PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Saat ini, penyakit thalassemia merupakan penyakit genetika yang paling
banyak di Indonesia. Frekuensinya terus meningkat dengan penderita sekitar
2000 orang per tahun. Walupun begitu, masyarakat tidak menaruh perhatian yang
cukup besar terhadap penyakit yang sudah menjadi salah satu penyakit genetika
terbanyak ini. Hal ini disebabkan karena gejala awal dari penyakit sangat umum
seperti anemia dan muntah-muntah. Padahal gejala akhir yang ditimbulkan akan
sangat fatal jika tidak ditangani secara akurat, cepat, dan tepat.
Hemoglobin (Hb) terbentuk dari heme dan globin yang terdiri dari 4 rabtal
polipeptida (α β γ δ) atau biasa yang disebut tentramen. Orang dewasa normal
membentuk Hb A (Adult A) kadarnya mencapai lebih kurang 95% dari seluruh
Hemoglobin. Sisanya terdiri dari Hb A2 yang kadarnya tidak lebih dari 2%.
Sedangkan HbF (foetus) setelah lahir senantiasa kadar menurun dan pada usia 6
bulan ke atas mencapai kadar seperti pada orang dewasa, yaitu tidak lebih dari 4%
pada keadaan normal. Tentramenglobin. Hb A1 terdiri atas rantal polipeptida : 2
rantai α dan 2 rantai β, sedangkan polipeptida Hb A2 terdiri dari 2 rantai α dan 2
rantai δ (delta). Pada HbF terdiri atas 2 rantai α dan 2 rantai γ.
Genetik paling umum dari talasemia melibatkan gangguan produksi rantai β
(talasemia β). Gen ini prevelen pada golongan etnis dari aerah sekeliling laut
Tengah terutama Itali, Yunani dan juga di temukan di India dan Asia Tenggara.
3%-8% orang Amerika keturunan Italia,Yunani dan 0,5% kulit hitam Amerika
membawa gen talasem. Insidens talasemia pada orang-orang yang bukan berasal
dari laut tengah sangat rendah tetapi kasus tipikal ditemukan pada berbagai
golongan ras. Banyak kasus dapat diklasifikasikan sebagai talisemia mayor atau
minor yang umumnya berkaitan dengan genotip homozigoot dan heterozigot.
Sampai hari ini, talasemia merupakan penyakit yang belum bisa disembuhkan
100 persen. Penyakit ini ditandai dengan anemia atau kekurangan darah berat
akibat kerusakan sel darah merah. Padahal sel darah merah berfungsi mengalirkan
oksigen ke seluruh tubuh. Dengan kekurangan oksigen maka seluruh organ tubuh
tidak bekerja baik.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah thalasemia itu?
2. Bagaimana etiologi dari thalasemia?
3. Apa saja klasifikasi dari thalasemia itu sendiri?
4. Bagaimana patofisiologi thalasemia?
5. Apa saja tanda dan gejala yang timbul pada thalasemia?
6. Bagaimana asuhan kebidanan pada penderita thalasemia?
C. Tujuan
1. Tujuan umum
Dapat memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan thalasemia.
2. Tujuan khusus
a. Dapat mengetahui definisi talasemia
b. Dapat mengetahui etiologi dari thalasemia.
c. Dapat mengetahui klasifikasi talasemia
d. Dapat menjelaskan patofisiologi talasemia
e. Dapat menjelaskan tanda dan gejala talasemia
f. Dapat memberikan asuhan keperawatan pada penderita thalasemia
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Konsep Teori
1. Definisi
a. Suriadi dan Yuliani, 2010
Thalasemia adalah suatu gangguan darah yang diturunkan di tandai
oleh defisiensi produk rantai globin pada hemoglobin.
b. Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V. Aru W. Sudoyo, dkk. 2009
Thalasemia merupakan sindrom kelainan yag diwariskan dan masuk
dalam kelompok hemoglobinopati, yakni kelainan yang disebabkan gangguan
sintesis Hb akibat mutasi didalam atau dekat gen globin.
c. Tjokronegoro, A. 2001
Thalasemia adalah sekelompok penyakit atau keadaan herediter
dimana produksi satu atau lebih dari satu jenis rantai polipeptida terganggu.
d. Pedoman Diagnosis dan Terapi: RSUD Dr. Soetomo Surabaya, 1994
Talasemia adalah suatu penyakit kongenital herediter yang diturunkan
secara autosomal, berdasarkan kelainan hemoglobin, yaitu : satu atau lebih
rantai polipeptida hemoglobin kurang atau tidak berbentuk, dengan akibat
terjadi anemia hemolitik.
