Anda di halaman 1dari 23

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Komposisi Atmosfer

Komposisi atmosfer secara alamiah adalah gas yang jumlahnya dapat tetap atau
berfluktuasi dari waktu ke waktu seiring dengan adanya aktivitas makhluk hidup di
muka bumi yang menyumbangkan zat-zat lain ke dalam atmosfer. Atmosfer sendiri
berfungsi mencegah terjadinya pemanasan atau pendinginan yang berlebihan dan
menyediakan gas-gas tertentu yang berguna bagi kehidupan organisme di permukaan
bumi. Atmosfer merupakan media yang bersifat dinamis karena memiliki kemampuan-
kemampuan seperti: penyebaran, pengenceran, difusi, dan transformasi fisika-kimia
dalam mekanisme pergerakan atmosferik. Pergerakan atmosferik inilah yang menjadi
faktor besar-kecilnya keberadaan polutan setelah diemisikan dari sumber emisinya
(Ruhiyat, 2009).

Udara pada lapisan troposfer relatif homogen karena tercampur secara merata dan cepat
asalkan udara tersebut tidak tercemar. Komposisi gas-gas utama di atmosfer adalah
oksigen (20%), karbon dioksida (0,03%), nitrogen (79%), air (jumlahnya bervariasi
tergantung pada penguapan, pembentukan awan, dan presipitasi yang terjadi pada suatu
daerah), serta gas-gas mulia dalam jumlah sedikit. Semua komposisi udara umumnya
merupakan komposisi utama pembentuk makhluk hidup kecuali gas nitrogen. Gas-gas
tersebut mempunyai siklus yang mekanismenya dapat berupa penyerapan langsung oleh
organisme, perubahan menjadi senyawa-senyawa yang lebih kompleks, atau dalam
bentuk ion yang larut dalam air (Akhadi, 2009). Komposisi atmosfer dalam keadaan
normal dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Komposisi Atmosfer pada Keadaan Normal


Kadar Komponen
Jenis Komponen
ppm % per Liter Udara
Nitrogen (N2) 780.900 78,09
Oksigen (O2) 209.500 20,95
Argon 9.300 0,93
Karbon Dioksida (CO2) 315 0,93
Gas-gas mulia dalam
jumlah sedikit:
a. Neon 18 -
b. Helium 5,2 -

Universitas Sumatera Utara


Tabel 2.1 Komposisi Atmosfer pada Keadaan Normal (Lanjutan)
Kadar Komponen
Jenis Komponen
ppm % per Liter Udara
c. Metana 1 – 1,2 -
d. Krypton 1 -
e. NO3 0,5 -
f. H2 0,5 -
g. Xenon 0,08 -
h. NO2 0,02 -
i. Ozon 0,01 – 0,04 -
Catatan: 1 ppm adalah satu bagian per sejuta, 1 ml gas dalam 1 juta
Sumber: Ryadi (1982)

2.2 Pencemar Udara

Pencemar udara adalah substansi yang ada di atmosfer dimana pada kondisi tertentu
keberadaannya dapat membahayakan kehidupan manusia, hewan, tumbuhan,
mikroorganisme, dan merusak bahan bangunan (Oke, 1978 dalam Ruhiyat, 2009).

2.2.1 Karbon Monoksida (CO)

2.2.1.1 Pembentukan Karbon Monoksida (CO)

Secara umum terbentuknya gas CO adalah melalui proses pembakaran bahan bakar fosil
dengan udara dimana pemakaian udaranya tidak stoikhiometris atau tidak sempurna
yaitu harga ER (equivalent ratio)> 1 dimana bahan bakar yang digunakan lebih banyak
dari udara (Wardhana, 2004; Akhadi, 2009). Reaksi yang terjadi adalah:

2C + O2 2CO

Selain itu, pembakaran yang terjadi pada tekanan rendah dan suhu tinggi
mengakibatkan terjadi reaksi antara karbon dioksida (CO2) dengan karbon C yang
menghasilkan gas CO seperti pada pembakaran internal mesin kendaraan bermotor. Gas
CO juga dapat dihasilkan oleh gas CO2 yang terurai kembali menjadi gas CO pada suhu
tinggi, dengan reaksi:

CO2 + C CO

Gas CO dapat terbentuk dari proses pembakaran yang tidak sempurna pada proses
industri dan pembakaran pada mesin kendaraan bermotor. Selain itu, gas CO juga dapat
terbentuk secara alamiah walupun konsentrasinya sedikit yaitu dari letusan gunung

II-2

Universitas Sumatera Utara


berapi, proses biologi, dan lain sebagainya (Wardhana, 2004). Gas CO yang ada di
udara diperkirakan sekitar 80% bersumber dari sektor transportasi. Konsentrasi gas ini
di perkotaan berbanding lurus dengan kepadatan lalu lintas. Umur gas CO di udara
diperkirakan selama 0,3 tahun, setelah itu gas CO akan berubah menjadi gas CO2
apabila bereaksi dengan oksigen. Proses oksidasi ini dapat berlangsung apabila terdapat
sinar matahari yang cukup dan berjalan kurang lebih 0,1 persen per jam (Akhadi, 2009).

2.2.1.2 Dampak Polutan Karbon Monoksida (CO)

Pada penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat, rata-rata terjadi beberapa kasus
kematian tiap tahunnya akibat paparan gas CO dalam konsentrasi yang tinggi. Sebagian
besar terjadi di dalam ruangan yang menggunakan pemanas ruangan dengan ventilasi
yang buruk, pada parkiran ketika mobil dalam kondisi idle/diam, dan juga pada
beberapa industri. Gas CO dapat membahayakan kesehatan karena dapat mengikat
hemoglobin di dalam darah dan membentuk karboksihemoglobin (COHb). Kekuatan
ikatan CO dengan hemoglobin sekitar 220 kali lebih kuat daripada dengan oksigen,
sehingga walaupun gas CO dihirup dalam konsentrasi yang sedikit dapat menyebabkan
sejumlah besar hemoglobin dalam darah diikat sebagai COHb. Hal ini menyebabkan
fungsi peredaran darah tidak normal karena darah tidak mengangkut oksigen, sehingga
sel-sel di dalam tubuh kekurangan oksigen (Nevers, 2000).

