Anda di halaman 1dari 29

OBAT HIPERGLIKEMIA

PADA PENDERITA PENYAKIT GINJAL KRONIS

Pembimbing:
dr. Budi Pranowo, Sp.Pd

Disusun oleh:

Dicky Adrian (2014-061-075)


Cindy Caroline (2015-061-121)
Maria Regina Josten (2015-061-122)
Iqbal Gamala (2015-061-128)

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIKA ATMA JAYA JAKARTA
RUMAH SAKIT PANTI RAPIH JOGJAKARTA
2016
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang


Diabetes melitus merupakan suatu sindrom kronik gangguan metabolisme
karbohidrat, protein, dan lemak akibat penurunan sekresi insulin atau resistensi insulin
pada jaringan yang dituju, sehingga terjadi keadaan hiperglikemia.1
Diabetes melitus sudah menjadi masalah kesehatan masyarakat, baik di Indonesia
maupun dunia. Menurut World Health Organization (WHO), pada tahun 2000 jumlah
penderita diabetes di dunia yang berusia diatas 20 tahun berjumlah 150 juta. 2Pada tahun
2011, penderita diabetes mencapai 347 juta jiwa di seluruh dunia. Terjadi peningkatan 2
kali lipat jumlah penderita diabetes hanya dalam kurun waktu 11 tahun.3 Menurut hasil
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas 2007), prevalensi penderita diabetes melitus di
Indonesia sebesar 5.6 %.4
Diabetes melitus dapat menyebabkan berbagai komplikasi seperti gangguan pada
ginjal, mata, saraf, pembuluh darah,dan lainnya. Gangguan yang terjadi pada ginjal
penderita diabetes melitus adalah nefropati diabetik. Komplikasi dari diabetes melitus
sangat banyak maka dibutuhkan tata laksana yang adekuat untuk mengurangi risiko
terjadinya komplikasi. Pengobatan diabetes melitus dapat menggunakan obat
hiperglikemia oral atau injeksi obat insulin.
Gagal ginjal kronis adalah penyakit yang disebabkan oleh gangguan fisiologis
maupun anatomis yang lebih dari tiga bulan.5 Terminologi gagal ginjal kronik digunakan
pada proses terus–menerus yang signifikan dan ireversibel dalam penurunan jumlah
nefron.5 Prevalensi gagal ginjal kronis di Indonesia menurut hasil Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas 2013) sebesar 0.2 %.6 Penurunan jumlah nefron akan menyebabkan
penurunan laju filtrasi glomerulus sedangkan obat oral akan diekresi melalui ginjal
sehingga perlu diperhatikan pemberiannya pada pasien dengan gagal ginjal kronis.

1.2 Tujuan

1.3.1 Tujuan Umum:


Mengetahui penggunaan obat hiperglikemia yang tepat pada pasien
dengan gangguan ginjal kronis.

2
1.3.2 Tujuan Khusus:
 Mengetahui jenis-jenis obat hiperglikemia
 Mengetahui cara kerja obat hiperglikemia
 Mengetahui efek samping obat hiperglikemia
 Mengetahuijenis dan dosis obat hiperglikemia yang tepat untuk pasien
dengan diabetes nefropati atau gangguan ginjal kronis

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi dan Epidemiologi


Chronic Kidney Disease (CKD) atau Penyakit Ginjal Akut dapat ditemui hingga
sebanyak 23% pada pasien dengan diabetes. Penyakit ini diderita oleh lebih dari 50 juta orang di
seluruh dunia. Secara bersamaan, diabetes berada pada skala epidemic, dengan jumlah penderita
diperkirakan lebih dari 170 juta di seluruh dunia. Diabetes seringkali dihubungkan dengan CKD,
dan 45% pasien yang menjalani terapi dialysis, diabetes merupakan penyebab utama dari
penyakit ginjal yang diderita. CKD dengan derajat sedang hingga parah diperkirakan didapati
pada 15-23% pasien dengan diabetes. Sangat penting untuk mengenali akibat yang ditimbulkan
dari kombinasi diagnose ini karena risiko kematian akibat penyakit kardiovaskular meningkat
secara signifikan dibandingkan pasien tanpa kombinasi diagnosa. Pada pasien dengan
mikroalbuminuria, risiko penyakit kardiovaskular meningkat dua kali lipat dibandingkan pasien
tanpa albuminuria.7–9

2.2 Etiologi
Dari data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian Renal Registry (IRR)
pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi terbanyak sebagai berikut glomerulonefritis
(25%), diabetes melitus (23%), hipertensi (20%) dan ginjal polikistik (10%).8,10
a. Glomerulonefritis
Berdasarkan sumber terjadinya kelainan, glomerulonefritis dibedakan primer dan
sekunder. Glomerulonefritis primer apabila penyakit dasarnya berasal dari ginjal sendiri
sedangkan glomerulonefritis sekunder apabila kelainan ginjal terjadi akibat penyakit
sistemik lain seperti diabetes melitus, lupus eritematosus sistemik (LES), mieloma
multipel, atau amiloidosis Gambaran klinik glomerulonefritis mungkin tanpa keluhan dan
ditemukan secara kebetulan dari pemeriksaan urin rutin atau keluhan ringan atau keadaan
darurat medik yang harus memerlukan terapi pengganti ginjal seperti dialysis.

b. Diabetes melitus
Menurut American Diabetes Association, diabetes melitus merupakan suatu kelompok
penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan
sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Diabetes melitus dapat mengenai semua

4
organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan. Gejalanya sangat bervariasi.
Diabetes melitus dapat timbul secara perlahan-lahan sehingga pasien tidak menyadari
akan adanya perubahan seperti minum yang menjadi lebih banyak, buang air kecil lebih
sering ataupun berat badan yang menurun. Gejala tersebut dapat berlangsung lama tanpa
diperhatikan, sampai kemudian orang tersebut pergi ke dokter dan diperiksa kadar
glukosa darahnya.

c. Hipertensi
Hipertensi adalah tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 90
mmHg, atau bila pasien memakai obat antihipertensi (Mansjoer, 2001). Berdasarkan
penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi dua golongan yaitu hipertensi primer yang tidak
diketahui penyebabnya atau idiopatik, dan hipertensi sekunder atau disebut juga
hipertensi renal

d. Ginjal polikistik
Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi cairan atau material yang
semisolid. Polikistik berarti banyak kista. Pada keadaan ini dapat ditemukan kista-kista
yang tersebar di kedua ginjal, baik di korteks maupun di medula. Selain oleh karena
kelainan genetik, kista dapat disebabkan oleh berbagai keadaan atau penyakit. Jadi ginjal
polikistik merupakan kelainan genetik yang paling sering didapatkan. Nama lain yang
lebih dahulu dipakai adalah penyakit ginjal polikistik dewasa (adult polycystic kidney
disease), oleh karena sebagian besar baru bermanifestasi pada usia di atas 30 tahun.
Ternyata kelainan ini dapat ditemukan pada fetus, bayi dan anak kecil, sehingga istilah
dominan autosomal lebih tepat dipakai daripada istilah penyakit ginjal polikistik dewasa.

