Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri


Mycobacterium tuberculosis dan termasuk penyakit zonosis karena bisa
ditularkan oleh hewan ke manusia. TB ditularkan dengan kuman dalam
titik air yang sangat kecil yang dapat dihirup saat orang yang mengidap
TB aktif batuk, bersin, tertawa atau berbicara. TB tidak ditularkan dengan
memegang benda, sehingga tidak perlu dikhususkan barang rumah tangga
yang tersendiri (misalnya sendok-garpu, gelas, atau seprei). TB tidak
ditularkan secara turun-temurun.

Sistem kekebalan yang sehat mungkin dapat mematikan TB


dengan segera. Kalau tidak berhasil diatasi oleh tubuh, kuman biasanya
bersarang di paru-paru, tetapi kadang-kadang menular ke bagian lain di
tubuh. Begitu TB sampai di paru-paru, tubuh langsung mulai melawannya.
Perlawanan tersebut biasanya berhasil, dan sistem kekebalan dapat
menghentikan menularnya kuman. Namun demikian, untuk orang tertentu,
TB dapat menular lebih jauh. TB yang mungkin sudah lama tidak aktif
dapat menjadi aktif kembali bertahun-tahun kemudian, dan infeksi dapat
menular ke bagian lain di tubuh. Infeksi yang sudah sembuh juga dapat
menjadi aktif kembali. Hal ini dapat terjadi kalau kekebalan tubuh menjadi
lemah, misalnya pada masa stres, infeksi virus yang akut, infeksi HIV,
penyakit seperti kencing manis, atau terapi imunosupresif untuk kanker
dan penyakit lain yang memerlukan obat steroida, radioterapi atau obat-
obatan sitotoksik.

Gejala terus-menerus seperti batuk yang lamanya lebih dari dua


tiga minggu, begitu pula dahak bernoda darah, sering merupakan ciri khas
TB. Gejala lain mungkin dapat mencakup rasa lesu atau turunnya berat
badan yang penyebabnya kurang jelas, keringat malam hari, nyeri dada
yang terasa berkali-kali, atau nyeri dan pembengkakan di bagian tubuh

1
yang bersangkutan kalau TBnya menular ke luar paru-paru. Gejala
tersebut belum tentu merupakan akibat TB, tetapi sebaiknya dianggap
sebagai peringatan dini untuk memeriksakan diri ke dokter. Uji TB antara
lain berupa riwayat medis, pemeriksaan fisik, uji kulit tuberkulin, rontgen
dada dan pemeriksaan dahak. Pemeriksaan dahak dikirimkan ke
laboratorium dan mungkin memerlukan waktu beberapa minggu, karena
TB biasanya berkembang secara berangsur-angsur. Uji kulit tuberkulin (uji
Mantoux) terutama digunakan untuk menentukan apakah pernah tersentuh
infeksi, bukan adanya penyakit TB sendiri. Kadang-kadang perlu diadakan
lebih dari satu kali dengan uji yang berselang berbagai jangka waktu untuk
menentukan apakah pernah tersentuh infeksi. TB di bagian tubuh lain,
bukan di dada, dapat ditemukan dengan uji patologi khusus, rontgen
dan/atau penilaian klinis oleh dokter.

2
BAB II
TEORI SURVEILANS

A. Pengertian Surveilans
Menurut WHO (2004), surveilans merupakan proses pengumpulan,
pengolahan, analisis dan interpretasi data secara sistemik dan terus
menerus serta penyebaran informasi kepada unit yang membutuhkan untuk
dapat mengambil tindakan. Berdasarkan definisi diatas dapat diketahui
bahwa surveilans adalah suatu kegiatan pengamatan penyakit yang
dilakukan secara terus menerus dan sistematis terhadap kejadian dan
distribusi penyakit serta faktor-faktor yang mempengaruhi nya pada
masyarakat sehingga dapat dilakukan penanggulangan untuk dapat
mengambil tindakan efektif.
Menurut CDC (Center of Disease Control), merupakan
pengumpulan, analisis dan interpretasi data kesehatan secara sistematis
dan terus menerus, yang diperlukan untuk perencanaan, implementasi dan
evaluasi upaya kesehatan masyarakat, dipadukan dengan diseminasi data
secara tepat waktu kepada pihak-pihak yang perlu mengetahuinya.
Sementara menurut Timmreck (2005), pengertian surveilans
kesehatan masyarakat merupakan proses pengumpulan data kesehatan
yang mencakup tidak saja pengumpulan informasi secara sistematik, tetapi
juga melibatkan analisis, interpretasi, penyebaran, dan penggunaan
informasi kesehatan. Hasil surveilans dan pengumpulan serta analisis data
digunakan untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang status
kesehatan populasi guna merencanakan, menerapkan, mendeskripsikan,
dan mengevaluasi program kesehatan masyarakat untuk mengendalikan
dan mencegah kejadian yang merugikan kesehatan. Dengan demikian,
agar data dapat berguna, data harus akurat, tepat waktu, dan tersedia dalam
bentuk yang dapat digunakan.
B. Tujuan Surveilans
Tujuan Surveilans menurut Depkes RI (2004) adalah untuk
pencegahan dan pengendalian penyakit dalam masyarakat, sebagai upaya
deteksi dini terhadap kemungkinan terjadinya kejadian luar biasa (KLB),