Gejala awal dapat berupa pusing, penurunan tingkat kewaspadaan, kelainan fungsi
saraf, perubahan fungsi jantung dan paru-paru, serta sesak nafas. Bila kadar CO dalam
udara sebesar 250 ppm dapat menyebabkan pingsan dan dapat mengakibatkan kematian
bila kadarnya lebih dari 750 ppm (Akhadi, 2009). Dampak paparan gas CO dalam
berbagai konsentrasi di dalam darah terhadap kesehatan manusia dapat dilihat pada
Tabel 2.2.

Tabel 2.2 Dampak Karbon Monoksida (CO) pada Manusia


% Hemoglobin dalam Darah yang
Dampak
Berubah Menjadi CoHb
0.3 – 0.7 Gangguan fisiologis bagi orang yang bukan perokok
2.5 – 3.0 Penurunan fungsi kardio; perubahan aliran darah; dan
setelah paparan yang cukup lama dapat mengubah
konsentrasi sel darah merah
4.0 – 6.0 Penurunan fungsi penglihatan, penurunan tingkat
kewaspadaan, menurunkan kapasitas bekerja

II-3

Universitas Sumatera Utara


Tabel 2.2 Dampak Karbon Monoksida (CO) pada Manusia (Lanjutan)
% Hemoglobin dalam Darah yang
Dampak
Berubah Menjadi CoHb
3.0 – 8.0 Pada perokok akan merusak sel darah merah
10.0 – 20.0 Sakit kepala ringan, lesu, susah bernapas, pembesaran
sel darah merah di bawah kulit, gangguan penglihatan,
dan dapat mengganggu perkembangan janin
20.0 – 30.0 Sakit kepala berat, mual, penurunan ketangkasan
30.0 – 40.0 Otot-otot melemah, mual, muntah, penglihatan kabur,
sakit kepala berat, iritasi
50.0 – 60.0 Pingsan, koma
60.0 – 70.0 Koma, sulit bernapas, terkadang berdampak fatal
>70.0 Fatal, kematian
Sumber: Nevers (2000)

2.2.2 Nitrogen Dioksida (NO2)

2.2.2.1 Pembentukan Nitrogen Dioksida (NO2)

Nitrogen dioksida (NO2) merupakan salah satu jenis nitrogen oksida (NOx). Terdapat
berbagai jenis nitrogen oksida yaitu termasuk dinitrogen oksida (N2O), nitrogen
monoksida (NO), nitrogen dioksida (NO2), nitrogen trioksida (N2O3), dan nitrogen
pentaoksida (N2O5). Namun, NO dan NO2 adalah jenis nitrogen oksida yang paling
banyak menimbulkan pencemaran udara. NO adalah gas yang tidak berwarna dan pada
reaksi fotokimia dapat menghasilkan kabut. Sementara itu, NO2 berwarna cokelat
kemerahan yang memberi warna pada kabut dan berkontribusi menghasilkan opasitas
pada gas buang cerobong (Schnelle dan Brown, 2002).

Pembakaran bahan bakar fosil dari sektor industri dan transportasi menyumbang gas
NO sebesar 98% dari total gas NOx yang terbentuk. Di Amerika Serikat, sektor
transportasi diperkirakan mengemisikan sekitar 50% dari kadar NO dalam atmosfer
setiap tahunnya. Di dalam udara, gas NO bersifat tidak stabil dan dapat teroksidasi
menjadi gas NO2 (Akhadi, 2009). Pembentukan gas NO dan NO2 dapat dilihat pada
reaksi berikut ini:

N2 + O NO + N

N + O2 NO + O

2NO + O2 2NO2

II-4

Universitas Sumatera Utara


Reaksi pertama dan kedua dikenal dengan mekanisme Zeldovich. Reaksi pertama
mempunyai energi aktivasi yang relatif tinggi (suhu tinggi), karena kebutuhannya untuk
memecah ikatan N2 yang kuat. NO pada suhu yang tinggi akan memecah atom N2
menjadi atom tunggal yang selanjutnya akan menghasilkan NO. NO yang dihasilkan
dengan reaksi ini disebut NO termal. Pada reaksi kedua, NO terbentuk oleh proses
oksidasi nitrogen organik yang terdapat dalam bahan bakar. Seperti misalnya, bahan
bakar minyak residu mengandung 0,2 sampai 0,8 % nitrogen, sedangkan bahan bakar
batubara mengandung 1 sampai 2 % nitrogen. Pada saat pembakaran mesin, nitrogen
tersebut akan teroksidasi menjadi NO. NO yang dihasilkan dengan proses ini disebut
NO bahan bakar (Flagan dan Seinfield, 1988).

2.2.2.2 Dampak Polutan Nitogen Dioksida (NO2)

Tingkat toksisitas NO2 empat kali lebih tinggi dari NO. NO2 akan menyerang paru-paru
manusia sehingga paru-paru mengalami pembengkakan dan penderita akan kesulitan
bernafas dan dapat berakibat fatal yaitu kematian. Bila terpapar dalam waktu yang lama
dapat menyebabkan kelumpuhan (Wardhana, 2004).

Apabila gas NO2 masuk ke dalam paru-paru akan terbentuk asam nitrit (HNO2) dan
asam nitrat (HNO3) yang dapat merusak jaringan mucous. Konsentrasi gas NO2 sebesar
50 – 100 ppm dapat menyebabkan peradangan paru-paru walau hanya terpapar beberapa
menit. Jika konsentrasi NO2 mencapai 150 – 200 ppm dapat menyebabkan pemampatan
bronchioli dan penderita dapat meninggal dalam kurun waktu 3 – 5 minggu. Bila
konsentrasi NO2 mencapai lebih dari 500 ppm dapat menyebabkan kematian dalam
waktu 2 – 5 hari saja. Selain itu, asam nitrit dan asam nitrat dapat menyebabkan
gangguan pada saluran pencernaan sehingga menimbulkan diare (Akhadi, 2009).

