Anda di halaman 1dari 19

I.

PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Limbah merupakan sisa pembuangan dari hasil melakukan kegiatan konsumsi
oleh manusia. Terdapat berbagai macam jenis limbah baik anorganik yang dapat
terurai maupun organik yang tidak dapat terurai. Limbah organik merupakan hasil
dari pembuangan bahan yang berasal dari makhluk hidup sehingga dapat mengalami
pembusukan. Terjadinya pembusukan akibat suatu proses penurunan kualitas sturktur
organik akibat proses perubahan kimiawi oleh mikroorganisme. Faktor penyebab
pembusukan yaitu salah satunya adalah bakteri. Pertumbuhan bakteri mengakibatkan
perubahan struktur fisik dan kimia pada bahan yang mengalami pembusukan
sehingga sudah tidak dapat dikonsumsi.
I.2. Rumusan Masalah
I.3. Tujuan
1. Mengetahui morfologi bahan organik dengan konsentrasi aktivator yang
berbeda-beda dari waktu awal dan akhir (T0-Tn).
2. Pengamatan sampel organik dari (T0-Tn).
3. Mengetahui ciri-ciri fisik melalui pengamatan morfologi dan
pengomposan suatu bahan organik.
4. Mengetahui perbedaan kadar NPK pada jenis-jenis sampah organik yang
berbeda
I.4. Manfaat
1. Mahasiswa mengetahui cara pembuatan pupuk.
2. Mahasiswa mengetahui perbedaan morfologi bahan organik dengan
konsentrasi activator yang berbeda-beda.
3. Mahasiswa mengetahui perbedaan kadar N,P,K pada jenis-jenis sampah
organik yang berbeda.

II. TINJAUAN PUSTAKA


II.1. Bakteri Konsorsium
Pemanfaatan sumber daya laut dibidang bioteknologi dapat dilakukan dengan
mengaplikasikan tumbuhan laut yang memiliki peran ekologis seperti mangrove.
Terdapat bakteri konsorsium laut yang dimana sampelnya diisolasi dari sedimen
mangrove. Bakteri konsorsium mangrove ditujukan untuk merombak enzim
dibenzofuran yang berasal dari sedimen mangrove dan mengetahui sifat
mikrobiologisnya. Bakteri konsorsium dikultur menggunakan media mineral cair
sebagai sumber nutrisinya. Perombakan dari bakteri konsorsium terhadap senyawa
hidrokarbon aromatis polisiklik terjadi lebih cepat dibandingkan bakteri tunggal. Hal
ini menunjukkan bahwa bakteri konsorsium laut yang berasal dari mangrove
memiliki hasil metabolisme yang lebih baik. Berdasarkan hasil yang didapatkan
bakteri konsorsium laut yang berasal dari mangrove memiliki hasil perombakan lebih
cepat dibandingkan bakteri konsorsium dari ekosistem lainnya (Wijayaratih et al.,
2008).

