Epileptic seizure apapun jenisnya selalu disebabkan oleh transmisi impuls di area otak
yang tidak mengikuti pola yang normal, sehingga terjadilah apa yang disebut sinkronisasi dari
impuls. Sinkronisasi ini dapat mengenai pada sekelompok kecil neuron atau kelompok neuron
yang lebih besar atau bahkan meliputi seluruh neuron di otak secara serentak. Lokasi yang
berbeda dari kelompok neuron yang ikut terkena dalam proses sinkronisasi inilah yang secara
klinik menimbulkan manifestasi yang berbeda dari jenis-jenis serangan epilepsi. Secara
teoritis faktor yang menyebabkan hal ini yaitu:
a. Keadaan dimana fungsi neuron penghambat (inhibitorik) kerjanya kurang optimal sehingga
terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan, disebabkan konsentrasi GABA yang
kurang. Pada penderita epilepsi ternyata memang mengandung konsentrasi GABA yang
rendah di otaknya (lobus oksipitalis). Hambatan oleh GABA ini dalam bentuk inhibisi
potensial post sinaptik.
b. Keadaan dimana fungsi neuron eksitatorik berlebihan sehingga terjadi pelepasan impuls
epileptik yang berlebihan. Disini fungsi neuron penghambat normal tapi sistem pencetus
impuls (eksitatorik) yang terlalu kuat. Keadaan ini ditimbulkan oleh meningkatnya
konsentrasi glutamat di otak. Pada penderita epilepsi didapatkan peningkatan kadar
glutamat pada berbagai tempat di otak.
c. Pada dasarnya otak yang normal itu sendiri juga mempunyai potensi untuk mengadakan
pelepasan abnormal impuls epileptik.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa untuk timbulnya kejang sebenarnya ada tiga kejadian
yang saling terkait :
a. Perlu adanya “pacemaker cells” yaitu kemampuan intrinsic dari sel untuk menimbulkan
bangkitan.
b. Hilangnya “postsynaptic inhibitory controle” sel neuron.
c. Perlunya sinkronisasi dari “epileptic discharge” yang timbul.
Area di otak dimana ditemukan sekelompok sel neuron yang abnormal, muatan listrik
berlebihan dan hipersinkron dikenal sebagai fokus epileptogenesis (fokus pembangkit
serangan kejang). Fokus epileptogenesis dari sekelompok neuron akan mempengaruhi neuron
sekitarnya untuk bersama dan serentak dalam waktu sesaat menimbulkan serangan kejang.
Berbagai macam kelainan atau penyakit di otak (lesi serebral, trauma otak, stroke,
kelainan herediter dan lain-lain) sebagai fokus epileptogenesis dapat terganggu fungsi
neuronnya (eksitasi berlebihan dan inhibisi yang kurang) dan akan menimbulkan kejang bila
ada rangsangan pencetus seperti hipertermia, hipoksia, hipoglikemia, hiponatremia, stimulus
sensorik dan lain-lain.
Serangan epilepsi dimulai dengan meluasnya depolarisasi impuls dari fokus
epileptogenesis, mula-mula ke neuron sekitarnya lalu ke hemisfer sebelahnya, subkortek,
thalamus, batang otak dan seterusnya. Kemudian untuk bersama-sama dan serentak dalam
waktu sesaat menimbulkan serangan kejang. Setelah meluasnya eksitasi selesai dimulailah
proses inhibisi di korteks serebri, thalamus dan ganglia basalis yang secara intermiten
menghambat discharge epileptiknya.
Pada gambaran EEG dapat terlihat sebagai perubahan dari polyspike menjadi spike and
wave yang makin lama makin lambat dan akhirnya berhenti. Dulu dianggap berhentinya
serangan sebagai akibat terjadinya exhaustion neuron (karena kehabisan glukosa dan
tertimbunnya asam laktat). Namun ternyata serangan epilepsi bisa terhenti tanpa terjadinya
neuronal exhaustion. Pada keadaan tertentu (hipoglikemia otak, hipoksia otak, asidosis
metabolik depolarisasi impuls dapat berlanjut terus sehingga menimbulkan aktivitas serangan
yang berkepanjangan disebut status epileptikus.
