Disusun Oleh :
ANA TSALISA F.
26040117140092
ILMU KELAUTAN C/ KELOMPOK 6
Tim Asisten
Defi Puspitasari 26020116120011
Valmay Savira 26020116120006
Krisnayanti Lubis 26020116120025
Bhanu Lintang Asmaradana 26020116120046
Dewi Kusumawati 26020116120047
Sidiq Sakti Prawira 26020116120051
Alun Samodra 26020116140145
Annisa Roro Syanindyta 26020116140170
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2019
LEMBAR PENGESAHAN
Mengetahui,
Asisten Asisten
Mengesahkan,
Mengetahui,
Koordinator Praktikum Asisten Praktikum
Menyetujui,
Koordinator Dosen Praktikum
Bioteknologi Laut
Halaman
BAB I. PENDAHULUAN…………………………..………………………… 1
1.1. Latar Belakang ……………………………………..……………. 2
1.2. Rumusan Masalah …………………….…………………………. 2
1.3. Tujuan ………………………………………………………..….. 2
1.4. Manfaat ………………………………………………………….. 3
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
1. Dokumentasi ................................................................................................ 30
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Lahan pertanian pada masa ini semakin berkurang kesuburannya dikarenakan
banyaknya penggunaan lahan. Selain itu pengurangan kesuburan dapat diakibatkan karena
adanya pemakaian pupuk kima yang terus – menerus digunakan. Tidak adanya pemulihan
kesuburan juga mengakibatkan semakin berkurangnya kesuburan lahan. Untuk
mempertahankan kesuburan dari suatu lahan dapat digunakan pupuk kompos organik. Pupuk
kompos yang biasa digunakan adalah pupuk kompos yang berasal dari bahan organik.
Pembuatan pupuk kompos membutuhkan waktu yang cukup lama sehingga harus digunakan
mikroorganisme sebagai biodekomposer.
Bahan organik diproses terlebih dahulu agar mendapatkan pupuk organik yang
berkualitas baik. Bahan organik harus melalui proses pengomposan agar didapatkan hasil
pupuk yang berkualitas. Kualitas suatu pupuk dapat dilihat dari kematangan dalam proses
pengomposan. Terdapat beberapa kriteria sehingga didapatkan kompos yang berkualitas baik.
Biodekomposer dapat digunakan dalam pupuk kompos organik agar mempercepat proses
pembusukan. Biodekomposer sendiri biasanya merupakan bakteri konsorsium yang akan
menguraikan bahan organik yang ada di dalam pupuk. Penggunaan biodekomposer dapat
meningkatkan hasil dari pengomposan. Penggunaan bahan ini dapat meningkatkan efektifitas
dari pembuatan pupuk kompos organik.
Pemakian pupuk pada waktu yang bersamaan (awal musim hujan) oleh petani,
mengakibatkan sering terjadi kelangkaan pupuk di pasaran, walaupun ada harganya sangat
tinggi, sehingga sebagian petani tidak sanggup membeli, akibatnya tanaman tidak dipupuk,
produksi tidak optimal. Perlu ada trobosan untuk mengatasi hal tersebut, salah satu
diantaranya adalah pembuatan pupuk organik (kompos).
1.3. Tujuan
1. Mengetahui morfologi bahan organik dengan konsentrasi aktivator yang berbeda-
beda dari waktu awal dan akhir (T0-Tn).
2. Pengamatan sampel organik dari (T0-Tn).
3. Mengetahui ciri-ciri fisik melalui pengamatan morfologi dan pengomposan suatu
bahan organik.
4. Mengetahui perbedaan kadar NPK pada jenis-jenis sampah organik yang berbeda
1.4. Manfaat
1. Mahasiswa mengetahui cara pembuatan pupuk.
2. Mahasiswa mengetahui perbedaan morfologi bahan organik dengan konsentrasi
activator yang berbeda-beda.
3. Mahasiswa mengetahui perbedaan kadar N,P,K pada jenis-jenis sampah organik
yang berbeda.
2.7. Dekomposisi
Menurut Susanti dan Wawan (2017), dekomposisi serasah merupakan peristiwa
perubahan secara fisik maupun kimiawi yang sederhana oleh mikroorganisme tanah baik
bakteri, fungi, dan hewan tanah lainnya. Peristiwa ini sering juga disebut mineralisasi yaitu
proses penghancuran bahan organik yang berasal dari hewan dan tanaman yang berubah
menjadi senyawasenyawa anorganik sederhana. Proses dekomposisi ini penting dalam siklus
ekologi dalam hutan sebagai salah satu asupan unsur hara ke dalam tanah bahwa proses
dekomposisi serasah ini berperan penting dalam siklus karbon dan nutrisi lain.
Menurut Saptiningsih dan Haryanti (2015), proses dekomposisi adalah gabungan dari
proses fragmentasi, perubahan struktur fisik dan kegiatan enzim yang dilakukan oleh
dekomposer yang merubah bahan organik menjadi senyawa anorganik. Proses dekomposisi
dimulai dari proses penghancuran atau pemecahan struktur fisik yang dilakukan oleh hewan
pamakan bangkai (scavenger) terhadap tumbuhan dan menyisakan sebagian bahan organik
mati menjadi seresah, debris atau detritus dengan ukuran yang lebih kecil. Secara biologi
bakteri yang melakukan proses secara enzimatik terhadap partikel-partikel organik. Bakteri
mengeluarkan enzim protease, selulase, ligninase yang digunakan untuk menghancurkan
molekul-molekul organik komplek seperti protein dan karbohidrat dari tumbuhan yang telah
mati. Beberapa senyawa yang dihasilkan digunakan oleh dekomposer. Tingkat kecepatan
dekomposisi tergantung pada kandungan lignin, polifenol, selulose dan karbohidrat bahan
organik. Dekomposisi bahan organik dalam tanah pada akhirnya akan meninggalkan materi
yang tahan terhadap proses dekomposisi, materi ini disebut humus.
Proses dekomposisi bahan organik dilaksanakan oleh berbagai kelompok
mikroorganisme heterotropik, seperti bakteri, fungi, aktinomisetes, dan protozoa. Organisme
tersebut mewakili jenis flora dan fauna tanah. Selama proses dekomposisi berlangsung,
terjadi perubahan secara kualitatif dan kuantitatif. Pada tahap awal proses dekomposisi,
akibat perubahan lingkungan beberapa spesies flora menjadi aktif dan berkembang dalam
waktu relatif singkat, kemudian menurun untuk memberikan kesempatan pada jenis lain
untuk berkembang. Pada minggu kedua dan ketiga, kelompok yang berperan aktif dalam
proses pengomposan adalah bakteri 106-107, bakteri amonifikasi (104), bakteri proteolitik
(104), bakteri pektinolitik (103), dan bakteri penambat nitrogen (103). Mulai hari ketujuh,
kelompok mikroba meningkat jumlahnya dan setelah hari ke-14 terjadi penurunan, kemudian
meningkat kembali pada minggu keempat. Mikroorganisme yang berperan adalah
selulopatik, lignolitik, dan fungi (Pirngadi, 2009).
4.1. Hasil
4.1.1. Tabel Data Hasil Penggunaan EM4
Tabel 5. Hasil Penggunaan EM4
4.2. Pembahasan
Berdasarkan praktikum kali ini, sampel yang digunakan adalah kulit udang. Limbah
kulit udang dipotong kecil-kecil untuk dijadikan pupuk. Pupuk organik dari kulit udang
tersebut diamati selama 3 minggu dimana terdapat 3 sampel yang diberikan perlaukan
berbeda. Sampel pertama diberi larutan EM4, sampel kedua diberi larutan Reuse dan sampel
ketiga merupakan kontrol negatif. Sampel pertama yang diberi EM4 kelas C memiliki
konsentrasi 1:15. Pengamatan minggu pertama, sampel memiliki tekstur padat empuk
dimana kelas lain ada yang bertekstur keras, kasar dan halus berair. Suhu dari pengamatan
minggu pertama menunjukkan 33oC dan rata – rata suhu dari sampel lain sebesar 35oC.
Warna sampel pada minggu pertama menunjukkan warna hitam coklat. Pengamatan minggu
kedua sampel kelas C menunjukkan tekstur yang empuk gembur dan warna berubah hitam
coklat ke hitam. Suhu menunjukkan angka 34oC dimana sampel lain menunjukkan suhu rata
– rata 34oC. Pengamatan minggu ketiga sampel kelas C menunjukkan tekstur basah dan
warna berubah menjadi hitam pekat. pH kompos pada minggu 1 menunjukkan angka 7
dimana pH kompos yang baik adalah 7, sedangkan rata-rata pH kelas lain menunjukkan
angka 6,5. pH kompos pada minggu 3 menunjukkan angka 7 dimana pH kompos yang baik
adalah 7. Suhu kompos menunjukkan 33oC.
Sampel yang diberi Reuse kelas C memiliki konsentrasi 1:15. Pengamatan minggu
pertama, sampel memiliki tekstur lembek dimana kelas lain ada yang bertekstur kasar sampai
halus berjamur. Suhu dari pengamatan minggu pertama menunjukkan 34oC dan rata – rata
suhu dari sampel lain sebesar 34oC. Warna sampel pada minggu pertama menunjukkan warna
coklat gelap. Pengamatan minggu kedua sampel kelas C menunjukkan tekstur yang empuk
namun padat dan warna menjadi semakin coklat kehitaman. Suhu menunjukkan angka 35oC
dimana sampel lain menunjukkan suhu rata – rata 34oC. Pengamatan minggu ketiga sampel
kelas C menunjukkan tekstur lembek dan warna tetap yaitu coklat kehitaman. pH kompos
pada minggu 3 menunjukkan angka 7 dimana pH kompos yang baik adalah 7. Suhu kompos
menunjukkan 33oC.
Sampel ketiga yang tidak diberi perlakukan kelas C memiliki konsentrasi 1:15.
Pengamatan minggu pertama, sampel memiliki tekstur kasar dimana kelas lain ada yang
bertekstur kering sampai kering gersang. Suhu dari pengamatan minggu pertama
menunjukkan 34oC dan rata – rata suhu dari sampel lain sebesar 34,5oC. Warna sampel pada
minggu pertama menunjukkan warna coklat. Pengamatan minggu kedua sampel kelas C
menunjukkan tekstur yang berubah yaitu berubah menjadi keras dan warna tetap coklat. Suhu
menunjukkan angka 34oC dimana sampel lain menunjukkan suhu rata – rata 34 oC.
Pengamatan minggu ketiga sampel kelas C menunjukkan tekstur tetap keras dan warna tetap
yaitu coklat. pH kompos pada minggu 3 menunjukkan angka 7 dimana pH kompos yang baik
adalah 7. Suhu kompos menunjukkan 34oC sedangkan suhu rata-rata adalah 33oC
Kompos kulit udang kelas C menunjukkan kompos yang baik pada hampir di semua
pengamatan. Kompos kulit udang kelas C menunjukkan testur yang empuk dengan pH netral
yaitu 7. Kompos kulit udang merupakan salah satu kompos yang memanfaatkan limbah
makanan berupa udang atau limbah budidaya. Kompos limbah kulit udang diketahui dapat
mengendalikan hama penyakit pada tanaman, sehingga perannya dapat membantu dalam
mendukung pertanian organik. Ekstrak kompos kulit udang efektif dalam mengendalikan
penyakit karat daun pada tanaman kacang panjang dengan nilai penekanan penyakit sebesar
59,4%, penyakit busuk daun pada tanaman oyong dan mentimun dengan penekanan penyakit
sebesar 10,31% dan 14,85%. Penggunaan ekstrak kompos limbah udang dapat meningkatkan
produksi tanaman oyong dan kacang panjang secara berurutan yaitu 17,40% dan 24,47%
(Syahri et al., 2014).
Nilai N pada suatu pupuk memiliki standar yaitu >0,40%. Sedangkan nilai P memiliki
standar seniali >0,10%. Nilai K pada pupuk memiliki standar yaitu >0,20%. Kelompok 6C
dengan sampel kulit udang pada pupuk yang diberi Reuse memiliki nilai NPK sebesar
N=0,67%, P=0,41%, K=0,57% yang berarti kompos kulit udang kelompok 6C diatas standar.
Nitrogen sangat diperlukan untuk protein pertumbuhan daun, dan mendukung proses
metabolisme seperti fotosintesis. Fosfor berperan dalam memacu pertumbuhan akar dan
pembentukan sistem perakaran yang baik pada tanaman muda. Kalium berperan membantu
pembentukan protein dan karbohidrat (Ruhnayat, 2007).
V. PENUTUP
5.1. Kesimpulan
1. Bahan organik yang digunakan oleh kelompok 1C adalah kulit udang dengan
konsentrasi cairan aktivator sebesar 1 :15.
2. Pengamatan perubahan sampel organik dilakukan selama 3 minggu berturut –
turut hingga telihat adanya perubahan pada sampel organik.
3. Ciri fisik yang diamati dalam pengamatan morfologi dan pengomposan bahan
organik adalah tekstur, warna, pH dan suhu.
4. Hasil NPK tertinggi dari berbagai bahan organik pada kelas C adalah N = 0,67%;
P = 0,41% dan K = 5,7%.
5.2. Saran
1. Pembagian jadwal pengamatan harap diperjelas dan asisten harap mendampingi.
2. Jumlah alat yang digunakan untuk praktikum seharusnya mencukupi sehingga
mempersingkat waktu.
3. Praktikan diharapkan lebih kondusif dan tertib saat praktikum maupun
pengamatan.
DAFTAR PUSTAKA
Sudarmadji, S., Kasmidjo, R., Sardjono, Wibowo, D., Margino, S., & Rahayu, E. S. (1989).
Mikrobiologi pangan. UGM Yogyakarta.
Surtinah. 2013. Pengujian Kandungan Unsur Hara Dalam Kompos Yang Berasal Dari
Serasah Tanaman Jagung Manis (Zea Mays Saccharata). Jurnal Ilmiah Pertanian.
Vol. 11(1): 1-7.
Susanti P.D. dan W. Halwany. 2017. Dekomposisi Serasah dan Keanekaragaman
Makrofauna Tanah pada Hutan Tanaman Industri Nyawai (Ficus variegate.
Blume). Jurnal Ilmu Kehutanan, 11:212-223.
Syafruddin dan Safrizal H.D. 2013. Pengaruh Konsentrasi Dan Waktu Aplikasi Em4
Terhadap Pertumbuhan Dan Produksi Cabai (Capsicum Annum L.) Pada Tanah
Entisol. Jurnal Agrista, 17(2): 71-77.
Syahri, Hartono dan Suwandi. 2014. Pemanfaatan Ekstrak Kompos Kulit Udang Dalam
Pengendalian Penyakit Dan Peningkatan Produksi Tanaman Sayuran. Prosiding
Seminar Nasional Pertanian Organik.
Waluyo. L, 2005,Mikrobiologi Lingkungan, UMM Press, Malang.
DOKUMENTASI