Anda di halaman 1dari 13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Fournier's gangrene (FG) merupakan fasciitis nekrotikans yang
progresif pada daerah penis, skrotum, dan perineum. FG termasuk penyakit
infeksi yang fatal namun jarang terjadi. Infeksi pada FG memiliki karakteristik
khas, yaitu akan menyebabkan trombosis pada pembuluh darah subkutis yang
akan menyebabkan nekrosis kulit di sekitarnya.
Penyakit ini merupakan kedaruratan di bidang urologi karena mula
penyakitnya (onset) berlangsung sangat mendadak, cepat berkembang, bisa
menjadi gangren yang luas dan menyebabkan septisemia. Pada beberapa tahun
terakhir ini insiden FG cenderung meningkat yang disebabkan oleh faktor
predisposisi dari FG seperti diabetes mellitus, imunosupresi, dan penyakit hati
dan ginjal kronik juga meningkat. Infeksi pada sebagian besar kasus FG
merupakan gabungan sinergis antara bakteri aerob dan anaerob.
B. Etiologi
FG disebabkan infeksi bakteri aerob dan anaerob seperti E. coli,
coliform, Klebsiella spp., Bacteroides spp., Streptococcus spp., Enterococcus
spp., Pseudomonas spp., Proteus spp. dan Clostridium spp.
Penyebab FG dari anorektal meliputi: abses perianal, perirektal, dan
iskiorektalis; fisura anal; dan perforasi kolon. Hal ini bias merupakan
konsekuensi dari cedera kolorektal atau komplikasi keganasan kolorektal,
penyakit radang usus, divertikulitis kolon, atau apendisitis.
Penyebab dari saluran urogenital meliputi: infeksi di kelenjar
bulbourethral, cedera uretra, cedera iatrogenik sekunder untuk manipulasi
striktur uretra, epididimitis, orkitis, atau infeksi saluran kemih bawah
(misalnya, pada pasien dengan penggunaan jangka panjang kateter uretra).
Penyebab Dermatologis meliputi: supuratif hidradenitis, ulserasi karena
tekanan skrotum, dan trauma. Ketidakmampuan untuk menjaga kebersihan
perineum seperti pada pasien lumpuh menyebabkan peningkatan risiko.
Trauma bedah aksidental ataupun disengaja dan adanya benda asing
juga dapat menyebabkan penyakit. Pada wanita, sepsis aborsi, abses vulva atau
kelenjar Bartholini, histerektomi, dan episiotomi dapat dicurigai sebagai
penyebab FG. Pada pria, seks anal dapat meningkatkan risiko infeksi perineum,
baik dari trauma tumpul langsung atau dengan penyebaran mikroba dari rektal.
Sedangkan pada anak-anak yang bisa menyebabkan FG seperti sirkumsisi,
strangulasi hernia inguinalis, omphalitis, gigitan serangga, trauma, perirektal
abses dan infeksi sistemik.
C. Manifestasi Klinis
Ciri Fournier gangren adalah rasa sakit dan nyeri tekan di alat kelamin.
Perjalanan klinis biasanya berlangsung melalui tahap-tahap berikut:
1. Gejala prodromal demam dan letargi, yang muncul dalam 2-7 hari
2. Rasa sakit dan nyeri tekan yang berhubungan dengan edema pada kulit di
atasnya yang disertai pruritus
3. Meningkatkan nyeri genital dengan eritema dikulit atasnya
4. Gambaran duski di kulit atasnya (subkutan krepitasi)
5. Gangren jelas dari bagian alat kelamin disertai drainase purulen dari luka

Pada awal perjalanan penyakit, rasa sakit tidak sesuai dengan temuan
fisik. Gangren dapat berkembang, tetapi nyeri dapat hilang akibat jaringan
saraf menjadi nekrotik. Efek sistemik dari proses ini bervariasi dari nyeri lokal
tanpa disertai syok septik dan kemerahan. Secara umum, semakin besar derajat
nekrosis, yang lebih mendalam efek sistemik.
D. Patofisiologi
Infeksi lokal berdekatan dengan portal masuk adalah dasar terjadinya
FG. Pada akhirnya, suatu endarteritis obliterative berkembang menyebabkan
kulit, subkutan dan pembuluh darah menjadi nekrosis kemudian berlanjut
iskemia lokal dan proliferasi bakteri. Tingkat kerusakan fasia dapat mencapai
2-3 cm/jam. Infeksi fasia perineum (fasia colles) dapat menyebar ke penis dan
skrotum melalui fasia buck dan dartos, atau ke dinding perut anterior melalui
fasia scarpa, atau sebaliknya. Fasia colles melekat pada perineum dan
diafragma urogenital secara posterior dan pada ramus pubis secara lateral,
sehingga membatasi perkembangan ke arah ini. Keterlibatan testis jarang,
karena arteri testis berasal langsung dari aorta dan dengan demikian memiliki
suplai darah terpisah dari area infeksi.
Infeksi merupakan ketidakseimbangan antara (1) imunitas host, yang
sering terganggu oleh satu atau lebih proses sistemik penyerta, dan (2) virulensi
dari mikroorganisme penyebab. Faktor etiologi ini memungkinkan untuk
masuknya mikroorganisme ke dalam perineum, sistem imun yang turun
memberikan lingkungan yang baik untuk memulai infeksi, dan virulensi
mikroorganisme mempercepat penyebaran cepat penyakit ini.
Patofisiologi Fournier’s Gangrene
Faktor etiologi (Virulensi mikroba + Penurunan imun)

Infeksi polymicrobial di daerah perineum

Sinergi polymicroba dalam pembentukan enzim

Koagulasi pembuluh nutrient

Trombus pembuluh nutrient

Penurunan suplai darah

Penurunan oksigen jaringan

Pertumbuhan organisme anaerob & aerob

Produksi enzim lecithinase & collagenase

Digesti barrier fascia

Obliterative endartheritis

Nekrosis pembuluh darah kutan dan subkutan

Iskemia lokal dan proliferasi bakteri lebih lanjut

Infeksi pada fascia perineum (colles fascia)
E. Pemeriksaan Diagnostik
Untuk menegakkan diagnosis, dapat dibantu dengan beberapa pemeriksaan
penunjang. Di antaranya adalah:
1. Tes Darah Lengkap
Untuk menilai respon kekebalan yang ditimbulkan oleh proses infeksi
dan untuk memeriksa jumlah dari sel darah merah, dan mengevaluasi
potensi sepsis-yang menyebabkan trombositopenia. Profil koagulasi
seperti, prothrombin time (PT), Activated Partial Thromboplastin
Time (APTT), jumlah trombosit, kadar fibrinogen sangat membantu
untuk mencari sepsis-induced koagulopati seperti pada ITP. Kultur
darah juga diperlukan untuk menetahui jenis mikroba yang terlibat
serta menilai keadaan septisemia. Kimia darah untuk mengevaluasi
gangguan elektrolit, untuk mencari bukti dehidrasi dapat diperiksa
blood urea nitrogen [BUN] / kreatinin rasio, yang cenderung terjadi
sebagai akibat perlangsungan penyakit, juga kadar gula dalam darah
mengevaluasi intoleransi glukosa, yang mungkin disebabkan untuk
DM atau sepsis yang disebabkan gangguan metabolisme. Arterial
blodd gas (ABG) untuk memberikan penilaian yang lebih akurat
gangguan asam dan basa. Asidosis dengan yang dapat terjadi dengan
hiperglikemia atau hipoglikemia
2. CT Scan
CT Scan memainkan peranan yang penting untuk diagnosis sama
seperti pentingnya untuk evaluasi dalam tindakan bedah. Etiologi, jalur
penyebaran, adanya cairan dan abses dapat dievaluasi dengan baik
melalui CT scan. Gambaran Fournier Gangren yang tampak pada CT
Scan berupa penebalan soft tissue dan inflamasi. CT Scan
menunjukkan penebalan fascia yang asimetris, penumpukan cairan dan
abses, penumpukan lemak di sekitar jaringan, dan emfisema subkutan
yang terbentuk karena adanya gas yang dtimbulkan oleh bakteri.
3. Radiografi
Pada radiografi, hiperlusen menunjukkan adanya gas pada soft tissue
yang terdapat di region skrotum atau perineum. Emfisema subkutis
dapat terlihat di regio inguinal, skrotum, perineum, dinding anterior
abdomen, dan paha. Radiografi dapat menunjukkan adanya udara di
soft tissue sebelum secara klinis menunjukkan krepitasi, dan
ketidakberadaannya pada pemeriksaan fisik tidak menyingkirkan
diagnosis Fournier gangren. Radiografi juga menunjukkan
pembengkakan yang signifikan pada soft tissue skrotum. Gas pada
fascia yang dalam jarang terlihat pada radiografi.
4. Ultrasonografi
USG dapat mendeteksi adanya Fournier gangren dengan menunjukkan
penebalan pada dinding dan gambaran hiperechoik, sehingga
menyebabkan adanya shadow yang kotor yang menunjukkan adanya
gas pada dinding skrotum. Kadangkala nampak pula gambaran
hidrocele unilateral atau bilateral. Testis dan epididimis seringkali
ditemukan dalam ukuran dan echostruktur yang normal karena
terpisahkan oleh aliran darah. Vaskularisasi testis seringkali bertahan
karena aliran darah ke skrotum berbeda dengan aliran darah ke testis.
USG juga bermanfaat untuk membedakan Fournier gangren dengan
hernia inkaserata inguinoskortal. Di lain kondisi, gas diobservasi pada
obstruksi lumen usus, jauh dari dinding skrotum.
F. Pentalaksanaan Medis
Prinsip terapi pada gangren Fournier ada terapi suportif
memperbaiki keadaan umum pasien, pemberian antibiotik, dan
debridemen. Pengobatan Fournier gangren melibatkan beberapa modalitas.
Pembedahan diperlukan untuk diagnosis definitif dan eksisi jaringan
nekrotik. Pada pasien dengan gejala sistemik terjadi hipoperfusi atau
kegagalan organ, resusitasi agresif untuk memulihkan perfusi organ
normal harus lebih diutamakan daripada prosedur diagnostik. Dengan
demikian, pengobatan pasien dengan gangren Fournier meliputi resusitasi
agresif dalam mengantisipasi operasi.
1. Antibiotik
Pengobatan Fournier gangren melibatkan antibiotik spektrum
luas terapi antibiotik. Spektrum harus mencakup staphylococci,
streptokokus, Enterobacteriaceae organisme, dan anaerob. Dimana
secara empiris ciprofloksasin dan klindamisin dapat digunakan.
Klindamisin sangat berguna dalam pengobatan nekrosis jaringan lunak
infeksi karena spektrum gram positif dan anaerob. Klindamisin telah
terbukti untuk menghasilkan tingkat respons unggul daripada penisilin
atau eritromisin.
2. Debridemen
Tujuan debridemen adalah mengangkat seluruh jaringan
nekrosis (devitalized tissue) sebelum dilakukan debridement sebaiknya
dicari sumber infeksi dari uretra atau dari kolorektal dengan
melakukan uretroskoi atau proktoskopi. Kadang-kadang perlu
dilakukan diversi urine melalui sistotomi atau diversi feces dengan
melakukan kolostomi. Setelah nektrotomi, dilakukan perwatan terbuka
dan kalau perlu pemasangan pipa drainase. Setelah 12 dan 24 jam lagi
dilakukan evaluasi untuk menilai demarkasi jaringan nekrosis dan
kalau perlu dilakukan operasi ulang. Debridement yang kurang
sempurna seringkali membutuhkan operasi ulang.
3. Oksigen Hiperbarik
Oksigen hiperbarik (HBO) telah digunakan sebagai tambahan
dalam pengobatan gangren Fournier. Protokol yang biasa digunakan
antara lain : ismultiple sesi sebesar 2,5% 90min dan atmfor 100
oksigen inhalasi setiap 20 menit. HBO meningkatkan kadar tekanan
oksigen dalam jaringan dan memiliki efek menguntungkan berbagai
penyembuhan luka. Oksigen radikal bebas adalah jaringan dari
hipoksik yang dibebaskan, yang secara langsung beracun terhadap
bakteri anaerob. Aktifitas fibroblast meningkat dengan angiogenesis
berikutnya mengarah ke penyembuhan luka dipercepat.
4. Rekonstruksi Bedah
Tergantung pada tingkat cacat kulit, pilihan dalam rekonstruksi
menjahit, ketebalan kulit perpecahan pencangkokan, atau vaskularisasi
miomukotaneus pedikel. Cacat kecil dapat ditutup oleh penjahitan
primer, terutama dikulit yang lentur seperti pada skrotum. Kecacatan
besar biasa paling sering timbul saat pencangkokan kulit. Kulit kaki
yang sehat, pantat, dan lengan dapat digunakan untuk pencangkokan.
Cacat pada kulit batang penis harus terhindar dari pencangkokkan
untuk mencegah pembentukan bekas luka fibrosis karena berhubungan
dengan masalah ereksi.
G. Prognosis
Prognosis untuk pasien setelah rekonstruksi Fournier gangren
biasanya baik. Skrotum memiliki kemampuan untuk menyembuhkan dan
regenerasi setelah infeksi dan terjadi nekrosis Namun demikian, sekitar
50% dari laki-laki dengan keterlibatan penis mengalami sakit dengan
ereksi, sering berhubungan dengan jaringan parut pada daerah genital. Jika
jaringan lunak yang luas hilang, mungkin terjadi gangguan pada drainase
limfatik, sehingga terjadi, edema dan selulitis.
H. Anestesi Regional
Anestesi dapat dibagi dua macam, yaitu anestesi umum dan
anestesi regional. Anestesi umum masih dibagi lagi menurut cara
pemberiannya yaitu inhalasi inhalasi dan parenteral. Anestesi spinal
(intratekal) merupakan penyuntikan obat anestesi lokal secara langsung ke
dalam cairan serebrospinal (CLS), didalam ruang subaracnoid.
Penyuntikan pada lumbar kedua dan diatas vertebra sacralis pertama.
Derajat anestesi dicapai tergantung dari tinggi rendahnya lokasi
penyuntikan, untuk blockade sensis yang luas, obat harus berdifusi keatas,
hal tersebut juga bergantung pada beberapa faktor seperti, penempatan
ketinggian penyuntikan spinal pada regio lumbal dan juga posisi pasien
selama dan setelah penyuntikan. Pemeliharaan posisi duduk setelah
penyuntikan akan menimbulkan blockade lumbal bagian bawah dan saraf-
saraf didaerah sacral (Gwinnut, 2011).
1. Persiapan Pra Anestesi
Kunjungan pra anestesi pada pasien yang akan menjalani
operasi dan pembedahan baik elektif dan darurat mutlak harus
dilakukan untuk keberhasilan tindakan tersebut. Adapun tujuan pra
anestesi adalah:
a. Mempersiapkan mental dan fisik secara optimal
b. Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat
anestesi yang sesuai dengan fisik dan kehendak pasien
c. Menentukan status fisik dengan klasifikasi ASA
(American Society Anesthesiology)
ASA I : Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir, tanpa
kelainan faali, biokimiawi, dan psikiatris. Angka mortalitas 2%.
ASA II: Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai dengan
sedang sebagai akibat kelainan bedah atau proses patofisiologis.
Angka mortalitas 16%.
ASA III : Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga
aktivitas harian terbatas. Angka mortalitas 38%.
ASA IV : Pasien dengan gangguan sistemik berat yang
mengancam jiwa, tidak selalu sembuh dengan operasi. Misal :
insufisiensi fungsi organ, angina menetap. Angka mortalitas 68%.
ASA V : Pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan
operasi hampir tak ada harapan. Tidak diharapkan hidup dalam 24
jam tanpa operasi / dengan operasi. Angka mortalitas 98%.
Untuk operasi cito, ASA ditambah huruf E (Emergency) tanda
darurat
2. Premedikasi Anestesi
Premedikasi anestesi adalah pemberian obat sebelum anestesi.
Adapun tujuan dari premedikasi antara lain :
a. Memberikan rasa nyaman bagi pasien, misal : diazepam.
b. Menghilangkan rasa khawatir, misal : diazepam
c. Membuat amnesia, misal : diazepam, midazolam
d. Memberikan analgesia, misal : pethidin
e. Mencegah muntah, misal : droperidol
f. Memperlancar induksi, misal : pethidin
g. Mengurangi jumlah obat-obat anesthesia, misal pethidine
h. Menekan reflek-reflek yang tidak diinginkan, misal : sulfas atropin.
i. Mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas, misal : sulfas atropin dan
hiosin
3. Obat-Obatan Premedikasi
a. Sulfas Atropin
Sulfas atropin termasuk golongan anti kolinergik. Berguna
untuk mengurangi sekresi lendir dan menurunkan efek bronchial dan
kardial yang berasal dari perangsangan parasimpatis akibat obat
anestesi atau tindakan operasi. Efek lainnya yaitu melemaskan otot
polos, mendepresi vagal reflek, menurunkan spasme gastrointestinal,
dan mengurangi rasa mual serta muntah. Obat ini juga menimbulkan
rasa kering di mulut serta penglihatan kabur, maka lebih baik tidak
diberikan pra anestesi lokal maupun regional. Dalam dosis toksik
dapat menyebabkan gelisah, delirium, halusinasi, dan kebingungan
pada pasien. Tetapi hal ini dapat diatasi dengan pemberian
prostigmin 1 –2 mg intravena.
Sediaan : bentuk sulfat atropin dalam ampul 0,25 dan 0,5 mg.
Dosis : 0,01 mg/ kgBB.
Pemberian : SC, IM, IV
b. Midazolam
Midazolam merupakan suatu golongan imidazo-
benzodiazepin dengan sifat yang sangat mirip dengan golongan
benzodiazepine. Merupakan benzodiapin kerja cepat yang bekerja
menekan SSP. Midazolam berikatan dengan reseptor benzodiazepin
yang terdapat di berbagai area di otak seperti di medulla spinalis,
batang otak, serebelum system limbic serta korteks serebri. Efek
induksi terjadi sekitar 1,5 menit setelah pemberian intra vena bila
sebelumnya diberikan premedikasi obat narkotika dan 2-2,5 menit
tanpa premedikasi narkotika sebelumnya.
Midazolam diindikasikan pada premedikasi sebelum induksi
anestesi, basal sedasion sebelum tindakan diagnostic atau
pembedahan yang dilakukan di bawah anestesi local serta induksi
dan pemelharaan selama anestesi. Obat ini dikontra indikasikan pada
keadaan sensitive terhadap golongan benzodiazepine, pasien dengan
insufisiensi pernafasan, acut narrow-angle claucoma.
Dosis premedikasi sebelum operasi :
Pemberian intramuskular pada penderita yang mengalami
nyeri sebelum tindakan bedah, pemberian tunggal atau kombinasi
dengan antikolinergik atau analgesik.
Dewasa : 0,07- 0,1 mg/ kg BB secara IM sesuai dengan keadaan
umum pasien, lazimnya diberikan 5mg.
Dosis usia lanjut dan pasien lemah 0,025 – 0,05 mg/ kg BB (IM)
Untuk basal sedation pada dewasa tidak melebihi 2,5 mg IV 5-10
menit sebelum permulaan operasi, pada orang tua dosis harus
diturunkan 1- 1,5 mg dengan total dosis tidak melebihi 3,5 mg IV.
Midazolam mempunyai efek samping :
a. Efek yang berpotensi mengancam jiwa : midazolam
dapat mengakibatkan depresi pernafasan dan kardiovaskular,
iritabilitas pada ventrikel dan perubahan pada kontrol baroreflek
dari denyut jantung.
b. Efek yang berat dan ireversibel : selain depresi SSP yang
berhubungan dengan dosis, tidak pernah dilaporkan efek samping
yang ireversibel.
c. Efek samping simtomatik : agitasi, involuntary movement,
bingung, pandangan kabur, nyeri pada tempat suntikan,
tromboflebitis dan trombosis.
d. Midazolam dapat berinteraksi dengan obat alkohol, opioid,
simetidin, ketamine.
4. Induksi
Induksi pada spinal anestsi dilakukan di perpotongan antara garis
yang menghubungkan kedua garis krista iliaka, missal L2-L3, L3-L4, L4-
L5. Tusukan pada L1-L2 atau diatasnya berisiko trauma terhadap medulla
spinalis. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alcohol.4. Beri
anastesi local pada tempat tusukan,misalnya dengan Bupivakaine
(markaine) 0.5% dalam dextrose 8.25%: berat jenis1.027, sifat hiperbarik,
dosis 5-15mg(1-3ml)
5. Terapi Cairan
Prinsip dasar terapi cairan adalah cairan yang diberikan harus mendekati
jumlah dan komposisi cairan yang hilang. Terapi cairan perioperatif
bertujuan untuk
a. Memenuhi kebutuhan cairan, elektrolit dan darah
yang hilang selama operasi.
b. Mengatasi syok dan kelainan yang ditimbulkan
karena terapi yang diberikan.
Pemberian cairan operasi dibagi :
a. Pra operasi
Terjadi defisit cairan karena kurang makan, puasa, muntah,
penghisapan isi lambung, penumpukan cairan pada ruang ketiga
seperti pada ileus, perdarahan, luka bakar dan lain-lain. Kebutuhan
cairan untuk dewasa dalam 24 jam adalah 2 ml / kg BB / jam. Setiap
kenaikan suhu 10 Celcius kebutuhan cairan bertambah 10-15 %.
b. Selama operasi
Dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi. Kebutuhan
cairan pada dewasa untuk operasi :
1) Ringan = 4 ml/kgBB/jam.
2) Sedang = 6 ml / kgBB/jam
3) Berat = 8 ml / kgBB/jam.
Bila terjadi perdarahan selama operasi, di mana perdarahan kurang
dari 10 % EBV maka cukup digantikan dengan cairan kristaloid
sebanyak 3 kali volume darah yang hilang. Apabila perdarahan lebih
dari 10 % maka dapat dipertimbangkan pemberian plasma / koloid /
dekstran dengan dosis 1-2 kali darah yang hilang.
c. Setelah operasi
Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan defisit cairan
selama operasi ditambah kebutuhan sehari-hari pasien1.
6. Pemulihan
Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi
dan anestesi yang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery
room yaitu ruangan untuk observasi pasien pasca atau anestesi. Ruang
pulih sadar merupakan batu loncatan sebelum pasien dipindahkan ke
bangsal atau masih memerlukan perawatan intensif di ICU. Dengan
demikian pasien pasca operasi atau anestesi dapat terhindar dari
komplikasi yang disebabkan karena operasi atau pengaruh anestesinya.
DAFTAR PUSTAKA

Hohenfellner, Markus, Richard. Emergencies and Urology. London :


Springer. 2006. 50-140
Lovensoon RB, Singh AK, Novelline RA. 2008. Fournier Gangrene: Role of
Imaging. Radiographics (28) 519-528.
Pais VM. Fournier Gangerene. [online]. 2011. [diakses 2 Juni, 2014].
http://emedicine.medscape.com/article/2028899-overview
Setiawan F, Novianti R, MTP Wicaksono. 2013. Fournier’s Gangrene. CDK-
205/ vol. 40 no. 6.

Anda mungkin juga menyukai