Oleh:
SITI QOMARIYAH
201920401011189
PEMBIMBING
dr. Farid Wadjdi Hafidz, Sp.Rad
dr. Qonita, Sp.Rad
dr. Dina, Sp. Rad
SMF RADIOLOGI
RSUD KABUPATEN JOMBANG
2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas
rahmat dan hidayah-Nya, penulisan Referat Pediatric Abdominal
Emergency ini dapat diselesaikan dengan baik. Sholawat serta salam
semoga selalu tercurahkan kepada Rasulullah SAW, keluarga, para
sahabat dan pengikut beliau hingga akhir zaman.
Dengan terselesaikannya laporan kasus ini kami ucapkan terima
kasih yang sebesar besarnya kepada dr. Farid Wadjdi Hafidz, Sp.Rad, dr.
Qonita, Sp.Rad dan dr. Dina, Sp. Rad selaku pembimbing kami, yang
telah membimbing dan menuntun kami dalam pembuatan referat ini.
Kami menyadari bahwa penulisan ini masih jauh dari sempurna,
oleh karena itu kami tetap membuka diri untuk kritik dan saran yang
membangun. Akhirnya, semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.2. Tujuan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
INTUSUSEPSI
A. Definisi
Intususepsi adalah proses dimana suatu segmen usus bagian proksimal masuk
ke dalam lumen usus bagian distalnya sehingga menyebabkan obstruksi usus dan
dapat berakhir dengan strangulasi. Umumnya bagian yang proksimal atau disebut
intususeptum masuk ke bagian distal atau disebut intussussipien.
B. Etiologi
Etiologi dari intususepsi terbagi menjadi 2, yaitu idiopatik dan kausal.
- Idiopatik
- Kausal
Pada penderita intususepsi yang lebih besar (lebih dua tahun), adanya
kelainan usus dapat menjadi penyebab intususepsi seperti : inverted Meckel’s
diverticulum, polip usus, leiomioma, leiosarkoma, hemangioma, blue rubber
blep nevi, lymphoma dan duplikasi usus. Divertikulum Meckel adalah
penyebab paling utama, diikuti dengan polip seperti peutz-jeghers
syndrom, dan duplikasi intestinal. Lead point lain diantaranya
lymphangiectasias, perdarahan submukosa dengan Henoch-Schönlein
purpura, trichobezoars dengan Rapunzel syndrome, caseating granulomas yang
berhubungan dengan tuberkulosis abdominal. Intususepsi dapat juga terjadi
setelah laparotomi, yang biasanya timbul setelah dua minggu pasca bedah, hal
ini terjadi akibat gangguan peristaltik usus, disebabkan manipulasi usus yang
kasar dan lama, diseksi retroperitoneal yang luas dan hipoksia lokal.
C. Patogenesis
Penyakit ini sering terjadi pada umur 3-12 bulan, dimana pada saat itu terjadi
perubahan diet makanan dari cair ke padat, perubahan pemberian makanan ini
dicurigai sebagai penyebab terjadi intususepsi. Intususepsi kadang-kadang terjadi
setelah/selama enteritis akut, sehingga dicurigai akibat peningkatan peristaltik
usus. Gastroenteritis akut yang dijumpai pada bayi, ternyata ditemukan kuman
rotavirus menjadi agen penyebabnya, dimana pengamatan 30 kasus intususepsi
bayi ditemukan virus ini dalam feses sebanyak 37%. Pada beberapa penelitian
terakhir ini didapati peninggian insidens adenovirus dalam feses penderita
intususepsi.
E. Jenis Intususepsi
Jenis intususepsi dapat dibagi menurut lokasinya pada bagian usus mana yang
terlibat, pada ileum dikenal sebagai jenis ileo-ileal.Pada kolon dikenal dengan
jenis colo-colica dan sekitar ileo-caecal disebut ileocaecal, jenis-jenis yang
disebutkan di atas dikenal dengan intususepsi tunggal dimana dindingnya terdiri
dari tiga lapisan. Jika dijumpai dinding yang terdiri dari lima lapisan, hal ini
sering pada keadaan yang lebih lanjut disebut jenis intususepsi ganda, sebagai
contoh adalah jenis ileo-ileo-colica atau colo-colica. Suwandi J.Wijayanto E. di
Semarang selama 3 tahun (1981-1983) pada pengamatannya mendapatkan jenis
intususepsi sebagai berikut: Ileo-ileal 25%, ileo-colica 22,5%, ileo-ileo-colica
50% dan colo-colica 22,5%.
F. Gambaran klinis
Sesudah beberapa kali serangan dan setiap kalinya memerlukan tenaga, maka
di luar serangan si penderita terlihat lelah dan lesu dan tertidur sampai datang
serangan kembali. Proses intususepsi pada mulanya belum terjadi gangguan
pasase isi usus secara total, anak masih dapat defekasi berupa feses biasa,
kemudian feses bercampur darah segar dan lendir, kemudian defekasi hanya
berupa darah segar bercampur lendir tanpa feses. BAB darah dan lendir (red
currant jelly stool) baru dijumpai sesudah 6-8 jam serangan sakit yang pertama
kali, kadang-kadang sesudah 12 jam. BAB darah lendir ini bervariasi jumlahnya
dari kasus per kasus, ada juga yang dijumpai hanya pada saat melakukan colok
dubur.