2.3 Sumber Pencemar Udara

Menurut Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran


Udara pasal 1 ayat 1, pencemaran udara adalah masuknya atau dimasukkannya zat,
energi, dan/atau komponen lain ke dalam udara ambien oleh kegiatan manusia, sehingga
mutu udara turun sampai ketingkat tertentu yang menyebabkan udara ambien tidak
dapat memenuhi fungsinya.

II-5

Universitas Sumatera Utara


Pencemaran udara juga dapat diartikan sebagai adanya penambahan bahan-bahan
tertentu atau zat-zat asing ke dalam udara yang dapat mengubah susunan atau komposisi
di dalam udara tersebut sehingga komposisinya berbeda dari keadaan normal. Adanya
penambahan za-zat asing ini pada konsentrasi tertentu dan waktu yang lama dapat
membahayakan kehidupan manusia, hewan, dan tumbuhan (Wardhana, 2004).

Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 12 Tahun 2010 tentang


Pelaksanaan Pengendalian Pencemaran Udara di Daerah pasal 1 ayat 3, sumber
pencemar adalah setiap usaha dan/atau kegiatan yang mengeluarkan bahan pencemar ke
udara yang menyebabkan udara tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya.

Berdasarkan jenisnya, sumber pencemar dapat dikategorikan menjadi sumber pencemar


alamiah dan sumber pencemar akibat dari aktivitas manusia. Sumber pencemar alamiah
contohnya serbuk sari tanaman, debu terbang akibat pergerakan angin, dan letusan
gunung berapi. Sumber pencemar akibat aktivitas manusia contohnya kegiatan
transportasi, proses industri, pembangkit, incinerator, dan lain sebagainya (Liu, 1999).

Selain itu, sumber pencemar juga dapat dikategorikan berdasarkan jumlah dan
distribusi spasialnya yaitu sumber titik, garis, dan area (Liu, 1999). Contoh dari sumber
titik adalah industri manufaktur yang mempunyai cerobong, boiler di hotel, dan lain-
lain. Sumber area dapat diwakili oleh stasiun pengisian bahan bakar, terminal bus, dan
lain-lain, sedangkan sumber garis contohnya seperti kegiatan transportasi di jalan raya
(KLH, 2013).

Sumber pencemar yang termasuk emisi gas antara lain karbon monoksida (CO),
hidrokarbon (HC), sulfur dioksida (SO2), dan nitrogen oksida (NOx). Sedangkan sumber
pencemar yang termasuk emisi partikulat adalah termasuk asap dan debu yang
diemisikan dari berbagai sumber. Seringnya, suatu sumber pencemar udara
menghasilkan kedua jenis emisi gas dan polutan (Liu, 1999).

Saat berada di atmosfer, polutan dapat dikategorikan menjadi polutan primer dan
polutan sekunder. Polutan primer adalah polutan yang selama berada di udara hampir
tidak pernah mengalami perubahan bentuk. Keadaannya tetap sama saat ia diemisikan
dari sumbernya semula. Polutan primer yaitu termasuk sulfur dioksida (SO2), karbon

II-6

Universitas Sumatera Utara


monoksida (CO), nitrogen oksida (NOx), gas metan (CH4) dan partikulat. Sedangkan
polutan sekunder adalah polutan yang selama berada di udara mengalami perubahan
dari bentuknya semula karena reaksi foto-kimia dan reaksi oksida katalis. Umumnya
polutan sekunder ini merupakan hasil antara polutan primer dengan kontaminan lain
yang ada di udara. Polutan sekunder antara lain hidrokarbon dan oksidan fotokimia
(Ryadi, 1982).

Menurut Kusminingrum dan Gunawan (2008), sektor transportasi merupakan sumber


pencemaran udara terbesar di wilayah perkotaan yaitu sebesar 70%. Hal ini dapat
disebabkan oleh pesatnya pembangunan dalam bidang industri dan teknologi sehingga
meningkatkan jumlah kendaraan bermotor yang menggunakan bahan bakar fosil.
Akibatnya udara yang kita hirup sehari-hari tercemar oleh gas yang diemisikan oleh
kendaraan bermotor tersebut (Wardhana, 2004). Hal-hal seperti ini banyak dirasakan
oleh masyarakat yang tinggal di wilayah perkotaan karena tingkat mobilitas penduduk
yang tinggi sehingga kebutuhan akan jumlah kendaraan bermotor juga tinggi.

2.4 Faktor Emisi

Salah satu pendekatan untuk memprediksi jenis dan memperkirakan jumlah emisi
adalah dengan menggunakan faktor emisi. Faktor emisi adalah tingkat rata-rata polutan
yang dilepaskan ke udara sebagai hasil dari aktivitas manusia seperti proses industri lalu
dibagi dengan tingkat aktivitas tersebut. Faktor emisi berhubungan dengan jenis dan
jumlah polutan yang dikeluarkan, jumlah bahan bakar yang digunakan, atau jarak
tempuh kendaraan (Liu, 1999).

Apabila faktor emisi dan tingkat aktivitas diketahui, maka perkalian antara keduanya
akan menghasilkan beban emisi. Faktor emisi memungkinkan perkiraan beban emisi
dari beberapa sumber emisi. Faktor emisi yang biasa digunakan untuk polutan CO dan
NO2 ditunjukkan pada Tabel 2.3. Untuk menghitung beban emisi yang berasal dari
aktivitas transportasi dapat menggunakan Persamaan (2.1) (Hidayatullah, 2012).

Beban emisi (g/jam) = jumlah kendaraan per jam × faktor emisi (g/km)
× jarak tempuh kendaraan (km) (2.1)

II-7

Universitas Sumatera Utara


Tabel 2.3 Faktor Emisi Gas Buang Kendaraan di Indonesia
Kategori CO (g/km) NO2 (g/km)
Sepeda Motor 14 0,29
Angkot 43,1 2,1
Mobil 32,4 2,3
Pick-Up 31,8 2
Minibus 24 1,55
Bus 11 11,9
Truk 8,4 17,7
Sumber: KLH (2010)

2.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyebaran Pencemar Udara

Manusia yang terkena dampak penyebaran polutan udara adalah mereka yang berada
pada daerah penyebaran polutan. Sebuah metode untuk memprediksi konsentrasi
polutan di atmosfer sangat diperlukan untuk mencegah atau meminimalisir dampak
pencemaran udara (Rosmeika, 2014). Penyebaran pencemar udara bergantung pada
kecepatan angin, arah angin, turbulensi udara dan topografi. Penyebaran pencemar
udara yang berbentuk gas atau material padat di atmosfer bergantung pada pengadukan
alami udara (natural mixing) yang disebabkan oleh turbulensi udara. Turbulensi ini
tergantung pada radiasi energi matahari dan tutupan awan yang bervariasi dari pagi
hingga malam hari pada waktu dan tempat yang berbeda (Noll dan Miller, 1977).

