Anda di halaman 1dari 55

REFERAT RADIOLOGI

PEDIATRIC ABDOMINAL EMERGENCY

Oleh:
SITI QOMARIYAH
201920401011189

PEMBIMBING
dr. Farid Wadjdi Hafidz, Sp.Rad
dr. Qonita, Sp.Rad
dr. Dina, Sp. Rad

SMF RADIOLOGI
RSUD KABUPATEN JOMBANG
2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas
rahmat dan hidayah-Nya, penulisan Referat Pediatric Abdominal
Emergency ini dapat diselesaikan dengan baik. Sholawat serta salam
semoga selalu tercurahkan kepada Rasulullah SAW, keluarga, para
sahabat dan pengikut beliau hingga akhir zaman.
Dengan terselesaikannya laporan kasus ini kami ucapkan terima
kasih yang sebesar besarnya kepada dr. Farid Wadjdi Hafidz, Sp.Rad, dr.
Qonita, Sp.Rad dan dr. Dina, Sp. Rad selaku pembimbing kami, yang
telah membimbing dan menuntun kami dalam pembuatan referat ini.
Kami menyadari bahwa penulisan ini masih jauh dari sempurna,
oleh karena itu kami tetap membuka diri untuk kritik dan saran yang
membangun. Akhirnya, semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat.

Jombang, 17 Februari 2020

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Abdominal emergency in pediatric merupakan kegawat daruratan pada anak


dimana dapat berupa intususespsi, Stenosis pylorus hipertrofi (hypertrophic
pyloric stenosis), volvulus dan Necrotizing enterocolitis. Intususepsi adalah proses
dimana suatu segmen usus bagian proksimal masuk ke dalam lumen usus bagian
distalnya sehingga menyebabkan obstruksi usus dan dapat menjadi strangulasi
kemudian mengalami komplikasi yang berujung pada sepsis dan kematian.
Volvulus merupakan kelainan berupa puntiran dari segmen usus terhadap usus itu
sendiri, mengelilingi mesenterium dari usus tersebut dengan mesenterium itu
sendiri sebagai aksis longitudinal sehingga menyebabkan obstruksi saluran cerna.
Stenosis pylorus hipertrofi merupakan suatu kelainan yang terjadi pada otot
pylorus yang mengalami hipertrofi pada lapisan sirkuler sehingga menyebabkan
penyempitan pada pylorus. Necrotizing enterocilitis adalah kelainan pada saluran
pencernaan berupa bercak atau nekrosis difus pada mukosa atau submukosa kolon
yang didapat dan paling sering terjadi pada bayi prematur dan dengan berat lahir
sangat rendah.
Pasien anak biasanya datang ke Unit Gawat Darurat dengan gejala seperti
muntah , diare , sakit perut , dan demam. Pada kebanyakan kasus gejala ini
disebabkan oleh gastroenteritis virus dimana merupakan self-limited disease
namun gejala diatas dapat menjadi kasus emergency. Hal ini dikarenakan gejala
sepeti diatas merupakan gejala yang tidak spesifik sehingga sulit untuk di
diagnosis. Penentuan diagnosis yang sulit pada pediatri dapat membuat diagnosis
pada abdominal emergency terlambat sehingga meningkatkan mortalitas dan
morbiditas pasien.

1.2. Tujuan

Referat ini bertujuan untuk menambah pengetahuan dan pemahaman tentang


definisi, anatomi, etiologi, epidemiologi, patofisiologi, manifestasi klinik,
diagnosis, pemeriksaan penunjang, serta tatalaksana abdominal emergency in
pediatrics.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

INTUSUSEPSI

A. Definisi

Intususepsi adalah proses dimana suatu segmen usus bagian proksimal masuk
ke dalam lumen usus bagian distalnya sehingga menyebabkan obstruksi usus dan
dapat berakhir dengan strangulasi. Umumnya bagian yang proksimal atau disebut
intususeptum masuk ke bagian distal atau disebut intussussipien.

B. Etiologi
Etiologi dari intususepsi terbagi menjadi 2, yaitu idiopatik dan kausal.
- Idiopatik

Menurut kepustakaan, 90-95 % intususepsi pada anak di bawah umur satu


tahun tidak dijumpai penyebab yang spesifik sehingga digolongkan
sebagai “infantile idiophatic intussusceptions”. Kepustakaan lain menyebutkan
di Asia, etiologi idiopatik dari intususepsi berkisar antara 42-100%. Intususepsi
idiopatik memiliki etiologi yang tidak jelas. Salah satu teori untuk menjelaskan
kemungkinan etiologi intususepsi idiopatik adalah bahwa hal itu terjadi karena
Peyer patch yang membesar; hipotesis ini berasal dari 3 pengamatan: penyakit
ini sering didahului oleh infeksi saluran pernapasan atas, wilayah ileokolika
memiliki konsentrasi tertinggi dari kelenjar getah bening di mesenterium, dan
pembesaran kelenjar getah bening sering dijumpai pada pasien yang
memerlukan operasi. Apakah Peyer patch yang membesar adalah reaksi
terhadap intususepsi atau sebagai penyebab intususepsi, masih tidak jelas.

- Kausal
Pada penderita intususepsi yang lebih besar (lebih dua tahun), adanya
kelainan usus dapat menjadi penyebab intususepsi seperti : inverted Meckel’s
diverticulum, polip usus, leiomioma, leiosarkoma, hemangioma, blue rubber
blep nevi, lymphoma dan duplikasi usus. Divertikulum Meckel adalah
penyebab paling utama, diikuti dengan polip seperti peutz-jeghers
syndrom, dan duplikasi intestinal. Lead point lain diantaranya
lymphangiectasias, perdarahan submukosa dengan Henoch-Schönlein
purpura, trichobezoars dengan Rapunzel syndrome, caseating granulomas yang
berhubungan dengan tuberkulosis abdominal. Intususepsi dapat juga terjadi
setelah laparotomi, yang biasanya timbul setelah dua minggu pasca bedah, hal
ini terjadi akibat gangguan peristaltik usus, disebabkan manipulasi usus yang
kasar dan lama, diseksi retroperitoneal yang luas dan hipoksia lokal.
C. Patogenesis

Patogenesis dari intususepsi diyakini akibat sekunder dari ketidakseimbangan


pada dorongan longitudinal sepanjang dinding intestinal. Ketidakseimbangan ini
dapat disebabkan oleh adanya massa yang bertindak sebagai pencetus atau oleh
pola yang tidak teratur dari peristalsis (contohnya, ileus pasca operasi). Gangguan
elektrolit berhubungan dengan berbagai masalah kesehatan yang dapat
mengakibatkan motilitas intestinal yang abnormal, dan mengarah pada terjadinya
invaginasi. Beberapa penelitian terbaru pada binatang menunjukkan pelepasan
nitrit oksida pada usus, suatu neurotransmitter penghambat, menyebabkan
relaksasi dari katub ileocaecal dan mempredisposisi intususepsi ileocaecal.
Penelitian lain telah mendemonstrasikan bahwa penggunaan dari beberapa
antibiotik tertentu dapat menyebabkan hiperplasia limfoid ileal dan dismotilitas
intestinal dengan intususepsi.

Sebagai hasil dari ketidakseimbangan, area dari dinding usus terinvaginasi ke


dalam lumen. Proses ini terus berjalan, dengan diikuti area proximal dari
intestinal, dan mengakibatkan intususeptum berproses sepanjang lumen dari
intususipiens. Apabila terjadi obstruksi sistem limfatik dan vena mesenterial,
akibat penyakit berjalan progresif dimana ileum dan mesenterium masuk ke dalam
caecum dan colon, akan dijumpai mukosa intussusseptum menjadi oedem dan
kaku. Mengakibatkan obstruksi yang pada akhirnya akan dijumpai keadaan
strangulasi dan perforasi usus.
Pembuluh darah mesenterium dari bagian yang terjepit mengakibatkan
gangguan venous return sehingga terjadi kongesti, oedem, hiperfungsi goblet sel
serta laserasi mukosa usus. Hal inilah yang mendasari terjadinya salah satu
manifestasi klinis intususepsi yaitu BAB darah lendir yang disebut juga  red
currant jelly stool.

D. Faktor-faktor yang dihubungkan dengan terjadinya intususepsi

Penyakit ini sering terjadi pada umur 3-12 bulan, dimana pada saat itu terjadi
perubahan diet makanan dari cair ke padat, perubahan pemberian makanan ini
dicurigai sebagai penyebab terjadi intususepsi. Intususepsi kadang-kadang terjadi
setelah/selama enteritis akut, sehingga dicurigai akibat peningkatan peristaltik
usus. Gastroenteritis akut yang dijumpai pada bayi, ternyata ditemukan kuman
rotavirus menjadi agen penyebabnya, dimana pengamatan 30 kasus intususepsi
bayi ditemukan virus ini dalam feses sebanyak 37%. Pada beberapa penelitian
terakhir ini didapati peninggian insidens adenovirus dalam feses penderita
intususepsi.

E. Jenis Intususepsi

Jenis intususepsi dapat dibagi menurut lokasinya pada bagian usus mana yang
terlibat, pada ileum dikenal sebagai jenis ileo-ileal.Pada kolon dikenal dengan
jenis colo-colica dan sekitar ileo-caecal disebut ileocaecal, jenis-jenis yang
disebutkan di atas dikenal dengan intususepsi tunggal dimana dindingnya terdiri
dari tiga lapisan. Jika dijumpai dinding yang terdiri dari lima lapisan, hal ini
sering pada keadaan yang lebih lanjut disebut jenis intususepsi ganda, sebagai
contoh adalah jenis ileo-ileo-colica atau colo-colica. Suwandi J.Wijayanto E. di
Semarang selama 3 tahun (1981-1983) pada pengamatannya mendapatkan jenis
intususepsi sebagai berikut: Ileo-ileal 25%, ileo-colica 22,5%, ileo-ileo-colica
50% dan colo-colica 22,5%.

 
F. Gambaran klinis

Secara klasik perjalanan suatu intususepsi memperlihatkan gambaran sebagai


berikut : Anak atau bayi yang semula sehat dan biasanya dengan keadaan gizi
yang baik, tiba-tiba menangis kesakitan, terlihat kedua kakinya terangkat ke atas,
penderita tampak seperti kejang dan pucat menahan sakit, serangan nyeri perut
seperti ini berlangsung dalam beberapa menit. Di luar serangan, anak/bayi
kelihatan seperti normal kembali. Pada waktu itu sudah terjadi proses intususepsi.
Serangan nyeri perut datangnya berulang-ulang dengan jarak waktu 15-20 menit
dengan lama serangan 2-3 menit. Pada umumnya selama serangan nyeri perut itu
diikuti dengan muntah berisi cairan dan makanan yang ada di lambung.