2.3. Patofisiologi Gagal Ginjal Kronik


Pada gagal ginjal kronik terjadi penurunan jumlah nefron yang permanen yang
berakibat pada penurunan fungsi filtrasi ginjal seperti adanya peningkatan kadar
kreatinin, urea, potassium, dan gangguan keseimbangan elektrolit dan cairan. Dengan
adanya penurunan jumlah nefron maka nefron yang tersisa akan beradaptasi dan tetap
mempertahankan fungsi filtrasi, fungsi reabsorbsi, dan fungsi sekresi ginjal. Kemudian
terjadi aktivasi sistem RAAS yang diawali dengan sekresi renin dari sel juxtaglomerular
akibat adanya hipoperfusi darah ke ginjal. Kemudian renin diubah oleh angiotensinogen

5
menjadi angiotensin I, dan hormone angiotensin I diubah oleh ACE ( Angiotensin
Converting Enzyme ) menjadi hormone angiotensin II. Hormon angiotensin berperan
penting dalam terjadinya peningkatan tekanan di glomerulus dan terjadinya hipertensi 1.
Dengan adanya peningkatan tekanan pada glomerulus maka terjadilah peningkatan
permeabilitas glomerulus yang meningkatkan filtrasi dari protein dan makromolekul yang
berakibat pada terjadinya proteinuria. Sebagai kompensasi akibat proteinuria maka akan
terjadi peningkatan absorbsi protein di tubulus ginjal yang menimbulkan terjadinya
peningkatan permeabilitas glomerulus. Lama kelamaaan akan terjadi inflamasi
glomerulosklerosis, terbentuknya jaringan parut pada tubulointerstitial yang berkontribusi
pada terjadinya uremia yang menandai adanya gagal ginjal stadium akhir.8

Tabel 2.1. Sistem RAAS

Lokasi terjadinya kerusakan ginjal juga mempengaruhi penurunan fungsi ginjal.


Apabiila kerusakan terjadi pada bagian interstitial ginjal maka akan terjadi asidosis
tubular ginjal, gangguan dalam mengatur konsentrasi urine. Kemudian, bila gangguan
terjadi pada glomerulus ginjal maka, akan terjadi proteinuria, hematuria, dan sindroma
nefrotik.8,10

6
Progesivitas penyakit gagal ginjal kronik berhubungan dengan beberapa proses
seperti adanya hiperfiltrasi nefron, hipertrofi nefron, glomerulosklerosis, hipertensi
glomerular, dan inflamasi serta fibrosis pada tubulointerstitial.8

Glomerulosklerosis
Progresifitas menjadi CKD berhubungan dengan sklerosis progresif glomeruli
yang dipengaruhi oleh sel intraglomerular dan sel ekstraglomerular. Kerusakan sel
intraglomerular dapat terjadi pada sel glomerulus intrinsik (endotel, sel mesangium, sel
epitel) dan ekstrinsik (trombosit, limfosit, monosit/makrofag). Sel endotel dapat
mengalami kerusakan akibat gangguan hemodinamik, metabolik dan imunologis.
Kerusakan ini berhubungan dengan reduksi fungsi antiinflamasi dan antikoagulasi
sehingga mengakibatkan aktivasi dan agregasi trombosit serta pembentukan
mikrotrombus pada kapiler glomerulus serta munculnya mikroinflamasi. Akibat
mikroinflamasi, monosit menstimulasi proliferasi sel mesangium sedangkan faktor
pertumbuhan dapat mempengaruhi sel mesangium yang berproliferasi menjadi sel
miofibroblas sehingga mengakibatkan sklerosis mesangium. Karena podosit tidak mampu
bereplikasi terhadap jejas sehingga terjadi peregangan di sepanjang membrana basalis
glomerulus dan menarik sel inflamasi yang berinteraksi dengan sel epitel parietal
menyebabkan formasi adesi kapsular dan glomerulosklerosis, akibatnya terjadi akumulasi
6 material amorf di celah paraglomerular dan kerusakan taut glomerulo-tubular sehingga
pada akhirnya terjadi atrofi tubular dan fibrosis interstisial.8,10
Parut tubulointerstisial
Proses fibrosis tubulointerstisialis yang terjadi berupa inflamasi, proliferasi
fibroblas interstisial, dan deposisi matriks ekstra selular berlebihan. Gangguan
keseimbangan produksi dan pemecahan matriks ekstra selular mengakibatkan fibrosis
ireversibel.8,10
Sklerosis vaskular
Perubahan pada arteriol dan kerusakan kapiler peritubular mengeksaserbasi
iskemi interstisial dan fibrosis. Tunika adventisia pembuluh darah merupakan sumber
miofibroblas yang berperan dalam berkembangnya fibrosis interstisial ginjal.8,10

7
Gambar 2.2. Mekanisme Renal Injury

2.4. Diagnosa CKD


Sebelumnya CKD yang dipercayai disebabkan oleh diabetes diistilahkan sebagai
“nefropati diabetik”. Belakangan, KDOQI menyarankan diagnose CKD yang dicurigai
disebabkan oleh diabetes diistilahkan sebagai “diabetic kidney disease” atau “penyakit
ginjal diabetik”. Istilah “nefropati diabetik” harus diperuntukkan bagi penyakit ginjal
yang disebabkan oleh diabetes dengan cedera histopatologik yang dibuktikan oleh biopsy
ginjal.7
CKD, apapun etiologi yang mendasarinya, didefinisikan sebagai kerusakan ginjal
atau penurunan fungsi ginjal selama 3 bulan atau lebih. Kerusakan ginjal bisa dideteksi
secara langsung maupun tidak langsung. Bukti langsung bisa didapati melalui pencitraan
atau secara histopatologi dari biopsy ginjal. Pencitraan yang bisa digunakan berupa

8
ultrasound, CT, MRI dan isotope scanning yang mampu mendeteksi abnomarlitas
struktural seperti polikistik ginjal, nefropati refluks, pyelonephritis kronik dan penyakit
renovaskular. Biopsy histopatologis ginjal sangat berguna untuk mengetahui kelainan
glomerular seperi nefropati IgA atau glomerulosclerosis fokal. Bukti kerusakan ginjal
secara tidak langsung dapat diperoleh melalui urinalisis. Inflamasi glomerular atau fungsi
yang abnormal dapat menyebabkan kebocoran sel darah merah atau protein ke dalam urin
yang dideteksi sebagai proteinuria atau hematuria.7

Gambar 2.3. Kriteria diagnosis CKD

Estimasi laju filtrasi glomerulus (GFR) merupakan alat paling baik untuk menilai fungsi
ginjal dan menentukan derajat penyakit. Nilai GFR didasarkan pada perhitungan dari serum
kreatinin, umur, ukuran tubuh dan jenis kelamin. Nilai GFR yang rendah merupakan penanda
yang baik untuk CKD. Nilai GFR merupakan predictor kuat untuk menilai onset kegagalan ginjal
dan menilai risiko komplikasi dari CKD. Nilai GFR juga dapat digunakan untuk membantu
menyesuaikan dosis obat-obat tertentu yang difiltrasi oleh ginjal untuk mencegah terjadinya
toksik.10