3
memperoleh informasi yang diperlukan bagi perencanaan dalam hal
pencegahan, penanggulangan maupun pemberantasannya pada berbagai
tingkat administrasi.
Surveilans bertujuan memberikan informasi tepat waktu tentang
masalah kesehatan populasi, sehingga penyakit dan faktor risiko dapat
dideteksi dini dan dapat dilakukan respons pelayanan kesehatan dengan
lebih efektif.
Tujuan khusus surveilans:
1. Memonitor kecenderungan (trends) penyakit
2. Mendeteksi perubahan mendadak insidensi penyakit, untuk mendeteksi
dini outbreak; data fasilitas pelayanan kesehatan (Puskesmas, RS,
Dokter praktik), Komunitas Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota,
Provinsi, Pusat Peristiwa penyakit, kesehatan populasi intervensi
Keputusan Pelaporan Informasi (umpan balik).
3. Memantau kesehatan populasi menaksir besarnya beban penyakit
(disease burden) pada pupulasi
4. Menentukan kebutuhan kesehatan prioritas, membantu perencanaan,
implementasi, monitoring, dan evaluasi program kesehatan
5. Mengevaluasi cakupan dan efektivitas program kesehatan
6. Mengidentifikasi kebutuhan riset (Last, 2001; Giesecke, 2002; JHU,
2002)
Sedangkan Komponen kegiatan surveilans menurut antara lain sebagai
berikut :
1. Pengumpulan data, data yang dikumpulkan adalah data epidemiologi
yang jelas, tepat dan ada hubungannya dengan penyakit yang
bersangkutan.
Tujuan dari pengumpulan data epidemiologi adalah:
a. untuk menentukan kelompok populasi yang mempunyai resiko
terbesar terhadap serangan penyakit
b. untuk menentukan reservoir dari infeksi
c. untuk menentukan jenis dari penyebab penyakit dan
karakteristiknya

4
d. untuk memastikan keadaan yang dapat menyebabkan
berlangsungnya transmisi penyakit
e. untuk mencatat penyakit secara keseluruhan; untuk memastikan
sifat dasar suatu wabah, sumbernya, cara penularannya dan
seberapa jauh penyebarannya.
2. Kompilasi, analisis dan interpretasi data.
Data yang terkumpul selanjutnya dikompilasi, dianalisis
berdasarkan orang, tempat dan Analisa dapat berupa teks tabel, grafik
dan spot map sehingga mudah dibaca dan merupakan informasi yang
akurat. Dari hasil analisis dan interpretasi selanjutnya dibuat saran
bagaimana menentukan tindakan dalam menghadapi masalah yang
baru.
3. Penyebaran hasil analisis dan hasil interpretasi data.
Hasil analisis dan interpretasi data digunakan untuk unit-unit
kesehatan setempat guna menentukan tindak lanjut dan disebarluaskan
ke unit terkait antara lain berupa laporan kepada atasan atau kepada
lintas sektor yang terkait sebagai informasi lebih lanjut.

Kriteria evaluasi tersebut menurut Unicef (1990) dalam Trisnantoro (2005)


antara lain:

1. Relevansi, apakah nilai intervensi sesuai dengan kebutuhan utama


pemegang kekuasaan, prioritas nasional, kebijakan nasional dan
internasional. Standar global ini bisa sebagai referensi evaluasi baik
proses maupun hasil.
2. Efisiensi, apakah program cukup efisien untuk mencapai tujuan.
3. Efektivitas, apakah kegiatan yang dilaksanakan mencapai tujuan yang
telah ditetapkan.
4. Dampak, yaitu efek yang timbul dari kegiatan baik positif maupun
negatif meliputi sosial, ekonomi, lingkungan individu, komunitas atau
institusi.