Sesudah beberapa kali serangan dan setiap kalinya memerlukan tenaga, maka
di luar serangan si penderita terlihat lelah dan lesu dan tertidur sampai datang
serangan kembali. Proses intususepsi pada mulanya belum terjadi gangguan
pasase isi usus secara total, anak masih dapat defekasi berupa feses biasa,
kemudian feses bercampur darah segar dan lendir, kemudian defekasi hanya
berupa darah segar bercampur lendir tanpa feses. BAB darah dan lendir (red
currant jelly stool) baru dijumpai sesudah 6-8 jam serangan sakit yang pertama
kali, kadang-kadang sesudah 12 jam. BAB darah lendir ini bervariasi jumlahnya
dari kasus per kasus, ada juga yang dijumpai hanya pada saat melakukan colok
dubur.
Karena sumbatan belum total, perut belum kembung dan tidak tegang,
dengan demikian mudah teraba gumpalan usus yang terlibat intususepsi
sebagai suatu massa tumor berbentuk curved sausage di dalam perut di bagian
kanan atas, kanan bawah, atas tengah atau kiri bawah(4). Tumor lebih mudah
teraba pada waktu terdapat peristaltik, sedangkan pada perut bagian kanan
bawah teraba kosong yang disebut dance’s sign. Hal ini akibat caecum dan
kolon naik ke atas, ikut proses intususepsi. Sesudah 18-24 jam serangan sakit
yang pertama, usus yang tadinya tersumbat partial berubah menjadi sumbatan
total, diikuti proses oedem yang semakin bertambah, sehingga pada pasien
dijumpai tanda-tanda obstruksi, seperti perut kembung dengan gambaran
peristaltik usus yang jelas, muntah warna hijau dan dehidrasi. Oleh karena
perut kembung maka massa tumor tidak dapat diraba lagi dan defekasi hanya
berupa darah dan lendir. Apabila keadaan ini berlanjut terus akan dijumpai
muntah feses, dengan demam tinggi, asidosis, toksis dan terganggunya aliran
pembuluh darah arteri. Pada segmen yang terlibat menyebabkan nekrosis
usus, gangren, perforasi, peritonitis umum, shock dan kematian.
Pada pemeriksaan colok dubur didapati:
 Tonus sphincter melemah, mungkin invaginat dapat diraba berupa massa
seperti portio bila jari ditarik, keluar darah bercampur lendir.
Perlu perhatian bahwa untuk penderita malnutrisi, gejala-gejala intususepsi
tidak khas. Tanda-tanda obstruksi usus baru timbul dalam beberapa hari. Pada
penderita ini tidak jelas tanda adanya sakit berat. Pada defekasi tidak ada
darah. Intususepsi dapat mengalami prolaps melewati anus. Hal ini mungkin
disebabkan pada pasien malnutrisi, memiliki tonus yang melemah, sehingga
obstruksi tidak cepat timbul.
G. Diagnosis

Untuk menegakkan diagnosis intususepsi didasarkan pada anamnesis,


pemeriksaan fisik, laboratorium dan radiologi. Gejala klinis yang menonjol dari
intususepsi adalah suatu trias gejala yang terdiri dari :

1. Nyeri perut yang datangnya secara tiba-tiba, nyeri bersifat hilang timbul.
Nyeri menghilang selama 10-20 menit, kemudian timbul lagi serangan
baru.
2. Teraba massa tumor di perut bentuk curved sausage pada bagian kanan
atas, kanan bawah, atas tengah, kiri bawah atau kiri atas.
3. Buang air besar campur darah dan lendir yang disebut red currant jelly
stool.
Bila penderita terlambat memeriksakan diri, maka sukar untuk meraba adanya
tumor, oleh karena itu untuk kepentingan diagnosis harus berpegang kepada gejala
trias intususepsi. Mengingat intususepsi sering terjadi pada anak berumur di
bawah satu tahun, sedangkan penyakit disentri umumnya terjadi pada anak-anak
yang mulai berjalan dan mulai bermain sendiri maka apabila ada pasien datang
berumur di bawah satu tahun, sakit perut yang bersifat kolik sehingga anak
menjadi rewel sepanjang hari/malam, ada muntah, buang air besar campur darah
dan lendir maka pikirkanlah kemungkinan intususepsi. The Brighton
Collaboration Intussuseption Working Group mendirikan sebuah diagnosis klinis
menggunakan campuran dari kriteria minor dan mayor. Strasifikasi ini membantu
untuk membuat keputusan berdasarkan tiga level dari pembuktian untuk
membuktikan apakah kasus tersebut adalah intususepsi.
Kriteria Mayor
1. Adanya bukti dari obstruksi usus berupa adanya riwayat muntah hijau,
diikuti dengan distensi abdomen dan bising usus yang abnormal atau tidak
ada sama sekali.
2. Adanya gambaran dari invaginasi usus, dimana setidaknya tercakup hal-
hal berikut ini: massa abdomen, massa rectum atau prolaps rectum, terlihat
pada gambaran foto abdomen, USG maupun CT Scan.
3. Bukti adanya gangguan vaskularisasi usus dengan manifestasi perdarahan
rectum atau gambaran feses red currant jelly pada pemeriksaan Rectal
Toucher.
Kriteria Minor
1. Bayi laki-laki kurang dari 1 tahun
2. Nyeri abdomen
3. Muntah
4. Lethargy
5. Pucat
6. Syok hipovolemi
7. Foto abdomen yang menunjukkan abnormalitas tidak spesifik.
Berikut ini adalah pengelompokkan berdasarkan tingkat pembuktian, yaitu :
Level 1 – Definite (ditemukannya satu kriteria di bawah ini)
- Kriteria Pembedahan – Invaginasi usus yang ditemukan saat pembedahan
- Kriteria Radiologi – Air enema atau liquid contrast enema menunjukkan
invaginasi dengan manifestasi spesifik yang bisa dibuktikan dapat direduksi
oleh enema tersebut.
- Kriteria Autopsi – Invagination dari usus
Level 2 – Probable (salah satu kriteria di bawah)
- Dua kriteria mayor
- Satu kriteria mayor dan tiga kriteria minor
Level 3 – Possible
- Empat atau lebih kriteria minor
H. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium

Meskipun hasil laboratorium tidak spesifik untuk menegakkan diagnosis


intususepsi, sebagai proses dari progresivitas, akan didapatkan abnormalitas
elektrolit yang berhubungan dengan dehidrasi, anemia dan atau peningkatan
jumlah leukosit (leukositosis >10.000/mm3).

2. Pemeriksaan Radiologi
Foto polos abdomen
Didapatkan distribusi udara di dalam usus tidak merata, usus terdesak ke
kiri atas, bila telah lanjut terlihat tanda-tanda obstruksi usus dengan
gambaran air fluid level. Dapat terlihat free air bila terjadi perforasi.
Literatur lain menyebutkan bahwa foto polos hanya memiliki akurasi
diagnostik 45% untuk menegakkan diagnosis intususepsi sehingga
penggunaannya tidak diindikasikan jika ada fasilitas USG. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan Hooker et al tahun 2008 dalam Radiographic
Evaluation of Intussusception, tampilan foto polos abdomen dengan
posisi left side down decubitus meningkatkan kemampuan untuk diagnosis
atau menyingkirkan intususepsi.

Barium enema
Pada barium enema akan tampak gambaran cupping, coiled spring
appearance.
Ultrasonografi Abdomen
Pada tampilan transversal USG, tampak konfigurasi usus berbentuk
‘target’ atau ‘donat’ yang terdiri dari dua cincin echogenisitas rendah yang
dipisahkan oleh cincin hiperekoik, tidak ada gerakan pada donat tersebut
dan ketebalan tepi lebih dari 0,6 cm. Ketebalan tepi luar lebih dari 1,6 cm
menunjukkan perlunya intervensi pembedahan. Pada tampilan logitudinal
tampak pseudokidney sign yang timbul sebagai tumpukan lapisan
hipoekoik dan hiperekoik.
Pemeriksaan USG selain sebagai diagnostik, juga dapat digunakan
untuk membantu mendiferensiasikan tipe dari intususepsi. Park et al
(2007) melaporkan bahwa intususepsi transien dari usus kecil lebih sering
terlokalisir pada kuadran kanan bawah atau region periumbilikal, memiliki
diameter anteroposterior yang lebih kecil (1,38 cm vs 2,53 cm), memiliki
garis luar yang lebih tipis (0,26 cm vs 0,53 cm), dan tidak memiliki nodus
limfatikus, dimana berbanding terbalik dengan intususepsi ileocolic.
Sebuah studi oleh Munden et al (2007) mendukung penemuan ini, dengan
diameter anteroposterior rata-rata adalah 1,5 cm pada intususepsi ileoileal
dan 3,7 cm pada intususepsi ileocolic dan panjang rata-ratanya berkisar 2,5
cm dan 8,2 cm secara respektif.
CT Scan
Intususepsi yang digambarkan pada CT scan merupakan gambaran
klasik seperti pada USG yaitu target sign. Intususepsi temporer dari usus
halus dapat terlihat pada CT maupun USG, dimana sebagian besar kasus
ini secara klinis tidak signifikan.

I. Diagnosis Banding
1. Gastroenteritis, bila diikuti dengan intususepsi dapat ditandai jika dijumpai
perubahan rasa sakit, muntah dan perdarahan.
2. Divertikulum Meckel, dengan perdarahan, biasanya tidak ada rasa nyeri.
3. Disentri amoeba, disini diare mengandung lendir dan darah, serta adanya
obstipasi, bila disentri berat disertai adanya nyeri di perut, tenesmus dan
demam.
4. Enterokolitis, tidak dijumpai adanya nyeri di perut yang hebat.
5. Prolapsus recti atau Rectal prolaps, dimana biasanya terjadi berulang kali
dan pada colok dubur didapati hubungan antara mukosa dengan kulit
perianal, sedangkan pada intususepsi didapati adanya celah
J. Penatalaksanaan

Pada bayi maupun anak yang dicurigai intususepsi atau invaginasi,


penatalaksanaan lini pertama sangat penting dilakukan untuk mencegah
komplikasi yang lebih lanjut. Selang lambung (Nasogastric tube) harus dipasang
sebagai tindakan kompresi pada pasien dengan distensi abdomen sehingga bisa
dievaluasi produksi cairannya. Setelah itu, rehidrasi cairan yang adekuat
dilakukan untuk menghindari kondisi dehidrasi dan pemasangan selang catheter
untuk memantau ouput dari cairan. Pemeriksaan darah lengkap dan elektrolit
darah dapat dilakukan. Pneumatic atau kontras enema masih menjadi pilihan
utama untuk diagnosa maupun terapi reduksi lini pertama pada intususepsi di
banyak pusat kesehatan. Namun untuk meminimalisir komplikasi, tindakan ini
harus dilakukan dengan memperhatikan beberapa panduan. Salah satunya adalah
menyingkirkan kemungkinan adanya peritonitis, perforasi ataupun gangrene pada
usus. Semakin lama riwayat perjalanan penyakitnya, semakin besar kemungkinan
kegagalan dari terapi reduksi tersebut.

Tindakan Non Operatif


Hydrostatic Reduction
Metode reduksi hidrostatik tidak mengalami perubahan signifikan sejak
dideskripsikan pertama kali pada tahun 1876. Meskipun reduksi hidrostatik
dengan menggunakan barium di bawah panduan fluoroskopi telah menjadi
metode yang dikenal sejak pertengahan 1980-an, kebanyakan pusat pediatrik
menggunakan kontras cairan saline (isootonik) karena barium memiliki potensi
peritonitis yang berbahaya pada perforasi intestinal. Selain penggunaan
fluoroskopi sebagai pemandu, saat ini juga dikenal reduksi menggunakan air
(dilusi antara air dan kontras soluble dengan perbandingan 9:1) dengan panduan
USG. Keberhasilannya mencapai 90%, namun sangat tergantung pada
kemampuan expertise USG dari pelakunya.
Teknik non pembedahan ini memiliki beberapa keuntungan dibandingkan
dengan reduksi secara operatif. Diantaranya yaitu : penurunan angka morbiditas,
biaya, dan waktu perawatan di rumah sakit.
Pneumatic Reduction
Prosedur ini dimonitor secara fluroskopi sejak udara dimasukkan ke dalam
rectum. Tekanan udara maksimum yang aman adalah 80 mmHg untuk bayi dan
110-120 mmHg untuk anak. Penganut dari model reduksi ini meyakini bahwa
metode ini lebih cepat, lebih aman dan menurunkan waktu paparan dari radiasi.
Pengukuran tekanan yang akurat dapat dilakukan, dan tingkat reduksi lebih tinggi
daripada reduksi hidrostatik.
Tindakan Operatif
Apabila diagnosis intususepsi yang telah dikonfirmasi oleh x-ray, mengalami
kegagalan dengan terapi reduksi hidrostatik maupun pneumatik, ataupun ada bukti
nyata akan peritonitis difusa, maka penanganan operatif harus segera dilakukan.
K. Komplikasi

Intususepsi dapat menyebabkan terjadinya obstruksi usus. Komplikasi lain


yang dpat terjadi adalah dehidrasi dan aspirasi dari emesis yang terjadi. Iskemia
dan nekrosis usus dapat menyebabkan perforasi dan sepsis. Nekrosis yang
signifikan pada usus dapat menyebabkan komplikasi yang berhubungan
dengan “short bowel syndrome”. Meskipun diterapi dengan reduksi operatif
maupun radiografik, striktur dapat muncul dalam 4-8 minggu pada usus yang
terlibat.

