Suatu insisi kecil (sedikit lebih pendek dari garis tengah kanula) dibuat di
kulit dengan pisau nomor 11. Kateter peritoneal kemudian didorong masuk
ke ruang peritoneal dengan gerakan memutar (seperti sekrup). Sewaktu sudah
masuk, pisau ditarik 1 inci dan kateter diarahkan ke pelvis. Kdang-kadang
dinding atau selaput peritoneum terasa sebagai dua lapis yang dapat
dibedakan, keduanya harus ditembus sebelum menarik pisau dan
mengarahkan kateter. Pada waktu ini, harus segera dijalankan atau dialirkan 2
L cairan dan diperhatikan reaksi penderita, minimalkan rasa tidak nyaman.
Segera setelah cairan ini masuk, harus di “syphon off” untuk melihat bahwa
system tersebut mengalir lancar, sesuaikan posisi kateter untuk menjamin
bahwa aliran cukup baik. Beberapa inci dari kateter akan menonjol dari
abdomen dan ini dapat dirapikan bila perlu. Namun paling sedikit 1 atau 2
inci harus menonjol dari dinding perut. Hal ini kemudian dikuatkan ditempat
dengan elastoplas. Dengan tiap trokat ada suatu pipa penyambung yang
pendek yang menghubungkan kateter ke alat perangkat.
a. Pengeluaran Cairan
Cairan dialisat yang sudah mengandung zat-zat racun dan kelebihan air
akan dikeluarkan dari rongga perut dan diganti dengan cairan dialisis yang
baru. Proses pengeluaran cairan ini berlangsung sekitar 20 menit.
b. Memasukkan Cairan
L cairan dialirkan pada kira-kira setiap 45-60 menit, biasanya hanya
memakan waktu 5 menit untuk mengalirkan. Cairan dialisat dialirkan ke
dalam rongga perut melalui kateter.
c. Waktu Tinggal
Sesudah dimasukkan, cairan dialisat dibiarkan ke dalam rongga perut
selama 4-6 jam, tergantung dari anjuran dokter. Atau cairan ditinggal
dalam ruang peritoneum untuk kira-kira 20 menit dan kemudian 20 menit
dibiarkan untuk pengeluaran. Setelah itu, 2 L cairan lagi dialirkan. Hal ini
diulang tiap jam untuk 36 jam atau lebih lama bila perlu. Suatu catatan,
keseimbangan kumulatif dari cairan yang mengalir ke dalam dan keluar
harus dilakukan dengan dasar tiap 24 jam. Suatu kateter “Tenchoff” yang
fleksibel dapat dipakai juga dapat ditinggal secara permanen untuk CAPD
dari penderita yang mengalami gagal ginjal tahap akhir. Proses
penggantian cairan di atas umumnya diulang setiap 4 atau 6 jam (4 kali
sehari), 7 hari dalam seminggu.
d. KOMPLIKASI CAPD
1. Peritonitis
Komplikasi yang bisa terjadi pada pelaksanaan Dialisa Peritonial Ambulatory
Continous adalah radang selaput rongga perut atau peritonitis. Gejala yang
muncul seperti cairan menjadi keruh dan atau nyeri perut dan atau demam.
Peritonitis merupakan komplikasi yang paling sering dijumpai dan paling serius.
Komplikasi ini terjadi pada 60% hingga 80% pasien yang menjalani dialysis
peritoneal. Sebagian besar kejadian peritonitis disebabkan oleh kontaminasi
staphylococcus epidermis yang bersifat aksidental. Kejadian ini mengakibatkan
gejala ringan dan prognosisnya baik. Meskipun demikian, peritonitis akibat
staphylococcus aureus menghasilkan angka morbiditas yang lebih tinggi,
mempunyai prognosis yang lebih serius dan berjalan lebih lama. Mikroorganisme
gram negative dapat berasal dari dalam usus, khususnya bila terdapat lebih dari
satu macam mikroorganisme dalam cairan peritoneal dan bila mikroorganisme
tersebut bersifat anaerob. Manifestasi peritonitis mencakup cairan drainase
(effluent) dialisat yang keruh dan nyeri abdomen yang difus. Hipotensi dan tanda-
tanda syok lainnya dapat terjadi jika staphylococcus merupakan mikroorganisme
penyebab peritonitis. Pemeriksaan cairan drainase dilakukan untuk penghitungan
jumlah sel, pewarnaan gram, dan pemeriksaan kultur untuk mengenali
mikroorganisme serta mengarahkan terapi. Untuk mencegah komplikasi seperti
ini, sangatlah penting penderita selalu:
a) Membersihkan tangan sebelum melakukan penukaran atau menyentuh kateter.
b) Menjaga lubang keluar kateter itu bersih dan sehat
c) Tidak mengkontaminasi peralatan yang steril (gunakan masker selama proses
penukaran cairan)
d) Carilah tempat yang bersih, nyaman dan aman sebelum melakukan penukaran
cairan dialisat tersebut
e) Jika hendak bepergian, jangan lupa mengontak 3 minggu sebelumnya sentra-
sentra dialisa di kota tujuan
Jika telah terjadi komplikasi seperti ini, biasanya dokter akan menginstruksikan
untuk menambah obat pada cairan pencuci (dialisat) tersebut. Hal ini bisa
dilakukan sendiri oleh pasien.
2. KEBOCORAN
Kebocoran cairan dialisat melalui luka insisi atau luka pada pemasangan kateter
dapat segera diketahui sesudah kateter dipasang. Biasanya kebocoran tersebut
berhenti spontan jika terapi dialysis ditunda selama beberapa ahri untuk
menyembuhkan luka insisi dan tempat keluarnya kateter. Selama periode ini,
factor-faktor yang dapat memperlambat proses kesembuhan seperti aktivitas
abdomen yang tidak semestinya atau mengejan pada saat BAB harus dikurangi.
Kebocoran melalui tempat pemasangan kateter atau ke dalam dinding abdomen
dapat terjadi spontan beberapa bulan atau tahun setelah pemasangan kateter
tersebut
3. PERDARAHAN
Cairan drainase (effluent) dialisat yang mengandung darah kadang-kadang dapat
terlihat, khususnya pada pasien wanita yang sedang haid. Kejadian ini sering
dijumpai selama beberapa kali pertukaran pertama mengingat sebagian darah
akibat prosedur tersebut tetap berada dalam rongga abdomen pada banyak kasus
penyebab terjadinya perdarahan tidak ditemukan. Pergeseran kateter dari pelvis
kadang-kadang disertai dengan perdarahan. Sebagian pasien memperlihatkan
cairan drainase dialisat yang berdarah sesudah ia menjalani pemeriksaan enema
atau mengalami trauma ringan. Perdarahan selalu berhenti setelah satu atau dua
hari sehingga tidak memerlukan intervensi yang khusu. Terapi pertukaran yang
lebih sering dilakukan selama waktu ini mungkin diperlukan untuk mencegah
obstruksi kateter oleh bekuan darah.
4. HERNIA ABDOMEN
Hernia abdomen mungkin terjadi akibat peningkatan tekanan intraabdomen yang
terus menerus. Tipe hernia yang pernah terjadi adalah tipe insisional, inguinal,
diafragmatik dan umbilical. Tekanan intraabdomen yang secara persisten
meningkat juga akan memperburuk gejala hernia hiatus dan hemoroid.
5. HIPERTRIGLISERIDEMIA
Hipertrigliseridemia sering dijumpai pada pasien-pasien yang menjalani CAPD
sehingga timbul kesan bahwa terapi ini mempermudah aterogenesis.
6. Nyeri punggung bawah dan anoreksia
Nyeri punggung bawah dan anoreksia terjadi akibat adanya cairan dalam rongga
abdomen disamping rasa manis yang selalu terasa pada indera pengecap serta
berkaitan dengan absorbsi glukosa dapat pula terjadi pada terapi CAPD.
