Anda di halaman 1dari 136

PANDANGAN TOKOH MASYARAKAT

KECAMATAN SAWANGAN KOTA DEPOK


TERHADAP POLIGAMI

Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh :

SYARIF HIDAYATULLAH
NIM : 103044128052

KONSENTRASI PERADILAN AGAMA


PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432 H / 2011 M
PANDANGAN TOKOH MASYARAKAT
KECAMATAN SAWANGAN KOTA DEPOK
TERHADAP POLIGAMI

Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh :

SYARIF HIDAYATULLAH
NIM : 103044128052

Dibawan bimbingan :

Pembimbing I Pembimbing II

Dewi Sukarti, MA Rosdiana, MA


NIP. 19720817 200112 2 001 NIP. 196906102003122001

KONSENTRASI PERADILAN AGAMA


PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432 H / 2011 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi yang berjudul PANDANGAN TOKOH MASYARAKAT KECAMATAN


SAWANGAN KOTA DEPOK TERHADAP POLIGAMI telah diujikan dalam
sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
pada tanggal 24 Mei 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyah
(Peradilan Agama ).

Jakarta, 21 Juni 2011


Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum

Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH, MA, MM


NIP. 195505051982031012

Panitia Ujian Munaqasyah

Ketua : Drs. H. A. Basiq Dalil, SH.,MH., ( )


NIP. 19500306 197603 1001

Sekretaris : Hj. Rosdiana. MA., ( )


NIP. 196906 102003122001

Pembimbing I : Dewi Sukarti. MA., ( )


NIP. 197208172001122001

Pembimbing II: Hj. Rosdiana. MA., ( )


NIP. 196906102003122001

Penguji I : Prof. Dr. H. M. Amin Suma. SH. MA. MM., ( )


NIP. 195505051982031012

Penguji II : Dr. Asmawi. M.Ag., ( )


NIP. 197210101997031008
LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri

(UIN) Syarif Hidayatullah.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima

sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Jakarta.

Jakarta, 21 Juni 2011

Syarif Hidayatullah
‫بسم اهلل الرمحن الرحيم‬
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, untaian syukur yang tak terhingga Penulis memanjatkan ke


hadirat Rabb Yang Maha Ghafur Allah SWT, karena atas ridha dan inayahnya penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga tercurah ke haribaan
junjungan kita Nabi Muhammad SAW, karena atas tauladannya, penulis dapat
melewati masa-masa tersulit dalam penulisan skripsi ini.\
Selama masa perkuliahan hingga tahap akhir penyusunan skripsi ini, banyak
pihak yang telah memberikan bantuan dan motivasi kepada penulis.oleh karena itu,
dalam tulisan ini penulis ingin mengungkapkan rasa terima kasih dan penghargaan
yang setinggi-tingginya kepada :
1. Bapak Prif. Dr. H. M. Amin Suma, SH., MA., MM., selaku Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum. Dan Dosen Pembimbing skripsi Ibu Dewi Sukarti MA.,
dan Ibu Rosdiana MA., yang tanpa lelah meluangkan waktu untuk
memberikan bimbingan dan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini.
2. Bapak Drs.H. A. Basiq Djalil, SH., MH., dan ibu Rosdiana MA., selaku ketua
Jurusan dan Sekretaris Jurusan Akhwal Syakhsiyyah yang senantiasa
memotivasi penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini.
3. Ibunda Hj. Awinah dan Ayahanda H. Encep, kedua orang tua tercinta yang
telah memberikan cinta dan kasih sayangnya, hingga ananda dapat meraih
ilmu yang bermanfaat. Kasihmu tak lupa sepanjang hayat.

i
4. Kakanda Drs. Mubarok, Saiful Anwar beserta seluruh keluarga besar H.
Encep bin Antek Bin Kaiyan, yang senantiasa memberikan dukungan moril
maupun materil kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
5. Bapak H. Ismed Iriandi SH., MH., sekeluarga, yang telah memberikan
perhatian dan kasih sayang serta motivasi kepada penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
6. Teman-teman seperjuangan Ahwal Al-Syakhsiyah yang telah banyak
membantu serta bertukar pikiran baik selama belajar hingga detik-detik
wisuda.
7. Hamba Allah, yang telah banyak berkorban untuk penulis dalam
penyempurnaan skripsi ini baik moril maupun materiil, sehingga penulis
termotivaasi untuk merampungkannya. Jazakillah khairan katsiran, mata’ana
Allah fii hayatiik. Semoga Allah mencatatnya sebagai amal ibadah dan dibalas
dengan ganjaran pahala yang berlipat ganda.
8. Tak terlupakan, terima kasih kepada semua pihak yang turut membantu dalam
kelancaran penulis skripsi ini yang penulis tidak bisa menyebutkan satu
persatu.
Semoga segala kebaikan dan sumbangsihnya dicatat oleh Allah SWT sebagai
investasi amal untuk bakal di hari akhir nanti. Amin Ya Rabbal’alamin.

Jakarta, 27 Rajab 1432 H


29 Juni 2011 M

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i

DAFTAR ISI ............................................................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah .............................................................. 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah ................................................... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................... 9

D. Metode Penelitian........................................................................ 10

E. Sistematika Penulisan ................................................................. 11

BAB II KERANGKA TEORITIS TENTANG POLIGAMI

A. Pengertian Poligami .................................................................... 12

B. Poligami Menurut Hukum Islam ................................................. 18

C. Poligami Menurut Hukum Positif ............................................... 26

BAB III KONDISI OBJEKTIF MASYARAKAT SAWANGAN

A. Kondisi Objektif Masyarakat Sawangan ..................................... 35

1. Kondisi Geografis ................................................................. 35

2. Kondisi Demografis .............................................................. 36

3. Kondisi Penduduk ................................................................. 38

4. Kondisi Perekonomian .......................................................... 40

5. Kondisi Sosial Keagamaan ................................................... 41

iii
B. Poligami pada masyarakat sawangan .......................................... 43

1. Pandangan tokoh masyarakat Sawangan terhadap Poligami 43

2. Faktor–faktor pendukung Poligami di Kecamatan

Sawangan .............................................................................. 49

BAB IV ANALISIS PANDANGAN TOKOH MASYARAKAT

SAWANGAN TENTANG POLIGAMI

A. Analisis menurut Hukum Islam .................................................. 51

B. Analisis menurut Hukum Positif ................................................. 56

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ................................................................................. 57

B. Saran – Saran............................................................................... 57

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 59

iv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan

perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah

tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang maha Esa.1

Secara realita perkawinan adalah bertemunya dua mahluk lawan jenis

yang mempunyai kepentingan dan pandangan hidup yang sejalan.2 Sedangkan

tujuan perkawinan itu adalah supaya manusia mampunyai kehidupan yang

bahagia dunia dan akherat, atau dengan kata lain perkawinan bertujuan untuk

mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan warohmah.

Seiring dengan tujuan tersebut maka dapat di artikan juga agar perkawinan

menjadi kekal dan abadi sehingga tidak putus begitu saja. Ini juga mengandung

pengertian bahwa pernikahan adalah akad suci yang mengandung serangkai

perjanjian diantara dua belah pihak,yakni suami dan istri. Maka kedamaian kedua

istri sangat bergantung pada pemenuhan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian

tersebut.

1
Tim Redaksi Fokusmedia, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Tentang
Perkawinan, (Bandung: Fokus Media, 2005), cet. ke-1, hal. 1.
2
Titik Triwulan Tutik , Poligami Prespektif Perikatan Nikah, (Jakarta : Prestasi Pustaka Raya,
2007) cet, h. 4.

1
2

Bahkan menyebut pernikahan itu sebagai mitsaqqan ghalizan (perjanjian

yang kokoh), seperti termaktub pada ayat tersebut:

 
      ! "# #$ %
 &" '"() *+
(34 :1/-./)
Artinya : “Bagaimana kamu akan mengambil mahar yang telah kamu berikan
pada isterimu padahal kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang
lain sebagai suami isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah
mengambil perjanjian yang kuat”. (QS. an Nisa/3 : 21)

Di antara musafir menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan perjanjian

yang kokoh adalah perjanjian yang telah diambil Allah dari para suami. Sesuai

dengan bunyi surat Al-Baqarah ayat 231:

67"89 :;"<="> 8? 67"89 :;"<=@. ($ :;"AB ;CD$ E-F. / ""GHIJ /K!
(314 :3/L8HD/)

Artinya: “Apabila menalak istri-istrimu,lalu mereka mendekkati akhir


iddahnya,maka rujukilah mereka dengan cara yang baik, atau
ceraikan dengan yang baik pula” ( Qs.Al-Baqarah/2 : 231).

Salah satu bentuk perkawinan yang sering diperbincangkan dalam

masyarakat adalah poligami. Persoalan poligami bukanlah fenomena yang baru,

ini dapat di lihat bagaimana pernikahan semacam ini dilakukan oleh banyak

kalangan dari waktu ke waktu meskipun sering kali menimbulkan kontroversi dari

berbagai pihak dengan alasan merugikan kaum perempuan.


3

Yang dibutuhkan sekarang adalah usaha mencerdaskan perempuan-

perempuan dan menyadarkan mereka tentang hak mereka. Karena selama ini yang

selalu dimunculkan dalam wacana poligami adalah perempuan harus bahkan

wajib menerima atau mengizinkan bila suami minta izin untuk beristri lagi,

dengan alasan menjalankan syariat islam, tunduk kepada perintah Allah.

Rumah tangga merupakan lembaga masyarakat terkecil yang menjadi

dasar terbentuknya masyarakat yang lebih besar. Ketentraman dan keserasian

masyarakat sangat besar ditentukan oleh ketentraman dan keserasian masyarakat

kacil tersebut. Banyak unsur yang menimbulkan rasa cinta kasih diantara dua

orang manusia, terutama suami dan istri, namun yang paling menonjol adalah

sikap dan tindakan yang melahirkan rasa keadilan. Untuk dapat berlaku adil

diperlukan pertimbangan yang matang dengan melihat seluruh aspek yang

mungkin mempengaruhi rasa keadilan itu.

Sebelum membahas lebih lanjut mengenai poligami, berikut ini akan

dijelaskan terlabih dahulu sepintas tentang poligami. Poligami adalah ikatan

perkawinan yang salah satu pihak (suami) mengawini beberapa istri dalam satu

waktu yang bersamaan. Islam membolehkan pernikahan dengan lebih dari satu

orang wanita atau satu orang laki-laki untuk lebih dari seorang wanita (poligami),

hal ini sebagaimana tercantum didalam surat Annisa Ayat 3 :

(1 : 1/-./) O"P QRS   @-F. / ;  MJ /="N'$….


Artinya : “......maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi,
satu,dua,tiga, atau empat.” (Qs. An-Nisa/3:3).
4

Cukup logis Islam menetapkan berbagai ketentuan untuk mengatur ikatan

antara laki-laki dan perempuan yaitu dalam bentuk pernikahan, sehingga dengan

kedua belah pihak, suami istri dapat memperoleh kedamaian, kecintaan,

keamanan dan ikatan kekerabatan. Unsur-unsur ini sangat diperlukan untuk

mencapai tujuan perkawinan yang paling besar yaitu Ibadah kepada Allah SWT.

Pada prinsipnya perkawinan menurut hukum Islam dan Undang-undang

perkawinan tahun 1974 adalah monogami, sedangkan poligami hanya

pengecualian saja. Hukum Islam mengatur kehadiran poligami sebagai hal yang

mubah, namun demikian dalam pelaksanaan poligami tersebut harus dibarengi

dengan keadilan terhadap para istri dan penuh dengan tanggung jawab. Apabila

tidak dibarengi dengan rasa kesdilan tidak menutup kemungkinan akan membawa

dampak negatif bagi orang yang melakukan poligami.

Dalam undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan telah

mengatur secara khusus tentang perkawinan, perceraian dan hal-hal yang

berkaitan dengan keduanya, telah mengakomodasi kepentingan tersebut,

sebagaimana yang tertuang dalam enam azas yang prinsipil.3 Dalam salah satu

azasnya disebutkan bahwa untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal,

maka suami hanya dibolehkan memiliki seorang istri dalam satu waktu. Prinsip

ini lebih dikenal dengan azas monogami.

3
Enam azas yang dianut dalam UU NO. 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN
meliputi : (1) azas tujuan perkawinan, (2) azas syahnya perkawinan, (3) azas monogamy, (4) azas
kematangan jiwa dan raga, (5) azas perceraian dipersulit, dan (6) azas keseimbangan hak dan
kedudukan suami isteri dalam membina rumah tangga.
5

Hukum Islam mengatur kehadiran poligami sebagai hal yang mubah,

namun hanya demikian apabila di kehendaki oleh yang bersangkutan, seorang

suami dapat beristri lebih dari seorang setelah dipenuhinya berbagai persyaratan

tertentu dan diputuskan oleh pengadilan. Apabila bandingkan pelaksanaan

poligami menurut hukum Islam dan undang-undang perkawinan, maka secara

sepintas persyaratan-persyaratan yang ditentukan antara kedua peraturan itu tidak

sama, namun apabila dikaji lebih lanjut kedua peraturan tersebut memiliki

persamaan tujuan.

Keberadaan poligami atau menikah lebih dari seorang isteri dalam lintasan

sejarah bukan merupakan masalah baru. Poligami telah ada dalam kehidupan

manusia sejak dahulu kala diantara berbagai kelompok masyarakat diberbagai

kawasan dunia. Orang-orang Arab telah berpoligami jauh sebelum kedatangan

Islam. Demikian pula masyarakat di luar bangsa Arab, bahkan di Arab sebelum

Islam telah dipraktekkan poligami yang tanpa batas. Bentuk poligami ini dikenal

pula oleh orang-orang Babilonia, Abbesinia, dan Persia.4

Memang masalah poligami tetap menarik diperbincangkan dan

menimbulkan pro dan kontra di dalamnya. Menurut Nasaruddin Umar, kondisi

sosio kultural saat turunnya ayat Al-Quran yang mengizinkan poligami adalah

setelah perang Uhud dimana umat Islam kalah dan populasi laki-laki dan

perempuan tidak imbang. “Berdasarkan studi-studi yang ada, poligami umumnya

4
Titik Triwulan Tutik, Poligami Perspektif Perikatan Nikah, (Jakarta : Prestasi Pustaka,
2007), cet. 1. h. 57.
6

membawa kesengsaraan pada umat, negara, dan bangsa,” ujar Nasaruddin.5

Bahkan Musdah Mulia berpendapat poligami pada hakikatnya merupakan

penghinaan terhadap perempuan.6 Lain halnya, Hartono Jaiz berpendapat bahwa

peraturan tentang poligami dan praktiknya di dunia Islam mempunyai manfaat

besar yang membersihkan masyarakat dari akhlak yang tercela dan

menghindarkan penyakit masyarakat yang banyak timbul di negara-negara yang

tidak mengenal poligami yakni pelacuran.7 Praktik poligami ini khusus di

Indonesia telah terjadi di berbagai kalangan, pengusaha, kiai, ulama, politisi, artis,

maupun tokoh masyarakat. Pemilik Rumah Makan Ayam Bakar Wong Solo,

Puspo Wardoyo, dengan bangga telah memberikan Polygami Award kepada laki-

laki yang melakukan praktik poligami. Bahkan ia mengatakan: “Poligami jangan

dilarang karena poligami bagi saya adalah kebutuhan paling primer. Bisa

bahaya kalau jadi presiden, saya akan mengangkat orang yang berpoligami

untuk menjadi menteri”.8 Sekarang orang bukan hanya ramai-ramai

membicarakan poligami tetapi juga melakukan praktik poligami. Memang kita

ketahui praktik poligami bukan kisah baru dalam catatan sejarah umat manusia di

belahan bumi ini. Tidak terkecuali di Indonesia. antara lain: Puspo Wardoyo

5
Hartono Ahmad Jaiz, Wanita antara Jodoh, Poligami dan Perselingkuhan, (Jakarta :
Pustaka Al-Kautsar, 2007), cet. 1. h 194.
6
Musdah Mulia, Pandangan Islam tentang Poligami, (Jakarta, 1999), Cet. 1. h. 50.
7
Hartono Ahmad Jaiz, Wanita antara Jodoh, Poligami dan Perselingkuhan, (Jakarta :
Pustaka al-Kautsar, 2007), cet. 1. h 124.
8
Islah Gusmian, Mengapa Nabi Muhammad Berpoligami, (Yogyakarta : Pustaka Marwa,
2007 ) cet 1, h. 22.
7

(pengusaha), Aa Gym (kiai dan pebisnis), Zainal Ma’arif (politisi), KH. Noer

Iskandar SQ (kiai dan pengasuh pesantren), Fauzan al Anshari (aktivis dakwah),

bukanlah wajah-wajah baru yang membuat sejarah poligami di Indonesia. Jauh

sebelum mereka, para raja dahulu mempunyai isteri selir yang tidak terhitung

jumlahnya, kiai pun mempunyai isteri lebih dari satu orang.

Mengenai prosedur atau tata cara poligami yang resmi diatur dalam Islam

tidak ada ketentuan secara pasti. Namun di Indonesia Undang – undang

perkawinan Nomor 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam ( KHI ) menganut

kebolehan poligami, telah mengatur walaupun terbatas sampai empat orang istri.

Ketentuan tercantum dalam pasal 3 – 4 Undang – Undang perkawinan dan Pasal

55 – 57 KHI. Kebolehan poligami dalam KHI tertuang pada bab IX pasal 55 – 59,

antara lain menyebutkan : syarat utama beristeri lebih dari seorang, suami harus

mampu berlaku adil terhadap isteri – isteri dan anak-anaknya pasal ( 55 ayat 2 ).

Selain syarat utama tersebut ada lagi syarat lain yang harus dipenuhi sebagaimana

termaktub dalam pasal lima ( 5 ) Undang –Undang nomor 1 tahun 1974, yaitu

adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan

anak-anak mereka.

Pasal-pasal ini adalah suatu bagian dari prosedur apabila seorang suami

hendak berpoligami. Diperbolehkannya poligami dalam Islam itu bukan dibuka

lebar, akan tetapi sebagai solusi dalam keadaan tertentu yang diperkenankan

(diperbolehkan), bagi orang-orang yang memerlukannya, dengan syarat adanya

kepercayaan pada dirinya bahwa ia dapat berlaku adil dan untuk berbuat jujur.
8

Namun, dari praktek poligami yang menimbulkan polemik penulis merasa

tertarik untuk membahas dan mengangkat judul skripsi “ Pandangan Tokoh

Masyarakat Kecamatan Sawangan Kota Depok Terhadap Poligami”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka dalam penelitian ini terbatas pada

poligami menurut pandangan para tokoh masyarakat formal dan informal di

Kecamatan Sawangan Kota Depok.

2. Perumusan Masalah

Agar penelitian ini tidak menyimpang, maka penelitian ini terfokus

pada :

Pertama : Bagaimana poligami dimaknai oleh para tokoh masyarakat.

Apa faktor yang mendukungnyanya, misalkan faktor internal, ekonomi,

pendidikan, lingkungan sosial.

Rumusan masalah ini, dapat dirinci dalam bentuk pertanyaan sebagai

berikut :

a. Bagaimana pandangan tokoh masyarakat Kecamatan Sawangan terhadap

poligami?

b. Bagaimana pandangan tokoh masyarakat terhadap hukum islam dan

hukum positif terhadap poligami?


9

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Dengan menganalisa latar belakang dengan perumusan masalah tersebut

maka penelitian ini bertujuan:

1. Mengetahui pandangan tokoh masyarakat Kecamatan Sawangan tentang

poligami.

2. Mengetahui pandangan tokoh masyarakat Kecamatan Sawangan terhadap

hukum islam dan hokum positif tentang poligami.

Adapun manfaat atau kegunaanya adalah :

1. Secara Akademis

yaitu untuk memenuhi salah satu syarat dalam mendapatkan gelar

Kesarjanaan Strata Satu pada Fakultas Syari’ah dah Hukum.

2. Secara Ilmiah

a. Bagi Fakultas Syari’ah dan Hukum, memberikan sumbangan kepustakaan

dalam rangka pengembangan pengetahuan akademis pada umumnya.

b. Bagi penulis merupakan pengembangan pengetahuan yang didapat selama

belajar di Fakultas Syari’ah dan Hukum.

c. Bagi tokoh masyarakat dapat memberikan informasi yang objektif.

Adapun manfaat yang ingin penulis sampaikan dalam penelitian ini adalah

dapat memberikan pemahaman terhadap masyarakat kecamatan sawangan

khususnya dan masyarakat luas tentang pengaruh poligami terhadap beberapa

faktor.
10

D. Metode Penelitian

Sebagai sebuah karya ilmiah, jenis penelitian ini merupakan penelitian

deskriptif, yaitu penelitian yang menggambarkan data dan informasi di lapangan

secara mendalam.9 Sementara soerjono soekanto mendefinisikan penelitian

deskriptif ini dimaksudkan untuk memberikan data yang diteleti mungkin dengan

manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya. Maksudnya adalah terutama untuk

mempertegas hipotesa-hipotesa agar dapat membantu didalam memperkuat teori-

teori. Untuk memperoleh data yang akurat, peneliti mengadakan penelitian

sebagai sesuatu metode kualitatif yang bertujuan menyajikan pandang objek yang

diteleti bahan dan data penelitian ini diperoleh dari penelitian lapangan ( field

research ) yang dimaksudkan untuk memperoleh data, di mana peneliti terjun

langsung kelapangan. Oleh karena itu, data lapangan merupakan data primer,

yaitu data utama yang akan diteliti ( beberapa tujuan ) di kecamatan Sawangan.

Sedangkan data sekunder dalam penelitian ini adalah dokumen atau tulisan-

tulisan yang berkaitan dengan pokok bahasan karya tulis ini, yang juga

didapatkan dari penelitian kepustakaan ( library research ) yang berkaitan dengan

poligami.

Dalam rangka memperoleh data yang diperlukan serta informasi yang

dibutuhkan sebagai bahan dalam rencana skripsi ini, maka teknik pengumpulan

data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

9
Suharsini Arikunto, Manajemen Penelitian, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1993), cet.ke-2, h.
309
11

1. Teknik wawancara mendalam yakni satu bentuk komunikasi verbal untuk

memperoleh informasi data yang valid dan akurat dari pihak-pihak yang

dijadikan sebagai informasi.

2. Teknik dokumentasi. Teknik ini penulis gunakan untuk melengkapi data yang

dilakukan dengan acara melihat dokumen-dokumen yang terdapat di

kecamatan sawangan yang dijadikan objek penelitian.

3. Teknik puataka. Berkaitan dengan sumber-sumber pustaka.

E. Sistematika Penulisan

Pembahasan skripsi ini dibagi menjadi lima Subab dan susunan

pembahasannya sebagai berikut :

Bab Pertama, Pendahuluan, Meliputi uraian masalah teknis penulisan

yakni : Latar belakang, Rumusan masalah tujuan dan kegunaan penelitian, metode

penelitian dan sistematika penulisan.

Bab kedua, Kerangka Teoritis Tentang Poligami, tentang pengertian

poligami, poligami menurut hukum Islam, poligami menurut hukum Positif.

Bab Ke-Tiga, Poligami pada masyarakat Sawangan, meliputi: kondisi

geografis, kondisi demografis, kondisi penduduk, kondisi perekonomian, kondisi

sosial keagamaan dan pandangan tokoh masyarakat sawangan terhadap poligami,

faktor-faktor pendukung poligami di sawangan.

Bab Ke-Empat, analisis pandangan tokoh masyarakat sawangan tentang

poligami, analisis menurut Hukum Islam dan analisis Hukum positif.

Bab Kelima, Penutup. Bab ini berisi Kesimpulan dan saran-saran.


BAB II

KERANGKA TEORITIS TENTANG POLIGAMI

A. Pengertian Poligami

Kata poligami termasuk kata yang umum yang sudah dipakai, dalam artian

kata ini sudah dikenal dan sering kali orang menggunakannya. Walaupun mereka

sering kali mengungkapkan kata ini, bukan berarti mereka mengetahui secara

detail tentang pengertian poligami yang sebenarnya, bahkan di antara mereka

masih banyak yang verbalisme.

Kata poligami berasal dari bahasa Yunani, yaitu poly atau polus yang

berarti banyak dan gamein atau gamos yang berarti kawin atau perkawinan. Kalau

kedua kata tersebut digabungkan menjadi poligami, maka artinya adalah

perkawinan yang banyak atau dengan ungkapan lain adalah suatu perkawinan

yang lebih dari satu orang.1 Dalam bahasa Arab poligami disebut Ta’adduduz

Zaujaat, sedangkan dalam bahasa Indonesia disebut madu.2 Menurut Arij

Abdurrahman As Sanan dalam bukunya Al ‘Adlu Baina az Zaujaat, yang

dimaksud dengan Ta’adduduz Zaujaat adalah perbuatan seorang laki–laki

mengumpulkan dalam tanggungannya dua sampai empat orang isteri, tidak lebih

darinya.3

1
Humaidi Tatapangarsa, Hakekat Poligami dalam Islam, ( t.t., Usaha Nasional, t.th ) h.12.
2
Islah Gusmian, Mengapa Nabi Muhammad Berpoligami, (Yogyakarta : Pustaka Marwa,
2007 ) cet 1, h. 29.
3
Arij Abdurrahman As- Sanan, Memahami Keadilan dalam Poligami, (Jakarta : PT. Global
Media Cipra Publishing, 2003 ), h. 25.