9
Gambar 2.4. Rumus untuk menentukan nilai estimasi laju filtrasi glomerular (GFR)8

Albuminuria dapat digunakan untuk diagnosa dan menilai prognosis pada CKD.
Urin yang digunakan dalam menentukan albuminuria adalah urin 24 jam. Peningkatan
albuminuria (30-300 mg/d albumin adalah definisi mikroalbuminuria) merupakan
predictor awal untuk penurunan fungsi ginjal yang progresif pada diabetes tipe 1 dan 2.
Saat mikroalbuminuria bermanifestasi, GFR umumnya masih normal atau hanya
menurun sedikit (CKD stage 1 dan 2). Penurunan GFR pada akhirnya akan mengarah ke
penyakit ginjal stadium akhir (ESRD). Peningkatan ekskresi albumin urin (Urinary
Albumin Excretion) juga bisa mengindikasi prognosis yang lebih buruk pada individu
tanpa diabetes. Screening albuminuria juga bisa digunakan untuk mendeteksi
makroalbuminuria (>300 mg/d), di mana kemungkinan besar sudah berada pada CKD
stage 3 atau 4.10

Gambar 2.5. Klasifikasi derajat CKD berdasarkan GFR dan Albuminuria.8

10
2.5. Tanda dan Gejala
Pasien dengan CKD stadium 1-3 biasanya asimptomatik. Umumnya manifestasi
secara klinis muncul pada CKD stadium 4-5. Gejala-gejala yang muncul diantara lain
dapat berupa11:
- Ensefalopati
- Neuropati perifer
- Restless leg syndrome
- Anoreksia, nausea, muntah, diare
- Kulit kering, pruritus, ekimosis
- Kelelahan, somnolen
- Malnutrisi
- Disfungsi ereksi, penurunan libido, amenorrhea
- Gangguan pembekuan darah

2.6. Komplikasi
1. Anemia
Anemia normokromik biasanya menyertai CKD yang progresif, dan prevalensi
anemia terkait CKD adalah sekitar 50%. Meskipun anemia dapat didiagnosis pada
semua stage CKD, ada korelasi kuat antara prevalensi anemia dan beratnya CKD.
Seperempat dari CKD stage 1, setengah dari pasien CKD stage 2, 3, dan 4 dan tiga
perempat pasien CKD yang menjalani dialisis menderita anemia. Oleh karena itu,
penyedia perawatan primer memainkan peran penting dalam mendiagnosis dan
mengelola anemia pada pasien CKD.9
Anemia pada CKD dapat merupakan hasil dari berbagai mekanisme (defisiensi
besi, folat, atau vitamin B12, perdarahan gastrointestinal, hiperparatiroidisme berat,
peradangan sistemik, dan waktu hidup sel darah merah yang pendek), penurunan
sintesis erythropoietin adalah etiologi yang paling penting dan spesifik menyebabkan
CKD terkait anemia. Erythropoietin adalah glikoprotein yang disekresi oleh ginjal
dan sangat penting untuk pertumbuhan dan diferensiasi sel-sel darah merah di
sumsum tulang. Pada CKD, atrofi tubular menghasilkan fibrosis tubulointerstitial,
yang menganggu kapasitas sintetis erythropoietin ginjal dan berujung pada anemia.9
Anemia pada CKD meningkatkan morbiditas dan mortalitas dari komplikasi
kardiovaskular (angina, hipertrofi ventrikel kiri (LVH) dan memperparah gagal
11
jantung), yang dapat menyebabkan kerusakan lebih lanjut pada fungsi ginjal dan
pembentukan lingkaran setan yang disebut "sindroma anemia kardiorenal". Kehadiran
LVH berhubungan dengan penurunan kelangsungan hidup pasien dialisis. Bahkan
pasien penyakit ginjal tahap akhir dengan LVH memiliki tingkat kelangsungan-
hidup-lima-tahun 30% lebih rendah daripada individu tanpa LVH.9

2. Gangguan Mineral dan Tulang


Osteodistrofi ginjal adalah perubahan histologis, yang terjadi pada arsitektur
tulang pasien dengan CKD. Ginjal merupakan organ utama bagi ekskresi fosfat dan
1-α-hidroksilasi vitamin D. Pasien CKD mengalami hyperphosphatemia sebagai
akibat dari tidak memadainya 1,25 dihydroxy-vitamin D yang mencerminkan
mengurangi sintesis dari jaringan parut parenkim. Selain itu, ekskresi fosfat ginjal
berkurang. Proses ini menyebabkan kadar kalsium serum turun dan mengakibatkan
peningkatan sekresi hormon paratiroid (hiperparatiroidisme sekunder). Hormon
paratiroid memiliki efek phosphaturic. Hal ini juga meningkatkan kadar kalsium
melalui peningkatan resorpsi tulang dan sintesis 1-α-hidroksilasi 25-hidroksi-vitamin
D oleh hati. Meningkatnya kadar fosfor secara umum dapat diamati pada pasien CKD
stadium 3. Namun, hiperparatiroidisme sekunder sering mulai merusak arsitektur
tulang sebelumnya sebelum fosfor serum menjadi abnormal, menunjukkan bahwa
terapi pengikat fosfat perlu dimulai ketika eGFRs telah menurun di bawah 50
mL/menit per 1,73 m2.9
Gangguan Mineral dan tulang pada CKD secara signifikan meningkatkan angka
kematian pada pasien. Bahkan, hyperphosphatemia merupakan salah satu faktor
risiko yang paling penting yang terkait dengan penyakit kardiovaskular pada pasien
CKD. Mekanisme yang tepat yang mendasari hubungan ini masih belum jelas. Hal ini
diyakini berhubungan dengan hiperparatiroidisme dan kalsifikasi vaskular , yang
dihasilkan dari kadar fosfor yang tinggi.9
3. Dislipidemia
Beberapa faktor berkontribusi terhadap dislipidemia yang terkait dengan
gangguan ginjal kronis. Pasien dengan CKD memiliki penurunan aktivitas lipoprotein
lipase dan trigliserida lipase hepatik. Hal ini mengganggu penyerapan trigliserida,
lipoprotein yang mengandung apolipoproteinB oleh hati dan jaringan perifer,
mengyebabkan peningkatan sirkulasi lipoprotein aterogenik ini. Hiperkolesterolemia
pada sindrom nefrotik disebabkan oleh peningkatan produksi dan penurunan
12
katabolisme lipoprotein. Derajat kelainan lipoprotein diperkiran sebanding dengan
jumlah proteinuria dan berbanding terbalik dengan tingkat serum albumin. Namun,
infus albumin atau dekstran dapat menormalkan konsentrasi lipoprotein. Studi juga
menunjukkan bahwa hiperparatiroidisme dan akumulasi kalsium dalam sel islet
pankreas kemungkinan berkontribusi menyebabkan dislipidemia pada CKD juga.9
4. Risiko Kardiovaskular
Risiko kardiovaskular yang meningkat berhubungan dengan penyakit ginjal
stadium akhir, dan diperkirakan angka kematian kardiovaskular adalah sepuluh
sampai seratus kali lipat lebih tinggi pada pasien dialisis. Hipertensi merupakan factor
risiko kardiovaskular yang berperan pada risiko kardiovaskular terkait CKD. Tekanan
darah sistolik berkorelasi kuat dengan kematian kardiovaskular pada pasien dialisis.
Pasien CKD juga memiliki risiko besar untuk mengalami gagal jantung. Inflamasi
merupakan factor risiko yang dipercaya berperan dalam kejadian kardiovaskular pada
CKD. Penanda inflamasi seringkali meningkat pada pasien CKD dan merupakan
predictor untuk kejadian kardiovaskular.9