Gambar Patofisiologi
terjadinya Kejang
2.6 Diagnosis
Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan klinis dengan hasil pemeriksaan
EEG dan radiologis. Namun demikian, bila secara kebetulan melihat serangan yang sedang
berlangsung maka epilepsi (klinis) sudah dapat ditegakkan.
2.6.1 Anamnesis
Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh, karena pemeriksa
hampir tidak pemah menyaksikan serangan yang dialami penderita. Penjelasan perihal
segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama dan sesudah serangan (meliputi gejala dan
lamanya serangan) merupakan informasi yang sangat berarti dan merupakan kunci
diagnosis. Anamnesis juga memunculkan informasi tentang trauma kepala dengan
kehilangan kesadaran, meningitis, ensefalitis, gangguan metabolik, malformasi vaskuler
dan obat-obatan tertentu.
Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi:
- Pola / bentuk serangan
- Lama serangan
- Gejala sebelum, selama dan paska serangan
- Frekwensi serangan
- Faktor pencetus
- Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
- Usia saat serangan terjadinya pertama
- Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan
- Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya
- Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga
2.6.2 Pemeriksaan fisik umum dan neurologis
Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi,
seperti trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital, gangguan
neurologik fokal atau difus. Pemeriksaan fisik harus menepis sebab-sebab terjadinya
serangan dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada anak-
anak pemeriksa harus memperhatikan adanya keterlambatan perkembangan,
organomegali, perbedaan ukuran antara anggota tubuh dapat menunjukkan awal
gangguan pertumbuhan otak unilateral.
2.6.3 Pemeriksaan Penunjang
a. EEG (elektroensefalogram) merupakan pemeriksaan yang mengukur aktivitas listrik
di dalam otak.
Pemeriksaan ini tidak menimbulkan rasa sakit dan tidak memiliki resiko. Elektroda
ditempelkan pada kulit kepala untuk mengukur impuls listrik di dalam otak. Setelah
terdiagnosis, biasanya dilakukan pemeriksaan lainnya untuk menentukan penyebab
yang biasa diobati.
b. Pemeriksaan darah rutin dilakukan untuk :
- mengukur kadar gula, kalsium dan natrium dalam darah.
- menilai fungsi hati dan ginjal.
- menghitung jumlah sel darah putih (jumlah yang meningkat menunjukkan adanya
infeksi).
c. EKG (elektrokardiogram)
EKG dilakukan untuk mengetahui adanya kelainan irama jantung sebagai akibat dari
tidak adekuatnya aliran darah ke otak, yang bisa menyebabkan seseorang mengalami
pingsan.
d. CT scan dan MRI
CT scan dan MRI dilakukan untuk menilai adanya tumor atau kanker otak, stroke,
jaringan parut dan kerusakan karena cedera kepala.
e. Kadang dilakukan pungsi lumbal utnuk mengetahui apakah telah terjadi infeksi otak.
2.8 Penatalaksanaan
2.8.1 Obat-obat anti epilepsy
Obat antiepilepsi (OAE) merupakan terapi utama pada manajemen epilepsi. Keputusan
untuk memulai terapi didasarkan pada pertimbangan kemungkinan terjadinya serangan
epilepsi selanjutnya dan risiko terjadinya efek buruk akibat terapi obat antiepilepsi.
Politerapi seharusnya dihindari sebisa mungkin. Namun demikian, kurang lebih 30-50%
pasien tidak berrespon terhadap monoterapi.Tujuan pengobatan epilepsi dengan obat
antiepilepsi adalah menghindari terjadinya kekambuhan dengan efek buruk yang minimal
(yang dapat ditoleransi).