12
13

Menurut Islah Gusman, arti poligami adalah banyak nikah. Istilah ini

digunakan untuk menunjuk pada praktek perkawinan lebih dari satu suami atau

istri sesuai dengan jenis kelamin orang yang bersangkutan. Ia berpendapat bahwa

poligami dan poligini adalah berbeda. Poligini menurutnya adalah banyak

perempuan. Istilah ini digunakan untuk menunjuk pada seorang pria yang

melakukan praktek banyak nikah dengan banyak perempuan (pada masa yang

sama, dan bukan karena kawin cerai).4

Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa

poligami adalah Ikatan perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau

mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan, dan

berpoligini berarti menjalankan poligami.5 Dan pengertian ini pun senada dengan

yang di kemukakan oleh Save M’ bahwa poligini sama dengan poligami.6 Begitu

pula Sayuti Thalib, ia mengemukakan bahwa arti dari kata poligami adalah sama

dengan poligini, yaitu seorang suami beristri lebih dari seorang wanita dalam

waktu yang sama.7 Dan pengertian inilah yang secara umum berlaku di

masyarakat. Oleh karena itu penulis dalam skripsi ini mengartikan poligami

sebagaimana yang di kemukakan oleh Sayuti Thalib.

4
Islah Gusmian, Mengapa Nabi Muhammad Berpoligami, h. 26.
5
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1996 ), Cet. ke- 7, h.
18.
6
Save M. Dagun, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan, (Jakarta : LPKN, 1997 ), h. 866.
7
Sayuti Thib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta : Bina Aksara, 1981 ), h. 169.
14

Menurut Qasim Amin dalam bukunya Tahrir al-Mar’ah sebagaimana

yang dikutip oleh Musdah Mulia, bahwa dalam sejarah manusia, perkembangan

poligami mengikuti pola pandang masyarakat terhadap kaum perempuan. Ketika

masyarakat memandang kedudukan dan derajat perempuan hina, poligami

menjadi subur, sebaliknya pada masyarakat yang memandang kedudukan

perempuan terhormat, poligami pun berkurang.8

Islam bukanlah yang pertama menerapkan aturan poligami, karena jauh

sebelum Nabi Muhammad SAW diutus menjadi Nabi dan membawa Islam,

poligami telah lama dipraktekkan oleh umat–umat terdahulu. Bahkan hampir

semua bangsa melakukannya. Dan cukup banyak fakta yang dapat membuktikan

kebenaran ini, seperti yang dikatakan oleh Musthafa al Siba’i, bahwa poligami itu

sudah ada pada masyarakat bangsa–bangsa yang hidup di zaman purba, pada

bangsa Yunani, Cina, India, Babylonia, Syria, Mesir, dan lain–lain. Pada saat itu,

praktek poligami tidak terbatas jumlah istrinya, sehingga mencapai ratusan

orang istri dalam satu waktu (tanpa cerai dan tanpa faktor ke matian) bagi satu

laki–laki (suami).9

Agama Yahudi memperbolehkan poligami tanpa batas. Nabi–nabi yang

namanya disebut dalam Taurat, semuanya berpoligami tanpa pengecualian. Dan

8
Musdah Mulia, Pandangan Islam tentang Poligami, (Jakarta : Lembaga Kajian Agama dan
Gender, 1999), cet. 1. h. 3.
9
Islah Gusmian, Mengapa Nabi Muhammad Berpoligami, h. 30.
15

ada keterangan dalam Taurat, bahwa Nabi Sulaiman AS mempunyai tujuh ratus

orang istri yang merdeka dan tiga ratus istri yang berasal dari budak.10

Dan meskipun dalam Taurat tidak melarang poligami dan tidak

menghalangi seorang laki–laki untuk menikah dengan berapa saja banyaknya

istri, namun pendeta–pendeta Yahudi membenci poligami itu, lalu berusaha

mempersempit poligami dengan mengadakan pembatasan banyaknya istri hanya

empat saja, dan menetapkan harus ada faktor–faktor pendorong yang sah menurut

agama, untuk bolehnya laki–laki menikah dengan istri baru.11

Agama Kristen pun pada asalnya tidak melarang poligami. Karena

larangan itu tidak ditentukan dalam Injil maupun dalam surat-surat para Rasul

(sahabat–sahabat Yesus) yang dikenal dengan Kitab Perjanjian Baru. Dalam kitab

itu tidak ada keterangan yang jelas mengenai larangan poligami. Sehingga Dr.

Khafi sebagaimana yang dikutip oleh Abbuttawab Haikal mengatakan bahwa

kebiasaan poligami itu sudah ada pada bangsa Israil sebelum Nabi Isa diutus, ia

kemudian menetapkan kebiasaan poligami itu. Bahkan Nabi Musa mewajibkan

seorang untuk mengawini janda saudara laki-lakinya sendiri yang meninggal dan

tidak mempunyai anak, walaupun ia sendiri sudah berkeluarga. Apa yang

diperbolehkan dalam Taurat, sejauh tidak ada nash yang pasti dalam Injil yang

melarangnya, maka diperbolehkan pula dalam agama Kristen, termasuk di

10
Musthafa as Siba’i, Wanita diantara Hukum Islam dan Perundang – undangan, (Jakarta :
Bulan Bintang, 1977 ), cet. 1. h. 100.
11
Abdul Nasir Taufiq al ‘Atthar, Poligami ditinjau dari Segi Agama, Sosial dan Perundang –
undangan, (Jakarta : Bulan Bintang, 1976 ), cet. 1. h. 80
16

dalamnya poligami. Karena tidak ada nash (keterangan) yang melarang poligami

dalam Injil. Dan sejarah membuktikan bahwa umat–umat Kristen terdahulu dan

para pemuka agama banyak melakukan poligami.12 Tetapi bapak–bapak gereja

(pendeta) dan para pembuat undang–undang gereja, ada yang berpendapat bahwa

ada naskah dalam Perjanjian Baru yang menyinggung tentang pengertian

haramnya poligami, yaitu bahwa barang siapa yang menceraikan istrinya dan lalu

menikah dengan wanita lain, maka hukumnya adalah ia berzina dengan wanita

itu, dan begitu pula sebaliknya. Tetapi penafsiran haramnya poligami ini hanya

sesuai dengan pendapat golongan Kristen Katolik saja, karena golongan ini tidak

membolehkan pembubaran akad nikah kecuali dengan kematian saja. Sedangkan

golongan Orthodok dan Protestan (Gereja Masehi Injili), semuanya

memperbolehkan bagi seorang Kristen untuk menceraikan isterinya dalam

suasana dan dengan syarat–syarat tertentu.13

George Zaidan, sebagaimana yang dikutip al Siba’i berkata bahwa tidak

ada keterangan yang jelas dalam agama Kristen yang melarang para pengikutnya

berpoligami dengan dua orang istri ataupun lebih. Kalau sekiranya orang–orang

Kristen itu mau, tentu saja mereka boleh berbuat demikian. Tetapi bapak–bapak

gereja itu mencukupkan seorang istri saja, demi untuk menjaga kerukunan rumah

tangga mereka, seperti yang terdahulu terjadi di kalangan bangsa Romawi.

12
Abduttawab Haikal, Rahasia Perkawinan Rasullallah SAW, Poligami dalam Islam Vs
Monogami Barat, (Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya, 1993 ), cet. 1. h. 49
13
Abdul Nasir Taufiq al ‘Atthar, Poligami ditinjau dari Segi Agama, Sosial dan Perundang–
undangan, (Jakarta : Bulan Bintang, 1976 ), cet. 1. h. 81
17

Kemudian mereka membawa idenya itu dalam menafsirkan ayat–ayat tentang

perkawinan dalam kitab suci mereka, seperti yang sudah kita ketahui secara

populer.14

Sekarang ini kita lihat gereja–gereja di Afrika Hitam mengakui bolehnya

poligami, karena para petugas penyiar agama Kristen itu menemukan diri mereka

berhadapan dengan susunan masyarakat yang biasa berpoligami, yaitu di

kalangan bangsa–bangsa Afrika yang beragama Animisme. Bapak–bapak Gereja

berpendapat bahwa kalau mereka terus–menerus melarang poligami, maka

akhirnya masalah poligami itu akan menjadi penghalang bagi bangsa–bangsa

Afrika untuk memasuki agama Kristen. Mereka lalu mempropagandakan

bolehnya poligami tanpa batas. Dan dalam masyarakat tradisional Afrika,

banyaknya jumlah istri merupakan kebanggaan tersendiri, lambang kesuksesan

dan status sosial tinggi serta menandakan kesejahteraan. Poligami merupakan adat

warisan leluhur orang–orang Afrika, bukan saja dianggap sebagai kewajaran

bahkan hampir sebagai kelembagaan.15

Di Jazirah Arab sendiri jauh sebelum Islam, masyarakatnya telah

mempraktekkan poligami bahkan tak terbatas. Sejumlah riwayat menceritakan

bahwa rata–rata pemimpin suku memiliki puluhan istri, bahkan tidak sedikit

kepala suku yang mempunyai sampai ratusan istri.16 Nabi Muhammad SAW

membolehkan poligami di antara masyarakatnya karena hal itu telah dipraktekkan


14
Musthafa as Siba’i, Wanita diantara Hukum Islam, h. 104
15
Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, (Bandung : Pustaka Setia, 2000), cet. 1. h.120.
16
Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2007)
18

juga oleh orang-orang Yunani dan bangsa–bangsa lain yang di antaranya bahkan

seorang istri bukan hanya dapat dipertukarkan tetapi juga bisa diperjualbelikan

secara lazim antara mereka.17 Dalam konteks pernikahan, kedatangan Islam jelas

memberikan suatu arah baru untuk memperoleh kebahagiaan dan rahmat bagi

kedua belah pihak. Inheren di dalamnya adalah usaha–usaha pembelaan dan

sekaligus pemberdayaan atas perempuan. Ini dilakukan Islam, karena perempuan

sebelumnya pada masyarakat Arab pra Islam sama sekali tidak dihargai dan

bahkan dilecehkan, lalu ia diangkat martabatnya oleh Islam menjadi subyek yang

bermartabat.18

B. Poligami Menurut Hukum Islam.

Poligami merupakan salah satu tema penting yang mendapat perhatian

khusus dari Allah SWT sehingga tidak mengherankan kalau kemudian kita dapati

masalah ini di awal surat An-Nisa,yaitu pada ayat ke 3 :

y]≈n=èOuρ 4o_÷WtΒ Ï!$|¡ÏiΨ9$# zÏiΒ Νä3s9 z>$sÛ $tΒ (#θßsÅ3Ρ$$sù 4‘uΚ≈tGu‹ø9$# ’Îû (#θäÜÅ¡ø)è? ωr& ÷ΛäøÅz ÷βÎ)uρ

(#θä9θãès? ωr& #’oΤ÷Šr& y7Ï9≡sŒ 4 öΝä3ãΨ≈yϑ÷ƒr& ôMs3n=tΒ $tΒ ÷ρr& ¸οy‰Ïn≡uθsù (#θä9ω÷ès? ωr& óΟçFøÅz ÷βÎ*sù ( yì≈t/â‘uρ

( : /)
Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka

17
Titik Triwulan Tutik, Poligami Perspektif Perikatan Nikah, ( Jakarta : Prestasi Pustaka,
2007 ), cet. 1. h. 57
18
Islah Gusmian, Mengapa Nabi Muhammad Berpoligami, h. 38.
19

kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau


empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka
(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang
demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS. An-
Nisa’/4: 3)

Ayat ini merupakan ayat yang membicarakan masalah poligami. Yang ini

diturunkan kepada Nabi Saw pada tahun kedelapan hijriyah, dengan tujuan untuk

membatasi jumlah istri pada batas maksimal empat orang saja. Akan

tetapi,sebagian mufasir dan ahli fiqih telah mengabaikan redaksi umum ayat dan

mengabaikan keterkaitan erat yang ada di antara poligami dengan para janda yang

memiliki anak-anak yatim.

Ayat tentang poligami turun setelah perang uhud, dimana banyak sahabat

wafat di medan perang. Sejumlah besar para wanita dan anak–anak ditinggalkan

tanpa tempat perlindungan. Untuk mengatasi masalah tersebut, Allah SWT

mewahyukan ayat yang mengizinkan lelaki berpoligami. Namun, meskipun

poligami di izinkan, Allah membataskan jumlah istri hanya empat orang saja.

Ayat ini memungkinkan lelaki muslim mengawini janda atau anak yatim

jika dia yakin itu merupakan cara melindungi kepentingan anak-anak yatim

tersebut dan juga untuk melindungi hartanya dengan penuh keadilan.

Sayyid Qutb menggambarkan bahwa pada masa jahiliyah banyak

kebiasaan-kebiasaan buruk yang telah berlangsung saat datangnya islam ke tanah

arab. Di antaranya adalah hak-hak anak yatim dirampas khususnya anak-anak


20

yatim perempuan di dalam kekangan keluarga, para wali dan penanggung jawab.

Hartanya yang baik, ditukar dengan yang buruk, dihambur-hamburkan dengan

rakus, karena khawatir bila anak-anak yatim itu telah besar akan mengambilnya.

Anak-anak yatim yang kaya ditahan untuk dijadikan istri oleh para walinya,

karena tamak kepada harta bukan karena menginginkan mereka. Atau diberikan

kepada anak lelaki para wali, untuk tujuan yang sama agar harta tidak keluar dan

jatuh ke tangan orang lain.

Kebiasaan ini juga berlangsung di awal islam. Hingga Al- Qur’an datang

melarang dan menghapuskannya dengan berbagai pengarahan luhur dan

mengembalikan masalah ini kepada hati nurani. Dalam ayat lain (QS. 4:129)

È≅øŠyϑø9$# ¨≅à2 (#θè=ŠÏϑs? Ÿξsù ( öΝçFô¹t ym öθs9uρ Ï!$|¡ÏiΨ9$# t÷t/ (#θä9ω÷ès? βr& (#þθãè‹ÏÜtFó¡n@ s9uρ

$VϑŠÏm§‘ #Y‘θàxî tβ%x. ©!$#  χÎ*sù (#θà)−Gs?uρ (#θßsÎ=óÁè? βÎ)uρ 4 Ïπs)¯=yèßϑø9$$x. $yδρâ‘x‹tGsù

( : /)
Artinya: Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-
isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena itu
janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga
kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan
perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. An-Nisa’/4: 129)

Adil dalam pengertian ayat ini berada dalam suatu wilayah cakupan yang

amat luas. Bukan saja adil dalam hal memberikan materi yang cukup, namun

lebih substansial lagi dari itu ialah adil dalam memberikan nafkah batin, serta adil

dalam hal persamaan kaum perempuan yang dinikahi itu. Seorang pemikir
21

modern, Ameer Ali, menyatakan bahwa kebolehan poligami sangat bergantung

pada kondisi, situasi, dan tuntutan zaman. Bahkan Muhammad Abduh

menyatakan haram pelaksanaan poligami itu sehubungan dengan tidak mungkin

berlaku adil. Apalagi, bila poligami itu hanya dimotivasi oleh pemenuhan

kebutuhan biologis kaum laki-laki, keharaman untuk melaksanakan poligami

semakin nyata.

Secara kategoris menyatakan tidak mungkin seorang lelaki dapat berlaku

adil terhadap istri-istrinya, betapapun dia menginginkannya. Dan Ayat ini dapat

disimpulkan juga, islam pada dasarnya agama monogami. Oleh karena itu, Sayyid

Qutb menegaskan bahwa, islam tidak menumbuhkan poligami, tetapi hanya

membatasinya. Tidak memerintahkan berbuat poligami, tetapi hanya memberikan

rukhshah dan menentukan syarat dalam pelaksanaannya. Islam memberikan

rukhshah dalam hal ini untuk menghadapi berbagai realitas kehidupan umat

manusia dan berbagai darurat fitrah kemanusiaan. Jika tidak demikian, maka

rukhshah yang diberikan tidak boleh dilakukan.

Dalam hukum positif kita juga menjelaskan konsep adil dalam poligami.

Sebagaimana terdapat dalam pasal 31 (3) UU Perkawinan menyebutkan suami

adalah kepala keluarga. Kebutuhan yang harus dipenuhi seorang suami terhadap

para istri dan anaknya sungguh tidak ringan. Kebutuhan pangan (nafaqah),

sandang (kiswah) dan papan (suknah) adalah yang bersifat materi. Sedangkan

yang materi jauh lebih berat karena sulit dilacak parameternya. Karena itulah,
22

suami yang ingin berpoligami cenderung mengambil jalan pintas tanpa

mengindahkan peraturan-peraturan yang berlaku.

Pada pasal 5 ayat 1 menjelaskan suami yang hendak berpoligami harus

memperoleh persetujuan dari istri pertamanya. Dia juga harus mampu menjamin

keperluan hidup para istri dan anaknya. Dan yang terpenting, dia harus berlaku

adil terhadap para istri dan anaknya.

Mengenai keadilan ini, PP No.9 Th.1975 tentang pelaksanaan UU No.

1/1974 berusaha menjabarkan keadilan macam apa yang diemban oleh suami

yang hendak berpoligami. Pasal 41 huruf c PP tersebut menyatakan, jika seorang

suami mengajukan permohonan poligami, maka pengadilan memeriksa

penghasilan suami. Hal ini di buktikan dengan surat keterangan yang di tanda

tangani oleh bendahara tempat sang suami bekerja atau surat keterangan pajak

penghasilan, atau surat lain yang dapat diterima Pengadilan. Hanya pemeriksaan

itu di ujung-ujungnya dimaksudkan semata-mata untuk men celah keadilan yang

bersifat materi.

Dari uraian di atas menjelaskan kehalalan berpoligami dengan syarat

berlaku adil. Jika syarat ini tidak dapat dipenuhi, di mana seorang suami yakin

bahwa ia akan terjatuh kepada kezaliman dan menyakiti istri-istrinya, dan tidak

dapat memenuhi hak-hak mereka dengan adil, maka poligami menjadi haram.

Jika ia merasa menjadi kemungkinan besar menzalimi salah satu istrinya, maka

poligami menjadi makruh. Namun jika ia yakin akan terjatuh kepada perbuatan

zina jika tidak berpoligami, maka poligami menjadi wajib atasnya.


23

Konsep keadilan tersebut baik Hukum islam dan Hukum Positif agar

menjadi perhatian bagi suami yang ingin berpoligami. Jika tidak dapat memenuhi

kebutuhan keadilan maka hendaknya monogami mutlak. Sebagaimana allah

menjelaskan dalam Al-Qur’an surat an-Nisa ayat 3 dan 129.

Jika kita menoleh ke sejarah perkawinan Nabi SAW, akan kita jumpai

bahwa nabi berpoligami pada masa hanya sepuluh tahun di akhir usianya

sementara dua puluh lima tahun sebelum itu Nabi menjalani kehidupan

monogami bersama khodijah binti Khuwailid sampai Khodijah wafat dan nabi

saat itu berumur 50 tahun. Tiga tahun setelah itu barulah nabi menjalani poligami.

wanita yang di nikahi Rasul adalah semua janda, kecuali ‘Aisyah r.a, dan semua

untuk tujuan menyukseskan dakwah, atau membantu dan menyelamatkan wanita

yang kehilangan suami. Mereka umumnya bukanlah wanita-wanita yang dikenal

memiliki daya tarik yang memikat.

Para ulama sepakat dengan dibolehkannya berpoligami, namun tidak

menjadikan poligami sebagai suatu kewajiban bagi kaum muslimin. Adapun

perselisihan yang terjadi di antara mereka hanyalah jumlah bilangan poligami itu

sendiri, Jumhur ulama berbeda pendapat, kebolehan berpoligami hanya kepada

empat wanita saja.

Menurut Imam Hanafi dan Imam Syafi’i di dalam kitab Bidayatul

Mujtahid bahwa tidak boleh menikahi wanita lebih dari empat wanita dalam
24

waktu yang bersamaan.19 Imam Malik berpendapat bahwa jika seseorang abdun

boleh menikahi empat wanita dalam satu waktu, dan beliau menukil dalam kitab

al Muwatha, bahwa Ghailan bin Salman memeluk Islam sedang ia mempunyai

sepuluh isteri. Maka Rasulullah, bersabda :

(&% (%) *+)   !"# $% &'%#


Artinya: “Peliharalah empat orang isteri diantara mereka dan bebaskanlah
(ceraikan) yang lainnya”. (H.R. Imam Malik dalam kitab al
Muwatha).20 Pendapat ini didukung oleh Ahlu Zhahir (pengikut Imam
Daud ad Dhahiri).

Sedangkan dalil dari sunnah sebagaimana dalam riwayat hadis yang

menjelaskan ketika Ghailan bin salamah Ats-Tsaqafi masuk islam dalam keadaan

beristri sepuluh orang yang ia nikahi di masa jahiliyah (sebelum masuk islam),

mereka semua masuk islam bersamanya, maka Rasulallah saw memerintahkannya

untuk memilih empat di antara mereka.

8 9: 8 4!% ,-. 7!6 " -45 ,-. /01. " 23 ,-.
; < => ?@A B8 <CD+ E4F GH0I /F =J 48 " 8 /0
(<6% " *+) K" $% LM /F+ <0F8 N OFP
Artinya: “ kami diberitahukan oleh yahya Ibn Hakim, kami diberitahukan oleh
Muhammad ibn Ja’far, kami diberitahukan oleh Mu’amar dari al-
Zuhri dari salim dari Ibn Umar berkata: Ghilan ibn Salamah masuk
islam dan ia memiliki 10 istri, maka nabi bersabda : Ambilah diantara
mereka empat orang”. ( H.R. Ibnu Majah )

19
Ibnu Rusyd, al Mujtahid, Bidayatul, (Beirut : Darul fikr, tt), cet. Ke-1, jilid, 11 h. 31
20
Imam Malik, al Muwatha, Muhammad Fuad Abd. al Baqi- kitab al shib, Kairo. tt
25

Sedangkan dalil dari ijma ialah kesepakatan kaum muslimin tentang

kehalalan poligami baik melalui ucapan atau perbuatan mereka sejak masa

Rasulallah saw sampai hari ini. Para sahabat utama Nabi melakukan poligami

seperti umar bin Khattab, ali bin Abi Thalib, Muawiyah bin Abi sufyan, dan

Muaz bin Jabal r.a.

Poligami dilakukan juga oleh ahli fiqih tabi’in, mereka mengakui orang

yang menikah lebih dari satu istri, dinamakan poligami. Kesimpulannya bahwa

generasi salaf (terdahulu) dan khalaf (kini) dari ummat islam telah bersepakat

melalui ucapan dan perbuatan mereka bahwa poligami itu halal.

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa hukum poligami sama

halnya dengan hukum menikah yang mungkin saja bisa wajib, sunnah, atau

makruh sesuai dengan seseorang. Hal ini tergantung pada kondisi seorang laki-

laki akan kebutuhannya terhadap poligami, dan kemampuannya memenuhi hak-

hak istri-istrinya.

Pada dasarnya, poligami itu hukumnya mubah (boleh), berdasarkan

Q.S.An-Nisa ayat 3. kebolehan poligami ini tidak menghibahkan batasan dan

syarat-syarat yang di atur oleh hukum islam itu sendiri yang bertujuan untuk

meratakan kesejahteraan keluarga dan untuk menjaga ketinggian nilai di kalangan

generasi masyarakat islam seterusnya guna meningkatkan budi pekerti kaum

muslimin yang berpedoman pada al-Qur’an dan hadis.

Pandangan normatif al-Qur’an yang selanjutnya di adopsi oleh ulama-

ulama fiqih setidaknya menjelaskan dua persyaratan yang harus dimiliki oleh
26

suami; pertama, seorang lelaki yang ingin berpoligami harus memiliki

kemampuan dana yang cukup untuk membiayai berbagai keperluan dengan

bertambahnya istri yang dinikahi. Kedua, seorang lelaki harus memperlakukan

semua istrinya dengan adil.

Dalam fatwa Abduh, keadilan di sini yang di syaratkan al-Qur’an adalah

keadilan yang bersifat kualitatif seperti kasih sayang, cinta dan perhatian yang

semuanya tidak bisa di ukur dengan angka atau nominal.

Sebagian besar ahli hukum islam menyadari bahwa keadilan kualitatif ini

sesuatu yang sangat mustahil untuk diwujudkan.

Abdurahman al-Jaziri di dalam kitabnya menulis bahwa mempersamakan

hak atas kebutuhan seksual dan kewajiban bagi orang-orang yang berpoligami

karena sebagai manusia wajar tertarik pada salah seorang istrinya melebihi yang

lain dan hal yang semacam ini merupakan sesuatu yang berada di luar batas

kontrol manusia.

C. Poligami menurut Hukum Positif.

1. Poligami dalam Undang–undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan

Telah kita ketahui, Undang–undang RI No 1 Tahun 1974 tentang

perkawinan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Oktober 1975. Salah satu

permasalahan yang diatur di dalamnya adalah tentang poligami. Ada


27

kesamaan antara poligami Islam dengan aturan poligami yang terdapat dalam

Undang–undang Perkawinan yaitu pintu poligami dibuka hanya bagi orang–

orang yang memiliki alasan–alasan tertentu.

Supaya masalah poligami menurut Undang–undang Perkawinan ini

dapat diketahui dengan jelas dan terperinci, akan dikutip dan dijelaskan pasal–

pasal yang mengaturnya sebagai berikut :

Pasal 3
(1) Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh
mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai
seorang suami.
(2) Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih
dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak–pihak yang bersangkutan.
Pasal 4
(1) Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang sebagaimana
tersebut dalam pasal 3 ayat (2) undang–undang ini, maka ia wajib
mengajukan permohonan kepada pengadilan daerah tempat tinggalnya.
(2) Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberi izin kepada
seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila :
a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri.
b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan.
c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

Pasal 5
(1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan, sebagaimana
dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, harus dipenuhi
syarat–syarat sebagai berikut :
a. Adanya persetujuan isteri atau isteri–isteri.
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan–
keperluan hidup isteri–isteri dan anak–anak mereka.
c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri–isteri
dan anak-anak mereka.
(2) Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan
bagi seorang suami apabila isteri atau isteri–isterinya tidak mungkin
dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian,
atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang–kurangnya dua
28

tahun, atau karena sebab–sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian


dari hakim pengadilan.

Pasal 65
(1) Dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang baik berdasarkan
hukum lama maupun berdasarkan pasal 3 ayat (2) undang–undang ini,
maka berlakulah ketentuan–ketentuan berikut :
a. Suami wajib memberi jaminan hidup yang sama kepada semua isteri
dan anaknya.
b. Isteri yang kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas harta
bersama yang telah ada sebelum perkawinan dengan isteri kedua atau
berikutnya itu terjadi.
c. Semua isteri mempunyai hak yang sama atas harta bersama yang
terjadi sejak perkawinannya masing–masing.
(2) Jika Pengadilan yang memberi izin untuk beristeri lebih dari seorang
menurut undang–undang ini tidak menentukan lain, maka berlakulah
ketentuan–ketentuan ayat (1) pasal ini.

Dari pasal–pasal mengenai poligami yang telah disebutkan diatas

dapat dijelaskan tatacara dan ketentuan permohonan izin poligami sebagai

berikut :

a. Poligami harus ada izin dari Pengadilan Agama yang diajukan kepada

Pengadilan Agama di tempat tinggalnya dengan membawa surat

permohonan izin beristeri lebih dari seorang yang isinya memuat nama,

umur, tempat kediaman pemohon (suami) dan termohon (isteri), alasan–

alasan untuk beristeri lebih dari seorang dan petitum.21

b. Setelah surat permohonan izin poligami diajukan, maka Majelis Hakim

memeriksa berkas–berkas tersebut selambat–lambatnya 30 hari setelah

diterimanya surat permohonan tersebut (pasal 42 ayat (2) PP No. 9/ 1974).

21
H. A. Mukti Arto, Praktik Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta :
Pustaka Pelajar, 2000), cet. Ke -3, h. 241.
29

Pemeriksaan yang dilakukan oleh Pengadilan Agama meliputi :

a. Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami menikah

lagi sebagai syarat alternatif yaitu :

1) Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai seorang isteri

seperti, tidak dapat mendampingi dan melayani suami dengan baik,

mengatur rumah tangga dan mengurus serta mendidik anak–anak

dengan baik, termasuk tidak menjaga kehormatan dirinya dengan baik.

2) Isteri cacat badannya, misalnya lumpuh, lemah syaraf, berpenyakit

yang tidak dapat disembuhkan, seperti gila, batuk menahun, lepra dan

sebagainya.

3) Isteri tidak dapat memberikan keturunan.22

b. Ada atau tidaknya persetujuan isteri baik lisan maupun tertulis yang harus

dinyatakan di depan sidang.

c. Ada atau tidaknya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup

isteri–isteri dan anak–anak dengan mempelihatkan surat–surat mengenai

penghasilan suami yang ditandatangani oleh bendahara tempat kerja, surat

keterangan pajak penghasilan atau surat keterangan lain yang dapat

diterima oleh Pengadilan. Sedangkan jaminan bahwa suami akan berlaku

adil adalah dengan pernyataan atau perjanjian dari suami yang dibuat

dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu.23

22
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia menurut perundang – undangan,
Hukum Adat dan Hukum Agama, (Bandung : Penerbit Mandar Jaya, 1990 ), cet. Ke -1, h.35.
23
Ibid
30

d. Persetujuan isteri tidak diperlukan lagi dalam hal isteri tidak mampu

menjadi pihak dalam perjanjian seperti isteri kurang mampu untuk

melakukan perbuatan hukum karena sakit ingatan, gila, ganguan saraf dan

lain–lain, tidak ada kabar dari isteri selama sekurang–kurangnya dua

tahun, karena sebab–sebab lain yang perlu dapat penilaian hakim berupa

keadaan–keadaan yang menjadi alasan dan perlu dipertimbangkan dalam

memberikan keputusan, seperti itikad isteri tidak memberikan persetujuan

dengan maksud jahat agar suami tersiksa lahir batinnya atau hendak

mempermainkan saja atau keadaan tentang adanya kabar dari isterinya

akan tetap domisili yang jelas tidak diperoleh sedang suami telah berusaha

keras mencarinya.24

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Undang-undang

Perkawinan tersebut telah berpihak pada kewajaran dan nyata dalam hal

poligami yaitu, poligami diperbolehkan dengan syarat–syarat yang ketat.

2. Poligami dalam Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991 tentang

Kompilasi Hukum Islam.

Secara resmi Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan hasil

consensus (ijma’) ulama melalui media lokakarya, yang kemudian mendapat

legalitas dari kekuasaan negara dan disebarluaskan untuk memenuhi

24
Martiman Prodjohamidjojo, Tanya Jawab Mengenai Undang – undang Perkawinan dan
Pelaksanaannya disertai Yurisprudensi, (Jakarta : Pradya Paramita, 1979 ) h.26
31

kebutuhan hukum substansial bagi orang–orang yang beragama Islam.25

Selain itu perumusan KHI bertujuan untuk menyiapkan pedoman yang

seragam (unifikatif) bagi Hakim Pengadilan Agama dan menjadi hukum

positif yang wajib dipatuhi oleh seluruh bangsa Indonesia yang beragama

Islam.26

Masalah poligami dalam KHI terdapat pada Buku 1 Bab IX pasal 55–59

berikut akan dikutipkan pasal demi pasal.27

Pasal 55
(1) Beristeri lebih dari satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya
sampai empat isteri.
(2) Syarat utama beristeri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku
adil terhadap isteri–isteri dan anak–anaknya.
(3) Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi
suami dilarang beristeri lebih dari seorang.
Pasal 56
(1) Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari
Pengadilan Agama.
(2) Pengajuan permohonan izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut
tatacara sebagaimana diatur dalam Bab VIII Peraturan Pemerintah Nomor
9 Tahun 1975.
(3) Perkawinan yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga atau keempat
tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pasal 57
Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang
akan beristeri lebih dari seorang apabila :
(1) Selain syarat utama yang disebut pada pasal 55 ayat (2) maka untuk
memperoleh izin Pengadilan Agama, harus pula dipenuhi syarat–syarat yang

25
Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,
1998), cet. Ke -2, h. 122.
26
Ahmad Rofik, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2000 ), cet.
Ke -4, h. 43.
27
Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, Kompilasi Hukum Islam, Direktorat
Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam. Departemen Agama RI Tahun 1998 / 1999, h. 33 –
35.
32

ditentukan pada pasal 5 Undang–undang Perkawinan No 1 Tahun 1974,


yaitu :
a. Adanya persetujuan dari isteri atau isteri–isteri.
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup
isteri–isteri dan anak–anak mereka.
c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri–isteri
dan anak–anak mereka.
(2) Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 41 huruf b. PP No. 9 Tahun 1975,
persetujuan isteri atau isteri–isteri dapat diberikan secara tertulis atau
dengan lisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini
dipertegas dengan persetujuan lisan isteri, pada sidang pengadilan agama.
(3) Persetujuan dimaksud ayat (1) Huruf a. tidak diperlukan bagi seorang suami
apabila isteri atau isteri–isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya
dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar
dari isteri atau isteri–isterinya sekurang–kurangnya 2 tahun atau karena
sebab lain yang perlu mendapat penilaian hakim.
Pasal 59
Dalam hal isteri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin
untuk beristeri lebih dari satu orang berdasarkan atas salah satu alasan yang diatur
dalam pasal 55 ayat (2) dan pasal 57, Pengadilan Agama dapat menetapkan
tentang pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar isteri yang
bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini isteri
atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi.

Jika diperhatikan, substansi poligami dalam KHI tidak berbeda dengan

aturan poligami dalam Undang–undang Perkawinan. Hal ini dikarenakan dalam

bidang perkawinan (buku 1) KHI, dalam pelbagai hal, merujuk kepada peraturan

perundang–undangan yang berlaku. Disamping itu, KHI juga merujuk kepada

pendapat fuqaha (para ahli fiqih) yang sangat dikenal di kalangan ulama dan

masyarakat Islam Indonesia. Maka dapat dikatakan, KHI merupakan norma

hukum antara yang ditetapkan oleh penguasa negara dan pandangan ulama.28

28
Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, ( Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,
1998 ), cet. Ke -2, h. 125
33

3. Poligami menurut PP No. 10 Tahun 1983.

Menurut pasal 10 PP No. 10 tahun 1983 pegawai negeri sipil pria yang

akan beristeri lebih dari seorang dan pegawai sipil wanita yang akan menjadi

isteri kedua, ketiga atau keempat dari seorang yang bukan pegawai negeri sipil

diharuskan memperoleh izin terlebih dahulu dari pejabat.29

Dan izin tersebut hanya dapat diberikan oleh pejabat, apabila memenuhi

sekurang–kurangnya salah satu syarat alternatif yaitu :

(1) Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri.

(2) Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.

(3) Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

Selain itu harus dipenuhinya ketiga syarat kumulatif, yaitu :

(1) Adanya persetujuan dari isteri/ isteri – isteri.

(2) Pegawai negeri pria yang bersangkutan mempunyai penghasilan yang cukup

untuk membiayai lebih dari seorang isteri dan anak–anaknya yang dibuktikan

dengan surat keterangan pajak penghasilan.

(3) Adanya jaminan tertulis dari pegawai negeri sipil yang bersangkutan, bahwa

ia akan berlaku adil terhadap isteri–isteri dan anak–anaknya.

Sedangkan bagi pegawai negeri sipil wanita yang akan menjadi isteri

kedua, ketiga atau keempat dari pria bukan pegawai negeri sipil syarat–syarat

kumulatif tersebut adalah :

29
Lihat Penjelasan Umum PP No. 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian
bagi Negeri Sipil
34

(1) Ada persetujuan tertulis dari isteri calon suami.

(2) Calon suami mempunyai penghasilan yang cukup untuk membiayai lebih dari

seorang isteri dan anak–anaknya yang dibuktikan dengan surat keterangan

pajak penghasilan.

(3) Adanya jaminan tertulis dari calon suami, bahwa ia akan berlaku adil terhadap

isteri–isteri dan anak–anaknya.2

2
Titik Triwulan Tutik, Poligami Perspektif Perikatan Nikah, ( Jakarta : Prestasi Pustaka,
2007 ), cet. 1. h. 133
BAB III

KONDISI OBJEKTIF MASYARAKAT SAWANGAN

A. Kondisi Objektif Masyarakat Sawangan

1. Kondisi Geografis

Kecamatan Sawangan merupakan salah satu dari kecamatan di

wilayah Kota depok. Adapun kondisi geografis Kecamatan sawangan adalah

sebagai berikut:

a. Tinggi Pusat Pemerintahan / Height of Central Government

Kec. sawangan dari permukaan tanah yang relatif datar dan

tidak berbukit- bukit : 60 m

b. Suhu Maksimum / Minimum

Max / Min Temperature : 30C / 20○ C

c. Batas Wilayah (Regional Boundary)

1) Sebelah Utara : Tangerang Banten & Kec. Limo

2) Sebelah Timur : Kec. Limo & Pancoran Mas

3) sebelah Selatan : Kabupaten Bogor

4) Kecamatan : Kecamatan Tangerang

Kecamatan Sawangan memiliki luas wilayah 4.674 Ha, merupakan

wilayah yang berupa perbukitan.

35
36

2. Kondisi Demografis

Dalam pemerintahan Kecamatan Sawangan dipimpin oleh satu orang

Camat yang dibantu oleh beberapa orang staf yang berjumlah 19 (sembilan

belas) orang di tingkat kecamatan, hal ini dapat di lihat dari tabel berikut:

Tabel 1
Pegawai Kantor Camat Menurut Pangkat / Golongan Ruang dan Jenis Kelamin
District Officers based on their Grade/ room type
Jabatan / Occupation Pangkat / Golongan / LAI- JML
No NYA
Grade / room type
I II III IV
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)
1 CAMAT - - - 1 - 1
SEKRETARIS CAMAT - - 1 - - 1
2
STAF SEKRETARIAT - 2 1 - - 3
KASIE PEMERINTAHAN - - 1 - - 1
3
STAF PEMERINTAHAN - - 1 - 1 2
KASIE DIKBUD - - 1 - - 1
4
STAF DIKBUD - 3 - - - 3
KASIE PEMBANGUNAN - - 1 - - 1
5
STAF PEMBANGUNAN - - 2 - - 2
KASIE KESOS - - 1 - - 1
6
STAF KESOS - - 2 - - 2
7 KASIE PEREKONOMIAN - - 1 - - 1
JUMLAH 0 5 12 1 1 19
Sumber Data: Kantor Camat Sawangan
37

Kecamatan sawangan memiliki 14 Desa / Kelurahan, yang terdiri dari 144

Rukun Warga (RW), dan 624 Rukun Tetangga (RT), sebagaimana dapat dilihat

pada tabel berikut:

Tabel 2
Rukun Warga, dan Rukun Tetangga
Amounts of Orchard, Administrative Society Unit and Neigbourhood Association
DESA/KELURAHAN
No RW RT
Village/Sub-District
(1) (2) (4) (5)
1 PASIR PUTIH 5 66
2 BEDAHAN 13 31
3 PENGASINAN 11 51
4 DUREN SERIBU 7 14
5 BOJONGSARI 6 22
6 CURUG 6 14
7 PONDOK PETIR 5 20
8 SERUA 9 40
9 CINANGKA 4 16
10 SAWANGAN 5 18
11 SAWANGAN BARU 5 30
12 KEDAUNG 6 9
13 BOJONGSARI BARU 7 11
14 DUREN MEKAR 8 32
JUMLAH 144 624
Sumber Data: Kantor Camat Sawangan

Wilayah Kecamatan Sawangan sama halnya dengan kecamatan lainnya,

sehingga tidak heran apabila tiap tahun jumlah penduduk di Kecamatan

Sawangan terus bertambah, begitu juga dengan pembangunan fisik pun kian

berkembang sebagaimana mengikuti arus perubahan dan perkembangan zaman.


38

3. Kondisi penduduk

Berdasarkan data statistik dari Kecamatan Sawangan seperti oleh sandi

sebagai berikut:

Tabel-3
Jumlah Penduduk dan Rasio Jenis Kelamin

Laki-Laki Rasio
DESA/KELURAHAN Laki- Perem Jenis
No +
Village/Sub-District Laki puan Kelamin
Permpuan
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
1 PASIR PUTIH 6.177 6.128 12.305 87.4
2 BEDAHAN 7.098 6.928 14.026 107.2
3 PENGASINAN 6.536 6.417 12.953 93.8
4 DUREN SERIBU 4.194 4.431 8.625 95.9
5 BOJONGSARI 5.009 5.220 10.229 97.1
6 CURUG 5.676 5.382 11.058 87.4
7 PONDOK PETIR 7.339 7.256 14.595 101.3
8 SERUA 4.388 4.178 8.556 95.4
9 CINANGKA 4.860 4.718 9.758 96.0
10 SAWANGAN 6.652 6.258 12.910 99.8
11 SAWANGAN BARU 5.512 5.535 11.047 99.2
12 KEDAUNG 5.896 5.641 11.537 98.7
13 BOJONGSARI BARU 4.091 4.589 8.680 101.4
14 DUREN MEKAR 5.519 5.600 11.119 90.5
JUMLAH 78.947 78.281 157.228 93.6
Sumber Data: Registrasi Penduduk

Berdasarkan data statistik yang bersumber dari data monografi kecamatan,

saat ini jumlah penduduk Kecamatan Sawangan berjumlah 157.228 jiwa. Dengan

jumlah Kepala Keluarga 43.383 jiwa. Dengan anggota keluarga rata-rata

berjumlah 6 (empat) orang.


39

Tabel-4
Penduduk Kecamatan sawangan Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin
Paciran District residents based on Group of age and gender
No Kelompok umur Laki-Laki Perempuan Laki-Laki +
Gorup of age Male female Perempuan
(1) (2) (3) (4) (5)
1 0–4 6.756 6.727 13.492
2 5–9 7.083 7.045 14.128
3 10 – 14 6.294 6.271 12.565
4 15 – 19 6.054 6.019 12.073
5 20 – 24 6.129 6.191 12.220
6 25 – 29 5.665 5.798 11.263
7 30 – 34 5.642 5.666 11.268
8 35 – 39 5.057 5.827 9.884
9 40 – 44 4.771 4.914 9.685
10 45 – 49 4.364 4.541 8.705
11 50 – 54 4.058 4.066 8.074
12 55 – 59 3.567 3.631 7.098
13 60 – 64 3.101 3.167 6.168
14 65 + 3.096 3.145 6.141
JUMLAH 71.644 73.008 142.764
Keterangan: Data primer dari Kecamatan Sawangan

Berdasarkan tabel di atas mengenai usia penduduk dan jenis kelamin

nampak, bahwa sebagian bersar penduduk berusia 20 tahun ke atas. Dengan Hal

ini jumlah laki-laki mencapai 63.44% dari jumlah 71.644 sedangkan jumlah

perempuan mencapai 64.30% dari jumlah 73.008. hal ini membuktikan bahwa

jumlah laki-laki lebih sedikit dari pada jumlah perempuan. Dari gambar di atas

menunjukkan bahwa penduduk Kecamatan Sawangan tersebut sudah termasuk

memasuki usia produktif. Usia ini juga menunjukkan kedewasaan (baligh)

mereka secara keagamaan dalam bahasa lain mereka juga disebut mukallaf,

sehingga mereka sudah harus mengetahui dan menjalankan syari’at agama Islam.
40

4. Kondisi Perekonomian

Berdasarkan dari buku laporan Pemerintahan Kecamatan Sawangan,

mengenai kondisi ekonomi dan mata pencaharian penduduk dapat kita lihat dalam

tabel di bawah ini:

Tabel-5
Banyaknya Keluarga Pertanian Menurut Sub Sektor
Number of agriculture family based on its sector
Desa/Kelurahan
No PETANI WIRASWASTA
Village/Sub-Disrict
(1) (2) (3) (4)
1 PASIR PUTIH 1.462 492
2 BEDAHAN 1.081 709
3 PENGASINAN 122 1.803
4 DUREN SERIBU 1.977 1.554
5 BOJONGSARI 399 1.842
6 CURUG 1.809 931
7 PONDOK PETIR 17 714
8 SERUA 1.349 1.577
9 CINANGKA 1.043 1.376
10 SAWANGAN 407 598
11 SAWANGAN BARU 1.434 1.898
12 KEDAUNG 288 1.492
13 BOJONGSARI BARU 744 1.924
14 DUREN MEKAR 3.469 4.179
Jumlah 15.565 21.089
Keterangan: Data primer dari Kecamatan Sawangan

Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa mayoritas penduduk

Kecamatan Sawangan bermata pencaharian sebagai petani berjumlah 15.565 jiwa,

hal ini karena letak Kecamatan Sawangan kondisi ekonomi penduduk juga

ditopang dari sektor wiraswasta berjumlah 21.089 jiwa, mengingat bahwa

penduduk Kecamatan Sawangan juga termasuk masyarakat ekonomi menengah.


41

5. Kondisi sosial keagamaan

Kecamatan Sawangan merupakan salah satu kecamatan yang agamis, hal

ini terlihat dari nuansa kehidupan masyarakatnya yang agamis. Hal ini tercermin

dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, kegiatan ritual kegamaan masyarakat

yang berupa pengajian, berbagai kegiatan rutinan, baik itu mingguan atau bulanan

berupa pembacaan surat yasin dan tahlil, dzibaan, thoriqoh dan kegiatan sosial

keagamaan lainnya.

Pembinaan bidang keagamaan di wilayah kecamatan ini dapat berjalan

dengan baik, karena ditopang oleh banyaknya tempat pendidikan, tempat ibadah

dan fasilitas lainnya yang cukup memadai.

Tabel-8
Banyaknya Tempat Ibadah
Number of Religious Places
No Desa/Kelurahan Masjid Musholla Majlis Jumlah
Village/Sub-Disrict Taklim
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
1 PASIR PUTIH 6 24 10 40
2 BEDAHAN 6 18 5 29
3 PENGASINAN 8 6 11 25
4 DUREN SERIBU 6 19 9 34
5 BOJONGSARI 5 19 7 31
6 CURUG 5 17 12 34
7 PONDOK PETIR 6 11 4 21
8 SERUA 6 20 11 37
9 CINANGKA 4 28 10 42
10 SAWANGAN 5 10 4 19
11 SAWANGAN BARU 6 12 2 20
12 KEDAUNG 3 12 8 23
13 BOJONGSARI BARU 5 22 4 31
14 DUREN MEKAR 5 21 14 30
JUMLAH 76 239 111 419
Keterangan: Data primer dari Kecamatan Sawangan
42

Dari tabel di atas dapat kita ketahui bahwa sarana tempat ibadah di

Kecamatan Sawangan berjumlah 419 buah, dengan rincian, Masjid 76 buah,

Musholla 239 buah, dan Majlis Taklim 111.

Adapun sarana pendidikan yang terdapat di Kecamatan Sawangan dapat di

ketahui dalam tabel di bawah ini:

Tabel-9
Banyaknya Sarana Pendidikan

No Desa/Kelurahan TK SD SL SL PT Pon
Village/Sub-Disrict TP TA Pes
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)
1 PASIR PUTIH 3 4 3 1 - 2
2 BEDAHAN 3 2 2 3 - 4
3 PENGASINAN 9 8 5 6 2 1
4 DUREN SERIBU 3 2 - - - -
5 BOJONGSARI 5 2 2 2 - 2
6 CURUG 1 2 1 1 - 3
7 PONDOK PETIR 3 2 1 1 - 1
8 SERUA 5 5 2 2 1 1
9 CINANGKA 1 2 - - 1 -
10 SAWANGAN 4 2 2 1 - 2
11 SAWANGAN BARU 1 2 1 1 - 4
12 KEDAUNG 2 2 1 - - -
13 BOJONGSARI BARU 2 2 1 - - 2
14 DUREN MEKAR 2 1 4 6 4
JUMLAH 49 46 26 20 4 26
Keterangan: Data primer dari Kecamatan Sawangan

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa saranan pendidikan di Kecamatan

Sawangan cukup memadai bagi perkembangan intlektual masyarakat. Sarana

pendidikan dari jenjang Taman Kanak-kanak berjumlah 49 buah, sampai

Perguruan Tinggi berjumlah 4 buah, juga tersedia. Begitu pula dengan keberadaan

26 buah Pondok Pesantren menunjukkan bagaimana pembinaan spiritual dan

sosial keagamaan di wilayah kecamatan tersebut.


43

B. Poligami pada Masyarakat Sawangan.

1. Pandangan tokoh masyarakat Sawangan terhadap poligami.

a. Pengaturan mengenai masalah poligami.