Karena sumbatan belum total, perut belum kembung dan tidak tegang,
dengan demikian mudah teraba gumpalan usus yang terlibat intususepsi
sebagai suatu massa tumor berbentuk curved sausage di dalam perut di bagian
kanan atas, kanan bawah, atas tengah atau kiri bawah(4). Tumor lebih mudah
teraba pada waktu terdapat peristaltik, sedangkan pada perut bagian kanan
bawah teraba kosong yang disebut dance’s sign. Hal ini akibat caecum dan
kolon naik ke atas, ikut proses intususepsi. Sesudah 18-24 jam serangan sakit
yang pertama, usus yang tadinya tersumbat partial berubah menjadi sumbatan
total, diikuti proses oedem yang semakin bertambah, sehingga pada pasien
dijumpai tanda-tanda obstruksi, seperti perut kembung dengan gambaran
peristaltik usus yang jelas, muntah warna hijau dan dehidrasi. Oleh karena
perut kembung maka massa tumor tidak dapat diraba lagi dan defekasi hanya
berupa darah dan lendir. Apabila keadaan ini berlanjut terus akan dijumpai
muntah feses, dengan demam tinggi, asidosis, toksis dan terganggunya aliran
pembuluh darah arteri. Pada segmen yang terlibat menyebabkan nekrosis
usus, gangren, perforasi, peritonitis umum, shock dan kematian.
Pada pemeriksaan colok dubur didapati:
Tonus sphincter melemah, mungkin invaginat dapat diraba berupa massa
seperti portio bila jari ditarik, keluar darah bercampur lendir.
Perlu perhatian bahwa untuk penderita malnutrisi, gejala-gejala intususepsi
tidak khas. Tanda-tanda obstruksi usus baru timbul dalam beberapa hari. Pada
penderita ini tidak jelas tanda adanya sakit berat. Pada defekasi tidak ada
darah. Intususepsi dapat mengalami prolaps melewati anus. Hal ini mungkin
disebabkan pada pasien malnutrisi, memiliki tonus yang melemah, sehingga
obstruksi tidak cepat timbul.
G. Diagnosis
1. Nyeri perut yang datangnya secara tiba-tiba, nyeri bersifat hilang timbul.
Nyeri menghilang selama 10-20 menit, kemudian timbul lagi serangan
baru.
2. Teraba massa tumor di perut bentuk curved sausage pada bagian kanan
atas, kanan bawah, atas tengah, kiri bawah atau kiri atas.
3. Buang air besar campur darah dan lendir yang disebut red currant jelly
stool.
Bila penderita terlambat memeriksakan diri, maka sukar untuk meraba adanya
tumor, oleh karena itu untuk kepentingan diagnosis harus berpegang kepada gejala
trias intususepsi. Mengingat intususepsi sering terjadi pada anak berumur di
bawah satu tahun, sedangkan penyakit disentri umumnya terjadi pada anak-anak
yang mulai berjalan dan mulai bermain sendiri maka apabila ada pasien datang
berumur di bawah satu tahun, sakit perut yang bersifat kolik sehingga anak
menjadi rewel sepanjang hari/malam, ada muntah, buang air besar campur darah
dan lendir maka pikirkanlah kemungkinan intususepsi. The Brighton
Collaboration Intussuseption Working Group mendirikan sebuah diagnosis klinis
menggunakan campuran dari kriteria minor dan mayor. Strasifikasi ini membantu
untuk membuat keputusan berdasarkan tiga level dari pembuktian untuk
membuktikan apakah kasus tersebut adalah intususepsi.
Kriteria Mayor
1. Adanya bukti dari obstruksi usus berupa adanya riwayat muntah hijau,
diikuti dengan distensi abdomen dan bising usus yang abnormal atau tidak
ada sama sekali.
2. Adanya gambaran dari invaginasi usus, dimana setidaknya tercakup hal-
hal berikut ini: massa abdomen, massa rectum atau prolaps rectum, terlihat
pada gambaran foto abdomen, USG maupun CT Scan.
3. Bukti adanya gangguan vaskularisasi usus dengan manifestasi perdarahan
rectum atau gambaran feses red currant jelly pada pemeriksaan Rectal
Toucher.
Kriteria Minor
1. Bayi laki-laki kurang dari 1 tahun
2. Nyeri abdomen
3. Muntah
4. Lethargy
5. Pucat
6. Syok hipovolemi
7. Foto abdomen yang menunjukkan abnormalitas tidak spesifik.
Berikut ini adalah pengelompokkan berdasarkan tingkat pembuktian, yaitu :
Level 1 – Definite (ditemukannya satu kriteria di bawah ini)
- Kriteria Pembedahan – Invaginasi usus yang ditemukan saat pembedahan
- Kriteria Radiologi – Air enema atau liquid contrast enema menunjukkan
invaginasi dengan manifestasi spesifik yang bisa dibuktikan dapat direduksi
oleh enema tersebut.
- Kriteria Autopsi – Invagination dari usus
Level 2 – Probable (salah satu kriteria di bawah)
- Dua kriteria mayor
- Satu kriteria mayor dan tiga kriteria minor
Level 3 – Possible
- Empat atau lebih kriteria minor
H. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
2. Pemeriksaan Radiologi
Foto polos abdomen
Didapatkan distribusi udara di dalam usus tidak merata, usus terdesak ke
kiri atas, bila telah lanjut terlihat tanda-tanda obstruksi usus dengan
gambaran air fluid level. Dapat terlihat free air bila terjadi perforasi.
Literatur lain menyebutkan bahwa foto polos hanya memiliki akurasi
diagnostik 45% untuk menegakkan diagnosis intususepsi sehingga
penggunaannya tidak diindikasikan jika ada fasilitas USG. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan Hooker et al tahun 2008 dalam Radiographic
Evaluation of Intussusception, tampilan foto polos abdomen dengan
posisi left side down decubitus meningkatkan kemampuan untuk diagnosis
atau menyingkirkan intususepsi.
Barium enema
Pada barium enema akan tampak gambaran cupping, coiled spring
appearance.
Ultrasonografi Abdomen
Pada tampilan transversal USG, tampak konfigurasi usus berbentuk
‘target’ atau ‘donat’ yang terdiri dari dua cincin echogenisitas rendah yang
dipisahkan oleh cincin hiperekoik, tidak ada gerakan pada donat tersebut
dan ketebalan tepi lebih dari 0,6 cm. Ketebalan tepi luar lebih dari 1,6 cm
menunjukkan perlunya intervensi pembedahan. Pada tampilan logitudinal
tampak pseudokidney sign yang timbul sebagai tumpukan lapisan
hipoekoik dan hiperekoik.
Pemeriksaan USG selain sebagai diagnostik, juga dapat digunakan
untuk membantu mendiferensiasikan tipe dari intususepsi. Park et al
(2007) melaporkan bahwa intususepsi transien dari usus kecil lebih sering
terlokalisir pada kuadran kanan bawah atau region periumbilikal, memiliki
diameter anteroposterior yang lebih kecil (1,38 cm vs 2,53 cm), memiliki
garis luar yang lebih tipis (0,26 cm vs 0,53 cm), dan tidak memiliki nodus
limfatikus, dimana berbanding terbalik dengan intususepsi ileocolic.
Sebuah studi oleh Munden et al (2007) mendukung penemuan ini, dengan
diameter anteroposterior rata-rata adalah 1,5 cm pada intususepsi ileoileal
dan 3,7 cm pada intususepsi ileocolic dan panjang rata-ratanya berkisar 2,5
cm dan 8,2 cm secara respektif.
CT Scan
Intususepsi yang digambarkan pada CT scan merupakan gambaran
klasik seperti pada USG yaitu target sign. Intususepsi temporer dari usus
halus dapat terlihat pada CT maupun USG, dimana sebagian besar kasus
ini secara klinis tidak signifikan.
I. Diagnosis Banding
1. Gastroenteritis, bila diikuti dengan intususepsi dapat ditandai jika dijumpai
perubahan rasa sakit, muntah dan perdarahan.
2. Divertikulum Meckel, dengan perdarahan, biasanya tidak ada rasa nyeri.
3. Disentri amoeba, disini diare mengandung lendir dan darah, serta adanya
obstipasi, bila disentri berat disertai adanya nyeri di perut, tenesmus dan
demam.
4. Enterokolitis, tidak dijumpai adanya nyeri di perut yang hebat.
5. Prolapsus recti atau Rectal prolaps, dimana biasanya terjadi berulang kali
dan pada colok dubur didapati hubungan antara mukosa dengan kulit
perianal, sedangkan pada intususepsi didapati adanya celah
J. Penatalaksanaan
L. Prognosis
Kematian disebabkan oleh intususepsi idiopatik akut pada bayi dan anak-
anak sekarang jarang di negara maju. Sebaliknya, kematian terkait dengan
intususepsi tetap tinggi di beberapa negara berkembang. Pasien di negara
berkembang cenderung untuk datang ke pusat kesehatan terlambat, yaitu lebih
dari 24 jam setelah timbulnya gejala, dan memiliki tingkat intervensi bedah,
reseksi usus dan mortalitas lebih tinggi. Mortalitas secara signifikan lebih tinggi
(lebih dari sepuluh kali lipat dalam kebanyakan studi) pada bayi yang ditangani 48
jam setelah timbulnya gejala daripada bayi yang ditangani dalam waktu 24 jam
setelah onset pertama. Angka rekurensi dari intususepsi untuk reduksi nonoperatif
dan operatif masing-masing rata-rata 5% dan 1-4%.
VOLVULUS
A. Definisi
Volvulus merupakan kelainan berupa puntiran dari segmen usus terhadap
usus itu sendiri, mengelilingi mesenterium dari usus tersebut dengan
mesenterium itu sendiri sebagai aksis longitudinal sehingga menyebabkan
obstruksi saluran cerna.
B. Etiologi dan Klasifikasi
Volvulus merupakan puntiran usus dengan mesenterium sebagai aksis
putarannya dan dapat terjadi diberbagai tempat di saluran pencernaan. Volvulus
diklasifikasikan berdasarkan tempat terjadinya. Kasus volvulus sebagian besar
terjadi akibat abnormalitas saluran cerna saat proses embriologi dan kasus banyak
ditemukan pada anak. Namun kasus volvulus juga dapat ditemukan pada orang
dewasa dengan etiologi dan faktor resiko yang berbeda.
1. Volvulus Gaster
Volvulus gaster merupakan kasus yang jarang terjadi, namun merupakan
salah satu kasus kegawatan karena menyebabkan inkarserata dan strangulasi.
Volvulus gaster oleh Singleton diklasifikasikan berdasarkan aksis putaran
volvulus tersebut yaitu :
- Organoaksial
Gaster berotasi mengelilingi aksis yang menghubungkan gastroesofageal
junction dan bagian antrum pilorus berotasi kearah yang berbeda dengan
rotasi bagian fundus. Volvulus gaster jenis ini lebih sering didapatkan
dibandingkan kasus jenis mesenterikoaksial, yaitu 59% dari seluruh kasus
volvulus gaster. Volvulus gaster tipe organoaksial berhubungan dengan
defek diafragmatika. Komplikasi berupa inkarserasi dan strangulasi lebih
sering dijumpai pada tipe ini.
- Mesenterikoaksial
Pada tipe mesenterikoaksial, antrum pilorus berotasi kearah anterior dan
superior sehingga permukaan posterior gaster berada di anterior. Volvulus
gaster tipe ini tidak berhubungan dengan defek diafragmatika dan jarang
menimbulkan komplikasi strangulasi, sehingga lebih sering bersifat kronis.