2. Etiologi
Adapun etiologi dari thalasemia adalah factor genetic( herediter).
Thalasemia merupakan penyakit anemia hemolitik dimana terjadi kerusakan sel
darah merah di dalam pembuluh darah sehingga umur eritrosit menjadi
pendek(<100 hari). Penyebab kerusakan tersebut karena haemoglobin yang tidak
normal dan kelainan pembentukan hemoglobin karena gangguan structural
pembentukan hemoglobin(hemoglobin abnormal).
3. Patofisiologi
Pada keadaan normal, disintetis hemoglobin A (adult : A1) yang terdiri
dari 2 rantai alfa dan dua rantai beta. Kadarnya mencapai lebih kurang 95 % dari
seluruh hemoglobin. Sisanya terdiri dari hemoglobin A2 yang mempunyai 2 rantai
alfa dari 2 rantai delta sedangkan kadarnya tidak lebih dari 2 % pada keadaan
normal. Haemoglobin F (foetal) setelah lahir Fetus senantiasa menurun dan pada
usia 6 bulan mencapai kadar seperti orang dewasa, yaitu tidak lebih dari 4%, pada
keadaan normal. Hemoglobin F terdiri dari 2 rantai alfa dan 2 rantai gamma. Pada
thalasemia, satu atau lebih dari satu rantai globin kurang diproduksi sehingga
terdapat kelebihan rantai globin karena tidak ada pasangan dalam proses
pembentukan hemoglobin normal orang dewasa (HbA). Kelebihan rantai globin
yang tidak terpakai akan mengendap pada dinding eritrosit. Keadaan ini
menyebabkan eritropoesis tidak efektif dan eritrosit memberikan gambaran
anemia hipokrom, mikrositer.
Pada Thalasemia beta produksi rantai beta terganggu, mengakibatkan
kadar Hb menurun sedangkan produksi HbA2 dan atau HbF tidak terganggu
karena tidak memerlukan rantai beta dan justru memproduksi lebih banyak dari
pada keadaan normal, mungkin sebagai usaha kompensasi. Eritropoesis didalam
susunan tulang sangat giat, dapat mencapai 5 kali lipat dari nilai normal, dan juga
serupa apabila ada eritropoesis ekstra medular hati dan limfa. Destruksi eritrosit
dan prekusornya dalam sumsum tulang adalah luas (eritropoesis tidak efektif) dan
masa hidup eritrosit memendek dan hemolisis. (Soeparman, dkk, 1996).
5. Pencegahan
WHO menganjurkan dua cara pencegahan yakni pemeriksaan kehamilan
dan penapisan (screening) penduduk untuk mencari pembawa sifat Talasemia.
Program itulah yang diharapkan dimasukkan ke program nasional pemerintah.
Menurut Hoffbrand (2005) konseling genetik penting dilakukan bagi
pasangan yang berisiko mempunyai seorang anak yang menderita suatu defek
hemoglobin yang berat. Jika seorang wanita hamil diketahui menderita
kelainan hemoglobin, pasangannya harus diperiksa untuk menentukan apakah
dia juga membawa defek. Jika keduanya memperlihatkan adanya kelainan dan
ada resiko suatu defek yang serius pada anak (khususnya Talasemia-β mayor)
maka penting untuk menawarkan penegakkan diagnosis antenatal.
a. Penapisan (Screening)
Ada 2 pendekatan untuk menghindari Talesemia:
1) Karena karier Talasemia β bisa diketahui dengan mudah,
penapisan populasi dan konseling tentang pasangan bisa
dilakukan. Bila heterozigot menikah, 1-4 anak mereka bisa
menjadi homozigot atau gabungan heterozigot.
