Anda di halaman 1dari 5

tafsir ayat-ayat aqidah- perbedaan tafsir surah al fatihah

AL-FATIHAH
١ ِ ‫حيم‬
ِ ‫لر‬
َّ ‫ن ٱ‬
ِ ‫م‬ َّ ‫ب ِ ۡسم ِ ٱللَّهِ ٱ‬
َٰ ‫لر ۡح‬
Perbedaan antara nama Ar-Rahman dan Ar-Rahim
Tentu ada sisi perbedaannya, karena setiap nama punya makna yang khusus. Berikut ini
penjelasan sebagian ulama tentang perbedaan diantara keduanya.
1. Pendapat Pertama
Al-Arzami rahimahullah mengatakan: “Ar-Rahman artinya Yang Maha Pengasih terhadap
seluruh makhluk, sedangkan Ar-Rahim artinya Yang Maha Pengasih terhadap kaum
mukminin.” (Tafsir Ibnu Jarir Ath-Thabari, Tafsir Basmalah)
Dengan demikian, dikatakan bahwa yang dimaksud dengan Ar-Rahman adalah yang rahmat-
Nya meliputi segala sesuatu di dunia, karena bentuk kata/wazan fa’lan itu menunjukkan
penuh dan banyak. Sedangkan Ar-Rahim, yang rahmat-Nya khusus terhadap kaum mukimin
di akhirat.
2. Pendapat Kedua
Akan tetapi, ada pula yang mengatakan sebaliknya.
Ibnul Qayyim memandang bahwa Ar-Rahman menunjukkan sifat kasih sayang pada Dzat
Allah ta’ala (yakni Allah ta’ala memiliki sifat kasih sayang), sedangkan Ar-Rahim
menunjukkan bahwa sifat kasih sayang-Nya terkait dengan makhluk yang dikasihi-Nya.
Sehingga seakan-akan nama Ar-Rahman adalah sifat bagi-Nya, sedangkan nama Ar-Rahim
mengandung perbuatan-Nya, yakni menunjukkan bahwa Dia memberi kasih sayang kepada
makhluk-Nya dengan rahmat-Nya, jadi ini sifat perbuatan bagi-Nya.

٢ ‫ين‬
َ ‫م‬ِ َ ‫ب ۡٱلعَٰل‬ َ ‫ۡٱل‬
ِّ ‫ح ۡمد ُ لِلَّهِ َر‬
Tafsir Mu’tazillah
Abdul Jabbar dalam kitab tafsir beliau. Misalnya adalah cara penafsiran yang beliau tempuh
mengenai kemusykilan susunan bahasa Arab dalam ayat ‫الحمد‬ (dalam surah al-Fatihah).
Beliau menafsirkan demikian:
Pertanyaan: Mereka berkata bahwa lafaz ‫الحمد هلل‬ itu khabar. Maka jika dalam hal ini Allah
memuji diri-Nya sendiri, maka lafaz tersebut tidak ada artinya bagi kita. Tapi jika Allah
memerintahkan kita untuk memuji-Nya, maka mestinya Dia mengatakan "Katakanlah:
Segalapuji bagi Allah".
Jawaban kami atas pertanyaan ini adalah: Sesungguhnya yang dimaksud dalam lafaz tersebut
adalah perintah untuk bersyukur dan ajaran agar kita bersyukur kepada-Nya. Sekalipun
kalimat perintah ('amr) dalam lafaz ini telah dibuang (yakni, tidak dinyatakan secara
eksplisit) namun adanya perintah itu di-tunjukkan oleh firman-Nya "Hanya kepada-Mu kami
menyembah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan". Karena kalimat ini tidaklah
sesuai untuk Allah SWT tapi sesuai untuk hamba-Nya. Maka jika makna lafaz ?‫إياك نعبد‬ itu
adalah ‫قولوا إياك نعبد‬ (Katakanlah: Hanya kepada-Mu kami menyembah), maka demikian
pulalah makna lafaz ‫الحمد هلل‬ (yakni, juga mengandung perkataan “katakanlah”).
Tafsir Sunni
Ayat ini menetapkan adanya Tuhan, sang pencipta, dan menetapkan bahwa alam semesta ini
sifatnya huduts (baru diciptakan, sebelumnya tidak ada).