Menurut Vyankatesh (2014), model dispersi polutan memprediksi kualitas udara dalam
bentuk konsentrasinya pada berbagai polutan di berbagai tempat. Secara keseluruhan,
model ini membutuhkan 2 (dua) input data yaitu:

1. Informasi mengenai polutan udara yang berasal dari satu sumber atau lebih;
2. Informasi mengenai faktor yang mempengaruhi penyebaran polutan di udara seperti
kecepatan dan arah angin, adanya bangunan-bangunan tinggi, adanya perbukitan di
sekitar kota, dan lain-lain.

Simulasi dengan pemodelan menggunakan informasi sumber polutan dan faktor yang
mempengaruhi penyebaran polutan diperlukan untuk memperoleh perkiraan konsentrasi
polutan pada daerah itu.

II-8

Universitas Sumatera Utara


2.5.1 Stabilitas Atmosfer

Keadaan udara menjadi tidak stabil ketika terdapat pencampuran vertikal. Hal ini terjadi
saat radiasi matahari kuat (siang hari) dan kecepatan angin rendah. Penyerapan radiasi
matahari menyebabkan permukaan bumi memanas sehingga menghangatkan lapisan
udara di dekat permukaan bumi. Udara yang hangat ini akan meningkat dan
menyebabkan pencampuran vertikal (vertical mixing). Kondisi yang stabil terjadi pada
saat permukaan bumi lebih dingin dari udara di atasnya (seperti saat malam hari yang
cerah) (Cooper dan Alley, 1994).

Pada akhir 1960-an, Pasquill mengembangkan suatu metode untuk mengklasifikasikan


atmosfer yang kemudian dimodifikasi oleh Gifford pada tahun 1975 dan memunculkan
enam kelas stabilitas atmosfer dengan label A – F. Metode ini didasarkan pada radiasi
matahari, awan, dan kecepatan angin (Liu, 1999). Penggambaran kelas stabilitas
atmosfer berdasarkan Pasquill-Gifford tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.4.

Tabel 2.4 Kriteria Stabilitas Atmosfer Pasquill-Gifford


Siang Hari
Malam Hari
Kecepatan Intensitas Radiasi Matahari
Angin Kuat Sedang Lemah
(m/detik) ( > 600 (300-600 ( < 300 Mendung Gelap
W/m2) W/m2) W/m2)
<2 A A-B B F F
2-3 A-B B C E F
3-5 B B-C C D E
5-6 C C-D D D D
>6 C D D D D
Sumber: Turner (1969) dalam Goyal dan Kumar (2011)

Keterangan:
A = sangat tidak stabil D = netral
B = tidak stabil E = agak stabil
C = agak tidak stabil F = stabil

Stabilitas atmosfer mengakibatkan perbedaan keadaan kepulan (plume). Kelas stabilitas


E dan F menandakan kondisi udara stabil dimana turbulensi mekanik rendah, biasanya
terjadi saat kecepatan angin tinggi dan arah angin cenderung konstan. Kondisi ini

II-9

Universitas Sumatera Utara


menghasilkan hembusan (fanning) kepulan yang tidak besar dan cenderung sempit
(kecil) seperti terlihat pada Gambar 2.1a.

Keadaan dimana kepulan saat turbulensi udara dalam keadaan sedikit stabil (fumigasi)
ditunjukkan pada Gambar 2.1b. Hal ini terjadi saat konveksi panas radiasi matahari pada
pagi hari. Kelas stabilitas D adalah netral, dengan kecepatan angin yang sedang dan
pencampuran udara yang seimbang. Kondisi ini menghasilkan kepulan yang kerucut
(coning) (Gambar 2.1c). Kelas stabilitas A, B, dan C menggambarkan kondisi atmosfer
yang tidak stabil yang ditandai dengan variasi pencampuran udara yang tinggi. Kondisi
ini dapat menghasilkan putaran (looping) kepulan seperti ditunjukkan Gambar 2.1d.
Bila ketinggian efektif cerobong melebihi ketinggian pencampuran udara (mixing
height), kepulan diasumsikan tetap berada di atasnya (lofting) dan konsentrasi polutan
di atas permukaan tanah tidak dihitung seperti pada Gambar 2.1e (Liu, 1999).

Daerah yang tidak rata meningkatkan turbulensi udara dan merubah kondisi udara
ambien, biasanya akan menaikkan kelas stabilitas atmosfer 1 (satu) tingkat. Umumnya,
kepulan pada kelas stabilitas A mempengaruhi suatu area dengan cepat dan
mengakibatkan konsentrasi polutan tinggi di dekat sumber emisi. Pada kelas stabilitas F,
kepulan mencapai permukaan tanah dalam waktu yang lama, sehingga konsentrasi
polutan rendah (Liu, 1999).

Gambar 2.1 Variasi Jenis Kepulan Polutan dan Stabilitas Atmosfer


Sumber: Liu (1999)

II-10

Universitas Sumatera Utara


2.5.2 Arah dan Kecepatan Angin

Pegunungan, lembah, dan garis pantai sangat mempengaruhi arah angin. Pada malam
hari yang cerah (tidak berawan), permukaan tanah mengalami pendinginan akibat
radiasi dari luar angkasa dan lapisan udara yang terbentuk di permukaan tanah akan
menjadi lebih dingin dan lebih padat dari lapisan udara diatasnya. Jika kondisi topografi
datar, maka lapisan udara yang terbentuk juga akan datar. Sebaliknya, jika kondisi
topografi tidak datar, maka lapisan udara akan menjadi lebih padat dan akan cenderung
menuruni bukit. Pada daerah lembah, udara yang dingin akan mengalir turun dan
berkumpul menuruni lembah mengikuti arah aliran sungai. Pada siang hari terjadi
sebaliknya, sinar matahari memanaskan udara di permukaan tanah, kemudian udara ini
akan bergerak naik akibat gaya apung (buoyancy). Biasanya, salah satu sisi lembah yang
terpapar sinar matahari akan lebih panas dari sisi yang lain sehingga udara akan mulai
naik pada sisi itu menyebabkan perputaran aliran udara dengan porosnya sepanjang
sumbu lembah (Nevers, 2000).