2) Bila ibu heterozigot sudah diketahui sebelum lahir, pasangannya
bisa diperiksa dan bila termasuk karier, pasangan tersebut
ditawari diagnosis prenatal dan terminasi kehamilan pada fetus
dengan Talasemia β berat
3) Bila populasi tersebut menghendaki pemilihan pasangan,
dilakukan penapisan premarital yang bisa dilakukan di sekolah
anak. Penting menyediakan program konseling verbal maupun
tertulis mengenai hasil penapisan Talasemia (Permono, &
Ugrasena, 2006).
Alternatif lain adalah memeriksa setiap wanita hamil muda
berdasarkan ras. Penapisan yang efektif adalah ukuran eritrosit, bila MCV
dan MCH sesuai gambaran Talasemia, perkiraan kadar HbA2 harus
diukur, biasanya meningkat pada Talasemia β. Bila kadarnya normal,
pasien dikirim ke pusat yang bisa menganalisis gen rantai α. Penting
untuk membedakan Talasemia αo(-/αα) dan Talasemia α+(-α/-α), pada
kasus pasien tidak memiliki risiko mendapat keturunan Talesemia αo
homozigot. Pada kasus jarang dimana gambaran darah memperlihatkan
Talesemia β heterozigot dengan HbA2 normal dan gen rantai α utuh,
kemungkinannya adalah Talasemia α non delesi atau Talasemia β dengan
HbA2 normal. Kedua hal ini dibedakan dengan sintesis rantai globin dan
analisa DNA. Penting untuk memeriksa Hb elektroforase pada kasus-
kasus ini untuk mencari kemungkinan variasi struktural Hb (Permono, &
Ugrasena, 2006)
b. Diagnosis Prenatal
Diagnosis prenatal dari berbagai bentuk Talasemia, dapat dilakukan
dengan berbagai cara. Dapat dibuat dengan penelitian sintesis rantai
globin pada sampel darah janin dengan menggunakan fetoscopi saat
kehamilan 18-20 minggu, meskipun pemeriksaan ini sekarang sudah
banyak digantikan dengan analisis DNA janin. DNA diambil dari sampel
villi chorion (CVS=corion villus sampling), pada kehamilan 9-12 minggu.
Tindakan ini berisiko rendah untuk menimbulkan kematian atau kelainan
pada janin (Permono, & Ugrasena, 2006).
Tehnik diagnosis digunakan untuk analisis DNA setelah tehnik CVS,
mengalami perubahan dengan cepat beberapa tahun ini. Diagnosis
pertama yang digunakan oleh Southern Blotting dari DNA janin
menggunakan restriction fragment length polymorphism (RELPs),
dikombinasikan dengan analisis linkage atau deteksi langsung dari
mutasi. Yang lebih baru, perkembangan dari polymerase chain
reaction (PCR) untuk mengidentifikasikan mutasi yang merubah lokasi
pemutusan oleh enzim restriksi. Saat ini sudah dimungkinkan untuk
mendeteksi berbagai bentuk α dan β dari Talasemia secara langsung
dengan analisis DNA janin. Perkembangan PCR dikombinasikan dengan
kemampuan oligonukleotida untuk mendeteksi mutasi individual,
membuka jalan bermacam pendekatan baru untuk memperbaiki akurasi
dan kecepatan deteksi karier dan diagnosis prenatal. Contohnya diagnosis
menggunakan hibridasi dari ujung oligonukleotida yang diberi label 32P
spesifik untuk memperbesar region gen globin β melalui membran nilon.
Sejak sekuensi dari gen globin β dapat diperbesar lebih 108 kali, waktu
hibridasi dapat dibatasi sampai 1 jam dan seluruh prosedur diselesaikan
dalam waktu 2 jam (Permono, & Ugrasena, 2006).
Terdapat berbagai macam variasi pendekatan PCR pada diagnosis
prenatal. Contohnya, tehnik ARMS (Amplification refractory mutation
system), berdasarkan pengamatan bahwa pada beberapa kasus,
oligonukleotida (Permono, & Ugrasena, 2006).
Angka kesalahan dari berbagai pendekatan laboratorium saat ini,
kurang dari 1%. Sumber kesalahan antara lain, kontaminasi ibu pada
DNA janin, non-paterniti, dan rekombinasi genetik jika menggunakan
RELP linkage analysis (Permono, & Ugrasena, 2006).