5
5. Kelanjutan, yaitu apakah aktivitas dan dampaknya mungkin diteruskan
ketika dukungan dari luar dihentikan dan akankah akan lebih banyak
ditiru atau diadaptasi.
C. Manfaat Surveilans
1. Dapat mendeteksi tanda-tanda adanya perubahan kecendrungan dari
suatu penyakit
2. Mendeteksi adanya KLB
3. Memperkirakan besarnya suatu kesakitan atau kematian yang
berhubungan dengan masalah yang sedang di amati
4. Merangsang penelitian untuk menentukan suatu tindakan
penanggulangan atau pencegahan
5. Mengidentifikasikan faktor resiko yang berhubungan dengan kejadian
suatu penyakit
6. Memungkinan seseorang untuk melakukan penilaian terhadap tindakan
penanggulangan
7. Mengawali upaya untuk eningkatkan tindakan-tindakan praktek klinis
oleh petugas kesehatan yang terlibat dalam sistem surveilans
D. Jenis Surveilens
Di kenal beberapa jenis surveilens :
1. Surveilens individu
Surveilens individu ( individu Surveilens ) mendeteksi dan
memonitor individu individu yang mengalami kontak dengan penyakit
serius, misalnya pes, cacar, tuberkulosis, tifus, demam kuning, dan
sifilis. Surveilens individu memungkinkan dilakukannya isolasi
institusional segera terhadap kontak, sehingga penyakit yang dicurigai
dapat dikendalikan. sebagai contoh, karantina merupakan isolasi
institusional yang membatasi gerak dan aktivitas orang orang atau
binatang yang sehat tetapi telah terpapar oleh suatu kasus penyakit
menular selama periode menular. Tujuan karantina adalah mencegah
transmisi penyakit selama masa inkubasi seandainya terjadi infeksi
(last 2001).

6
Isolasi institusional pernah digunakan kembali ketika timbul AIDS
1980an dan SARS. Dikenal dua jenis karantina :
a. Karantina total
b. Karantina parsial

Karantina total membatasi kebebasan gerak semua orang yang


terpapar penyakit menular selama masa inkubasi, untuk mencegah
kontak dengan orang yang tak terpapar .karantina parsial membatasi
kebebasan gerak kontak secara selektif, berdasarkan perbedaan tingkat
kerawanan dan tingkat bahaya transmisi penyakit. contoh anak sekolah
diliburkan untuk mencegah penularan penyakit campak sedang orang
dewasa diperkenankan terus bekerja. satuan tentara yang di tugaskan
pada pos tertentu di cutikan, sedangkan di pos pos lainya tetap bekerja.
dewasa ini karantina diterapkan secara terbatas ,sehubungan dengan
masalah legal, politis, etika, moral, dan filosofi tentang legitimasi,
akseptabilitas dan efektivitas langkah langkah pembatasan tersebut
untuk mencapai tujuan kesehatann masyarakat (Bensimon dan Upshur,
2007).

2. Surveilens penyakit
Surveilens penyakit (disease surveillance) melakukan pengawasan
terus menerus terhadap distribusi dan kecendrungan insiden penyakit,
melalui pengumpulan sistematis, konsolidasi, evaluasi laporan-
laporan penyakit dan kematian, serta data relavan lainnya. jadi fokus
perhatian surveilens penyakit adalah penyakit, bukan individu. di
banyak negara pendekatan surveilens penyakit biasanya didukung
melalui program vertikal (pusat daerah). Contoh program surveilens
tuberkulosis, program surveilans malaria. Beberapa dari sistem
surveilans vertikal dapat berfungsi efektif tetapi tidak sedikit yang
tidak dapat dipelihara dengan baik dan akhirnya kolaps, karena
pemerintah kekurangan biaya. Banyak program surveilans penyakit
vertikal yang berlangsung pararel antara satu penyakit dengan penyakit
yang lainnya ,menggunakan biaya untuk sumber daya masing masing,