Sebagian ulama’ menjadikan ayat ini sebagai dalil bahwa kalimat “Alhamdu lillahi robbil
‘alamin” adalah shighot (bentuk) kalimat pemujian yang paling tinggi disbanding bentuk
pemujian dengan kalimat selain itu. Hal ini berbeda dengan pendapat ulama’ yang
menyatakan bahwa pemujian dengan jumlah fi’liyah (menggunakan kalimat fi’il, semisal
“Nahmadu” artinya kami memuji) itu lebih baik (daripada menggunakan jumlah ismiyah,
yaitu dengan kalimat “Alhamdu”).
Imam Al-Bulqini berkata; Bentuk kalimat pujian yang paling agung adalah menggunakan
kalimat “Alhamdulillahi robbil ‘alamin”, sebab kalimat ini yang digunakan dalam surat al-
fatihah, selain itu kalimat ini juga merupakan kalimat yang terakhir diucapkan oleh penghuni
surga, karena itulah hendaknya kalimat ini yang dipakai dalam urusan kebaikan, karena
kalimat ini merupakan kalimat pujian yang paling agung diantara kalimat-kalimat pujian
lainnya.
Pendapat ini berbeda dengan keterangan yang ada dalam kitab “Ar-Rodloh” (Roudlotut
Tholibin, karya Imam Nawawi) dan juga kitab asalnya (maksudnya kitab Syarhul Kabir,
karya Imam Rofi’i) yang meriwayatkan pendapat Imam Al-Mutawawlli yang menyatakan
bahwa bentuk kalimat pujian yang paling agung adalah “Al-Hamdu Lillah Hamdan Yuwafi
Ni’amah Wa Yukafi Mazidah”.
٣ ِ ‫حيم‬
ِ ‫لر‬
َّ ‫ن ٱ‬ َٰ ‫لر ۡح‬
ِ ‫م‬ َّ ‫ٱ‬
Ayat ini menetapkan sifat-sifat dzatiyah bagi Allah.
Aliran Mu’tazilah
Perbandingan antara kaum Mu’tazilah dengan kaum Asy’ariyah berkisar sekitar persoalan
apakah Tuhan mempunyai sifat atau tidak. Jika Tuhan mempunyai sifat, sifat itu mestilah
kekal seperti halnya dzat tuhan. Jika sifat-sifat itu tidak kekal, yang bersifat kekal bukan
hanya satu sifat, tetapi banyak. Tegasnya, kekalnya sifat-sifat membawa pada faham banyak
yang kekal. Ini selanjutnya membawa pula kepada faham syirik atau politheisme. Suatu hal
yang tak dapat diterima dalam teologi. Lebih jauh lagi, Washil bin Atha menegaskan bahwa
siapa saja menetapkan adanya sifat qadim bagi Allah, maka ia telah menetapkan adanya dua
Tuhan.
Kaum Mu’tazilah mencoba menyelesaikan persoalan ini dengan mengatakan bahwa Tuhan
tidak mempunyai sifat. Definisi mereka menurut kaum Asy’ariyah ialah bersifat negatif.
Tuhan tidak mempunyai pengetahuan, kekuasaan, hajat dan sebagainya. Ini tidak berarti
bahwa Tuhan bagi mereka tidak mengetahui, tidak berkuasa, tidak hidup dan sebagainya.
Tuhan bagi mereka tetap mengetahui, berjuasa dan sebagainya, tetapi bukan dengan sifat
dalam arti kata sebenarnya. Artinya, “Tuhan mengetahui dengan pengetahuan dan
pengetahuan itu adalah Tuhan sendiri”.
An-Nazhzham mengatakan bahwa jika ditetapkan Allah itu adalah dzat yang tahu, berkuasa,
hidup, mendengar, melihat dan qadim yang ditetapkan sebenarnya adalah dzat-Nya (bukan
sifat-Nya). Dinafikan pula dari-Nya kebodohan, kelemahan kematian, tuli, dan buta.
Demikian pula sifat-sifat Allah yang lain.
An-Nazhzham berpendapat, “perkataanku yang menyebutkan bahwa Allah “bersifat” tahu,
berkuasa, mendengar, dan melihat merupakan penamaan Allah yang bersifat positif
danmeniadakan lawannya.´ketika ditanya, “apakah Anda mengetahui bahwa Allah memiliki
pengetahuan?” Ia menjawab, “Aku mengatakanya karena keluasan bahasa saja dan
mengembalikannya kepada penegasan bahwa Ia adalah dzat “Yang” Mahatahu. Demikian
juga perkataanku yang mengatakan bahwa Allah memiliki kekuasaan.” Ia tidak mengatakan
bahwa Allah memiliki erkehdiupan, atau pendengaaran, atau penglihatan karena yang disebut
Allah di dalam al-qur’an berkenaan dengan diri-Nya hanyalah pengetahuan dan kekuatan,
sedangkan perkehidupan, pendengaran, dan penglihatan tidak pernah disebut-sebut.
Selanjutnya, Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan, karena bersifat immateri, tidak dapat
dilihat dengan mata kepala karena Tuhan tidak mengambil tempat sehingga tidak dapat
dilihat, kemudian bila Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala itu berarti Tuhan dapat dilihat
sekarang didunia ini, sedangkan kenyataannya tidak seorangpun yang dapat melihat Tuhan di
alam ini.
(103).  Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang dia dapat melihat segala yang
kelihatan; dan dialah yang Maha halus lagi Maha Mengetahui.
Mengenai hakikat al-qur’an, aliran Mu’tazilah berpendapat bahwa al-qur’an adalah makhluk
sehingga tidak kekal. Mereka beragumen bahwa al-qur’an itu sendiri tersusun dari kata-kata
dan kata-kata itu sendiri tersusun dari huruf-huruf.
 (2).  Tidak datang kepada mereka suatu ayat Al Quran pun yang baru (di-turunkan) dari
Tuhan mereka, melainkan mereka mendengarnya, sedang mereka bermain-main.

Aliran Asy’ariyah
Aliran ini mengatakan dengan tegas bahwa Tuhan mempunyai sifat. Menurut Asy’ariyah,
tidak dapat diingkari bahwa Tuhan mempunyai sifat karena perbuatan-perbuatannya. Ia jiga
menyatakan bahwa Tuhan mengetahui, menghendaki, berkuasa dan sebagainya disamping
mengetahui pengetahuan, kemauan dan daya. Ia lebih jauh berpendapat bahwa Allah memang
memiliki sifat (bertentangan dengan Mu’tazilah) dan bahwa sifat-sifat itu, seperti mempunyai
tangan dan kaki, tidak boleh diartikan secara harfiah melainkan secara simbolis. Selanjutnya,
mereka berpendapat bahwa sifat-sifat Allah itu unik karenanya tidak dapat dibandingkan
dengan sifat-sifat manusia. Sifat-sifat Allah berbeda dengan Allah sendiri, tetapi—sejauh
menyangkut realitasnya (haqiqah)—tidak terpisah dari esensi-Nya. Dengan demikian tidak
berbeda dengan-Nya.
Kemudian Asy’ariyah mengatakan bahwa sifat-sifat itu bukanlah Tuhan, tetapi tidak pula lain
dari Tuhan.  Karena sifat-sifat tidak lain dari Tuhan, adanya sifat-sifat itu membawa kepada
paham banyak kekal.
Kelihatannya faham kekuasan dari kehendak mutlah Tuhanlah yang mendorong kaum
Asy’ariyah memilih penyelesaian di atas. “sifat” mengandung arti tetap dan kekal, sedangkan
“keadaan” mengandung arti berubah. Sifat mengandung arti kuat, sedangkan keadaan
mengandung arti lemah. Oleh karena itu, perkataan bahwa Tuhan tidak mengandung sifat,
tetapi hanya mempunyai keadaan, tidaklah segaris dengan konsep kekuasaan kehendak
mutlak Tuhan. Untuk mempertahankan kekuassaan dan kehendak mutlak Tuhan, Tuhan mesti
mempunyai sifat-sifat yang kekal.
Asy’ariyah seabagi aliran kalam tradisional yang memberikan daya yang kecil kepada akal
juga menolak faham Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani bila sifat jasmani dipandang sama
dengan sifat manusia. Namu, ayat-ayat al-qur’an kendatipun menggambarkan Tuhan
mempunyai sifat-sifat jasmani, tidak boleh ditakwilkan dan harus diterima sebagaimana
makna harfiahnya. Oleh sebab itu, Tuhan dalam pandangan Asy’ariyah mempunyai mata,
mata, wajah, tangan serta bersemayam di singgasana. Namun, semua itu dikatakan la
yukayyaf wa la yuhadd (tanpa diketahui bagaimana cara dan batasnya).
Bertentangan dengan pendapat Mu’tazilah, aliran Asy’ariyah mengatakan bahwa Tuhan dapat
dilihat di akhir kelak dengan mata kepala. Aliran ini menjelaskan bahwa sesuatu yang dapat
dilihat  adalah sesuatu yang mempunyai wujud. Kaena Tuhan mempunyai wujud, Ia dapat
dilihat.dia melihat diri-Nya juga. Bila Tuhan melihat diri-Nya, tentulah Ia sendiri dapat
membuat manusia mempunyai kemampuan melihat diri-Nya sendiri.

ِ ِّ ‫ك ي َ ۡوم ِ ٱلد‬
٤ ‫ين‬ ِ ِ ‫مل‬
َٰ  
Ayat ini menetapkan akan adanya hari pembalasan (akhirat).
َ ‫ك ن َ ۡبعُد ُ وَإِيَّا‬
ُ ِ‫ك ن َ ۡستَع‬
٥ ‫ين‬ َ ‫إِيَّا‬
Ayat ini merupakan isyarat untuk mendahulukan merendahkan diri sebelum meminta hajat.
Abu Tholib Ats-Tsa’labi dalam kitab tafsirnya berkata; Ayai ini mengumpulkan penjelasan
yang membatalkan konsep “Al-Jabr” (menganggap bahwa semua yang dilakukan manusia
adalah dari Tuhan dan manusia tak memiliki kehendak apa-apa) dan juga konsep “Al-Qodr”
(menganggap bahwa semua perbuatan manusi dilakukan atas kehendaknya sendiri tanpa ada
campur tangan dari Tuhan) sekaligus.
Beliau melanjutkan bahwa dua konsep ituterbantahkan karena dalam ayat ini
Allah memberikan sifat penghambaan bagi manusia, dan ini sekaligus menetapkan adanya
“Kasab” (kasab adalah kemampuan manusia untuk melakukan hal-hal yang bersifat
ikhtiyariyah, yaitu perbuatan yang dilakukan dengan kehendaknya sendiri, kebalikan dari
ikhtiyariyah adalah “idhthiroriyah”, yaitu perbuatan-perbuatan yang dilakukan diluar
kesadaran dan kontrol manusia) bagi manusia (konsep ini sekaligus meruntuhkan konsep
bahwa manusia sama sekali tak memiliki peran dalam perbuatan-perbuatannya, yaitu konsep
“Al-Jabr”). 
Namun disisi lain manusia diajarkan untuk meminta petolongan kepada Allah, dari sini bisa
dipahami bahwa manusia tidak mampu melakukan semua hal secara mutlak sesuai
kemauannya sebab jika ia mampu melakukan semua hal sendirian tentu Allah tak akan
menyuryuhnya meminta bantuan kepada-Nya, dari sinilah terbantahkannya konsep “Al-
Qudroh”
ُ ‫ط ۡٱل‬
َ ‫م ۡست َ ِقي‬
٦‫م‬ َ ‫ص َٰر‬
ِّ ‫ۡٱهدِنَا ٱل‬
Ayat ini merupakan doa dan permohonan. sekaligus sebagai nurani ibadat. Lebih jelas lagi
kami uraikan dalam Kitab Al-Ihya, perihal hajat manusia pada rasa tunduk dan butuh kepada
Allah Swt., Inilah yang kami sebut dengan ruh ubudiyah, sekaligus peringatan betapa
manusia sangat butuh terhadap hidayah menuju shirathal mustaqim. Karena melalui jalan
inilah manusia bisa sampai kepada Allah Swt. sebagaimana kami Sebutkan di atas.
َ
َ ِّ ‫ضٓال‬
٧ ‫ين‬ َّ ‫وب عَل َ ۡيهِ مۡ وَاَل ٱل‬
ِ ‫ض‬ َ ‫ت عَل َ ۡيهِ مۡ غَ ۡيرِ ۡٱل‬
ُ ‫م ۡغ‬ َ ‫ين أ ۡنعَ ۡم‬
َ ِ‫ط ٱ لَّذ‬
َ ‫ص َٰر‬
ِ
Ayat ini mengisyaratkan untuk mengikuti jejak orang-orang terdahulu yang sholih (salafus
sholih).
KANDUNGAN RUKUN IBADAH DALAM AL-QUR’AN
Ayat ‘arrahmanirrahim’ berisi kandungan roja’, yaitu mengharap rahmat Allah. Karena jika
Allah itu Maha Pengasih, tentu akan diharap rahmat-Nya. Berarti ayat ini menetapkan rukun
ibadah, yaitu roja’.
Sedangkan ayat selanjutnya ‘maaliki yaumiddin’ berisi kandungan khouf, yaitu takut pada
Allah. Dan yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah takut akan hari kiamat bagi hamba
yang penuh dosa.
Sehingga dari tiga ayat yang telah kita bahas, ayat ‘alhamdulillahirrabbil ‘alamiin’ terdapat
kandungan mahabbah (cinta), lalu ayat ‘arrahmanir rahiim’ terdapat kandungan roja’ (harap),
sedangkan ayat ‘maaliki yaumiddin’ terdapat kandungan khouf (takut). Tiga hal ini
dinamakan dengan pokok ibadah atau rukun ibadah. Setiap orang yang mau beribadah tidak
bisa mencukupkan pada salah satunya, tetapi harus ketiga-tiganya.
Sesatnya Sufi, Murji’ah dan Khawarij
Dalam beribadah, tidak boleh hanya mencukupkan pada mahabbah (cinta) saja seperti yang
dianut oleh kalangan Sufi. Mereka beribadah tidak dengan rasa takut dan harap. Mereka
mengatakan, “Kami tidak beribadah pada Allah karena takut akan siksa-Nya atau mengharap
surga-Nya. Kami beribadah kepada-Nya hanya karena kami mencintai-Nya.” Ini pemahaman
yang jelas keliru. Karena para Rasul dan malaikat sebaik-baik makhluk, mereka tetap
beribadah dengan rasa takut dan harap pada Allah.
Kita dapat melihat pada ayat,
ِ ‫ار ُعونَ فِي ْالخَ ْي َرا‬
ِ ‫ت َويَ ْدعُونَنَا َر َغبًا َو َرهَبًا َو َكانُوا لَنَا‬
َ‫خَاش ِعين‬ ِ ‫إِنَّهُ ْم َكانُوا يُ َس‬
“Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan)
perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas
(takut). Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada Kami.” (QS. Al Anbiya’: 90).
Juga dalam ayat lainnya,
ُ‫أُولَئِكَ الَّ ِذينَ يَ ْد ُعونَ يَ ْبتَ ُغونَ إِلَى َربِّ ِه ُم ْال َو ِسيلَةَ أَيُّهُ ْم أَ ْق َربُ َويَرْ جُونَ َرحْ َمتَهُ َويَخَافُونَ َع َذابَه‬
“Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka
siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan
takut akan azab-Nya; sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti.” (QS.
Al Isra’: 57). Yang dimaksud dalam ayat ini -sebagaimana disebutkan dalam kitab tafsir-
adalah ‘Uzair, ‘Isa dan Maryam (ibunya ‘Isa) di mana mereka bertiga disembah oleh orang
musyrik dahulu. Padahal mereka sendiri mengharap rahmat Allah dan takut akan siksa-Nya.
Lantas bagaimana bisa ‘Uzair, ‘Isa dan Maryam diibadahi bersama Allah?!
Ayat-ayat di atas dengan sangat jelas menerangkan bahwa ibadah mestilah berisi harap dan
takut, yaitu roja’ dan khouf. Kerancuan dari kalangan sufi di atas telah diulas dalam tulisan di
Rumaysho.com: Apakah Ikhlas Berarti Tidak Boleh Mengharap Pahala dan Surga?
Begitu pula ada yang beribadah pada Allah dengan sifat roja’ saja, merekalah Murji’ah.
Mereka tidak punya rasa takut akan dosa dan maksiat. Murji’ah menganggap pula bahwa
iman hanyalah cukup pembenaran dalam hati, atau ada kalangan Murji’ah yang berpendapat
bahwa iman adalah pembenaran dalam hati dan ucapan dalam lisan. Bagaimana dengan
amalan? Murji’ah tidak memasukkan amalan dalam definisi iman. Padahal yang jadi
keyakinan yang benar, iman adalah perkataan, amalan dan keyakinan. Harus ada ketiga
bagian ini, tidak cukup ada salah satunya saja.
Di sisi lain, ada pula yang beribadah pada Allah dengan sifat takut (khouf) saja. Inilah
golongan Khowarij. Golongan ini hanya mengambil ayat-ayat yang bersifat ancaman saja,
dan mereka tidak ambil peduli dengan berbagai dalil yang menunjukkan rahmat dan ampunan
Allah.
Ketiga kelompok yang telah disebutkan di atas -yaitu Sufi, Mu’tazilah dan Khowarij-, mereka
telah berlebihan dalam hal rukun ibadah. Padahal yang benar, kita harus beribadah dengan
menggabungkan mahabbah (cinta), khouf (takut) dan roja’ (harap). Inilah iman yang
sebenarnya.

Anda mungkin juga menyukai