7. Gangguan citra rubuh dan seksualitas
Meskipun CAPD telah memberikan kebebasan yang lenih besar untuk
mengontrol sendiri terapinya kepada pasien penyakit renal stadium terminal,
namun bentuk terapi ini bukan tanpa masalah. Pasien sering mengalami gangguan
citra tubuh dengan adanya kateter abdomen dan kantong penampung serta selang
dibadannya.
Kuman yang paling sering ialah bakteri Coli, streptokokus alpha dan beta
hemolitik, stapilokokus aurens, enterokokus dan yang paling berbahaya adalah
clostridium wechii.
4. PATOFISIOLOGI
Disebabkan oleh kebocoren dari organ abdomen kedalam rongga abdomen
bisanya sebagai akibat dari inflamasi,infeksi,iskemia, trauma atau perforasi tumor.
Terjadi proliferasi bacterial, yang menimbulkan edema jaringan, dan dalam waktu yang
singkat terjadi eksudasi cairan. cairan dalam peritoneal menjadi keruh dengan
peningkatan protein, sel darah putih, debris seluler dan darah. Respon segera dari saluran
usus adalah hipermotilitas, diikut oleh oleh ileus pralitik, disertai akumudasi udara dan
cairan dalam usus.
5. KLASIFIKASI
Berdasarkan pathogenesis peritonitis dapat di klasifikasikan sebagai berikut:
a. Peritonitis bacterial primer
Akibat kontaminasi bacterial secara hematogen pada cavum peritoneum dan
tidak ditemukan focus infeksi dalam abdomen. Penyebabnya bersifat
monomikrobial, biasanya E.coli, Streotokokus atau Pneumococus, peritonitis ini
dibagi menjadi dua yaitu:
1) Spesifik : Seperti Tuberculosa.
2) Non-spesifik : Pneumonia non tuberculosis dan tonsillitis. Factor yang
beresiko pada peritonitis ini adalah malnutrisi, keganasan intra abdomen,
imunosupresi dan splenektomi. Kelompok resiko tinggi adalah dengan
sindrom nefrotik, gagal ginjal kronik, lupus eritematosus sistemik, dan
sirosis hepatis dengan asites.
b. Peritonitis bacterial akut sekunder(supurative)
Peritonitis yang mengikuti suatu infeksi akaut atau perforasi traktus
gastrointestinal atau tractus urinarius. Pada umunya organism tunggal tidak akan
menyebabkan peritonitis yang fatal. Sinergisme dari multiple organism dapat
memperberat terjadinya infeksi ini. Bakteri anaerob, khususnya spesies
bacteroides dapat memperbesar pengaruh bakteri aerob dalam menimbulkan
infeksi. Luas dan lama kontaminasi suatu bakteri juga dapat memperberat
peritonitis. Kuman dapat berasal:
a. Luka trauma atau penetrasi, yang membawa kuman dari luar masuk ke
dalam cavum peritoneal.
b. Perforasi organ-organ dalam perut. Seperti di akibatkan oleh bahan kimia.
Perforasi usus sehingga feces keluar dari usus. Komplikasi dari proses
inflamasi organ-organ intra abdominal, misalnya appendicitis.
c. Peritonitis Tersier
Peritonitis ini terjadi akibat timbulnya abses atau flagmon dengan atau
tanpa fistula. Yang disebabkan oleh jamur, peritonitis yang sumber kumannya
tidak dapat ditemukan. Seperti disebabkan oleh iritan langsung, seperti misalnya
empedu, getah lambung, getah pancreas, dan urine(Andra & Yessie, 2013).
6. TANDA DAN GEJALA
Menurut Corwin (2000), gambaran klinis pada penderita peritonitis adalah sebagai
berikut :
a. Nyeri terutama diatas daerah yang meradang.
b. Peningkatan kecepatan denyut jantung akibat hipovolemia karena perpindahan
cairan kedalam peritoneum.
c. Mual dan muntah.
d. Abdomen yang kaku.
e. Ileus paralitik (paralisis saluran cerna akibat respon neurogenik atau otot terhadap
trauma atau peradangan) muncul pada awal peritonitis.
f. Tanda-tanda umum peradangan misalnya demam, peningkatan sel darah putih
dan takikardia.
g. Rasa sakit pada daerah abdomen
h. Dehidrasi
i. Lemas
j. Nyeri tekan pada daerah abdomen
k. Bising usus berkurang atau menghilang
l. Nafas dangkal
m. Tekanan darah menurun
n. Nadi kecil dan cepat
o. Berkeringat dingin
p. Pekak hati menghilang
7. KOMPLIKASI
Menurut (Haryono, 2013) komplikasi potensial Peritonitis yang memerlukan
pendekatan kolaboratif dalam perawatan, mencakup :
a. Septikemia dan syok septic.
b. Syok hipovelmia.
c. Sepsis intra abdomen rekuren yang tidak dapat dikontrol dengan
kegagalan multi system.
d. Abses residual intraperitoneal
e. Eviserasi luka.
f. Obstruksi usus
g. Oliguri
8. PENATALAKSANAAN
Menurut Netina (2001), penatalaksanaan pada peritonitis adalah sebagai berikut :
a. Penggantian cairan, koloid dan elektrolit merupakan focus utama dari
penatalaksanaan medik.
b. Analgesik untuk nyeri, antiemetik untuk mual dan muntah.
c. Intubasi dan penghisap usus untuk menghilangkan distensi abdomen.
d. Terapi oksigen dengan nasal kanul atau masker untuk memperbaiki
fungsi ventilasi.
e. Kadang dilakukan intubasi jalan napas dan bantuan ventilator juga
diperlukan.
f. Therapi antibiotik masif (sepsis merupakan penyebab kematian utama).
g. Tindakan pembedahan diarahkan pada eksisi ( appendks ), reseksi ,
memperbaiki (perforasi ), dan drainase ( abses ).
h. Pada sepsis yang luas perlu dibuat diversi fekal
9. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Menurut Doengoes, Moorhouse, dan Geissler (1999), pemeriksaan diagnostic
pada peritonitis adalah sebagai berikut :
a. Pemeriksaan darah lengkap : sel darah putih meningkat kadang-kadang
lebih dari 20.000 /mm3.Sel darah merah mungkin meningkat
menunjukan hemokonsentrasi.
b. Albumin serum, mungkin menurun karena perpindaahan cairan.
c. Amylase serum biasanya meningkat.
d. Elektrolit serum, hipokalemia mungkin ada.
e. Kultur, organisme penyebab mungkin teridentifikasi dari darah,
eksudat/sekret atau cairan asites.
f. Pemeriksaan foto abdominal, dapat menyatakan distensi usus ileum. Bila
perforasi visera sebagai etiologi, udara bebas akan ditemukan pada
abdomen.
g. Foto dada, dapat menyatakan peninggian diafragma.
h. Parasentesis, contoh cairan peritoneal dapat mengandung darah,
pus/eksudat, amilase, empedu, dan kreatinin.
ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
1. Pengumpulan data
Dalam pengumpulan data ada urutan – urutan kegiatan yang dilakukan yaitu :
a. Identitas klien
Nama, umur, jenis kelamin, tempat tinggal (alamat), pekerjaan, pendidikan dan status
ekonomi menengah kebawah dan satitasi kesehatan yang kurang ditunjang dengan
padatnya penduduk dan pernah punya riwayat penyakit CKD
b. Riwayat penyakit sekarang
Meliputi keluhan atau gangguan yang sehubungan dengan penyakit yang di rasakan saat
ini. Dengan rasa sakit pada bagian abdomen, nyeri tekan daerah abdomen, mual, muntah,
demam, lemas.
c. Riwayat penyakit dahulu
Biasanya klien berkemungkinan memiliki riwayat pembedahan pada perut , memeiliki
riwayat penyakit gastro intestinal seperti apendiksitis, memilki riwayat tertusuk di bagian
perut
d. Riwayat penyakit keluarga
Mencari diantara anggota keluarga yang menderita penyakit tersebut.
e. Riwayat psikososial
Biasanya klien mengalami faktor stress contoh: financial, hubungan dan sebabnya,
perasaan tidak berdaya, tidak ada harapan, tidak ada kekuatan, menolak, ansietas,
takut,marah, mudah tersinggung, perubahan kepribadian dan perilaku serta perubahan
proses kognitif.
f. Pola fungsi kesehatan
1. Aktivitas dan Istirahat
Keletihan, kelelahan, malaise, Ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas sehari-
hari karena nyeri abdomen, mual, muntah. Ketidakmampian untuk tidur.