L. Prognosis

Kematian disebabkan oleh intususepsi idiopatik akut pada bayi dan anak-
anak sekarang jarang di negara maju. Sebaliknya, kematian terkait dengan
intususepsi tetap tinggi di beberapa negara berkembang. Pasien di negara
berkembang cenderung untuk datang ke pusat kesehatan terlambat, yaitu lebih
dari 24 jam setelah timbulnya gejala, dan memiliki tingkat intervensi bedah,
reseksi usus dan mortalitas lebih tinggi. Mortalitas secara signifikan lebih tinggi
(lebih dari sepuluh kali lipat dalam kebanyakan studi) pada bayi yang ditangani 48
jam setelah timbulnya gejala daripada bayi yang ditangani dalam waktu 24 jam
setelah onset pertama. Angka rekurensi dari intususepsi untuk reduksi nonoperatif
dan operatif masing-masing rata-rata 5% dan 1-4%.

VOLVULUS

A. Definisi
Volvulus merupakan kelainan berupa puntiran dari segmen usus terhadap
usus itu sendiri, mengelilingi mesenterium dari usus tersebut dengan
mesenterium itu sendiri sebagai aksis longitudinal sehingga menyebabkan
obstruksi saluran cerna.
B. Etiologi dan Klasifikasi
Volvulus merupakan puntiran usus dengan mesenterium sebagai aksis
putarannya dan dapat terjadi diberbagai tempat di saluran pencernaan. Volvulus
diklasifikasikan berdasarkan tempat terjadinya. Kasus volvulus sebagian besar
terjadi akibat abnormalitas saluran cerna saat proses embriologi dan kasus banyak
ditemukan pada anak. Namun kasus volvulus juga dapat ditemukan pada orang
dewasa dengan etiologi dan faktor resiko yang berbeda.
1. Volvulus Gaster
Volvulus gaster merupakan kasus yang jarang terjadi, namun merupakan
salah satu kasus kegawatan karena menyebabkan inkarserata dan strangulasi.
Volvulus gaster oleh Singleton diklasifikasikan berdasarkan aksis putaran
volvulus tersebut yaitu :
- Organoaksial
Gaster berotasi mengelilingi aksis yang menghubungkan gastroesofageal
junction dan bagian antrum pilorus berotasi kearah yang berbeda dengan
rotasi bagian fundus. Volvulus gaster jenis ini lebih sering didapatkan
dibandingkan kasus jenis mesenterikoaksial, yaitu 59% dari seluruh kasus
volvulus gaster. Volvulus gaster tipe organoaksial berhubungan dengan
defek diafragmatika. Komplikasi berupa inkarserasi dan strangulasi lebih
sering dijumpai pada tipe ini.
- Mesenterikoaksial
Pada tipe mesenterikoaksial, antrum pilorus berotasi kearah anterior dan
superior sehingga permukaan posterior gaster berada di anterior. Volvulus
gaster tipe ini tidak berhubungan dengan defek diafragmatika dan jarang
menimbulkan komplikasi strangulasi, sehingga lebih sering bersifat kronis.
- Kombinasi
Tipe kombinasi antara organoaksial dan mesenterikoaksial jarang
ditemukan.

Gambar Volvulus gaster tipe organoaksial (gambar kiri) dan tipe


mesenterikoaksial (gambar kanan)
Etiologi dari volvulus gaster diklasifikasikan berdasarkan penyebabnya,
yaitu idiopatik (tipe 1) dan kongenital (tipe2). Tipe 1 atau tipe idiopatik lebih
sering terjadi dibandingkan tipe 2, yaitu sebanyak 2 dari 3 kasus dan lebih
sering terjadi pada orang dewasa. Tipe ini terjadi oleh karena abnormalitas
kelenturan dari ligamen gastrosplenik, gastroduodenal, gastrofrenik dan
gastrohepatik. Abnormalitas ini menyebabkan bagian cardia dan pilorus gaster
menjadi dekat ketika gaster penuh dengan makanan, sehingga mempermudah
terjadinya volvulus. Tipe 2 atau tipe kongenital disebabkan oleh defek
kongenital berupa defek pada diafragmatika 43%, ligamen Gastrohepatik 32%,
perlekatan abnormal 9%, asplenisme 5%, malformasi usus kecil dan usus besar
4%, stenosis pilorus 2%, distensi kolon 1% dan atresia rektal 1%. Penyebab
kelainan neuromuskular seperti poliomielitis juga beresiko terhadap terjadinya
volvulus gaster.
2. Volvulus Midgut
Midgut merupakan bagian embriologis yang kemudian menjadi
duodenum, jejunum, ileum, sekum, apendiks, kolon asending, kolon bagian
fleksura hepatik dan kolon transversal pada manusia pasca lahir. Volvulus
midgut merupakan keadaan yang disebabkan oleh kegagalan atau malrotasi
intestinal loop saat masa embriologi dan merupakan kasus kegawatan di
bidang pediatri karena menyebabkan adanya obstruksi dan iskemia jaringan
usus.
Kasus volvulus midgut banyak ditemukan pada satu tahun pertama
kehidupan. Beberapa kasus volvulus midgut bahkan ditemukan saat manusia
masih menjadi janin dan mungkin juga tanpa disertai malrotasi. Etiologi yang
mungkin menyebabkan volvulus midgut, selain akibat kegagalan rotasi adalah
akibat tidak adanya otot dari saluran cerna dan defek mesenterika.
3. Volvulus Sekum
Volvulus sekum terjadi akibat kelainan bawaan kolon kanan yang tidak
terletak retroperitoneal dan tidak terfiksasi dengan baik serta tergantung pada
perpenjangan mesenterium usus halus. Volvulus sekum melibatkan distal
ileum dan colon ascending, dimana keduanya saling terpuntir. Pada studi
otopsi oleh Anson, sebanyak 10% kolon ascending mempunyai mesokolon
yang mobile, sehingga memudahkan terjadinya volvulus. Selain mesenterium
yang panjang, Anomali dimana terdapat undescended right colon, sekum yang
mudah bergerak (mobile) serta adanya space occupying lession pada pelvis
seperti tumor ovarium merupakan faktor resiko terjadinya volvulus pada
sekum. Sebagai contoh, sebuah kasus volvulus juga ditemukan pada
kehamilan, walaupun kasus ini tergolong jarang.
Gambar Volvulus Midgut, Sekum dan Sigmoid
4. Volvulus Kolon Transversal
Volvulus pada kolon transversal merupakan kasus yang jarang terjadi,
yaitu sebanyak 4% dari seluruh kasus volvulus serta banyak menyerang
perempuan. Faktor predisposisi meliputi adanya mesokolon yang panjang
serta jarak yang dekat antara kolon bagian fleksura hepatik dan bagian
fleksura splenik atau interposisi hepatodiafragmatika kolon (Sindrom
Chilaiditi). Obstruksi kolon bagian distal juga dapat memperpanjang dan
memperluas kolon transversal sehingga beresiko terjadi volvulus.
5. Volvulus Sigmoid
Volvulus sigmoid merupakan volvulus dengan kejadian terbanyak
dibandingkan volvulus ditempat lain. Volvulus sigmoid terjadi akibat
perpanjangan sigmoid sehingga panjang sigmoid berlebihan disertai dengan
basis mesenterium yang sempit. Studi di beberapa penelitian menyatakan
bahwa volvulus sigmoid berhubungan dengan konstipasi kronik, ditemukan
pada pengguna obat laksatif dan enema, berhubungan dengan diet tinggi serat,
dan adanya massa di cavum pelvis serta Penyakit Chagas dan Hirsprung. Arah
terjadinya puntiran sigmoid adalah searah dengan jarum jam. Konstipasi
kronis dan diet tinggi serat menghasilkan sigmoid yang penuh dengan feses
dan beratnya menghasilkan momentum yang menginisiasi volvulus. Massa
didalam usus berupa cacing juga dapat menyebabkan momentum sehingga
beresiko terjadi volvulus.
C. Patofisiologi
Pada masa embriologi, minggu ke 4 hingga ke 8, terjadi perkembangan
intestinal fetal yang pesat, dimana terjadi pemanjangan dan perkembangan tube
serta rotasi hingga 270°. Jika loop duodenum tetap berada pada sisi kanan
abdomen dan loop sekokolik berada pada bagian kiri dari arteri mesenterika
superior terjadilah nonrotasi dari intestinal loop. Malrotasi terjadi jika terdapat
gangguan rotasi duodenal, yang seharusnya lengkap 270° menjadi hanya 180° dan
loop sekokolik kehilangan rotasi 180° dari rotasi normalnya, menyebabkan sekum
terletak diatas (mid abdomen) atau letak tinggi.
Malrotasi menyebabkan sekum terletak diatas, di mid abdomen beserta
dengan tangkai peritoneal yang disebut Ladd’s Bands. Ladd’s Bands merupakan
jaringan fibrosis dari peritoneal yang melekatkan sekum di dinding abdomen dan
menimbulkan obstruksi pada duodenum serta khas terdapat pada malrotasi
intestinal. Malrotasi dari intestinal loop dapat bersifat asimptomatik, namun
beresiko terhadap adanya volvulus dikemudian hari.
Lumen usus yang tersumbat secara progresif akan teregang oleh cairan dan
gas (70% dari gas yang ditelan) akibat peningkatan tekanan intralumen, yang
menurunkan pengaliran air dan natrium dari lumen ke darah. Peregangan usus
yang terus menerus penurunan absorpsi cairan dan peningkatan sekresi cairan ke
dalam usus. Pengaruh atas kehilangan ini adalah penciutan ruang cairan ekstrasel
yang mengakibatkan hipovolemi, pengurangan curah jantung, penurunan perfusi
jaringan dan asidosis metabolik. Efek lokal peregangan usus adalah iskemia akibat
distensi dan peningkatan permeabilitas akibat nekrosis, disertai absorpsi toksin-
toksin bakteri ke dalam rongga peritoneum dan sirkulasi sistemik untuk
menyebabkan bakteriemia. Bakteriemia dan hipovolemi ini kemudian
menyebabkan proses sistemik menyebabkan SIRS (systemic inflamatory response
syndrome).
Gambar Sekum letak tinggi akibat malrotasi saat masa embriologi; disertai Ladd’s Bands
yang menyebabkan obstruksi duodenum
D. Manifestasi Klinis
1. Anamnesis
Volvulus secara garis besar bermanifestasi obstruksi saluran cerna.
Volvulus gaster yang akut bermanifestasi adanya nyeri pada epigastrium yang
sifatnya akut, nyeri dada yang sifatnya tajam, distensi abdomen dan biasanya
juga disertai hematemesis akibat iskemia mukosa. Trias Borchardt khas
menunjukan adanya obstruksi saluran cerna bagian atas, yaitu adanya nyeri,
muntah tanpa pengeluaran isi lambung (isi lambung naik ke esofagus namun
tidak memasuki faring sehingga tidak terjadi pengeluaran isi lambung) dan
pipa nasogastrik yang tidak dapat masuk hingga ke lambung. Sedangkan
volvulus gaster yang kronis bermanifestasi nyeri dan cepat merasa kenyang
saat makan. Pasien juga mengeluhkan adanya sulit napas, nyeri dada dan
disfagia. Karena gejala ini tidak khas maka pasien seringkali didiagnosis
dengan ulkus peptikum dan kolelithiasis.
Berbeda dengan volvulus pada gaster, manifestasi klinis yang khas dari
volvulus sekum adalah tanda tanda obstruksi saluran cerna, disertai distensi
abdomen dan timpani abdomen. Diagnosis volvulus sekum jarang ditegakkan
melalui gejala klinis, 50% ditegakan melalui gambaran radiologi dengan
karakteristik coffe bean atau tear drop (bascule) appearances. Pasien dengan
volvulus sigmoid, kolon transversal dan sekum menunjukan gejala yang
hampir sama. Manifestasi klinis utama yang sering dikeluhkan adalah nyeri
perut, distensi perut disertai tidak bisa flatus dan buang air besar (konstipasi
kronis). Pada volvulus sigmoid, episode gejala yang pertama dapat hilang atau
sembuh sendiri. Namun gejala tersebut dapat timbul kembali. Setiap episode
volvulus, basis mesokolon akan semakin menyempit sehingga pada episode
berikutnya volvulus lebih mungkin terjadi kembali dan sulit untuk kembali.
2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan klinis, pasien dapat tampak baik-baik saja, dengan
pemeriksaan abdomen tanpa kelainan, hal ini ditemukan pada 50% pasien,
biasanya karena obstruksi usus sifatnya sangat proksimal. Sisanya didapatkan
tanda distensi abdomen. Pada palpasi abdomen yang dalam, mungkin
didapatkan suatu massa akibat statis makanan di usus dan massa puntiran
usus. Pada kasus yang sudah berulang dan tidak ditangani, kejadian iskemia
jaringan usus dan distensi abdomen masif akibat produksi gas berlebihan
seringkali ditemukan, juga disertai dengan sepsis, bahkan syok hipovolemi
akibat peritonitis. Pada pemeriksaan fisik dengan curiga volvulus hendaknya
mempertimbangkan kemungkinan terjadinya komplikasi berupa peritonitis,
sepsis dan syok hipovolemia.
Pada volvulus sigmoid, distensi abdomen biasanya bersifat masif, besar
dan mengganggu. Pada perkusi perut didapatkan bunyi hipertimpani karena
penimbunan gas yang berlebihan. Pada inspeksi dan palpasi abdomen,
biasanya kontur sigmoid dapat tampak atau teraba di dinding abdomen seperti
ban mobil (de jong). Jika didapatkan tanda-tanda peritonitis maka curiga
adanya ruptur pada usus. Jika perforasi sudah berlanjut menjadi peritonitis
maka juga mungkin didapatkan tanda toksisitas sistemik atau SIRS. 1 Adanya
komplikasi dicurigai jika ditemukan adanya takikardi, pireksia, rebound
tenderness, defense muscular dan gangguan bising usus. Monitoring terhadap
tanda vital sangat penting untuk memantau terjadinya komplikasi.
E. Diagnosis Banding
Gejala berupa nyeri abdomen menyerupai dengan nyeri abdomen pada
obstruksi usus (ileus obstruksi, intusepsi), gastroenteritis, kolesistitis, infeksi
saluran kemih, batu saluran kemih dan ulkus peptikum. Distensi abdomen juga
terdapat pada obstruksi usus. Pada bayi dan anak, diagnosis banding yang perlu
dipertimbangkan adalah intusepsi, megakolon kongenital, divertikulum meckel
dan penyakit Hirschprung. Untuk menyingkirkan diagnosis banding perlu
dilakukan pemeriksaan penunjang laboratorium dan radiologi.
F. Diagnosis
Diagnosis volvulus didapatkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Secara garis besar pada anamnesis dan pemeriksaan fisik
didapatkan gejala dan tanda obstruksi saliran pencernaan.
1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan
darah rutin untuk mendapatkan jumlah leukosit dan hemoglobin, pemeriksaan
kadar elektrolit darah dan gula darah. Pemeriksaan penunjang laboratorium
tidak banyak membantu diagnosis volvulus, namun berguna untuk persiapan
operasi. Pemeriksaan penunjang laboratorium juga dapat mengkonfirmasi
adanya komplikasi dari volvulus. Pada tahap awal, ditemukan hasil
laboratorium yang normal. Selanjutnya ditemukan adanya hemokonsentrasi,
leukositosis dan nilai elektrolit yang abnormal. Peningkatan serum amilase
sering didapatkan pada obstruksi saluran cerna. Leukositosis menunjukkan
adanya iskemik atau strangulasi. Hematokrit yang meningkat dapat timbul
pada dehidrasi. Selain itu dapat ditemukan adanya gangguan elektrolit.
Analisa gas darah menunjukan abnormalitas pada pasien dengan alkalosis
metabolik bila muntah berat, dan metabolik asidosis bila ada tanda - tanda
syok dan dehidrasi.
2. Pemeriksaan Radiologis
Untuk mendapatkan diagnosis pasti, pemeriksaan imaging atau radiologis
diperlukan. Secara umum, pemeriksaan radiologis yang dapat dilakukan
adalah:
1. Foto Abdomen
Foto polos abdomen anterior-posterior dan lateral dapat menunjukan
adanya obstruksi usus, dengan adanya pelebaran loop, dilatasi lambung dan
duodenum, dengan atau tanpa gas usus serta batas antara udara dengan cairan
(air-fluid level). Foto dengan kontras dapat menunjukan adanya obstruksi,
baik bagian proksimal maupun distal. Malrotasi dengan volvulus midgut patut
dicurigai bila duodenojejunal junction berada di lokasi yang tidak normal atau
ditunjukan dengan letak akhir dari kontras berada. Foto dengan kontras juga
dapat menunjukan obstruksi bagian bawah, dilakukan juga pada pasien dengan
gejala bilious vomiting untuk mencurigai adanya penyakit Hirschsprung,
meconium plug syndrome dan atresia.
2. Ultrasonografi
Pemeriksaan ultrasonografi tidak banyak membantu diagnosis volvulus,
namun pada pemeriksaan ini dapat didapatkan cairan intraluminal dan edema
di abdomen. Kemudian, adanya perubahan anatomikal arteri dan vena
mesenterika superior dapat terlihat, hal ini menunjukan adanya malrotasi,
walaupun tidak selalu.
3. CT scanning
CT scanning mempunyai sensitivitas spesifisitas yang baik untuk
mendiagnosis adanya obstruksi usus, termasuk volvulus. Pengambilan titik
transisi di beberapa lokasi dengan CT scan signifikan untuk mendiagnosis
volvulus. Penelitian Shandu, 2007, menyatakan bahwa titik transisi yang
berhubungan dengan volvulus cenderung terlokasi lebih dari 7 cm anterior
spinal. “The Whirl Sign” merupakan gambaran khas pada CT scan yang
menunjukan adanya volvulus. Arah putaran volvulus juga dapat dilihat pada
CT scan. Volvulus gaster dapat didiagnosis dengan foto thorax, dimana
terdapat gambaran air fluid level di retrocardiaka. Dengan kontras, gambaran
obstruksi lambung di tempat volvulus terjadi dapat mengkonfirmasi adanya
volvulus.9
Gambar Volvulus Gaster ; gambar menunjukan distensi gaster mengisi hemitoraks bagian kiri
dan mendesak mediastinum (gambar kiri); Gambar menunjukan gaster berada di dada bagian
bawah pada hernia hiatal yang besar. Gaster berotasi dengan putaran organoaksial. Inkarserata
tidak terjadi secara komplit