2.7. Obat Hiperglikemia Injeksi


a. Insulin
Insulin merupakan pilihan obat untuk pasien dengan diabetes mellitus, baik diabetes
melitus tipe 1 maupun tipe 2. Hormon insulin dihasilkan pada sel beta pankreas. Insulin
terbentuk dari proinsulin. Proinsulin adalah suatu protein yang berhubungan dengan
insulin-like growth factors I dan II, yang berikatan lemah dengan reseptor insulin.
Insulin memiliki peran dalam metabolisme karbohidrat, lipid dan protein12. Secara
umum insulin bersifat anabolik yang diantaranya berfungsi untuk memasukkan glukosa
ke dalam sel dan mencegah pelepasan glukosa oleh hati, mencegah lipolisis, dan
meningkatkan sintesis protein. Namun ternyata insulin juga memiliki efek antiinflamasi
dengan menekan faktor transkripsi proinflamasi seperti nuclear factor (NF)-kB Egr-1 ,
dan activating protein-1 (AP-1). Didalam tubuh insulin juga memiliki efek anti
apoptosis , protektif jantung, anti oksidan, dan anti-artherosclerotic.13
Pada keadaan puasa, insulin akan terus diproduksi dengan laju sekresi 0.5 unit/jam
dalam tubuh manusia. Sekresi insulin akan meningkatan 3 hingga 10 kali apabila tubuh
mendapat asupan makanan, dan dengan total sekresi insulin per hari 18 – 32 unit(15).
Sekitar 40 -50 % insulin yang diproduksi oleh pankreas akan dimetabolisme oleh hepar,

13
dimana 30 – 80 % insulin dalam sirkulasi akan di metabolisme oleh ginjal. Ginjal
berperan penting pada metabolisme insulin eksogen yang diperoleh pasien diabetes.
Enam puluh lima persen insulin yang mencapai ginjal akan difiltrasi oleh glomeurus dan
terjadi metabolisme di sel tubulus proksimal. Sekitar 35% insulin eksogen akan difusi
pada pembuluh darah peritubular postglomerular ke sel tubulus proximal, dimana akan
didegradasi dari tubuh. Dan sekitar 1% insulin akan dieksresi melalui urin14.
Insulin berkerja diginjal dan berikatan pada reseptor di sel tubular proksimal pada
bagian luminal dan kontraluminal. Insulin akan meningkatkan reabsorbsi natrium di
tubular setelah menstimulasi Na/K-ATPase. Insulin akan meningkatkan reabsorbsi
glukosa dan fosfat pada sel tubulus. Efek ini dimediasi oleh reseptor insulin pada
membran sel kontraluminal pada sel tubulus proksimal.14
Sel beta pankreas yang lemah atau tidak produksi insulin sama sekali yang dapat
mengakibatkan diabetes mellitus tipe 1 seperti yang dijelaskan diatas. Sedangkan untuk
diabetes tipe 2 terjadi resistensi insulin pada jaringan tubuh. Namun insulin tidak dapat
diberikan dengan per oral, sehingga perlu diberikan secara injeksi. Dan Insulin berperan
sebagai obat penting pada diabetes tipe 1 sedangkan untuk diabetes tipe 2 dapat
diberikan sebagai tambahan apabila dengan obat oral tidak dapat mengatasi
hiperglikemia pasien. Serta insulin sendiri ada yang berasal dari manusia ataupun
analog, yang dibuat dengan teknik replikasi DNA.12,15
Indikasi dari pemberian antihiperglikemia injeksi berupa insulin yakni16:
 HbA1c > 9% dengan kondisi dekompensasi metabolik
 Penurunan berat badan cepat
 Hiperglikema berat yang diserta ketosis
 Krisis hiperglikemia
 Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
 Stress berat (infeksi sistemik, operasi besar, infark miokard akut,
stroke)
 Kehamilan dengan diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali
dengan perencanaan makan
 Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
 Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
 Kondisi perioperative sesuai dengan indikasi

14
Tabel 2.6. Farmakokinetik insulin terapi17

Insulin dapat dikelompokkan kedalam beberapa kategori yakni15:


i. Rapid-acting insulin analogs (Aspart, Lispro dan Glulisine)
Obat injeksi ini merupakan insulin yang paling cepat diabsorbsi dan ideal
diberikan pada kondisi hiperglikemia akut, untuk koreksi cepat atau pada saat sesudah
makan. Hal ini menyerupai kerja dari insulin yang fisiologis. Insulin jenis ini memiliki
onset kerja 5-15 menit, masa puncak (peaktime) dalam 30-90 menit dan durasi reratanya
5 jam. Pada beberapa studi, glulisine memiliki efek kerja yang lebih lama dibandingkan
dua insulin rapid acting. Insulin dapat diberikan 15 menit sebelum makan. Rapid-acting
insulin analog ini digunakan sebagai basal – bolus therapy, yang dapat digunakan untuk
penyuntikan beberapa kali dalam sehari ataupun digunakan secara continuous
subcutaneous insulin infusions (insulin pumps)15.

ii. Short-acting insulin


Short-acting insulin yang tersedia adalah crystal- line insulin, yang memiliki
onset kerja 30 – 60 menit, waktu puncak 2 – 3 jam dan durasi hingga 5 – 8 jam. Insulin
ini dapat diberikan secara subkutan 30 menit sebelum makan. Kelebihan dari insulin ini
adalah harganya yang termasuk terjangkau dibandingkan dengan rapid-acting insulin

15
analog.15
iii. Intermediate-acting insulin (isophane atau NPH)
Intermediate-acting insulinmemiliki onset kerja 2 – 4 jam, dengan waktu punack
2 – 4 jam, dengan durasi hingga 10 – 18 jam. Untuk mencapai dosis basal yang adekuat
perlu diberikan 2 kali sehari15.
iv. Long-acting insulin analog (Glargine dan detemir)
Long-acting insulin analogsmemiliki durasi kerja 2 – 4 jam , dengan waktu
puncak dan durasi 20 – 24 jam, dan dapat diberikan dengan dosis sekali sehari.Hal yang
unik dari glargine, yakni tidak memiliki waktu puncak yang jelas. Detemir memilik
durasi kerja 1 – 3 jam, dengan waktu puncak 6 – 8 jam dan durasi kerja 18 – 22 jam.
Detemir dapat diberikan dua kali sehari untuk memberikan insulin dosis basal yang
adekuat pada diabetes tipe 1 dan untuk diabetes tipe 2 dapat diberikan sekali sehari15.