II.2. Uji Aktivitas Antibakteri Bakteri Konsorsium


Perebutan nutrisi atau kompetisi nutrien dalam sebuah media kultur
mikroorganisme dilakukan untuk aktivitas pertahanan secara kimiawi.
Mikroorganisme dapat menggunakan metabolit sekunder untuk menyaingi koloni
lainnya. Metabolit sekunder ini dilepaskan ke lingkungan koloni mikroba untuk
memperoleh tempat dan membunuh koloni-koloni lain yang berusaha untuk menjarah
sumber nutrisi pada lingkungan tersebut. Dalam lingkungan kompetisi ini, bakteri
konsorsium memiliki keunggulan. Bakteri konsorsium dapat menghasilkan metabolit
dengan jenis yang lebih banyak, sehingga dapat menghadapi berbagai macam
serangan dari mikroorganisme lain (Siregar et al., 2016).
Bakteri konsorsium dapat bertahan hidup lebih baik dibandingkan dengan
bakteri-bakteri yang berkoloni tunggal. Koloni-koloni bakteri harus dapat bertahan
hidup melalui keterbatasan sumber nutrisi, sehingga apabila terdapat koloni lain,
maka akan terjadi interaksi hubungan yang bersifat kompetisi. Namun, bakteri-bakteri
yang membentuk konsorsium memiliki kemampuan bertahan hidup yang lebih besar.
Mikroba konsorsium dapat mencerna nutrisi lebih cepat oleh karena bantuan enzim
yang lebih banyak. Oleh karena itu, mikroba konsorsium lebih unggul dibandingkan
koloni tunggal (Sugianto et al., 2018).
Sebuah koloni bakteri dapat menggunakan metabolit sekundernya untuk
menghadapi ancaman dari jamur ataupun bakteri lainnya. Senyawa-senyawa yang
memiliki kemampuan untuk mengatasi ancaman dari bakteri lain disebut memiliki
aktivitas antibakteri. Senyawa-senyawa antibakteri ini memiliki kemampuan untuk
membunuh koloni bakteri lain (bakteriosida), ataupun menghambat bakteri
(bakteriostatis). Bakteri konsorsium dapat menghasilkan aktivitas antibakteri bila
diberi stress dari bakteri-bakteri tertentu. Konsorsium menghasilkan lebih banyak
metabolit sekunder (Septiningrum dan Hardiani, 2011).
II.3. Uji Sinergisitas Bakteri Konsorsium
Uji sinergisme adalah uji yang dilakukan untuk mengetahui interaksi positif
antara dua atau lebih bakteri yang hidup bersama dan menggunakan sumber nutrisi
yang sama. Uji sinergisme dilakukan sebelum pembuatan konsorsium. Sinergisme
menjadi faktor utama yang diperlukan bakteri agar mampu bekerja sama dengan baik.
Sinergisme merupakan interaksi mikroba yang bersifat kooperatif namun belum
diketahui hubungan langsung antara sinergisme bakteri dan ketersediaan nutrisi
dengan peralihan interaksi bakteri dari sinergisme menjadi antagonisme (Safitri et al.,
2018).
Sinergisme antarbakteri dapat memberikan keuntungan untuk kedua populasi,
walaupun dua populasi yang sinergis mendapat manfaat dari hasil interaksinya, akan
tetapi mereka mampu hidup tanpa bergantung satu sama lain. Penggunaan dua atau
lebih bakteri atau disebut konsorsium lebih efektif penggunaannya dalam
mendegradasi senyawa kimia dibandingkan dengan isolat tunggal. Keuntungan timbal
balik pada suatu konsorsium sangat penting bagi banyak interaksi organisme.
Interaksi ini dapat didasarkan pada transfer material yang berkaitan dengan