Menurut Tamam (2009), karena penyakit ini belum ada obatnya,
maka pencegahan dini menjadi hal yang lebih penting dibanding
pengobatan. Program pencegahan Talasemia terdiri dari beberapa strategi,
yakni (1) penapisan (skrining) pembawa sifat Talasemia, (2) konsultasi
genetik (genetic counseling), dan (3) diagnosis prenatal. Skrining
pembawa sifat dapat dilakukan secara prospektif dan retrospektif. Secara
prospektif berarti mencari secara aktif pembawa sifat thalassemia
langsung dari populasi diberbagai wilayah, sedangkan secara retrospektif
ialah menemukan pembawa sifat melalui penelusuran keluarga penderita
Talasemia (family study). Kepada pembawa sifat ini diberikan informasi
dan nasehat-nasehat tentang keadaannya dan masa depannya. Suatu
program pencegahan yang baik untuk Talasemia seharusnya mencakup
kedua pendekatan tersebut. Program yang optimal tidak selalu dapat
dilaksanakan dengan baik terutama di negara-negara sedang berkembang,
karena pendekatan prospektif memerlukan biaya yang tinggi. Atas dasar
itu harus dibedakan antara usaha program pencegahan di negara
berkembang dengan negara maju. Program pencegahan retrospektif akan
lebih mudah dilaksanakan di negara berkembang daripada program
prospektif.
6. Komplikasi
Akibat anemia yang berat dan lama, sering terjadi gagal jantung. Tranfusi
darah yang berulang ulang dan proses hemolisis menyebabkan kadar besi
dalam darah sangat tinggi, sehingga di timbun dalam berbagai jarigan tubuh
seperti hepar, limpa, kulit, jantung dan lain lain. Hal ini menyebabkan
gangguan fungsi alat tersebut (hemokromatosis). Limpa yang besar mudah
ruptur akibat trauma ringan. Kadang kadang thalasemia disertai tanda
hiperspleenisme seperti leukopenia dan trompositopenia. Kematian terutama
disebabkan oleh infeksi dan gagal jantung (Hassan dan Alatas, 2002)
Hepatitis pasca transfusi biasa dijumpai, apalagi bila darah transfusi telah
diperiksa terlebih dahulu terhadap HBsAg. Hemosiderosis mengakibatkan
sirosis hepatis, diabetes melitus dan jantung. Pigmentasi kulit meningkat
apabila ada hemosiderosis, karena peningkatan deposisi melanin (Herdata,
2008)
7. Penatalaksanaan
Menurut (Suriadi, 2001) Penatalaksaan Medis Thalasemia antara lain :
a. Pemberian transfusi hingga Hb mencapai 9-10g/dl. Komplikasi dari
pemberian transfusi darah yang berlebihan akan menyebabkan
terjadinya penumpukan zat besi yang disebut hemosiderosis.
Hemosiderosis ini dapat dicegah dengan pemberian deferoxamine
(Desferal), yang berfungsi untuk mengeluarkan besi dari dalam tubuh
(iron chelating agent). Deferoxamine diberikan secar intravena, namun
untuk mencegah hospitalisasi yang lama dapat juga diberikan secara
subkutan dalam waktu lebih dari 12 jam.
b. Splenectomy : dilakukan untuk mengurangi penekanan pada abdomen
dan meningkatkan rentang hidup sel darah merah yang berasal dari
suplemen (transfusi).
Pada thalasemia yang berat diperlukan transfusi darah rutin dan
pemberian tambahan asam folat. Penderita yang menjalani transfusi, harus
menghindari tambahan zat besi dan obat-obat yang bersifat oksidatif
(misalnya sulfonamid), karena zat besi yang berlebihan bisa menyebabkan
keracunan. Pada bentuk yang sangat berat, mungkin diperlukan pencangkokan
sumsum tulang. Terapi genetik masih dalam tahap penelitian.
c. Suportif
1. Tranfusi Darah
Hb penderita dipertahankan antara 8 g/dl sampai 9,5 g/dl. Dengan
kedaan ini akan memberikan supresi sumsum tulang yang adekuat,
menurunkan tingkat akumulasi besi, dan dapat mempertahankan
pertumbuhan dan perkembangan penderita. Pemberian darah dalam
bentuk PRC (packed red cell), 3 ml/kg BB untuk setiap kenaikan Hb 1
g/dl.