Dalam poin ini, dari ke 6 (enam) tokoh masyarakat sawangan 5

(lima) di antaranya perlu adanya suatu pengaturan dari pemerintah dalam

menghadapi permasalahan poligami, karena menurut mereka

permasalahan itu perlu dilakukan atau di tindak lanjuti undang-undang

yang berlaku. Sedangkan 1 (satu) tokoh masyarakat menyatakan bahwa

poligami suatu yang amat urgen, kalau sudah tidak ada jalan lain baru

boleh melakukannya. Karena menurutnya monogamilah yang sangat ideal

karena tidak setuju dengan poligami. Selanjutnya mengatakan bahwa

poligami harus dengan ilmu karena dengan alasan tidak mendzolimi

seorang istri dan paham dengan syarat-syarat yang telah ada dalam hukum

Islam dan hukum positif. Dan ada beberapa tokoh dengan alasan yang

mereka kemukakan, di antaranya :

K.H Mad Budi dan H. Mad Nuh Malik mengatakan bahwa

pengaturan perkawinan terhadap poligami yang dilakukan oleh pemerintah

terhadap warga negaranya. Selanjutnya K.H Damanhuri bahwa

perkawinan poligami itu harus diatur oleh pemerintah untuk menyamakan

persepsi, karena di Indonesia ada bermacam-macam agama dan aliran

kepercayaan, maka undang-undang perkawinan itu harus dibukukan.1

1
K.H Damnhuri, wawancara pribadi, pesantren Al-karimiyah sawangan baru 17 juli 2010.
44

KH. Anwar Hidayat SH mengatakan bahwa pengaturan

pemerintah terhadap masalah perkawinan warganya itu diperlukan untuk

melindungi rakyatnya.2 Sementara itu menurut KH. Edi Djunaedi bahwa

perlu juga pemerintah mengatur masalah perkawinan dalam poligami

karena mayoritas rakyatnya bergama Islam, maka pengaturan perkawinan

dalm berpoligami banyak diarahkan pada muatan-muatan Islam.3

b. Syarat poligami.

Para tokoh masyarakat sepakat bahwa melakukan berpoligami

dalam Islam itu harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh

hukum Islam.

Sementara itu H. Mad Nuh Malik mengatakan bahwa Poligami

sudah sangat jelas kedudukannya dalam hukum Islam. Bagi seorang suami

yang akan melakukan poligami harus memperhatikan dan memenuhi

syarat yang dinyatakan dalam Al-Qur’an, sebab bila ia tidak mampu

memenuhinya maka sang suami tidak berhak berpoligami. 4

Selanjutnya K.H Mad Budi menambahkan bahwa Islam mengijinkan

seorang laki mengawini seorang perempuan lebih dari satu ( hingga empat ).

Namun, hal itu dapat dilakukan oleh suami bila ia telah memenuhi syarat yang

telah ditentukan oleh hukum Islam. Apabila syarat belum terpenuhi maka ia

2
KH. Anwar Hidayat SH,wawancara pribadi, pesantren Darul Ulum Sawangan 25 Juli 2010.
3
KH. Edi Djunaedi, wawancara pribadi, pesantren Ulumul Qur’an Duren Mekar ( Sawangan
) 18 Juli 2010.
4
H. Mad Nuh Malik, wawancra pribadi. Ulama Pondok petir (Sawangan) 10 Juli 2010.
45

harus merenungkan niatnya. Sebenarnya poligami adalah solusi dalam hukum

Islam dan upaya mengangkat derajat kaum wanita.5

K.H. Damanhuri yang mempunyai istri lebih dari satu, mengatakan

bahwa poligami itu boleh asal kita bisa berbuat adil dan mencari banyak

keturunan. Sehingga jelas yang dinyatakan dalam Al-Qur’an. Dan tujuan dari

poligami melestarikan keturunan, nilai sosial dan sunnah (dari sisi bilangan).6

Sementara itu menurut KH. Edi Junaedi bahwa perlu juga pemerintah

mengatur masalah perkawinan ( poligami ) karena mayoritas rakyatnya

beragama Islam, maka pengaturan perkawinannya banyak diarahkan pada

muatan-muatan Islam.7

Sebagaimana yang dikatakan oleh KH. Anwar Hidayat SH bahwa

syarat poligami harus sesuai dengan tuntunan agama karena kebenaran agama

itu mutlak, dan wajib kita yakini.8 Adapun syarat-syarat poligami dalam Islam

adalah sebagai berikut:

a. Bila seorang lelaki yang telah beristri, masih akan terjadi penyelewengan

kepada perempuan lain.

b. Bila istri mandul, sedang ia tidak rela diceraikan.

5
KH. Mad Budi, wawancara pribadi. Pondok pesantren Darutafsir Alhusaini Duren Mekar
(Sawangan) 13 Juli 2010.
6
K.H Damanhuri, wawancara pribadi. Pondok pesantren Al-karimiyah Sawangan Baru 17
Juli 2010.
7
K.H Edi Djunaedi, wawancara pribadi, pondok pesantren Ulumul Qur’an Duren Mekar 18
Juli 2010.
8
K.H Anwar Hidayat SH, wawancara pribadi. Pesantren Darul Ulum (Sawangan) 25 Juli
2010.
46

c. Bila seorang istri sakit berkepanjangan

d. Jika jumlah wanita lebih banyak dari pada pria.

C. Pengaruh Poligami

1. Pengaruh poligami terhadap ekonomi

Bahwa ekonomi juga sangat perlu dalam kebutuhan keluarga bahkan

semua orang membutuhkannya. Hal ini dapat dilihat dari beberapa para tokoh

yang berpendapat tentang pengaruh poligami terhadap ekonomi, adapun

tersebut diantaranya:

a. Hartanya terbagi-bagi. Hal ini diungkapkan oleh K.H Mad Budi bahwa

“pengaruh poligami terhadap ekonomi adalah hartanya terbagi-bagi,

gajinya terbagi-bagi di antara para istri sedangkan dari bapak ke anak

terasa kurang, bahkan mereka terlantar”.

b. Bentuk kemapanan, H. Bahrudin mengatakan bahwa poligami adalah

suatu kemapanan seorang suami sehingga dengan poligami suami yang

mapan bisa berbagi rata dalam bentuk materi yang di berikan.

Hal senada juga dikemukakan KH. Damanhuri, yang mengatakan “

bahwa poligami adalah bentuk kemampuan seorang suami. Suami yang

berpoligami harus mempunyai power sehingga segala kebutuhan pasti

terjamin, karena faktor utamanya dalam berpoligami adalah kemapanan

ekonomi.
47

Karena syarat poligami atau kemapanan ekonomi di lihat dari

beberapa tokoh masyarakat sawangan mengatakan, di antaranya :

a. Menurut H. Mad Nuh Malik mengtakan “bahwa poligami adalah harus

berdasarkan ekonomi karena memenuhi kebutuhan untuk keluarganya.

b. Menurut K.H Edi djunaedi mengatakan “bahwa poligami adalah seseorang

yang mempunyai banyak harta sehingga mampu memberikan nafkah

dengan adil.

c. Menurut K.H Anwar Hidayat SH mengatakan “bahwa poligami adalah

mampu memberikan mahar ( mas kawin ) yang berlaku seumur hidup,

atau mampu berbuat adil kepada setiap istri dan anaknya.

2. Pengaruh Poligami terhadap kejiwaan Anak

Poligami berpengaruh terhadap kejiwaan anak, karena anak kurang

mendapatkan pengasuhan orang tuanya sehingga mereka tidak dekat kepada

seorang bapak yang berpoligami. Hal ini ditegaskan oleh beberapa para tokoh

masyarakat yang berpendapat tentang pengaruh poligami terhadap kejiwaan

anak. Adapun pendapat tersebut di antaranya adalah:

a. Anak kurang diperhatikan., menurut K.H Mad Budi mengatakan bahwa

dampak bagi kejiwaan seorang anak adalah anak merasa kurang

diperhatikan, merasa kurang mendapatkan kasih sayang dari bapaknya,

atau merasa tidak dekat dengan ayahnya. Di samping itu, poligami

membawa beban psikologis anak terhadap lingkungan atau teman –


48

temannya, karena mereka terbebani oleh perkataan teman-temannya yang

mengatakan bahwa bapaknya tukang kawin ( berpoligami ).

b. Membuka peluang anak menjadi nakal dan tidak terurus. Menurut H. Mad

Nuh Malik mencontohkan sebuah kasus, bahwa ada seorang mempunyai

banyak anak di mana-mana dari hasil berpoligami keluarga tersebut dari

laki-laki yang berpoligami hanya terpenuhi kebutuhan ekonomi saja tetapi

tidak mendapat perhatian yang lebih dekat dari seorang ayah.9

c. Anak akan merasa dirinya tidak memiliki kebebasan di dalam lingkungan

sosial pergaulan, karena jiwanya merasa terbebani atas perbuatan orang

tuanya berpoligami. Hal ini dikemukakan oleh K.H Damanhuri.

d. Anak merasa tidak diperhatikan atau kurang mendapat kasih sayang yang

dahulu di rasakan sebelum berpoligami. Hal ini dikemukakan oleh K.H.

Edi Junaedi.

e. Anak tidak hormat kepada bapaknya sehinggga anak sekehendak hatinya

melakukan perbuatan yang tidak baik seperti melakukan ketidak sopanan,

membangkang dan karena bapak menyakiti ibunya, anak bisa saja

memusuhi bapaknya. Hal ini dikemukakan oleh H. Bahrudin.

f. Anak akan merasa dirinya tidak memiliki kebebasan di dalam lingkungan

sosial pergaulan, karena jiwanya merasa terbebani atas perbuatan orang

tuanya berpoligami. Menurut K.H Damanhuri.

9
H, Mad Nuh malik, wawancara pribadi. Ulama Pondok petir (Sawangan) 15 Juli 2010.
49

Melihat paparan beberapa pendapat di atas, menurut tokoh masyarakat

sawangan pada dasarnya poligami itu boleh dilakukan dengan catatan:

a. Harus mapan dari segi ekonomi

b. Dapat berlaku Adil

c. Mendapat ijin dari istri

2. Faktor-faktor pendukung Poligami di Kecamatan Sawangan

Setelah penulis wawancara kepada tokoh Masyarakat Banyaknya

pelaku poligami pada umumnya, dan penulis dapat mengklasifikasikan ada

berbagai macam faktor :

a. Faktor Internal, dalam hal ini seperti istri yang tidak dapat memberikan

kepuasaan terhadap suami atau karena istri tidak bergairah lagi dalam hal

sek sementara suami mempunyai libido yang tinggi. Istri yang

membangkang pada suami, sehingga tidak terciptanya keharmonisan

dalam rumah tangga, istri mandul atau tidak bisa memberikan keturunan.

b. Faktor pendidikan, dalam melihat latar belakang tingkat pendidikan orang

yang melakukan poligami rendah sehingga mudah untuk memutuskan

menikah lagi jika mereka sudah merasa mampu untuk memberi nafkah

lebih dari satu istri.

c. Faktor ekonomi, dalam faktor ini hanya segelintir orang yang mempunyai

kedudukan yang berbeda di masyarakat. Yang dianggap sebagai orang

yang mampu dalam hal materi atau ekonomi, sehingga mereka mau

melakukan tindakan poligami untuk tujuan yang bernilai positif.


50

d. Faktor pergaulan, dalam lingkungan pergaulan poligami akan

memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap orang-orang yang

belum hidup berpoligami sehingga terdorong hatinya untuk melakukan di

karenakan dari segi faktor ekonomi sudah cukup.


BAB IV

ANALISIS PANDANGAN TOKOH MASYARAKAT SAWANGAN

TENTANG POLIGAMI

A. Analisis menurut Hukum Islam

Berdasarkan pandangan dari ke-6 tokoh masyarakat sawangan dalam

menyikapi poligami terhadap hukum Islam. 5 di antaranya tokoh masyarakat

tersebut mengatakan, bahwa poligami dalam hukum Islam sangat jelas

kedudukannya. Poligami harus memperhatikan dan memenuhi syarat-syarat

dalam hukum Islam, yang dinyatakan dalam Al-Qur’an surat an-Nisa di awal

yaitu pada ayat ke 3:3

(& : &/) 


          !" #…
Artinya : ".... maka kawinilah wanita – wanita (lain) yang kamu senangi,
satu, dua, tiga, atau empat." (QS. an Nisa/3: 3)

Menurut tokoh masyarakat, ayat ini adalah syarat-syarat dalam

berpoligami. Hal ini membuktikan bahwa hukum Islam membolehkan seorang

laki-laki beristri lebih dari satu asalkan memenuhi syarat yang ditentukan dalam

hukum Islam. Menurut KH. Mad Budi, jika syarat dalam hukum Islam tidak

terpenuhi maka poligami harus diurungkan oleh seorang laki-laki, sebagaimana

yang dijelaskan dalam ayat lain An-Nisa (4:129) yang berbunyi :

51
52

È≅øŠyϑø9$# ¨≅à2 (#θè=ŠÏϑs? Ÿξsù ( öΝçFô¹t ym öθs9uρ Ï!$|¡ÏiΨ9$# t÷t/ (#θä9ω÷ès? βr& (#þθãè‹ÏÜtFó¡n@ s9uρ

$VϑŠÏm§‘ #Y‘θàxî tβ%x. ©!$#  χÎ*sù (#θà)−Gs?uρ (#θßsÎ=óÁè? βÎ)uρ 4 Ïπs)¯=yèßϑø9$$x. $yδρâ‘x‹tGsù

(*+, :)/)
Artinya: Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-
isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena itu
janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga
kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan
perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. An-Nisa’/4: 129)

KH. Damanhuri menjelaskan hukum poligami dari segi keadilan. Dalam

hal ini adil bukannya berarti memberikan materi yang cukup saja tetapi adil yang

bersipat substansial, artinya adil memberikan nafkah bathin serta adil dalam

persamaan kaum wanita yang dinikahinya.

Jika hukum Islam tidak terpenuhi dalam keadilan berpoligami dan hanya

dimotifasi oleh kebutuhan biologis laki-laki maka semakin mendekati keharaman

yang nyata.

Selain ayat di atas yang menggambarkan hukum poligami berdasarkan

hukum Islam, ditegaskan pula berdasarkan ushul fiqh, bahwa poligami dibolehkan

namun poligami tidak harus dijadikan suatu kewajiban. Sebagian jumhur ulama

berpendapat bahwa poligami hanya pada empat wanita saja atau sesuai dengan

ketentuan Al-Qur’an dan Hadis.

Para ulama sepakat dengan dibolehkannya berpoligami, namun tidak

menjadikan poligami sebagai suatu kewajiban bagi kaum muslimin. Adapun


53

perselisihan yang terjadi di antara mereka hanyalah jumlah bilangan poligami itu

sendiri, Jumhur ulama berbeda pendapat, kebolehan berpoligami hanya kepada

empat wanita saja.

Menurut Imam Hanafi dan Imam Syafi’i di dalam kitab Bidayatul

Mujtahid bahwa tidak boleh menikahi wanita lebih dari empat wanita dalam

waktu yang bersamaan.1 Imam Malik berpendapat bahwa seseorang abdun boleh

menikahi empat wanita dalam satu waktu, dan beliau menukil dalam kitab al

Muwatha, bahwa Ghailan bin Salman memeluk Islam sedang ia mempunyai

sepuluh isteri. Maka Rasulullah, bersabda :

(9 :; <) -./!01 234 # 562 7 -82! 292 7


Artinya: “Peliharalah empat orang isteri diantara mereka dan bebaskanlah
(ceraikan) yang lainnya”. (H.R. Imam Malik dalam kitab al
Muwatha).2 Pendapat ini didukung oleh Ahlu Zhahir (pengikut Imam
Daud ad Dhahiri).

Sedangkan dalil dari sunnah sebagaimana dalam riwayat hadis yang

menjelaskan ketika Ghailan bin salamah Ats-Tsaqafi masuk Islam dalam keadaan

beristri sepuluh orang yang ia nikahi di masa jahiliyah (sebelum masuk islam),

mereka semua masuk Islam bersamanya, maka Rasulallah saw memerintahkannya

untuk memilih empat di antara mereka.

1
Ibnu Rusyd, al Mujtahid, Bidayatul, (Beirut : Darul fikr, tt), cet. Ke-1, jilid, 11 h. 31
2
Imam Malik, al Muwatha, Muhammad Fuad Abd. al Baqi- kitab al shib, Kairo. tt
54

F G/.H F /@6  => /E6?  =@A  => B>  CD  =>


I J KL# M" /NF JOP Q@R1 S BT R1 KU /@F  F B1
(J?  <) V 8 WX R1 JBRF Y RZ
Artinya: “ kami diberitahukan oleh yahya Ibn Hakim, kami diberitahukan oleh
Muhammad ibn Ja’far, kami diberitahukan oleh Mu’amar dari al-
Zuhri dari salim dari Ibn Umar berkata: Ghilan ibn Salamah masuk
islam dan ia memiliki 10 istri, maka nabi bersabda : Ambilah diantara
mereka empat orang”. ( H.R. Ibnu Majah )

Sedangkan dalil dari ijma ialah kesepakatan kaum muslimin tentang

kehalalan poligami baik melalui ucapan atau perbuatan mereka sejak masa

Rasulallah saw sampai hari ini. Para sahabat utama Nabi melakukan poligami

seperti umar bin Khattab, ali bin Abi Thalib, Muawiyah bin Abi sufyan, dan

Muaz bin Jabal r.a.

Poligami dilakukan juga oleh ahli fiqih tabi’in, mereka mengakui orang

yang menikah lebih dari satu istri, dinamakan poligami. Kesimpulannya bahwa

generasi salaf (terdahulu) dan khalaf (kini) dari ummat islam telah bersepakat

melalui ucapan dan perbuatan mereka bahwa poligami itu halal.

Pandangan normatif al-Qur’an yang selanjutnya diadopsi oleh ulama-

ulama fiqih setidaknya menjelaskan dua persyaratan yang harus dimiliki oleh

suami; pertama, seorang lelaki yang ingin berpoligami harus memiliki

kemampuan dana yang cukup untuk membiayai berbagai keperluan dengan


55

bertambahnya istri yang dinikahi. Kedua, seorang lelaki harus memperlakukan

semua istrinya dengan adil.

Abdurahman al-Jaziri di dalam kitabnya menulis bahwa mempersamakan

hak atas kebutuhan seksual dan kewajiban bagi orang-orang yang berpoligami

karena sebagai manusia wajar tertarik pada salah seorang istrinya melebihi yang

lain dan hal yang semacam ini merupakan sesuatu yang berada di luar batas

kontrol manusia.

Sedangkan terdapat 1 (satu) tokoh masyarakat yang mempunyai

pandangan lain terhadap poligami tersebut karena poligami merupakan jalan

darurat (emergency exit), kalau sudah tidak ada jalan baru boleh melakukannya.

Dan poligami harus dengan ilmu karena dengan alasan tidak mendzolimi seorang

istri dan paham dengan syarat-syarat yang telah ada di dalam hukum Islam dan

hukum positif. Pandangan tersebut sesuai dengan surat an-Nisa :

(#θä9θãès? ωr& #’oΤ÷Šr& y7Ï9≡sŒ 4 öΝä3ãΨ≈yϑ÷ƒr& ôMs3n=tΒ $tΒ ÷ρr& ¸οy‰Ïn≡uθsù (#θä9ω÷ès? ωr& óΟçFøÅz ÷βÎ*sù ...
(& :)/)
Artinya : “... kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil. Maka
(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang
demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. Q.s..
An-Nisa: 3).
56

B. Analisa menurut Hukum Positif

Berdasarkan analisa, hukum positif memandang pendapat tokoh

masyarakat mengenai poligami adalah suatu yang positif dan baik, karena

pandangan tokoh masyarakat sawangan telah sesuai, sebagaimana yang tersirat

dalam undang-undang hukum positif.

Sebagaimana hukum positif mengenai prosedur tatacara poligami dalam

perundang-undang perkawinan No.1 Tahun 1974 dan Kompilsai Hukum Islam

(KHI ).

1. Menurut pasal 3-4 UU No 1 Tahun 1974 adalah mengenai kebolehan

poligami telah mengatur walau terbatas hanya sampai empat (4) istri.

2. Menurut pasal 55-57 KHI, poligami dibolehkan.

3. Menurut pasal 55-59, mengenai syarat-syarat utama berpoligami.

4. Menurut pasal 5 UU No 1 Th 1974, mengenai kepastian bahwa suami mampu

menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anaknya.

Hal tersebut di atas sesuai dengan persepsi tokoh masyarakat sawangan

salah satunya adalah pendapat KH. Mad Budi S.Ag bahwa poligami itu

diperbolehkan apabila telah memenuhi syarat yang ditentukan dalam hukum

positif.

Jadi, menurut hukum positif pendapat tokoh masyarakat sawangan

mengenai poligami, sudah sesuai dengan aturan yang berlaku dalam suatu

perundang-undang perkawinan dalam berpoligami, dan tidak ada satu pun dari

tokoh masyarakat yang bertentangan dari hukum positif.


BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah penulis menguraikan dan memaparkan data hasil penelitian

pandangan tokoh masyarakat Kecamatan Sawangan terhadap poligami, maka

sekiranya penulis mengambil kesimpulan beberapa point, yaitu:

1. Dari 5 (80%), 6 tokoh masyarakat menyatakan bahwa, poligami harus

memperhatikan dan memenuhi syarat-syarat dalam hukum Islam. Sedangkan

satu orang (20%) tokoh masyarakat mempunyai pandangan lain mengenai

poligami, karena poligami suatu yang boleh dilakukan dalam kondisi darurat

(emergency exit), yaitu dilakukan kalau sudah tidak ada jalan lain.

2. Menurut hukum positif pendapat tokoh masyarakat sawangan mengenai

poligami, sudah sesuai dengan aturan yang berlaku dalam suatu perundang-

undang perkawinan, dan tidak ada satu pun dari tokoh masyarakat yang

bertentangan dari hukum positif.

B. Saran-saran

1. Hendaknya seseorang suami memeliki pengetahuan dan wawasan yang luas

dalam masalah perkawinan dan kehidupan suami istri, khususnya dalam etika

poligami dan cara berlaku adil sebelum melakukan peraktek poligami,

57
58

apabila di era sekarang ini banyak poligami yang melanggar terhadap

ketentuan poligami dan tidak memikirkan aplikasinya.

2. Ada baiknya poligami di hindari untuk menghindari konflik atau problem-

problem yang muncul, terutama bagi mereka yang merasa tidak mampu untuk

berbuat adil terhadap istri-istrinya dengan munculnya berbagai masalah yang

dapat mengusik ketenangan batinnya.

3. Bagi peneliti yang berminat menekuni isu poligami, sebaiknya dapat memila

dan memilih dampak negatif dan positifnya dari prilaku poligami, sehingga

dapat mengambil sebuah keputusan yang objektif bertendensi pada keadilan.


DAFTAR PUSTAKA

Al ‘Atthar, Abdul Nasir Taufiq. Poligami ditinjau dari Segi Agama, Sosial dan
Perundang – undangan. Jakarta : Bulan Bintang, 1976, cet. 1

Al Jahrani, Musfir. Poligami dari Berbagai Persepsi. Jakarta : Gema Insani Press,
1996

As Siba’I, Musthafa. Wanita diantara Hukum Islam dan Perundang – undangan.


Jakarta : Bulan Bintang, 1977, cet. 1

As-Sanan, Arij Abdurrahman. Memahami Keadilan dalam Poligami. Jakarta : PT.


Global Media Cipra Publishing, 2003

Dagun, Save M., Kamus Besar Ilmu Pengetahuan. Jakarta : LPKN, 1997

Gusmian, Islah. Mengapa Nabi Muhammad Berpoligami. Yogyakarta : Pustaka


Marwa, 2007, cet 1

Haikal, Abduttawab. Rahasia Perkawinan Rasullallah SAW, Poligami dalam Islam


Vs Monogami Barat. Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya, 1993, cet. 1

Hakim, Rahmat. Hukum Perkawinan Islam. Bandung : Pustaka Setia, 2000, cet. 1.

Ibnu Rusyd, al Mujtahid, Bidayatul, Beirut : Darul fikr, tt, cet. Ke-1, jilid, 11

Jaiz, Hartono Ahmad. Wanita antara Jodoh, Poligami dan Perselingkuhan. Jakarta :
Pustaka Al-Kautsar, 2007, cet. 1

Kamus Besar Bahasa Indonesia. Depdikbud, Jakarta : Balai Pustaka, 1996, Cet. ke- 7

Malik, Imam, al Muwatha, Muhammad Fuad Abd. al Baqi- kitab al shib, Kairo. Tt

Mulia, Musdah. Islam Menggugat Poligami. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2007

____________. Pandangan Islam tentang Poligami. Jakarta : Lembaga Kajian


Agama dan Gender, 1999, cet. 1

Tatapangarsa, Humaidi. Hakekat Poligami dalam Islam. t.t., Usaha Nasional, t.th

Thib, Sayuti. Hukum Kekeluargaan Indonesia. Jakarta : Bina Aksara, 1981

Tim Redaksi Fokusmedia, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Tentang


Perkawinan, Bandung: Fokus Media, 2005, cet. ke-1

59
60

Titik Triwulan, Poligami Prespektif Perikatan Nikah, Jakarta : Prestasi Pustaka Raya,
2007

Tutik, Titik Triwulan. Poligami Perspektif Perikatan Nikah. Jakarta : Prestasi


Pustaka, 2007, cet. 1
PANDANGAN TOKOH MASYARAKAT
KECAMATAN SAWANGAN KOTA DEPOK
TERHADAP POLIGAMI

Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh :

SYARIF HIDAYATULLAH
NIM : 103044128052

KONSENTRASI PERADILAN AGAMA


PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432 H / 2011 M
PANDANGAN TOKOH MASYARAKAT
KECAMATAN SAWANGAN KOTA DEPOK
TERHADAP POLIGAMI

Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh :

SYARIF HIDAYATULLAH
NIM : 103044128052

Dibawan bimbingan :

Pembimbing I Pembimbing II

Dewi Sukarti, MA Rosdiana, MA


NIP. 19720817 200112 2 001 NIP. 196906102003122001

KONSENTRASI PERADILAN AGAMA


PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432 H / 2011 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi yang berjudul PANDANGAN TOKOH MASYARAKAT KECAMATAN


SAWANGAN KOTA DEPOK TERHADAP POLIGAMI telah diujikan dalam
sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
pada tanggal 24 Mei 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyah
(Peradilan Agama ).