7
dan memberikan informasi duplikatif, sehingga mengakibatkan
inefisiensi.
3. Surveilens sindromik
Syndromic surveillence (multiple disease surveillence)
melakukan pengawasan terus menerus terhadap sindroma (kumpulan
gejala) pemyakit, bukan masing masing penyakit. Surveilans
sindromik mengandalkandeteksi indikator indikator kesehatan individu
maupun populasi yang bisa diamati sebelum konfirmasi diagnosis,
surveilans sindromik mengamati indikator, indikator individu
sakit,seperti pola perilaku, gejala-gejala, tanda atau temuan
laboraturium yang dapat ditelusuri dari aneka sumber, sebelum
diperoleh konfirmasi laboratorium tentang suatu penyakit. surveilans
surveilans sindromik dapat dikembangkan pada level lokal, ragional
maupun nasional, sebagai contoh centers for disease control and
prevention (CDC) menerapkan kegiatan surveilens sindromik berkala
nasional terhadap penyakit penyakit yang mirip influenza (flu-like
illnesses) berdasarkan laporan berkala praktek dokter di AS. Dalam
surveilans tersebut para dokter yang berpatisipasi melakukan skrining
pasien berdasarkan definisi kasus sederhana (demam dan batuk 4 atau
sakit tenggorokan ) dan membuat laporan mingguan tentang kasus,
jumlah kunjungan menurut kelompok umur dan jenis kelamin dan
jumlah total kasus yang teramati.
4. Survelens berbasis laboratium
Survelens berbasis laboratrium di gunakan untuk mendeteksi dan
memonitor penyakit infeksi. sebagai contoh, pada peenyakit yang
ditularkan melalui makananseperti salmonolosis, penggunaan sebuah
laboratrium sentral untuk mendeteksi strain bakteri tertentu
memungkinkan deteksi autbreak penyakit dengan lebih segera dan
lengkap daripada sitem yang mengandalkan pelaporan sindroma dan
klinik-klinik ( DCP2, 2008).

8
5. Survelens terpadu
Menata dan memadukan semua kegiatan survelens di suatu
wilayah yuris diksi (negara/provinsi/kabupaten/kota) sebagai sebuah
pelayanan publik bersama. Survelens terpadu menggunakan struktur,
prosos, dan personalia yang sama, melakukan fungsi mengumpulkan
informasi yang diperlukan atau tujuan mengendalikan penyakit.
Kendati pun pendekatan survelens terpadu tetep memperhatikan
kebutuhan data khusus penyakit penyakit tertentu (WHO, 2001, 2002;
sloan etc..al 2006).
Karakteristik pendekatan survelens:
a. Memandang survelns sebagai pelayanan yang sama
b. Menggunakan pendekatan solusi majemuk
c. Menggunakan pendekatan fungsional bukan struktural
d. Melakukan sinergi antara fungsi inti survelens (yakni,
pengumpulan, pelaporan, analisis data, tanggapan). Dan fungsi
pendukung survelens (yakni pelatihan dan supervisi,penguatan
labortrium, komunikasi,manajemen sumber daya)
e. Pendekatan fungsi survelens dengan mengendalikan penyakit
meskipun menggunakan pendekatan terpadu, survelens terpadu
tetap memandang penyakit yang berbeda memiliki kebutuhan
survelens yang berbeda( WHO, 2002).
6. Survelens kebutuhan masarakat
Global perdagangan dan perjalanan internasional di abad modern,
migrasi manusia dan binatang serta organisme memudahkan transmisi
penyakit infeksi lintas negara. konsekuensinya, masalah-masalah yang
dihadapi negara negara berkembang dan negara maju di dunia makin
serupa dan bergayut. timbulmya epidemi global (pandemi) khususnya
menuntuk dikembangkanya jejaring yang terpadu diseluruh dunia,
yang menyatukan para praktisi kesehatan, peneliti, pemerintah, dan
organisasi internasional untuk memperhatiakn kebutuhuan survelens
yang melitasi batas btas negara. Ancaman aneka penyakit menular
merebak pada skala global, baik penyakit lama yang muncul

9
kembali(re-emerging didease), maupun penyakit penyakit yang baru
muncul ( newer merging diseases) seperti HIV/AIDS, flu burung dan
SARS. Angenda survelens global yang komperehensif melibatkan
aktor-aktor baru, termasuk pemangku kepentingan pertahanann
keamanan dan ekonomi ( clain, 2006; DCP2, 2008).
E. Pendekatan Surveilans
Pendapatan survailaens dapat di bagi menjadi dua jenis:
1. Surveilens pasif
Surveilens pasif memantau penyakit secara pasif dengan
menggunakan data penyakit yang harus di lapokan yang tersedia di
fasilits pelayanan kesehatan. Kelebihan surveilens pasif, relatif murah
dan mudah untuk di lalulan. Negara_negara anggota WHO di wajibkan
melaporkan sejumlah penyakit infeksi yang harus di laporkan,
sehingga surveilens pasif dapat dilakukan analisis perbandingan
penyakit intrnasional. Kekurangan surveilens pasif adalah kurang
sensitif dalam mendeteksi kecendrungan penyakit. Data yang di
hasilkan cenderung underepotet, karena tidak semua kasus datang ke
fasilitas pelayanan kesehatan formal. Untuk mengatasi problem
tersebut, intrumen pelaporan perlu di buat sederhana dan ringkas.
2. Surveilens aktif
Surveilens aktif mengunakan petugas khisus surfeilens untuk
kunjungan kelapangan, desa-desa, tempat praktik dokter dan tenaga
medis lainya, puskesmas, klinik, rumah sakit dengan tujuan
mengidentifikasi kasus baru penyakit atau kmatian. Kelebihan
surfeilens aktifakurat daripada surfeilens pasif, sebab di lakukan oleh
petugas yang memegang yang di pekerjakan memegang pekerjaan itu.
Kelemahan surfeilens aktif, lebih mahal dan lebih sulit di lakukan
daripada surveilens pasif.
F. Surveilens Efektif
Karakteristik surfeilens yang efektif:
1. Cepat
2. Akurat

10
3. Reliabel
4. Representatif
5. Sederhana
6. Fleksible
7. Aksebtable
8. Di gunakan (Wuhib et al., 2002; McNabb et al., 2002; Giesecke, 2002;
JHU, 2006)

Kecepatan.

Informasi di peroleh dengan cepat dan tepat waktu memungkinkan


tindakan segera untuk mengatasi masalah yang di identifikasi. Kecepatan
surveilens dapat di tingkatkan melalui sejumlah cara:

1. Melakukan analisi sedekat mungkin pelapor data primer, untuk


mengurangi yang terlalu panjang antara laporan dan tanggapan
2. Melembanggakan pelaporan wajib untuk sejumlah penyakit tertentu.
3. Mengikut sertakan sektor suasta melalui peraturan perundangan

Akurasi.

Surveilens yang efektif memiliki sensifitas tinggi, yakni sekecil mungkin


terjadi hasil negatif palsu. Karena itu sistem surveilens perlu mengecek
kebenaran laporan di lapangan. Akurasi surveilens di pengaruhi beberapa
faktor:

1. Kemampuan petugas
2. Insfraksrtuktur laboratorium

Standar, seragam reliabel, kontiniu.

Definisi kasus, alat ukur, maupun prosedur yang standar penting dalam
survailans agar di peroleh informasi yang konsisten. Pelaporan rutin data
penyakit yang harus dilaporkan di lakukan dalan seminggu sekali.

Represintatif dan lengkap.

11
Sistem survailans di harapkan memonitor situasi yang sesungguhnya
terjadi pada populasi. Konskuensinya, data yang di kumpulkan perlu
refresentatif dan lengkap. Keterwakilan, cakupan, dan kelengkapan data
survailans dapat menemui kendala jika penggunaan fasilitas tenaga
petugas telah melampaui batas.

Sederhana, Fleksible, Akseptabel.

Sistem survailans yang efektif perlu sederhana praktis, dalam organisasi,


struktur, maupun oprasi. Data yang di kumpulkan harus relevan dan tert
survailans,fokus. Format pelaporan flexsible, bagian yang tidak berguna di
buang. Sistem survailans harus di terima oleh petugas survailans, sumber
daya, otoritas terkait maupun pemangku survailans lainnya.

Penggunaan (uptake).

Manfaat sistem survailans ditentukan oleh sejauh mana informasi


survailans di gunakan oleh pembuat kebijakan, pengambilan keputusan,
maupun pemangkun survailans pada berbagai level. Salah satu cara
mengatasi problem ini adalah membangun neetwork dan komunikasi yang
baik antara peneliti, pembuat kebijakan, dan pengambilan keputusan.

G. Metode Survailans
Bebagai metode survailans telah banyak di gunakan dalam fasilitas
pelayanan kesehatan. Metode ini dapat di kelompokkan kedalam empat
katagori utama:
1. Survailans protektif total
2. Survailans yang bertarget
3. Survailans prefalensi
4. Survailans Periodik

12
BAB III

METODOLOGI SURVEILANS

A. Kuesioner Tentang TBC


Petunjuk: Pernyataan-pernyataan berikut ini berhubungan dengan sikap
Penderita TB Paru Positif terhadap membuang dahak di sembarang
tempat, jawablah dengan memberi tanda (√) pada kotak pilihan anda.
Keterangan pilihan jawaban :
1. SS = SangatSetuju
2. S = Setuju
3. R = Ragu
4. TS = TidakSetuju
5. STS = SangatTidakSetuju

Jawaban
NO Pertanyaan 5 4 3 2 1
SS S R TS STS
1. Penyakit TBC merupakan penyakit yang
Sangat menular
2. Penderita TB Paru Positif sebaiknya tidak
membuang dahak di sembarang tempat
3. Setiap orang batuk terus-menerus lebih
dari 3 minggu sebaiknya melakukan
pemeriksaan Dahak.
4. Penderita TB Paru Positif tidak
menularkan penyakit TB paru kepada
orang lain
5. Untuk menghindari risiko penularan, saat
Batuk sebaiknya menutup mulut dengan
tissue, sapu tangan
6. Agar orang lain tidak tertular penyakit TB
Paru, penderita TB Paru sebaiknya
berbicara tidak terlalu dekat
7. Penderita TB Paru Positif tidak perlu

13
mempunyai alat makan tersendiri
8. Pembuangan dahak sebaiknya dalam pot
Khusus dan diberi cairan lisol
9. Penderita TB Paru Positif tidak perlu tidur
Sendiri diruang khusus hingga pasien
sembuh
10. Setuju kalau penderita TBC dapat
disembuhkan

B. Pedoman Wawancara
Nama :
Umur :
JenisKelamin :
Tingkat Pendidikan :
Pekerjaan :
1. Gejala-gejala apa saja mula-mula Ibu/Bapak rasakan ?
2. Sudahberapa lama Ibu/Bapak merasakangejalatersebut ?
3. Menurut Ibu/Bapak apa penyakit TB itu ?
4. Menurut Ibu/Bapak TB paru itu menular apa tidak ?
5. Pengetahuan Ibu/Bapak apakah penyakit TB itu dapat disembuhkan
atau tidak ?
6. Apakah Ibu/Bapak setuju bila seorang penderita TBC harus segera
mencari pengobatan ?
7. Apakah Bapak/Ibu bersedia berobat secara teratur ?
8. Setelah tidak merasakan gejala-gejala penyakit apakah Bapak/Ibu
bersedia untuk menyelesaikan pengobatan ?
9. Apakah Bapak/Ibu merasa setuju apabila dalam masa penyembuhan
ada dihujuk seorang untuk mengawasi pengobatan ?
10. Setujukah Ibu/Bapak bahwa pengobatan penyakit TBC itu
membutuhkan waktu 6 bulan atau lebih ?
11. Menurut Ibu/Bapak jauh atau dekat jarak antara rumah dengan
puskesmas?
12. Apakah alasan Ibu/Bapak memilih puskesmas sebagai tempat
berobat ?

14
13. Gejala-gejala apa yang Ibu/Bapak rasakan sewaktu pergi berobat ke
puskesmas ?
14. Sebelum memilih berobat ke puskesmas, tindakan apa yang sudah
Ibu/Bapak lakukan untuk menghilangkan gejala-gejala yang ada ?
15. Berapa kali dalam 1 minggu Ibu/Bapak meminum obat ?
16. Apakah Ibu/Bapak pernah lupa minum obat ?
17. Apakah Ibu/Bapak selalu diawasi untuk minum obat ?
18. Apakah Ibu/Bapak mengambil obat sendiri ke puskesmas ?
19. Berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk mengambil obat di
puskesmas?
20. Selama masa penyembuhan apakah Ibu/Bapak merasakan efeksamping
minum obat ?
21. Selama masa penyembuhan berapa kali Ibu/Bapak memeriksakan
ulang dahak ?

DAFTAR PUSTAKA

Gavinov,I. T., & Soemantri, J.F. Nervan. 2016. Sistem Informasi Kesehatan.
Yogyakarta: Nuha Medika Yogyakarta.

15
16

Anda mungkin juga menyukai