b. Identitas Orangtua
Nama Ayah :
Nama Ibu :
Usia Ayah/Ibu :
Pendidikan Ayah/Ibu :
Pekerjaan Ayah/Ibu :
Agama :
Suku/Bangsa :
Alamat :
2. Riwayat Kesehatan Klien
a. Riwayat Kesehatan Sekarang
1. ) Keluhan Utama
Contoh : Keluhan utama yang dialami anak saat datang
memeriksakan diri pada pengkajian didapatkan anak terlihat
lemah, pucat, tak ada nafsu makan .(Ngastiyah, 2013)
2.) Riwayat Perjalanan Penyakit dan Upaya Untuk
Mengatasi
(Pada riwayat perjalanan penyakit, disusun cerita yang
kronologis, terinci dan jelas pada dokumentasi SOAP
mengenai keadaan kesehatan pasien sejak sebelum keluhan
sampai ia dibawa berobat)
b. Riwayat Kesehatan Lalu
1. ) Riwayat kehamilan dan kelahiran
- Riwayat Antenatal : Selama masa kehamilan,
hendaknya perlu dikaji secara
mendalam adanya faktor resiko
talasemia. Apabila diduga ada
faktor resiko, maka ibu perlu
diberitahukan resiko yang
mungkin sering dialami oleh
anak setelah lahir.(Wong,
2009)
- Riwayat Intranatal :
- Riwayat Postnatal :
- Riwayat Imunisasi :
- Riwayat Alergi :
- Riwayat Penyakit yang pernah diderita :
- Riwayat operasi/pembedahan :
- Riwayat Tumbuh Kembang :
Riwayat Pertumbuhan
Terutama untuk thalasemia mayor, pertumbuhan
fisik anak, adalah kecil untuk umurnya dan
adanya keterlambatan dalam kematangan seksual,
seperti tidak ada pertumbuhan ramput pubis dan
ketiak, kecerdasan anak juga mengalami
penurunan. Namun pada jenis thalasemia minor,
seringterlihat pertumbuhan dan perkembangan
anak normal. (Moorhead, Sue, dkk. 2013.)
Riwayat Perkembangan
Pada thalasemia mayor, kecerdasan anak juga
mengalami penurunan. Namun pada jenis
thalasemia minor, sering terlihat perkembangan
anak normal. (Moorhead, Sue, dkk. 2013)
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Fisik dilakukan secara head to toe mulai dari inspeksi,
palpasi, auskultasi dan perkusi
Inspeksi :
Kulit : Pada Kasus Thalasemia, Warna kulit pucat
kekuningan, jika anak telah sering mendapat transfusi
darah warna kulit akan menjadi kelabu seperti besi.Hal
ini terjadi karena adanya penumpukan zat besi dalam
jaringan kulit (hemosiderosis) (Ngastiyah, 2013)
Kepala :
Wajah :
Mata : Pada kasus thalasemia Mata dan konjungtiva pucat dan
kekuningan. (Wong, 2009)
Telinga :
Hidung : Pada kasus thalasemia Mulut dan bibir terlihat
Kehitaman.(Wong 2009)
Leher :
3. Pemeriksaan Neurologis/Refleks
Pada neonates, pemeriksaan reflex yang dilakukan antara lain :
Refleks moro :
Refleks tonoc neck :
Refleks rooting :
Refleks sucking :
Refleks graps :
Refleks babinski :
4. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium:
Dilakukan pemeriksaan Elektroforesis hemoglobin untuk
menegakkan diagnosis Thalasemia (Nursalam, 2013)
Hasil hapusan darah tepi didapatkan gambaran
anisositosis, hiprokomi, poikilotosis, sel target
(fragmentosit dan banyak sel normoblas). (Ngastiyah,
2013)
Pemeriksaan USG:
Pemeriksaan Diagnostik Lainnya:
Foto Rontgen tulang kepala : gambaran hair on end,
korteks menipis, diploe melebar dengan trabekula tegak
lurus pada korteks. Foto tulang pipih dan ujung tulang
panjang: perluasan sumsum tulang sehingga trabekula
tampak jelas.(Margan Speer, Kathleen. 2007)
5. Data Rekam Medis
Tindakan dan terapi yang telah didapat sebelum bertemu dengan
pengkaji
Diagnosis :
Diagnosis kebidanan adalah diagnosis yang ditegakkan oleh profesi (bidan)
dalam lingkup praktik kebidanan dan memenuhi standar nomenklatur
diagnosis kebidanan.