Jakarta, 21 Juni 2011


Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum

Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH, MA, MM


NIP. 195505051982031012

Panitia Ujian Munaqasyah

Ketua : Drs. H. A. Basiq Dalil, SH.,MH., ( )


NIP. 19500306 197603 1001

Sekretaris : Hj. Rosdiana. MA., ( )


NIP. 196906 102003122001

Pembimbing I : Dewi Sukarti. MA., ( )


NIP. 197208172001122001

Pembimbing II: Hj. Rosdiana. MA., ( )


NIP. 196906102003122001

Penguji I : Prof. Dr. H. M. Amin Suma. SH. MA. MM., ( )


NIP. 195505051982031012

Penguji II : Dr. Asmawi. M.Ag., ( )


NIP. 197210101997031008
‫بسم اهلل الرمحن الرحيم‬
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, untaian syukur yang tak terhingga Penulis memanjatkan ke


hadirat Rabb Yang Maha Ghafur Allah SWT, karena atas ridha dan inayahnya penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga tercurah ke haribaan
junjungan kita Nabi Muhammad SAW, karena atas tauladannya, penulis dapat
melewati masa-masa tersulit dalam penulisan skripsi ini.\
Selama masa perkuliahan hingga tahap akhir penyusunan skripsi ini, banyak
pihak yang telah memberikan bantuan dan motivasi kepada penulis.oleh karena itu,
dalam tulisan ini penulis ingin mengungkapkan rasa terima kasih dan penghargaan
yang setinggi-tingginya kepada :
1. Bapak Prif. Dr. H. M. Amin Suma, SH., MA., MM., selaku Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum. Dan Dosen Pembimbing skripsi Ibu Dewi Sukarti MA.,
dan Ibu Rosdiana MA., yang tanpa lelah meluangkan waktu untuk
memberikan bimbingan dan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini.
2. Bapak Drs.H. A. Basiq Djalil, SH., MH., dan ibu Rosdiana MA., selaku ketua
Jurusan dan Sekretaris Jurusan Akhwal Syakhsiyyah yang senantiasa
memotivasi penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini.
3. Ibunda Hj. Awinah dan Ayahanda H. Encep, kedua orang tua tercinta yang
telah memberikan cinta dan kasih sayangnya, hingga ananda dapat meraih
ilmu yang bermanfaat. Kasihmu tak lupa sepanjang hayat.

i
4. Kakanda Drs. Mubarok, Saiful Anwar beserta seluruh keluarga besar H.
Encep bin Antek Bin Kaiyan, yang senantiasa memberikan dukungan moril
maupun materil kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
5. Bapak H. Ismed Iriandi SH., MH., sekeluarga, yang telah memberikan
perhatian dan kasih sayang serta motivasi kepada penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
6. Teman-teman seperjuangan Ahwal Al-Syakhsiyah yang telah banyak
membantu serta bertukar pikiran baik selama belajar hingga detik-detik
wisuda.
7. Hamba Allah, yang telah banyak berkorban untuk penulis dalam
penyempurnaan skripsi ini baik moril maupun materiil, sehingga penulis
termotivaasi untuk merampungkannya. Jazakillah khairan katsiran, mata’ana
Allah fii hayatiik. Semoga Allah mencatatnya sebagai amal ibadah dan dibalas
dengan ganjaran pahala yang berlipat ganda.
8. Tak terlupakan, terima kasih kepada semua pihak yang turut membantu dalam
kelancaran penulis skripsi ini yang penulis tidak bisa menyebutkan satu
persatu.
Semoga segala kebaikan dan sumbangsihnya dicatat oleh Allah SWT sebagai
investasi amal untuk bakal di hari akhir nanti. Amin Ya Rabbal’alamin.

Jakarta, 27 Rajab 1432 H


29 Juni 2011 M

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i

DAFTAR ISI ............................................................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah .............................................................. 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah ................................................... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................... 9

D. Metode Penelitian........................................................................ 10

E. Sistematika Penulisan ................................................................. 11

BAB II KERANGKA TEORITIS TENTANG POLIGAMI

A. Pengertian Poligami .................................................................... 12

B. Poligami Menurut Hukum Islam ................................................. 18

C. Poligami Menurut Hukum Positif ............................................... 26

BAB III KONDISI OBJEKTIF MASYARAKAT SAWANGAN

A. Kondisi Objektif Masyarakat Sawangan ..................................... 35

1. Kondisi Geografis ................................................................. 35

2. Kondisi Demografis .............................................................. 36

3. Kondisi Penduduk ................................................................. 38

4. Kondisi Perekonomian .......................................................... 40

5. Kondisi Sosial Keagamaan ................................................... 41

iii
B. Poligami pada masyarakat sawangan .......................................... 43

1. Pandangan tokoh masyarakat Sawangan terhadap Poligami 43

2. Faktor–faktor pendukung Poligami di Kecamatan

Sawangan .............................................................................. 49

BAB IV ANALISIS PANDANGAN TOKOH MASYARAKAT

SAWANGAN TENTANG POLIGAMI

A. Analisis menurut Hukum Islam .................................................. 51

B. Analisis menurut Hukum Positif ................................................. 56

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ................................................................................. 57

B. Saran – Saran............................................................................... 57

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 59

iv
LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri

(UIN) Syarif Hidayatullah.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima

sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Jakarta.

Jakarta, 21 Juni 2011

Syarif Hidayatullah
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan

perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah

tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang maha Esa.1

Secara realita perkawinan adalah bertemunya dua mahluk lawan jenis

yang mempunyai kepentingan dan pandangan hidup yang sejalan.2 Sedangkan

tujuan perkawinan itu adalah supaya manusia mampunyai kehidupan yang

bahagia dunia dan akherat, atau dengan kata lain perkawinan bertujuan untuk

mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan warohmah.

Seiring dengan tujuan tersebut maka dapat di artikan juga agar perkawinan

menjadi kekal dan abadi sehingga tidak putus begitu saja. Ini juga mengandung

pengertian bahwa pernikahan adalah akad suci yang mengandung serangkai

perjanjian diantara dua belah pihak,yakni suami dan istri. Maka kedamaian kedua

istri sangat bergantung pada pemenuhan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian

tersebut.

1
Tim Redaksi Fokusmedia, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Tentang
Perkawinan, (Bandung: Fokus Media, 2005), cet. ke-1, hal. 1.
2
Titik Triwulan Tutik , Poligami Prespektif Perikatan Nikah, (Jakarta : Prestasi Pustaka Raya,
2007) cet, h. 4.

1
2

Bahkan menyebut pernikahan itu sebagai mitsaqqan ghalizan (perjanjian

yang kokoh), seperti termaktub pada ayat tersebut:

 
      ! "# #$ %
 &" '"() *+
(34 :1/-./)
Artinya : “Bagaimana kamu akan mengambil mahar yang telah kamu berikan
pada isterimu padahal kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang
lain sebagai suami isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah
mengambil perjanjian yang kuat”. (QS. an Nisa/3 : 21)

Di antara musafir menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan perjanjian

yang kokoh adalah perjanjian yang telah diambil Allah dari para suami. Sesuai

dengan bunyi surat Al-Baqarah ayat 231:

67"89 :;"<="> 8? 67"89 :;"<=@. ($ :;"AB ;CD$ E-F. / ""GHIJ /K!
(314 :3/L8HD/)

Artinya: “Apabila menalak istri-istrimu,lalu mereka mendekkati akhir


iddahnya,maka rujukilah mereka dengan cara yang baik, atau
ceraikan dengan yang baik pula” ( Qs.Al-Baqarah/2 : 231).

Salah satu bentuk perkawinan yang sering diperbincangkan dalam

masyarakat adalah poligami. Persoalan poligami bukanlah fenomena yang baru,

ini dapat di lihat bagaimana pernikahan semacam ini dilakukan oleh banyak

kalangan dari waktu ke waktu meskipun sering kali menimbulkan kontroversi dari

berbagai pihak dengan alasan merugikan kaum perempuan.


3

Yang dibutuhkan sekarang adalah usaha mencerdaskan perempuan-

perempuan dan menyadarkan mereka tentang hak mereka. Karena selama ini yang

selalu dimunculkan dalam wacana poligami adalah perempuan harus bahkan

wajib menerima atau mengizinkan bila suami minta izin untuk beristri lagi,

dengan alasan menjalankan syariat islam, tunduk kepada perintah Allah.

Rumah tangga merupakan lembaga masyarakat terkecil yang menjadi

dasar terbentuknya masyarakat yang lebih besar. Ketentraman dan keserasian

masyarakat sangat besar ditentukan oleh ketentraman dan keserasian masyarakat

kacil tersebut. Banyak unsur yang menimbulkan rasa cinta kasih diantara dua

orang manusia, terutama suami dan istri, namun yang paling menonjol adalah

sikap dan tindakan yang melahirkan rasa keadilan. Untuk dapat berlaku adil

diperlukan pertimbangan yang matang dengan melihat seluruh aspek yang

mungkin mempengaruhi rasa keadilan itu.

Sebelum membahas lebih lanjut mengenai poligami, berikut ini akan

dijelaskan terlabih dahulu sepintas tentang poligami. Poligami adalah ikatan

perkawinan yang salah satu pihak (suami) mengawini beberapa istri dalam satu

waktu yang bersamaan. Islam membolehkan pernikahan dengan lebih dari satu

orang wanita atau satu orang laki-laki untuk lebih dari seorang wanita (poligami),

hal ini sebagaimana tercantum didalam surat Annisa Ayat 3 :

(1 : 1/-./) O"P QRS   @-F. / ;  MJ /="N'$….


Artinya : “......maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi,
satu,dua,tiga, atau empat.” (Qs. An-Nisa/3:3).
4

Cukup logis Islam menetapkan berbagai ketentuan untuk mengatur ikatan

antara laki-laki dan perempuan yaitu dalam bentuk pernikahan, sehingga dengan

kedua belah pihak, suami istri dapat memperoleh kedamaian, kecintaan,

keamanan dan ikatan kekerabatan. Unsur-unsur ini sangat diperlukan untuk

mencapai tujuan perkawinan yang paling besar yaitu Ibadah kepada Allah SWT.

Pada prinsipnya perkawinan menurut hukum Islam dan Undang-undang

perkawinan tahun 1974 adalah monogami, sedangkan poligami hanya

pengecualian saja. Hukum Islam mengatur kehadiran poligami sebagai hal yang

mubah, namun demikian dalam pelaksanaan poligami tersebut harus dibarengi

dengan keadilan terhadap para istri dan penuh dengan tanggung jawab. Apabila

tidak dibarengi dengan rasa kesdilan tidak menutup kemungkinan akan membawa

dampak negatif bagi orang yang melakukan poligami.

Dalam undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan telah

mengatur secara khusus tentang perkawinan, perceraian dan hal-hal yang

berkaitan dengan keduanya, telah mengakomodasi kepentingan tersebut,

sebagaimana yang tertuang dalam enam azas yang prinsipil.3 Dalam salah satu

azasnya disebutkan bahwa untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal,

maka suami hanya dibolehkan memiliki seorang istri dalam satu waktu. Prinsip

ini lebih dikenal dengan azas monogami.

3
Enam azas yang dianut dalam UU NO. 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN
meliputi : (1) azas tujuan perkawinan, (2) azas syahnya perkawinan, (3) azas monogamy, (4) azas
kematangan jiwa dan raga, (5) azas perceraian dipersulit, dan (6) azas keseimbangan hak dan
kedudukan suami isteri dalam membina rumah tangga.
5

Hukum Islam mengatur kehadiran poligami sebagai hal yang mubah,

namun hanya demikian apabila di kehendaki oleh yang bersangkutan, seorang

suami dapat beristri lebih dari seorang setelah dipenuhinya berbagai persyaratan

tertentu dan diputuskan oleh pengadilan. Apabila bandingkan pelaksanaan

poligami menurut hukum Islam dan undang-undang perkawinan, maka secara

sepintas persyaratan-persyaratan yang ditentukan antara kedua peraturan itu tidak

sama, namun apabila dikaji lebih lanjut kedua peraturan tersebut memiliki

persamaan tujuan.

Keberadaan poligami atau menikah lebih dari seorang isteri dalam lintasan

sejarah bukan merupakan masalah baru. Poligami telah ada dalam kehidupan

manusia sejak dahulu kala diantara berbagai kelompok masyarakat diberbagai

kawasan dunia. Orang-orang Arab telah berpoligami jauh sebelum kedatangan

Islam. Demikian pula masyarakat di luar bangsa Arab, bahkan di Arab sebelum

Islam telah dipraktekkan poligami yang tanpa batas. Bentuk poligami ini dikenal

pula oleh orang-orang Babilonia, Abbesinia, dan Persia.4

Memang masalah poligami tetap menarik diperbincangkan dan

menimbulkan pro dan kontra di dalamnya. Menurut Nasaruddin Umar, kondisi

sosio kultural saat turunnya ayat Al-Quran yang mengizinkan poligami adalah

setelah perang Uhud dimana umat Islam kalah dan populasi laki-laki dan

perempuan tidak imbang. “Berdasarkan studi-studi yang ada, poligami umumnya

4
Titik Triwulan Tutik, Poligami Perspektif Perikatan Nikah, (Jakarta : Prestasi Pustaka,
2007), cet. 1. h. 57.
6

membawa kesengsaraan pada umat, negara, dan bangsa,” ujar Nasaruddin.5

Bahkan Musdah Mulia berpendapat poligami pada hakikatnya merupakan

penghinaan terhadap perempuan.6 Lain halnya, Hartono Jaiz berpendapat bahwa

peraturan tentang poligami dan praktiknya di dunia Islam mempunyai manfaat

besar yang membersihkan masyarakat dari akhlak yang tercela dan

menghindarkan penyakit masyarakat yang banyak timbul di negara-negara yang

tidak mengenal poligami yakni pelacuran.7 Praktik poligami ini khusus di

Indonesia telah terjadi di berbagai kalangan, pengusaha, kiai, ulama, politisi, artis,

maupun tokoh masyarakat. Pemilik Rumah Makan Ayam Bakar Wong Solo,

Puspo Wardoyo, dengan bangga telah memberikan Polygami Award kepada laki-

laki yang melakukan praktik poligami. Bahkan ia mengatakan: “Poligami jangan

dilarang karena poligami bagi saya adalah kebutuhan paling primer. Bisa

bahaya kalau jadi presiden, saya akan mengangkat orang yang berpoligami

untuk menjadi menteri”.8 Sekarang orang bukan hanya ramai-ramai

membicarakan poligami tetapi juga melakukan praktik poligami. Memang kita

ketahui praktik poligami bukan kisah baru dalam catatan sejarah umat manusia di

belahan bumi ini. Tidak terkecuali di Indonesia. antara lain: Puspo Wardoyo

5
Hartono Ahmad Jaiz, Wanita antara Jodoh, Poligami dan Perselingkuhan, (Jakarta :
Pustaka Al-Kautsar, 2007), cet. 1. h 194.
6
Musdah Mulia, Pandangan Islam tentang Poligami, (Jakarta, 1999), Cet. 1. h. 50.
7
Hartono Ahmad Jaiz, Wanita antara Jodoh, Poligami dan Perselingkuhan, (Jakarta :
Pustaka al-Kautsar, 2007), cet. 1. h 124.
8
Islah Gusmian, Mengapa Nabi Muhammad Berpoligami, (Yogyakarta : Pustaka Marwa,
2007 ) cet 1, h. 22.
7

(pengusaha), Aa Gym (kiai dan pebisnis), Zainal Ma’arif (politisi), KH. Noer

Iskandar SQ (kiai dan pengasuh pesantren), Fauzan al Anshari (aktivis dakwah),

bukanlah wajah-wajah baru yang membuat sejarah poligami di Indonesia. Jauh

sebelum mereka, para raja dahulu mempunyai isteri selir yang tidak terhitung

jumlahnya, kiai pun mempunyai isteri lebih dari satu orang.

Mengenai prosedur atau tata cara poligami yang resmi diatur dalam Islam

tidak ada ketentuan secara pasti. Namun di Indonesia Undang – undang

perkawinan Nomor 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam ( KHI ) menganut

kebolehan poligami, telah mengatur walaupun terbatas sampai empat orang istri.

Ketentuan tercantum dalam pasal 3 – 4 Undang – Undang perkawinan dan Pasal

55 – 57 KHI. Kebolehan poligami dalam KHI tertuang pada bab IX pasal 55 – 59,

antara lain menyebutkan : syarat utama beristeri lebih dari seorang, suami harus

mampu berlaku adil terhadap isteri – isteri dan anak-anaknya pasal ( 55 ayat 2 ).

Selain syarat utama tersebut ada lagi syarat lain yang harus dipenuhi sebagaimana

termaktub dalam pasal lima ( 5 ) Undang –Undang nomor 1 tahun 1974, yaitu

adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan

anak-anak mereka.

Pasal-pasal ini adalah suatu bagian dari prosedur apabila seorang suami

hendak berpoligami. Diperbolehkannya poligami dalam Islam itu bukan dibuka

lebar, akan tetapi sebagai solusi dalam keadaan tertentu yang diperkenankan

(diperbolehkan), bagi orang-orang yang memerlukannya, dengan syarat adanya

kepercayaan pada dirinya bahwa ia dapat berlaku adil dan untuk berbuat jujur.
8

Namun, dari praktek poligami yang menimbulkan polemik penulis merasa

tertarik untuk membahas dan mengangkat judul skripsi “ Pandangan Tokoh

Masyarakat Kecamatan Sawangan Kota Depok Terhadap Poligami”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka dalam penelitian ini terbatas pada

poligami menurut pandangan para tokoh masyarakat formal dan informal di

Kecamatan Sawangan Kota Depok.

2. Perumusan Masalah

Agar penelitian ini tidak menyimpang, maka penelitian ini terfokus

pada :

Pertama : Bagaimana poligami dimaknai oleh para tokoh masyarakat.

Apa faktor yang mendukungnyanya, misalkan faktor internal, ekonomi,

pendidikan, lingkungan sosial.

Rumusan masalah ini, dapat dirinci dalam bentuk pertanyaan sebagai

berikut :

a. Bagaimana pandangan tokoh masyarakat Kecamatan Sawangan terhadap

poligami?

b. Bagaimana pandangan tokoh masyarakat terhadap hukum islam dan

hukum positif terhadap poligami?


9

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Dengan menganalisa latar belakang dengan perumusan masalah tersebut

maka penelitian ini bertujuan:

1. Mengetahui pandangan tokoh masyarakat Kecamatan Sawangan tentang

poligami.

2. Mengetahui pandangan tokoh masyarakat Kecamatan Sawangan terhadap

hukum islam dan hokum positif tentang poligami.

Adapun manfaat atau kegunaanya adalah :

1. Secara Akademis

yaitu untuk memenuhi salah satu syarat dalam mendapatkan gelar

Kesarjanaan Strata Satu pada Fakultas Syari’ah dah Hukum.

2. Secara Ilmiah

a. Bagi Fakultas Syari’ah dan Hukum, memberikan sumbangan kepustakaan

dalam rangka pengembangan pengetahuan akademis pada umumnya.

b. Bagi penulis merupakan pengembangan pengetahuan yang didapat selama

belajar di Fakultas Syari’ah dan Hukum.

c. Bagi tokoh masyarakat dapat memberikan informasi yang objektif.

Adapun manfaat yang ingin penulis sampaikan dalam penelitian ini adalah

dapat memberikan pemahaman terhadap masyarakat kecamatan sawangan

khususnya dan masyarakat luas tentang pengaruh poligami terhadap beberapa

faktor.
10

D. Metode Penelitian

Sebagai sebuah karya ilmiah, jenis penelitian ini merupakan penelitian

deskriptif, yaitu penelitian yang menggambarkan data dan informasi di lapangan

secara mendalam.9 Sementara soerjono soekanto mendefinisikan penelitian

deskriptif ini dimaksudkan untuk memberikan data yang diteleti mungkin dengan

manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya. Maksudnya adalah terutama untuk

mempertegas hipotesa-hipotesa agar dapat membantu didalam memperkuat teori-

teori. Untuk memperoleh data yang akurat, peneliti mengadakan penelitian

sebagai sesuatu metode kualitatif yang bertujuan menyajikan pandang objek yang

diteleti bahan dan data penelitian ini diperoleh dari penelitian lapangan ( field

research ) yang dimaksudkan untuk memperoleh data, di mana peneliti terjun

langsung kelapangan. Oleh karena itu, data lapangan merupakan data primer,

yaitu data utama yang akan diteliti ( beberapa tujuan ) di kecamatan Sawangan.

Sedangkan data sekunder dalam penelitian ini adalah dokumen atau tulisan-

tulisan yang berkaitan dengan pokok bahasan karya tulis ini, yang juga

didapatkan dari penelitian kepustakaan ( library research ) yang berkaitan dengan

poligami.

Dalam rangka memperoleh data yang diperlukan serta informasi yang

dibutuhkan sebagai bahan dalam rencana skripsi ini, maka teknik pengumpulan

data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

9
Suharsini Arikunto, Manajemen Penelitian, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1993), cet.ke-2, h.
309
11

1. Teknik wawancara mendalam yakni satu bentuk komunikasi verbal untuk

memperoleh informasi data yang valid dan akurat dari pihak-pihak yang

dijadikan sebagai informasi.

2. Teknik dokumentasi. Teknik ini penulis gunakan untuk melengkapi data yang

dilakukan dengan acara melihat dokumen-dokumen yang terdapat di

kecamatan sawangan yang dijadikan objek penelitian.

3. Teknik puataka. Berkaitan dengan sumber-sumber pustaka.

E. Sistematika Penulisan

Pembahasan skripsi ini dibagi menjadi lima Subab dan susunan

pembahasannya sebagai berikut :

Bab Pertama, Pendahuluan, Meliputi uraian masalah teknis penulisan

yakni : Latar belakang, Rumusan masalah tujuan dan kegunaan penelitian, metode

penelitian dan sistematika penulisan.

Bab kedua, Kerangka Teoritis Tentang Poligami, tentang pengertian

poligami, poligami menurut hukum Islam, poligami menurut hukum Positif.

Bab Ke-Tiga, Poligami pada masyarakat Sawangan, meliputi: kondisi

geografis, kondisi demografis, kondisi penduduk, kondisi perekonomian, kondisi

sosial keagamaan dan pandangan tokoh masyarakat sawangan terhadap poligami,

faktor-faktor pendukung poligami di sawangan.

Bab Ke-Empat, analisis pandangan tokoh masyarakat sawangan tentang

poligami, analisis menurut Hukum Islam dan analisis Hukum positif.

Bab Kelima, Penutup. Bab ini berisi Kesimpulan dan saran-saran.


BAB II

KERANGKA TEORITIS TENTANG POLIGAMI

A. Pengertian Poligami

Kata poligami termasuk kata yang umum yang sudah dipakai, dalam artian

kata ini sudah dikenal dan sering kali orang menggunakannya. Walaupun mereka

sering kali mengungkapkan kata ini, bukan berarti mereka mengetahui secara

detail tentang pengertian poligami yang sebenarnya, bahkan di antara mereka

masih banyak yang verbalisme.

Kata poligami berasal dari bahasa Yunani, yaitu poly atau polus yang

berarti banyak dan gamein atau gamos yang berarti kawin atau perkawinan. Kalau

kedua kata tersebut digabungkan menjadi poligami, maka artinya adalah

perkawinan yang banyak atau dengan ungkapan lain adalah suatu perkawinan

yang lebih dari satu orang.1 Dalam bahasa Arab poligami disebut Ta’adduduz

Zaujaat, sedangkan dalam bahasa Indonesia disebut madu.2 Menurut Arij

Abdurrahman As Sanan dalam bukunya Al ‘Adlu Baina az Zaujaat, yang

dimaksud dengan Ta’adduduz Zaujaat adalah perbuatan seorang laki–laki

mengumpulkan dalam tanggungannya dua sampai empat orang isteri, tidak lebih

darinya.3

1
Humaidi Tatapangarsa, Hakekat Poligami dalam Islam, ( t.t., Usaha Nasional, t.th ) h.12.
2
Islah Gusmian, Mengapa Nabi Muhammad Berpoligami, (Yogyakarta : Pustaka Marwa,
2007 ) cet 1, h. 29.
3
Arij Abdurrahman As- Sanan, Memahami Keadilan dalam Poligami, (Jakarta : PT. Global
Media Cipra Publishing, 2003 ), h. 25.