Kecepatan angin meningkat seiring dengan tingkat elevasi permukaan tanah. Hal ini
dikarenakan adanya gaya gesek di permukaan tanah yang dapat memperlambat
kecepatan angin. Biasanya angin akan mencapai kecepatan gesekannya (kecepatan
gradien atau geostrofik) pada ketinggian 500 m (1.640 kaki). Daerah di bawah
ketinggian ini, dimana masih terdapat gaya gesekan tanah yang kuat, disebut planetary
boundary layer. Kecepatan angin pada permukaan tanah sangat bergantung pada
seberapa baik lapisan ini bergabung dengan lapisan di atasnya. Saat stabilitas atmosfer
stabil dan terjadi inversi, ada sedikit pergerakan angin vertikal sehingga penghubung
antara planetary boundary layer dan geostrofik melemah. Dengan demikian, inversi dan
stabilitas atmosfer biasanya terkait dengan rendahnya kecepatan angin di permukaan
tanah (Nevers, 2000).

Ketika planetary boundary layer tidak stabil (biasanya pada siang hari), akan terdapat
banyak gerakan vertikal di lapisan atmosfer yang lebih rendah sehingga terjadi transfer
momentum antara planetary boundary layer dan geostrofik. Hal ini menyebabkan
kondisi atmosfer yang tidak stabil memiliki kecepatan angin yang lebih tinggi dari
kondisi atmosfer yang stabil (Nevers, 2000).

II-11

Universitas Sumatera Utara


2.5.3 Kondisi Topografi

Kondisi topografi suatu wilayah sangat memengaruhi pola pergerakan angin dan suhu
udara di atasnya. Perbedaan penerimaan intensitas radiasi matahari pada topografi yang
cenderung datar dan topografi yang berlereng mengakibatkan terjadinya pola aliran
udara yang mengikuti perbedaan suhu dan tekanan udara di atasnya (Supriyadi, 2009).

Pada siang hari, udara yang berdekatan dengan bukit memanas dengan cepat dan terus
meningkat. Udara ini lalu turun ke lembah yang udaranya lebih dingin, menghasilkan
putaran angin dengan pola naik lalu turun, seperti pada Gambar 2.2. Pada malam hari,
udara yang lebih dingin di daerah bukit akan langsung turun ke lembah (Cooper dan
Alley, 1994).

Gambar 2.2 Pola Aliran Angin di Daerah Bukit dan Lembah


Sumber: Cooper dan Alley (1994)

Kondisi topografi dapat mempengaruhi pola pergerakan angin lokal. Salah satu
contohnya adalah angin darat dan angin lepas pantai. Contoh lainnya adalah adanya
urban heat island atau pulau panas yang berada di daerah perkotaan. Bangunan-
bangunan tinggi yang ada di tengah kota juga merupakan salah satu hal yang
mempengaruhi pola pergerakan angin lokal (Cheremisinoff, 2002).

II-12

Universitas Sumatera Utara


2.6 Model SCREEN3

SCREEN3 adalah model steady-state Gaussian yang menggunakan data meteorologi


terburuk (worst-case) untuk memperkirakan konsentrasi pencemar yang dihasilkan dari
sumber emisi kontinu tunggal (EPA, 1995). SCREEN3 adalah salah satu model dispersi
pencemar udara yang dikeluarkan oleh Environmental Protection Agency (EPA) yaitu
suatu badan perlindungan lingkungan hidup di Amerika Serikat. Model SCREEN3 dapat
dijalankan dalam Windows 10/8/7 dengan menggunakan program (interface) SCREEN
ViewTM versi 4.0. SCREEN ViewTM versi 4.0 adalah aplikasi berbasis Microsoft®
Windows® dan berjalan pada 32-bit dan 64-bit (Thé et al, 2016).

Model kualitas udara yang dikeluarkan oleh EPA dibagi menjadi model penyaringan
(screening model) dan model lanjutan (advanced model). Model SCREEN3 termasuk ke
dalam jenis model penyaringan yang biasanya digunakan untuk mengetahui kualitas
udara dari sumber emisi yang tidak terlalu besar. Model ini dikembangkan untuk
memberikan metode perhitungan konsentrasi polutan yang mudah berdasarkan prosedur
penyaringan sederhana untuk menentukan apakah suatu sumber emisi dikategorikan
tidak menimbulkan masalah kualitas udara atau ada potensi menimbulkan masalah
kualitas udara (EPA, 1992). Sumber emisi dari model ini merupakan sumber emisi
tunggal. Bila dalam suatu lokasi penelitian terdapat beberapa sumber emisi, maka
sumber-sumber emisi tersebut harus digabungkan menjadi satu sumber emisi yang
representatif terhadap sumber emisi lainnya (EPA, 1995). Hasil perhitungan model
SCREEN3 menunjukkan kualitas udara yang cenderung konservatif, sehingga untuk
mendapatkan hasil kualitas udara yang realistik terhadap keadaan sebenarnya
diperlukan model lanjutan (advanced models) (Schnelle dan Brown, 2002).

Model SCREEN3 memungkinkan sekelompok sumber emisi untuk digabung menjadi


satu sumber emisi dan model ini memperkirakan beberapa faktor penyebaran pencemar
udara seperti elevated terrain, tarikan bangunan (building downwash), dan turbulensi
dari kecepatan angin (Schnelle dan Brown, 2002). Selain itu, SCREEN3 juga
menggunakan data meteorologi berupa stabilitas atmosfer dan kecepatan angin untuk
memperkirakan konsentrasi maksimum pencemar udara yang merupakan fungsi jarak
(EPA, 1995).

II-13

Universitas Sumatera Utara


Berdasarkan EPA’S SCREEN3 model user’s guide (1995), secara umum pertimbangan-
pertimbangan yang terdapat pada SCREEN3 yaitu:

1. Memperhitungkan Briggs plume rise yaitu kepulan gas yang keluar dari sumber
emisi. Model SCREEN3 menghitung plume rise menggunakan persamaan Briggs
dimana persamaan ini menghitung plume rise dengan mempertimbangkan stabilitas
atmosfer. Perhitungan Briggs plume rise pada model SCREEN3 digunakan untuk
menghitung konsentrasi polutan dari sumber titik. Persamaan yang digunakan
adalah:
Fb = gvs d s2 [(∆T ) 4Ts ] (2.2)
dimana Fb adalah buoyancy flux, vs adalah kecepatan keluaran gas dari cerobong
(m/s), g adalah konstanta gravitasi (9,8 m/s2), ds adalah diameter cerobong (m), Ts
adalah temperatur keluaran gas (K), dan ∆T adalah selisih dari Ts dan Ta
(temperatur udara ambien) (K).
2. Boundary layer menggunakan kelas stabilitas atmosfer Pasquill-Gifford (P-G);
3. Perhitungan konsentrasi pencemar udara menggunakan persamaan Gaussian;
4. Memperkirakan tarikan bangunan (building downwash);
5. Menggunakan simple, elevated, dan complex terrain dengan ketentuan:
a. Complex terrain: ketinggian daerah sebaran melebihi tinggi keluaran sumber
emisi (cerobong);
b. Elevated terrain: ketinggian daerah sebaran di atas dasar cerobong tetapi
dibawah tinggi cerobong;
c. Simple terrain: ketinggian daerah sebaran tidak melebihi tinggi dasar cerobong.
6. Lokasi penerima (reseptor) menggunakan discrete distance atau array option;
7. Menggunakan data meteorologi terburuk (worst-case) dengan kelas stabilitas
atmosfer P-G dan kecepatan angin;
8. Terdapat pilihan daerah sebaran untuk wilayah perkotaan atau pedesaan;
9. Mempertimbangkan fumigasi;
10. Tidak mempertimbangkan reaksi kimia polutan di atmosfer;
11. Memperkirakan konsentrasi 1-jam (simple terrain) untuk prediksi jangka pendek
(short-term) atau 24-jam (complex terrain) untuk prediksi jangka lama (long-term);

II-14

Universitas Sumatera Utara


Pada sumber area, pilihan dataran sebaran polutan dalam model SCREEN3 hanya simple
terrain. Sedangkan pada sumber titik, pilihan dataran sebaran polutan berupa simple
terrain dan complex terrain. Oleh karena itu, untuk sumber area model SCREEN3
hanya dapat menghitung perkiraan konsentrasi 1 jam (short-term).

Model dispersi SCREEN3 memberikan simulasi perhitungan penyebaran polutan dari


sumber titik dan sumber area. Hasil perhitungan diberikan dari skenario terburuk untuk
emisi dari sumber titik seperti cerobong dan flare, serta sumber area seperti kebakaran.
Hasil perhitungan selanjutnya dapat dijadikan panduan dalam pemilihan peralatan dan
sistem pengendalian pencemaran udara dengan skenario dispersi polutan yang berbeda-
beda (Cheremisinoff, 2002).

SCREEN3 area source menggunakan persamaan Gaussian dimana sumber area


diibaratkan berbentuk persegi panjang. Berdasarkan EPA’S SCREEN3 model user’s
guide (1995) persamaan Gauss sumber area (area sources) yang digunakan adalah:

   y   
2
QA K V 
X= ∫x  ∫ y exp − 0.5   dy dx

(2.3)
2πu s σ y σ z    σ y   
   
Keterangan:
X = konsentrasi polutan pada permukaan tanah (µg/m3)
QA = laju emisi sumber area (g/s/m2)
K = skala koefisien untuk mengkonversi konsentrasi terhitung ke unit yang
diinginkan (nilai standar = 1 × 106 untuk QA dalam g/s/m2 dan konsentrasi
dalam µg/m3)
V = hubungan vertikal dari berbagai faktor distribusi Gaussian seperti ketinggian
sumber emisi, ketinggian reseptor, dan ketinggian campuran.
(mixing height).
σ y ; σ z = standar deviasi distribusi konsentrasi pada arah x dan y (m)
π = 3,14 (konstanta)
us = kecepatan angin (m/s)
y = jarak dari sumber ke titik penerima (m)

Ketinggian campuran (mixing height) pada model SCREEN3 menggunakan pilihan


Brode 2 mixing height dengan nilai ketinggian campuran sebesar 300 m untuk kelas
stabilitas atmosfer A (sangat tidak stabil), 100 m untuk kelas stabilitas atmosfer B (tidak
stabil), dan 30 m untuk kelas stabilitas atmosfer C (agak tidak stabil) dan D (netral).

II-15

Universitas Sumatera Utara


Diagram alir model SCREEN3 sumber area dapat dilihat pada Gambar 2.3. Sementara
itu, beberapa asumsi dalam model ini adalah: (EPA, 1995; Leonard, 1997 dalam
Ruhiyat, 2009):

1. Polutan yang diemisikan bersifat kontinu;


2. Polutan tidak mengalami transformasi secara kimia di udara;
3. Kondisi meteorologi seperti kecepatan angin, arah angin, dan turbulensi dari sumber
emisi ke reseptor konstan;
4. Kepulan polutan tidak mengalami proses penyisihan apapun selama berada di udara
seperti deposisi basah atau kering.
5. Komponen polutan yang mencapai permukaan dipantulkan kembali ke dalam
kepulan;

Model SCREEN3 membutuhkan input data sumber emisi dan data meteorologi.
Tahapan awal perhitungan konsentrasi CO dan NO2 prediksi dengan model SCREEN3
adalah mengolah data meteorologi berupa kecepatan angin dan intensitas radiasi
matahari dengan menggunakan metode Pasquill-Gifford untuk mendapatkan kelas
stabilitas atmosfer. Selanjutnya, input data sumber emisi berupa laju emisi polutan per
unit area, tingggi sumber emisi (tinggi knalpot kendaraan bermotor = 0,3 m), panjang
dan lebar terminal, dan pilihan jarak sebaran. Pilihan jarak sebaran dikategorikan
menjadi discrete distances dan automated distances. Pada pilihan automated distances
pengguna harus memasukkan jarak minimum dan maksimum dengan rentang jarak 100
m hingga 50.000 m. Sementara itu, pilihan discrete distances memberikan perhitungan
konsentrasi maksimum polutan pada jarak spesifik yang dimasukkan oleh pengguna
dengan jangkauan jarak 1 m hingga 100.000 m. Untuk lebih jelasnya mengenai tahapan
perhitungan konsentrasi CO dan NO2 dengan model SCREEN3 dapat dilihat pada
Gambar 2.3.

