Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PENDAHULUAN

BENIGNA PROSTAT HYPERPLASIA (BPH)

A. KONSEP MEDIS

1. PENGERTIAN

BPH adalah hiperplasia dari kelenjar periuretral yang kemudian mendesak

jaringan prostat yang asli ke perifer dan menjadi simpaibedah (

Sjamsuhidayat, 1997 ). Benigna proastat hyperplasi adalah pembesaran progresif dari

kelenjar prostate ( secara umum terjadi pada pria lebih dari 50 th ) yang

menyebabkan berbagai daerah obstruksi uretral dan pembatasan aliran urinaria

( Doenges, 1999 ). Benigna Prostat Hyperplasia (BPH) adalah kondisi terjadinya

pembesaran sel epitel dan stromal kelenjar prostat karena pengaruh hormon (Rina.

2005 ).

kolelitiasis dimaksudkan untuk pembentukan batu di dalam kandung empedu.

Batu kandung empedu merupakan gabungan beberapa unsur yang membentuk suatu

material mirip batu yang terbentuk di dalam kandung empedu.

Kandung empedu ( Vesica fellea) adalah kantong berbentuk buah pear yang

terletak pada permukaan visceral hepar. Vesica fellea dibagi menjadi fundus, corpus

dan collum. Fundus berbentuk bulat dan biasanya menonjol dibawah pinggir inferior

hepar, dimana fundus berhubungan dengan dinding anterior abdomen setinggi ujung

rawan costa IX kanan. Corpus bersentuhan dengan permukaan visceral hati dan

arahnya keatas, belakang dan kiri. Collum dilanjutkan sebagai duktus cysticus yang

berjalan dalam omentum minus untuk bersatu dengan sisi kanan ductus hepaticus
comunis membentuk duktus koledokus. Pembuluh arteri kandung empedu adalah a.

cystica, cabang a. hepatica kanan. V. cystica mengalirkan darah lengsung kedalam

vena porta. Sejumlah arteri yang sangat kecil dan vena – vena juga berjalan antara

hati dan kandung empedu. Kolesistitis adalah peradangan kandung empedu baik

secara akut maupun kronis

2. ETIOLOGI

a. Obstruksi duktus sistikus dengan distensi dan iskemia vesika bilaris. Sumbatan

batu empedu pada duktus sistikus menyebabkan distensi kandung empedu dan

gangguam aliran darah dan limfe, bakteri komensal kamudian berkembang biak

b. Cedera kimia (empedu) dan atau mekanik (batu empedu) pada mukosa

c. Infeksi bakteri Adanya kuman seperti E. Coli, salmonela typhosa, cacing askaris,

atau karena pengaruh enzim – enzim pankreas.

3. PATOFISIOLOGI

Prostat merupakan kelenjar yang berkapsul kira-kira beratnya

20 gr, yang melingkari uretra pria dibawah vesika urinaria. Tanda

dan gej ala yang berhubungan adanya Benigna Prostat Hyperplasi

( BPH ) adalah terjadinya pembesaran prostat yang berdampak

pada penyumbatan parsial atau penuhnya pada saluran kemih, hal

ini disebabkan oleh adanya tanda, gej ala obstruksi dan iritasi pada

uretra.

Salah satu gejala dari BPH adalah obstruksi saluran kemih,

sehingga penderita harus menunggu pada permulaan miksi, miksi

terputus, menetes pada akhir miksi, pancaran miksi menjadi


melemah dan rasa belum puas sehabis miksi. Gejala iritasi

disebabkan karena adanya hipersentivitas otot detrusor yang

berarti bertambahnya frekuensi miksi, nokturia, miksi sulit ditahan

dan mungkin terjadinya disuria. Gej ala obstruksi terjadi karena

detrusor gagal berkontraksi dengan cukup kuat atau gagal

berkontraksi cukup lama sehingga kontraksi terputus-putus. Gej ala

iritasi terjadi Karena pengosongan yang tidak sempurna. Pada saat

miksi atau pembesaran prostat menyebabkan rangsangan pada

kandung kemih, sehingga vesika sering berkontraksi meskipun

belum penuh. Tanda dan gejala ini untuk menentukan berat

ringannya keluhan. Apabila vesika urinaria menjadi dekompensasi

akan terjadi retensi urin sehingga pada akhir miksi masih

ditemukan urin dalam vesika urinaria dan timbul rasa tidak tuntas

pada akhir miksi. Jika keadaan ini berlanjut pada suatu saat akan

terjadi kemacetan total, menyebabkan penderita tidak mampu lagi

miksi, karena produksi urin terus terjadi, maka vesika tidak mampu

lagi menampung urin, menyebabkan tekanan intra vesika

meningkat. Apabila tekanan vesika terus meningkat dan tekanan

vesika lebih tinggi dari tekanan sfingter dan obstruksi akan terjadi

inkontinensia. Retensi kronik menyebabkan refluk vesika ureter,

hydroureter, hydronefrosis dan gagal ginjal. Bila terjadi infeksi maka

akan mempercepat terjadinya kerusakan ginjal. Pada waktu miksi

penderita harus selalu mengejan yang lama kelamaan akan


menyebabkan terjadinya terjadinya hernia atau hemoroid, dan bila

selalu terdapat sisa urin akan terbentuk endapan dalam vesika

urinaria, menyebakan terjadinya batu. Batu ini yang akan

menyebkan terjadinya iritasi sehingga menimbulkan hematuria dan

statis, apabila terjadinya refluk maka akan terjadi pielonefritis

( Sjamsuhidajat, 1997 ).

Gejala Benigna Prostat Hyperplasi (BPH) dapat digolongkan

menjadi dua yaitu gej ala obstruktif dan gej ala iritatif. Gejala

Obstruksi : pembesaran prostat meliputi distensi kandung kemih

“Hesitancy”, pancaran kencing melemah, terputus-putus, tidak

lampias saat selesai berkemih, rasa ingin kecing sesudah kencing

dan keluarnya sisa kencing pada akhir berkemih.

4. TANDA DAN GEJALA

1.  Gejala iritatif meliputi  :

- Peningkatan frekuensi berkemih

- Nokturia (terbangun pada malam hari untuk miksi)

- Perasaan ingin miksi yang sangat mendesak/tidak dapat ditunda (urgensi) 

-   Nyeri pada saat miksi (disuria)

2.  Gejala obstruktif meliputi :

- Pancaran urin melemah

- Rasa tidak puas sehabis miksi, kandung kemih tidak kosong dengan baik

- Kalau mau miksi harus menunggu lama

-  Volume urin menurun dan harus mengedan saat berkemih


- Aliran urin tidak lancar/terputus-putus

- Urin terus menetes setelah berkemih

- Waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensi urin dan

inkontinensia karena penumpukan berlebih.

- Pada gejala yang sudah lanjut, dapat terjadi Azotemia (akumulasi produk

sampah nitrogen) dan gagal ginjal dengan retensi urin kronis dan volume

residu yang besar.

3. Gejala generalisata seperti seperti keletihan, anoreksia, mual dan muntah, dan rasa

tidak nyaman pada epigastrik.

Berdasarkan keluhan dapat dibagi menjadi :

Derajat I : penderita merasakan lemahnya pancaran berkemih, kencing tak puas,

frekuensi kencing bertambah terutama pada malam hari

Derajat II : adanya retensi urin maka timbulah infeksi. Penderita akan mengeluh

waktu miksi terasa panas (disuria) dan kencing malam bertambah hebat.

Derajat III : timbulnya retensi total. Bila sudah sampai tahap ini maka bisa timbul

aliran refluk ke atas, timbul infeksi ascenden menjalar ke ginjal dan dapat

menyebabkan pielonfritis, hidronefrosis.

5. MANIFESTASI KLINIS

1. IPPS ( International Prostat Symptoms Score ) adalah kumpulan pertanyaan yang

merupakan pedoman untuk mengevaluasi beratnya LUTS

a. Skor 0-7 : gejala ringan

b. Skor 8-19 :gejala sedang

c. Skor 20-35 : gejala berat


Gejala :

 Obstruktif : hesitansi, pancaran miksi lemah, intermitten miksi tak puas, menetes

setelah miksi

 Iritatif : nocturna, urgensi & disuria.

2. Rectal grading

Didapatkan batas atas teraba, menonjal > 1 cm (seperti ujung hidung )

Lobus kanan/kiri simetri & tidak teraba nodul

a. Grade 0 : penonjolan 0-1 cm

b. Grade 1 : penonjolan 1-2 cm

c. Grade 2 : penonjolan 2-3 cm

d. Grade 3 : penonjolan 3-4 cm

e. Grade 4 : penonjolan >4 cm

3. Clinical grading (berdasarkan residu urine)

a. Grade 1

Sejak berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun pasien mengeluh kencing tidak puas,

pancaran urine lemah, harus mengedan, nocturia (belum terdapat sisa urine)

b. Grade 2

Telah terdapat sisa urine (sistitis), nocturia makin sering dan kadang disertai

hematuri pada cyctoscopy dinding vesika urinaria menebal karena trabekulasi

(hipertropi musculus destrusor)

c. Grade 3

Sisa urine mencapai 80-100 ml, infeksi semakin hebat (hiperplexi, menggigil &

nyeri pinggang karena cystitis). Trabekulasi semakin banyak.


d. Grade 4

Retensi urine total.

6. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pemeriksaan laboratorium

a. Darah lengkap

- Untuk menilai kadar Hb, PCV (hematokrit), trombosit, leukosit dan LED

- Untuk menilai kemungkinan inflasi akibat statis urine

b. Sedimentasi urine

- Untuk menilai kemungkinan inflamasi saluran kemih

c. Kultur urine

- Untuk menentukan jenis bakteri & terapi antibiotik yang tepat

d. Renal fungsi tes (BUN/ureum, creatitin)

- Untuk menilai gangguan fungsi ginjal akibat dari statis urine

e. PSA (Prostatik Spesifik Antigen)

- Untuk kewaspadaan adanya keganasan

2. Pemeriksaan radiology

a. Foto abdomen polos (BNA/ Blass Nier Averzith)

- Untuk melihat adanya batu pada system kemih

b. Intravenus phielografi

- Untuk menilai kelainan ginjal dan ureter

- Untuk menilai penyulit yang terjadi pada fundus uteri

c. USG (ultrasonografi)

- Untuk memeriksa konsistensi, volume dan besar prostat


3. Pemeriksaan penendoscopy

- Untuk melihat derajat pembesaran kelenjar prostat

4. Pemeriksaan pancaran urine (uroflowmetri)

- Flowrate maximal >15 ml/ dtk : non obstruktif

- Flowrate maximal 10-15 ml/ dtk : border line

- Folwrate maximal <10 ml/ dtk : obstruktif

7. KOMPLIKASI

Komplikasi yang sering terjadi pada pasien BPH antara lain: sering dengan
semakin beratnya BPH, dapatterjadi obstruksi saluran kemih, karena urin tidak mampu
melewati prostat. Hal ini dapat menyebabkan infeksisaluran kemih dan apabila tidak
diobati, dapat mengakibatkan gagal ginjal. (Corwin, 2000).
Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik
mengakibatkan penderita harusmengejan pada miksi yang menyebabkan peningkatan
tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan herniadan hemoroid. Stasis urin dalam
vesiko urinaria akan membentuk batu endapan yang menambah keluhan iritasidan
hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika urinaria menjadikan media pertumbuhan
mikroorganisme,yang dapat menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan
pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005)

BPH (BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA)


           
8. PENATALAKSANAAN
Rencana pengobatan tergantung pada penyebab, keparahan obstruksi, dan

kondisi pasien. Jika pasien masuk RS dengan kondisi darurat  karena ia tidak dapat

berkemih maka kateterisasi segera dilakukan. Pada kasus yang berat mungkin

digunakan kateter logam dengan tonjolan kurva prostatik. Kadang suatu insisi dibuat ke

dalam kandung kemih (sitostomi supra pubik) untuk drainase yang adekuat.

Jenis pengobatan pada BPH  antara lain:

a) Observasi (watchfull waiting)

Biasa dilakukan pada pasien dengan keluhan ringan. Nasehat yang diberikan adalah

mengurangi minum setelah makan malam untuk mengurangi nokturia, menghindari

obat-obat dekongestan, mengurangi minum kopi dan tidak diperbolehkan minum

alkohol agar tidak terlalu sering miksi. Setiap 3 bulan dilakukan kontrol keluhan,

sisa kencing, dan pemeriksaan colok dubur

b) Terapi medikamentosa

Penghambat adrenergik a (prazosin, tetrazosin) : menghambat reseptor pada otot

polos di leher vesika, prostat sehingga terjadi relaksasi. Hal ini akan menurunkan

tekanan pada uretra pars prostatika sehingga gangguan aliran air seni dan gejala-

gejala berkurang. Penghambat enzim 5-a-reduktase, menghambat pembentukan

DHT sehingga prostat yang membesar akan mengecil.

c) Terapi bedah

Tergantung pada beratnya gejala dan komplikasi. Indikasi absolut untuk terapi

bedah yaitu:

 Retensi urin berulang

 Hematuri
 Tanda penurunan fungsi ginjal

 Infeksi saluran kemih berulang

 Tanda obstruksi berat seperti hidrokel

 Ada batu saluran kemih.

d) Prostatektomi perineal

Pendekatan transuretral merupakan pendekatan tertutup. Instrumen bedah dan

optikal dimasukan secara langsung melalui uretra ke dalam prostat yang kemudian

dapat dilihat secara langsung. Kelenjar diangkat dalam irisan kecil dengan loop

pemotong listrik. Prostatektomi transuretral jarang menimbulakan disfungsi erektil

tetapi dapat menyebabkan ejakulasi retrogard karena pengangkatan jaringan prostat 

pada kolum kandung kemih dapat menyebabkan cairan seminal mengalir ke arah

belakang ke dalam kandung kemih dan bukan melalui uretra.

e) Prostatektomi Suprapubis.

Adalah salah satu metode mengangkat kelenjar melalui insisi abdomen. Yaitu suatu

insisi yang dibuat kedalam kandung kemih dan kelenjar prostat diangkat dari atas.

f) Prostatektomi  Perineal.

Adalah mengangkat kelenjar melalui suatu insisi dalam perineum. Cara ini lebih

praktis dibanding cara yang lain, dan sangat berguna untuk biopsi terbuka. Lebih

jauh lagi inkontinensia, impotensi, atau cedera rectal dapat mungkin terjadi  dari

cara ini. Kerugian lain adalah kemungkinan kerusakan pada rectum dan spingter

eksternal serta  bidang operatif terbatas.

g) Insisi Prostat Transuretral ( TUIP ).


Yaitu suatu prosedur  menangani BPH dengan cara memasukkan instrumen melalui

uretra. Satu atau dua buah insisi dibuat pada prostat dan kapsul prostat untuk

mengurangi tekanan prostat pada uretra dan mengurangi kontriksi uretral. Cara ini

diindikasikan ketika kelenjar prostat berukuran kecil ( 30 gram/kurang ) dan efektif

dalam mengobati banyak kasus BPH. Cara ini dapat dilakukan  di klinik rawat jalan

dan mempunyai angka komplikasi lebih rendah di banding cara lainnya

h) TURP ( TransUretral Reseksi Prostat )

TURP adalah suatu operasi pengangkatan jaringan prostat lewat uretra

menggunakan resektroskop, dimana resektroskop merupakan endoskop dengan

tabung 10-3-F untuk pembedahan uretra yang dilengkapi dengan alat pemotong dan

counter yang disambungkan dengan arus listrik. Tindakan ini memerlukan

pembiusan umum maupun spinal dan merupakan tindakan invasive yang masih

dianggap aman dan tingkat morbiditas minimal.Terapi invasif minimal, seperti

dilatasi balon tranuretral, ablasi jarum  transuretral

Farmakologi untuk :

a. Mengurangi retensi laher vesika urinaria dengan obat golongan

penghambat androgen

b. Mengurangi volume prostat

1. Operatif (operasi terbuka)

c. Retrapubic transvesikal prostatectomy yaitu melakukan sayatan section

alfa melalui fossa prostate anterior tatapi tidak membuka dinding vesika

urinaria
d. Suprapubic transvesikal prostatectomy (trayer) yaitu melakukan sayatan

section alva menembus vesika urinaria

e. Transperineal prostatectomy yaitu melakukan sayatan melalui perineum,

fossa ischi langsung ke prostate.

2. Endorologi transurethral

f. Transurethral resection prostatectomy (TUR-P)

g. Transurethral laser prostatectomy (TUL-P)

h. Transutretral incision of the prostate (TUP)

9. PENGELOLAAN PASIEN
1. Pre operasi

 Pemeriksaan darah lengkap (Hb minimal 10g/dl, Golongan Darah, CT, BT, AL)

 Pemeriksaan EKG, GDS mengingat penderita BPh kebanyakan lansia

 Pemeriksaan Radiologi: BNO, IVP, Rongen thorax

 Persiapan sebelum pemeriksaan BNO puasa minimal 8 jam.  Sebelum

pemeriksaan IVP pasien diberikan diet bubur kecap 2 hari, lavemen puasa

minimal 8 jam, dan mengurangi bicara untuk meminimalkan masuknya udara

i) Post operasi

Irigasi/Spoling dengan Nacl

  Dilakukan perawatan luka dan perawatan DC hari ke-3 post oprasi dengan

betadin

 Anjurkan banyak minum (2-3l/hari

 DC bisa dilepas hari ke-9 post operasi

   Hecting Aff pada hari k-10 post operasi.

 Cek Hb post operasi bila kurang dari 10 berikan tranfusi


 Jika terjadi spasme kandung kemih pasien dapat merasakan dorongan untuk

berkemih, merasakan tekanan atau sesak pada kandung kemih dan perdarahan

dari uretral sekitar kateter. Medikasi yang dapat melemaskan otot polos dapat

membantu mengilangkan spasme. Kompres hangat pada pubis dapat

membantu menghilangkan spasme.

 Jika pasien dapat bergerak bebas pasien didorong untuk berjalan-jalan tapi

tidak duduk terlalu lama karena dapat meningkatkan tekanan abdomen,

perdarahan

 Latihan perineal dilakukan untuk membantu mencapai kembali kontrol

berkemih. Latihan perineal harus dilanjutkan sampai passien mencapai kontrol

berkemih.

 Drainase diawali sebagai urin berwarna merah muda kemerahan kemudian

jernih hingga sedikit merah muda dalam 24 jam setelah pembedahan.

 Perdarahan merah terang dengan kekentalan yang meningkat dan sejumlah

bekuan biasanya menandakan perdarahan arteri. Darah vena tampak lebih

gelap dan kurang kental. Perdarahan vena diatasi dengan memasang traksi

pada kateter sehingga balon yang menahan kateter pada tempatnya

memberikan tekannan pada fossa prostatik.

B. KONSEP KEPERAWATAN

a. Pengkajian

1. Identitas klien

Jenis kelamin laki-laki, umur >50 thn, banyak dijumpai pada bangsa / ras

caucasian
2. Keluhan utama

Nyeri berhubungan denga spasme buli-buli

3. Riwayat penyakit sekarang

LUTS (hesitansi, pancaran urine lemah, intermitensi, terminal dribbing, terasa ada

sisa setelah miksi, urgensi, frekuensi dan disuria)

4. Riwayat penyakit dahulu

DM (diabetes mellitus), hipertensi, PPOM (penyakit paru obstruksi menahun),

jantung koroner, decompensasi cordis dan gangguan faal darah

5. Riwayat penyakit keluarga

penyakit keturunan (hipertensi,DM, ashma)

6. Riwayat psikososial

emosi, kecemasan, gangguan konsep diri

7. Pola hidup sehari-hari

a. Pola nutrisi

Puasa sebelum operasi

b. Pola eliminsi

Hematuri setelah tindakan TUR, retensi urine karena bekuan darah pada

kateter, inkontinensia urine setelah kateter dilepas

c. Pola istirahat/tidur

Hospitalisasi mempengaruhi pola tidur

d. Pola aktivitas
Keterbatasan aktivitas karena kelemahan, terpasang traksi kateter
8. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum.
Keadaan lemah, kesadaran baik, perlu adanya observasi TTV
b. Sistem pernafasan
SAB tidak mempengaruhi pernafasan
c. Sistem sirkulasi
Tekanan darah biasa meningkat atau menurun, cek HB (adanya perdarahan
animea), observasi balance cairan
d.      Sistem neurologi
Daerah caudal mengalami kelumpuhan dan mati rasa akibat SAB
e. System gastrointestinal
Pusing, mual, muntah akibat SAB, bising usus menurun dan terdapat masa
abdomen
f. System urogenital
Hematuri, retensi urine (daerah supra sinisfer menonjol, terdapat ballottement
jika dipalpasi dan klien ingin kencing)

g. system muskuluskeletal
Klien tidak boleh fleksi selam traksi kateter masih diperlukan

DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Perubahan pola kemih berhubungan dengan obstruksi mekanikal,

bekuan darah, edema, trauma prosedur pembedahan.

Tujuan : aliran urin meningkat

Kriteria hasil :

a. Berkemih dengan jumlah yang normal tanpa operasi

b. Menunjukkan perilaku yang meningkatkan control kandung kemih.

Intervensi

a. Mengkaji haluaran urin

b. Membantu pasien memilih posisi untuk berkemih.


c. Perhatikan waktu, jumlah berkemih dan ukuran aliran setelah kateter dilepas.

d. Mendorong pasien untuk berkemih bila teras dorongan.

e. Mengukur volume residu.

f. Mendorong pemasukkan caiaran 3000 ml sesuai toleransi

g. Mengintruksikan pada pasien untuk latihan perineal.

h. Menganjurkan pasien bahwa “ penetesan ” diharapkan kateter dilepas.

Rasional

a. Retensi dapat terjadi karena edema area bedah.

b. Mendorong pasase urin dan meningkatkan rasa normalitas.

c. Kateter biasanya dilepas 2-5 hari setelah bedah.

d. Berkemih denagn dorongan mencegah retensi urin. Keterbatsan berkemih untuk

setiap 4 jam.

e. Mengawasi keefektifan pengosongan kandung kemih, residu lebih dari 50 ml

menunjukkan perlunya kontinuitas kateter sampai tonus kandung kemih membaik.

f.Mempertahankan dehidrasi adekuat dan perfusi ginjal untuk aliran urin.

g. Membatu meningkatkan control kandung kemih/ sfingter.

h. Informasi membantu pasien untuk menerima masalah.

2. Resiko infeksi berhubungan dengan insisi bedah, prosedur invasive, irigasi pembedahan

dan trauma jaringan.

Tujaun : Setelah dilakukan tindakan keperawatan tidak terjadi infeksi.

Kriteria hasil :

a. Mencapai waktu penyembuhan

b. Tidak terjadi tanda infeksi


Intervensi

a. Pertahankan system kateter steril dan berikan perawatan kateter.

b. . Ambulasi dengan kantung drinase dependent.

c. Observasi tanda vital.

d. Observasi drainase luka sekitar supra pubik.

e. Menganti balutan dengan sering (insisi supra/ retropubik dan perineal).

f. Mengunakan pelindung kulit.

g. Kolaborasi dengan pemberian antibuiotik.

Rasional

a. Mencegah pemasukkan bakteri dari infeksi. Menghindari reflek balik urin.

b. Observasi terjadinya syok.

c. Insisi resiko terjadinya infeksi.

d. Balutan basah menyebabkan kulit iritasi dan memberikan pertumbuhan bakteri.

e. Memberikan perlindungan untuk kulit sekitar.

1. Nyeri berhubungan dengan iritasi mukosa, distensi kandung kemih, kolik ginjal, infeksi

urinary dan terapi radiasi.

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperwatan nyeri hilang/ terkontrol.

Kriteria hasil :

a. Nyeri hilang/ terkontrol

b. Klien tampak rilek

c. Mampu untuk istirahat

Intervensi

a. Mengkaji nyeri
b. Mempertahankan patensi kateter dan system drainase.

c. Meningkatkan pemasukkan 3000 ml/ hari sesuai toleransi.

d. Berikan pasien informasi yang akurat tentang kateter, drainase dan spasme

kandung kemih.

e. Berikan tindakan kenyamanan.

f. Berikan rendam duduk.

Rasional

a. Memberikan informasi untuk membantu dan menentukan pilihan intervensi.

b. Mempertahankan fungsi kateter dan drainase.

c. Menurunkan iritasi dengan mempertahankan aliran cairan konstan ke mukosa

kandung kemih.

d. Menghilangkan ansietas.

e. Menurunkan ketegangan otot.

f. Meningkatkan perfusi jaringan, perbaikan edem dan perbaikan penyembuhan.

2. Meningkatkan rerlaksasi Disfungsi seksual berhubungan dengan inkontinensia,

kebocoran urin setelah pengangkatan kateter.

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan tidak terjadi disfungsi

seksual.

Kriteria hasil :

a. Klien tampak rilek dan ansietas menurun.

d. Mendiskusikan tentang ejakulasi retrogard bila pendekatan transurethral/

suprapubik yang digunakan.

e. Mengintruksikan latihan perianal.


Rasional

a. Ansietas dapat mempengaruhi kemampuan menerima informasi yang

diberikan.

b. Impotensi fisiologis terjadi bila perianal dipotong selama prosedur

pembedahan.

c. Saraf pleksus mengontrol aliran secara posterior ke prostat melalui kapsul.

Prosedur bedah mungkin tidak dapat memberikan pengobatan permanen dan

hipertrofi dapat berulang.

d. Cairan seminal mengalir kedalam kandung kemih dan disekresikan melalui urin.

Ini tidak mempengaruhi fungsi seksual tetapi akan menurunkan kesuburan dan

menyebabkan urin keruh.

e. Meningkatkan kontrol otot inkontinensia urinaria dan fungsi seksual

3. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan efek anestesi.

Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan klien dapat beraktifitas secara

mandiri.

Kriteria hasil : Klien mampu menunjukkan aktifitas secara mandiri tanpa bantuan

keluarga dan perawat.

Intervensi

a. Mempertahankan posisi yang nyaman.


b. Mencegah klien jatuh.
c. Melakukan latihan aktif atau pasif.
d. Memonitor kulit kemungkinan terdapat dekubitus.
e. Meningkatkan aktivitas sesuai batas toleransi.
f. Pertahankan nutrisi adekuat.
g. Melakukan ambulasi sebanyak mungkin. Rasional
Rasional

a. Mencegah iritasi dan mencegah komplikasi.


b. Mempertahankan keamanan klien.
c. Meningkatkan sirkulasi dan mencegah kontraktur.
d. Memonitor gangguan integritas kulit.
e. Mempertahankan tonus otot.
f. Nutrisi diperlukan untuk energi.
g. Meneruskan perawatan setelah pulang.

DAFTAR PUSTAKA

Pedoman Penatalaksanaan BPH di Indonesia. Diakses tanggal 20 Juli 2012. URL:

http://iaui.or.id/ast/file/bph.pdf

Mengenal Lebih Jauh Gangguan Prostat. 2008. Diakses tanggal 24 Juli 2012. URL:

http://www.bioenergypower.com.

Hochberg, J and Murray, GF. Principles of Operative Surgery : Antiseptis, Technique,

Sutures and Drain. Philadelphia : WB Sounders. 1991.

Potter and Perry. Fundamental Of Nursing. Philadelphia: Mosby Year Book. 1993.

Torrance, C and Sergison, E. Surgical Nursing. London: Bailliere Tindal. 1997.

Suzanne C. Smeltzer & Brenda G. Bare. Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Edisi

8. Jakarta: EGC. 2002.

Ellis, J.R, dkk. Modulles for Basic Nursing Skills. Sixth edition. 1996
Effendi, C. Perawatan Pasien Luka Bakar. Jakarta: EGC. 1999.

LAPORAN PENDAHULUAN BENIGNA PROSTAT HYPERPLASIA (BPH)

RS TK II PELAMONI MAKASSAR

ARIF RAHMAN.,S.Kep

144 2018 2054


CI LAHAN CI INSTITUSI

( ) ( )

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

MAKASSAR

2019

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN Tn”M.T”DENGAN

GANGGUAN KEPERAWATAN MEDICAL BEDAH II BPH

DIRUANGAN MELATI RS TK II.PELAMONIA

MAKASSAR

ARIF RAHMAN.,S.Kep

144 2018 2054


CI LAHAN CI INSTITUSI

( ) ( )

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

MAKASSAR

2019

Anda mungkin juga menyukai