2.8.2 Prinsip-prinsip terapi obat antiepilepsi
2.8.2.1 Menentukan diagnosis yang tepat
Diagnosis yang tepat sangat penting pada epilepsi. Orang yang terdiagnosis
epilepsi mempunyai beberapa konsekuensi. Penderita epilepsi akan meminum
obat dalam jangka waktu yang lama yang berakibat pada kemungkinan adanya
efek yang merugikan akibat obat antiepilepsi. Penderita juga dinilai oleh
masyarakat sebagai penderita epilepsi yang menurut penilaian masyarakat
penyakit tersebut adalah penyakit kutukan. Sangat disayangkan apabila penderita
sinkop yang berulang, diterapi dengan obat antiepilepsi. Oleh karena itu
dibutuhkan pengetahuan yang baik bagi seorang dokter untuk mendiagnosis
epilepsi. Jangan pernah coba-coba dalam terapi epilepsi.
2.8.2.2 Menentukan kapan dimulainya terapi dengan obat antiepilepsi
Salah satu kesulitan yang dihadapi seorang dokter dalam merawat pasien dengan
serangan epilepsi adalah memutuskan kapan memulai pengobatan. Keputusan ini
seharusnya dibuat setelah mendiskusikan dan mengevaluasi keadaan pasien,
menimbang manfaat dan kerugian pengobatan.
Setelah kejang pertama
Langkah pertama untuk memulai pengobatan adalah menilai risiko
terjadinya bangkitan selanjutnya. Jika bangkitan merupakan bangkitan non
epileptik, pengobatan harus ditujukan pada faktor penyebab yang mendasari. Jika
bangkitan hipoglikemik pada anak maka diterapi dengan glukosa, bangkitan
karena putusnya alcohol dapat dikontrol paling baik dengan perubahan perilaku
adiktif dan jika bangkitan karena masalah psikogenik dapat diatasi dengan
konseling yang tepat. Terapi bangkitan epilepsi ditentukan oleh penilaian dua hal,
risiko pengobatan dan manfaat pengobatan. Sebagai contoh, anak penderita
epilepsi benigna dengan “spikes” di sentrotemporal mungkin tidak membutuhkan
terapi dengan obat karena penelitian-penelitian menunjukkan bahwa setelah
mengalami hanya sedikit serangan nokturnal, mereka jarang mengalami kondisi
ini. Jika terdapat lesi struktural, biasanya bangkitan akan berulang (termasuk
tumor otak, displasia kortikal dan malformasi arteriovenosa).
Jika diagnosis sudah ditegakkan, setelah bangkitan pertama jangan ragu-
ragu untuk memberikan terapi untuk memulai terapi farmakologi dan
mempertimbangkan dilakukannya tindakan bedah. Namun demikian, pada banyak
kasus, penggalian faktor penyebab spesifik seringkali gagal. Keputusan untuk
mulai memberikan pengobatan setelah kejang pertama, menurut Leppik (2001)
dapat dibagi menjadi tiga kategori berdasarkan risiko terjadinya kejang
selanjutnya, yaitu treat, possibly treat dan probably treat (yang akan lebih dibahas
dalam tabel di bawah ini).
A. Treat :
1. Jika didapatkan lesi struktural :
a. Tumor otak seperti meningioma, glioma, neoplastik
b. Malformasi arteiovenosa
c. Infeksi seperti abses dan ensefalitis herpetika
2. Tanpa lesi struktural, namun dengan :
a. Riwayat epilepsi pada saudara (bukan pada orang tua)
b. EEG dengan pola epilepsi yang jelas (epileptiform)
c. Riwayat kejang akut (kejang akibat penyakit tertentu atau kejang demam pada masa
kanak-kanak)
d. Riwayat trauma otak atau stroke, infeksi SSP, trauma kepala berat
e. Todd’s postical paresis
f. Status epileptikus
B. Possibly :
Bangkitan tanpa ada penyebab yang jelas dan tidak ditemukan faktor risiko di atas. Untuk keadaan
seperti ini diperlukan pertimbangan yang matang mengenai keuntungan dan risiko dari pengobatan obat
antiepilepsi. Risiko pengobatan obat antiepilepsi umumnya rendah, sedangkan akibat dari bangkitan
kedua tergantung gaya hidup pasien.pengobatan mungkin diindikasikan untuk pasien yang akan
mengendarai kendaraan atau pasien yang mempunyai risiko besar atau trauma jika mengalami
bangkitan kedua.