energetika, komunikasi sel ke sel atau perlindungan fisik (Sugianto et al., 2018).
Menurut Asri dan Zulaika (2016), mekanisme sinergisme antar isolat dalam
konsorsium masih belum diketahui dengan pasti, namun beberapa penelitian
menduga disebabkan karena beberapa faktor antara lain: (1) salah satu anggota genus
mampu menyediakan satu atau lebih faktor nutrisi yang tidak dapat disintesis oleh
anggota genus yang lain, (2) salah satu anggota genus yang tidak mampu
mendegradasi bahan organik tertentu akan bergantung pada anggota genus yang
mampu menyediakan hasil degradasi bahan organik tersebut, (3) salah satu anggota
genus melindungi anggota genus lain yang sensitif terhadap bahan organik tertentu
dengan menurunkan konsentrasi bahan organik yang bersifat toksik dengan cara
memproduksi faktor protektif yang spesifik maupun non spesifik.
II.4. Bahan Organik
Bahan organik adalah bahan-bahan yang berasal dari limbah tumbuhan atau
hewan atau produk samping, seperti pupuk kandang atau unggas, jerami padi yang
dikomposkan atau residu tanaman lainnya, kotoran pada saluran air, pupuk hijau, dan
potongan leguminosa serta sampah kota dan industry. Bahan organik mempunyai
peranan penting sebagai sumber karbon, dalam pengertian yang lebih luas sebagai
sumber pakan, dan juga sebagai sumber energy untuk mendukung kehidupan dan
berkembangbiaknya berbagai jenis mikroba dalam tanah. Tanpa bahan organik,
mikroba dalam tanah akan menghadapi keadaan defisiensi karbon sebagai pakan
sehingga perkembangan populasi dan aktivitasnya terhambat. Akibatnya, proses
mineralisasi hara menjadi unsur yang tersedia bagi tanaman juga terhambat (Pirngadi,
2009).
Bahan organik dapat memperbaiki sifat fisik tanah seperti perubahan warna
yang menjadi lebih gelap dan stuktur yang lebih gembur. Bahan organik juga dapat
memingkatkan akitivas organisme mikro di dalam tanah. Bahan organik merupakan
suatu system zat yang paling rumit dan dinamik. Secara garis besar peranan dari
bahan organik adalah (1) menjaga kelembaban tanah, (2) menawarkan sifat racun dari
Al dan Fe, (3) penyangga hara tanaman, (4) membantu dalam meningkatkan
penyediaan hara, (5) menstabilkan temperature tanah, (6) memperbaiki aktivitas
organism, (7) memperbaiki struktur tanah, (8) meningkatkan efisiensi pemupukan,
dan (9) mengurangi terjadinya erosi (Tambunan et al., 2014).
Bahan organik berperan penting untukmenciptakan kesuburan tanah. Peranan
bahan organik bagi tanah adalah dalam kaitannya dengan perubahan sifat-sifat tanah,
yaitu sifat fisik, biologis, dan sifat kimia tanah. Bahan organik merupakan pembentuk
granulasi dalam tanah dan sangat penting dalam pembentukan agregat tanah yang
stabil. Bahan organik adalah bahan pemantap agregat tanah yang bagus. Melalui
penambahan bahan organik, tanah yang tadinya berat menjadi berstruktur remah yang
relatif lebih ringan. Bahan organik tanah menyediakan nutrisi untuk aktivitas
mikroba, juga meningkatkan dekomposisi bahan organik, meningkatkan stabilitas
tanah, dan meningkatkan daya pulih tanah (Limbong et al., 2017).