- Kombinasi
Tipe kombinasi antara organoaksial dan mesenterikoaksial jarang
ditemukan.
Gambar CT Scan menunjukan gambaran khas “The Whirl Sign” (panah); Volvulus intestinal
(kanan) dan Volvulus Midgut (kiri)
Gambar Coffee bean appearance; gambaran di tengah bawah abdomen terlihat dilatasi
usus; khas pada volvulus sekum dan sigmoid.
Berdasarkan penelitian, volvulus sigmoid paling sering terjadi diantara
volvulus lainnya. Volvulus sigmoid ditegakan melalui gambaran radiologi
foto polos abdomen dimana menggambarkan karakteristik "omega" atau
"inverted loop". Pada kasus yang meragukan, foto dengan kontras dapat
menunjukan adanya gambaran "beaked apperances" yaitu gambaran seperti
paruh burung di bagian kolon sigmoid.
Gambar Bird’s Beak appearance; foto kontras khas pada volvulus sigmoid dan sekum.
G. Komplikasi
Strangulasi menjadi penyebab dari keabanyakan kasus kematian akibat
obstruksi usus. Volvulus sendiri merupakan obstruksi usus yang cepat
menyebabkan inkarserasi dan starngulasi. Isi lumen usus merupakan
campuran bakteri yang mematikan, hasil-hasil produksi bakteri, jaringan
nekrotik, yang jika terjadi perforasi makan akan menyebabkan peritonitis.
Namun tanpa terjadi perforasi, bakteri secara permeabel dapat menuju
pembuluh darah dan menyebabkan infeksi yang berlanjut menjadi sepsis.
H. Tata Laksana
1. Resusitasi
Prioritas utama penyelamatan pasien adalah dengan mendiagnosis adanya
volvulus, letak volvulus dan kemudian mencegah adanya nekrosis jaringan
dan syok hipovolemik akibat muntah dan kehilangan cairan di abdomen.
SIRS juga dapat menyertai komplikasi dari volvulus, sehingga perlu untuk
dilakukan tatalaksana resusitasi yang cepat jika mencurigai kegawatdaruratan
pada kasus digestif . Untuk penilaian secara cepat pada pasien yang
mengalami infeksi yang jatuh dalam keadaan sepsis , kita dapat menggunakan
metode Sequential Organ Failure Assessment ( SOFA ) Score. Ada beberapa
point penting yang dinilai pada SOFA Score, antara lain :
A. Anatomi Pylorus
B. Definisi
C. Etiologi
Penyebab kelainan ini belum pasti diketahui. Kelainan ini biasanya baru
diketahui setelah bayi berumur 2-3 minggu dengan gejala muntah yang proyektil
(menyemprot) beberapa saat setelah minum susu dimana yang dimuntahkan hanya
susu saja.
D. Patofisiologi
Stenosis pylorus terjadi sebagai akibat dari hipertrofi dan hiperplasia lapisan
otot pylorus. Nitrit oksida sintase (NOS) diduga menyebabkan stenosis pylorus
karena memediasi relaksasi otot polos non kolinergik non adrenergik sepanjang 3
usus yang menyebabkan lapisan otot sirkuler dari lambung dan pilorus menjadi
hipertofi sebagai kompensasi dari lemahnya gerakan peristaltik. Hipertrofi difus
dan hiperplasia otot polos antrum dan pylorus akan mempersempit saluran, yang
kemudian menyebabkan mudah terjadi obstruksi. Regio antrum memanjang dan
menebal dua kali dari ukuran normal. Sebagai respon dari obstruksi aliran keluar
dan gerak peristaltik yang kuat, otot-otot perut hipertrofi dan melebar. Hal
tersebut menyebabkan gangguan pengosongan
isi gaster ke duodenum. Semua makanan yang
dicerna dan disekresi oleh gaster akan
dimuntahkan kembali. Makanan yang
dimuntahkan tidak mengandung cairan
empedu karena makanan hanya tertampung dalam
gaster saja dan tidak sampai ke duodenum.
Hal ini menyebabkan hilangnya asam lambung dan akhirnya menyebabkan
terjadinya hipokloremia yang mengganggu kemampuan kerja lambung untuk
mensekresikan bikarbonat. Gastritis mungkin terjadi setelah stasis yang lama.
Hematemesis dapat pula terjadi.
E. Manifestasi Klinis
Gejala stenosis pylorus adalah muntah proyektil mulai umur 2-3 minggu, dan
tidak berwarna hijau ( nonbilious vomiting). Bayi senantiasa menangis sesudah
muntah dan akan muntah kembali setelah makan. Hal ini disebabkan karena
obstruksi pylorus. Terkadang dijumpai muntah berwarna hijau dan dapat pula
muntahan bercampur darah oleh karena adanya iritasi pada mukosa lambung.
Penurunan berat badan yang disertai dengan penurunan turgor kulit merupakan
tanda adanya dehidrasi. (Nazer, 2012) Konstipasi merupakan gejala yang sering
muncul karena sedikitnya jumlah cairan yang melalui pilorus menuju usus halus.
Anak juga tampak gelisah dan terus menangis.
F. Diagnosis
G. Gambaran Radiologi
1. Foto Polos Abdomen
Foto Polos abdomen mungkin menunjukkan perut berisi cairan atau udara,
menunjukkan adanya obstruksi lambung. Perut yang melebar dengan incisura
yang besar-besar (caterpillar sign), yang mewakili peningkatan gerak
peristaltik lambung pada pasien ini. Jika pasien baru saja muntah atau
memiliki tabung nasogastrik di tempat, perut sudah didekompresi dan temuan
pada foto menjadi normal.