12
13

Menurut Islah Gusman, arti poligami adalah banyak nikah. Istilah ini

digunakan untuk menunjuk pada praktek perkawinan lebih dari satu suami atau

istri sesuai dengan jenis kelamin orang yang bersangkutan. Ia berpendapat bahwa

poligami dan poligini adalah berbeda. Poligini menurutnya adalah banyak

perempuan. Istilah ini digunakan untuk menunjuk pada seorang pria yang

melakukan praktek banyak nikah dengan banyak perempuan (pada masa yang

sama, dan bukan karena kawin cerai).4

Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa

poligami adalah Ikatan perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau

mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan, dan

berpoligini berarti menjalankan poligami.5 Dan pengertian ini pun senada dengan

yang di kemukakan oleh Save M’ bahwa poligini sama dengan poligami.6 Begitu

pula Sayuti Thalib, ia mengemukakan bahwa arti dari kata poligami adalah sama

dengan poligini, yaitu seorang suami beristri lebih dari seorang wanita dalam

waktu yang sama.7 Dan pengertian inilah yang secara umum berlaku di

masyarakat. Oleh karena itu penulis dalam skripsi ini mengartikan poligami

sebagaimana yang di kemukakan oleh Sayuti Thalib.

4
Islah Gusmian, Mengapa Nabi Muhammad Berpoligami, h. 26.
5
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1996 ), Cet. ke- 7, h.
18.
6
Save M. Dagun, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan, (Jakarta : LPKN, 1997 ), h. 866.
7
Sayuti Thib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta : Bina Aksara, 1981 ), h. 169.
14

Menurut Qasim Amin dalam bukunya Tahrir al-Mar’ah sebagaimana

yang dikutip oleh Musdah Mulia, bahwa dalam sejarah manusia, perkembangan

poligami mengikuti pola pandang masyarakat terhadap kaum perempuan. Ketika

masyarakat memandang kedudukan dan derajat perempuan hina, poligami

menjadi subur, sebaliknya pada masyarakat yang memandang kedudukan

perempuan terhormat, poligami pun berkurang.8

Islam bukanlah yang pertama menerapkan aturan poligami, karena jauh

sebelum Nabi Muhammad SAW diutus menjadi Nabi dan membawa Islam,

poligami telah lama dipraktekkan oleh umat–umat terdahulu. Bahkan hampir

semua bangsa melakukannya. Dan cukup banyak fakta yang dapat membuktikan

kebenaran ini, seperti yang dikatakan oleh Musthafa al Siba’i, bahwa poligami itu

sudah ada pada masyarakat bangsa–bangsa yang hidup di zaman purba, pada

bangsa Yunani, Cina, India, Babylonia, Syria, Mesir, dan lain–lain. Pada saat itu,

praktek poligami tidak terbatas jumlah istrinya, sehingga mencapai ratusan

orang istri dalam satu waktu (tanpa cerai dan tanpa faktor ke matian) bagi satu

laki–laki (suami).9

Agama Yahudi memperbolehkan poligami tanpa batas. Nabi–nabi yang

namanya disebut dalam Taurat, semuanya berpoligami tanpa pengecualian. Dan

8
Musdah Mulia, Pandangan Islam tentang Poligami, (Jakarta : Lembaga Kajian Agama dan
Gender, 1999), cet. 1. h. 3.
9
Islah Gusmian, Mengapa Nabi Muhammad Berpoligami, h. 30.
15

ada keterangan dalam Taurat, bahwa Nabi Sulaiman AS mempunyai tujuh ratus

orang istri yang merdeka dan tiga ratus istri yang berasal dari budak.10

Dan meskipun dalam Taurat tidak melarang poligami dan tidak

menghalangi seorang laki–laki untuk menikah dengan berapa saja banyaknya

istri, namun pendeta–pendeta Yahudi membenci poligami itu, lalu berusaha

mempersempit poligami dengan mengadakan pembatasan banyaknya istri hanya

empat saja, dan menetapkan harus ada faktor–faktor pendorong yang sah menurut

agama, untuk bolehnya laki–laki menikah dengan istri baru.11

Agama Kristen pun pada asalnya tidak melarang poligami. Karena

larangan itu tidak ditentukan dalam Injil maupun dalam surat-surat para Rasul

(sahabat–sahabat Yesus) yang dikenal dengan Kitab Perjanjian Baru. Dalam kitab

itu tidak ada keterangan yang jelas mengenai larangan poligami. Sehingga Dr.

Khafi sebagaimana yang dikutip oleh Abbuttawab Haikal mengatakan bahwa

kebiasaan poligami itu sudah ada pada bangsa Israil sebelum Nabi Isa diutus, ia

kemudian menetapkan kebiasaan poligami itu. Bahkan Nabi Musa mewajibkan

seorang untuk mengawini janda saudara laki-lakinya sendiri yang meninggal dan

tidak mempunyai anak, walaupun ia sendiri sudah berkeluarga. Apa yang

diperbolehkan dalam Taurat, sejauh tidak ada nash yang pasti dalam Injil yang

melarangnya, maka diperbolehkan pula dalam agama Kristen, termasuk di

10
Musthafa as Siba’i, Wanita diantara Hukum Islam dan Perundang – undangan, (Jakarta :
Bulan Bintang, 1977 ), cet. 1. h. 100.
11
Abdul Nasir Taufiq al ‘Atthar, Poligami ditinjau dari Segi Agama, Sosial dan Perundang –
undangan, (Jakarta : Bulan Bintang, 1976 ), cet. 1. h. 80
16

dalamnya poligami. Karena tidak ada nash (keterangan) yang melarang poligami

dalam Injil. Dan sejarah membuktikan bahwa umat–umat Kristen terdahulu dan

para pemuka agama banyak melakukan poligami.12 Tetapi bapak–bapak gereja

(pendeta) dan para pembuat undang–undang gereja, ada yang berpendapat bahwa

ada naskah dalam Perjanjian Baru yang menyinggung tentang pengertian

haramnya poligami, yaitu bahwa barang siapa yang menceraikan istrinya dan lalu

menikah dengan wanita lain, maka hukumnya adalah ia berzina dengan wanita

itu, dan begitu pula sebaliknya. Tetapi penafsiran haramnya poligami ini hanya

sesuai dengan pendapat golongan Kristen Katolik saja, karena golongan ini tidak

membolehkan pembubaran akad nikah kecuali dengan kematian saja. Sedangkan

golongan Orthodok dan Protestan (Gereja Masehi Injili), semuanya

memperbolehkan bagi seorang Kristen untuk menceraikan isterinya dalam

suasana dan dengan syarat–syarat tertentu.13

George Zaidan, sebagaimana yang dikutip al Siba’i berkata bahwa tidak

ada keterangan yang jelas dalam agama Kristen yang melarang para pengikutnya

berpoligami dengan dua orang istri ataupun lebih. Kalau sekiranya orang–orang

Kristen itu mau, tentu saja mereka boleh berbuat demikian. Tetapi bapak–bapak

gereja itu mencukupkan seorang istri saja, demi untuk menjaga kerukunan rumah

tangga mereka, seperti yang terdahulu terjadi di kalangan bangsa Romawi.

12
Abduttawab Haikal, Rahasia Perkawinan Rasullallah SAW, Poligami dalam Islam Vs
Monogami Barat, (Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya, 1993 ), cet. 1. h. 49
13
Abdul Nasir Taufiq al ‘Atthar, Poligami ditinjau dari Segi Agama, Sosial dan Perundang–
undangan, (Jakarta : Bulan Bintang, 1976 ), cet. 1. h. 81
17

Kemudian mereka membawa idenya itu dalam menafsirkan ayat–ayat tentang

perkawinan dalam kitab suci mereka, seperti yang sudah kita ketahui secara

populer.14

Sekarang ini kita lihat gereja–gereja di Afrika Hitam mengakui bolehnya

poligami, karena para petugas penyiar agama Kristen itu menemukan diri mereka

berhadapan dengan susunan masyarakat yang biasa berpoligami, yaitu di

kalangan bangsa–bangsa Afrika yang beragama Animisme. Bapak–bapak Gereja

berpendapat bahwa kalau mereka terus–menerus melarang poligami, maka

akhirnya masalah poligami itu akan menjadi penghalang bagi bangsa–bangsa

Afrika untuk memasuki agama Kristen. Mereka lalu mempropagandakan

bolehnya poligami tanpa batas. Dan dalam masyarakat tradisional Afrika,

banyaknya jumlah istri merupakan kebanggaan tersendiri, lambang kesuksesan

dan status sosial tinggi serta menandakan kesejahteraan. Poligami merupakan adat

warisan leluhur orang–orang Afrika, bukan saja dianggap sebagai kewajaran

bahkan hampir sebagai kelembagaan.15

Di Jazirah Arab sendiri jauh sebelum Islam, masyarakatnya telah

mempraktekkan poligami bahkan tak terbatas. Sejumlah riwayat menceritakan

bahwa rata–rata pemimpin suku memiliki puluhan istri, bahkan tidak sedikit

kepala suku yang mempunyai sampai ratusan istri.16 Nabi Muhammad SAW

membolehkan poligami di antara masyarakatnya karena hal itu telah dipraktekkan


14
Musthafa as Siba’i, Wanita diantara Hukum Islam, h. 104
15
Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, (Bandung : Pustaka Setia, 2000), cet. 1. h.120.
16
Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2007)
18

juga oleh orang-orang Yunani dan bangsa–bangsa lain yang di antaranya bahkan

seorang istri bukan hanya dapat dipertukarkan tetapi juga bisa diperjualbelikan

secara lazim antara mereka.17 Dalam konteks pernikahan, kedatangan Islam jelas

memberikan suatu arah baru untuk memperoleh kebahagiaan dan rahmat bagi

kedua belah pihak. Inheren di dalamnya adalah usaha–usaha pembelaan dan

sekaligus pemberdayaan atas perempuan. Ini dilakukan Islam, karena perempuan

sebelumnya pada masyarakat Arab pra Islam sama sekali tidak dihargai dan

bahkan dilecehkan, lalu ia diangkat martabatnya oleh Islam menjadi subyek yang

bermartabat.18

B. Poligami Menurut Hukum Islam.

Poligami merupakan salah satu tema penting yang mendapat perhatian

khusus dari Allah SWT sehingga tidak mengherankan kalau kemudian kita dapati

masalah ini di awal surat An-Nisa,yaitu pada ayat ke 3 :

y]≈n=èOuρ 4o_÷WtΒ Ï!$|¡ÏiΨ9$# zÏiΒ Νä3s9 z>$sÛ $tΒ (#θßsÅ3Ρ$$sù 4‘uΚ≈tGu‹ø9$# ’Îû (#θäÜÅ¡ø)è? ωr& ÷ΛäøÅz ÷βÎ)uρ

(#θä9θãès? ωr& #’oΤ÷Šr& y7Ï9≡sŒ 4 öΝä3ãΨ≈yϑ÷ƒr& ôMs3n=tΒ $tΒ ÷ρr& ¸οy‰Ïn≡uθsù (#θä9ω÷ès? ωr& óΟçFøÅz ÷βÎ*sù ( yì≈t/â‘uρ

( : /)
Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka

17
Titik Triwulan Tutik, Poligami Perspektif Perikatan Nikah, ( Jakarta : Prestasi Pustaka,
2007 ), cet. 1. h. 57
18
Islah Gusmian, Mengapa Nabi Muhammad Berpoligami, h. 38.
19

kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau


empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka
(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang
demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS. An-
Nisa’/4: 3)

Ayat ini merupakan ayat yang membicarakan masalah poligami. Yang ini

diturunkan kepada Nabi Saw pada tahun kedelapan hijriyah, dengan tujuan untuk

membatasi jumlah istri pada batas maksimal empat orang saja. Akan

tetapi,sebagian mufasir dan ahli fiqih telah mengabaikan redaksi umum ayat dan

mengabaikan keterkaitan erat yang ada di antara poligami dengan para janda yang

memiliki anak-anak yatim.

Ayat tentang poligami turun setelah perang uhud, dimana banyak sahabat

wafat di medan perang. Sejumlah besar para wanita dan anak–anak ditinggalkan

tanpa tempat perlindungan. Untuk mengatasi masalah tersebut, Allah SWT

mewahyukan ayat yang mengizinkan lelaki berpoligami. Namun, meskipun

poligami di izinkan, Allah membataskan jumlah istri hanya empat orang saja.

Ayat ini memungkinkan lelaki muslim mengawini janda atau anak yatim

jika dia yakin itu merupakan cara melindungi kepentingan anak-anak yatim

tersebut dan juga untuk melindungi hartanya dengan penuh keadilan.

Sayyid Qutb menggambarkan bahwa pada masa jahiliyah banyak

kebiasaan-kebiasaan buruk yang telah berlangsung saat datangnya islam ke tanah

arab. Di antaranya adalah hak-hak anak yatim dirampas khususnya anak-anak


20

yatim perempuan di dalam kekangan keluarga, para wali dan penanggung jawab.

Hartanya yang baik, ditukar dengan yang buruk, dihambur-hamburkan dengan

rakus, karena khawatir bila anak-anak yatim itu telah besar akan mengambilnya.

Anak-anak yatim yang kaya ditahan untuk dijadikan istri oleh para walinya,

karena tamak kepada harta bukan karena menginginkan mereka. Atau diberikan

kepada anak lelaki para wali, untuk tujuan yang sama agar harta tidak keluar dan

jatuh ke tangan orang lain.

Kebiasaan ini juga berlangsung di awal islam. Hingga Al- Qur’an datang

melarang dan menghapuskannya dengan berbagai pengarahan luhur dan

mengembalikan masalah ini kepada hati nurani. Dalam ayat lain (QS. 4:129)

È≅øŠyϑø9$# ¨≅à2 (#θè=ŠÏϑs? Ÿξsù ( öΝçFô¹t ym öθs9uρ Ï!$|¡ÏiΨ9$# t÷t/ (#θä9ω÷ès? βr& (#þθãè‹ÏÜtFó¡n@ s9uρ

$VϑŠÏm§‘ #Y‘θàxî tβ%x. ©!$#  χÎ*sù (#θà)−Gs?uρ (#θßsÎ=óÁè? βÎ)uρ 4 Ïπs)¯=yèßϑø9$$x. $yδρâ‘x‹tGsù

( : /)
Artinya: Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-
isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena itu
janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga
kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan
perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. An-Nisa’/4: 129)

Adil dalam pengertian ayat ini berada dalam suatu wilayah cakupan yang

amat luas. Bukan saja adil dalam hal memberikan materi yang cukup, namun

lebih substansial lagi dari itu ialah adil dalam memberikan nafkah batin, serta adil

dalam hal persamaan kaum perempuan yang dinikahi itu. Seorang pemikir
21

modern, Ameer Ali, menyatakan bahwa kebolehan poligami sangat bergantung

pada kondisi, situasi, dan tuntutan zaman. Bahkan Muhammad Abduh

menyatakan haram pelaksanaan poligami itu sehubungan dengan tidak mungkin

berlaku adil. Apalagi, bila poligami itu hanya dimotivasi oleh pemenuhan

kebutuhan biologis kaum laki-laki, keharaman untuk melaksanakan poligami

semakin nyata.

Secara kategoris menyatakan tidak mungkin seorang lelaki dapat berlaku

adil terhadap istri-istrinya, betapapun dia menginginkannya. Dan Ayat ini dapat

disimpulkan juga, islam pada dasarnya agama monogami. Oleh karena itu, Sayyid

Qutb menegaskan bahwa, islam tidak menumbuhkan poligami, tetapi hanya

membatasinya. Tidak memerintahkan berbuat poligami, tetapi hanya memberikan

rukhshah dan menentukan syarat dalam pelaksanaannya. Islam memberikan

rukhshah dalam hal ini untuk menghadapi berbagai realitas kehidupan umat

manusia dan berbagai darurat fitrah kemanusiaan. Jika tidak demikian, maka

rukhshah yang diberikan tidak boleh dilakukan.

Dalam hukum positif kita juga menjelaskan konsep adil dalam poligami.

Sebagaimana terdapat dalam pasal 31 (3) UU Perkawinan menyebutkan suami

adalah kepala keluarga. Kebutuhan yang harus dipenuhi seorang suami terhadap

para istri dan anaknya sungguh tidak ringan. Kebutuhan pangan (nafaqah),

sandang (kiswah) dan papan (suknah) adalah yang bersifat materi. Sedangkan

yang materi jauh lebih berat karena sulit dilacak parameternya. Karena itulah,
22

suami yang ingin berpoligami cenderung mengambil jalan pintas tanpa

mengindahkan peraturan-peraturan yang berlaku.

Pada pasal 5 ayat 1 menjelaskan suami yang hendak berpoligami harus

memperoleh persetujuan dari istri pertamanya. Dia juga harus mampu menjamin

keperluan hidup para istri dan anaknya. Dan yang terpenting, dia harus berlaku

adil terhadap para istri dan anaknya.

Mengenai keadilan ini, PP No.9 Th.1975 tentang pelaksanaan UU No.

1/1974 berusaha menjabarkan keadilan macam apa yang diemban oleh suami

yang hendak berpoligami. Pasal 41 huruf c PP tersebut menyatakan, jika seorang

suami mengajukan permohonan poligami, maka pengadilan memeriksa

penghasilan suami. Hal ini di buktikan dengan surat keterangan yang di tanda

tangani oleh bendahara tempat sang suami bekerja atau surat keterangan pajak

penghasilan, atau surat lain yang dapat diterima Pengadilan. Hanya pemeriksaan

itu di ujung-ujungnya dimaksudkan semata-mata untuk men celah keadilan yang

bersifat materi.

Dari uraian di atas menjelaskan kehalalan berpoligami dengan syarat

berlaku adil. Jika syarat ini tidak dapat dipenuhi, di mana seorang suami yakin

bahwa ia akan terjatuh kepada kezaliman dan menyakiti istri-istrinya, dan tidak

dapat memenuhi hak-hak mereka dengan adil, maka poligami menjadi haram.

Jika ia merasa menjadi kemungkinan besar menzalimi salah satu istrinya, maka

poligami menjadi makruh. Namun jika ia yakin akan terjatuh kepada perbuatan

zina jika tidak berpoligami, maka poligami menjadi wajib atasnya.


23

Konsep keadilan tersebut baik Hukum islam dan Hukum Positif agar

menjadi perhatian bagi suami yang ingin berpoligami. Jika tidak dapat memenuhi

kebutuhan keadilan maka hendaknya monogami mutlak. Sebagaimana allah

menjelaskan dalam Al-Qur’an surat an-Nisa ayat 3 dan 129.

Jika kita menoleh ke sejarah perkawinan Nabi SAW, akan kita jumpai

bahwa nabi berpoligami pada masa hanya sepuluh tahun di akhir usianya

sementara dua puluh lima tahun sebelum itu Nabi menjalani kehidupan

monogami bersama khodijah binti Khuwailid sampai Khodijah wafat dan nabi

saat itu berumur 50 tahun. Tiga tahun setelah itu barulah nabi menjalani poligami.

wanita yang di nikahi Rasul adalah semua janda, kecuali ‘Aisyah r.a, dan semua

untuk tujuan menyukseskan dakwah, atau membantu dan menyelamatkan wanita

yang kehilangan suami. Mereka umumnya bukanlah wanita-wanita yang dikenal

memiliki daya tarik yang memikat.

Para ulama sepakat dengan dibolehkannya berpoligami, namun tidak

menjadikan poligami sebagai suatu kewajiban bagi kaum muslimin. Adapun

perselisihan yang terjadi di antara mereka hanyalah jumlah bilangan poligami itu

sendiri, Jumhur ulama berbeda pendapat, kebolehan berpoligami hanya kepada

empat wanita saja.

Menurut Imam Hanafi dan Imam Syafi’i di dalam kitab Bidayatul

Mujtahid bahwa tidak boleh menikahi wanita lebih dari empat wanita dalam
24

waktu yang bersamaan.19 Imam Malik berpendapat bahwa jika seseorang abdun

boleh menikahi empat wanita dalam satu waktu, dan beliau menukil dalam kitab

al Muwatha, bahwa Ghailan bin Salman memeluk Islam sedang ia mempunyai

sepuluh isteri. Maka Rasulullah, bersabda :

(&% (%) *+)   !"# $% &'%#


Artinya: “Peliharalah empat orang isteri diantara mereka dan bebaskanlah
(ceraikan) yang lainnya”. (H.R. Imam Malik dalam kitab al
Muwatha).20 Pendapat ini didukung oleh Ahlu Zhahir (pengikut Imam
Daud ad Dhahiri).

Sedangkan dalil dari sunnah sebagaimana dalam riwayat hadis yang

menjelaskan ketika Ghailan bin salamah Ats-Tsaqafi masuk islam dalam keadaan

beristri sepuluh orang yang ia nikahi di masa jahiliyah (sebelum masuk islam),

mereka semua masuk islam bersamanya, maka Rasulallah saw memerintahkannya

untuk memilih empat di antara mereka.

8 9: 8 4!% ,-. 7!6 " -45 ,-. /01. " 23 ,-.
; < => ?@A B8 <CD+ E4F GH0I /F =J 48 " 8 /0
(<6% " *+) K" $% LM /F+ <0F8 N OFP
Artinya: “ kami diberitahukan oleh yahya Ibn Hakim, kami diberitahukan oleh
Muhammad ibn Ja’far, kami diberitahukan oleh Mu’amar dari al-
Zuhri dari salim dari Ibn Umar berkata: Ghilan ibn Salamah masuk
islam dan ia memiliki 10 istri, maka nabi bersabda : Ambilah diantara
mereka empat orang”. ( H.R. Ibnu Majah )

19
Ibnu Rusyd, al Mujtahid, Bidayatul, (Beirut : Darul fikr, tt), cet. Ke-1, jilid, 11 h. 31
20
Imam Malik, al Muwatha, Muhammad Fuad Abd. al Baqi- kitab al shib, Kairo. tt
25

Sedangkan dalil dari ijma ialah kesepakatan kaum muslimin tentang

kehalalan poligami baik melalui ucapan atau perbuatan mereka sejak masa

Rasulallah saw sampai hari ini. Para sahabat utama Nabi melakukan poligami

seperti umar bin Khattab, ali bin Abi Thalib, Muawiyah bin Abi sufyan, dan

Muaz bin Jabal r.a.

Poligami dilakukan juga oleh ahli fiqih tabi’in, mereka mengakui orang

yang menikah lebih dari satu istri, dinamakan poligami. Kesimpulannya bahwa

generasi salaf (terdahulu) dan khalaf (kini) dari ummat islam telah bersepakat

melalui ucapan dan perbuatan mereka bahwa poligami itu halal.

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa hukum poligami sama

halnya dengan hukum menikah yang mungkin saja bisa wajib, sunnah, atau

makruh sesuai dengan seseorang. Hal ini tergantung pada kondisi seorang laki-

laki akan kebutuhannya terhadap poligami, dan kemampuannya memenuhi hak-

hak istri-istrinya.

Pada dasarnya, poligami itu hukumnya mubah (boleh), berdasarkan

Q.S.An-Nisa ayat 3. kebolehan poligami ini tidak menghibahkan batasan dan

syarat-syarat yang di atur oleh hukum islam itu sendiri yang bertujuan untuk

meratakan kesejahteraan keluarga dan untuk menjaga ketinggian nilai di kalangan

generasi masyarakat islam seterusnya guna meningkatkan budi pekerti kaum

muslimin yang berpedoman pada al-Qur’an dan hadis.

Pandangan normatif al-Qur’an yang selanjutnya di adopsi oleh ulama-

ulama fiqih setidaknya menjelaskan dua persyaratan yang harus dimiliki oleh
26

suami; pertama, seorang lelaki yang ingin berpoligami harus memiliki

kemampuan dana yang cukup untuk membiayai berbagai keperluan dengan

bertambahnya istri yang dinikahi. Kedua, seorang lelaki harus memperlakukan

semua istrinya dengan adil.

Dalam fatwa Abduh, keadilan di sini yang di syaratkan al-Qur’an adalah

keadilan yang bersifat kualitatif seperti kasih sayang, cinta dan perhatian yang

semuanya tidak bisa di ukur dengan angka atau nominal.

Sebagian besar ahli hukum islam menyadari bahwa keadilan kualitatif ini

sesuatu yang sangat mustahil untuk diwujudkan.

Abdurahman al-Jaziri di dalam kitabnya menulis bahwa mempersamakan

hak atas kebutuhan seksual dan kewajiban bagi orang-orang yang berpoligami

karena sebagai manusia wajar tertarik pada salah seorang istrinya melebihi yang

lain dan hal yang semacam ini merupakan sesuatu yang berada di luar batas

kontrol manusia.

C. Poligami menurut Hukum Positif.

1. Poligami dalam Undang–undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan

Telah kita ketahui, Undang–undang RI No 1 Tahun 1974 tentang

perkawinan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Oktober 1975. Salah satu

permasalahan yang diatur di dalamnya adalah tentang poligami. Ada


27

kesamaan antara poligami Islam dengan aturan poligami yang terdapat dalam

Undang–undang Perkawinan yaitu pintu poligami dibuka hanya bagi orang–

orang yang memiliki alasan–alasan tertentu.

Supaya masalah poligami menurut Undang–undang Perkawinan ini

dapat diketahui dengan jelas dan terperinci, akan dikutip dan dijelaskan pasal–

pasal yang mengaturnya sebagai berikut :

Pasal 3
(1) Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh
mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai
seorang suami.
(2) Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih
dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak–pihak yang bersangkutan.
Pasal 4
(1) Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang sebagaimana
tersebut dalam pasal 3 ayat (2) undang–undang ini, maka ia wajib
mengajukan permohonan kepada pengadilan daerah tempat tinggalnya.
(2) Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberi izin kepada
seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila :
a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri.
b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan.
c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

Pasal 5
(1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan, sebagaimana
dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, harus dipenuhi
syarat–syarat sebagai berikut :
a. Adanya persetujuan isteri atau isteri–isteri.
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan–
keperluan hidup isteri–isteri dan anak–anak mereka.
c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri–isteri
dan anak-anak mereka.
(2) Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan
bagi seorang suami apabila isteri atau isteri–isterinya tidak mungkin
dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian,
atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang–kurangnya dua
28

tahun, atau karena sebab–sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian


dari hakim pengadilan.

Pasal 65
(1) Dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang baik berdasarkan
hukum lama maupun berdasarkan pasal 3 ayat (2) undang–undang ini,
maka berlakulah ketentuan–ketentuan berikut :
a. Suami wajib memberi jaminan hidup yang sama kepada semua isteri
dan anaknya.
b. Isteri yang kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas harta
bersama yang telah ada sebelum perkawinan dengan isteri kedua atau
berikutnya itu terjadi.
c. Semua isteri mempunyai hak yang sama atas harta bersama yang
terjadi sejak perkawinannya masing–masing.
(2) Jika Pengadilan yang memberi izin untuk beristeri lebih dari seorang
menurut undang–undang ini tidak menentukan lain, maka berlakulah
ketentuan–ketentuan ayat (1) pasal ini.

Dari pasal–pasal mengenai poligami yang telah disebutkan diatas

dapat dijelaskan tatacara dan ketentuan permohonan izin poligami sebagai

berikut :

a. Poligami harus ada izin dari Pengadilan Agama yang diajukan kepada

Pengadilan Agama di tempat tinggalnya dengan membawa surat

permohonan izin beristeri lebih dari seorang yang isinya memuat nama,

umur, tempat kediaman pemohon (suami) dan termohon (isteri), alasan–

alasan untuk beristeri lebih dari seorang dan petitum.21

b. Setelah surat permohonan izin poligami diajukan, maka Majelis Hakim

memeriksa berkas–berkas tersebut selambat–lambatnya 30 hari setelah

diterimanya surat permohonan tersebut (pasal 42 ayat (2) PP No. 9/ 1974).

21
H. A. Mukti Arto, Praktik Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta :
Pustaka Pelajar, 2000), cet. Ke -3, h. 241.
29

Pemeriksaan yang dilakukan oleh Pengadilan Agama meliputi :

a. Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami menikah

lagi sebagai syarat alternatif yaitu :

1) Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai seorang isteri

seperti, tidak dapat mendampingi dan melayani suami dengan baik,

mengatur rumah tangga dan mengurus serta mendidik anak–anak

dengan baik, termasuk tidak menjaga kehormatan dirinya dengan baik.

2) Isteri cacat badannya, misalnya lumpuh, lemah syaraf, berpenyakit

yang tidak dapat disembuhkan, seperti gila, batuk menahun, lepra dan

sebagainya.

3) Isteri tidak dapat memberikan keturunan.22

b. Ada atau tidaknya persetujuan isteri baik lisan maupun tertulis yang harus

dinyatakan di depan sidang.

c. Ada atau tidaknya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup

isteri–isteri dan anak–anak dengan mempelihatkan surat–surat mengenai

penghasilan suami yang ditandatangani oleh bendahara tempat kerja, surat

keterangan pajak penghasilan atau surat keterangan lain yang dapat

diterima oleh Pengadilan. Sedangkan jaminan bahwa suami akan berlaku

adil adalah dengan pernyataan atau perjanjian dari suami yang dibuat

dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu.23

22
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia menurut perundang – undangan,
Hukum Adat dan Hukum Agama, (Bandung : Penerbit Mandar Jaya, 1990 ), cet. Ke -1, h.35.
23
Ibid
30

d. Persetujuan isteri tidak diperlukan lagi dalam hal isteri tidak mampu

menjadi pihak dalam perjanjian seperti isteri kurang mampu untuk

melakukan perbuatan hukum karena sakit ingatan, gila, ganguan saraf dan

lain–lain, tidak ada kabar dari isteri selama sekurang–kurangnya dua

tahun, karena sebab–sebab lain yang perlu dapat penilaian hakim berupa

keadaan–keadaan yang menjadi alasan dan perlu dipertimbangkan dalam

memberikan keputusan, seperti itikad isteri tidak memberikan persetujuan

dengan maksud jahat agar suami tersiksa lahir batinnya atau hendak

mempermainkan saja atau keadaan tentang adanya kabar dari isterinya

akan tetap domisili yang jelas tidak diperoleh sedang suami telah berusaha

keras mencarinya.24

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Undang-undang

Perkawinan tersebut telah berpihak pada kewajaran dan nyata dalam hal

poligami yaitu, poligami diperbolehkan dengan syarat–syarat yang ketat.

2. Poligami dalam Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991 tentang

Kompilasi Hukum Islam.

Secara resmi Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan hasil

consensus (ijma’) ulama melalui media lokakarya, yang kemudian mendapat

legalitas dari kekuasaan negara dan disebarluaskan untuk memenuhi

24
Martiman Prodjohamidjojo, Tanya Jawab Mengenai Undang – undang Perkawinan dan
Pelaksanaannya disertai Yurisprudensi, (Jakarta : Pradya Paramita, 1979 ) h.26
31

kebutuhan hukum substansial bagi orang–orang yang beragama Islam.25

Selain itu perumusan KHI bertujuan untuk menyiapkan pedoman yang

seragam (unifikatif) bagi Hakim Pengadilan Agama dan menjadi hukum

positif yang wajib dipatuhi oleh seluruh bangsa Indonesia yang beragama

Islam.26

Masalah poligami dalam KHI terdapat pada Buku 1 Bab IX pasal 55–59

berikut akan dikutipkan pasal demi pasal.27

Pasal 55
(1) Beristeri lebih dari satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya
sampai empat isteri.
(2) Syarat utama beristeri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku
adil terhadap isteri–isteri dan anak–anaknya.
(3) Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi
suami dilarang beristeri lebih dari seorang.
Pasal 56
(1) Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari
Pengadilan Agama.
(2) Pengajuan permohonan izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut
tatacara sebagaimana diatur dalam Bab VIII Peraturan Pemerintah Nomor
9 Tahun 1975.
(3) Perkawinan yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga atau keempat
tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pasal 57
Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang
akan beristeri lebih dari seorang apabila :
(1) Selain syarat utama yang disebut pada pasal 55 ayat (2) maka untuk
memperoleh izin Pengadilan Agama, harus pula dipenuhi syarat–syarat yang

25
Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,
1998), cet. Ke -2, h. 122.
26
Ahmad Rofik, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2000 ), cet.
Ke -4, h. 43.
27
Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, Kompilasi Hukum Islam, Direktorat
Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam. Departemen Agama RI Tahun 1998 / 1999, h. 33 –
35.
32

ditentukan pada pasal 5 Undang–undang Perkawinan No 1 Tahun 1974,


yaitu :
a. Adanya persetujuan dari isteri atau isteri–isteri.
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup
isteri–isteri dan anak–anak mereka.
c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri–isteri
dan anak–anak mereka.
(2) Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 41 huruf b. PP No. 9 Tahun 1975,
persetujuan isteri atau isteri–isteri dapat diberikan secara tertulis atau
dengan lisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini
dipertegas dengan persetujuan lisan isteri, pada sidang pengadilan agama.
(3) Persetujuan dimaksud ayat (1) Huruf a. tidak diperlukan bagi seorang suami
apabila isteri atau isteri–isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya
dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar
dari isteri atau isteri–isterinya sekurang–kurangnya 2 tahun atau karena
sebab lain yang perlu mendapat penilaian hakim.
Pasal 59
Dalam hal isteri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin
untuk beristeri lebih dari satu orang berdasarkan atas salah satu alasan yang diatur
dalam pasal 55 ayat (2) dan pasal 57, Pengadilan Agama dapat menetapkan
tentang pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar isteri yang
bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini isteri
atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi.

Jika diperhatikan, substansi poligami dalam KHI tidak berbeda dengan

aturan poligami dalam Undang–undang Perkawinan. Hal ini dikarenakan dalam

bidang perkawinan (buku 1) KHI, dalam pelbagai hal, merujuk kepada peraturan

perundang–undangan yang berlaku. Disamping itu, KHI juga merujuk kepada

pendapat fuqaha (para ahli fiqih) yang sangat dikenal di kalangan ulama dan

masyarakat Islam Indonesia. Maka dapat dikatakan, KHI merupakan norma

hukum antara yang ditetapkan oleh penguasa negara dan pandangan ulama.28

28
Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, ( Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,
1998 ), cet. Ke -2, h. 125
33

3. Poligami menurut PP No. 10 Tahun 1983.

Menurut pasal 10 PP No. 10 tahun 1983 pegawai negeri sipil pria yang

akan beristeri lebih dari seorang dan pegawai sipil wanita yang akan menjadi

isteri kedua, ketiga atau keempat dari seorang yang bukan pegawai negeri sipil

diharuskan memperoleh izin terlebih dahulu dari pejabat.29

Dan izin tersebut hanya dapat diberikan oleh pejabat, apabila memenuhi

sekurang–kurangnya salah satu syarat alternatif yaitu :

(1) Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri.

(2) Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.

(3) Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

Selain itu harus dipenuhinya ketiga syarat kumulatif, yaitu :

(1) Adanya persetujuan dari isteri/ isteri – isteri.

(2) Pegawai negeri pria yang bersangkutan mempunyai penghasilan yang cukup

untuk membiayai lebih dari seorang isteri dan anak–anaknya yang dibuktikan

dengan surat keterangan pajak penghasilan.

(3) Adanya jaminan tertulis dari pegawai negeri sipil yang bersangkutan, bahwa

ia akan berlaku adil terhadap isteri–isteri dan anak–anaknya.

Sedangkan bagi pegawai negeri sipil wanita yang akan menjadi isteri

kedua, ketiga atau keempat dari pria bukan pegawai negeri sipil syarat–syarat

kumulatif tersebut adalah :

29
Lihat Penjelasan Umum PP No. 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian
bagi Negeri Sipil
34

(1) Ada persetujuan tertulis dari isteri calon suami.

(2) Calon suami mempunyai penghasilan yang cukup untuk membiayai lebih dari

seorang isteri dan anak–anaknya yang dibuktikan dengan surat keterangan

pajak penghasilan.

(3) Adanya jaminan tertulis dari calon suami, bahwa ia akan berlaku adil terhadap

isteri–isteri dan anak–anaknya.2

2
Titik Triwulan Tutik, Poligami Perspektif Perikatan Nikah, ( Jakarta : Prestasi Pustaka,
2007 ), cet. 1. h. 133
BAB III

KONDISI OBJEKTIF MASYARAKAT SAWANGAN

A. Kondisi Objektif Masyarakat Sawangan

1. Kondisi Geografis

Kecamatan Sawangan merupakan salah satu dari kecamatan di

wilayah Kota depok. Adapun kondisi geografis Kecamatan sawangan adalah

sebagai berikut:

a. Tinggi Pusat Pemerintahan / Height of Central Government

Kec. sawangan dari permukaan tanah yang relatif datar dan

tidak berbukit- bukit : 60 m

b. Suhu Maksimum / Minimum

Max / Min Temperature : 30C / 20○ C

c. Batas Wilayah (Regional Boundary)

1) Sebelah Utara : Tangerang Banten & Kec. Limo

2) Sebelah Timur : Kec. Limo & Pancoran Mas

3) sebelah Selatan : Kabupaten Bogor

4) Kecamatan : Kecamatan Tangerang

Kecamatan Sawangan memiliki luas wilayah 4.674 Ha, merupakan

wilayah yang berupa perbukitan.

35
36

2. Kondisi Demografis

Dalam pemerintahan Kecamatan Sawangan dipimpin oleh satu orang

Camat yang dibantu oleh beberapa orang staf yang berjumlah 19 (sembilan

belas) orang di tingkat kecamatan, hal ini dapat di lihat dari tabel berikut:

Tabel 1
Pegawai Kantor Camat Menurut Pangkat / Golongan Ruang dan Jenis Kelamin
District Officers based on their Grade/ room type
Jabatan / Occupation Pangkat / Golongan / LAI- JML
No NYA
Grade / room type
I II III IV
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)
1 CAMAT - - - 1 - 1
SEKRETARIS CAMAT - - 1 - - 1
2
STAF SEKRETARIAT - 2 1 - - 3
KASIE PEMERINTAHAN - - 1 - - 1
3
STAF PEMERINTAHAN - - 1 - 1 2
KASIE DIKBUD - - 1 - - 1
4
STAF DIKBUD - 3 - - - 3
KASIE PEMBANGUNAN - - 1 - - 1
5
STAF PEMBANGUNAN - - 2 - - 2
KASIE KESOS - - 1 - - 1
6
STAF KESOS - - 2 - - 2
7 KASIE PEREKONOMIAN - - 1 - - 1
JUMLAH 0 5 12 1 1 19
Sumber Data: Kantor Camat Sawangan
37

Kecamatan sawangan memiliki 14 Desa / Kelurahan, yang terdiri dari 144

Rukun Warga (RW), dan 624 Rukun Tetangga (RT), sebagaimana dapat dilihat

pada tabel berikut:

Tabel 2
Rukun Warga, dan Rukun Tetangga
Amounts of Orchard, Administrative Society Unit and Neigbourhood Association
DESA/KELURAHAN
No RW RT
Village/Sub-District
(1) (2) (4) (5)
1 PASIR PUTIH 5 66
2 BEDAHAN 13 31
3 PENGASINAN 11 51
4 DUREN SERIBU 7 14
5 BOJONGSARI 6 22
6 CURUG 6 14
7 PONDOK PETIR 5 20
8 SERUA 9 40
9 CINANGKA 4 16
10 SAWANGAN 5 18
11 SAWANGAN BARU 5 30
12 KEDAUNG 6 9
13 BOJONGSARI BARU 7 11
14 DUREN MEKAR 8 32
JUMLAH 144 624
Sumber Data: Kantor Camat Sawangan

Wilayah Kecamatan Sawangan sama halnya dengan kecamatan lainnya,

sehingga tidak heran apabila tiap tahun jumlah penduduk di Kecamatan

Sawangan terus bertambah, begitu juga dengan pembangunan fisik pun kian

berkembang sebagaimana mengikuti arus perubahan dan perkembangan zaman.


38

3. Kondisi penduduk

Berdasarkan data statistik dari Kecamatan Sawangan seperti oleh sandi

sebagai berikut:

Tabel-3
Jumlah Penduduk dan Rasio Jenis Kelamin

Laki-Laki Rasio
DESA/KELURAHAN Laki- Perem Jenis
No +
Village/Sub-District Laki puan Kelamin
Permpuan
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
1 PASIR PUTIH 6.177 6.128 12.305 87.4
2 BEDAHAN 7.098 6.928 14.026 107.2
3 PENGASINAN 6.536 6.417 12.953 93.8
4 DUREN SERIBU 4.194 4.431 8.625 95.9
5 BOJONGSARI 5.009 5.220 10.229 97.1
6 CURUG 5.676 5.382 11.058 87.4
7 PONDOK PETIR 7.339 7.256 14.595 101.3
8 SERUA 4.388 4.178 8.556 95.4
9 CINANGKA 4.860 4.718 9.758 96.0
10 SAWANGAN 6.652 6.258 12.910 99.8
11 SAWANGAN BARU 5.512 5.535 11.047 99.2
12 KEDAUNG 5.896 5.641 11.537 98.7
13 BOJONGSARI BARU 4.091 4.589 8.680 101.4
14 DUREN MEKAR 5.519 5.600 11.119 90.5
JUMLAH 78.947 78.281 157.228 93.6
Sumber Data: Registrasi Penduduk

Berdasarkan data statistik yang bersumber dari data monografi kecamatan,

saat ini jumlah penduduk Kecamatan Sawangan berjumlah 157.228 jiwa. Dengan

jumlah Kepala Keluarga 43.383 jiwa. Dengan anggota keluarga rata-rata

berjumlah 6 (empat) orang.


39

Tabel-4
Penduduk Kecamatan sawangan Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin
Paciran District residents based on Group of age and gender
No Kelompok umur Laki-Laki Perempuan Laki-Laki +
Gorup of age Male female Perempuan
(1) (2) (3) (4) (5)
1 0–4 6.756 6.727 13.492
2 5–9 7.083 7.045 14.128
3 10 – 14 6.294 6.271 12.565
4 15 – 19 6.054 6.019 12.073
5 20 – 24 6.129 6.191 12.220
6 25 – 29 5.665 5.798 11.263
7 30 – 34 5.642 5.666 11.268
8 35 – 39 5.057 5.827 9.884
9 40 – 44 4.771 4.914 9.685
10 45 – 49 4.364 4.541 8.705
11 50 – 54 4.058 4.066 8.074
12 55 – 59 3.567 3.631 7.098
13 60 – 64 3.101 3.167 6.168
14 65 + 3.096 3.145 6.141
JUMLAH 71.644 73.008 142.764
Keterangan: Data primer dari Kecamatan Sawangan

Berdasarkan tabel di atas mengenai usia penduduk dan jenis kelamin

nampak, bahwa sebagian bersar penduduk berusia 20 tahun ke atas. Dengan Hal

ini jumlah laki-laki mencapai 63.44% dari jumlah 71.644 sedangkan jumlah

perempuan mencapai 64.30% dari jumlah 73.008. hal ini membuktikan bahwa

jumlah laki-laki lebih sedikit dari pada jumlah perempuan. Dari gambar di atas

menunjukkan bahwa penduduk Kecamatan Sawangan tersebut sudah termasuk

memasuki usia produktif. Usia ini juga menunjukkan kedewasaan (baligh)

mereka secara keagamaan dalam bahasa lain mereka juga disebut mukallaf,

sehingga mereka sudah harus mengetahui dan menjalankan syari’at agama Islam.
40

4. Kondisi Perekonomian

Berdasarkan dari buku laporan Pemerintahan Kecamatan Sawangan,

mengenai kondisi ekonomi dan mata pencaharian penduduk dapat kita lihat dalam

tabel di bawah ini:

Tabel-5
Banyaknya Keluarga Pertanian Menurut Sub Sektor
Number of agriculture family based on its sector
Desa/Kelurahan
No PETANI WIRASWASTA
Village/Sub-Disrict
(1) (2) (3) (4)
1 PASIR PUTIH 1.462 492
2 BEDAHAN 1.081 709
3 PENGASINAN 122 1.803
4 DUREN SERIBU 1.977 1.554
5 BOJONGSARI 399 1.842
6 CURUG 1.809 931
7 PONDOK PETIR 17 714
8 SERUA 1.349 1.577
9 CINANGKA 1.043 1.376
10 SAWANGAN 407 598
11 SAWANGAN BARU 1.434 1.898
12 KEDAUNG 288 1.492
13 BOJONGSARI BARU 744 1.924
14 DUREN MEKAR 3.469 4.179
Jumlah 15.565 21.089
Keterangan: Data primer dari Kecamatan Sawangan

Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa mayoritas penduduk

Kecamatan Sawangan bermata pencaharian sebagai petani berjumlah 15.565 jiwa,

hal ini karena letak Kecamatan Sawangan kondisi ekonomi penduduk juga

ditopang dari sektor wiraswasta berjumlah 21.089 jiwa, mengingat bahwa

penduduk Kecamatan Sawangan juga termasuk masyarakat ekonomi menengah.


41

5. Kondisi sosial keagamaan

Kecamatan Sawangan merupakan salah satu kecamatan yang agamis, hal

ini terlihat dari nuansa kehidupan masyarakatnya yang agamis. Hal ini tercermin

dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, kegiatan ritual kegamaan masyarakat

yang berupa pengajian, berbagai kegiatan rutinan, baik itu mingguan atau bulanan

berupa pembacaan surat yasin dan tahlil, dzibaan, thoriqoh dan kegiatan sosial

keagamaan lainnya.

Pembinaan bidang keagamaan di wilayah kecamatan ini dapat berjalan

dengan baik, karena ditopang oleh banyaknya tempat pendidikan, tempat ibadah

dan fasilitas lainnya yang cukup memadai.

Tabel-8
Banyaknya Tempat Ibadah
Number of Religious Places
No Desa/Kelurahan Masjid Musholla Majlis Jumlah
Village/Sub-Disrict Taklim
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
1 PASIR PUTIH 6 24 10 40
2 BEDAHAN 6 18 5 29
3 PENGASINAN 8 6 11 25
4 DUREN SERIBU 6 19 9 34
5 BOJONGSARI 5 19 7 31
6 CURUG 5 17 12 34
7 PONDOK PETIR 6 11 4 21
8 SERUA 6 20 11 37
9 CINANGKA 4 28 10 42
10 SAWANGAN 5 10 4 19
11 SAWANGAN BARU 6 12 2 20
12 KEDAUNG 3 12 8 23
13 BOJONGSARI BARU 5 22 4 31
14 DUREN MEKAR 5 21 14 30
JUMLAH 76 239 111 419
Keterangan: Data primer dari Kecamatan Sawangan
42

Dari tabel di atas dapat kita ketahui bahwa sarana tempat ibadah di

Kecamatan Sawangan berjumlah 419 buah, dengan rincian, Masjid 76 buah,

Musholla 239 buah, dan Majlis Taklim 111.

Adapun sarana pendidikan yang terdapat di Kecamatan Sawangan dapat di

ketahui dalam tabel di bawah ini:

Tabel-9
Banyaknya Sarana Pendidikan

No Desa/Kelurahan TK SD SL SL PT Pon
Village/Sub-Disrict TP TA Pes
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)
1 PASIR PUTIH 3 4 3 1 - 2
2 BEDAHAN 3 2 2 3 - 4
3 PENGASINAN 9 8 5 6 2 1
4 DUREN SERIBU 3 2 - - - -
5 BOJONGSARI 5 2 2 2 - 2
6 CURUG 1 2 1 1 - 3
7 PONDOK PETIR 3 2 1 1 - 1
8 SERUA 5 5 2 2 1 1
9 CINANGKA 1 2 - - 1 -
10 SAWANGAN 4 2 2 1 - 2
11 SAWANGAN BARU 1 2 1 1 - 4
12 KEDAUNG 2 2 1 - - -
13 BOJONGSARI BARU 2 2 1 - - 2
14 DUREN MEKAR 2 1 4 6 4
JUMLAH 49 46 26 20 4 26
Keterangan: Data primer dari Kecamatan Sawangan

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa saranan pendidikan di Kecamatan

Sawangan cukup memadai bagi perkembangan intlektual masyarakat. Sarana

pendidikan dari jenjang Taman Kanak-kanak berjumlah 49 buah, sampai

Perguruan Tinggi berjumlah 4 buah, juga tersedia. Begitu pula dengan keberadaan

26 buah Pondok Pesantren menunjukkan bagaimana pembinaan spiritual dan

sosial keagamaan di wilayah kecamatan tersebut.


43

B. Poligami pada Masyarakat Sawangan.

1. Pandangan tokoh masyarakat Sawangan terhadap poligami.

a. Pengaturan mengenai masalah poligami.

Dalam poin ini, dari ke 6 (enam) tokoh masyarakat sawangan 5

(lima) di antaranya perlu adanya suatu pengaturan dari pemerintah dalam

menghadapi permasalahan poligami, karena menurut mereka

permasalahan itu perlu dilakukan atau di tindak lanjuti undang-undang

yang berlaku. Sedangkan 1 (satu) tokoh masyarakat menyatakan bahwa

poligami suatu yang amat urgen, kalau sudah tidak ada jalan lain baru

boleh melakukannya. Karena menurutnya monogamilah yang sangat ideal

karena tidak setuju dengan poligami. Selanjutnya mengatakan bahwa

poligami harus dengan ilmu karena dengan alasan tidak mendzolimi

seorang istri dan paham dengan syarat-syarat yang telah ada dalam hukum

Islam dan hukum positif. Dan ada beberapa tokoh dengan alasan yang

mereka kemukakan, di antaranya :

K.H Mad Budi dan H. Mad Nuh Malik mengatakan bahwa

pengaturan perkawinan terhadap poligami yang dilakukan oleh pemerintah

terhadap warga negaranya. Selanjutnya K.H Damanhuri bahwa

perkawinan poligami itu harus diatur oleh pemerintah untuk menyamakan

persepsi, karena di Indonesia ada bermacam-macam agama dan aliran

kepercayaan, maka undang-undang perkawinan itu harus dibukukan.1

1
K.H Damnhuri, wawancara pribadi, pesantren Al-karimiyah sawangan baru 17 juli 2010.
44

KH. Anwar Hidayat SH mengatakan bahwa pengaturan

pemerintah terhadap masalah perkawinan warganya itu diperlukan untuk

melindungi rakyatnya.2 Sementara itu menurut KH. Edi Djunaedi bahwa

perlu juga pemerintah mengatur masalah perkawinan dalam poligami

karena mayoritas rakyatnya bergama Islam, maka pengaturan perkawinan

dalm berpoligami banyak diarahkan pada muatan-muatan Islam.3

b. Syarat poligami.

Para tokoh masyarakat sepakat bahwa melakukan berpoligami

dalam Islam itu harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh

hukum Islam.

Sementara itu H. Mad Nuh Malik mengatakan bahwa Poligami

sudah sangat jelas kedudukannya dalam hukum Islam. Bagi seorang suami

yang akan melakukan poligami harus memperhatikan dan memenuhi

syarat yang dinyatakan dalam Al-Qur’an, sebab bila ia tidak mampu

memenuhinya maka sang suami tidak berhak berpoligami. 4

Selanjutnya K.H Mad Budi menambahkan bahwa Islam mengijinkan

seorang laki mengawini seorang perempuan lebih dari satu ( hingga empat ).

Namun, hal itu dapat dilakukan oleh suami bila ia telah memenuhi syarat yang

telah ditentukan oleh hukum Islam. Apabila syarat belum terpenuhi maka ia

2
KH. Anwar Hidayat SH,wawancara pribadi, pesantren Darul Ulum Sawangan 25 Juli 2010.
3
KH. Edi Djunaedi, wawancara pribadi, pesantren Ulumul Qur’an Duren Mekar ( Sawangan
) 18 Juli 2010.
4
H. Mad Nuh Malik, wawancra pribadi. Ulama Pondok petir (Sawangan) 10 Juli 2010.
45

harus merenungkan niatnya. Sebenarnya poligami adalah solusi dalam hukum

Islam dan upaya mengangkat derajat kaum wanita.5

K.H. Damanhuri yang mempunyai istri lebih dari satu, mengatakan

bahwa poligami itu boleh asal kita bisa berbuat adil dan mencari banyak

keturunan. Sehingga jelas yang dinyatakan dalam Al-Qur’an. Dan tujuan dari

poligami melestarikan keturunan, nilai sosial dan sunnah (dari sisi bilangan).6

Sementara itu menurut KH. Edi Junaedi bahwa perlu juga pemerintah

mengatur masalah perkawinan ( poligami ) karena mayoritas rakyatnya

beragama Islam, maka pengaturan perkawinannya banyak diarahkan pada

muatan-muatan Islam.7

Sebagaimana yang dikatakan oleh KH. Anwar Hidayat SH bahwa

syarat poligami harus sesuai dengan tuntunan agama karena kebenaran agama

itu mutlak, dan wajib kita yakini.8 Adapun syarat-syarat poligami dalam Islam

adalah sebagai berikut:

a. Bila seorang lelaki yang telah beristri, masih akan terjadi penyelewengan

kepada perempuan lain.

b. Bila istri mandul, sedang ia tidak rela diceraikan.

5
KH. Mad Budi, wawancara pribadi. Pondok pesantren Darutafsir Alhusaini Duren Mekar
(Sawangan) 13 Juli 2010.
6
K.H Damanhuri, wawancara pribadi. Pondok pesantren Al-karimiyah Sawangan Baru 17
Juli 2010.
7
K.H Edi Djunaedi, wawancara pribadi, pondok pesantren Ulumul Qur’an Duren Mekar 18
Juli 2010.
8
K.H Anwar Hidayat SH, wawancara pribadi. Pesantren Darul Ulum (Sawangan) 25 Juli
2010.
46

c. Bila seorang istri sakit berkepanjangan

d. Jika jumlah wanita lebih banyak dari pada pria.

C. Pengaruh Poligami

1. Pengaruh poligami terhadap ekonomi

Bahwa ekonomi juga sangat perlu dalam kebutuhan keluarga bahkan

semua orang membutuhkannya. Hal ini dapat dilihat dari beberapa para tokoh

yang berpendapat tentang pengaruh poligami terhadap ekonomi, adapun

tersebut diantaranya:

a. Hartanya terbagi-bagi. Hal ini diungkapkan oleh K.H Mad Budi bahwa

“pengaruh poligami terhadap ekonomi adalah hartanya terbagi-bagi,

gajinya terbagi-bagi di antara para istri sedangkan dari bapak ke anak

terasa kurang, bahkan mereka terlantar”.

b. Bentuk kemapanan, H. Bahrudin mengatakan bahwa poligami adalah

suatu kemapanan seorang suami sehingga dengan poligami suami yang

mapan bisa berbagi rata dalam bentuk materi yang di berikan.

Hal senada juga dikemukakan KH. Damanhuri, yang mengatakan “

bahwa poligami adalah bentuk kemampuan seorang suami. Suami yang

berpoligami harus mempunyai power sehingga segala kebutuhan pasti

terjamin, karena faktor utamanya dalam berpoligami adalah kemapanan

ekonomi.
47

Karena syarat poligami atau kemapanan ekonomi di lihat dari

beberapa tokoh masyarakat sawangan mengatakan, di antaranya :

a. Menurut H. Mad Nuh Malik mengtakan “bahwa poligami adalah harus

berdasarkan ekonomi karena memenuhi kebutuhan untuk keluarganya.

b. Menurut K.H Edi djunaedi mengatakan “bahwa poligami adalah seseorang

yang mempunyai banyak harta sehingga mampu memberikan nafkah

dengan adil.

c. Menurut K.H Anwar Hidayat SH mengatakan “bahwa poligami adalah

mampu memberikan mahar ( mas kawin ) yang berlaku seumur hidup,

atau mampu berbuat adil kepada setiap istri dan anaknya.

2. Pengaruh Poligami terhadap kejiwaan Anak

Poligami berpengaruh terhadap kejiwaan anak, karena anak kurang

mendapatkan pengasuhan orang tuanya sehingga mereka tidak dekat kepada

seorang bapak yang berpoligami. Hal ini ditegaskan oleh beberapa para tokoh

masyarakat yang berpendapat tentang pengaruh poligami terhadap kejiwaan

anak. Adapun pendapat tersebut di antaranya adalah:

a. Anak kurang diperhatikan., menurut K.H Mad Budi mengatakan bahwa

dampak bagi kejiwaan seorang anak adalah anak merasa kurang

diperhatikan, merasa kurang mendapatkan kasih sayang dari bapaknya,

atau merasa tidak dekat dengan ayahnya. Di samping itu, poligami

membawa beban psikologis anak terhadap lingkungan atau teman –


48

temannya, karena mereka terbebani oleh perkataan teman-temannya yang

mengatakan bahwa bapaknya tukang kawin ( berpoligami ).

b. Membuka peluang anak menjadi nakal dan tidak terurus. Menurut H. Mad

Nuh Malik mencontohkan sebuah kasus, bahwa ada seorang mempunyai

banyak anak di mana-mana dari hasil berpoligami keluarga tersebut dari

laki-laki yang berpoligami hanya terpenuhi kebutuhan ekonomi saja tetapi

tidak mendapat perhatian yang lebih dekat dari seorang ayah.9

c. Anak akan merasa dirinya tidak memiliki kebebasan di dalam lingkungan

sosial pergaulan, karena jiwanya merasa terbebani atas perbuatan orang

tuanya berpoligami. Hal ini dikemukakan oleh K.H Damanhuri.

d. Anak merasa tidak diperhatikan atau kurang mendapat kasih sayang yang

dahulu di rasakan sebelum berpoligami. Hal ini dikemukakan oleh K.H.

Edi Junaedi.

e. Anak tidak hormat kepada bapaknya sehinggga anak sekehendak hatinya

melakukan perbuatan yang tidak baik seperti melakukan ketidak sopanan,

membangkang dan karena bapak menyakiti ibunya, anak bisa saja

memusuhi bapaknya. Hal ini dikemukakan oleh H. Bahrudin.

f. Anak akan merasa dirinya tidak memiliki kebebasan di dalam lingkungan

sosial pergaulan, karena jiwanya merasa terbebani atas perbuatan orang

tuanya berpoligami. Menurut K.H Damanhuri.

9
H, Mad Nuh malik, wawancara pribadi. Ulama Pondok petir (Sawangan) 15 Juli 2010.
49

Melihat paparan beberapa pendapat di atas, menurut tokoh masyarakat

sawangan pada dasarnya poligami itu boleh dilakukan dengan catatan:

a. Harus mapan dari segi ekonomi

b. Dapat berlaku Adil

c. Mendapat ijin dari istri

2. Faktor-faktor pendukung Poligami di Kecamatan Sawangan

Setelah penulis wawancara kepada tokoh Masyarakat Banyaknya

pelaku poligami pada umumnya, dan penulis dapat mengklasifikasikan ada

berbagai macam faktor :

a. Faktor Internal, dalam hal ini seperti istri yang tidak dapat memberikan

kepuasaan terhadap suami atau karena istri tidak bergairah lagi dalam hal

sek sementara suami mempunyai libido yang tinggi. Istri yang

membangkang pada suami, sehingga tidak terciptanya keharmonisan

dalam rumah tangga, istri mandul atau tidak bisa memberikan keturunan.

b. Faktor pendidikan, dalam melihat latar belakang tingkat pendidikan orang

yang melakukan poligami rendah sehingga mudah untuk memutuskan

menikah lagi jika mereka sudah merasa mampu untuk memberi nafkah

lebih dari satu istri.

c. Faktor ekonomi, dalam faktor ini hanya segelintir orang yang mempunyai

kedudukan yang berbeda di masyarakat. Yang dianggap sebagai orang

yang mampu dalam hal materi atau ekonomi, sehingga mereka mau

melakukan tindakan poligami untuk tujuan yang bernilai positif.


50

d. Faktor pergaulan, dalam lingkungan pergaulan poligami akan

memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap orang-orang yang

belum hidup berpoligami sehingga terdorong hatinya untuk melakukan di

karenakan dari segi faktor ekonomi sudah cukup.


BAB IV

ANALISIS PANDANGAN TOKOH MASYARAKAT SAWANGAN

TENTANG POLIGAMI

A. Analisis menurut Hukum Islam

Berdasarkan pandangan dari ke-6 tokoh masyarakat sawangan dalam

menyikapi poligami terhadap hukum Islam. 5 di antaranya tokoh masyarakat

tersebut mengatakan, bahwa poligami dalam hukum Islam sangat jelas

kedudukannya. Poligami harus memperhatikan dan memenuhi syarat-syarat

dalam hukum Islam, yang dinyatakan dalam Al-Qur’an surat an-Nisa di awal

yaitu pada ayat ke 3:3

(& : &/) 


          !" #…
Artinya : ".... maka kawinilah wanita – wanita (lain) yang kamu senangi,
satu, dua, tiga, atau empat." (QS. an Nisa/3: 3)

Menurut tokoh masyarakat, ayat ini adalah syarat-syarat dalam

berpoligami. Hal ini membuktikan bahwa hukum Islam membolehkan seorang

laki-laki beristri lebih dari satu asalkan memenuhi syarat yang ditentukan dalam

hukum Islam. Menurut KH. Mad Budi, jika syarat dalam hukum Islam tidak

terpenuhi maka poligami harus diurungkan oleh seorang laki-laki, sebagaimana

yang dijelaskan dalam ayat lain An-Nisa (4:129) yang berbunyi :

51
52

È≅øŠyϑø9$# ¨≅à2 (#θè=ŠÏϑs? Ÿξsù ( öΝçFô¹t ym öθs9uρ Ï!$|¡ÏiΨ9$# t÷t/ (#θä9ω÷ès? βr& (#þθãè‹ÏÜtFó¡n@ s9uρ

$VϑŠÏm§‘ #Y‘θàxî tβ%x. ©!$#  χÎ*sù (#θà)−Gs?uρ (#θßsÎ=óÁè? βÎ)uρ 4 Ïπs)¯=yèßϑø9$$x. $yδρâ‘x‹tGsù

(*+, :)/)
Artinya: Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-
isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena itu
janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga
kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan
perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. An-Nisa’/4: 129)

KH. Damanhuri menjelaskan hukum poligami dari segi keadilan. Dalam

hal ini adil bukannya berarti memberikan materi yang cukup saja tetapi adil yang

bersipat substansial, artinya adil memberikan nafkah bathin serta adil dalam

persamaan kaum wanita yang dinikahinya.

Jika hukum Islam tidak terpenuhi dalam keadilan berpoligami dan hanya

dimotifasi oleh kebutuhan biologis laki-laki maka semakin mendekati keharaman

yang nyata.

Selain ayat di atas yang menggambarkan hukum poligami berdasarkan

hukum Islam, ditegaskan pula berdasarkan ushul fiqh, bahwa poligami dibolehkan

namun poligami tidak harus dijadikan suatu kewajiban. Sebagian jumhur ulama

berpendapat bahwa poligami hanya pada empat wanita saja atau sesuai dengan

ketentuan Al-Qur’an dan Hadis.

Para ulama sepakat dengan dibolehkannya berpoligami, namun tidak

menjadikan poligami sebagai suatu kewajiban bagi kaum muslimin. Adapun


53

perselisihan yang terjadi di antara mereka hanyalah jumlah bilangan poligami itu

sendiri, Jumhur ulama berbeda pendapat, kebolehan berpoligami hanya kepada

empat wanita saja.

Menurut Imam Hanafi dan Imam Syafi’i di dalam kitab Bidayatul

Mujtahid bahwa tidak boleh menikahi wanita lebih dari empat wanita dalam

waktu yang bersamaan.1 Imam Malik berpendapat bahwa seseorang abdun boleh

menikahi empat wanita dalam satu waktu, dan beliau menukil dalam kitab al

Muwatha, bahwa Ghailan bin Salman memeluk Islam sedang ia mempunyai

sepuluh isteri. Maka Rasulullah, bersabda :

(9 :; <) -./!01 234 # 562 7 -82! 292 7


Artinya: “Peliharalah empat orang isteri diantara mereka dan bebaskanlah
(ceraikan) yang lainnya”. (H.R. Imam Malik dalam kitab al
Muwatha).2 Pendapat ini didukung oleh Ahlu Zhahir (pengikut Imam
Daud ad Dhahiri).

Sedangkan dalil dari sunnah sebagaimana dalam riwayat hadis yang

menjelaskan ketika Ghailan bin salamah Ats-Tsaqafi masuk Islam dalam keadaan

beristri sepuluh orang yang ia nikahi di masa jahiliyah (sebelum masuk islam),

mereka semua masuk Islam bersamanya, maka Rasulallah saw memerintahkannya

untuk memilih empat di antara mereka.

1
Ibnu Rusyd, al Mujtahid, Bidayatul, (Beirut : Darul fikr, tt), cet. Ke-1, jilid, 11 h. 31
2
Imam Malik, al Muwatha, Muhammad Fuad Abd. al Baqi- kitab al shib, Kairo. tt
54

F G/.H F /@6  => /E6?  =@A  => B>  CD  =>


I J KL# M" /NF JOP Q@R1 S BT R1 KU /@F  F B1
(J?  <) V 8 WX R1 JBRF Y RZ
Artinya: “ kami diberitahukan oleh yahya Ibn Hakim, kami diberitahukan oleh
Muhammad ibn Ja’far, kami diberitahukan oleh Mu’amar dari al-
Zuhri dari salim dari Ibn Umar berkata: Ghilan ibn Salamah masuk
islam dan ia memiliki 10 istri, maka nabi bersabda : Ambilah diantara
mereka empat orang”. ( H.R. Ibnu Majah )

Sedangkan dalil dari ijma ialah kesepakatan kaum muslimin tentang

kehalalan poligami baik melalui ucapan atau perbuatan mereka sejak masa

Rasulallah saw sampai hari ini. Para sahabat utama Nabi melakukan poligami

seperti umar bin Khattab, ali bin Abi Thalib, Muawiyah bin Abi sufyan, dan

Muaz bin Jabal r.a.

Poligami dilakukan juga oleh ahli fiqih tabi’in, mereka mengakui orang

yang menikah lebih dari satu istri, dinamakan poligami. Kesimpulannya bahwa

generasi salaf (terdahulu) dan khalaf (kini) dari ummat islam telah bersepakat

melalui ucapan dan perbuatan mereka bahwa poligami itu halal.

Pandangan normatif al-Qur’an yang selanjutnya diadopsi oleh ulama-

ulama fiqih setidaknya menjelaskan dua persyaratan yang harus dimiliki oleh

suami; pertama, seorang lelaki yang ingin berpoligami harus memiliki

kemampuan dana yang cukup untuk membiayai berbagai keperluan dengan


55

bertambahnya istri yang dinikahi. Kedua, seorang lelaki harus memperlakukan

semua istrinya dengan adil.

Abdurahman al-Jaziri di dalam kitabnya menulis bahwa mempersamakan

hak atas kebutuhan seksual dan kewajiban bagi orang-orang yang berpoligami

karena sebagai manusia wajar tertarik pada salah seorang istrinya melebihi yang

lain dan hal yang semacam ini merupakan sesuatu yang berada di luar batas

kontrol manusia.

Sedangkan terdapat 1 (satu) tokoh masyarakat yang mempunyai

pandangan lain terhadap poligami tersebut karena poligami merupakan jalan

darurat (emergency exit), kalau sudah tidak ada jalan baru boleh melakukannya.

Dan poligami harus dengan ilmu karena dengan alasan tidak mendzolimi seorang

istri dan paham dengan syarat-syarat yang telah ada di dalam hukum Islam dan

hukum positif. Pandangan tersebut sesuai dengan surat an-Nisa :

(#θä9θãès? ωr& #’oΤ÷Šr& y7Ï9≡sŒ 4 öΝä3ãΨ≈yϑ÷ƒr& ôMs3n=tΒ $tΒ ÷ρr& ¸οy‰Ïn≡uθsù (#θä9ω÷ès? ωr& óΟçFøÅz ÷βÎ*sù ...
(& :)/)
Artinya : “... kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil. Maka
(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang
demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. Q.s..
An-Nisa: 3).
56

B. Analisa menurut Hukum Positif

Berdasarkan analisa, hukum positif memandang pendapat tokoh

masyarakat mengenai poligami adalah suatu yang positif dan baik, karena

pandangan tokoh masyarakat sawangan telah sesuai, sebagaimana yang tersirat

dalam undang-undang hukum positif.

Sebagaimana hukum positif mengenai prosedur tatacara poligami dalam

perundang-undang perkawinan No.1 Tahun 1974 dan Kompilsai Hukum Islam

(KHI ).

1. Menurut pasal 3-4 UU No 1 Tahun 1974 adalah mengenai kebolehan

poligami telah mengatur walau terbatas hanya sampai empat (4) istri.

2. Menurut pasal 55-57 KHI, poligami dibolehkan.

3. Menurut pasal 55-59, mengenai syarat-syarat utama berpoligami.

4. Menurut pasal 5 UU No 1 Th 1974, mengenai kepastian bahwa suami mampu

menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anaknya.

Hal tersebut di atas sesuai dengan persepsi tokoh masyarakat sawangan

salah satunya adalah pendapat KH. Mad Budi S.Ag bahwa poligami itu

diperbolehkan apabila telah memenuhi syarat yang ditentukan dalam hukum

positif.

Jadi, menurut hukum positif pendapat tokoh masyarakat sawangan

mengenai poligami, sudah sesuai dengan aturan yang berlaku dalam suatu

perundang-undang perkawinan dalam berpoligami, dan tidak ada satu pun dari

tokoh masyarakat yang bertentangan dari hukum positif.


BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah penulis menguraikan dan memaparkan data hasil penelitian

pandangan tokoh masyarakat Kecamatan Sawangan terhadap poligami, maka

sekiranya penulis mengambil kesimpulan beberapa point, yaitu:

1. Dari 5 (80%), 6 tokoh masyarakat menyatakan bahwa, poligami harus

memperhatikan dan memenuhi syarat-syarat dalam hukum Islam. Sedangkan

satu orang (20%) tokoh masyarakat mempunyai pandangan lain mengenai

poligami, karena poligami suatu yang boleh dilakukan dalam kondisi darurat

(emergency exit), yaitu dilakukan kalau sudah tidak ada jalan lain.

2. Menurut hukum positif pendapat tokoh masyarakat sawangan mengenai

poligami, sudah sesuai dengan aturan yang berlaku dalam suatu perundang-

undang perkawinan, dan tidak ada satu pun dari tokoh masyarakat yang

bertentangan dari hukum positif.

B. Saran-saran

1. Hendaknya seseorang suami memeliki pengetahuan dan wawasan yang luas

dalam masalah perkawinan dan kehidupan suami istri, khususnya dalam etika

poligami dan cara berlaku adil sebelum melakukan peraktek poligami,

57
58

apabila di era sekarang ini banyak poligami yang melanggar terhadap

ketentuan poligami dan tidak memikirkan aplikasinya.

2. Ada baiknya poligami di hindari untuk menghindari konflik atau problem-

problem yang muncul, terutama bagi mereka yang merasa tidak mampu untuk

berbuat adil terhadap istri-istrinya dengan munculnya berbagai masalah yang

dapat mengusik ketenangan batinnya.

3. Bagi peneliti yang berminat menekuni isu poligami, sebaiknya dapat memila

dan memilih dampak negatif dan positifnya dari prilaku poligami, sehingga

dapat mengambil sebuah keputusan yang objektif bertendensi pada keadilan.


DAFTAR PUSTAKA

Al ‘Atthar, Abdul Nasir Taufiq. Poligami ditinjau dari Segi Agama, Sosial dan
Perundang – undangan. Jakarta : Bulan Bintang, 1976, cet. 1

Al Jahrani, Musfir. Poligami dari Berbagai Persepsi. Jakarta : Gema Insani Press,
1996

As Siba’I, Musthafa. Wanita diantara Hukum Islam dan Perundang – undangan.


Jakarta : Bulan Bintang, 1977, cet. 1

As-Sanan, Arij Abdurrahman. Memahami Keadilan dalam Poligami. Jakarta : PT.


Global Media Cipra Publishing, 2003

Dagun, Save M., Kamus Besar Ilmu Pengetahuan. Jakarta : LPKN, 1997

Gusmian, Islah. Mengapa Nabi Muhammad Berpoligami. Yogyakarta : Pustaka


Marwa, 2007, cet 1

Haikal, Abduttawab. Rahasia Perkawinan Rasullallah SAW, Poligami dalam Islam


Vs Monogami Barat. Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya, 1993, cet. 1

Hakim, Rahmat. Hukum Perkawinan Islam. Bandung : Pustaka Setia, 2000, cet. 1.

Ibnu Rusyd, al Mujtahid, Bidayatul, Beirut : Darul fikr, tt, cet. Ke-1, jilid, 11

Jaiz, Hartono Ahmad. Wanita antara Jodoh, Poligami dan Perselingkuhan. Jakarta :
Pustaka Al-Kautsar, 2007, cet. 1

Kamus Besar Bahasa Indonesia. Depdikbud, Jakarta : Balai Pustaka, 1996, Cet. ke- 7

Malik, Imam, al Muwatha, Muhammad Fuad Abd. al Baqi- kitab al shib, Kairo. Tt

Mulia, Musdah. Islam Menggugat Poligami. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2007

____________. Pandangan Islam tentang Poligami. Jakarta : Lembaga Kajian


Agama dan Gender, 1999, cet. 1

Tatapangarsa, Humaidi. Hakekat Poligami dalam Islam. t.t., Usaha Nasional, t.th

Thib, Sayuti. Hukum Kekeluargaan Indonesia. Jakarta : Bina Aksara, 1981

Tim Redaksi Fokusmedia, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Tentang


Perkawinan, Bandung: Fokus Media, 2005, cet. ke-1

59
60

Titik Triwulan, Poligami Prespektif Perikatan Nikah, Jakarta : Prestasi Pustaka Raya,
2007

Tutik, Titik Triwulan. Poligami Perspektif Perikatan Nikah. Jakarta : Prestasi


Pustaka, 2007, cet. 1

Anda mungkin juga menyukai