II.5. Pupuk Organik


Pupuk organik adalah pupuk yang berasal dari sisa-sisa organisme hidup
seperti tumbuhan, hewan, ataupun limbah organik lainnya, sedangkan pupuk organik
cair merupakan pupuk organik yang memiliki wujud berupa cairan sehingga pupuk
ini mudah larut saat digunakan. Pemberian pupuk selain perlu diatur konsentrasinya
juga perlu diatur dosisnya. Dosis pupuk yang digunakan harus seimbang dan sesuai
dengan kebutuhan tanaman artinya jumlah pupuk yang diberikan sama dengan jumlah
unsur hara yang diserap oleh tanaman. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya
kelebihan dan kekurangan penggunaan pupuk NPK karena apabila pupuk NPK
diberikan pada dosis yang tinggi maka dapat menurunkan tingkat kesuburan media
tanam, apabila pupuk NPK diberikan pada dosis rendah maka dapat menyebabkan
pertumbuhan tanaman terhambat (Ginting et al., 2015).
Pupuk organik adalah pupuk yang sebagian besar atau seluruhnya terdiri dari
bahan organik yang berasal dari tanaman dan atau hewan yang telah melalui proses
rekayasa, dapat dibentuk padat atau cair yang digunakan untuk mensuplai bahan
organik, memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Pemberian pupuk organik
dapat memperbaiki struktur tanah, menaikan bahan serap tanah terhadap air,
menaikan kondisi kehidupan di dalam tanah, dan sebagai sumber zat makanan bagi
tanaman. Sedangkan pemberian pupuk anorganik dapat merangsang pertumbuhan
secara keseluruhan khususnya cabang, batang, daun, dan berperan penting dalam
pembentukan hijau daun (Dewanto et al., 2013).
Menurut Peraturan Menteri Pertanian No.2/Pert./HK.060/2/2006, yang
dimaksud dengan pupuk organik adalah pupuk yang sebagian besar atau seluruhnya
terdiri atas bahan organik yang berasal dari sisa tanaman atau hewan yang telah
mengalami rekayasa berbentuk padat atau cair yang digunakan untuk memasok bahan
organik, memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi proses pembuatan pupuk organik yaitu nilai C/N bahan, ukuran
bahan, campuran bahan, mikroorganisme yang bekerja, kelembaban dan aerasi,
temperatur dan keasaman (pH) (Nur et al., 2016).
II.6. Proses Fermentasi
Fermentasi merupakan suatu proses terjadinya perubahan kimia pada suatu
substrat organik melalui aktivitas enzim yang dihasilkan oleh mikroorganisme seperti
kapang, khamir dan bakteri. Pertumbuhan mikroorganisme dalam proses fermentasi
ini terjadi tanpa adanya oksigen (anaerobik). Penelitian ini menggunakan bantuan
mikroorganisme yaitu Saccharomyces cereviseae yang terdapat pada ragi roti
“Fermipan”. Fermentasi ini menggunakan ragi untuk mengubah glukosa menjadi
etanol dan CO2. Besarnya konsentrasi alkohol yang dihasilkan pada proses
fermentasi bergantung pada jenis ragi dan kadar glukosa substratnya. Pemilihan
substrat harus memperhatikan ketersediaan dan mudah untuk diperoleh. Selain itu,
pemilihan substrat juga diperhitungkan jumlah karbon yang tersedia pada substrat
yang akan digunakan (Nurcahyani dan Utami, 2015).
Fermentasi merupakan suatu proses perubahan kimia pada substrat organik
melalui aktivitas enzim yang dihasilkan oleh mikroorganisme. Proses fermentasi
dibutuhkan starter sebagai mikroba yang akan ditumbuhkan dalam substrat. Starter
merupakan populasi mikroba dalam jumlah dan kondisi fisiologis yang siap
diinokulasikan pada media fermentasi. Pemanfaatan limbah sayur hasil fermentasi
berupa asam organik dapat digunakan sebagai pengawetan secara biologi maupun
sebagai starter fermentasi pakan (Rasmito et al., 2019).
Menurut Bahri et al. (2018), fermentasi adalah proses produksi energi dalam
sel dalam keadaan anaerobik (tanpa oksigen). Secara umum, fermentasi adalah salah
satu bentuk respirasi anaerobik, akan tetapi, terdapat definisi yang lebih jelas yang
mendefinisikan fermentasi sebagai respirasi dalam lingkungan anaerobik dengan
tanpa akseptor elektron eksternal. Gula adalah bahan yang umum dalam fermentasi.
Beberapa contoh hasil fermentasi adalah etanol, asam laktat, dan hidrogen. Akan
tetapi beberapa komponen lain dapat juga dihasilkan dari fermentasi seperti asam
butirat dan aseton.
II.7. Dekomposisi
Menurut Saptiningsih dan Haryanti (2015), proses dekomposisi adalah
gabungan dari proses fragmentasi, perubahan struktur fisik dan kegiatan enzim yang
dilakukan oleh dekomposer yang merubah bahan organik menjadi senyawa
anorganik. Proses dekomposisi dimulai dari proses penghancuran atau pemecahan
struktur fisik yang dilakukan oleh hewan pamakan bangkai (scavenger) terhadap
tumbuhan dan menyisakan sebagian bahan organik mati menjadi seresah, debris atau
detritus dengan ukuran yang lebih kecil. Secara biologi bakteri yang melakukan
proses secara enzimatik terhadap partikel-partikel organik. Bakteri mengeluarkan
enzim protease, selulase, ligninase yang digunakan untuk menghancurkan molekul-
molekul organik komplek seperti protein dan karbohidrat dari tumbuhan yang telah
mati. Beberapa senyawa yang dihasilkan digunakan oleh dekomposer. Tingkat
kecepatan dekomposisi tergantung pada kandungan lignin, polifenol, selulose dan
karbohidrat bahan organik. Dekomposisi bahan organik dalam tanah pada akhirnya
akan meninggalkan materi yang tahan terhadap proses dekomposisi, materi ini
disebut humus.
Proses dekomposisi bahan organik dilaksanakan oleh berbagai kelompok
mikroorganisme heterotropik, seperti bakteri, fungi, aktinomisetes, dan protozoa.
Organisme tersebut mewakili jenis flora dan fauna tanah. Selama proses dekomposisi
berlangsung, terjadi perubahan secara kualitatif dan kuantitatif. Pada tahap awal
proses dekomposisi, akibat perubahan lingkungan beberapa spesies flora menjadi
aktif dan berkembang dalam waktu relatif singkat, kemudian menurun untuk
memberikan kesempatan pada jenis lain untuk berkembang. Pada minggu kedua dan
ketiga, kelompok yang berperan aktif dalam proses pengomposan adalah bakteri 106-
107, bakteri amonifikasi (104), bakteri proteolitik (104), bakteri pektinolitik (103),
dan bakteri penambat nitrogen (103). Mulai hari ketujuh, kelompok mikroba
meningkat jumlahnya dan setelah hari ke-14 terjadi penurunan, kemudian meningkat
kembali pada minggu keempat. Mikroorganisme yang berperan adalah selulopatik,
lignolitik, dan fungi (Pirngadi, 2009).
Menurut Saraswati dan Praptana (2017), Pengomposan adalah suatu proses
dekomposisi yang dilakukan oleh agen dekomposer (bakteria, actinomycetes, fungi,
dan organisme tanah) terhadap residu tanaman. Proses pengomposan alami bahan
organik berserat lignin dan selulosa oleh agen dekomposer membutuhkan waktu
lama. Kecepatan dekomposisi dan kualitas kompos tergantung pada keadaan dan jenis
mikroba yang aktif selama proses pengomposan. Kondisi optimum bagi aktivitas
mikroba perlu diperhatikan selama proses pengomposan, dalam hal aerasi,
kelembaban, media tumbuh dan sumber makanan bagi mikroba. Pengomposan
merupakan suatu metode untuk mengkonversi bahan organik menjadi bahan yang
lebih sederhana menggunakan aktivitas mikroba atau dekomposisi menggunakan
aktivitas mikroba.
II.8. Larutan EM4
Menurut Rasmito et al. (2019), Larutan effective microorganism 4 yang
disingkat EM4 ditemukan pertama kali Prof. Dr. Teuro Higa dari Universitas
Ryukyus, Jepang. Larutan EM4 ini berisi mikroorganisme fermentasi. Jumlah
mikroorganisme fermentasi EM4 sangat banyak, sekitar 80 genus. Dari sekian banyak
mikroorganisme, ada lima golongan utama yang terkandung di dalam EM4, yaitu
bakteri fotosintetik, lactobacillus sp., Streptomyces sp., ragi (yeast), Actinomycetes.
Mikroorganisme efektif atau EM adalah suatu kultur campuran berbagai
mikroorganisme yang dapat digunakan sebagai inokulan untuk meningkatkan
keragaman mikroba tanah dan dapat memperbaiki kesehatan serta kualitas tanah.
Banyak ahli yang berpendapat bahwa effective microorganisms (EM4) bukan
digolongkan dalam pupuk. EM4 merupakan bahan yang membantu mempercepat
proses pembuatan pupuk organik dan meningkatkan kualitasnya. Selain itu, EM4 juga
bermanfaat memperbaiki struktur dan tekstur tanah menjadi lebih baik serta
menyuplai unsur hara yang dibutuhkan tanaman. Dengan demikian penggunaan EM4
akan membuat tanaman menjadi lebih subur, sehat dan relative tahan terhadap
serangan hama dan penyakit. Untuk mempercepat proses pengomposan umumnya
diakukan dalam kondisi aerob karena tidak menimbulkan bau. Namun, proses
mempercepat proses pengomposan dengan bantuan effective microorganisms (EM4)
berlangsung secara anaerob (sebenarnya semi anaerob karena masih ada sedikit udara
dan cahaya). Dengan metode ini, bau yang dihasilkan ternyata dapat hilang bila
proses berlangsung dengan baik. Jumlah mikroorganisme fermentasi di dalam EM4
sangat banyak sekitar 80 genus (Nur et al., 2016).
Menurut Maemunah et al. (2016), Penggunaan mikroorganisme efektif (EM4)
merupakan salah satu teknologi yang dapat digunakan dalam usaha pengelolaan
pertanian yang mampu mengurangi pengaruh negatif terhadap lingkungan.[13]
Komposisi EM4 adalah beberapa mikroorganisme dan unsur hara. Mikroorganisme
yang terdapat pada EM4 adalah total plate count: 2,8 x 106, bakteri pelarut fosfat: 3,4
x 105, Lactobacillus 3,0 x 105,72 yeast 1,95 x 103, Actinomycetes, dan bakteri
fotosintesis.
II.9. Standar Kadar N, P dan K pada Pupuk
Berdasarkan SNI 19-7030-2004 tentang spesifikasi kompos dari sampah
organik domestik yang menyatakan bahwa standar kualitas kompos untuk kadar
unsur N, P, K pada pupuk kompos adalah unsur hara N 0,40%, unsur hara P 0,10%
dan unsur hara K 0,20%. Tersedianya nitrogen dalam pupuk kompos ini karena
terjadi proses dekomposisi bahan organik yang dilakukan oleh mikroorganisme.
Nitrogen ini diperoleh melalui tiga tahapan reaksi, yaitu reaksi aminasi, reaksi
amonifikasi, dan reaksi nitrifikasi. Reaksi aminasi adalah reaksi penguraian protein
yang terdapat pada bahan organik menjadi asam amino, reaksi amonifikasi adalah
perubahan asam-asam amino menjadi senyawa-senyawa ammonia (NH3) dan
ammonium (NH4+) dan reaksi nitrifikasi adalah perubahan senyawa ammonia
menjadi nitrat dengan melibatkan bakteri Nitrosomonas dan Nitrosococus (Indrawan
et al., 2016).
Menurut Wiyantoko et al. (2017), kandungan unsur hara pada pupuk NPK
adalah nitrogen 15% dalam bentuk NH3, fosfor 15% dalam bentuk P2O5, dan kalium
15% dalam bentuk K2O. Sifat nitrogen (pembawa nitrogen) terutama dalam bentuk
amoniak menambah sifat keasaman tanah yang dapat menunjang pertumbuhan
tanaman Secara umum parameter kualitas pupuk NPK padat seperti kandungan
nitrogen, fosfor, kadar air, cemaran logam (Pb, Cd, Hg) dan arsen (As). Nitrogen
merupakan unsur hara utama bagi tumbuhan yang pada umumnya sangat diperlukan
untuk pembentukan atau pertumbuhan bagian-bagian tanaman seperti daun, batang,
dan akar tetapi jika jumlahnya terlalu banyak dapat menghambat pembungaan dan
pembuahan pada tanaman.
Menurut Wullandari dan Siregar (2017), kandungan kadar hara makro pupuk
yang dianalisa yaitu nitrogen (N), fosfor (P2O5) dan K2O. Unsur hara makro adalah
unsur hara yang dibutuhkan tanaman dalam jumlah yang banyak. Fosfat merupakan
sumber anorganik alam dari fosfor (P) yang dibutuhkan tanaman sebagai nutrisi
utama bagi pertumbuhan, pembentukan protein, akar, pematangan biji, meningkatkan
hasil biji dan umbi serta memperkuat tubuh tanaman.
II.10. Baku Mutu Pupuk Organik
Menurut Fadilah et al. (2019), baku mutu Peraturan Menteri Pertanian Nomor
70/Permentan/SR.140/10/2011 menyebutkan persyaratan teknis minimal pupuk
organik cair untuk kandungan hara makro N, P dan K sebesar 3-6 % serta nilai pH 4-
9. Nitrogen dapat diperoleh dari bahan organik dan udara yang difiksasi oleh
mikroorganisme tertentu. Faktor yang mempengaruhi hasil peruraian protein yakni
sifat bahan, jenis mikroba yang tumbuh selama proses fermentasi, kondisi fermentasi
dan lama fermentasi. Faktor lain yang mempengaruhi hasil penelitian ini dikarenakan
kecepatan mikroba yang berbeda-beda dalam mengurai bahan fermentasi serta jumlah
bakteri yang terkandung dalam pupuk organik cair mengakibatkan bakteri tersebut
mengkonsumsi banyak mineral dalam pupuk organik cair juga lebih sedikit serta
proses fermentasi mempengaruhi kandungan hara dalam pupuk.
Menurut Priadi dan Kusmawan (2017), kadar nitrogen pada pupuk kompos
menurut SNI 19-7030-2004 adalah nilai nitrogen >0,40%, nilai P 2O5 yaitu >0,10%
dan K2O yaitu >0,20%. Untuk memperoleh kadar air yang sesuai dengan baku mutu
yaitu 15-25% maka kompos harus dikeringkan terlebih dahulu sebelum diujicobakan
kepada tanaman. Kadar air yang terlalu tinggi akan menyebabkan terlarutnya nutrisi
dan mikrooganisme patogen dalam timbunan kompos. Derajat keasaman (pH)
kompos yang dihasilkan masih berada dalam rentang baku mutu karena pH tidak
dipengaruhi oleh kadar air.
Menurut Badan Standarisasi Nasional (BSN), kematangan kompos
ditunjukkan dengan hal – hal sebagai berikut :
1) C/N – rasio memiliki nilai (10-20) : 1
2) Suhu sesuai dengan suhu air tanah
3) Berwarna kehitaman dan tekstur seperti tanah
4) Berbau tanah
Peraturan mengenai baku mutu pupuk organik dikeluarkan dalam peraturan
SNI 19-7030-2004.

III. MATERI DAN METODE


III.1. Materi Praktikum
III.1.1.Alat
NO ALAT FUNGSI
1 Gunting Menggunting sampel rumput laut
2 Botol Plastik 1L tempat menampung bahan organik yang akan dijadikan
kompos
3 Neraca Digital Menimbang sampel rumput laut dan kompos
4 Ember Wadah Em4 dan Reuse
5 Sendok Meratakan cairan aktivatorpada sampel kompos
6 Plastik Menutup wadah kompos
7 Karet Menahan plastik pada wadah kompos sebagai tutup
8 Gelas Ukur Mengukur volume Em4 dan Reuse yang akan digunakan
9 Gelas Beaker Sebagai tempat pengenceran
10 Kamera Untuk dokumentasi kegiatan
11 Tissue Membersihkan kotoran dan wadah sampel saat ditimbang

III.1.2.Bahan
NO BAHAN FUNGSI
1 Kulit Udang Sebagai sampel yang akan dijadikan kompos
2 Pupuk Sebagai penambah nutrisi
3 Gula Merah Cair Sebagai tambahan energi dalam proses dekomposisi
4 Aquades Untuk mengencerkan Em4
III.1.3.Waktu Praktikum
3.1.3.1.Pembuatan Pupuk
Hari, tanggal : Kamis, 26 September 2019
Waktu : 13.00 – 15.00 WIB
Tempat : Laboratorium Basah Gedung E Lantai 1, Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro, Semarang.
3.1.3.2.Pengamatan Minggu ke-1
Hari, tanggal : Kamis, 3 Oktober 2019
Waktu : 13.00 – 14.00
Tempat : Laboratorium Basah Gedung E Lantai 1, Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro, Semarang.
3.1.3.3.Pengamatan Minggu ke-2
Hari, tanggal : Kamis, 10 Oktober 2019
Waktu : 13.00 – 14.00
Tempat : Laboratorium Basah Gedung E Lantai 1, Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro, Semarang.
3.1.3.4.Pengamatan Minggu ke-3
Hari, tanggal : Kamis, 17 Oktober 2019
Waktu : 13.00 – 14.00
Tempat : Laboratorium Basah Gedung E Lantai 1, Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro, Semarang.
III.2. Metode
III.2.1.Pengenceran EM4
1. Alat dan bahan disiapkan.
2. Gula merah cair dituangkan kedalam ember sebanyak 150 ml dengan
perbandingan 1 : 5.
3. Larutan EM4 dituangkan kedalam ember yang berisi gula merah cair
sebanyak 200 ml.
4. Air sebanyak 850 ml dituangkan kedalam ember yang berisi campuran
gula merah cair dan larutan EM4.
5. Larutan dihomogenkan dengan cara diaduk.
III.2.2.Pengenceran Reuse
1. Alat dan bahan disiapkan.
2. Gula merah cair dituangkan kedalam ember sebanyak 150 ml dengan
perbandingan 1 : 5.
3. Larutan Reus dituang kedalam ember yang berisi gula merah cair
sebanyak 200 ml.
4. Air dituang sebanyak 850 ml kedalam ember yang telah berisi campuran
gula merah cair dan reus.
5. Larutan dihomogenkan dengan cara diaduk.
III.2.3.Cara Pembuatan Pupuk
1. Alat dan bahan disiapkan.
2. Rumput laut yang telah dikeringkan dipotong kecil – kecil sebanyak 200
gram dan dibagi menjadi tiga wadah, sehingga setiap wadah terdapat 66,6
gram rumput laut kering.
3. Pupuk kompos dimasukkan kedalam botol plastik yang telah dipotong
setengahnya dan pupuk kompos ditimbang sebanyak 50 gram.
4. Rumput laut kering 66,6 gram diletakkan diatas pupuk sebagai layer
kedua, kemudian ditimbun lagi dengan pupuk sebanyak 50 gram sebagai
layer ketiga.
5. Pembuatan layer kompos dilakukan 3 kali di tiga botol plastik yang
berbeda.
6. Setiap botol diberi satu macam perlakuan, yaitu kontrol (tidak diberi
larutan apapun), diberi larutan EM4 sebanyak 25 ml dan diberi larutan
reus 25 ml.
7. Komposter ditekan – tekan dengan sendok agar seluruh bagian terkena
larutan, apabila larutan kurang dapat ditambahkan sebanyak kelipatan 25
ml agar semua layer basah.
8. Botol ditutup menggunakan plastik, agar kedap udara botol dan plastik
ditahan dengan karet.
9. Komposter sudah siap diinkubasi selama 1 bulan dan diamati perubahan
tekstur, warna, nilai pH dan suhu per satu minggu.
10. Setelah 4 minggu dilakukan uji NPK pada kompos.
III.2.4.Pengamatan dan Analisis Data
1. Pengamatan dilakukan sebanyak satu kali seminggu selama 3 minggu
berturut – turut.
2. Perubahan yang diamati pada komposter adalah terkstur, warna, pH dan
suhu.
3. Perubahan tekstur dan warna komposter diamati dengan melihat
perubahan fisik, sedangkan perubahan pH dan suhu masing – masing
menggunakan kertas pH dan thermometer.
4. Hasil pengamatan tiap minggu dicatat.
5. Pada minggu ketiga dilakukan uji kadar N, P dan K pada sampel.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN


IV.1. Hasil
IV.1.1. Tabel Data Hasil Penggunaan EM4
N Pengamata Sampe Konsen Tekstur Warna p Suh [N [P [K
o n l -trasi H u ] ] ]
1 Minggu 1 Kulit 1:5 Lebih Coklat 7 36o - - -
Udang remah kehitama C
A n
Kulit 1:10 kasar Coklat 6 38o - - -
Udang gelap C
B
Kulit 1:15 padat Hitam 7 33o - - -
Udang coklat C
C
Kulit 1:20 Halus berair Hitam 6 34o - - -
Udang C
D
2 Minggu 2 Kulit 1:5 Lengket Coklat 7 32o - - -
Udang kehitama C
A n
Kulit 1:10 Halus berair Hitam - 34o - - -
Udang coklat C
B
Kulit 1:15 Padat Coklat - 34o - - -
Udang gembur kehitama C
C n
Kulit 1:20 Halus Hitam - 35o - - -
Udang berjamur C
D
3 Minggu 3 Kulit 1:5 Basah Coklat 7 32o
Udang kehitama C
A n
Kulit 1:10 Halus berair Hitam 7 32o
Udang coklat C
B
Kulit 1:15 Menggumpa Hitam 7 32o
Udang l C
C
Kulit 1:20 Basah Hitam - 35o
Udang belatung C
D