Gambar caterpillar sign, berupa gambaran lusen pada bagian kiri atas abdomen
Pemeriksaan saluran cerna atas merupakan pilihan yang tepat untuk stenosis
pylorus hipertrofi. Hasil yang didapatkan adalah:
- Tertundanya pengosongan lambung (jika parah, hal ini dapat mencegah
barium lewat ke pilorus).
- Filling defect pada antrum diciptakan oleh prolaps dari otot yang
hipertrofik.
- Mushroom atau umbrella sign (yaitu, penebalan otot yang menonjol ke
dalam duodenum)
2. Ultrasonografi
- MT lebih dari 4 mm
- Target sign pada pylorus.
- Panjang saluran pilorus lebih besar dari 17 mm
- Ketebalan pylorus (serosa ke serosa) 15 mm atau lebih besar
- Kegagalan saluran untuk membuka selama minimal 15 menit scanning
- Antral nipple sign (yaitu, prolaps mukosa berlebihan ke dalam antrum,
yang menciptakan pseudomass)
NECROTIZING ENTEROCILITIS
A. Definisi
Necrotizing enterocilitis adalah kelainan pada saluran pencernaan berupa
bercak atau nekrosis difus pada mukosa atau submukosa kolon yang didapat dan
paling sering terjadi pada bayi prematur dan dengan berat lahir sangat rendah.
B. Epidemiologi
Angka kejadian NEC sangat bervariasi antar negara bagian di Amerika
Serikat, berkisar antara 3–28 % dengan rata-rata 6 -10 % terjadi pada bayi dengan
berat lahir kurang dari 1500 gram. Berbanding terbalik antara usia kehamilan saat
lahir atau berat lahir dengan insiden NEC, artinya semakin cukup usia kehamilan
atau semakin cukup berat lahir, semakin rendah resiko terjadinya NEC.
Necrotizing enterocilitis lebih sering terjadi pada bayi laki – laki, dan
beberapa penulis melaporkan angka kejadian lebih banyak pada orang afrika
daripada orang kulit putih ataupun ras hispanik. Walaupun kebanyakan neonatus
yang menderita NEC adalah bayi yang lahir pada usia kehamilan preterm, namun
5-10 % dari kasus yang dilaporkan, juga terjadi pada bayi yang lahir pada usia
kehamilan lebih dari 36 minggu. Dalam tiga dekade terakhir angka mortalitas
yang disebabkan oleh NEC berkisar antara 10-30 % dan menurun seiring dengan
semakin berkembangnya advances neonatal care.
C. Etiologi dan Faktor Resiko
Etiologi NEC hingga saat ini belum dapat dipastikan, namun diyakini erat
kaitannya dengan terjadinya iskemik intestinal, faktor koloni bakteri dan faktor
makanan. Iskemik menyebabkan rusaknya dinding saluran cerna, sehingga rentan
pada invasi bakteri. NEC jarang terjadi sebelum tindakan pemberian makanan dan
sedikit terjadi pada bayi yang mendapat ASI. Setiap pemberian makanan dimulai,
hal itu cukup untuk menyebabkan proliferasi bakteri yang dapat menembus
dinding saluran cerna yang rusak dan menghasilkan gas hidrogen. Gas tersebut
bisa berkumpul dalam dinding saluran cerna (pneumotosis intestinalis) atau
memasuki vena portal.
D. Patogenesis
Walaupun etiologi NEC masih kontroversi, analisis epidemiologi penyakit ini
telah mengidentifikasi beberapa faktor resiko utama, yaitu prematuritas, makanan
enteral, iskemik ataupun asfiksia intestinal, dan kolonisasi bakteri. Studi terakhir
menunjukkan hubungan faktor resiko ini dengan terjadinya nekrosis usus. Studi
ini menggambarkan bagaimana kerusakan mukosa juga berhubungan dengan
terganggunya sistem imun yang mengakibatkan aktivasi mediator inflamasi, yang
pada akhirnya menimbulkan sindrom respon inflamasi sistemik.
1. Prematuritas
Lebih dari 90 % kasus NEC terjadi pada bayi prematur, berat badan lahir
rendah, dan telah menjadi faktor resiko utama. Walaupun banyak
perbedaan antara bayi prematur dengan bayi cukup bulan, mekanisme
yang bertanggung jawab terhadap predileksi NEC masih belum dipahami
sepenuhnya. Penelitian yang dilakukan pada manusia dan hewan telah
mengidentifikasi perubahan dalam komponen – komponen sistem
pertahanan usus, motilitas, kolonisasi bakteri, regulasi aliran darah, dan
reaksi inflamasi yang berperan dalam terjadinya kerusakan pada usus.
2. Iskemik intestinal atau asfiksia
Hasil suatu studi pada hewan baru lahir menunjukkan perbedaan sirkulasi
saluran cerna yang menjadi predisposisi terjadinya NEC. Resistensi
pembuluh darah basal saluran cerna meningkat pada fetus, dan menurun
dengan signifikan segera setelah lahir, menimbulkan peningkatan
kecepatan aliran darah saluran cerna yang dibutuhkan untuk pertumbuhan
saluran cerna dan somatik yang kuat. Perubahan pada resistensi vaskular
tergantung pada keseimbangan antara molekul dilator (nitrat oksida) dan
konstriktor (endotelin), dan juga respon miogenik. Studi menunjukkan
bahwa bayi baru lahir memiliki penyimpangan respon terhadap stres
sirkulasi, yang menyebabkan penurunan aliran saluran cerna atau
resistensi vaskuler. Dalam respon terhadap hipotensi, hewan baru lahir
menunjukkan defek tekanan-autoregulasi aliran darah, menyebabkan
penurunan penyediaan oksigen saluran cerna dan oksigenasi jaringan.