Gambar CT Scan menunjukan gambaran khas “The Whirl Sign” (panah); Volvulus intestinal
(kanan) dan Volvulus Midgut (kiri)

Diagnosis volvulus sekum jarang ditegakkan melalui gejala klinis, 50%


ditegakan melalui gambaran radiologi dengan karakteristik coffe bean atau
tear drop (bascule) appearances. Foto dengan kontras barium beresiko terjadi
perforasi karena agar kontras barium mencapai kolon bagian kanan, insuflasi
yang ekstensif diperlukan. Namun jika diagnosis belum dapat dipastikan dari
foto, kontras water soluble dapat dimasukan melalui kolonoskopi. Laparotomi
juga dapat dilakukan dalam rangka diagnosis volvulus.1

Gambar Coffee bean appearance; gambaran di tengah bawah abdomen terlihat dilatasi
usus; khas pada volvulus sekum dan sigmoid.
Berdasarkan penelitian, volvulus sigmoid paling sering terjadi diantara
volvulus lainnya. Volvulus sigmoid ditegakan melalui gambaran radiologi
foto polos abdomen dimana menggambarkan karakteristik "omega" atau
"inverted loop". Pada kasus yang meragukan, foto dengan kontras dapat
menunjukan adanya gambaran "beaked apperances" yaitu gambaran seperti
paruh burung di bagian kolon sigmoid.

Gambar Bird’s Beak appearance; foto kontras khas pada volvulus sigmoid dan sekum.
G. Komplikasi
Strangulasi menjadi penyebab dari keabanyakan kasus kematian akibat
obstruksi usus. Volvulus sendiri merupakan obstruksi usus yang cepat
menyebabkan inkarserasi dan starngulasi. Isi lumen usus merupakan
campuran bakteri yang mematikan, hasil-hasil produksi bakteri, jaringan
nekrotik, yang jika terjadi perforasi makan akan menyebabkan peritonitis.
Namun tanpa terjadi perforasi, bakteri secara permeabel dapat menuju
pembuluh darah dan menyebabkan infeksi yang berlanjut menjadi sepsis.
H. Tata Laksana
1. Resusitasi
Prioritas utama penyelamatan pasien adalah dengan mendiagnosis adanya
volvulus, letak volvulus dan kemudian mencegah adanya nekrosis jaringan
dan syok hipovolemik akibat muntah dan kehilangan cairan di abdomen.
SIRS juga dapat menyertai komplikasi dari volvulus, sehingga perlu untuk
dilakukan tatalaksana resusitasi yang cepat jika mencurigai kegawatdaruratan
pada kasus digestif . Untuk penilaian secara cepat pada pasien yang
mengalami infeksi yang jatuh dalam keadaan sepsis , kita dapat menggunakan
metode Sequential Organ Failure Assessment ( SOFA ) Score. Ada beberapa
point penting yang dinilai pada SOFA Score, antara lain :