II-16

Universitas Sumatera Utara


Mulai

Pengolahan Data Meteorologi Model SCREEN3

Kecepatan Intensitas Laju emisi Tinggi Panjang dan


angin Radiasi per unit area sumber emisi lebar terminal
Matahari

Metode Pasquill-Gifford Ya
Pencarian melalui Arah
berbagai arah angin
Kelas angin? (derajat)
stabilitas
atmosfer Tidak

Pilihan jarak sebaran


(automated or
discrete distances)

Run program

Konsentrasi CO dan NO2


prediksi

Selesai

Gambar 2.3 Diagram Alir Model SCREEN3

Perhitungan konsentrasi pada jarak yang sesuai dengan arah angin tergantung pada
orientasi area tersebut terhadap arah angin. Model SCREEN3 menyediakan 2 (dua)
pilihan dalam menentukan arah angin, yaitu:

1. Ya: Bila memilih pilihan ini, model SCREEN3 akan menghitung konsentrasi
maksimum polutan melalui berbagai arah angin. Penentuan arah angin berdasarkan
aspek rasio dari sumber area, stabilitas atmosfer, dan jarak yang sesuai dengan arah
angin (downwind distance). Pilihan ini merupakan pengaturan standar model
SCREEN3 dan yang direkomendasikan untuk pengguna.
2. Tidak: Bila memilih pilihan ini, pengguna harus memasukkan data orientasi arah
angin yang relatif terhadap panjang dari sumber area. Pilihan ini digunakan untuk
memperkirakan konsentrasi polutan untuk spesifik penerima (reseptor).

II-17

Universitas Sumatera Utara


2.7 Validasi Model dengan Persamaan Index of Agreement

Validasi yang digunakan untuk membandingkan data prediksi hasil pemodelan dan data
observasi dilapangan pada penelitian ini adalah persamaan index of agreement. Index of
agreement adalah suatu bentuk persamaan yang menggunakan d untuk mewakili indeks
yang dikembangkan oleh Wilmott pada tahun 1981 (Robeson, 2012). Menurut Willmott
dalam Rahayu (2012), Index of agreement merupakan suatu derajat keakuratan yang
menunjukkan seberapa akurat data prediksi suatu model dengan data observasi di
lapangan. Persamaan Index of agreement yang digunakan ditunjukkan pada Persamaan
(2.4):


N
( Pi − Oi ) 2
d =1− i =1 (2.4)

N
i =1
( Pi − Omean + Oi − Omean ) 2

Keterangan:
Pi = Konsentrasi CO dan NO2 hasil model SCREEN3
Oi = Konsentrasi CO dan NO2 hasil sampling
Omean = Konsentrasi CO dan NO2 rata-rata dari hasil sampling

Nilai d dari index of agreement bervariasi dari 0 sampai 1 dengan nilai d yang lebih
tinggi menunjukkan nilai model Pi memiliki keakuratan yang lebih baik dengan nilai
pengamatan, Oi. Nilai d dapat diklasifikasikan menjadi 4 (empat) jenis yaitu Sempurna
(d=1), Baik (0,8 ≤d< 1), Sedang (0,7 ≤ d < 0,8), dan Kurang Baik (d < 0,7).

2.8 Visualisasi Model dengan Program Surfer 11

Pola dispersi polutan CO dan NO2 divisualisasikan dengan program Surfer 11. Surfer 11
adalah salah satu program yang digunakan untuk pembuatan peta kontur dan pemodelan
tiga dimensi yang berdasarkan grid. Program ini melakukan plotting data tabular XYZ
tak beraturan menjadi lembar titik-titik segi empat (grid) yang beraturan. Proses ini
sering disebit dengan proses grid-ding. Grid adalah serangkaian garis vertikal dan
horizontal yang dalam Surfer 11 berbentuk segi empat dan digunakan sebagai dasar
pembentuk kontur dan surface tiga dimensi. Garis vertikal dan horizontal ini memiliki
titik-titik perpotongan. Pada titik perpotongan ini disimpan nilai Z yang berupa titik
ketinggian atau kedalaman (Budiyanto, 2005). Alur pembuatan peta kontur
menggunakan Surfer 11 ditunjukkan pada Gambar 2.4.

II-18

Universitas Sumatera Utara


Mulai

Program Surfer 11

Garis bujur Garis lintang Konsentrasi


titik sampling titik sampling CO dan NO2
(X) (Y) prediksi (Z)

Gridding

File
Grid

Run program

Peta isopleth
konsentrasi CO dan
NO2

Overlay dengan peta Terminal Terpadu Amplas

Peta sebaran CO
dan NO2

Selesai

Gambar 2.4 Diagram Alir Program Surfer 11

Penggunaan program Surfer 11 dalam pemetaan kualitas udara mengganti nilai


ketinggian atau kedalaman pada nilai Z menjadi nilai konsentrasi polutan. Program
Surfer 11 akan mengkalkulasikan data-data XYZ dan merubahnya ke dalam pola spasial
dalam bentuk peta isopleth konsentrasi polutan.

Suryati dan Khair (2017) telah melakukan penelitian mengenai pemetaan konsentrasi
gas karbon monoksida (CO) di Kota Medan menggunakan program Surfer. Penelitian
dilakukan pada 12 titik sampling yang tersebar di Kota Medan. Gambar 2.5
menunjukkan peta isopleth konsentrasi CO di Kota Medan. Peta isopleth konsentrasi
dibagi ke dalam beberapa tingkatan konsentrasi yang ditandai dengan warna-warna
yang berbeda. Perubahan warna terjadi seriring adanya peningkatan konsentrasi CO.