Sebagai tambahan, pada hipoksemia arteri, sirkulasi saluran cerna hewan
baru lahir memiliki respon yang berbeda dari hewan yang lebih tua.
Walapun setelah hipoksemia, terjadi vasodilatasi dan peningkatan perfusi
saluran cerna, hipoksemia berat akan menyebabkan vasokonstriksi dan
iskemia atau hipoksia saluran cerna, dimediasi oleh tidak adanya produksi
nitrat oksida. Kebanyakan mediator kimia (nitrat oksida, endotelin,
substansi P, norepinefrin, dan angiotensin) berdampak pada vasomotor ,
regulasi abnormal menghasilkan penekanan autoregulasi sirkulasi,
mengarah pada iskemia saluran cerna dan nekrosis jaringan.
Nekrosis dimulai di mukosa dan dapat berkembang mengenai
seluruh lapisan dinding saluran cerna, menyebabkan perforasi yang
berikutnya menyebabkan peritonitis dan udara bebas intraabdomen.
Perforasi umumnya terjadi di ileum terminal, kolon dan lebih jarang
terjadi di usus kecil bagian proksimal. Sepsis terjadi pada 33% bayi dan
dapat menyebabkan kematian.
3. Pemberian makanan secara enteral
Kebanyakan kasus NEC terjadi setelah pemberian makanan secara enteral
yang diberikan kepada bayi prematur. Pada beberapa kasus yang pernah
dilaporkan pada beberapa dekade yang lalu, NEC terjadi beberapa hari
setelah pemberian makanan yang pertama, tapi pada laporan kasus yang
terjadi pada 1990-an NEC yang terjadi pada BBLSR, terdiagnosis setelah
beberapa minggu. Adanya perbedaan kasus diatas telah memberikan
pemahaman baru bagaimana perawatan terhadap neonatus, seperti
pemberian makanan hipokalori dengan jumlah sedikit, dan ditingkatkan
secara perlahan, sehingga memperkecil kemungkinan terjadinya NEC.
Walaupun hubungan antara makanan enteral dan NEC masih belum
dipahami sepenuhnya, tapi beberapa studi membuktikan pentingnya
pemberian Air Susu Ibu (ASI), yang memang berbeda dengan susu
formula, baik dari segi jumlah, komposisi, dan osmolalitas.
Pada penelitian secara prospektif yang pernah dilaporkan,
didapatkan penurunan 50% angka kejadian NEC dengan pemberian ASI,
terutama pada bayi BBLR. ASI mengandung berbagai faktor bioaktif yang
mempengaruhi imunitas, inflamasi, dan proteksi mukosa, termasuk sekresi
Immunoglobulin A (IgA), leukosit, laktoferin, lisozim, musin, sitokin,
faktor pertumbuhan, enzim, oligosakarida, dan asam lemak tak jenuh
rantai ganda, yang mana sebagaian besar tidak terkandung pada susu
formula. Sistem pertahanan mukosa saluran cerna didapatkan dari ASI,
seperti faktor pertumbuhan epidermal, asam lemak tak jenuh rantai
ganda, platelet activating factor-acetylhydrolase, IgA dan makrofag yang
efektif dalam menurunkan penyakit ini pada hewan, walaupun belum
sepenuhnya terbukti efektif pada percobaan manusia.
4. Kolonisasi Bakteri
In Utero, usus janin terus dibasahi dalam cairan amnion yang steril,
diperkaya dengan nutrisi, hormon, dan faktor-faktor pertumbuhan yang
membantu perkembangan dari traktus intestinal. Saat lahir, bayi akan
meninggalkan lingkungan yang steril tersebut. Pemberian ASI pada bayi
akan membentuk kolonisasi beberapa jenis organisme pada minggu 6
pertama kehidupan, termasuk spesies anaerob seperti Bifidobacteria dan
Lactobacill.
Kolonisasi oleh bakteri komensal membuat sebuah flora usus yang
stabil dan sangat penting bagi perkembangan struktur intestinal. Bakteri
komensal mampu meningkatkan dan menjaga kesatuan sebagai
mukoprotektor dengan menurunkan produksi mukus, memperkuat
Intestinal Tight Junction, memproduksi zat-zat racun yang melawan
bakteri aerobik, dan menurunkan pH intralumen.
Ketidakseimbangan kolonisasi bakteri, dimana terdapat
ketidakseimbangan antara bakteri patogen dan komensal menyebabkan
dominasi dan proliferasi patologis yang dilakukan oleh bakteri patogen.
Bukti terakhir menunjukkan bahwa kontaminasi dan kolonisasi bakteri
pada pemberian makanan formula melalui Nasogastric tube (NGT) pada
bayi prematur merupakan predisposisi pada beberapa bayi untuk terjadinya
NEC. Mekanisme spesifik bagaimana inisiasi bakteri dalam kejadian NEC
belum sepenuhnya dimengerti, namun pada kebanyakan kasus ditemukan
bahwa dinding sel bakteri patogen menghasilkan endotoksin, dan beberapa
komponen aktif menyerupai reseptor di epitel usus, dan mengaktivasi
mediator inflamasi yang memicu kerusakan usus.3
Hypothetical events in the pathophysiology of neonatal necrotizing enterocolitis
E. Diagnosis
Menurut WHO (2008), tanda-tanda umum pada NEC meliputi :
a. Distensi perut atau adanya nyeri tekan
b. Toleransi minum yang buruk
c. Muntah kehijauan atau cairan kehijauan keluar melalui pipa lambung
d. Darah pada feses
e. Tanda-tanda umum gangguan sistemik :
Apneu
Terus mengantuk atau tidak sadar
Demam atau hipotermi
Kriteria Bell’s menurut Gomella:
Stadium 1 (suspek NEC)
a. kelainan sistemik: tandanya tidak spesifik, termasuk apneu, bradikardia,
letargi dan suhu tidak stabil.
b. kelainan abdominal: termasuk intoleransi makanan, rekuren residual
lambung, dan distensi abdominal.
c. kelainan radiologik : gambaran radiologi bisa normal atau tidak spesifik.