Tabel 1. Squential Organ Failure Assessment Score


Semakin tinggi nilai skor yang didapat, maka angka mortalitasnya juga semakin
tinggi. Prinsip resusitasi pada kasus volvulus adalah dengan mengurangi
kehilangan cairan dan mencegah terjadinya inkarserasi dan strangulasi. Lakukan
resusitasi cairan segera, dengan menerapkan prinsip yang sesuai dengan Early
Gold Direct Therapy ( Tabel 2 ) sementara menunggu untuk dilakukan tindakan
operatif. Pipa nasogastrik direkomendasikan untuk mengurangi muntah serta pipa
rektal untuk dekompresi volvulus usus besar serta untuk mengurangi obstruksi
akibat feses dan gas.
Tabel 2. Early Goal Directed Therapy
Volvulus Gaster
Pengobatan volvulus gaster akut adalah dengan pembedahan, yaitu dengan
laparotomi, koreksi volvulus dan penilaian terhadap viabilitas gaster. Hernia
diafragmatika dikoreksi melalui abdomen, yaitu dengan memasukan pipa melalui
defek diafragma, menyedot tekanan dalam torak dan pipa nasogastrik dapat
dimanipulasi kedalam gaster yang terdistensi untuk mengurangi ukuran gaster.
Jika tidak berhasil, gastrotomy diperlukan sebelum memasukan gaster ke dalam
abdomen. Setelah hernia diatasi, kantung hernia dieksisi dan defek difragmatika
dijahit dengan jahitan interuptus. Defek yang besar dapat diberikan prostesis
walaupun hal ini tidak dianjurkan. Selanjutnya adalah mencegah terjadinya
volvulus kembali. Beberapa peneliti menyarankan gastropeksi dengan pipa
gastrostomi dan menjahit gaster ke dinding abdomen. Jika ditemukan bagian yang
nekrosis dan terbentuk gangren, maka bagian tersebut harus dihilangkan dengan
gastrektomi total atau parsial. Pipa gastrostomi dimasukan untuk mendekompresi
gaster paska operasi.
Volvulus Midgut
Volvulus midgut disebabkan oleh adanya malrotasi akibat kelainan saat masa
embriologis. Penanganan volvulus midgut adalah dengan prosedur Ladd’s.
Setelah melakukan pembukaan abdomen, usus halus terlihat dan menutupi kolon
dibawahnya. Massa intestinal dirotasi untuk mereduksi volvulus, kemudian
intestinal di reposisi ke abdomen. Biasanya apendektomi juga dilakukan pada
prosedur ini karena ikatan peritoneal dianggap dapat menrusak pembuluh darah
appendiks.
Volvulus Kolon Transversal
Penatalaksanaan volvulus kolon transversal meliputi laparotomi dan reseksi.
Detorsi sendiri, pada 75% kasus, diikuti dengan kejadian volvulus kambuhan.
Reseksi segmental dari kolon transversal atau hemicolektomi bagian yang meluas
lebih disarankan.
Volvulus Sigmoid
Pengobatan volvulus sigmoid telah dilakukan semenjak beberapa dekade
yang lalu, dari pembedahan segera untuk mengkoreksi volvulus dengan mortalitas
yang tinggi hingga tindakan sigmoidoskopi dan pembedahan elektif dengan
mortalitas yang lebih rendah. Bahkan sejak jaman hipokrates, penurunan
mortalitas akibat volvulus telah terlihat, dengan menggunakan suppositoria
sepanjang 10 digit melalui rektum. Metode ini kembali digunakan oleh Gay, 1859,
namun tidak banyak diikuti hingga pertengahan abad berikutnya. Di abad ke 20,
deflasi perkutaneus menggunakan trochar diperkenalkan oleh Crips, dengan
menggunakan cadaver sebagai alat coba. Laparotomy dengan fiksasi dan reseksi
sigmoid diperkenalkan oleh Atherton, 1883, walaupun angka mortalitasnya tinggi,
mencapai 50%. Begitupula dengan sigmoidopexy, angka mortalitasnya juga
tinggi. Metode lain berupa deflasi transanal dengan sigmoidoskopi diperkenalkan
Bruusgard, 1947, yang mempunyai angka mortalitas lebih rendah sehingga lebih
banyak diterima. Disisi lain, penelitian yang dibawakan oleh Bak, menyatakan
bahwa mortalitas akibat operasi tidaklah besar, yaitu sekitar 6%. Arnold et al, juga
menambahkan bahwa mortalitas yang tinggi terjadi pada populasi tua. Kemudian
disimpulkanlah bahwa operasi setelah episode pertama gejala dapat dilakukan
pada umur dibawah 70 tahun, sedangkan untuk umur diatas 70 operasi dilakukan
setelah episode ulangan. Penelitian ini juga diinterpretasikan dengan makna lain.
Angka kejadian ulangan pada pasien diatas umur 70 tahun kemungkinan karena
pasien meninggal akibat keadaan lain atau karena tua. Sedangkan yang dibawah
70 tahun dapat mengalami kejadian ulangan karena masa hidup yang masih lama.
Hal lain yang dipertimbangkan adalah keadaan umum, status kardiorespirasi dan
metabolik pasien. Akhir-akhir ini, penatalaksanaan volvulus dengan operatif,
sigmoidoskopi, dan perkutaneus deflasi diperbaharui dan angka mortalitas turun
drastis. Terapi non-operative yang dapat dilakukan adalah pertama dengan
memasukan pipa melalui anus, ukuran 30-36 panjang 50 cm, menuju tempat
obstruksi. Barium dimasukan ke dalam pipa dan tekanan hidrostatik untuk
memasukan barium akan membuka puntiran volvulus. Foto dengan kontras
barium melalui anus yang dilakukan oleh radiologis ternyata dapat mendetorsi
volvulus. Keberhasilan akan dikonfirmasi dengan dekompresi atau keluarnya
feses dan gas. Cara lainya adalah dengan menggunakan rektoskopi atau dengan
kolonoskopi yang dimasukan melalui anus menuju tempat obstruksi.
Beberapa pendapat menyatakan bahwa setelah dilakukan dekompresi
volvulus sigmoid pasien sebaiknya dilakukan sigmoidektomy untuk mencegah
kekambuhan. Setengah dari pasien volvulus sigmoid setelah dekompresi akan
mengalami satu kali episode kekambuhan dan biasanya ahli bedah melakukan
reseksi setelah timbul episode kekambuhan. Terapi operatif pada pasien dengan
volvulus sigmoid adalah dengan laparotomi yaitu dengan melakukan dekompresi
dan koreksi terhadap puntiran volvulus dan memasukan pipa rektal ke segmen
yang terdilatasi. Saat ini, pada pasien yang dilakukan operasi emergensi untuk
volvulus sigmoid, ususnya tidak lagi viabel. Oleh karena itu, prosedur pilihannya
adalah reseksi sigmoid, baik dengan anastomosis kolorektal atau dengan prosedur
Hartmann. Pembedahan laparotomi dengan reseksi dilakukan atas dasar anatomis,
dimana proksimal rektum dekat dengan distal kolon, akibat basis mesokolon yang
menyempit, memfasilitasi end to end anastomosis. Untuk pasien yang kolon
sigmoidnya masih viabel dapat dilakukan sigmoidopexy, fiksasi sigmoid ke
dinding lateral abdomen.
Volvulus Sekum
Prinsip penanganan volvulus sekum adalah dengan mengoreksi volvulus
atau mengurangi volvulus dan fiksasi atau reseksi. Dekompresi dengan
kolonoskopi biasanya menghasilkan kegagalan sehingga tidak dilakukan dan tidak
disarankan. Penanganan dengan melakukan operasi pada pasien dengan volvulus
sekum menuai banyak kontroversi. Operasi simple dengan melakukan detorsi
volvulus biasanya diikuti dengan kejadian kambuhan, sekitar 4% dari kasus.
Tindakan reseksi dan hemikolektomi dilakukan untuk mencegah kekambuhan dan
direkomendasikan pada pasien yang sudah terdapat ganren. Jika sekum masih
viabel maka selamatkan bagian yang sehat dan untuk mencegah terjadinya
kekambuhan dilakukanlah sekopeksi. Sekopeksi (cecopexy) dilakukan dengan
sederhana yaitu dengan menjahit sekum ke dinding lateral abdomen yaitu saluran
lateral parakolik atau fiksasi menggunakan lambaian peritoneum, namun angka
kejadian kekambuhan juga dilaporkan pada beberapa penelitian. Reseksi kolon
Sekostomi dianggap sebagai tindakan yang rumit dan menimbulkan komplikasi
infeksi dan nekrosis sehingga tidak disarankan.
2. Pemberian Antibiotik
Antibiotik spektrum luas direkomendasikan pada pasien dengan curiga
adanya nekrosis jaringan dan infeksi, terlebih jika didapatkan komplikasi
perforasi, peritonitis dan sepsis. Menurut South Australian Expert Advisory
Group On Antibiotic Resistance ( SAAGAR ) dalam Surgical Antibiotic
Prophylaxis Guidelines , antibiotik profilaksis yang direkomendasikan untuk
kasus gaster, duodenum, esophagus adalah Cephazolin 1 gr IV ( 2 gr untuk pasien
≥ 80 kg ) ( anak – anak ≤ 12 tahun : 25 mg / kg BB s.d 1 gr ), untuk kasus
Colorectal dan laparatomi bisa menggunakan Metronidazole 500 mg IV ( anak-
anak ≤ 12tahun : 12,5 mg/kgBB s.d 500 mg ) atau dengan Chepazolin 1 gr IV
maupun Gentamicin 2mg/kgBB IV. Antibiotik ini terbukti efektif dalam
menurunkan angka kejadian infeksi post operatif.Sedangkan untuk antibiotic post
opratiftidak disarankan, kecuali ada hasil biakan kuman secara mikrobiologi.
I. Prognosis
Prognosis pasien dengan volvulus tergantung dari komplikasi yang menyertai
serta cepatnya penanganan. Volvulus midgut mempunyai angka mortalitas 3-15%.
Non operatif manajemen dapat memberikan hasil yang memuaskan apabila
dilakukan secara tepat dan benar, antara lain dengan memasang rektal tube ukuran
30-36 dengan panjang 50 cm pada anus dan rektum, sebuah kantung yang berisi
barium dihubungkan dengan rektal tube tadi dengan posisi lebih tinggi dan
dibiarkan satu hari samapi memberikan keberhasilan, yaitu pasien kentut maupun
mengeluarkan feses. . Pada pasien dengan nekrosis saluran cerna, reseksi dapat
meningkatkan angka kelangsungan hidup.
Angka kejadian kekambuhan juga
banyak dilaporkan pada tindakan sekopeksi dan
sigmoidopeksi serta tindakan dekompresi
tanpa tindakan operatif.

STENOSIS PYLORUS HIPERTROPI

A. Anatomi Pylorus

Pylorus, adalah bagian dari gaster yang terhubung ke duodenum, merupakan


suatu daerah sfingter yang menebal di sebelah distal untuk membentuk musculus
sphincter pylori. Sfingter pylorus merupakan suatu cincin otot polos yang
berfungsi untuk mengatur pengosongan isi gaster melalui ostium pyloricum ke
dalam duodenum.

Gambar Anatomi gaster yang menunjukkan bagian pylorus

Pylorus terbagi menjadi 2, yaitu : pyloric antrum yang menghubungkan kr


corpus gaster serta pyloric canal yang menghubungkan ke duodenum.

B. Definisi

Stenosis pylorus hipertropi adalah suatu kondisi


yang menyebabkan muntah proyektil parah
dalam beberapa bulan pertama kehidupan.
Terdapat penyempitan dari pembukaan dari
lambung ke duodenum, akibat pembesaran otot
musculus sphincter pylori, yang menyebabkan
spasme ketika perut dalam keadaan kosong.
Hipertrofi ini biasanya dapat dirasakan sebagai massa berbentuk buah zaitun di
bagian atas tengah atau kuadran kanan atas perut bayi. Kondisi ini biasanya
berkembang pada bayi laki-laki dalam 2-6 minggu pertama kehidupan. Stenosis 2
pilorus juga dapat terjadi pada orang dewasa dimana penyebabnya biasanya akibat
jaringan parut dari ulkus peptikum kronis. Pada stenosis pylorus, lapisan otot
sirkular menebal, yang mempersempit saluran pylorus & menyebabkan pylorus
memanjang. Selama proses ini mukosa menjadi berlebihan dan menjadi hipertrofi.
Akibat dari perpanjangan dan penebalan otot, pylorus menyimpang ke atas
mendekati kantong empedu, hal ini berfungsi sebagai penanda, dimana pylorus
dapat dilihat berdekatan dengan kantong empedu dan anteromedial ginjal kiri.
Pylorus yang menebal mempersempit saluran pylorus sehingga menyebabkan
onstruksi lambung dan distensi lambung.

Gambar Perbedaan anatomi gaster normal dengan hypertrophic pyloric stenosis

C. Etiologi

Penyebab kelainan ini belum pasti diketahui. Kelainan ini biasanya baru
diketahui setelah bayi berumur 2-3 minggu dengan gejala muntah yang proyektil
(menyemprot) beberapa saat setelah minum susu dimana yang dimuntahkan hanya
susu saja.

D. Patofisiologi

Stenosis pylorus terjadi sebagai akibat dari hipertrofi dan hiperplasia lapisan
otot pylorus. Nitrit oksida sintase (NOS) diduga menyebabkan stenosis pylorus
karena memediasi relaksasi otot polos non kolinergik non adrenergik sepanjang 3
usus yang menyebabkan lapisan otot sirkuler dari lambung dan pilorus menjadi
hipertofi sebagai kompensasi dari lemahnya gerakan peristaltik. Hipertrofi difus
dan hiperplasia otot polos antrum dan pylorus akan mempersempit saluran, yang
kemudian menyebabkan mudah terjadi obstruksi. Regio antrum memanjang dan
menebal dua kali dari ukuran normal. Sebagai respon dari obstruksi aliran keluar
dan gerak peristaltik yang kuat, otot-otot perut hipertrofi dan melebar. Hal
tersebut menyebabkan gangguan pengosongan
isi gaster ke duodenum. Semua makanan yang
dicerna dan disekresi oleh gaster akan
dimuntahkan kembali. Makanan yang
dimuntahkan tidak mengandung cairan
empedu karena makanan hanya tertampung dalam
gaster saja dan tidak sampai ke duodenum.
Hal ini menyebabkan hilangnya asam lambung dan akhirnya menyebabkan
terjadinya hipokloremia yang mengganggu kemampuan kerja lambung untuk
mensekresikan bikarbonat. Gastritis mungkin terjadi setelah stasis yang lama.
Hematemesis dapat pula terjadi.

E. Manifestasi Klinis

Gejala stenosis pylorus adalah muntah proyektil mulai umur 2-3 minggu, dan
tidak berwarna hijau ( nonbilious vomiting). Bayi senantiasa menangis sesudah
muntah dan akan muntah kembali setelah makan. Hal ini disebabkan karena
obstruksi pylorus. Terkadang dijumpai muntah berwarna hijau dan dapat pula
muntahan bercampur darah oleh karena adanya iritasi pada mukosa lambung.
Penurunan berat badan yang disertai dengan penurunan turgor kulit merupakan
tanda adanya dehidrasi. (Nazer, 2012) Konstipasi merupakan gejala yang sering
muncul karena sedikitnya jumlah cairan yang melalui pilorus menuju usus halus.
Anak juga tampak gelisah dan terus menangis.

Gambar 3. Gejala utama hypertrophic pyloric stenosis berupa muntah proyektil


Pada pemeriksaan fisik didapatkan kontour dan peristatik lambung terlihat di
perut bagian atas, teraba adanya tumor di daerah epigastrium atau hipokondrium
kanan. Keadaan ini mudah terlihat dan teraba waktu bayi diberikan minum
sewaktu pemeriksaan. Gejala lain yang perlu diperhatikan adalah bayi selalu rewel
dengan kesan lapar dan selalu ingin minum lagi setelah muntah,muntah dapat
bercampur darah hingga berwarna kecoklatan akibat perdarahan kecil karena
gastritis dan pecahnya pembuluh darah kapiler lambung, pada stadium lanjut bayi
dalam keadaan dehidrasi, manutrisi, hipokalemi dan alkalosis hipokloremik.

F. Diagnosis

Diagnosis ditegakkan melalui anamnesa


riwayat yang cermat dan pemeriksaan fisik, serta
pemeriksaan penunjang radiologi juga biasanya
dibutuhkan. Harus ada kecurigaan terjadi
stenosis pilorus pada bayi muda dengan muntah
parah. Pada pemeriksaan fisik, palpasi abdomen
dapat mengungkapkan massa berbentuk buah zaitun di epigastrium. Pada palpasi
juga dirasakan gelombang peristaltik yang teraba jelas dan sering (atau bahkan
terlihat) karena perut berusaha memaksa keluar isi lambung akibat pilorus
menyempit. Dewasa ini sebagian besar kasus stenosis pilorus didiagnosis /
dikonfirmasi dengan USG, yang menunjukkan penebalan dari otot sfingter
pylorus. Penggunaan foto kontras gaster juga dapat dilakukan, dimana terlihat
penyempitan pylorus yang menyebabkan kontras tidak dapat berlanjut ke
duodenum.

G. Gambaran Radiologi
1. Foto Polos Abdomen
Foto Polos abdomen mungkin menunjukkan perut berisi cairan atau udara,
menunjukkan adanya obstruksi lambung. Perut yang melebar dengan incisura
yang besar-besar (caterpillar sign), yang mewakili peningkatan gerak
peristaltik lambung pada pasien ini. Jika pasien baru saja muntah atau
memiliki tabung nasogastrik di tempat, perut sudah didekompresi dan temuan
pada foto menjadi normal.

Gambar caterpillar sign, berupa gambaran lusen pada bagian kiri atas abdomen
Pemeriksaan saluran cerna atas merupakan pilihan yang tepat untuk stenosis
pylorus hipertrofi. Hasil yang didapatkan adalah:
- Tertundanya pengosongan lambung (jika parah, hal ini dapat mencegah
barium lewat ke pilorus).
- Filling defect pada antrum diciptakan oleh prolaps dari otot yang
hipertrofik.
- Mushroom atau umbrella sign (yaitu, penebalan otot yang menonjol ke
dalam duodenum)

Gambar Mushroom sign, gambaran seperti jamur


karena penebalan otot sfingter pylorus ke arah
duodenum, disertai juga gambaran string sign
- Double tract sign yaitu, mukosa
berlebihan dalam lumen pylorus yang
sempit, menghasilkan
pemisahan kolom barium menjadi 2
saluran.
Gambar Gambaran Double tract sign
- String sign : barium melewati saluran
menyempit, menciptakan satu
garis yang tipis dan memanjang

Tingkat keakuratan pemeriksaan foto polos memiliki tingkat keakuratan yang


rendah untuk menegakkan diagnosis stenosis pilorus hipertropi. Sebuah studi
menunjukkan, bahwa radiografi polos memiliki sensitivitas yang tinggi (>
90%) dan spesifisitas rendah.

2. Ultrasonografi

Pemeriksaan ultrasonography penting dalam mendiagnosis stenosis pilorus


hipertropi, karena pemeriksaan ini menghasilkan gambaran perubahan dini
yang terjadi pada HPS. Ultrasonografi memiliki sensitivitas dan spesifisitas
sekitar 100%. Dalam sebuah studi oleh Leaphart dkk, ultrasonografi
menegaskan stenosis pilorus hipertropi ketika ketebalan otot pilorus (MT)
lebih besar dari 4 mm dan panjang saluran pilorus (CL) lebih besar dari 15
mm. Namun, pada bayi baru lahir untuk ketebalan otot pylorus (MT) nilai
batasnya adalah 3,5 mm. Teknik pemeriksaan ultrasonografi dilakukan dengan
transduser 7,5 menjadi 13,5 MHz linier pada anak terlentang. Gambar
melintang di epigastrium mengidentifikasi pilorus ke kiri dari kantong empedu
dan antero ke ginjal kanan (lihat gambar di bawah). Perut yang membuncit
atau distensi abdomen menyebabkan pilorus terdorong oleh karena itu
memerlukan penempatan tabung nasogastrik untuk mendekompresi perut. Jika
aspirasi lambung lebih dari 5 mL pada bayi yang telah tanpa asupan oral
(NPO) selama beberapa jam menunjukkan obstruksi lambung. Posisi miring
kanan posterior dan memindai dari pendekatan posterior dapat membantu
untuk meningkatkan visualisasi dari pylorus.
Gambar ultrasonografi melintang pada pasien dengan stenosis pilorus hipertropi

Tanda-tanda HPS yang ditemukan pada pemeriksaan ultrasonografi, adalah


sebagai berikut:

- MT lebih dari 4 mm
- Target sign pada pylorus.
- Panjang saluran pilorus lebih besar dari 17 mm
- Ketebalan pylorus (serosa ke serosa) 15 mm atau lebih besar
- Kegagalan saluran untuk membuka selama minimal 15 menit scanning
- Antral nipple sign (yaitu, prolaps mukosa berlebihan ke dalam antrum,
yang menciptakan pseudomass)

Gambar Ultrasonogram longitudinal


menunjukkan mukosa berlebihan yang
menciptakan antral nipple sign

Temuan yang positif untuk


sebuah pyloric stenosis hipertrofik pada pemeriksaan ultrasonografi hampir selalu
menunjukkan kondisi ini. Pemeriksaan negatif palsu dapat terjadi pada awal
penyakit atau pada pasien muda yang MT kurang dari 3 mm.
H. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan utama stenosis pylorus adalah dengan pembedahan


piloromiotomi yang dikenal sebagai Ramstedt’s procedure (membagi otot pilorus
untuk membuka outlet lambung). Ini adalah operasi yang relatif mudah yang
mungkin dapat dilakukan melalui sayatan tunggal (biasanya 3-4 cm panjang) atau
laparoskopi.

NECROTIZING ENTEROCILITIS

A. Definisi
Necrotizing enterocilitis adalah kelainan pada saluran pencernaan berupa
bercak atau nekrosis difus pada mukosa atau submukosa kolon yang didapat dan
paling sering terjadi pada bayi prematur dan dengan berat lahir sangat rendah.

Normal (atas), bagian usus yang nekrotik (bawah).

B. Epidemiologi
Angka kejadian NEC sangat bervariasi antar negara bagian di Amerika
Serikat, berkisar antara 3–28 % dengan rata-rata 6 -10 % terjadi pada bayi dengan
berat lahir kurang dari 1500 gram. Berbanding terbalik antara usia kehamilan saat
lahir atau berat lahir dengan insiden NEC, artinya semakin cukup usia kehamilan
atau semakin cukup berat lahir, semakin rendah resiko terjadinya NEC.
Necrotizing enterocilitis lebih sering terjadi pada bayi laki – laki, dan
beberapa penulis melaporkan angka kejadian lebih banyak pada orang afrika
daripada orang kulit putih ataupun ras hispanik. Walaupun kebanyakan neonatus
yang menderita NEC adalah bayi yang lahir pada usia kehamilan preterm, namun
5-10 % dari kasus yang dilaporkan, juga terjadi pada bayi yang lahir pada usia
kehamilan lebih dari 36 minggu. Dalam tiga dekade terakhir angka mortalitas
yang disebabkan oleh NEC berkisar antara 10-30 % dan menurun seiring dengan
semakin berkembangnya advances neonatal care.
C. Etiologi dan Faktor Resiko
Etiologi NEC hingga saat ini belum dapat dipastikan, namun diyakini erat
kaitannya dengan terjadinya iskemik intestinal, faktor koloni bakteri dan faktor
makanan. Iskemik menyebabkan rusaknya dinding saluran cerna, sehingga rentan
pada invasi bakteri. NEC jarang terjadi sebelum tindakan pemberian makanan dan
sedikit terjadi pada bayi yang mendapat ASI. Setiap pemberian makanan dimulai,
hal itu cukup untuk menyebabkan proliferasi bakteri yang dapat menembus
dinding saluran cerna yang rusak dan menghasilkan gas hidrogen. Gas tersebut
bisa berkumpul dalam dinding saluran cerna (pneumotosis intestinalis) atau
memasuki vena portal.
D. Patogenesis
Walaupun etiologi NEC masih kontroversi, analisis epidemiologi penyakit ini
telah mengidentifikasi beberapa faktor resiko utama, yaitu prematuritas, makanan
enteral, iskemik ataupun asfiksia intestinal, dan kolonisasi bakteri. Studi terakhir
menunjukkan hubungan faktor resiko ini dengan terjadinya nekrosis usus. Studi
ini menggambarkan bagaimana kerusakan mukosa juga berhubungan dengan
terganggunya sistem imun yang mengakibatkan aktivasi mediator inflamasi, yang
pada akhirnya menimbulkan sindrom respon inflamasi sistemik.
1. Prematuritas
Lebih dari 90 % kasus NEC terjadi pada bayi prematur, berat badan lahir
rendah, dan telah menjadi faktor resiko utama. Walaupun banyak
perbedaan antara bayi prematur dengan bayi cukup bulan, mekanisme
yang bertanggung jawab terhadap predileksi NEC masih belum dipahami
sepenuhnya. Penelitian yang dilakukan pada manusia dan hewan telah
mengidentifikasi perubahan dalam komponen – komponen sistem
pertahanan usus, motilitas, kolonisasi bakteri, regulasi aliran darah, dan
reaksi inflamasi yang berperan dalam terjadinya kerusakan pada usus.
2. Iskemik intestinal atau asfiksia
Hasil suatu studi pada hewan baru lahir menunjukkan perbedaan sirkulasi
saluran cerna yang menjadi predisposisi terjadinya NEC. Resistensi
pembuluh darah basal saluran cerna meningkat pada fetus, dan menurun
dengan signifikan segera setelah lahir, menimbulkan peningkatan
kecepatan aliran darah saluran cerna yang dibutuhkan untuk pertumbuhan
saluran cerna dan somatik yang kuat. Perubahan pada resistensi vaskular
tergantung pada keseimbangan antara molekul dilator (nitrat oksida) dan
konstriktor (endotelin), dan juga respon miogenik. Studi menunjukkan
bahwa bayi baru lahir memiliki penyimpangan respon terhadap stres
sirkulasi, yang menyebabkan penurunan aliran saluran cerna atau
resistensi vaskuler. Dalam respon terhadap hipotensi, hewan baru lahir
menunjukkan defek tekanan-autoregulasi aliran darah, menyebabkan
penurunan penyediaan oksigen saluran cerna dan oksigenasi jaringan.
Sebagai tambahan, pada hipoksemia arteri, sirkulasi saluran cerna hewan
baru lahir memiliki respon yang berbeda dari hewan yang lebih tua.
Walapun setelah hipoksemia, terjadi vasodilatasi dan peningkatan perfusi
saluran cerna, hipoksemia berat akan menyebabkan vasokonstriksi dan
iskemia atau hipoksia saluran cerna, dimediasi oleh tidak adanya produksi
nitrat oksida. Kebanyakan mediator kimia (nitrat oksida, endotelin,
substansi P, norepinefrin, dan angiotensin) berdampak pada vasomotor ,
regulasi abnormal menghasilkan penekanan autoregulasi sirkulasi,
mengarah pada iskemia saluran cerna dan nekrosis jaringan.
Nekrosis dimulai di mukosa dan dapat berkembang mengenai
seluruh lapisan dinding saluran cerna, menyebabkan perforasi yang
berikutnya menyebabkan peritonitis dan udara bebas intraabdomen.
Perforasi umumnya terjadi di ileum terminal, kolon dan lebih jarang
terjadi di usus kecil bagian proksimal. Sepsis terjadi pada 33% bayi dan
dapat menyebabkan kematian.
3. Pemberian makanan secara enteral
Kebanyakan kasus NEC terjadi setelah pemberian makanan secara enteral
yang diberikan kepada bayi prematur. Pada beberapa kasus yang pernah
dilaporkan pada beberapa dekade yang lalu, NEC terjadi beberapa hari
setelah pemberian makanan yang pertama, tapi pada laporan kasus yang
terjadi pada 1990-an NEC yang terjadi pada BBLSR, terdiagnosis setelah
beberapa minggu. Adanya perbedaan kasus diatas telah memberikan
pemahaman baru bagaimana perawatan terhadap neonatus, seperti
pemberian makanan hipokalori dengan jumlah sedikit, dan ditingkatkan
secara perlahan, sehingga memperkecil kemungkinan terjadinya NEC.
Walaupun hubungan antara makanan enteral dan NEC masih belum
dipahami sepenuhnya, tapi beberapa studi membuktikan pentingnya
pemberian Air Susu Ibu (ASI), yang memang berbeda dengan susu
formula, baik dari segi jumlah, komposisi, dan osmolalitas.
Pada penelitian secara prospektif yang pernah dilaporkan,
didapatkan penurunan 50% angka kejadian NEC dengan pemberian ASI,
terutama pada bayi BBLR. ASI mengandung berbagai faktor bioaktif yang
mempengaruhi imunitas, inflamasi, dan proteksi mukosa, termasuk sekresi
Immunoglobulin A (IgA), leukosit, laktoferin, lisozim, musin, sitokin,
faktor pertumbuhan, enzim, oligosakarida, dan asam lemak tak jenuh
rantai ganda, yang mana sebagaian besar tidak terkandung pada susu
formula. Sistem pertahanan mukosa saluran cerna didapatkan dari ASI,
seperti faktor pertumbuhan epidermal, asam lemak tak jenuh rantai
ganda, platelet activating factor-acetylhydrolase, IgA dan makrofag yang
efektif dalam menurunkan penyakit ini pada hewan, walaupun belum
sepenuhnya terbukti efektif pada percobaan manusia.
4. Kolonisasi Bakteri
In Utero, usus janin terus dibasahi dalam cairan amnion yang steril,
diperkaya dengan nutrisi, hormon, dan faktor-faktor pertumbuhan yang
membantu perkembangan dari traktus intestinal. Saat lahir, bayi akan
meninggalkan lingkungan yang steril tersebut. Pemberian ASI pada bayi
akan membentuk kolonisasi beberapa jenis organisme pada minggu 6
pertama kehidupan, termasuk spesies anaerob seperti Bifidobacteria dan
Lactobacill.
Kolonisasi oleh bakteri komensal membuat sebuah flora usus yang
stabil dan sangat penting bagi perkembangan struktur intestinal. Bakteri
komensal mampu meningkatkan dan menjaga kesatuan sebagai
mukoprotektor dengan menurunkan produksi mukus, memperkuat
Intestinal Tight Junction, memproduksi zat-zat racun yang melawan
bakteri aerobik, dan menurunkan pH intralumen.
Ketidakseimbangan kolonisasi bakteri, dimana terdapat
ketidakseimbangan antara bakteri patogen dan komensal menyebabkan
dominasi dan proliferasi patologis yang dilakukan oleh bakteri patogen.
Bukti terakhir menunjukkan bahwa kontaminasi dan kolonisasi bakteri
pada pemberian makanan formula melalui Nasogastric tube (NGT) pada
bayi prematur merupakan predisposisi pada beberapa bayi untuk terjadinya
NEC. Mekanisme spesifik bagaimana inisiasi bakteri dalam kejadian NEC
belum sepenuhnya dimengerti, namun pada kebanyakan kasus ditemukan
bahwa dinding sel bakteri patogen menghasilkan endotoksin, dan beberapa
komponen aktif menyerupai reseptor di epitel usus, dan mengaktivasi
mediator inflamasi yang memicu kerusakan usus.3
Hypothetical events in the pathophysiology of neonatal necrotizing enterocolitis
E. Diagnosis
Menurut WHO (2008), tanda-tanda umum pada NEC meliputi :
a. Distensi perut atau adanya nyeri tekan
b. Toleransi minum yang buruk
c. Muntah kehijauan atau cairan kehijauan keluar melalui pipa lambung
d. Darah pada feses
e. Tanda-tanda umum gangguan sistemik :
 Apneu
 Terus mengantuk atau tidak sadar
 Demam atau hipotermi
Kriteria Bell’s menurut Gomella:
Stadium 1 (suspek NEC)
a. kelainan sistemik: tandanya tidak spesifik, termasuk apneu, bradikardia,
letargi dan suhu tidak stabil.
b. kelainan abdominal: termasuk intoleransi makanan, rekuren residual
lambung, dan distensi abdominal.
c. kelainan radiologik : gambaran radiologi bisa normal atau tidak spesifik.
Stadium 2 (terbukti NEC)
a. kelainan sistemik : seperti stadium 1 ditambah dengan nyeri tekan
abdominal dan trombositopenia.
b. kelainan abdominal : distensi abdominal yang menetap, nyeri tekan,
edema dinding usus, bising usus hilang dan perdarahan per rektal.
c. kelainan radiologik: gambaran radiologi yang sering adalah pneumatosis
intestinal dengan atau tanpa udara vena porta atau asites.
Stadium 3 (NEC lanjut)
a. kelainan sistemik : termasuk asidosis respiratorik dan asidosis metabolik,
gagal nafas, hipotensi, penurunan jumlah urin, neutropenia dan
disseminated intravascular coagulation( DIC) .
b. kelainan abdominal : distensi abdomen dengan edema, indurasi dan
diskolorasi.
c. kelainan radiologik: gambaran yang sering dijumpai adalah
pneumoperitoneum.
Pemeriksaan Laboratorium
a. Darah lengkap dan hitung jenis
Hitung jenis leukosit bisa normal, tetapi biasanya meningkat dengan shift
to the left, atau rendah (leukopenia), trombositopenia sering terlihat. 50 %
kasus terbukti NEC, jumlah platelet < 50.000uL.
b. Kultur
Specimen darah, urin, feses, dan Cairan serebrospinal sebaiknya diperiksa
untuk kemungkinan adanya virus, bakteri, dan jamur yang patogen.
c. Elektrolit
Gangguan elektrolit seperti hiponatremia dan hipernatremia serta
hiperkalemia sering terjadi.
d. Analisa gas darah
Asidosis metabolik, ataupun campuran asidosis metabolik dan respiratorik
mungkin terlihat.
e. Sistem koagulasi
Jika dijumpai trombositopenia ataupun perdarahan screening
koagulopati lebih lanjut harus dilakukan. Prothrombin Time
memanjang, Partial Thromboplastin time memanjang, penurunan
fibrinogen dan peningkatan produk pemecah fibrin, merupakan indikasi
terjadinya disseminated intravascular coagulation (DIC).
f. C-Reaktif protein
Mungkin tidak meningkat atau pada kasus NEC yang lanjut karena bayi
tidak bisa menghasilkan respon inflamasi yang efektif.
g. Biomarker
Dilakukan untuk mendiagnosis dan memprediksi penyebab NEC seperti
gas hydrogen, mediator inflamasi di dalam darah, urin atau feses
dan genetic marker, tetapi semua kerugian membatasi kegunaannya.
Penelitian lebih lanjut tentang genomic dan proteomic marker terus diteliti.
Selain dari anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan radiologis
merupakan pemeriksaan rutin yang sering dilakukan oleh klinisi untuk mendeteksi
adanya kelainan. Pemeriksaan dapat dilakukan secara polos ataupun dengan
media kontras. Pada anak dengan NEC yang umumnya menunjukkan gejala
penyakit akut dan berat, perut kembung, muntah–muntah, menyerupai gejala
ileus, maka tidak dilakukan dengan kontras, foto polos dan tanpa persiapan. Foto
dilakukan pada posisi Anteroposterior, erect atau semierect dengan diafragma
terlihat, ataupun left lateral dekubitus (LLD). Beberapa klinisi menyukai posisi
LLD karena dapat menunjukkan fenomena anak tangga pada ileus, distensi usus,
dan adanya udara di luar rongga usus.
Gambaran Radiografik Dini
Gambaran radiografik dini yang mungkin tampak yaitu hilangnya batas
dinding usus, elongasi usus, serta gas intestinal yang terdisorganisasi, dan atonik.
Pengenalan gambaran tersebut sangat penting sehingga dapat dilakukan
pengobatan dini dan komplikasi NEC dapat dihindari.
Gambaran Radiografik Klasik
Adanya Pneumatisasi intestinalis dan gas dalam vena porta merupakan
gambaran radiografik klasik yang dianggap sangat penting dalam diagnosis NEC.
Gas dalam dinding usus bisa berlokalisasi di submukosa akan memberikan
gambaran seperti garis (rel kereta api) pada penampang bujur atau sebagai cincin
kembar pada penampang lintang. Meskipun tanda ini sangat penting, kadang–
kadang sukar mengenalinya.
Tanda penting lainnya yang harus diperhatikan yaitu gas dalam vena porta.
Gambaran menunjukkan garis lusen bercabang – cabang sesuai dengan
percabangan vena porta di daerah hepar. Gambaran tersebut bisa juga muncul
pada post kateterisasi vena umbilikalis.
Gambaran Radiografik Perforasi
Adanya gambaran perforasi merupakan indikasi tindakan bedah, oleh
karena itu penting bagi klinisi dan ahli radiologis untuk mengenali dan
menemukan tanda dini perforasi.
Gambaran radiografik perforasi yaitu:
1. Gas bebas intraperitoneal
2. Cairan bebas intraperitoneal
3. Gas usus berkurang dengan lingkar asimetrik,
4. Lingkar usus melebar persisten
F. Tatalaksana
Prinsip dasar tatalaksana NEC yaitu menatalaksananya sebagai akut
abdomen dengan ancaman terjadi peritonitis septik. Tujuannya adalah untuk
mencegah perburukan penyakit, perforasi intestinal, dan syok. Jika NEC terjadi
pada kelompok epidemis, para penderita perlu dipertimbangkan untuk isolasi.3
A. Tatalaksana Medis
Pengelolaan Dasar
1. Pasien dipuasakan untuk mengistirahatkan saluran cerna selama 7-14 hari
(pada EKN stadium 1 waktunya lebih singkat). Pemenuhan kebutuhan
nutrisi dasar melalui parenteral total.
2. Lakukan dekompresi lambung dengan replogle orogastric tube atau
lakukan suction berkelanjutan.
3. Lakukan monitoring ketat pada vital sign dan kondisi abdomen
4. Lakukan monitoring perdarahan saluran cerna. Periksa semua cairan
lambung dan feses, apakah ada perdarahan
5. Perbaikan kondisi respiratorik sesuai yang dibutuhkan untuk memelihara
parameter gas darah yang dapat diterima
6. Perbaikan kondisi sirkulasi. Penggantian cairan mungkin dibutuhkan pada
keadaan yang mengarah kepada syok. Penggunaan inotropik mungkin
dibutuhkan untuk menjaga tekanan darah dalam batas normal
7. Lakukan monitoring ketat terhadap intake dan output cairan. Usahakan
untuk mempertahankan produksi urin 1-3 mL/KgBB/jam. Hentikan
pemberian kalium pada infus jika pasien dalam keadaan hiperkalemia atau
anuria.
8. Lepas pemasangan kateterisasi pada arteri dan vena umbilikal dan ganti
dengan kateterisasi arteri dan vena perifer, tergantung pada keparahan
penyakit.
9. Lakukan monitoring hasil pemeriksaan laboratorium, Periksa hitung sel
darah lengkap dan elektrolit tiap 12-24 jam hingga stabil. Lakukan kultur
darah dan urin sebelum memulai pemberian antibiotik.
10. Berikan antibiotik. Berikan antibiotik parenteral selama 10 hari. Mulai
dengan pemberian Ampicillin dan Gentamicin (atau Ceftriaxone).
Pertimbangkan pemberian Vancomycin (sebagai pengganti Ampicillin)
pada keadaan penyakit sentral atau curiga infeksi stafilokokus. Tambahkan
Metronidazole atau Clindamycin untuk meng-cover kuman anaerob, jika
curiga terjadi peritonitis atau perforasi usus. Penelitian terbaru tidak
menganjurkan ataupun menolak penggunaan laktoferin sebagai
adjuvant terapi antibiotik.
11. Lakukan monitoring adanya DIC. Bayi pada NEC stadium II dan III dapat
mengalami DIC dan membutuhkan fresh-frozen plasma dan
cryoprecipitate. Transfusi PRC dan trombosit mungkin juga dibutuhkan.
12. Pemeriksaan radiografik. Abdominal flat plate dengan posisi lateral
dekubitus pada pemeriksaan cross-table lateral tiap 6-8 jam pada stadium
akut untuk medeteksi perforasi usus.
13. Konsul bedah pada NEC ( stadium II dan III)
Pengelolaan Berdasarkan Derajat Klinis
- Stadium I
Puasa dan pemberian minum dapat diberikan setelah 3 hari perbaikan.
Antibotik spektrum luas selama 3 hari dan selanjutnya sesuai hasil kultur.
- Stadium IIA dan IIB
 Puasa selama 2 minggu.
 Pemberian minum dapat dimulai setelah 7-10 hari puasa jika pada
pemeriksaan radiologi tidak tampak pneumatosis. Nutrisi parenteral 90-
110 kal/kgBB/hari.
 Pemberian oksigen.
 Pemberian antibotik spektrum luas selama7-10 hari..
 Dopamin dengan dosis rendah untuk memperbaiki sirkulasi darah usus.
- Stadium IIIA dan IIIB
 Pengobatan stadium II
 Ventilasi mekanik jika dibutuhkan.
 Jika terdapat syok, segera atasi dengan pemberian cairan.
 Pemberian plasma segar dan dopamin untuk mempertahankan tekanan
darah.
B. Tatalaksana Bedah
Pneumoperitonium merupakan indikasi mutlak untuk dilakukan intervensi
bedah. Indikasi relatif pembedahan yaitu gas vena portal, selulitis dinding
abdomen, dilatasi segmen intestinal yang menetap dilihat dari radiografi (sentinel
loop), massa abdomen yang nyeri dan perubahan kondisi klinis yang refrakter
terhadap tatalaksana medis
G. Prognosis
Manajemen medis gagal pada sekitar 20-40% pasien dengan pneumatosis
intestinal saat didiagnosis, 10-30%nya meninggal dunia. Komplikasi awal post
operatif antara lain infeksi luka, dehiscence dan masalah stoma (prolaps,
nekrosis). Komplikasi lanjut antara lain striktur intestinal yang dapat muncul pada
lokasi lesi yang mengalami nekrosis pada sekitar 10% pasien yang di tatalaksana
secara bedah maupun medis. Reseksi dari striktur yang mengalami obstruksi
merupakan tindakan kuratif. Setelah reseksi intestinal yang masif, komplikasi
NEC post operatif antara lain short-bowel syndrome (malabsorbsi, gagal tumbuh,
malnutrisi), komplikasi yang berhubungan dengan kateter vena sentral (sepsis,
trombosis), dan cholestatic jaundice. Bayi premature dengan NEC yang
membutuhkan intervensi bedah atau yang mengalami bakteremia berada dalam
resiko yang tinggi dalam pertumbuhan dan outcome neuro developmental.
BAB III

Kesimpulan

1. Abdominal emergency in pediatric merupakan kegawat daruratan pada anak


dimana dapat berupa intususespsi, Stenosis pylorus hipertrofi (hypertrophic
pyloric stenosis), volvulus dan Necrotizing enterocolitis dimana dibutuhkan
kecepatan dan ketetpatan diagnosis untuk mengurangi angka mortalitas dan
morbiditas.
2. Intususepsi adalah proses dimana suatu segmen usus bagian proksimal masuk
ke dalam lumen usus bagian distalnya sehingga menyebabkan obstruksi usus
dan dapat berakhir dengan strangulasi. Pemeriksaan penunjang radiologis
yang dapat dilakukan yaitu dengan foto abdomen, ultrasonografi dan CT
scan,
3. Volvulus merupakan kelainan berupa puntiran dari segmen usus terhadap
usus itu sendiri, mengelilingi mesenterium dari usus tersebut dengan
mesenterium itu sendiri sebagai aksis longitudinal sehingga menyebabkan
obstruksi saluran cerna. Pemeriksaan penunjang radiologis dilakukan untuk
mendiagnosis adanya volvulus dan letak volvulus yaitu dengan foto abdomen,
ultrasonografi dan CT scan, dengan sensitivitas dan spesifitas terbaik adalah
CT Scan.
4. Stenosis pylorus hipertrofi merupakan suatu kelainan yang terjadi pada otot
pylorus yang mengalami hipertrofi pada lapisan sirkuler sehingga
menyebabkan penyempitan pada pylorus. Pemeriksaan penunjang yang dapat
dilakukan Teknik pencitraan dengan foto polos abdomen dan USG.
5. Necrotizing enterocilitis adalah kelainan pada saluran pencernaan berupa
bercak atau nekrosis difus pada mukosa atau submukosa kolon yang didapat
dan paling sering terjadi pada bayi prematur dan dengan berat lahir sangat
rendah. Pemeriksaan radiologi yang dapat dilakukan yaitu foto polos
abdomen.
DAFTAR PUSTAKA

- Ballantyne, Garth.H. Laparoscopic Treatment of Volvulus of the Colon.


- Blanco FC. Intussusception. Medscape Reference 2012 Jan 13.
- Chung DH. Intussusception. In: Atlas of General Surgical Techniques.
Townsend CM & Evers. Philadelphia, PA: Elsevier, 2010
- Cribbs, Randolph K., KW, Gow., ML, Wulkan. Gastric Volvulus in
Infants and Children. Pediatrics. 2008; 122: 752-62
- Cronan, Kate M. 2011, Pyloric Stenosis.
- Croteau, Lynn. 2007, Evidence Based Clinical Practice Guideline for
Hypertrophic Pyloric Stenosis. Cincinnati Children’s Hospital Medical
Center, Ohio, USA
- Kitterman J.2006. Enterokolitis Nekrotikan. Dalam: Buku Ajar Pediatri
Rudolph Vol. 1. Ed 20. Jakarta:EGC.
- Nazer, Hisham. 2012, Pediatric Hypertrophic Pyloric Stenosis. Diunduh
dari http://emedicine.medscape.com/article/929829.
- Park, Seok Jun., S.J. Cha., BG. Kim., YS. Choi., IT. Chang., GW. Kim.
Intrauterine Midgut Volvulus without Malrotation : Diagnosis from the
“Coffee Bean Sign”. World J Gastroenterol. 2008; 14: 1456-8
- Patel, Pradip L. 2005, Lecture Notes Radiologi, Edisi Kedua. Penerbit
Erlangga, Jakarta
- Piazza AJ,Stoll BJ. 2007. Digestive System Disorder. D:Kliegman RM, et
all.Nelson Textbook Of Pediatric.Ed 18.Philadelphia.Saunders Elsevier.
- Ramachandran P. Intussusception in pediatric surgery diagnosis and
management. Puri P, Hollwarth M editors. Spinger: Dordrecht Heidelberg.
2009.
Kartono D. Invaginasi in Kumpulan kuliah ilmu bedah. Reksoprodjo S,
Pusponegoro AD, et al. Binarupa Aksara: Tangerang. 2005.
- Reid, Janet R. 2011, Imaging in Hypertrophic Pyloric Stenosis. Diunduh
dari http://emedicine.medscape.com/article/409621.
- Schoeffel, U., M. Schein. Diafragmatic Emergencies. In: Schein’s
Common Sense Emergency Abdominal Surgery. 2nd Edition. New York :
Springer. 2005; 121-23
- Singh, Jagvir. 2010, Pediatrics, Pyloric Stenosis. Diunduh dari
http://emedicine.medscape.com/article/803489.
- Sjamsuhidajat, R., de Jong, W. Usus Halus, Apediks, Kolon dan
Anorektum. In: Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC; 2004. 616-7
- Snell, Richard S. 2000, Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran,
Edisi 6, EGC, Jakarta
- Springer SC. Necrotizing Enterocolitis. Diunduh dari
http://www.emedicine.medscape.com/artikel/977956.
- Sukadi A. 2002. Pedoman Terapi Penyakit Pada Bayi Baru Lahir.
Bandung:Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FKUP/RSHS.
- Suraatmaja S. 2007. Kapita Selekta Gastroentrologi Anak. Jakarta :
Sagung Seto.
- William J C. 2010. Necrotizing Enterocolitis. Merck Sharp & Dohme
Corp.

Anda mungkin juga menyukai