Gambar 2.7. Grafik onset, waktu puncak dan durasi dari obat insulin injeksi17

Untuk pemberian insulin pada pasien dapat diberikan dengan gabungan beberapa
jenis insulin seperti gabungan antara intermediate-acting insulin dan rapid/short-acting
insulin. Karena menggunakan dua jenis insulin, sehingga memiliki dua waktu puncak yang
berbeda. Seperti contoh “70/30” dalam artian 70% NPH dan 30% regular insulin. Dengan
penggunaan dua dosis sehari ini menyebabkan fleksibilitas menurun pada penggunaan
insulin. Sehingga perlu diberikan pada waktu yang sama setiap harinya dan komsumsi
makanan yang konsisten15.

16
Gambar 2.8. Grafik penggunaan kombinasi insulin injeksi17

Dasar pemberian terapi insulin dapat dipertimbangkan bahwa sekresi insulin


fisiologis terdiri dari sekresi basal dan sekresi prandial. Terapi insulin yang baik yakni
menyerupai pola insulin fisiologis tersebut. Defisiensi insulin mungkin berupa defisiensi
insulin basal ataupun prandial dan dapat juga keduanya. Defisiensi insulin basal
menyebabkan hiperglikemia pada keadaan puasa, sedangkan defisensi insulin prandial
akan menimbulkan hiperglikemia setelah makan.16
Sasaran utama dari pemberian terapi hiperglikemia adalah mengendalikan glukosa
darah basal (puasa, sebelum makan). Hal ini dapat dicapai dengan terapi oral maupun
insulin. Insulin yang dipergunakan untuk mencapai sasaran glukosa darah basal adalah
insulin basal ( insulin kerja sedang atau panjang). Penyesuaian insulin basal untuk pasien
rawat jalan dapat dilakukan dengan menambah 2 – 4 unit setiap 3 – 4 hari bila sasaran
terapi belum tercapai.16

17
Tabel 2.9. Rekomendasi sasaran kadar gula dalam darah pasien diabetes18

Tabel 2.10. Rekomendasi sasaran kadar gula dalam darah pasien diabetes dengan CKD14

Apabila sasaran glukosa darah basal telah tercapai, sedangkan HbA1c belum
mencapai target maka dilakukan pengendalian glukosa darah prandial. Insulin yang
dipergunakan untuk mencapai sasaran glukosa darah prandial adalah insulin kerja cepat
(rapid-acting) yang disuntikan 5 – 10 menit sebelum makan atau insulin kerja pendek
(short acting) yang disuntikkan 30 menit sebelum makan.16

Gambar 2.11. Pendekatan terapi insulin pada diabetes18

18
Namun pemberian terapi insulin dapat menyebabkan nyeri , peningkatan berat badan
dan hipoglikemia. Nyeri diakibatkan dari injeksi insulin dan pemantauan kadar gula dalam
darah. Peningkatan berat badan dapat disebabkan efek anabolik dari insulin, peningkatan
nafsu makan, peningkatan retensi kalori akibat penurunan glikosuria, dan jumlah makanan
yang banyak dengan tujuan menghindari hipoglikemia. Penelitian di Inggris mengatakan
bahwa pasien diabetes tipe 2 yang menerima terapi insulin mengalami peningkatan rerata 4
kg, dengan penurunan kadar HbA1C 0,9 dibanding dengan terapi konvensional.17
Hipoglikemia dapat muncul apabila terjadi ketidakseimbangan antara insulin dengan
karbohidrat yang dikomsumsi, aktivitas fisik atau komsumsi alkohol. Hipoglikemia dapat
menyebabkan risiko terjadinya demensia hingga terjadi aritmia jantung.17

b. Agonis GLP-1
Selain pemberian insulin , terdapat agonis GLP-1 atau incretin mimetic. Pengobatan
dengan dasar peningkatan GLP-1 adalah pendekatan baru untuk pengobatan diabetes.
GLP-1 merupakan hormon incretin yang diproduksi oleh lambung yang bekerja dengan
mienstimulasi sekresi glukosa, menurunkan sekresi glukagon, melambatkan motilitas
lambung dan pengosongan lambung, menurunkan nafsu makan. Efek penurunan berat
badan agonis GLP-1 juga digunakan untuk indikasi menurunkan berat badan pada pasien
DM dengan obesitas. Pada percobaan binatang, obat ini terbukti memperbaiki cadangan
sel beta pankreas. Efek samping dari pemberian obat ini adalah rasa mual dan muntah.
Obat yang termasuk golongan ini adalah liraglutide, exenatide, albiglutide, dan
lixisenatide.16,19
Liraglutide merupakan GLP-1 human analog. Penambahan asam lemak (palmitat)
pada molekul GLP-1 ini menyebabkan lebih resisten dibanding GLP-1 native terhadap
degradasi oleh ginjal dan degradasi oleh DPP-4. Waktu paruh liraglutide pada plasma
dapat hingga 13 jam. Dan pemberian liraglutide dapat dengan dosis satu kali per hari,
berbeda dengan exenatide yang butuh dua kali pemberian dalam satu hari.(20) Liraglutide
telah beredar di Indonesia sejak 2015, tiap pen berisi 18 mg dalam 3 mL. Dengan dosis
awal pemberian 0.6 mg per hari yang dapat dinaikkan ke 1.2 mg setelah satu minggu
untuk mendapatkan efek glikemik yang diharapkan. Dosis bisa dinaikkan sampai dengan
1.8 mg. Dosis harian lebih dari 1.8 mg tidak direkomendasikan. Kelebihan dari obat ini
19
dibanding insulin adalah penurunan berat badan, jika pada insulin menyebabkan
peningkatan berat badan.16

2.8. Penggunaan obat injeksi hiperglikemia pada pasien Chronic Kidney Disease
(Diabetic Nephropathy)
Pasien nefropati diabetes meningkatan risiko hipoglikemia disebabkan penurunan
eksresi insulin dan beberapa obat hiperglikemia serta dapat terjadi gangguan proses
glukoneogenesis pada ginjal yang disebabkan penurunan masa ginjal. Ginjal berperan dalam
eksresi 30 – 80 % insulin , dan penurunan fungsi ginjal berhubungan dengan memanjangnya
waktu paruh insulin dan menurunkan kebutuhan insulin dalam tubuh sejalan dengan
penurunan GFR.15
Pasien dengan CKD mengalami gangguan pada sekresi , aktivasi dan eksresi insulin
di ginjal. Ketika sekresi insulin mengkompensasi resistensi insulin, terjadi normoglikemia
dengan hiperinsulinemia. Namun ketiak sekresi insulin normal atau sedikit menurun, maka
gangguan glukosa basal tubuh atau intoleransi glukosa dapat muncul. Hubungan gangguan
pengaturan glukosa darah dengan defisiensi vitamin D ditemukan bahwa defisiensi vitamin
D menyebabkan penurunan kapasitas sekresi insulin sel beta pankreas.14
Uremia yang terjadi pada pasien CKD juga menyebabkan gangguan metabolik , dan
pada pasien ini terjadi penurunan sensitivitas insulin sebanyak 60% dibandingkan dengan
orang normal. Dengan berkembangnya CKD , maka eksresi insulin juga menurun, karena
eksresi dari ginjal ini menurun maka terjadi kompensasi pada tubuls proksimal untuk uptake
insulin kembali. Dengan penurunan GFR dibawah 20 ml/ min, maka ekresi insulin menurun
dengan drastis. Sehingga pada pasien dengan GFR yang masih baik tidak membutuhkan
penyesuaian dosis yang signfikan. The American College of Physicians merekomendasikan
penurunan kadar insulin eksogen 25% pada pasien dengan GFR 10-50ml/min dan penurunan
dosis insulin 50% apabila GFR lebih rendah dari 10ml/min.14
Pasien dengan gangguan fungsi ginjal kronis kelas 4-5 dan pasien CKD yang
melakukan hemodialisa mengalami pemanjangan waktu pengosongan lambung. Sehingga
pemberian rapid-acting insulin setelah makan dapat membantu menyesuaikan kadar puncak
insulin dengan waktu puncak glukosa darah. Pada pasien dengan mual tidak dapat
mengetahui jumlah pasti makanan yang dicerna apabila ada yang dimuntahkan sehingga
pemberian rapid-acting insulin setelah makan dapat membantu. Hal serupa terjadi pada

20
pasien dengan peritoneal dyalisis dapat terjadi mendapatkan kalori dari cairan peritoneal dan
dapat makan sedikit, sehingga pemberian dosis insulin setelah makan dapat membantu.15
Pengaturan glukosa darah pada pasien diabetes dengan CKD diperlukan untuk
menurunkan angka morbiditas dan mortalitas. Pengaturan glukosa darah memiliki peran
penting pada perkembangan diabetik nefropati, melalui efeknya pada protein, produksi
AGEs dan aktivasi sejumlah mediator. Hal ini bertujuan untuk menghindari perkembangan
dan progresi penyakit pada diabetik nefropati dan mencegah komplikasi pada sistem
kardiovaskular. Yakni dalam hal mikroalbuminuria , makroalbuminuria terjadi penurunan.14

2.8. Penggunaan Obat Oral pada Pasien dengan Gangguan Ginjal


Diabetes merupakan penyebab utama penyakit gagal ginjal kronis. Umumnya
50% dari insulin yang disekresikan dari pankreas ke sirkulasi portal akan dimetabolisme
di hepar sehingga ginjal tidak terlalu berperan pada first pass metabolisme. Ginjal lebih
berperan pada metabolisme insulin dalam sirkulasi sistemik, sehingga insulin yang
didapatkan dari luar tubuh akan didegradasi oleh ginjal. Insulin akan difiltrasi oleh
glomerulus dan direabsorbsi pada tubulus proksimal dan akan didegradasi juga oleh
tubulus proksimal menjadi asam amino. Hasil akhir dari proses ini adalah hanya 1%
insulin terfiltrasi yang tampak dalam urin. Pada pasien dengan penyakit ginjal, level
insulin basal akan tinggi tinggi berdasarkan tingkat keparahan penyakit ginjal. Pada
stadium awal akan disebabkan karena berkurangnya aliran darah dan pada kasus yang
lebih parah disebabkan karena berkurangnya massa ginjal.20
Pada kasus yang lebih parah (GFR <20 ml/menit), gangguan bersihan juga
dipengaruhi oleh penurunan filtrasi. Metabolisme insulin yang berubah ada pasien
diabetes dengan gangguan ginjal menyebabkan pasien-pasien tersebut lebih rawan
terhadap efek hioglikemik dari insulin yang diberikan dari luar tubuh dan agen-agen
insulin lainnya.20
Pada pasien dengan GFR < 50 ml/menit, sekresi insulin juga terganggu
disebabkan karena adanya asidosis metabolik dan hiperparatiroidisme yang menyebabkan
peningkatan kalsium intraseluler dan penurunan pada ATP dan aktivitas Na/K ATPase
yang akan menyebabkan defek sekresi insulin pada sel beta pankreas.20
Efek dari deviasi metabolisme insulin bersifat bifasik. Pada stadium awal,
kebutuhan insulin meningkat karrena adanya peningkatan resistensi insulin dan
penurunan sekresi insulin. Akan tetapi pada stadium akhir, kebutuhan insulin akan
21
menurun dan menyebabkan timbulnya resiko terjadi hipoglikemia spontan. Berikut
adalah penyebab terjadinya20:
1. Perubahan metabolisme insulin
2. Nafsu makan yang menurun
3. Penurunan glukoneogenesis renal
4. Pelepasan hormon counter-regulatory seperti epinenfrin yang terganggu karena
adanya nefropati otonomi
5. Gangguan hepar yang berulang
6. Penurunan metabolisme dari obat-obatan yang mungkin dapat menyebabkan reduksi
konsentrasi glukosa plasma seperti alkohol, beta bloker non selektif, dan disopiramid.
Gagal ginjal kronis dihubungkan dengan penurunan clearance dari obat anti-
diabetik dan metabolismenya, yang akan menyebabkan obat berada lebih lama dalam
tubuh sehingga pemberian obat agen anti-diabetik memerlukan perhatian lebih.

2.9. Jenis-jenis obat anti-diabetik oral


1. Sulfonilurea
Terdapat 2 generasi sulfonilurea akan tetapi generasi pertama sudah tidak
dipakai lagi. Sulfonilurea akan berikatan dengan albumin. Masalah yang timbul
dengan penggunaan obat ini adalah ikatan protein yang kuat dengan obat ini sehingga
tidak dapat dihilangkan dari sirkulasi tubuh dengan efisien bahkan dengan
hemodialisis.21
1.1.Glibenklamid dan glimepirid
Glibenklamid dan glimepirid akan dimetabolisme di hepar. Hasil
metabolisme obat-obat ini akan diekskresikan di ginjal, sehingga akan terjadi
akumulasi dari hasil-hasil metabolisme pada pasien dengan gangguan ginjal, yang
akan menyebabkan hipoglikemi parah dan berkepanjangan. Maka itu, penggunan
obat golongan sulfonilurea menadi kontraindikasi pada pasien dengan penyakit
ginjal yang parah dan penurunan dosis dianjurkan untuk pasien dengan penyakit
ginjal tringan hingga sedang.21
1.2.Glipizide
Glipizide dimetabolisme di hepar seperti glibenklamid akan terapi tidak
seperti glibenklamid, hasil metabolismenya inaktif dan waktu paruhnya dalam
22
plasma termasuk singkat (2-4 jam), sehingga bila dibutuhkan, glipizide sebaiknya
menjadi drug of choice pada pasien diabetes dengan penyakit ginjal.21
1.3.Gliclazide
Glicazide memiliki waktu paruh 10-12 jam dan dieliminasi melalui hepar
menjadi hasil metabolisme inaktif. Gliclazide biasanya akan tereliminasi
sepenuhnya dari tubuh 144 jam setelah pemberian dosis. Eliminasi terbesar adalah
melalui urin yaitu sebesar 70%. Bersihan ginjal terhadap gliclazide rendah (0.5
ml/menit, <1% dari dosis yang diberikan) sehingga obat ini bisa digunakan pada
pasien dengan gagal ginjal tanpa penyesuaian, namun penelitian yang berfokus
pada pasien gagal ginjal kronis belum ada.21
1.4.Gliquidone
Peak plasma concentration dari obat ini terjadi setelah 2 jam dan waktu
paruhnya 1.5 jam. Gliquidone dimetabolisme di hepar dan menghasilkan hasil
metabolisme inaktif. 95% dosis gliquidone akan siekskresikan melalui feses.
Karakteristik farmakokinetik gliquidone sama pada pasien dengan atau tanpa
penyakit gagal ginjal kronis sehingga tidak diperlukan penyesuaian dosis.21
2. Non-sulfonilurea
Repaglinide adalah obat insulin sekretoar golongan non-sulfonilurea yang
dimetabolisme di hepar dan diekskresikan di empedu. Waktu paruh obat ini adalah
0.6-1.8 jam. Obat ini diekskresikan secara minimal melalui ginjal sehingga meskipun
waktu paruh obat tersebut akan memanjang ada pasien dengan gagal ginjal, tidak
diperlukan modifikasi dosis pada pasien-pasien ini.(22)
Nateglinide juga dimetabolisme di hepar, akan tetapi hasil metabolisme
nateglinide memiliki kemampaun aktivitas hipoglikemia dan akan terakumulasi pada
pasien dengan gangguan ginjal.21
3. Biguanid
Metformin dianggap sebagai obat anti-diabetes yang aman akan tetapi
penggunaannya pada pasien dengan penyakit ginjal dihubungkan dengan peningkatan
resiko asidosis laktat. Efek samping tersebut adalah hasil akumulasi dari obat dan
hasil metabolismenya pada pasien dengan penyakit ginjal. Mekanisme dari
metformin-associated lactic acidosis (MALA) meliputi penekanan proses
glukoneogenesis hepar yang menyebabkan terjadinya metabolisme laktat. Metformin

23
menjadi kontraindikasi pada pasien laki-laki dengan serum kreatinin > 1.5 mg/dl dan
pasien perempuan dengan serum kreatinin >1.4 mg/dl.21
4. Thiazodinediones
Golongan thiazodinediones (pioglitazone dan rosiglitazone) dimetabolisme di
hepar. Hasil metabolisme dari obat-obat ini terbentuk karena metabolisme hepar tidak
menghasilkan aktivitas hipoglikemi yang berlebihan. Penyakit ginjal juga tidak
mengakumulasi obat dan hasil metabolismenya sehingga resiko terjadinya
hipoglikemi minimal. Namun efek samping dari obat-obat ini adalah retensi cairan,
sehingga penggunaan obat ini pada penyakit ginjal dihubungkan dengan resiko
kelebihan cairan yang signifikan dan eksaserbasi dari peyakit kardiovaskuler
sebelumnya.21
5. Alpha-glucosidase inhibitor
Alpha-glucosidase inhibitor seperti acarbose atau miglitol adalah agen anti-
diabetik luminally acting yang memperlambat penghancuran dan penyerapan
karbohidrat di usus sehingga menghindari peningkatan glukosa post-prandial.
Acarbose diabsorbsi secara minimal dari usus akan tetapi dimetabolisme oleh flora
luminal menjadi beberapa produk yang mungkin akan diabsorbsi. Efek samping yang
penting pada pasien penyakit ginjal adalah peningkatan level transaminase yang
disebabkan dari obat tersebut dan hasil metabolismenya. Miglitol akan diabsorbsi
sepenuhnya oleh usus dan dieliminasi melalui ginjal, sehingga kedua obat ini
memiliki peran yang kecil pada tatalaksana pasien dengan penyakit ginjal.21

6. DPP-4 inhibitor
6.1.Sitagliptin dan Saxagliptin
Sitagliptin dan Saxagliptin diekskresikan melalui ginjal sehingga
pengaturan dosis pada pasien dengan penyakit ginjal sedang hingga berat
diperlukan. Penyesuaian dosis sitagliptin adalah21:
1. Creatinine clearance 50-80 ml/menit – 100 mg qd (seperti pada pasien tanpa
penyakit ginjal)
2. Creatinine clearance 30-50 ml/menit – 50 mg qd
3. Creatinine clearance <30 ml/menit atau ESRD (lever serum kreatinin
>3.0mg/dl pada laki-laki dan >2.5 mg/dl pada perempuan, atau dalam terapi
dialisis) – 25 mg qd.
Penyesuaian dosis pada saxagliptin adalah sebagai berikut:
24
1. Creatinine clearance >50 ml/menit – tidak ada penyesuaian dosis (2.5-5 mg
qd, dimakan tanpa memperhatikan makanan)
2. Creatinine clearance <50 ml/menit – 2.5 mg qd.

6.2.Vildagliptin
Vildagliptin diekskresikan melalui ginjal sebanyak 75% dan memiliki
waktu paruh 2-3 jam. Obat ini baik digunakan pada pasien dengan gagal ginjal
kronik stadium 2 dan pada stadium 3-5 diperlukan penyesuaian dosis dari 50 mg
sebanyak dua kali sehari menjadi sekali sehari.21
6.3.Linagliptin
Linagliptin dibandingkan obat DPP4 inhibtor lainnya terikat pada protein
dan memiliki waktu paruh yang panjang, akan tetapi 85% diekskreskan melalui
feses dan hanya 5% melalui ginjal sehingga tidak diperlukan penyesuaian dosis.
Dosis linagliptin adalah 5mg/hari.21
6.4.Alogliptin
Waktu paruh alogliptin adalah 12-21 jam dan diekskresikan melalui ginjal
sebesar 70%. Terdapat peningkatan paparan alogliptin pada pasien dengan
gangguan ginjal ringan, sedang, dan berat sebesar 1.7, 2.1, dan 3.2 kali lipat.
Tidak ada penyesuaian dosis yang harus dilakukan pada pasien dengan GFR >60
ml/menit dan pada pasien dengan GFR 30-60 ml/menit sebaiknya dikurangi dari
25 mg/hari menjadi 12.5 mg/hari dan pada pasien dengan GFR <30 ml/menit
dikurangi menjadi 6.25 mg/hari.21
7. Sodium-glucose cotransporter 2 inhibitors
Sodium-glucose cotransporter 2 (SGLT2) protein menghalangi aktivasi
tubulus yang mereabsorbsi 9% glukosa yang difiltrasi di glomerulus sehinga
meningkatkan pengeluaran glukosa darah melalui urin.21
7.1. Dapagliflozin
Dapagliflozin merupakan C-glucoside yyang diberikan 5-10 mg per hari.
Waktu paruh dapagliflozin adalah 13.8 jam dan dimetabolisme di hepar dan ginjal.
Hasil metabolisme aktif akan terbentuk bila dosis yang diberikan >50mg. Pada pasien
dengan gagal ginjal akut terdapat peningkatan konsentrasi dapagliflozin pada plasma
seiring dengan penurunan fungsi ginjal dan belum ada data mengenai keamanan
penggunaan obat ini.21

25
7.2. Canagliflozin
Dosis yang diberikan sebesar 100-300 mg per hari dan waktu paruhnya 10.6
jam. Pada pasien dengan gagal ginjal kronis stadium 3 mengalami efek samping
seperti penurunan volume intravaskular, hiperkalemi, dan penurunan GFR sehingga
penggunaannya sebaiknya dihindari.21
7.3. Empagliflozin
Penelitian menggunakan empagliflozin menunjukkan hasil yang baik pada
dosis 10-100 mg/hari. Waktu paruh obat ini adalah 10-19 jam. Pada penelitian lain,
konsentrasi plasma empaglifozin dosis 50 mg pada pasien dengan dan tanpa penyakit
gagal ginjal kronis tidak berbeda namun penggunaan lebih lanjut belum diteliti.21

26
BAB III
KESIMPULAN

Penyakit ginjal kronis banyak terjadi pada pasien yang sudah lanjut usia dan terkadang
menyerang mereka yang masih muda karena penyakit autoimun atau infeksi berat. Penyakit
ginjal kronis sering disebabkan karena hiperglikemia atau diabetes melitus tipe 2 pada pasien.
Sehingga terjadi komplikasi diabetes melitus berupa nefropati diabetes. Hal sering terjadi dan
menyebabkan terganggunya fungsi ginjal dalam hal filtrasi dan eksresi zat yang dibuang di urin
seperti ureum , elektrolit dan lainnya.
Pada pasien dengan diabetes melitus, diperlukan pengaturan terhadap gula darah pasien.
Karena jika gula darah tersebut tidak terkontrol dengan baik maka proses kerusakan jaringan
akan terus terjadi akibat radikal bebas dan inflamasi kronis. Namun pada pasien dengan diabetes
melitus dan pasien dengan penyakit ginjal kronis menyebabkan kesulitan dalam memilih obat
yang tepat sebab penggunaan obat hiperglikemia oral dapat memperberat kerja dari ginjal dan
menyebabkan penurunan fungsi ginjal. Obat seperti glipizide dan gliquidone menjadi pilihan
pada pasien penyakit ginjal kronis karena waktu paruhnya yang pendek, sebagian besar
diekskresikan di feses dan hasil metabolitnya inaktif. Obat oral lainnya dengan penurunan dosis
dapat menahan kerja ginjal , namun hal tetap memiliki efek samping terhadap kerja ginjal.
Sehingga pada pasien ini diberikan obat hiperglikemia injeksi berupa insulin analog dan
liraglutide (GLP-1 agonist). Sebab kerja dari kedua obat ini mirip dengan kerja hormon dalam
tubuh dan tidak memperberat kerja dari ginjal dalam metabolismenya.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. American Diabetes Association. Diagnosis and classification of diabetes melitus. Diabetes


Care [Internet]. 2012 Jan [cited 2013 Nov 1];35. Available from:
http://care.diabetesjournals.org/content/21/Supplement_1/S5.full.pdf
2. Sudoyo AW. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit
Dalam; 2009. 291:294. (V; vol. III).
3. Danaei G, Finucane M, Lu Y, Singh G, Cowan M, Paciorek C, et al. National, regional, and
global trends in fasting plasma glucose and diabetes prevalence since 1980: systematic
analysis of health examination surveys and epidemiological studies with 370 country-years
and 2·7 million participants. Lancet. 2011 Jul 2;378(9785):31–40.
4. Triono Soendoro. Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS). Dep Kesehat Repub Indones.
2008;
5. KDIGO 2012 Clinical Practice Guideline for the Evaluation and Management of Chronic
Kidney Disease. Int Soc Nephrol. 2013 Jan;3(1).
6. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar [RISKESDAS
2013]. Jakarta: Balitbangkes Depkes RI; 2013.
7. Diabetes Management Issues for Patients With Chronic Kidney Disease | Clinical Diabetes
[Internet]. [cited 2016 Jun 20]. Available from:
http://clinical.diabetesjournals.org/content/25/3/90
8. KDOQI CKD Guidelines [Internet]. [cited 2016 Jun 20]. Available from:
http://www2.kidney.org/professionals/KDOQI/guidelines_ckd/toc.htm
9. Thomas R, Kanso A, Sedor JR. Chronic Kidney Disease and Its Complications. Prim Care.
2008 Jun;35(2):329–vii.
10. Chronic kidney disease (CKD) | McMaster Pathophysiology Review [Internet]. [cited 2016
Jun 21]. Available from: http://www.pathophys.org/ckd/
11. National Kidney Foundation Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease: Evaluation,
Classification, and Stratification | Annals of Internal Medicine [Internet]. [cited 2016 Jun
20]. Available from: http://annals.org/article.aspx?articleid=716575
12. About Chronic Kidney Disease [Internet]. The National Kidney Foundation. 2014 [cited
2016 Jun 20]. Available from: https://www.kidney.org/kidneydisease/aboutckd
13. Kasper DL, editor. Harrison’s principles of internal medicine. 19th edition / editors, Dennis
L. Kasper, MD, William Ellery Channing, Professor of Medicine, Professor of
Microbiology, Department of Microbiology and Immunobiology, Harvard Medical School,
28
Division of Infectious Diseases, Brigham and Women’s Hospital, Boston, Massachusetts
[and five others]. New York: McGraw Hill Education; 2015. 1 p.
14. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI). Terapi insulin pada pasien diabetes
melitus. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2011.
15. Iglesias P, Díez JJ. Insulin therapy in renal disease. Diabetes Obes Metab. 2008
Oct;10(10):811–23.
16. Hahr AJ, Molitch ME. Management of diabetes mellitus in patients with chronic kidney
disease. Clin Diabetes Endocrinol [Internet]. 2015 Dec [cited 2016 Jun 13];1(1). Available
from: http://www.clindiabetesendo.com/content/1/1/2
17. PERKENI. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia.
Jakarta: PERKENI; 2015.
18. Petznick A. Insulin management of type 2 diabetes mellitus. Am Fam Physician.
2011;84(2):183–190.
19. American Diabetes Association. STANDARDS OF MEDICAL CARE IN DIABETES.
United States: Diabetes Care; 2016.
20. Nauck M, Frid A, Hermansen K, Shah NS, Tankova T, Mitha IH, et al. Efficacy and Safety
Comparison of Liraglutide, Glimepiride, and Placebo, All in Combination With Metformin,
in Type 2 Diabetes: The LEAD (Liraglutide Effect and Action in Diabetes)-2 study. Diabetes
Care. 2009 Jan 1;32(1):84–90.
21. Cavanaugh KL. Diabetes management issues for patients with chronic kidney disease. Clin
Diabetes. 2007;25(3):90–97.
22. Arnouts P, Bolignano D, Nistor I, Bilo H, Gnudi L, Heaf J, et al. Glucose-lowering drugs in
patients with chronic kidney disease: a narrative review on pharmacokinetic properties.
Nephrol Dial Transplant Off Publ Eur Dial Transpl Assoc - Eur Ren Assoc. 2014
Jul;29(7):1284–300.

29

Anda mungkin juga menyukai