Stadium 2 (terbukti NEC)
a. kelainan sistemik : seperti stadium 1 ditambah dengan nyeri tekan
abdominal dan trombositopenia.
b. kelainan abdominal : distensi abdominal yang menetap, nyeri tekan,
edema dinding usus, bising usus hilang dan perdarahan per rektal.
c. kelainan radiologik: gambaran radiologi yang sering adalah pneumatosis
intestinal dengan atau tanpa udara vena porta atau asites.
Stadium 3 (NEC lanjut)
a. kelainan sistemik : termasuk asidosis respiratorik dan asidosis metabolik,
gagal nafas, hipotensi, penurunan jumlah urin, neutropenia dan
disseminated intravascular coagulation( DIC) .
b. kelainan abdominal : distensi abdomen dengan edema, indurasi dan
diskolorasi.
c. kelainan radiologik: gambaran yang sering dijumpai adalah
pneumoperitoneum.
Pemeriksaan Laboratorium
a. Darah lengkap dan hitung jenis
Hitung jenis leukosit bisa normal, tetapi biasanya meningkat dengan shift
to the left, atau rendah (leukopenia), trombositopenia sering terlihat. 50 %
kasus terbukti NEC, jumlah platelet < 50.000uL.
b. Kultur
Specimen darah, urin, feses, dan Cairan serebrospinal sebaiknya diperiksa
untuk kemungkinan adanya virus, bakteri, dan jamur yang patogen.
c. Elektrolit
Gangguan elektrolit seperti hiponatremia dan hipernatremia serta
hiperkalemia sering terjadi.
d. Analisa gas darah
Asidosis metabolik, ataupun campuran asidosis metabolik dan respiratorik
mungkin terlihat.
e. Sistem koagulasi
Jika dijumpai trombositopenia ataupun perdarahan screening
koagulopati lebih lanjut harus dilakukan. Prothrombin Time
memanjang, Partial Thromboplastin time memanjang, penurunan
fibrinogen dan peningkatan produk pemecah fibrin, merupakan indikasi
terjadinya disseminated intravascular coagulation (DIC).
f. C-Reaktif protein
Mungkin tidak meningkat atau pada kasus NEC yang lanjut karena bayi
tidak bisa menghasilkan respon inflamasi yang efektif.
g. Biomarker
Dilakukan untuk mendiagnosis dan memprediksi penyebab NEC seperti
gas hydrogen, mediator inflamasi di dalam darah, urin atau feses
dan genetic marker, tetapi semua kerugian membatasi kegunaannya.
Penelitian lebih lanjut tentang genomic dan proteomic marker terus diteliti.
Selain dari anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan radiologis
merupakan pemeriksaan rutin yang sering dilakukan oleh klinisi untuk mendeteksi
adanya kelainan. Pemeriksaan dapat dilakukan secara polos ataupun dengan
media kontras. Pada anak dengan NEC yang umumnya menunjukkan gejala
penyakit akut dan berat, perut kembung, muntah–muntah, menyerupai gejala
ileus, maka tidak dilakukan dengan kontras, foto polos dan tanpa persiapan. Foto
dilakukan pada posisi Anteroposterior, erect atau semierect dengan diafragma
terlihat, ataupun left lateral dekubitus (LLD). Beberapa klinisi menyukai posisi
LLD karena dapat menunjukkan fenomena anak tangga pada ileus, distensi usus,
dan adanya udara di luar rongga usus.
Gambaran Radiografik Dini
Gambaran radiografik dini yang mungkin tampak yaitu hilangnya batas
dinding usus, elongasi usus, serta gas intestinal yang terdisorganisasi, dan atonik.
Pengenalan gambaran tersebut sangat penting sehingga dapat dilakukan
pengobatan dini dan komplikasi NEC dapat dihindari.
Gambaran Radiografik Klasik
Adanya Pneumatisasi intestinalis dan gas dalam vena porta merupakan
gambaran radiografik klasik yang dianggap sangat penting dalam diagnosis NEC.
Gas dalam dinding usus bisa berlokalisasi di submukosa akan memberikan
gambaran seperti garis (rel kereta api) pada penampang bujur atau sebagai cincin
kembar pada penampang lintang. Meskipun tanda ini sangat penting, kadang–
kadang sukar mengenalinya.
Tanda penting lainnya yang harus diperhatikan yaitu gas dalam vena porta.
Gambaran menunjukkan garis lusen bercabang – cabang sesuai dengan
percabangan vena porta di daerah hepar. Gambaran tersebut bisa juga muncul
pada post kateterisasi vena umbilikalis.
Gambaran Radiografik Perforasi
Adanya gambaran perforasi merupakan indikasi tindakan bedah, oleh
karena itu penting bagi klinisi dan ahli radiologis untuk mengenali dan
menemukan tanda dini perforasi.
Gambaran radiografik perforasi yaitu:
1. Gas bebas intraperitoneal
2. Cairan bebas intraperitoneal
3. Gas usus berkurang dengan lingkar asimetrik,
4. Lingkar usus melebar persisten
F. Tatalaksana
Prinsip dasar tatalaksana NEC yaitu menatalaksananya sebagai akut
abdomen dengan ancaman terjadi peritonitis septik. Tujuannya adalah untuk
mencegah perburukan penyakit, perforasi intestinal, dan syok. Jika NEC terjadi
pada kelompok epidemis, para penderita perlu dipertimbangkan untuk isolasi.3
A. Tatalaksana Medis
Pengelolaan Dasar
1. Pasien dipuasakan untuk mengistirahatkan saluran cerna selama 7-14 hari
(pada EKN stadium 1 waktunya lebih singkat). Pemenuhan kebutuhan
nutrisi dasar melalui parenteral total.
2. Lakukan dekompresi lambung dengan replogle orogastric tube atau
lakukan suction berkelanjutan.
3. Lakukan monitoring ketat pada vital sign dan kondisi abdomen
4. Lakukan monitoring perdarahan saluran cerna. Periksa semua cairan
lambung dan feses, apakah ada perdarahan
5. Perbaikan kondisi respiratorik sesuai yang dibutuhkan untuk memelihara
parameter gas darah yang dapat diterima
6. Perbaikan kondisi sirkulasi. Penggantian cairan mungkin dibutuhkan pada
keadaan yang mengarah kepada syok. Penggunaan inotropik mungkin
dibutuhkan untuk menjaga tekanan darah dalam batas normal
7. Lakukan monitoring ketat terhadap intake dan output cairan. Usahakan
untuk mempertahankan produksi urin 1-3 mL/KgBB/jam. Hentikan
pemberian kalium pada infus jika pasien dalam keadaan hiperkalemia atau
anuria.
8. Lepas pemasangan kateterisasi pada arteri dan vena umbilikal dan ganti
dengan kateterisasi arteri dan vena perifer, tergantung pada keparahan
penyakit.
9. Lakukan monitoring hasil pemeriksaan laboratorium, Periksa hitung sel
darah lengkap dan elektrolit tiap 12-24 jam hingga stabil. Lakukan kultur
darah dan urin sebelum memulai pemberian antibiotik.
10. Berikan antibiotik. Berikan antibiotik parenteral selama 10 hari. Mulai
dengan pemberian Ampicillin dan Gentamicin (atau Ceftriaxone).
Pertimbangkan pemberian Vancomycin (sebagai pengganti Ampicillin)
pada keadaan penyakit sentral atau curiga infeksi stafilokokus. Tambahkan
Metronidazole atau Clindamycin untuk meng-cover kuman anaerob, jika
curiga terjadi peritonitis atau perforasi usus. Penelitian terbaru tidak
menganjurkan ataupun menolak penggunaan laktoferin sebagai
adjuvant terapi antibiotik.
11. Lakukan monitoring adanya DIC. Bayi pada NEC stadium II dan III dapat
mengalami DIC dan membutuhkan fresh-frozen plasma dan
cryoprecipitate. Transfusi PRC dan trombosit mungkin juga dibutuhkan.
12. Pemeriksaan radiografik. Abdominal flat plate dengan posisi lateral
dekubitus pada pemeriksaan cross-table lateral tiap 6-8 jam pada stadium
akut untuk medeteksi perforasi usus.
13. Konsul bedah pada NEC ( stadium II dan III)
Pengelolaan Berdasarkan Derajat Klinis
- Stadium I
Puasa dan pemberian minum dapat diberikan setelah 3 hari perbaikan.
Antibotik spektrum luas selama 3 hari dan selanjutnya sesuai hasil kultur.
- Stadium IIA dan IIB
Puasa selama 2 minggu.
Pemberian minum dapat dimulai setelah 7-10 hari puasa jika pada
pemeriksaan radiologi tidak tampak pneumatosis. Nutrisi parenteral 90-
110 kal/kgBB/hari.
Pemberian oksigen.
Pemberian antibotik spektrum luas selama7-10 hari..
Dopamin dengan dosis rendah untuk memperbaiki sirkulasi darah usus.
- Stadium IIIA dan IIIB
Pengobatan stadium II
Ventilasi mekanik jika dibutuhkan.
Jika terdapat syok, segera atasi dengan pemberian cairan.
Pemberian plasma segar dan dopamin untuk mempertahankan tekanan
darah.
B. Tatalaksana Bedah
Pneumoperitonium merupakan indikasi mutlak untuk dilakukan intervensi
bedah. Indikasi relatif pembedahan yaitu gas vena portal, selulitis dinding
abdomen, dilatasi segmen intestinal yang menetap dilihat dari radiografi (sentinel
loop), massa abdomen yang nyeri dan perubahan kondisi klinis yang refrakter
terhadap tatalaksana medis
G. Prognosis
Manajemen medis gagal pada sekitar 20-40% pasien dengan pneumatosis
intestinal saat didiagnosis, 10-30%nya meninggal dunia. Komplikasi awal post
operatif antara lain infeksi luka, dehiscence dan masalah stoma (prolaps,
nekrosis). Komplikasi lanjut antara lain striktur intestinal yang dapat muncul pada
lokasi lesi yang mengalami nekrosis pada sekitar 10% pasien yang di tatalaksana
secara bedah maupun medis. Reseksi dari striktur yang mengalami obstruksi
merupakan tindakan kuratif. Setelah reseksi intestinal yang masif, komplikasi
NEC post operatif antara lain short-bowel syndrome (malabsorbsi, gagal tumbuh,
malnutrisi), komplikasi yang berhubungan dengan kateter vena sentral (sepsis,
trombosis), dan cholestatic jaundice. Bayi premature dengan NEC yang
membutuhkan intervensi bedah atau yang mengalami bakteremia berada dalam
resiko yang tinggi dalam pertumbuhan dan outcome neuro developmental.
BAB III
Kesimpulan