C. Probably not (meskipun terapi jangka pendek mungkin bisa digunakan) :
a. Putusnya alkohol
b. Penyalahgunaan obat
c. Kejang akibat penyakit akut seperti demam tinggi, dehidrasi, hipoglikemik
d. Kejang karena trauma(kejang tunggal dengan segera setelah pukulan di kepala)
e. Sindrom epilepsi benigna spesifik seperti : kejang demam atau epilepsi benigna dengan “spikes”
sentrotemporal.
f. Kejang karena tidak tidur lama seperti kejang pada pelajar dalam waktu-waktu ujian
Setelah kejang lebih dua kali atau lebih
Pada umumnya pasien yang mengalami serangan dua kali atau lebih
membutuhkan pengobatan. Kecuali pada serangan-serangan tertentu seperti
kejang akibat putusnya alcohol, penyalahgunaan obat, kejang akibat penyakit akut
seperti demam tinggi, dehidrasi, hipoglikemik, kejang karena trauma(kejang
tunggal dengan segera setelah pukulan di kepala), sindrom epilepsi benigna
spesifik seperti : kejang demam atau epilepsi benigna dengan “spikes”
sentrotemporal, kejang karena tidak tidur lama seperti kejang pada pelajar dalam
waktu-waktu ujian dan kejang akibat penyebab non epileptik lainnya. Kejang
akibat hal-hal di atas sebaiknya ditangani sesuai kausanya.
Pada pasien yang mengalami kejang pertama namun tidak ada faktor risiko
satupun yang ditemukan, maka kemungkinan terjadinya kejang yang kedua 10%
pada tahun pertama dan 24% pada akhir tahun kedua setelah kejang yang
pertama. Keputusan untuk memulai terapi diambil dengan pertimbangan risk and
benefit setelah sebelumnya dokter berdiskusi dengan pasien.
Sebagai contoh terapi diindikasikan untuk pasien yang bekerja sebagai sopir
karena jika terjadi kekambuhan sewaktu-waktu maka akan membahayakan pasien
bahkan mengancam nyawa pasien. Pengobatan yang dilakukan pada penderita
yang mempunyai sedikit bahkan tidak mempunyai risiko terjadinya kejang kedua
biasanya hanya terapi jangka pendek. Risiko terjadinya kekambuhan yang paling
besar terjadi pada dua tahun pertama. Seandainya pasien diputuskan untuk
diobati, maka penghentian pengobatan dilakukan setelah tahun kedua dari kejang
yang pertama.
2.8.2.3 Memilih obat yang paling sesuai
Pemilihan obat antiepilepsi didasarkan pada dua hal, tipe serangan dan
karakteristik pasien
a. Tipe Serangan
Tipe serangan First-line Second-line/ Third line/
add on add on
Parsial simple & Karbamazepine Asam valproat Tiagabin
kompleks dengan atau Fenitoin Levetiracetam Vigabatrin
tanpa general sekunder Fenobarbital Zonisamid Felbamat
Okskarbazepin Pregabalin Pirimidon
Lamotrigin
Topiramat
Gabapentin
Tonik klonik Asam valproat Lamotrigin Topiramat
Karbamazepine Okskarbazepin Levetiracetam
Fenitoin Zonisamid
Fenobarbital Pirimidon
Mioklonik Asam valproat Topiramat Lamotrigin
Levetiracetam Clobazam
Zonisamid Clonazepam
Fenobarbital
Absence (tipikal dan Asam valproat Etosuksimid Levetiracetam
atipikal) Lamotrigin Zonisamid
b. Karakteristik Pasien
Dalam pengobatan dengan obat antiepilepsi karakteristik pasien harus
dipertimbangkan secara individu. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan
adalah : efek buruk obat, dosis yang tepat, harga, pola hidup dan usia pasien.