2. Sirkulasi
Pembengkakan pada ekstremitas bawah, Peningkatan tekanan darah, Peningkatan
frekuensi jantung, Distensi vena leher, Edema dependen, tidak berhubungan dengan
penyakit jantung, Warna kulit/membrane mukosa: normal/abu-abu/sianosis, sianosis
perifer, Pucat dapat menunjukkan anemia.
3. Integritas Ego
4. Makanan/ cairan
Mual/muntah, Nafsu makan buruk/anoreksia, penurunan berat badan menetap, ,
Turgor kulit buruk, Edema dependen.
5. Hyegene
Kebersihan buruk
g. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan Umum dan TTV
a. Biasanya keadaan umum klien lemah, letih dan terlihat sakit berat.
b. Biasanya tingkat kesadaran klien composmentis
c. TTV : Biasanya RR meningkat, biasanya tekanan darah naik
2) Kepala
Mengamati bentuk kepala, tidak ada hematoma atau edema, perlukaan
(rincian luka, adanya jahitan, dan kondisi luka).
a) Mata : Biasanya simetris kiri dan kanan, konjungtiva tidak
anemis, dan sklera tidak ikterik
b) Hidung : Biasanya tidak ada pembengkakan polip dan simetris
kiri dan kanan.
c) Bibir : Biasanya bibir pucat
d) Gigi : Biasanya tidak terdapat karies pada gigi.
e) Lidah : Biasanya klien tidak mengalami pendarahan lidah
3) Leher
Biasanya tidak terjadi pembesaran kelenjar tyroid atau kelenjar getah bening dan
pembesaran vena leher.
4) Dada / Thorak
1) Inspeksi : Biasanya simetris kiri dan kanan
2) Palpasi : Biasanya fremitus lemah kiri dan kanan
3) Perkusi : Biasanya terdengar sonor
4) Auskultasi : Biasanya terdapat bunyi vesicular.
5) Jantung
1) Inspeksi : Biasanya letak ictus cordis normal yang berada pada
ICS 5 pada linea medio clavicularis sinistra selebar 1
cm. Ictus cordis tidak terlihat.
2) Palpasi : Biasanya ictus cordis tidak teraba
3) Perkusi : Biasanya tidak ada nyeri
4) Auskultasi : Biasanya terdapat irama jantung yang cepat
6) Perut / Abdomen
1) Inspeksi : Biasanya tidak ada pembesaran pada abdomen, simetris
kiri dan kanan
2) Auskultasi : Biasanya bising usus normal, berkisar antara 5-35
kali/menit.
3) Palpasi : Biasanya ada nyeri tekan, tidak ada pembesaan hepar dan
lien.
4) Perkusi : biasanya terdapat nyeri tekan.
7) Genitourinaria
Biasanya tidak terpasang kateter
8) Ekstremitas
Biasanya tidak ada gangguan pada ekstremitas
9) Sistem Integumen
Biasanya warnanya sawo matang, dan tidak ada gatal pada kulit
10) Sistem Neurologi
Biasanya tidak terjadi penurunan kesadaran
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Setelah dilakukan pengkajian, data-data yang di dapatkan dalam pengkajian tersebut
dianalisa dan dapat ditegakkan diagnosa keperawatannya sesuai dengan masalah yang
sedang dihadapi klien, maka kemungkinan diagnosa yang mungkin muncul pada klien
dengan peritonitis yaitu :
a. Nyeri terutama diatas daerah yang meradang.
b. Peningkatan kecepatan denyut jantung akibat hipovolemia karena perpindahan
cairan kedalam peritoneum.
c. Mual dan muntah.
d. Abdomen yang kaku.
e. Ileus paralitik (paralisis saluran cerna akibat respon neurogenik atau otot terhadap
trauma atau peradangan) muncul pada awal peritonitis.
f. Tanda-tanda umum peradangan misalnya demam, peningkatan sel darah putih
dan takikardia.
g. Rasa sakit pada daerah abdomen
h. Dehidrasi
i. Lemas
j. Nyeri tekan pada daerah abdomen
k. Bising usus berkurang atau menghilang
l. Nafas dangkal
m. Tekanan darah menurun
n. Nadi kecil dan cepat
o. Berkeringat dingin
p. Pekak hati menghilang
C. RENCANA KEPERAWATAN
jarigan
control 3.Cuci tangan setiap sebelum dan
sesudah indakan keperawatan Gunakan
b. Risk control baju, sarung tangan sebagai
e) Status imun,
9. Pertahankan teknik isolasi k/p
gastrointestinal,
genitourinaria dalam 10. Inspeksi kulit dan membran mukosa
batas normal terhadap kemerahan, panas, drainase
13.Dorong istirahat
berkurang
e. Tanda vital dalam
rentang normal
f. Tidak mengalami
gangguan tidur
D. Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan adalah pelaksanaan rencana tindakan yang telah
ditentukan, dengan maksud agar kebutuhan pasien terpenuhi secara optimal. Tindakan
keperawatan dapat dilaksanakan sebagian oleh pasien itu sendiri, oleh perawat secara
mandiri atau dilakukan secara bekerja sama dengan anggota tim kesehatan lain, misalnya
ahli gizi atau fisioterapi.
Hal yang akan dilakukan ini sangat bergantung pada jenis tindakan, pada
kemampuan/ keterampilan dan keinginan pasien, serta pelaksanaan keperawatan bukan
semata-mata tugas perawat, tetapi melibatkan banyak pihak. Namun demikian, yang
memiliki tanggung jawab secara keseluruhan adalah tenaga perawat (Suarli, 2012).
E. Evaluasi
Evaluasi adalah proses penilaian pencapaian tujuan serta pengkajian ulang
rencana keperawatan.
Evaluasi bertujuan untuk menentukan kemampuan pasien dalam mencapai tujuan
yang telah ditentukan dan menilai aktifitas rencana keperawatan dan strategi asuhan
keperawatan.
Langkah-lagkah yang dilakukan dalam evaluasi adalah :
a. Mengumpulkan data perkembangan pasien.
b. Menafsirkan (menginterprestasikan) perkembangan pasien.
c. Membandingkan keadaan sebelum dan sesudah dilakukan tindakan, dengan
menggunakan kriteria pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.
d. Mengukur dan membandingkan perkembangan pasien dengan standar normal yang
berlaku.
Ada tiga simpulan dalam menafsirkan hasil evaluasi, yaitu :
a. Tujuan tercapai
b. Tujuan tercapai sebagian
c. Tujuan sama sekali tidak tercapai
DAFTAR PUSTAKA
Corwin, J Elizabeth. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Lintong, Poppy M. 2005. Ginjal Dan Saluran Kencing Bagian Bawah. Bagian Patologi Anatomi
FK UNSRAT, Manado
Mubin, Halim. 2007. Panduan Praktis Ilmu Penyakit Dalam Diagnosis dan Terapi. EGC :
Jakarta
NIH. 2008. The National Kidney and Urologic Diseases Information Clearinghouse (NKUDIC).
the National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Diseases (NIDDK).
(http://www.kidney.niddk.nih.gov).
Purnomo, Basuki. B. 2011. Dasar – Dasar Urologi. Edisi Ke Tiga. Jakarta :Sagung Seto
Smeltzer, Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddarth
volume 2. Jakarta: EGC.
Suwitra K. 2006. Penyakit Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 581-584.
Universitas Sumatera Utara. 2011. Bab 2 Tinjuan Pustaka.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/16742/4/Chapter%20II.pdf.
diakses pada tanggal 26 November 2019
Wilkinson, Judith M. 2007. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC