Anda di halaman 1dari 12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian HIV/AIDS

Acquired immune Defiiency Syndrome (AIDS) Merupakan kumpulan

gejala penykit akibat turun sistem kekebalan tubuh akibat human

Immunodeficiency Virus (HIV). Seseorang yang terinfeksi HIV atau

menderita AIDS sering disebut dengn ODHA singkatan dari orang yang

hidup dengan HIV/AIDS. Penderita infeksi HIV dinyatakan sebagia penderita

AIDS ketika menunjukkan gejala atau penyakit tertentu yang merupakan

akibat penurunan daya tahan tubuh yang di sebabkan virus HIV atau tes darah

menunjukkan jumlah Cluster of Diffrentation atau CD4<200/mm (Maya,

2016).

Virus Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan retrovirus yang

termasuk golongan virus RNA (virus yang menggunkan RNA sebagai

molekul pembawa informasi genetic). di sebut retovirus karena memiliki

enzim reverse transriptase. Enzim mini memungkinkan virus menerima

informasi genetiknya yang berada dalam RNA kedalam bentuk DNA yang

kemudian di intergrasikan kedalam informasi genetik sel limfosit yang di

serang dengan demikian HIV dapat memanfaatkan mekanisme sel limfosit

untuk mengkopi dirinya menjadi virus baru yang memiliki ciri-ciri HIV. HIV

menyerang system imun manusia yaitu menyerang limfosit T Helper yang

memiliki reseftor CD4 di permukaannya Limposit T helper antara lain

berfungsi menghasilkan zat kimia yang berperan sebagai perangsang


pertumbhan dan pembentukan sel-sel lain dalam sistem imun dan dan

pembentukan antibody sehingga yang terganggu bukan hanya fungsi limfosit

T tetapi juga linfosit B, monosit markograf dan sebagainya (Maya, 2016).

2.2 Cara Kerja HIV

Di dalam tubuh kita terdapat sel darah putih yang disebut sel CD4.

Fungsinya seperti sakelar yang menghidupkan dan memadamkan kegiatan

sistem kekebalan tubuh, tergantung ada tidaknya kuman yang harus dilawan.

HIV yang masuk ke tubuh menularkan sel ini, ‘membajak’ sel tersebut, dan

kemudian menjadikannya ‘pabrik’ yang membuat miliaran tiruan virus.

Ketika proses tersebut selesai, tiruan HIV itu meninggalkan sel dan masuk ke

sel CD4 yang lain. Sel yang ditinggalkan menjadi rusak atau mati. Jika sel-sel

ini hancur, maka sistem kekebalan tubuh kehilangan kemampuan untuk

melindungi tubuh kita dari serangan penyakit. Keadaan ini membuat kita

mudah terserang berbagai penyakit (Murni, 2016).

2.3 Perjalanan Penyakit HIV/AIDS

Berikut perjalanan penyakit HIV/AIDS ada 5 yaitu :

1. Fase 1

Umur ineksi 1-6 bulan (sejak terineksi HIV) Indvidu sudah

terpapar dan terinfeksi tetapi cirri-ciri terinfeksi belum terlihat ia

melakukan tes darah Pada ase ini antibodi terhadap HIV belum terbentuk

bias saja terlihat/mengalami gejala-gejala ringan seperti Influenza

(Biasanya 2-3 hari an sembuh sendiri)


2. Fase 2
Umur infeksi 2-10 tahun setelah terinfeksi HIV. Pada fase kedua

ini indiidu sudah positif HIV dan belum menampakka gejala sakit. namun

sudah dapat menularkan pada orang lain bisa saja terlihat/mengalami

gejala-gejala ringan seperti Influenza (Biasanya berlansung 1-2 minggu

dan sembuh sendiri).

3. Fase 3

Mulai meunularnya gejala-gejala awal penyakit. belum di sebut

sebagai gejala AIDS gejala-gejala yang berkaitan antara lain keringat

yang berlebihan pada waktu malam Diare terus menerus, Pembengkakan

kelenjar getah bening flu yang tidak sembuh-sembuh, nafsu makan

berkurang dan badan menjadi lemah serta berat badan terus berkurang.

Pada fase ketiga ini sistem kekebalan tubuh mulai berkurang.

4. Fase 4

Sudah masuk pada fase AIDS. AIDS baru dapat terdiagnosis

setelah kekebalan tubuh sangat berkurang di lihat dari jumlah sel T timbul

penyakit tertentu yang di sebut dengan infeksi oprtunistik yaitu TBC

Infeksi paru-paru yag menyebabkan radang paru–paru dan kesulitan

bernafas sariawan, kanker kulit atau sarcoma kaposi, infeksi usus yang

menyebabkan diare parah berminggu minggu, Dan infeksi otak yang

menyebabkan kekacauan mental dan sakit kepala (Maya, 2016).


2.4 Patogenesis

Penularan HIV/AIDS terjadi melalui cairan tubuh yang mengandung HIV

baik melalui transmisi seksual, paparan parenteral yang terkontaminasi,

persalinan dan laktasi dari ibu yang mengidap HIV ke bayinya (Nurul, 2017).

Sistem imun menjadi target utama dari infeksi HIV dimana virus akan

menyerang sel limfosit T helper yang mengandung marker molekul CD4.

Setelah HIV mengikatkan diri pada molekul CD4, virus masuk ke dalam

target dan melepaskan bungkusnya kemudian dengan enzim reverse

transcriptase virus tersebut merubah bentuk RNA agar dapat bergabung

dengan DNA sel target. Selanjutnya sel yang berkembang biak akan

mengandung bahan genetik virus dan akan membentuk virus baru, dan

menginfeksi sel host lainnya. Infeksi HIV dengan demikian menjadi

irreversible dan berlangsung seumur hidup (Nurul, 2017).

Perjalanan khas infeksi HIV terdiri dari beberapa tahapan yaitu infeksi

primer, penyebaran virus ke organ limfoid, latensi klinis, peningkatan

ekspresi HIV, penyakit klinis dan kematian. Durasi antara infeksi primer

sampai penyakit klinis rata-rata sekitar 10 tahun. Pada awal infeksi, HIV tidak

segera menyebabkan kematian dari sel, tetapi terlebih dahulu mengalami

replikasi dalam tubuh penderita dan lambat laun akan merusak limfosit T-

CD4. Masa inkubasi adalah waktu yang diperlukan sejak seseorang terpapar

virus HIV sampai menunjukkan gejala AIDS. Pada masa inkubasi, virus HIV

tidak dapat terdeteksi dengan pemeriksaan laboratorium kurang lebih 3 bulan


sejak tertular virus HIV yang dikenal dengan masa window period (Nurul,

2017).

Setelah infeksi primer, selama 4-11 hari masa antara infeksi mukosa dan

viremia permulaan, viremia dapat terdeteksi selama sekitar 8-12 minggu.

Virus tersebar luas ke seluruh tubuh selama masa ini, dan menyerang organ

limfoid, dan terjadi penurunan jumlah sel –T CD4 yang beredar secara 13

signifikan. Respon imun terhadap HIV terjadi selama 1 minggu sampai 3

bulan setelah terinfeksi, viremia plasma menurun dan level sel CD4 kembali

meningkat. Tetapi respon imun tidak mampu menyingkirkan infeksi secara

sempurna sehingga sel-sel yang terinfeksi HIV menetap dalam limfoid

(Nurul, 2017).

Setelah beberapa bulan atau tahun akan terlihat gejala klinis pada

penderita. Sebagian penderita memiliki gejala tidak khas pada infeksi HIV

akut, 3-6 minggu pasca terinfeksi yaitu demam, nyeri menelan,

pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare, atau batuk. Setelah infeksi

akut, dimulailah infeksi HIV asimptomatik (tanpa gejala). Hal ini berlangsung

selama 8-10 tahun, tetapi ada sekelompok kecil penderita yang cepat hanya

sekitar 2 tahun dan ada yang sangat lambat (Nurul, 2017) Secara bertahap

sistem kekebalan. tubuh yang terinfeksi oleh virus HIV akan menyebabkan

fungsi kekebalan tubuh rusak sehingga penderita akan menampakkan gejala

akibat infeksi oportunistik (Nurul, 2017).


2.5 Tes Diagnosis HIV

Tes diagnostik HIV merupakan bagian dari proses klinis untuk

menentukan diagnosis. Diagnosis HIV ditegakkan dengan pemeriksaan

laboratorium. Jenis pemeriksaan laboratorium HIV dapat berupa (Kemenkes,

2015):

1. Tes serologi

Tes serologi terdiri atas:

a. Tes cepat

Tes cepat dengan reagen yang sudah dievaluasi oleh institusi yang

ditunjuk Kementerian Kesehatan, dapat mendeteksi baik antibodi

terhadap HIV-1 maupun HIV-2. Tes cepat dapat dijalankan pada

jumlah sampel yang lebih sedikit dan waktu tunggu untuk

mengetahui hasil kurang dari 20 menit bergantung pada jenis tesnya

dan dilakukan oleh tenaga medis yang terlatih.

b. Tes Enzyme Immunoassay (EIA)

Tes ini mendeteksi antibodi untuk HIV-1 dan HIV-2. Reaksi

antigen-antibodi dapat dideteksi dengan perubahan warna.

c. Tes Western Blot

Tes ini merupakan tes antibodi untuk konfirmasi pada kasus yang

sulit.

Bayi dan anak umur usia kurang dari 18 bulan terpapar HIV yang tampak

sehat dan belum dilakukan tes virologis, dianjurkan untuk dilakukan tes
serologis pada umur 9 bulan (saat bayi dan anak mendapatkan imunisasi

dasar terakhir). Bila hasil tes tersebut:

a. Reaktif harus segera diikuti dengan pemeriksaan tes virologis untuk

mengidentifikasi kasus yang memerlukan terapi ARV.

b. Non reaktif harus diulang bila masih mendapatkan ASI. Pemeriksaan

ulang dilakukan paling cepat 6 minggu sesudah bayi dan anak

berhenti menyusu.

c. Jika tes serologis reaktif dan tes virologis belum tersedia, perlu

dilakukan pemantauan klinis ketat dan tes serologis diulang pada

usia 18 bulan.

Bayi dan anak umur kurang dari 18 bulan dengan gejala dan tanda

disebabkan oleh infeksi HIV tetapi tes virologis tidak dapat dilakukan,

diagnosis ditegakkan menggunakan diagnosis presumtif. Pada bayi dan

anak umur kurang dari 18 bulan yang masih mendapat ASI, prosedur

diagnostik awal dilakukan tanpa perlu menghentikan pemberian ASI.

Anak yang berumur di atas 18 bulan menjalani tes HIV sebagaimana

yang dilakukan pada orang dewasa (Kemenkes, 2015).

2. Tes virologis Polymerase Chain Reaction (PCR)

Tes virologis direkomendasikan untuk mendiagnosis anak berumur kurang

dari 18 bulan Tes virologis yang dianjurkan: HIV DNA kualitatif dari darah

lengkap atau Dried Blood Spot (DBS), dan HIV RNA kuantitatif dengan

menggunakan plasma darah. Bayi yang diketahui terpapar HIV sejak lahir

dianjurkan untuk diperiksa dengan tes virologis paling awal pada umur 6
minggu. Pada kasus bayi dengan pemeriksaan virologis pertama hasilnya

positif, maka terapi ARV harus segera dimulai; pada saat yang sama

dilakukan pengambilan sampel darah kedua untuk pemeriksaan tes virologis

kedua (Kemenkes, 2015).

Tes virologis terdiri atas:

a. HIV DNA kualitatif (EID)

Tes ini mendeteksi keberadaan virus dan tidak bergantung pada

keberadaan antibodi HIV. Tes ini digunakan untuk diagnosis pada bayi.

b. HIV RNA kuantitatif

Tes ini untuk memeriksa jumlah virus di dalam darah, dan dapat

digunakan untuk pemantauan terapi ARV pada dewasa dan diagnosis pada

bayi jika HIV DNA tidak tersedia.

Diagnosis HIV pada bayi dapat dilakukan dengan cara tes virologis, tes

antibodi, dan presumtif berdasarkan gejala dan tanda klinis.

1. Diagnosis HIV pada bayi berumur kurang dari 18 bulan, idealnya

dilakukan pengulangan uji virologis HIV pada spesimen yang berbeda

untuk informasi konfirmasi hasil positif yang pertama sebagaimana bagan

di bawah ini.

2. Diagnosis presumtif infeksi HIV pada bayi dan anak umur kurang dari 18

bulan Bila ada bayi dan anak berumur kurang dari 18 bulan dan dipikirkan

terinfeksi HIV, tetapi perangkat laboratorium untuk HIV DNA kualitatif

tidak tersedia, tenaga kesehatan diharapkan mampu menegakkan diagnosis

dengan cara diagnosis presumtif (Kemenkes, 2015).


Tabel 1. Diagnosis HIV presumtif pada bayi dan anak umur kurang dari 18

bulan

Bila ada 1 kriteria berikut Minimal 2 gejala berikut


 Pneumonia Pneumocystis  Oral thrush (Kandidiasis

(PCP), meningitis kriptokokus, oral)

kandidiasis esophagus  Pneumonia berat

 Toksoplasmosis atau  Sepsis berat

 Malnutrisi berat yang tidak  Kematian ibu yang berkaitan

membaik dengan pengobatan dengan HIV atau penyakit

standar HIV yang lanjut


Catatan:

1. Menurut definisi Integrated Management of Childhood Illness (IMCI):

a. Oral thrush adalah lapisan putih kekuningan di atas mukosa yang

normal atau kemerahan (pseudomembran), atau bercak merah di

lidah, langit-langit mulut atau tepi mulut, disertai rasa nyeri. Tidak

bereaksi dengan pengobatan antifungal topikal.

b. Pneumonia adalah batuk atau sesak napas pada anak dengan

gambaran chest indrawing, stridor atau tanda bahaya seperti

letargik atau penurunan kesadaran, tidak dapat minum atau

menyusu, muntah, dan adanya kejang selama episode sakit

sekarang. Membaik dengan pengobatan antibiotik.

c. Sepsis adalah demam atau hipotermia pada bayi muda dengan

tanda yang berat seperti bernapas cepat, chest indrawing, ubun-


ubun besar membonjol, letargi, gerakan berkurang, tidak mau

minum atau menyusu, kejang, dan lain-lain.

2. Pemeriksaan uji HIV cepat (rapid test) dengan hasil reaktif harus

dilanjutkan dengan 2 tes serologi yang lain.

3. Bila hasil pemeriksaan tes serologi lanjutan tetap reaktif, pasien harus

segera mendapat obat ARV (Nia, 2013).

3. Diagnosis HIV pada Anak > 18 bulan, Remaja dan Dewasa

Tes untuk diagnosis HIV dilakukan dengan tes antibodi menggunakan

strategi III (pemeriksaan dengan menggunakan 3 jenis tes antibodi yang

berbeda sensitivitas dan spesivisitasnya) (Kemenkes, 2015).

2.6 Penanggulangan HIV dan AIDS

Pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 21 Tahun 2013 tentang

Penanggulangan HIV dan AIDS ditambahkan dan ditegaskan pula indikasi

tes HIV, yaitu:

1. Setiap orang dewasa, anak, dan remaja dengan kondisi medis yang diduga

terjadi infeksi HIV terutama dengan riwayat tuberkulosis dan IMS

2. Asuhan antenatal pada ibu hamil dan ibu bersalin

3. Laki-laki dewasa yang meminta sirkumsisi sebagai tindakan pencegahan

HIV.

Untuk melakukan tes HIV pada anak diperlukan izin dari orang tua/wali

yang memiliki hak hokum atas anak tersebut (contoh nenek/kakek/orang tua

asuh, bila orang tua kandung meninggal atau tidak ada) merujuk pada

peraturan lain terkait anak.


Sedikit berbeda dengan orang dewasa, bayi dan anak memerlukan tes HIV

pada kondisi dibawah ini:

1. Anak sakit (jenis penyakit yang berhubungan dengan HIV seperti TB berat

atau mendapat OAT berulang, malnutrisi, atau pneumonia berulang dan

diare kronis atau berulang)

2. Bayi yang lahir dari ibu terinfeksi HIV dan sudah mendapatkan tindakan

pencegahan penularan dari ibu ke anak

3. Untuk mengetahui status bayi/anak kandung dari ibu yang didiagnosis

terinfeksi HIV (pada umur berapa saja)

4. Untuk mengetahui status seorang anak setelah salah satu saudara

kandungnya didiagnosis HIV: atau salah satu atau kedua orangtua

meninggal oleh sebab yang tidak diketahui tetapi masih mungkin karena

HIV

5. Terpapar atau potensial terkena infeksi HIV melalui jarum suntik yang

terkontaminasi, menerima transfusi berulang dan sebab lain

6. Anak yang mengalami kekerasan seksual.

Perkembangan program serta inisiatif SUFA (Strategic Use of ARV) maka

tes HIV juga harus ditawarkan secara rutin kepada:

1. Populasi Kunci (Pekerja seks, Penasun, LSL, Waria) dan diulang minimal

setiap 6 bulan sekali

2. Pasangan ODHA (orang dengan HIV/AIDS)

3. Ibu hamil di wilayah epidemi meluas dan epidemi terkonsentrasi

4. Pasien TB
5. Semua orang yang berkunjung ke fasyankes di daerah epidemi HIV meluas

6. Pasien IMS

7. Pasien Hepatitis

8. Warga Binaan Pemasyarakatan

9. Lelaki Beresiko Tinggi (LBT) (Kemenkes, 2015).

Maya. 2016. Pengetahuan Ibu Hamil Tentang Hiv/Aids Di Puskesmas Lepo-Lepo


Kota Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2016. [KTI]. Kendari:
Politeknik Kesehatan Kendari.

Murni, Suzana. 2016. Hidup dengan HIV/AIDS. Jakarta: Yayasan Spiritia.

Kemenkes. 2015. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indinesia Nomor 87


Tahun 2014 Tentang Pedoman Pengobatan Antiretroviral. Jakarta: Bakti
Husada.

Nia. 2013. Pedoman Penerapan Terapi HIV Pada Anak. Jakarta: Bakti Husada.

Nurul. 2017. Karakteristik Penderita HIV/AIDS Dengan Ko-Infeksi Tuberkulosis


Paru Di Rumah Sakit Umum Pusat Wahidin Sudirohusodo Makassar
Januari Sampai Juni 2016. [Skripsi]. Makassar: Universitas Hasanuddin
Fakultas Kedokteran.

Permenkes. 2013. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indinesia Nomor 87


Tahun 2014 Tentang Pedoman Pengobatan Antiretroviral. Jakarta: Bakti
Husada.

Anda mungkin juga menyukai