Suatu obat antiepilepsi mungkin efektif pada pasien tertentu namun jika ada
kontra indikasi atau terjadi reaksi yang tidak bisa ditoleransi maka sebaiknya
penggantian obat dilakukan. Sebagai contoh asam valproat pada wanita,
khususnya wanita yang masih dalam usia subur.
2.8.2.4 Optimalisasi terapi dengan dosis individu
Ketika obat sudah dipilih terapi seharusnya dimulai dari dosis yang paling rendah
yang direkomendasikan dan pelan-pelan dinaikkan dosisnya sampai kejang
terkontrol dengan efek samping obat yang minimal (dapat ditoleransi). Perlu
dilakukan evaluasi respon klinik pasien terhadap dosis obat yang diberikan
dengan melihat respon setelah obat mencapai kadar yang optimal dan kemudian
memutuskan apakah selanjutnya dibutuhkan penyesuaian atau tidak. Setelah
evaluasi dilakukan, baru kemudian dipertimbangkan adanya penambahan dosis.
Dosis awal :
Terapi obat antiepilepsi harus diberikan secara bertahap dalam satu bulan
terapi untuk meminimalkan efek samping gastrointestinal dan neurologik yang
biasanya terjadi pada permulaan terapi dengan obat antiepilepsi. Frekuensi efek
samping ini cenderung menurun pada beberapa bulan setelah terapi karena dapat
ditoleransi. Beberapa cara pemberian dosis awal :
Pemberian obat mulai dari dosis subterapetik :
Efek buruk terkait dosis awal pemberian pada obat-obat antiepilepsi seperti
gabapentin, fenitoin, dan fenobarbital merupakan masalah yang ringan sehingga
terapi dengan obat tersebut dapat diberikan mulai dengan dosis terapetik yang
direkomendasikan.
Evaluasi ulang
Sebelum berpikir ke arah kegagalan obat antiepilepsi dan penggantian obat
antiepilepsi dengan obat lain, factor-faktor berikut harus dievaluasi kembali :
Diagnosis epilepsi
Klasifikasi tipe serangan atau sindrom epilepsi
Adanya lesi aktif
Dosis yang adekuat dan atau lamanya terapi (missal : apakah dosis terpaksa
diberikan dengan kadar maksimal yang dapat ditoleransi? apakah pengaturan
dosis yang diberikan cukup waktu untuk mencapai kondisi optimal?)
Ketaatan terhadap pengobatan (ketidaktaatan merupakan penyebab yang
paling umum terjadinya kegagalan pengobata dan kambuhnya bangkitan).
Tabel dosis obat antiepilepsi untuk dewasa
Dosis yang Dosis Frekuensi
Dosis awal
Obat paling umum maintenance pemberian Efek samping
(mg/hari)
(mg/hari) (mg/hari) (kali/hari)
Hirsutisme, hipertrofi gusi, distres
Fenitoin 200 300 100-700 1-2 lambung, penglihatan kabur, vertigo,
hiperglikemia, anemia makrositik
Depresi sumsum tulang, distress
Karbamazep
200 600 400-2000 2-4 lambung, sedasi, penglihatan kabur,
in
konstipasi, ruam kulit
Okskarbaze Gangguan GI, sedasi, diplopia,
150-600 900-1800 900-2700 2-3
pin hiponatremia, ruam kulit
Hepatotoksik, ruam, sindrom steven-
Lamotrigin 12,5-25 200-400 100-800 1-2 johnson, nyeri kepala, pusing,
penglihatan kabur
Somnolen, ataksia, kelelahan, anoreksia,
Zonisamid 100 400 400-600 1-2
pusing, batu ginjal, leukopenia
Mual, muntah, BB ↓, konstipasi, diare,
Ethosuximid 500 1000 500-2000 1-2
gangguan tidur
gg. GI, BB ↓ , anoreksia, nyeri kepala,
Felbamat 1200 2400 1800-4800 3
insomnia, hepatotoksik
Faringitis, insomnia, BB ↓, konstipasi,
Topiramat 25-50 200-400 100-100 2
mulut kering, sedasi, anoreksia
Clobazam 10 20 10-40 1-2
Mengantuk, kebingungan, nyeri kepala,
Clonazepam 1 4 2-8 1-2
vertigo, sinkop
Fenobarbital 60 120 60-240 1-2 Sedasi, distress lambung
Pirimidon 125 500 250-1500 1-2
Mulut kering, pusing, sedasi, langkah
Tiagabin 4-10 40 20-60 2-4 terhuyung, nyeri kepala, eksaserbasi
kejang generalisata
Vigabatrin 500-1000 3000 2000-4000 1-2
Leukopenia,mulut kering, penglihatan
Gabapentin 300-400 2400 1200-4800 3 kabur, mialgia, penambahan berat,
kelelahan
Pregabalin 150 300 150-600 2-3
Valproat 500 1000 500-3000 2-3 Mual, hepatotoksik
Levetiraceta
1000 2000-3000 1000-4000 2
m
Kasus
Nn. R (18 tahun), tiba-tiba jatuh dan kejang-kejang seluruh tubuh dimana lengan fleksi dan
tungkai ekstensi, lidah tergigit, berkeringat, serta inkontinensia urin dan alvi selama 2-3 menit
kemudian pingsan beberapa saat. Dia kemudian dibawa oleh ibunya ke rumah sakit terdekat. Dari
pengakuan ibunya, kejadian ini ternyata sudah sering dialami pasien sejak kecil. Hasil
pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan yaitu :
N : 92 x/menit
TD : 110/70 mmHg
RR : 22x/menit
T : 36,4C
EEG : abnormal dengan gambaran spike wave
Darah Lengkap: Leukosit : 10.440
Trombosit : 263.000
Hb : 11,2 gr/dL
GDS : 95 mg/dL
Hct : 31,8 %
Pertanyaan :
1. Tentukan diagnosis pasien tersebut
2. Tentukan langkah-langkah p-treatment dalam pemilihan obat yang sesuai untuk pasien
tersebut.
Jawaban:
1. Diagnosis
Anamnesis: pasien jatuh dan kejeang seluruh tubuh dimana lengan fleksi dan tungkai
ekstensi, lidah tergigit, berkeringat, serta inkontinensia urin dan alvi selama 2-3 menit kemudian
pingsan beberapa saat. Riwayat kejadian serupa sejak kecil. Hasil pemeriksaan fisik: N :
90x/menit, TD : 110/70 mmHg, RR : 22x/menit, dan T : 36,4C. EEG : abnormal dengan
gambaran spike wave
Diagnosis kerja: epilepsi general tonik-klonik (grand mal)
2. P-Treatment
Tahapan penentuan P-treatment: 1) problem pasien, 2) tujuan terapi, 3) pemilihan terapi, 4)
pemberian terapi (resep jika ada), 5) komunikasi terapi, 6) monitoring dan evaluasi.
1. Problem Pasien
Problem pada pasien berdasarkan soal yaitu:
Problem/Diagnosa Utama: epilepsi general tonik-klonik (grand mal)
Problem/Diagnosa Tambahan: -
2. Tujuan Terapi
Tujuan terapi bagi pasien ini berdasarkan problemnya adalah:
Membebaskan pasien dari bangkitan epilepsi tanpa mengganggu fungsi normal SSP.
Memberikan edukasi pada keluarga pasien mengenai penyakit yang saat ini diderita oleh
anaknya dan memberikan pemahaman mengenai pengobatan yang harus dijalani pasien
guna mengurangi kekambuhan penyakitnya
3. Pemilihan Terapi
Advise
- Menghindari melakukan aktivitas di tempat yang berbahaya.
- Menghindari faktor pencetus yang dapat menimbulkan bangkitan epilepsi,
misalnya minum alkohol, obat-obatan tertentu (TCA, obat tidur), stres emosional,
kelelahan fisik maupun mental.
- Beristirahat dengan cukup karena kurang tidur juga merupakan salah satu faktor
pencetus epilepsi.
Terapi Non Farmakologi
- Makan makanan yang seimbang serta konsumsi vitamin yang cukup.
- Istrirahat yang cukup, karena kelelahan yang berlebihan dapat mencetuskan serangan
epilepsi.
- Belajar mengendalikan stress dengan menggunakan latihan tarik nafas panjang dan
teknik relaksasi lainnya.
Penanganan saat serangan:
jauhkan dari tempat dan barang2 berbahaya
tidurkan pada sisi tubuh
jalan nafasnya
baju dan ikat pinggang di kendorkan atau dilepas
hindari beri minuman saat tak sadar
larikan ke dokter atau rumah sakit terdekat
Terapi Farmakologi
Pemberian obat yang ditujukan untuk mencegah proses inisiasi dan membatasi proses
penyebaran impuls sehingga tidak terjadi serangan epilepsi berulang.
Pemilihan obat antiepilepsi
Obat antiepilepsi terdiri dari beberapa golongan, yaitu:
Obat Antiepilepsi
Golongan Jenis Obat
Hidantoin Fenitoin, Etotoin, Mefenitoin
Barbiturat Fenobarbital
Oksazolidindion Bimetadion, Trimetadion,
Parametadion
Suksinamid Etosuksimid
Carbamazepin Carbamazepin
Benzodiazepin Diazepam, Lorazepam, Klonazepam,
Klorazepat dipotasium, Nitrazepam,
Klobazam
Asam Valproat Asam Valproat
Antiepilepsi lain Fenasemid, Acetazolamid
Pemilihan terapi epilepsi berdasarkan serangan, disebutkan pada tabel berikut:
Pada pasien kasus ini tipe serangannya adalah tonik-klonik (grand mal), sehingga
golongan obat yang dapat diberikan adalah asam valproat, carbamazepin, golongan hidantoin dan
golongan barbiturat. Adapun dosis obat tersebut yaitu :
Dosis yang Dosis Frekuensi
Dosis awal
Obat paling umum maintenance pemberian Efek samping
(mg/hari)
(mg/hari) (mg/hari) (kali/hari)
Hirsutisme, hipertrofi gusi, distres
Fenitoin 200 300 100-700 1-2 lambung, penglihatan kabur, vertigo,
hiperglikemia, anemia makrositik
Depresi sumsum tulang, distress
Karbamazep
200 600 400-2000 2-4 lambung, sedasi, penglihatan kabur,
in
konstipasi, ruam kulit
Fenobarbital 60 120 60-240 1-2 Sedasi, distress lambung
Valproat 500 1000 500-3000 2-3 Mual, hepatotoksik
Asam Valproat
Carbamazepin
Golongan Hidantoin
Barbiturat
Farmakokinetik:
A: oral sekitar 90%. Puncak
konsentrasi plasma dicapai 8-12
jam setelah pemberian oral
D: memiliki ikatan protein sangat
rendah (20 sampai 45%).
M: dimetabolisme oleh hati,
terutama melalui hidroksilasi dan
glukoronidasi, dan menginduksi
banyak isozymes dari sistem
sitokrom P450
E: diekskresikan oleh ginjal
Berdasarkan efficacy, safety dan suitability dan cost maka obat yang dipilih yaitu golongan
Hidantoin. Setelah itu dip ilih lagi jenis obat golongan Hidantoin yang sesuai berdasarkan
efficacy, safety dan suitability dan cost. Sehingga dengan demikian dapat diperoleh jenis obat
yang benar-benar sesuai dengan pasien.
Golongan Hidantoin
Fenitoin
Etotoin
Kesimpulan: Dari berbagai pilihan obat yang termasuk dalam golongan hidantoin maka
berdasarkan efficacy, safety dan suitability dan cost dipilihlah jenis obat
fenitoin. Oleh karena itu kita gunakan obat Kutoin dalam pengobatan
pasien itu.
4. Pemberian Terapi
a. Terapi Non Farmakologi
- Makan makanan yang seimbang serta konsumsi vitamin yang cukup.
- Istrirahat yang cukup, karena kelelahan yang berlebihan dapat mencetuskan serangan
epilepsi.
- Belajar mengendalikan stress dengan menggunakan latihan tarik nafas panjang dan
teknik relaksasi lainnya.
Penanganan saat serangan:
jauhkan dari tempat dan barang2 berbahaya
tidurkan pada sisi tubuh
jalan nafasnya
baju dan ikat pinggang di kendorkan atau dilepas
hindari beri minuman saat tak sadar
larikan ke dokter atau rumah sakit terdekat
b. Terapi Farmakologi
Berdasarkan terapi yang telah diberikan pada pasien ini yaitu:
Kutoin kapsul 100 mg dengan dosis 3 kali sehari dan dengan maksimal dosis 300 mg per
hari.
Penulisan Resep
5. Komunikasi Terapi
a. Informasi Penyakit
Pasien menderita
Pro :epilepsi
Nn. R bangkitan tonik-klonik (grandmal).
- Epilepsi merupakan suatu serangan kejang yang terjadi secara berulang. Pada kasus,
Usia : 18 tahun
Alamat : Jln. Dr. Sutomo gg Mawar No 15
epilepsi yang terjadi merupakan bangkitan tonik-klonik (grandmal) karena
bangkitannya terjadi dalam 3 fase, yaitu tonik, klonik, dan pasca-kejang (jatuh, kejang
seluruh tubuh, kemudian pingsan selama beberapa saat).
- Bangkitan kejang pada epilepsi disebabkan oleh faktor-faktor pencetus seperti kurang
tidur, konsumsi alkohol, konsumsi obat-obatan sedatif, stres emosional, perubahan
hormon, infeksi, cedera kepala, kelelahan fisik.
b. Informasi Terapi
- Pasien dianjurkan mencari seseorang yang bertugas sebagai pengawas minum obat
untuk menghindari terjadinya putus obat mendadak yang dapat menyebabkan status
epileptikus yang lebih parah.
- Jangan merubah dosis tanpa sepengetahuan dokter pasien.
- Terapi farmakologi dapat dihentikan apabila bebas kejang selama 2-3 tahun, dan
aktivitas paroksismal EEG telah menghilang.
- Obat harus dihentikan secara perlahan dalam waktu beberapa bulan/minggu.
- Pasien harus menghindari faktor pencetus serangan seperti aktivitas berlebihan.
c. Informasi Obat dan Penggunaan
- Obat Fenitoin diminum 3 kali sehari sebanyak 1 tablet setelah makan/dengan
makanan.
- Karena BSO dalam bentuk kapsul maka pasien harus menelan utuh obat tersebut,
jangan dipatahkan dan dibuka.
- Pasien harus berkonsultasi dengan dokter apabila timbul gejala baru atau gejala lain
yang memburuk yang diduga akibat pengobatan (misal: perubahan mood).
BAB III
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
1. MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi. Edisi 10. Jakarta. PT. Infomaster Lisensi dari CMP
Medica. 2009/2010
2. Ellsworth, A.; Witt, D.; Dugdale, D. Mosby’s Medical Drug Reference. USA. Elsevier
Mosby. 2005
3. Katzung B.G. 2001. Farmakologi Dasar dan Klinik. Diterjemahkan oleh Dripa Sjabana,
dkk. Jakarta: Penerbit Salemba Medika
4. Mansjoer A, Dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta Penerbit Media Aesculapius
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 2001: 518
5. McFadden Jr. ER. In : Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL,
Jameson JL, (Eds.). 2001. Harrison’s. Principles of Internal Medicine. Volume 2. 15Th
Edition. USA: McGraw-Hill. p.1456-1462
6. Sukandar, Elin Y, dkk. 2009. ISO Farmakoterapi. Jakarta: PT.ISFI Penerbitan.
7. Sweetman, S. C. 2005. Martindale The Complete Drug Reference 34th Edition. USA:
Pharmaceutical Press