IV.1.2. Tabel Data Hasil Penggunaan Reuse


N Pengamata Sampe Konsen Tekstur Warna p Suh [N [P [K
o n l -trasi H u ] ] ]
1 Minggu 1 Kulit 1:5 Lembek Coklat 6, 36oC - - -
Udang kehitama 5
A n
Kulit 1:10 kasar Coklat 6 33oC - - -
Udang gelap
B
Kulit 1:15 lembek Coklat 6, 34oC - - -
Udang gelap 5
C
Kulit 1:20 Halus Hitam 7 34oC - - -
Udang berjamu
D r
2 Minggu 2 Kulit 1:5 Padat Coklat 6, 32oC - - -
Udang kehitama 5
A n
Kulit 1:10 Kasar Coklat - 34oC - - -
Udang berair gelap
B
Kulit 1:15 Padat Coklat - 35oC - - -
Udang kehitama
C n
Kulit 1:20 Basah Hitam - 35oC - - -
Udang belatung
D
3 Minggu 3 Kulit 1:5 Basah Coklat 7 31oC
Udang kehitama
A n
Kulit 1:10 Kasar Coklat 7 33oC
Udang berair gelap
B
Kulit 1:15 Lembek Coklat 7 33oC
Udang kehitam
C
Kulit 1:20 Basah Hitam - 33oC
Udang belatung
D

IV.1.3. Tabel Data Hasil Penggunaan Kontrol Negatif


N Pengamata Sampe Konsen Tekstur Warna p Suh [N [P [K
o n l -trasi H u ] ] ]
1 Minggu 1 Kulit 1:5 Keras Coklat 7 35oC - - -
Udang dan kehitama
A padat n
Kulit 1:10 kering Coklat 7 35oC - - -
Udang terang
B
Kulit 1:15 Kering Coklat 6, 34oC - - -
Udang terang 5
C
Kulit 1:20 Kering Hitam 7 34oC - - -
Udang kasar
D
2 Minggu 2 Kulit 1:5 kering Coklat 7 32oC - - -
Udang kehitama
A n
Kulit 1:10 kering Coklat - 36oC - - -
Udang terang
B
Kulit 1:15 Keras Coklat 34oC - - -
Udang
C
Kulit 1:20 Setenga Hitam - 35oC - - -
Udang h kasar
D
3 Minggu 3 Kulit 1:5 Kering Coklat 7 31oC
Udang kehitama
A n
Kulit 1:10 kering Coklat 7 34oC
Udang terang
B
Kulit 1:15 Keras Coklat 7 34oC
Udang
C
Kulit 1:20 Setenga Hitam - 33oC
Udang h kasar
D

IV.1.4. Tabel Hasil Kelompok


No Kontro Konsentrasi Tekstur Warna pH Suhu [N] [P] [K]
l
1. EM4 1:15 Padat Hitam 5 33 oC - - -
(+) empuk
2. Reuse 1:15 Lembe Coklat 6,5 34 oC 0,67% 0,41% 0,57%
k hitam
3. (-) 1:15 Keras Coklat 6,5 34 oC - - -

IV.2. Pembahasan

V. PENUTUP
V.1. Kesimpulan
1. Bahan organik yang digunakan yaitu kulit udang dengan morfologi
sebelum dilakukan pengomposan adalah kasar dan belum terdekomposisi,
setelah terjadi pengomposan dengan bantuan activator mendapat hasil
yang jauh lebih halus. Semakin besar konsentrasi aktivator yang
digunakan, semakin cepat pula proses dekomposisi pada pupuk.
2. Pengamatan perubahan sampel organik meliputi tekstur, warna, pH, dan
suhu yang dilakukan selama 3 minggu dengan hasil yang berbeda-beda.
3. Melalui pengamatan moroflogi yang yang telah diamati selama 3 minggu
mendapatkan hasil fisik yang lebih hancur dari minggu-minggu awal
karena telah terdekomposisi.
4. Kadar N, P, dan K yang didapatkan tiap sampel berbeda-beda, pada
sampel kulit udang kelompok kami didapatkan kadar N sebesar 0,67%,
kadar P sebesar 0,41%, dan kadar K sebesar 0,57%.

V.2. Saran
1. Praktikan lebih aktif saat praktikum berlangsung.
2. Jumlah alat yang digunakan untuk praktikum harap mencukupi sehingga
waktu lebih efisien.
3. Praktikan diharapkan lebih kondusif dan tertib saat praktikum maupun
pengamatan.

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai