Anda di halaman 1dari 18

BAB II

LANDASAN TEORI

A. KONSEP HALUSINASI
a. Definisi Halusinasi
Gangguan persesi sensori: halusinasi merupakan kasus yang paling banyak terjadi
pada klien dengan gangguan jiwa. Akibat yang ditimbulkan olah gangguan tersebut dapat
berakibat fatal karena berisiko tinggi untuk merugikan dan merusak diri pasien sendiri,
oranglain disekitarnya dan juga lingkungan (Purba,dkk,2010). Halusinasi adalah gangguan
persepsi sensori atau suatu objek tanpa adanya rangsangan dari luar, gangguan persepsi sensori
ini meliputi seluruh panca indra. Halusinasi merupakan suatu gelaja gangguan jiwa yang
seseorang mengalami perubahan sensori persepsi, serta merupakan sensasi palsu berupa suara,
penglihatan, perabaan dan penciuman. Seseorang merasakan stimulus yeng sebetulnya tidak ada
(Yusuf,Rizki dan Hanik,2015).
Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa dimana pasien mengalami
perubahan sensori persepsi: merasakan sensasi PALSU berupa suara, penglihatan, pengecapan,
perabaan dan penciuman. Pasien merupakan setimulus yang sebenarnya tidak ada . pasien
merasa ada suara padahal tidak ada stimulus suara. Melihat bayangan orang atau suatu yang
menentukan padahal tidak ada bayangan tersebut. Membaui bau-bauan padahal tidak sedang
makan apapu. Merasakan sensasi rabaan padahal tidak ada apapun dalam permukaan kulit.
(Nurjanah, 2008).

b. Etiologi Halusinasi
a) Faktor predisposisi menurut Yosep (2011) :
1. Faktor perkembangan
Perkembangan klien yang terganggu misalnya kuranganya mengontrol emosi dan
keharmonisan klien tidak mampu mandiri sejak kecil, mudah frustasi hilang percaya
diri.
2. Faktor sosialkultural
Seseorang yang merasa tidak terima di lingkungan sejak bayi akan membekas di
ingatannya sampai dewasa dan ia akan merasa di singkirkan, kesepian dan tidak percaya
pada lingkunganya.
3. Faktor biokimia
Adanya stress yang berlebihan yang di alami oleh seseorang maka di dalam tubuhnya
akan di hasilkan suatu zat yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia sehingga
menjadi ketidak seimbangan asetil kolin dan dopamine.
4. Faktor psikologis
Tipe kepribadian yang lemah tidak bertanggung jawab akan mudah terjerumus pada
penyelah guna zat adaptif. Klien lebih memilih kesenangan sesaat dan lari dari alam
nyata menuju alam nyata.
5. Pola genetik dan pola asuh
Hasil studi menunjukan bahwa faktor keluarga menunjukan hubungan yang sangat
berpengaruh pada penyakit ini.

b. Faktor Presipitasi
Penyebab halusinasi dapat di lihat dari lima dimensi menurut (Yosep, 2011).
1. Dimensi fisik
Halusinasi dapat di timbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti kelelahan yang luar
biasa, pengguanaan obat-obatan, demam hingga delirium, intoksikasi alkohol dan
kesulitan waktu tidur dalam waktu yang lama.

2. Dimensi Emosional
Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang tidak dapat di atasi merupakan
penyebab halusinasi itu terjadi. Isi dari halusinasi dapat berupa printah memaksa dan
menakutkan. Klien tidak sanggup lagi menentang perintah tersebut sehingga dengan
kondisi tersebut klien berbuat sesuatu terhadap ketakutan tersebut.

3. Dimensi Intelektual
Dalam dimensi intelektual ini merangsang bahwa individu dengan halusinasi akan
memperlihatkan adanya penurunan fungsi ego. Pada awalnya halusinasi merupakan
usaha dari ego sendiri untuk melawan implus yang menekan, namum merupakan suatu
hal yang menimbulkan kewaspadaan yang dapat mengembil seluruh perhatian klien dan
tidak jarang akan mengontrol semua perilaku klien.

4. Dimensi Sosial
Klien mengaggap bahwa hidup bersosialisasi di alam nyata itu sangatlah
membahayakan, klien asik dengan halusinasinya. Seolah-olah dia merupakan tempat
akan memenuhi kebutuhan akan interaksi sosial, kontrol diri dan harga diri yang tidak
di dapatkan dalam dunia nyata. Isi halusinasi di jadikan system kontrol oleh individu
tersebut, sehingga jika sistem halusinasi berupa ancaman, dirinya maumpun orang lain.
Oleh karna itu, aspek penting dalam melakukan intervensi keperawatan klien dengan
mengupayakan suatu proses interaksi yang menimbulkan pengalam interpersonal yang
memuaskan, serta menguasakan klien tidak menyendiri sehingga klien selalu
berinteraksi dengan lingkungan dan halusinasi tidak langsung.

5. Dimensi Spiritual
Klien mulai dengan kemampuan hidup, rutinitas tidak bermakna, hilangnya aktifitas
ibadah dan jarang berupaya secara spiritual untuk menysucikan diri. Ia sering memaki
takdir tetapi lemah dalam upaya menjemput rejeki, menyalahkan lingkungan dan orang
lain yang menyebabkan takdirnya memburuk.

c. Tanda dan Gejala Halusinasi


Menurut (Yosep, 2011) yaitu:
a) Halusinasi Pendengaran
Data subyektif :
1. Mendengar sesuatu menyuruh melakukan sesuatu yang berbahaya
2. Mendengar suara atau bunyi
3. Mendengar suara yang mengajak bercakap-cakap
4. Mendengar seseorang yang sudah meninggal
5. Mendengar suara yang mengancam diri klien atau orang lain atau yang membahayakan
Data Objektif :
1. Mengarahkan telinga pada sumber suara
2. Bicara atau tertawa sendiri
3. Marah marah tanpa sebab
4. Menutup telinga mulut komat kamit
5. Ada gerakan tangan
b) Halusinasi Penglihatan
Data Subyektif :
1. Melihat orang yang sudah meninggal
2. Melihat makhluk tertentu
3. Melihat bayangan
4. Melihat sesuatu yang menakutkan
5. Melihat cahaya yang sanat terang

Data obyektif :
1. Tatapan mata pada tempat tertentu
2. Menunjuk kea rah tertentu
3. Ketakutan pda objek yang dilihat

c) Halusinasi Penciuman
Data Subjektif :
1. Mencium sesuatu seperti bau mayat, darah, bayi, fase, bau masakan, dan parfum yan
menyengat
2. Klien mengatakan sering mencium bau sesuatu
Data obyektif :
1. Ekspresi wajah seperti sedang mencium
2. Adanya gerakan cuping hidung
3. Mengarahkan hidung pada tempat tertentu
d) Halusinasi Perabaan
Data Subjektif :
1. Klien mengatakan seperti ada sesuatu di tubuhnya
2. Merasakan ada sesuatu di tubuhnya
3. Merasakan ada sesuatu di bawah kulit
4. Merasakan sangat panas, atau dingin
5. Merasakan tersengat aliran litrik

Data obyektif :
1. Mengusap dan menggaruk kulit
2. Meraba permukaan kulit
3. Menggerak gerakan badanya
4. Memegangi terus area tertentu

e) Halusinasi Pengecapan
Data subyektif :
1. Merasakan seperti sedang makan sesuatu
2. Merasakan ada yang dikunyah di mulutnya

Data obyektif :
1. Seperti mengecap sesuatu
2. Mulutnya seperti mengunyah
3. Meludah atau muntah

f) Halusinasi Chenesthetic dan kinestetik


Data subyektif :
1. Klien mengatakan tubuh nya tidak ada fungsinya
2. Merasakan tidak ada denyut jantung
3. perasaan tubuhnya melayang layang
Data obyektif :
1. Klien menatap dan melihati tubuhnya sendiri
2. Klien memegangi tubuhnya sendiri

d. Jenis Halusinasi
Menurut Yusuf (2015) jenis halusinasi dibagi menjadi 5 yaitu:
a) Halusinasi pendengaran (audiktif, akustik)
Paling sering di jumpai dapat beruba bunyi mendenging atau bising yang tidak
mempunyai arti, tetapi lebih sering mendengar sebuah kata atau kalimat yang bermakna.
Biasanya suara tersebut di tunjukan oleh penderita sehingga penderita tidak jarang
bertengkar dan berdebat dengan suara-suara tersebut. Suara tersebut dapat di rasakan dari
jauh atau dekat, bahkan mungkin datang dari tiap tubuh nya sendiri. Suara bisa
menyenangkan, menyuruh berbuat baik, tetapi dapat pula berupa ancaman, mengejek,
memaki atau bahkan menakutkan dan kadang- kadang mendesak atau memerintah untuk
berbuat sesuatu seperti membunuh atau merusak.
b) Halusinasi penglihatan (Visual, optik)
Lebih sering terjadi pada keadaan delirium (penyakit organic). Biasanya muncul
bersamaan dengan penurunan kesadaran, menimbulkan rasa takut akibat gambaran-
gambaran yang mengerikan atau tidak menyenangkan.
c) Halusinasi penciuman (olfaktorik)
Halusinasi ini biasanya mencium sesuatu bau tertentu dan merasakan tidak enak,
melambungkan rasa bersalah pada penderita. Bau ditambah dilambangkan sebagai
pengalaman yang dianggap penderita sebagai suatu kombinasi moral.
d) Halusinasi pengecapan (gustatorik)
Walaupun jarang terjadi biasanya bersamaan dengan halusinasi penciuman,
penderita merasa mengecap sesuatu. Halusinasi gustorik lebih jarang timbang halusinasi
gustatorik.
e) Halusinasi raba (taktil)
Merasa diraba, disentuh, ditiup atau merasa ada sesuatu yang bergerak di bawah
kulit. Terutama pada keadaan delirium toksis dan skizofrenia.
e. Tahapan Halusinasi
Menurut Kusumawati dan Hartono (2010), tahapan halusinasi terdiri dari 4 fase yaitu:
a) Fase I (Comforting)
Comforting disebut juga fase menyenangkan, pada tahapan ini masuk dalam
golongan nonpsikotik. Karakteristik dari fase ini klien mengalami stress, cemas, perasaan
perpisahan, perasaan rasa bersalah, kesepian yang memuncak, dan tidak dapat di selesaikan.
pada fase ini klien berperilaku tersenyum atau tertawa yang tidak sesuai, menggerakan bibir
tanpa suara, pergerakan mata cepat, respon verbal yang lambat jika sedang asik dengan
hausinasinya dan suka menyendiri.
b) Fase II (Conndeming)
Pengalaman sensori menjijihkan dan menakutkan termasuk dalam psikotik ringan.
karakteristik klien pada fase ini menjadi pengalaman sensori menjijihkan dan menakutkan,
kecemasan meningkat, melamun dan berfikir sendiri menjadi dominan, mulai merasakan
ada bisikan yang tidak jelas. Klien tidak ingin orang lain tau dan klien ingin mengontrolnya.
Perilaku klien pada fase ini biasanya meningkatkan tanda tanda system syaraf otonom
seperti peningkatan denyut jantung dan tekanan darah, klien asyik dengan halusinasinya dan
tidak bisa membedakan dengan realita.
c) Fase III (Controling)
Controlling disebut juga ansietas berat, yaitu pengalaman sensori menjadi
berkuasa. Karakteristik klien meliputi bisikan, suara, bayangan, isi halusinasi semakin
menonjol, menguasai dan mengontrol klien. Tanda-tanda fisik berupa berkeringat, tremor,
dan tidak mampu memenuhi perintah.
d) Fase IV (Conquering)
Conquering disebut juga fase panik yaitu klien lebur dengan halusinasinya
termasuk dalam psikorik berat. Karakteristik yang muncul pada klien meliputi halusinasi
berubah menjadi mengancam, memerintah dan memarahi klien. Klien menjadi takut, tidak
berdaya, hilang control dan tidak dapat berhubungan secara nyata dengan orang lain dan
lingkungan.
B. KONSEP TERAPI AKTIVITAS KELOMPOK
a. Definisi Terapi Aktivitas Kelompok (TAK)
Kelompok adalah kumpulan individu yang memiliki hubungan satu dengan yang lain,
saling bergantungan dan mempunyai norma yang sama (Stuart & Laraia, 2001 dikutip dari Cyber
Nurse, 2009). Terapi aktivitas kelompok merupakan suatu psikoterapi yang dilakukan sekelompok
pasien bersama-sama dengan jalan berdiskusi satu sama lain yang dipimpin atau diarahkan oleh
seoranng terapis atau petugas kesehatan jiwa yang terlatih (Pedoman Rehabilitasi Pasien Mental
Rumah Sakit Jiwa di Indonesia dalam Yosep, 2007).

b. Manfaat Terapi Aktivitas Kelompok


Terapi aktivitas kelompok mempunyai manfaat yaitu :
a) Umum
1) Meningkatkan  kemampuan  menguji  kenyataan (reality  testing)  melalui komunikasi
dan umpan balik dengan atau dari orang lain.
2) Membentuk sosialisasi
3) Meningkatkan  fungsi  psikologis,  yaitu  meningkatkan  kesadaran  tentang hubungan
antara reaksi emosional diri sendiri dengan perilaku defensive (bertahan terhadap stress)
dan adaptasi.
4) Membangkitkan motivasi bagi kemajuan fungsi-fungsi psikologis seperti kognitif dan
afektif.

b) Khusus
1) Meningkatkan identitas diri.
2) Menyalurkan emosi secara konstruktif.
3) Meningkatkan keterampilan hubungan sosial untuk diterapkan sehari-hari.
4) Bersifat rehabilitatif: meningkatkan kemampuan ekspresi diri, keterampilan sosial,
kepercayaan diri, kemampuan empati, dan meningkatkan kemampuan tentang masalah-
masalah kehidupan dan pemecahannya.
c. Tujuan Terapi Aktivitas Kelompok
Depkes RI mengemukakan tujuan terapi aktivitas kelompok secara rinci sebagai berikut:
a) Tujuan Umum

1) Meningkatkan kemampuan menguji kenyataan yaitu memperoleh pemahaman dan


cara membedakan sesuatu yang nyata dan khayalan.
2) Meningkatkan sosialisasi dengan memberikan kesempatan untuk berkumpul,
berkomunikasi dengan orang lain, saling memperhatikan memberikan tanggapan
terhadap pandapat maupun perasaan ortang lain.
3) Meningkatkan kesadaran hubungan antar reaksi emosional diri sendiri dengan
prilaku defensif yaitu suatu cara untuk menghindarkan diri dari rasa tidak enak
karena merasa diri tidak berharga atau ditolak.
4) Membangkitkan motivasi bagi kemajuan fungsi-fungsi psikologis seperti fungsi
kognitif dan afektif.

b) Tujuan Khusus
1) Meningkatkan identifikasi diri, dimana setiap orang mempunyai identifikasi diri
tentang mengenal dirinya di dalam lingkungannya.
2) Penyaluran emosi, merupakan suatu kesempatan yang sangat dibutuhkan oleh
seseorang untuk menjaga kesehatan mentalnya. Di dalam kelompok akan ada waktu
bagi anggotanya untuk menyalurkan emosinya untuk didengar dan dimengerti oleh
anggota kelompok lainnya.
3) Meningkatkan keterampilan hubungan sosial untuk kehidupan sehari-hari, terdapat
kesempatan bagi anggota kelompok untuk saling berkomunikasi yang
memungkinkan peningkatan hubungan sosial dalam kesehariannya.
d. Dampak Teraupetik Dari Kelompok
Terjadinya interaksi yang diharapkan dalam aktivitas kelompok dapat memberikan dampak
yang bermanfaat bagi komponen yang terlibat. Yalom (1985) dalam tulisannya mengenai
terapi kelompok telah melaporkan 11 kasus yang terlibat dalam efek terapeutik dari
kelompok. Faktor-faktor tersebut adalah :
1) Universalitas, klien mulai menyadari bahwa bukan ia sendiri yang mempunyai masalah
dan bahwa perjuangannya adalah dengan membagi atau setidaknya dapat dimengerti
oleh orang lain.
2) Menanamkan harapan, sebagian diperantarai dengan menemukan yang lain yang telah
dapat maju dengan masalahnya, dan dengan dukungan emosional yang diberikan oleh
kelompok lainnya.
3) Menanamkan harapan, dapat dialami karena anggota memberikan dukungan satu sama
lain dan menyumbangkan ide mereka, bukan hanya menerima ide dari yang lainnya.
4) Mungkin terdapat rekapitulasi korektif dari keluarga primer yang untuk kebanyakan
klien merupakan suatu masalah atau persoalan. Baik terapis maupun anggota lainnya
dapat jadi resepien reaksi tranferensi yang kemudian dapat dilakukan.
5) Pengembangan keterampilan sosial lebih jauh dan kemampuan untuk menghubungkan
dengan yang lainnya merupakan kemungkinan. Klien dapat memperoleh umpan balik
dan mempunyai kesempatan untuk belajar dan melatih cara baru berinteraksi.
6) Pemasukan informasi, dapat berkisar dari memberikan informasi tentang ganguan
seseorang terhadap umpan balik langsung tentang perilaku orang dan pengaruhnya
terhadap anggota kelompok lainnya.
7)  Identifikasi, prilaku tiruan (imitative) dan modeling dapat dihasilkan dari terapis atau
anggota lainnya memberikan model peran yang baik.
8) Kekohesifan kelompok dan pemilikan dapat menjadi kekuatan dalam kehidupan
seseorang. Bila terapi kelompok menimbulkan berkembangnya rasa kesatuan dan
persatuan memberi pengaruh kuat dan memberi perasaan memiliki dan menerima yang
dapat menjadi kekuatan dalam kehidupan seseorang.
9) Pengalaman antar pribadi mencakup pentingnya belajar berhubungan antar pribadi,
bagaimana memperoleh hubungan yang lebih baik, dan mempunyai pengalaman
memperbaiki hubungan menjadi lebih baik.
10) Atarsis dan pembagian emosi yang kuat tidak hanya membantu mengurangi
ketegangan emosi tetapi juga menguatkan perasaan kedekatan dalam kelompok.
11) Pembagian eksisitensial memberikan masukan untuk mengakui keterbatasan
seseorang, keterbatasan lainnya, tanggung jawab terhadap diri seseorang.

e. Indikasi Dan Kontraindikasi TAK


Adapun indikasi dan kontra indikasi terapi aktivitas kelompok (Depkes RI (1997) adalah :
1) Semua klien terutama klien rehabilitasi perlu memperoleh terapi aktifitas kelompok
kecuali mereka yang : psikopat dan sosiopat, selalu diam dan autistic, delusi tak
terkontrol, mudah bosan.
2) Ada berbagai persyaratan bagi klien untuk bisa mengikuti terapi aktifitas kelompok
antara lain : sudah ada observasi dan diagnosis yang jelas, sudah tidak terlalu gelisah,
agresif dan inkoheren dan wahamnya tidak terlalu berat, sehingga bisa kooperatif dan
tidak mengganggu terapi aktifitas kelompok.
3) Untuk pelaksanaan terapi aktifitas kelompok di rumah sakit jiwa di upayakan
pertimbangan tertentu seperti : tidak terlalu ketat dalam tehnik terapi, diagnosis klien
dapat bersifat heterogen, tingkat kemampuan berpikir dan pemahaman relatif setara,
sebisa mungkin pengelompokan berdasarkan masalah yang sama.

f. Komponen Kelompok
Kelompok terdiri dari (Kelliat, 2005) :
1) Struktur Kelompok
Struktur kelompok menjelaskan batasan, komunikasi, proses pengambilan keputusan
dan hubungan otoritas dalam kelompok. Struktur kelompok menjaga stabilitas dan
membantu pengaturan pola perilaku dan interaksi. Struktur dalam kelompok diatur
dengan adanya pemimpin dan anggota, arah komunikasi dipandu oleh pemimpin,
sedangkan keputusan diambil secara bersama.
2) Besar Kelompok
Jumlah anggota kelompok yang nyaman adalah kelompok kecil yang anggotanya
berkisar antara 5-12 orang. Jika angota kelompok terlalu besar akibatnya tidak semua
anggota mendapat kesempatan mengungkapkan perasaan, pendapat, dan
pengalamannya. Jika terlalu kecil, tidak cukup variasi informasi dan interaksi yang
terjadi (Kelliat, 2005).
3) Lamanya Sesi
Waktu optimal untuk satu sesi adalah 20-40 menit bagi fungsi kelompok yang rendah
dan 60-120 menit bagi fungsi kelompok yang tinggi. Banyaknya sesi bergantung pada
tujuan kelompok, dapat satu kali/dua kali perminggu, atau dapat direncanakan sesuai
dengan kebutuhan (Kelliat, 2005).
g. Proses Terapi Aktivitas Kelompok
Proses terapi aktifitas kelompok pada dasarnya lebih kompleks dari pada terapi
individual, oleh karena itu untuk memimpinnya memerlukan pengalaman dalam psikoterapi
individual. Dalam kelompok terapis akan kehilangan sebagian otoritasnya dan menyerahkan
kepada kelompok. Terapis sebaiknya mengawali dengan mengusahakan terciptanya suasana
yang tingkat kecemasannya sesuai, sehingga klien terdorong untuik membuka diri dan tidak
menimbulkan atau mengembalikan mekanisme pertahanan diri. Setiap permulaan dari suatu
terapi aktifitas kelompok yang baru merupakan saat yang kritis karena prosedurnya
merupakan sesuatu yang belum pernah dialami oleh anggota kelompok dan mereka
dihadapkan dengan orang lain. Setelah klien berkumpul, mereka duduk melingkar, terapis
memulai dengan memperkenalkan diri terlebih dahulu dan kemudian mempersilakan
anggota untuk memperkenalkan diri secara bergilir, bila ada anggota yang tidak mampu
maka terapis memperkenalkannya.
Terapis kemudian menjelaskan maksud dan tujuan serta prosedur terapi kelompok
dan juga masalah yang akan dibicarakan dalam kelompok. Topik atau masalah dapat
ditentukan oleh terapis atau usul klien. Ditetapkan bahwa anggota bebas membicarakan apa
saja, bebas mengkritik siapa saja termasuk terapis. Terapis sebaiknya bersifat moderat dan
menghindarkan kata-kata yang dapat diartikan sebagai perintah. Dalam prosesnya kalau
terjadi bloking, terapis dapat membiarkan sementara. Bloking yang terlalu lama dapat
menimbulkan kecemasan yang meningkat oleh karenanya terapis perlu mencarikan jalan
keluar. Dari keadaan ini mungkin ada indikasi bahwa ada beberapa klien masih perlu
mengikuti terapi individual. Bisa juga terapis merangsang anggota yang banyak bicara agar
mengajak temannya yang kurang banyak bicara. Kalau terjadi kekacauan, anggota yang
menimbulkan terjadinya kekacauan dikeluarkan dan terapi aktifitas kelompok berjalan terus
dengan memberikan penjelasan kepada semua anggota kelompok. Setiap komentar atau
permintaan yang datang dari anggota diperhatikan dengan sungguh-sungguh dan di tanggapi
dengan sungguh-sungguh. Terapis bukanlah guru, penasehat atau bukan pula wasit. Terapis
lebih banyak pasif. 
Terapis hendaknya menyadari bahwa tidak menghadapi individu dalam suatu
kelompok tetapi menghadapi kelompok yang terdiri dari individu - individu. Diakhir terapi
aktifitas kelompok, terapis menyimpulkan secara singkat pembicaraan yang telah
berlangsung / permasalahan dan solusi yang mungkin dilakukan. Dilanjutkan kemudian
dengan membuat perjanjian pada anggota untuk pertemuan berikutnya. (Kelliat, 2005).

h. Tahapan dalam TAK


1) Kelompok sama dengan individu, mempunyai kapasitas untuk tumbuh dan berkembang.
Kelompok akan berkembang melalui empat fase, yaitu: Fase prakelompok; fase awal
kelompok; fase kerja kelompok; fase terminasi kelompok (Stuart & Laraia, 2001 dalam
Cyber Nurse, 2009).
2) Fase Prakelompok
Dimulai dengan membuat tujuan, menentukan pemimpin (leader), jumlah
anggota, kriteria anggota, tempat dan waktu kegiatan, media yang digunakan. Menurut
Dr. Wartono (1976) dalam Yosep (2007), jumlah anggota kelompok yang ideal dengan
cara verbalisasi biasanya 7-8 orang. Sedangkan jumlah minimum 4 dan maksimum 10.
Kriteria anggota yang memenuhi syarat untuk mengikuti TAK adalah: sudah punya
diagnosa yang jelas, tidak terlalu gelisah, tidak agresif, waham tidak terlalu berat (Yosep,
2007).
3) Fase Awal Kelompok
Fase ini ditandai dengan ansietas karena masuknya kelompok baru, dan peran baru.
Yalom (1995) dalam Stuart dan Laraia (2001) membagi fase ini menjadi tiga fase, yaitu
orientasi, konflik, dan kohesif. Sementara Tukman (1965) dalam Stuart dan Laraia (2001)
juga membaginya dalam tiga fase, yaitu forming, storming, dan norming. 
4) Tahap Orientasi
Anggota mulai mencoba mengembangkan sistem sosial masing-
masing, pemimpin menunjukkan rencana terapi dan menyepakati kontrak dengan anggota.
5) Tahap Konflik
Merupakan  masa  sulit  dalam  proses  kelompok.  Pemimpin  perlu memfasilitasi
ungkapan perasaan, baik positif maupun negatif dan membantu kelompok mengenali
penyebab konflik. Serta mencegah perilaku perilaku yang tidak produktif (Purwaningsih
& Karlina, 2009).
6) Tahap Kohesif
Anggota kelompok merasa bebas membuka diri tentang informasi dan lebih intim satu sama
lain (Keliat, 2004).
Fase Kerja Kelompok
Pada fase ini, kelompok sudah menjadi tim. Kelompok menjadi stabil dan realistis
(Keliat, 2004).  Pada  akhir  fase  ini,  anggota  kelompok  menyadari produktivitas 
dan  kemampuan  yang  bertambah  disertai  percaya  diri  dan kemandirian (Yosep,
2007).
7) Fase Terminasi
Terminasi  yang  sukses  ditandai  oleh  perasaan  puas  dan  pengalaman kelompok 
akan  digunakan  secara  individual  pada  kehidupan  sehari-hari. Terminasi dapat
bersifat sementara atau akhir (Keliat, 2004).
i. Macam Terapi Aktivitas Kelompok
Terapi aktivitas kelompok (TAK) dibagi empat yaitu :
1) Terapi aktivitas kelompok stimulasi kognitif/persepsi
Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) stimulasi persepsi adalah terapi
yang menggunakan aktivitas sebagai stimulus terkait dengan pengalaman dan
atau kehidupan untuk didiskusikan dalam kelompok (Keliat, 2004). 
Fokus terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi adalah membantu pasien yang 
mengalami  kemunduran  orientasi  dengan  karakteristik:  pasien  dengan gangguan
persepsi; halusinasi, menarik diri dengan realitas, kurang inisiatif atau ide, kooperatif,
sehat fisik, dan dapat berkomunikasi verbal (Yosep, 2007).
Adapun tujuan dari TAK stimulasi persepsi adalah pasien mempunyai
kemampuan  untuk  menyelesaikan  masalah  yang  diakibatkan  oleh  paparan stimulus
kepadanya. Sementara, tujuan khususnya: pasien dapat mempersepsikan stimulus yang
dipaparkan kepadanya dengan tepat dan menyelesaikan masalah yang timbul dari
stimulus yang dialami (Darsana, 2007). Aktivitas mempersepsikan stimulus tidak nyata
dan respon yang dialami dalam kehidupan, khususnya untuk pasien halusinasi. Aktivitas
dibagi dalam empat sesi yang tidak dapat dipisahkan, yaitu :
a) Sesi pertama : mengenal halusinasi
b) Sesi kedua : mengontrol halusinasi dan menghardik halusinas
c) Sesi ketiga : menyusun jadwal kegiatan
d) Sesi keempat :  cara minum obat yang benar
2) Terapi aktivitas kelompok stimulasi sensori
TAK stimulasi sensori adalah TAK yang diadakan dengan memberikan stimulus tertentu
kepada klien sehingga terjadi perubahan perilaku.
1. Bentuk stimulus :
a) Stimulus suara: musik
b) Stimulus visual: gambar
c) Stimulus gabungan visual dan suara: melihat televisi, video
3) Tujuan dari TAK stimulasi sensori bertujuan agar klien mengalami :
1. Peningkatan kepekaan terhadap stimulus.
2. Peningkatan kemampuan merasakan keindahan
3. Peningkatan apresiasi terhadap lingkungan
c) Jenis TAK yaitu :
1. TAK Stimulasi Suara
2. TAK Stimulasi Gambar
3. TAK Stimulasi Suara dan Gambar
4) Terapi Aktivitas Kelompok Orientasi Realita
Terapi Aktivitas Kelompok Oientasi Realita (TAK): orientasi realita adalah
upaya untuk mengorientasikan keadaan nyata kepada klien, yaitu diri sendiri, orang lain,
lingkungan/ tempat, dan waktu. Klien dengan gangguan jiwa psikotik, mengalami
penurunan daya nilai realitas (reality testing ability). Klien tidak lagi mengenali
tempat, waktu, dan orang-orang di sekitarnya. Hal ini dapat mengakibatkan klien merasa
asing dan menjadi pencetus terjadinya ansietas pada klien. Untuk menanggulangi
kendala ini, maka perlu ada aktivitas yang memberi stimulus secara konsisten kepada
klien tentang realitas di sekitarnya. Stimulus tersebut meliputi stimulus tentang realitas
lingkungan, yaitu diri sendiri, orang lain, waktu, dan tempat.
Tujuan umum yaitu klien mampu mengenali orang, tempat, dan waktu sesuai dengan
kenyataan, sedangkan tujuan khususnya adalah:
1. Klien mampu mengenal tempat ia berada dan pernah berada
2. Klien mengenal waktu dengan tepat.
3. Klien dapat mengenal diri sendiri dan orangorang di sekitarnya   dengan tepat
12) Aktivitas yang dilakukan tiga sesi berupa aktivitas pengenalan orang, tempat, dan
waktu. Klien yang mempunyai indikasi disorientasi realitas adalah klien halusinasi,
dimensia, kebingungan, tidak kenal dirinya, salah mngenal orang lain, tempat, dan
waktu.
13) Tahapan kegiatan :
14) a.       Sesi I      : Orientasi Orang
15) b.      Sesi II    : Orientasi Tempat
16) c.       Sesi III   : Orientasi Waktu
17) D.    Terapi aktifitas kelompok sosialisasi
18) Klien dibantu untuk melakukan sosialisasi dengan individu yang ada disekitar
klien. Kegiatan sosialisasi adalah terapi untuk meningkatkan kemampuan klien
dalam melakukan interaksi sosial maupun berperan dalam lingkungan sosial.
Sosialisasi dimaksudkan memfasilitasi psikoterapis untuk :
19) 1.      Memantau dan meningkatkan hubungan interpersonal
20) 2.      Memberi tanggapan terhadap orang lain
21) 3.      Mengekspresikan ide dan tukar persepsi
22) 4.      Menerima stimulus eksternal yang berasal dari lingkungan
23) Tujuan umum :
24) Mampu meningkatkan hubungan interpersonal antar anggota kelompok,
berkomunikasi, saling memperhatikan, memberi tanggapan terhadap orang lain,
mengekpresikan ide serta menerima stimulus eksternal.
25) Tujuan khusus :
26) 1.      Penderita mampu menyebutkan identitasnya
27) 2.      Menyebutkan identitas penderita lain
28) 3.      Berespon terhadap penderita lain
29) 4.      Mengikuti aturan main
30) 5.      Mengemukakan pendapat dan perasaannya
31) Karakteristik :
32) 1.      Penderita kurang berminat atau tidak ada inisiatif untuk mengikuti kegiatan
ruangan
33) 2.      Penderita sering berada ditempat tidur, menarik diri, kontak sosial kurang
34) 3.      Penderita dengan harga diri rendah, gelisah, curiga, takut dan cemas
35) 4.      Tidak ada inisiatif memulai pembicaraan, menjawab seperlunya, jawaban
sesuai pertanyaan.

Anda mungkin juga menyukai