Masalah : Akibat anemia yang berat dan lama, sering terjadi gagal
jantung. Transfusi darah yang berulang-ulang dan proses
hemolisis menyebabkan kadar besi dalam darah sangat
tinggi, sehingga ditimbun di dalam berbagai jaringan tubuh
seperti hepar, limpa, kulit, jantung dan lain-lain. (Margan
Speer, Kathleen. 2007)
V. INTERVENSI
Pada langkah ini direncanakan asuhan yang menyeluruh sebagai kelanjutan
manajemen terhadap diagnosis dan masalah yang telah diidentifikasi.
Contoh :
1. Lakukan observasi TTV
Rasional:Deteksi dini adanya komplikasi
2. Lakukan kolaborasi dengan tim medis dalam melakukan tindakan
Rasional:Antisipasi kerjasama dalam asuhan kebidanan
3. Berikan makanan peroral yang cukup gizi, tetapi tidak boleh
diberikan makanan yang mengandung besi seperti; hati atau sayuran
seperti kangkung, bayem atau makanan lain yang mengandung besi.
Rasional: Pada kasus Thalasemia memberikan makanan peroral
dapat memperbaiki kondisi tubuh dan menghindari kelebihan zat
besi. (Ngastiyah, 2013)
4. Melakukan transfusi ulang
Rasional:Dapat mencegah komplikasi lebih lanjut serta
memperbaiki anemia tersebut hanya dengan memberikan transfusi
darah dan pemberian transfusi harus diberikan berulang-ulang.
(Ngastiyah, 2013)
5. Melakukan transfusi setiap ada tanda-tanda seperti anak lemas dan
nafsu makan berkurang
Rasional:Kesehatan anak akan tetap terjaga dengan melakukan
transfusi darah (Ngastiyah, 2013)
6. Sebaiknya Semua kebutuhan pasien harus di tolong
Rasional: Pada thalasemia mengalami gangguan pertumbuhan dan
perkembangan sebagai akibat penyakitnya yang berat dan lama
karena anemia di derita sepanjang umurnya. Anak sangat lemah, tak
bergairah, bahkan berbicara saja jarang. (Nursalam, 2013)
7. Berikan penjelasan mengenai penyakit kepada orang tua klien
Rasional:Pada umumnya orang tua pasien tidak mengerti mengenai
penyakit anaknya. Mereka hanya mengatakan bahwa anaknya
pucat, tidak nafsu makan dan tidak seperti anak lain yang seumur.
Mereka tidak mengetahui bahwa penyebab penyakit tersebut dari
orang tua. (Nursalam, 2013)
VI. IMPLEMENTASI
Pelaksanaan dilakukan dengan efisien dan aman sesuai dengan rencana
asuhan yang telah disusun. Pelaksanaan ini bias dilakukan seluruhnya oleh
bidan atau sebagian dikerjakan oleh klien atau anggota tim kesehatan
lainnya.
VII. EVALUASI
Evaluasi merupakan penilaian tentang keberhasilan dan keefektifan
asuhan kebidanan yang telah dilakukan. Evaluasi didokumentasikan
dalam bentuk SOAP.
BAB III
TINJAUAN KASUS
ASUHAN KEBIDANAN PADA ANAK DENGAN THALASEMIA DI
RUMAH SAKIT X
I. PENGKAJIAN
Tanggal/Waktu Pengkajian : Senin, 05 Agustus 2019/09.00
Tanggal/Waktu MRS : Jum’at, 02 Agustus 2029/08.00
Nama Pengkaji : Angel Fitriana Yemima Marcelina
Tempat Pengkajian : Ruang Rawat Inap Anak Rumah Sakit X
S
1. Identitas
a. Identitas klien
Nama : Nn. F
Umur/Tanggal Lahir : 5 Thn/ 07 Maret 2014
Jenis Kelamin : Perempuan
Tanggal MRS : 02 Agustus 2019
Diagnosa Medis : Thalasemia Mayor
b. Identitas Orangtua
Nama Ayah : Tn. A
Nama Ibu : Tn. B
Usia Ayah/Ibu : 47 Thn/ 35 Thn
Pendidikan Ayah/Ibu : SMA/SMA
Pekerjaan Ayah/Ibu : Wiraswasta/IRT
Agama : Kristen
Suku/Bangsa : Dayak/Indonesia
Alamat : Jl. Semesta, Kel. Alam, Kec. Bumi
X.
Pola Personal Anak mandi 2x/hari, Ganti baju 2x/hari kadang di bantu
Hygiene oleh orangtua.
Pola Aktivitas Anak bermain dengan pengawasan orangtua sekitar 2
jam tiap harinya, selebihnya anak lebih sering berbaring
dan beristirahat.
5. Riwayat Psikososiokultural Spiritual
a. Komposisi fungsi dan hubungan keluarga
Anak diasuh oleh ibu dan ayah, ibu mengatakan bahwa hubungan ibu
dan keluarga terjalin dengan baik.
b. Keadaan lingkungan rumah dan sekitar
keluarga bayi tinggal di lingkungan yang bersih dan aman
c. Kultur dan kepercayaan yang mempengaruhi kesehatan
Tidak ada pantangan terhadap makanan dan jika ada keluarga yang
sakit selalu dibawa ke petugas kesehatan.
O
1. Pemeriksaan Umum
Keadaan umum : Compos Mentis
Tanda Vital :
- Tekanan darah : 100/60 mmHg
- Nadi : 120 x/menit
- Pernafasan : 20 x/menit
- Suhu : 36,4C
Antropometri
- Tinggi badan : 78 cm
- Berat badan : 11 Kg
- LILA : 11,5 cm
Lingkar kepala : 29 cm
Lingkar dada : 30 cm.
2. Pemeriksaan Fisik
Kulit : Bersih, terlihat pucat dan agak ke abuan.
Kepala : Bentuk kepala normochepali
Wajah : Simetris, pucat.
Mata : Simetris antara kanan dan kiri, tidak ada kotoran,
konjungtiva pucat, sclera putih, terdapat edema pada
palpebra.
Telinga : Bentuk normal, simetris, tidak ada sekret, serumen
minimal
3. Pemeriksaan Neurologis/Refleks
Ekstremitas Atas : CRT kembali dalam 2 detik, Reflek Trisep (+), Reflek
Bisep (+)
Ekstremitas Bawah : CRT kembali dalam 2 detik, Homan Sign (-), Reflek
Pattella (+)
4. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Hb pada tanggal 02 Agustus 2019
Hb : 6,5 gr%
5. Data Rekam Medis
Tindakan dan terapi yang telah didapat sebelum bertemu dengan pengkaji
P
Tanggal Penatalaksanaan Paraf
B. Saran
1. Bagi Instansi Pelayanan
Diharapkan laporan ini dapat memberikan informasi secara objektif
tentang pasien anak dengan Thalasemia Mayor dan Anemia Sedang
sehingga dapat menjadi pedoman dalam memberikan pelayanan kepada
pasien dan memberikan pendidikan kesehatan untuk menurunkan angka
kesakitan dan kematian pada ibu hamil dengan masalah serupa.
2. Bagi Instansi Pendidikan
Diharapkan laporan ini dapat digunakan sebagai dokumentasi pada
perpustakaan serta dapat dikembangkan lebih luas untuk penelitian
selanjutnya.
3. Bagi Pembaca Lain
Diharapkan laporan ini dapat digunakan sebagai bahan acuan ataupun
referensi dalam melakukan pembelajaran baik secara teori maupun praktik.
4. Bagi Pasien
Diharapkan pasien dan keluarga dapat memahami lebih jauh engenai
penyakit yang di derita olehnya, dan dapat meningkatkan kesadaran
dalam perawatan dirinya secara khusus sehingga dapat meningkatkan
kemungkinan penyembuhan.
Daftar Pustaka
Guyton, A. C., Dkk 2014. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 12.
Jakarta : EGC,