II-19

Universitas Sumatera Utara


Warna hijau menunjukkan tingkat konsentrasi CO terendah (1-5 ppm) dan warna biru
menandakan konsentrasi CO tertinggi ( 17-29 ppm).

Gambar 2.5 Peta Konsentrasi Gas Karbon Monoksida (CO) di Kota Medan
Sumber: Suryati dan Khair (2017)

Berdasarkan Gambar 2.5, terlihat bahawa Terminal Terpadu Amplas yang berlokasi di
Kecamatan Medan Amplas (titik sampling UA3) sudah termasuk kawasan dengan
konsentrasi CO yang tinggi dan dari ISPU termasuk kategori tidak sehat (Suryati dan
Khair, 2017).

2.9 Gambaran Umum Terminal Terpadu Amplas Medan

Terminal Terpadu Amplas merupakan salah satu terminal tipe A yang ada di Kota
Medan. Lokasi Terminal Terpadu Amplas berada di bagian selatan Kota Medan,
tepatnya di Jalan Panglima Denai, Kelurahan Timbang Deli, Kecamatan Medan
Amplas.

II-20

Universitas Sumatera Utara


2.9.1 Sejarah Singkat Terminal Terpadu Amplas

Terminal Terpadu Amplas dibangun pada tanggal 15 Juli 1991. Tahun 1991-2002
Terminal Terpadu Amplas dikelola oleh Dinas Perhubungan Kota Medan dan
Perusahaan Daerah Pembangunan. Tahun 2003-2009 Terminal Terpadu Amplas
dikelola oleh Dinas Perhubungan Kota Medan. Tahun 2009-sekarang Terminal Terpadu
Amplas dikelola oleh Dinas Perhubungan Kota Medan dibantu oleh kepolisian untuk
menertibkan keamanan di area sekitar terminal.

Berdasarkan data Dinas Perhubungan Kota Medan tahun 2012, luas area Terminal
Terpadu Amplas ini mencapai ± 42.134,625 m2 dengan batasan lokasi terminal adalah:

a. Sebelah utara berbatasan dengan pemukiman penduduk


b. Sebelah selatan berbatasan dengan Jalan Rawa
c. Sebelah timur berbatasan dengan pemukiman penduduk
d. Sebelah barat berbatasan dengan Jalan Panglima Denai

Terminal tipe A adalah terminal yang telah memenuhi beberapa persyaratan khusus,
seperti:

1. Terletak dalam jaringan trayek Antar Kota Antar Provinsi dan/atau angkutan lalu
lintas batas negara;
2. Terletak di jalan arteri dengan kelas jalan sekurang-kurangnya kelas IIIA;
3. Jarak antara dua terminal penumpang tipe A, sekurang-kurangnya 20 km di Pulau
Jawa, 30 km di Pulau Sumatera, dan 50 km di pulau lainnya;
4. Luas lahan yang tersedia sekurang-kurangnya 5 Ha untuk terminal di Pulau Jawa
dan Sumatera, dan 3 Ha di pulau lainnya;
5. Mempunyai akses jalan masuk atau keluar kendaraan dari terminal dengan jarak
sekurang-kurangnya 100 m di Pulau Jawa dan 50 km di pulau lainnya, dihitung dari
jalan ke pintu keluar atau masuk terminal.

2.9.2 Fasilitas-Fasilitas yang Ada di Terminal Terpadu Amplas

Terminal Terpadu Amplas merupakan terminal yang beroperasi selama 24 jam. Untuk
menunjang aktifitas di terminal dibutuhkan beberapa pegawai dan fasilitas pendukung

II-21

Universitas Sumatera Utara


agar fungsi terminal dapat berjalan dengan baik. Berdasarkan data Dinas Perhubungan
Unit Pelaksana Teknis (UPT) Terminal Terpadu Amplas tahun 2016, ada sebanyak 11
orang personil Dinas Perhubungan, 4 personil kepolisian, dan 3 personil satpam per
harinya yang bertugas di Terminal Terpadu Amplas. Menurut staf Dinas Perhubungan
Unit Pelaksana Teknis (UPT) Terminal Terpadu Amplas, fasilitas-fasilitas yang ada di
terminal ini sudah cukup baik. Fasilitas-fasilitas tersebut yaitu:

1. Gedung induk
Gedung ini terdiri dari 2 (dua) lantai, pada lantai pertama terdapat loket-loket bus
yang jumlahnya sekitar 35 unit dan ruang tunggu penumpang. Selain itu, pada
gedung induk ini juga terdapat ruang administrasi, ruang pengawas, dan ruang
kantor yang masing-masing jumlahnya 1 unit. Sedangkan pada lantai kedua
digunakan untuk aktifitas-aktifitas lain di terminal.
2. Gedung sarana pendukung
Gedung ini terletak di sebelah gedung induk dimana merupakan tempat kios-kios
kecil dan warung makan. Pada gedung ini juga masih terdapat loket-loket bus.
3. Gudang
4. Pelataran Parkir
Pelataran parkir terdiri dari pelataran parkir AKAP, AKDP, angkutan kota, dan
kendaraan pribadi.
5. Loket masuk
Loket masuk terletak di gerbang masuk Terminal Terpadu Amplas. Setiap
kendaraan yang hendak memasuki terminal dikenakan biaya. Untuk AKAP sebesar
Rp 5.000 per unit, AKDP sebesar Rp 2.500 per unit, angkutan kota sebesar Rp 1.000
per unit, dan mobil penumpang sebesar Rp 1.000 per unit.
6. Ruang service dan bengkel kendaraan
7. Mushalla
8. Kantin/Warung makan
9. Toilet umum
10. Pos Pemadam Kebakaran
11. Pos Polisi
12. Sarana Kebersihan

II-22

Universitas Sumatera Utara


Sarana kebersihan di Terminal Terpadu Amplas terdiri dari tong sampah yang ada di
bebarapa titik di terminal, satu unit truk sampah sebagai Tempat Pembuangan
Sampah sementara (TPS) di terminal, dan satu unit becak sampah untuk
mengangkut sampah ke TPS.

II-23

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai