Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN RESMI

PRAKTIKUM BIOTEKNOLOGI LAUT

Disusun Oleh :
ANA TSALISA F.
26040117140092
ILMU KELAUTAN C/ KELOMPOK 6

Tim Asisten
Defi Puspitasari 26020116120011
Valmay Savira 26020116120006
Krisnayanti Lubis 26020116120025
Bhanu Lintang Asmaradana 26020116120046
Dewi Kusumawati 26020116120047
Sidiq Sakti Prawira 26020116120051
Alun Samodra 26020116140145
Annisa Roro Syanindyta 26020116140170

DEPARTEMEN ILMU KELAUTAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG

2019
LEMBAR PENGESAHAN

Nama : Ana Tsalisa F.


NIM : 26040117140092
Tanda Tangan :

Mengetahui,

Asisten Asisten Asisten

Valmay Savira Defi Puspitasari Krisnayanti Lubis


NIM. 26020116120006 NIM. 26020116120011 NIM. 26020116120025

Asisten Asisten Asisten

Bhanu Lintang A Dewi Kusumawati Sidiq Sakti Prawira


NIM. 26020116120046 NIM. 26020116120047 NIM. 26020116120051

Asisten Asisten

Alun Samodra Annisa Roro Syanindyta


NIM. 26020116140145 NIM. 26020116140170

Mengesahkan,

Koordinator Dosen Praktikum Koordinator Asisten Praktikum


Bioteknologi Laut Bioteknologi Laut

Prof. Dr. Ir. Delianis Pringgenies, M.Sc Defi Puspitasari


NIP. 19581007 198703 2 001 NIM. 26020116120011
LEMBAR PENILAIAN

Judul : Pembuatan Pupuk Organik menggunakan Bakteri Konsorsium

Nama: Ana Tsalisa F. NIM: 26040117140092 Ttd:


NO. KETERANGAN NILAI
1. Pendahuluan
2. Tinjauan Pustaka
3. Materi dan Metode
4. Hasil dan Pembahasan
5. Kesimpulan
6. Daftar Pustaka
TOTAL

Mengetahui,
Koordinator Praktikum Asisten Praktikum

Defi Puspita Sari Alun Samodra


NIM. 26020112130038 NIM. 26020116140145

Menyetujui,
Koordinator Dosen Praktikum
Bioteknologi Laut

Prof. Dr. Ir. Delianis Pringgenies, M.Sc


NIP. 19581007 198703 2 001
DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN ……………….…………...…………………..…. ii


LEMBAR PENILAIAN ……………….…….………...…………………..…. iii

DAFTAR ISI …………………………………………...…………………..…. iv

DAFTAR TABEL ………………………………………..……..…………….. vi

DAFTAR GAMBAR …………………………………..…..………………….. vii

BAB I. PENDAHULUAN…………………………..………………………… 1
1.1. Latar Belakang ……………………………………..……………. 2
1.2. Rumusan Masalah …………………….…………………………. 2
1.3. Tujuan ………………………………………………………..….. 2
1.4. Manfaat ………………………………………………………….. 3

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………... 4


2.1. Bakteri Konsorsium ……………………………………………… 4
2.2. Uji Aktivitas Antibakteri Bakteri Konsorsium …………………... 5
2.3. Uji Sinergisitas Bakteri Konsorsium …………………………….. 6
2.4. Bahan Organik …………………………………………………… 7
2.5. Pupuk Organik …………………………………………………… 9
2.6. Proses Fermentasi ………………………………………………... 11
2.7. Dekomposisi ……………………………………………………... 13
2.8. Larutan Em4 14
……………………………………………………… 15
2.9. Standar Kadar N, P, Dan K Pada Pupuk …………………………. 17
2.10. Baku Mutu Ppupuk Organik …………………………………….
19
BAB III. MATERI DAN METODE…………………………………………. 21
3.1. Materi Praktikum ………………………………………………… 23
3.1.1. Alat ………………………………………………………… 24
3.1.2. Bahan ……………………………………………………… 26
3.1.3. Waktu Praktium …………………………………………… 27
3.2 Metode Praktikum ………………………………………………… 29
3.2.1. Pengenceran Em4 …………………………………………. 29
3.2.2 Pengenceran Reus ………………………………………………. 30
3.2.3. Cara Pembuatan Pupuk ……………………………………. 31
3.2.4. Pengamatan Dan Analisis Data …………………………...

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN……………………………………...


4.1.Hasil ………………………………………………………………. 32
4.1.1.Tabel Data Hasil Penggunaan Em4 ….....………………… 33
4.1.2. Tabel Data Hasil Penggunaan Reuse ……………………… 34
4.1.3. Tabel Data Hasil Penggunaan Kontrol Negatif …………… 34
4.1.4. Tabel Data Hasil Kelompok …………………………….. 35
4.2. Pembahasan ………………………………………………………. 37
38
BAB V. PENUTUP…………………………………………………………….
5.1. Kesimpulan ………………………………………………………. 39
5.2. Saran ……………………………………………………………... 39
40
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………..
41
LAMPIRAN ……………………………………………………………………

DAFTAR TABEL

1. Standar SNI Pupuk Organik................................................................................17


2. Alat Praktikum ....................................................................................................19
3. Bahan Praktikum ................................................................................................19
4. Hasil Penggunaan EM4.......................................................................................22
5. Hasil Penggunaan Reuse .....................................................................................23
6. Hasil Penggunaan Kontrol Negatif .....................................................................24
7. Hasil Kelompok ..................................................................................................25

DAFTAR GAMBAR

1. Dokumentasi ................................................................................................ 30
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Lahan pertanian pada masa ini semakin berkurang kesuburannya dikarenakan
banyaknya penggunaan lahan. Selain itu pengurangan kesuburan dapat diakibatkan karena
adanya pemakaian pupuk kima yang terus – menerus digunakan. Tidak adanya pemulihan
kesuburan juga mengakibatkan semakin berkurangnya kesuburan lahan. Untuk
mempertahankan kesuburan dari suatu lahan dapat digunakan pupuk kompos organik. Pupuk
kompos yang biasa digunakan adalah pupuk kompos yang berasal dari bahan organik.
Pembuatan pupuk kompos membutuhkan waktu yang cukup lama sehingga harus digunakan
mikroorganisme sebagai biodekomposer.
Bahan organik diproses terlebih dahulu agar mendapatkan pupuk organik yang
berkualitas baik. Bahan organik harus melalui proses pengomposan agar didapatkan hasil
pupuk yang berkualitas. Kualitas suatu pupuk dapat dilihat dari kematangan dalam proses
pengomposan. Terdapat beberapa kriteria sehingga didapatkan kompos yang berkualitas baik.
Biodekomposer dapat digunakan dalam pupuk kompos organik agar mempercepat proses
pembusukan. Biodekomposer sendiri biasanya merupakan bakteri konsorsium yang akan
menguraikan bahan organik yang ada di dalam pupuk. Penggunaan biodekomposer dapat
meningkatkan hasil dari pengomposan. Penggunaan bahan ini dapat meningkatkan efektifitas
dari pembuatan pupuk kompos organik.
Pemakian pupuk pada waktu yang bersamaan (awal musim hujan) oleh petani,
mengakibatkan sering terjadi kelangkaan pupuk di pasaran, walaupun ada harganya sangat
tinggi, sehingga sebagian petani tidak sanggup membeli, akibatnya tanaman tidak dipupuk,
produksi tidak optimal. Perlu ada trobosan untuk mengatasi hal tersebut, salah satu
diantaranya adalah pembuatan pupuk organik (kompos).

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas, maka terdapat beberapa masalah yang
teridenfikasi yaitu pengaruh variasi bahan pembuatan pupuk organik terhadap kualitas pupuk
yang dihasilkan dan variasi agen fermentasi terhadap kualitas pupuk.

1.3. Tujuan
1. Mengetahui morfologi bahan organik dengan konsentrasi aktivator yang berbeda-
beda dari waktu awal dan akhir (T0-Tn).
2. Pengamatan sampel organik dari (T0-Tn).
3. Mengetahui ciri-ciri fisik melalui pengamatan morfologi dan pengomposan suatu
bahan organik.
4. Mengetahui perbedaan kadar NPK pada jenis-jenis sampah organik yang berbeda

1.4. Manfaat
1. Mahasiswa mengetahui cara pembuatan pupuk.
2. Mahasiswa mengetahui perbedaan morfologi bahan organik dengan konsentrasi
activator yang berbeda-beda.
3. Mahasiswa mengetahui perbedaan kadar N,P,K pada jenis-jenis sampah organik
yang berbeda.

II. TINJAUAN PUSTAKA


2.1. Bakteri Konsorsium
Konsorsium merupakan campuran populasi mikroba dalam bentuk komunitas yang
mempunyai hubungan kooperatif, komensal, dan mutualistik. Anggota komunitas yang
mempunyai hubungan akan berasosiasi, sehingga lebih berhasil mendegradasi senyawa kimia
dibandingkan isolat tunggal. Hubungan antar bakteri konsorsium dalam keadaan substrat
yang mencukupi tidak akan saling mengganggu, tetapi saling bersinergi sehingga
menghasilkan efisiensi perombakan yang lebih tinggi selama proses pengolahan (Waluyo,
2005).
Bakteri adalah sel tunggal yang mempunyai bentuk seperti bola (coccus), tongkat/batang
(bacillus), atau spiral (vibrio). Umumnya bakteri memiliki diameter antara 0,5-2,5 pm. Istilah
Bacterium sendiri diperkenalkan oleh Ehrenberg pada tahun 1828, diambil dari kata Yunani
yang memiliki arti “small stick”. Penggunaan konsorsium mikroba cenderung memberikan
hasil yang lebih baik dibandingkan penggunaan isolat tunggal, karena diharapkan kerja enzim
dari tiap jenis mikroba dapat saling melengkapi untuk dapat bertahan hidup menggunakan
sumber nutrien yang tersedia dalam media pembawa tersebut (Ristiati et al., 2016).
Bakteri merupakan organisme yang paling melimpah dari semua organisme yang
tersebar di air, dan sebagai simbiosis dari organisme lain dan sebagian dari fungsi bakteri
adalah sebagai bakteri pengurai, misalnya mengurai daun-daun yang berguguran di sekitar
tanaman mangrove kemudian terjadi pembusukan daun mangrove atau serasah mangrove dan
akhirnya oleh bakteri pengurai diubah menjadi nutrisi. Salah satu proses pada ekosistem
mangrove yang memberikan kontribusi besar terhadap kesuburan perairan adalah proses
dekomposisi atau penghancuran serasah mangrove. Penghancuran serasah merupakan bagian
dari tahap proses dekomposisi, yang dapat menghasilkan nutrien penting dalam rantai
makanan, melalui produktivitas perairan disekitarnya. Bakteri pengurai merupakan kelompok
bakteri yang mampu mendekomposisi organisme lain yang telah mati menjadi unsurunsur
penyusunnya yang akan kembali ke lingkungan (Komarawidjaja, 2009).

2.2. Uji Aktivitas Antibakteri Bakteri Konsorsium


Uji aktivitas antibakteri dapat dilakukan dengan menggoreskan isolat bersinggungan satu
sama lain menggunakan metode gores sehingga antar isolat akan bertemu. Diinkubasi 24 jam
dan diamati apakah terdapat zona bening atau zona hambat diantara dua isolat yang
bersinggungan. Isolat dikatakan kompatibel apabila tidak terdapat zona penghambatan pada
daerah pertemuan kedua isolat, dan dikatakan tidak kompatibel apabila terdapat zona
penghambatan pada daerah pertemuan kedua isolat tersebut (Schlegel dan Schmidt, 1994).
Masing-masing empat jenis bakteri digoreskan bersinggungan satu sama lainnya pada
medium NB (nutrient broth). Sampel diinkubasi selama 24 jam dan selanjutnya diamati
apakah terdat zona hambat atau zona bening pada garis goresan yang bersinggungan. Bila
tidak tedapat zona hambat/zona bening pada garis bersinggungan, disimpulkan bahwa bakteri
saling sinergi atau kompatibel. Sebaliknya, bila terjadi zona hambat pada garis goresan yang
saling bersinggungan maka disimpulkan bahwa bakteri tidak kompatibel (Suskovic et al.,
2010).
Bakteri isolat yang didapatkan memiliki aktivitas untuk melawan bakteri pathogen S.
Aureus. Keempat isolat bakteri tersebut kemudian dikultur massal dengan media zobell cair
selama 1x24 jam kemudian hasil kultur massal bakteri tersebut dimasukkan dalam larutan
Peton, beef extrac, aquades. Sebelumnya Peton, beef extrac, aquades dicampukan sampai
homogen kemudian di masukan ke dalam erlenmeyer 300 ml, diseterilkan dalam autoclave
selama 15 menit. Selanjutnya didinginkan kemudian di inkubasikan sambil digoyangkan
secara memutar dengan putaran 150 rpm selama 2 hari. Campuran bakteri konsorsium
digunakan untuk uji daun sebagai bahan organik untuk menjadi kompos (Ngajow, 2013).

2.3. Uji Sinergisitas Bakteri Konsorsium


Uji sinergitas dapat dilakukan dengan menggoreskan masing-masing bakteri digoreskan
bersinggungan satu sama lainnya pada medium NB (nutrient broth). Sampel diinkubasi
selama 24 jam dan selanjutnya diamati apakah terdat zona hambat atau zona bening pada
garis goresan yang bersinggungan. Bila tidak tedapat zona hambat/zona bening pada garis
bersinggungan, disimpulkan bahwa bakteri saling sinergi atau kompatibel. Sebaliknya, bila
terjadi zona hambat pada garis goresan yang saling bersinggungan maka disimpulkan bahwa
bakteri tidak kompatibel (Pringgenies et al., 2018).
Uji sinergitas meliputi penggoresan isolat bersinggungan satu sama lain menggunakan
metode gores sehingga antar isolat akan bertemu. Diinkubasi 24 jam dan diamati apakah
terdapat zona bening atau zona hambat diantara dua isolat yang bersinggungan. Isolat
dikatakan kompatibel apabila tidak terdapat zona penghambatan pada daerah pertemuan
kedua isolat, dan dikatakan tidak kompatibel apabila terdapat zona penghambatan pada
daerah pertemuan kedua isolat tersebut (Elfiati, 2005).
Mekanisme sinergisme antar isolat dalam konsorsium masih belum diketahui dengan
pasti, namun beberapa penelitian menduga disebabkan karena beberapa faktor antara lain: (1)
salah satu anggota genus mampu menyediakan satu atau lebih faktor nutrisi yang tidak dapat
disintesis oleh anggota genus yang lain, (2) salah satu anggota genus yang tidak mampu
mendegradasi bahan organik tertentu akan bergantung pada anggota genus yang mampu
menyediakan hasil degradasi bahan organik tersebut, (3) salah satu anggota genus melindungi
anggota genus lain yang sensitif terhadap bahan organik tertentu dengan menurunkan
konsentrasi bahan organik yang bersifat toksik dengan cara memproduksi faktor protektif
yang spesifik maupun non spesifik (Siahaan, 2013)

2.4. Bahan Organik


Bahan yang memiliki komposisi yang kadar nitrogennya rendah akan memperlambat
proses pengomposan. Selain itu komposisi bahan ini juga dilihat dari segi mikroorganisme
yang terdapat pada bahan tersebut. Dalam pengelompokan bahan, sisa-sisa tanaman dan
binatang dapat dikategorikan menjadi bahan dengan sumber utama yaitu karbohidrat, lignin,
tannin, glikosida, asam-asam organik, lemak, resin, komponen nitrogen, pigmen-pigmen dan
bahan-bahan mineral. Berdasarkan pengelompokan bahan tersebut dapat dikategorikan bahan
yang dapat cepat mengalami dekomposisi dan bahan yang lambat mengalami dekomposisi.
Bagian bahan yang dapat mengalami dekomposisi dengan cepat diantaranya pati,
hemisellulosa, selulosa, protein dan bahan yang mudah larut dalam air, sedangkan bahan
yang sukar atau lambat mengalami dekomposisi diantaranya lignin, lilin atau lemak dan
tannin (Hartatik et al., 2015).
Pupuk organik merupakan hasil dekomposisi bahan-bahan organik baik tumbuhan kering
(humus) maupun limbah dari kotoran ternak yang diurai (dirombak) oleh mikroba hingga
dapat menyediakan unsur hara yang dibutuhkan tanaman untuk pertumbuhan dan
perkembangan tanaman. Pupuk organik sangat penting artinya sebagai penyangga sifat fisik,
kimia, dan biologi tanah sehingga dapat meningkatkan efisiensi pupuk dan produktivitas
lahan. Susunan kimia pupuk kandang berbeda-beda tergantung dari jenis ternak, umur ternak,
macam pakan, jumlah amparan, cara penanganan dan penyimpanan pupuk yang berpengaruh
positif terhadap sifat fisik dan kimiawi tanah, mendorong kehidupan mikroba tanah yang
mengubah berbagai faktor dalam tanah sehingga menjamin kesuburan tanah (Anggaraeny et
al., 2017).
Pupuk organik dapat meningkatkan anion-anion utama untuk pertumbuhan tanaman
seperti nitrat, fosfat, sulfat, borat, dan klorida serta meningkatkan ketersediaan hara makro
untuk kebutuhan tanaman dan memperbaiki sifat fisika, kimia dan biologi tanah. Pupuk
organik berdasarkan bentuk dan strukturnya dibagi menjadi dua golongan yaitu pupuk
organik padat dan pupuk organik cair. Pupuk organik mengandung asam humat dan asam
folat serta zat pengatur tumbuh yang dapat mempercepat pertumbuhan tanaman. Frekuensi
pemberian pupuk dengan dosis yang berbeda menyebabkan hasil produksi jumlah daun yang
berbeda pula dan frekuensi yang tepat akan mempercepat laju pembentukan daun.
Penggunaan pupuk organik mampu menjadi solusi dalam mengurangi aplikasi pupuk buatan
yang berlebihan dikarenakan adanya bahan organik yang mampu memperbaiki sifat fisika,
kimia, dan biologi tanah. Perbaikan terhadap sifat fisik yaitu menggemburkan tanah,
memperbaiki aerasi dan drainase, meningkatkan ikatan antar partikel, meningkatkan
kapasitas menahan air, mencegah erosi dan longsor, dan merevitalisasi daya olah tanah
(Susanti dan Wawan, 2017).

2.5. Pupuk Organik


Pupuk organik adalah pupuk yang berasal dari sisa-sisa organisme hidup seperti
tumbuhan, hewan, ataupun limbah organik lainnya, sedangkan pupuk organik cair merupakan
pupuk organik yang memiliki wujud berupa cairan sehingga pupuk ini mudah larut saat
digunakan. Pemberian pupuk selain perlu diatur konsentrasinya juga perlu diatur dosisnya.
Dosis pupuk yang digunakan harus seimbang dan sesuai dengan kebutuhan tanaman artinya
jumlah pupuk yang diberikan sama dengan jumlah unsur hara yang diserap oleh tanaman. Hal
ini dilakukan untuk mencegah terjadinya kelebihan dan kekurangan penggunaan pupuk NPK
karena apabila pupuk NPK diberikan pada dosis yang tinggi maka dapat menurunkan tingkat
kesuburan media tanam, apabila pupuk NPK diberikan pada dosis rendah maka dapat
menyebabkan pertumbuhan tanaman terhambat (Hartatik et al., 2015).
Pupuk organik adalah pupuk yang sebagian besar atau seluruhnya terdiri dari bahan
organik yang berasal dari tanaman dan atau hewan yang telah melalui proses rekayasa, dapat
dibentuk padat atau cair yang digunakan untuk mensuplai bahan organik, memperbaiki sifat
fisik, kimia dan biologi tanah. Pemberian pupuk organik dapat memperbaiki struktur tanah,
menaikan bahan serap tanah terhadap air, menaikan kondisi kehidupan di dalam tanah, dan
sebagai sumber zat makanan bagi tanaman. Sedangkan pemberian pupuk anorganik dapat
merangsang pertumbuhan secara keseluruhan khususnya cabang, batang, daun, dan berperan
penting dalam pembentukan hijau daun (Dewanto et al., 2013).
Menurut Peraturan Menteri Pertanian No.2/Pert./HK.060/2/2006, yang dimaksud dengan
pupuk organik adalah pupuk yang sebagian besar atau seluruhnya terdiri atas bahan organik
yang berasal dari sisa tanaman atau hewan yang telah mengalami rekayasa berbentuk padat
atau cair yang digunakan untuk memasok bahan organik, memperbaiki sifat fisik, kimia dan
biologi tanah. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi proses pembuatan pupuk organik
yaitu nilai C/N bahan, ukuran bahan, campuran bahan, mikroorganisme yang bekerja,
kelembaban dan aerasi, temperatur dan keasaman (pH) (Nur et al., 2016).

2.6. Proses Fermentasi


Fermentasi merupakan suatu proses terjadinya perubahan kimia pada suatu substrat
organik melalui aktivitas enzim yang dihasilkan oleh mikroorganisme seperti kapang, khamir
dan bakteri. Pertumbuhan mikroorganisme dalam proses fermentasi ini terjadi tanpa adanya
oksigen (anaerobik). Penelitian ini menggunakan bantuan mikroorganisme yaitu
Saccharomyces cereviseae yang terdapat pada ragi roti “Fermipan”. Fermentasi ini
menggunakan ragi untuk mengubah glukosa menjadi etanol dan CO2. Besarnya konsentrasi
alkohol yang dihasilkan pada proses fermentasi bergantung pada jenis ragi dan kadar glukosa
substratnya. Pemilihan substrat harus memperhatikan ketersediaan dan mudah untuk
diperoleh. Selain itu, pemilihan substrat juga diperhitungkan jumlah karbon yang tersedia
pada substrat yang akan digunakan (Nurcahyani dan Utami, 2015).
Fermentasi merupakan suatu proses perubahan kimia pada substrat organik melalui
aktivitas enzim yang dihasilkan oleh mikroorganisme. Proses fermentasi dibutuhkan starter
sebagai mikroba yang akan ditumbuhkan dalam substrat. Starter merupakan populasi mikroba
dalam jumlah dan kondisi fisiologis yang siap diinokulasikan pada media fermentasi.
Pemanfaatan limbah sayur hasil fermentasi berupa asam organik dapat digunakan sebagai
pengawetan secara biologi maupun sebagai starter fermentasi pakan (Rasmito et al., 2019).
Menurut Bahri et al. (2018), fermentasi adalah proses produksi energi dalam sel dalam
keadaan anaerobik (tanpa oksigen). Secara umum, fermentasi adalah salah satu bentuk
respirasi anaerobik, akan tetapi, terdapat definisi yang lebih jelas yang mendefinisikan
fermentasi sebagai respirasi dalam lingkungan anaerobik dengan tanpa akseptor elektron
eksternal. Gula adalah bahan yang umum dalam fermentasi. Beberapa contoh hasil fermentasi
adalah etanol, asam laktat, dan hidrogen. Akan tetapi beberapa komponen lain dapat juga
dihasilkan dari fermentasi seperti asam butirat dan aseton.

2.7. Dekomposisi
Menurut Susanti dan Wawan (2017), dekomposisi serasah merupakan peristiwa
perubahan secara fisik maupun kimiawi yang sederhana oleh mikroorganisme tanah baik
bakteri, fungi, dan hewan tanah lainnya. Peristiwa ini sering juga disebut mineralisasi yaitu
proses penghancuran bahan organik yang berasal dari hewan dan tanaman yang berubah
menjadi senyawasenyawa anorganik sederhana. Proses dekomposisi ini penting dalam siklus
ekologi dalam hutan sebagai salah satu asupan unsur hara ke dalam tanah bahwa proses
dekomposisi serasah ini berperan penting dalam siklus karbon dan nutrisi lain.
Menurut Saptiningsih dan Haryanti (2015), proses dekomposisi adalah gabungan dari
proses fragmentasi, perubahan struktur fisik dan kegiatan enzim yang dilakukan oleh
dekomposer yang merubah bahan organik menjadi senyawa anorganik. Proses dekomposisi
dimulai dari proses penghancuran atau pemecahan struktur fisik yang dilakukan oleh hewan
pamakan bangkai (scavenger) terhadap tumbuhan dan menyisakan sebagian bahan organik
mati menjadi seresah, debris atau detritus dengan ukuran yang lebih kecil. Secara biologi
bakteri yang melakukan proses secara enzimatik terhadap partikel-partikel organik. Bakteri
mengeluarkan enzim protease, selulase, ligninase yang digunakan untuk menghancurkan
molekul-molekul organik komplek seperti protein dan karbohidrat dari tumbuhan yang telah
mati. Beberapa senyawa yang dihasilkan digunakan oleh dekomposer. Tingkat kecepatan
dekomposisi tergantung pada kandungan lignin, polifenol, selulose dan karbohidrat bahan
organik. Dekomposisi bahan organik dalam tanah pada akhirnya akan meninggalkan materi
yang tahan terhadap proses dekomposisi, materi ini disebut humus.
Proses dekomposisi bahan organik dilaksanakan oleh berbagai kelompok
mikroorganisme heterotropik, seperti bakteri, fungi, aktinomisetes, dan protozoa. Organisme
tersebut mewakili jenis flora dan fauna tanah. Selama proses dekomposisi berlangsung,
terjadi perubahan secara kualitatif dan kuantitatif. Pada tahap awal proses dekomposisi,
akibat perubahan lingkungan beberapa spesies flora menjadi aktif dan berkembang dalam
waktu relatif singkat, kemudian menurun untuk memberikan kesempatan pada jenis lain
untuk berkembang. Pada minggu kedua dan ketiga, kelompok yang berperan aktif dalam
proses pengomposan adalah bakteri 106-107, bakteri amonifikasi (104), bakteri proteolitik
(104), bakteri pektinolitik (103), dan bakteri penambat nitrogen (103). Mulai hari ketujuh,
kelompok mikroba meningkat jumlahnya dan setelah hari ke-14 terjadi penurunan, kemudian
meningkat kembali pada minggu keempat. Mikroorganisme yang berperan adalah
selulopatik, lignolitik, dan fungi (Pirngadi, 2009).

2.8. Larutan Em4


Efektif mikroorganisme atau yang lebih dikenal dengan EM adalah suatu kultur
campuran berbagai mikroorganisme yang bermanfaat (terutama bakteri fotosintetik dan
bakteri asam laktat, ragi, Actinomycetes dan jamur peragian) yang dapat dipergunakan
sebagai inokulan untuk mengikat keragaman mikroba tanah.20 EM yang pertama kali
ditemukan dinamai EM 1 pada tahun 1980 oleh Teruo Higa dengan kandungan 8 jenis
species dan 10 genus mikroorganisme. EM adalah konsep mikroorganisme efektif yang
aplikasi praktisnya dikembangkan oleh Teruo Higa dari Universitas Ryukyus, di Okinawa
Jepang. Teruo Higa menemukan mikroorganisme yang dapat hidup bersama dalam kultur
campuran dan secara fisiologis dapat bergabung menjadi satu dengan yang lain, bila kultur ini
dimasukkan ke dalam lingkungan alami maka pengaruh baik masing – masing akan lebih
dilipatgandakan secara sinergis. Seiring dengan perkembangannya ditemukan pula
turunannya yaitu EM 2, EM 3, EM 4 dan EM 5 (Nur et al., 2016).
Konsep dan teknologi pemakaian EM ini masuk ke Indonesia pada tahun 1995 yang
pertama kali diaplikasikan di lahan pertanian Muhammad Djuhiya (Cisanea, Bandung) pada
tanaman horti dan di lahan pertanian Sari Asih (Desa Malaka Sari, Bandung) pada lahan padi.
Penerapannya sudah bagus tetapi teknologi dan informasi pemakaian EM ini masih sangat
kurang, maka pada tahun 1996 Dinas Pertanian Propinsi Bandung mengirimkan tim untuk
belajar tentang EM tersebut di Thailand, selanjutnya kegiatan sosialisasinya pertama kali
melalui TVRI Manado (Syafruddin dan Safrizal, 2013).
Effective Microorganisms 4 (EM4) merupakan kultur campuran dalam medium cair
berwarna coklat kekuningan, berbau asam dan terdiri dari mikroorganisme yang
menguntungkan bagi kesuburan tanah. Adapun jenis mikroorganisme yang berada dalam EM
4 antara lain : Lactobacillus Sp., Khamir, Actinomycetes, Streptomyces.12 EM 4 dalam
keadaan dormant / istirahat / belum aktif mengandung 90 % Lactobacillus sp dan sisanya /
genus yang lain dan pada keadaan asam maka bakteri streptomyces Sp. akan berperan lebih
aktif dan jika sudah diaktifkan dengan pemberian air / mollase / bahan organik maka total
kandungan mikroorganismenya adalah 80 genus atau 109 /gram dari kesemuanya ada lima
kelompok mikroorganisme yang sama, yaitu : Lactobacillus Sp., Actinomycetes Sp., ragi /
yeast, bakteri fotosintetik (Rhodopseudomonas Sp.) dan bakteri fermentasi (Pennicillium dan
Aspergillus niger). Kadar pH EM 4 yang masih dormant jika belum rusak sekitar < 3,5 jika
sudah melebihi 4 dan tidak berbau sedap lagi berarti EM 4 tersebut sudah rusak (Pringgenies
et al., 2018).

2.9. Standar Kadar N, P, Dan K Pada Pupuk


Berdasarkan SNI 19-7030-2004 tentang spesifikasi kompos dari sampah organik
domestik yang menyatakan bahwa standar kualitas kompos untuk kadar unsur N, P, K pada
pupuk kompos adalah unsur hara N 0,40%, unsur hara P 0,10% dan unsur hara K 0,20%.
Tersedianya nitrogen dalam pupuk kompos ini karena terjadi proses dekomposisi bahan
organik yang dilakukan oleh mikroorganisme. Nitrogen ini diperoleh melalui tiga tahapan
reaksi, yaitu reaksi aminasi, reaksi amonifikasi, dan reaksi nitrifikasi. Reaksi aminasi adalah
reaksi penguraian protein yang terdapat pada bahan organik menjadi asam amino, reaksi
amonifikasi adalah perubahan asam-asam amino menjadi senyawa-senyawa ammonia (NH3)
dan ammonium (NH4+) dan reaksi nitrifikasi adalah perubahan senyawa ammonia menjadi
nitrat dengan melibatkan bakteri Nitrosomonas dan Nitrosococus (Indrawan et al., 2016).
Menurut Wiyantoko et al. (2017), kandungan unsur hara pada pupuk NPK adalah
nitrogen 15% dalam bentuk NH3, fosfor 15% dalam bentuk P2O5, dan kalium 15% dalam
bentuk K2O. Sifat nitrogen (pembawa nitrogen) terutama dalam bentuk amoniak menambah
sifat keasaman tanah yang dapat menunjang pertumbuhan tanaman Secara umum parameter
kualitas pupuk NPK padat seperti kandungan nitrogen, fosfor, kadar air, cemaran logam (Pb,
Cd, Hg) dan arsen (As). Nitrogen merupakan unsur hara utama bagi tumbuhan yang pada
umumnya sangat diperlukan untuk pembentukan atau pertumbuhan bagian-bagian tanaman
seperti daun, batang, dan akar tetapi jika jumlahnya terlalu banyak dapat menghambat
pembungaan dan pembuahan pada tanaman.
Berdasarkan Standarasasi Nasional Indonesia SNI-19-7030-2004 mengenai mengenai
standar kualitas pupuk organik adalah sebagai berikut:
Tabel 1. Standar SNI pupuk organik

2.10. Baku Mutu Pupuk Organik


Pupuk organik yang banyak beredar di pasaran terutama di Pulau Jawa dengan mutu
yang jelas. Berbagai kalangan, baik dari pihak konsumen/pengguna maupun pihak
produsen/pembuat. Guna menjamin mutu produk dari suatu produsen pupuk organik yang
akan dipasarkan, mendorong pemerintah untuk membuat peraturan yang berkaitan dengan
semua aspek tentang pupuk organik. Pemerintah telah menetapkan suatu Peraturan Menteri
Pertanian No.28/Permentan/SR.130/5/2009 yang kemudian diperbaharui dengan Peraturan
Menteri Pertanian No.70/Permentan/SR.140/10/2011. Meskipun secara legal standar mutu
pupuk organik telah dibuat, akan tetapi pada kenyataannya sangat sulit menentukan standar
mutu pupuk organik dan di lapangan masih banyak ditemukan kualitas pupuk organik yang
masih belum sesuai dengan persyaratan yang telah ditetapkan. Untuk meneliti kualitas pupuk
organik yang beredar produksi dan dijual dipasar di Pulau Jawa, serangkaian studi telah
dilakukan survei melalui pengambilan contoh pupuk organik di Jawa Barat, Jawa Tengah,
dan Jawa Timur baik di tingkat petani, kios/agen, maupun produsen. Contoh-contoh pupuk
organik tersebut dianalisis kadar air, pH, serta kandungan haranya yang meliputi kadar C-
organik, N-total, rasio C/N, P2O5, K2O, Fe-total, Fe-tersedia, kadar logam berat Pb dan Cd
di Laboratorium Terpadu Balai Penelitian Lingkungan Pertanian (Dewi et al., 2012).
Menurut Fadilah et al. (2019), baku mutu Peraturan Menteri Pertanian Nomor
70/Permentan/SR.140/10/2011 menyebutkan persyaratan teknis minimal pupuk organik cair
untuk kandungan hara makro N, P dan K sebesar 3-6 % serta nilai pH 4-9. Nitrogen dapat
diperoleh dari bahan organik dan udara yang difiksasi oleh mikroorganisme tertentu. Faktor
yang mempengaruhi hasil peruraian protein yakni sifat bahan, jenis mikroba yang tumbuh
selama proses fermentasi, kondisi fermentasi dan lama fermentasi. Faktor lain yang
mempengaruhi hasil penelitian ini dikarenakan kecepatan mikroba yang berbeda-beda dalam
mengurai bahan fermentasi serta jumlah bakteri yang terkandung dalam pupuk organik cair
mengakibatkan bakteri tersebut mengkonsumsi banyak mineral dalam pupuk organik cair
juga lebih sedikit serta proses fermentasi mempengaruhi kandungan hara dalam pupuk.
Menurut Priadi dan Kusmawan (2017), kadar nitrogen pada pupuk kompos menurut
SNI 19-7030-2004 adalah nilai nitrogen >0,40%, nilai P2O5 yaitu >0,10% dan K2O yaitu
>0,20%. Untuk memperoleh kadar air yang sesuai dengan baku mutu yaitu 15-25% maka
kompos harus dikeringkan terlebih dahulu sebelum diujicobakan kepada tanaman. Kadar air
yang terlalu tinggi akan menyebabkan terlarutnya nutrisi dan mikrooganisme patogen dalam
timbunan kompos. Derajat keasaman (pH) kompos yang dihasilkan masih berada dalam
rentang baku mutu karena pH tidak dipengaruhi oleh kadar air.
III. MATERI DAN METODE

3.1. Materi Praktikum


3.1.1. Alat Praktikum
Tabel 3. Alat Praktikum
No. Nama Alat Fungsi
1 Botol sampel Wadah sampel
2 Neraca digital Menimbang sampel
3 Gelas ukur Mengukur larutan
4 Kertas Alas sampel
5 Alat tulis Alat mencatat
6 Kamera (hp) Alat dokumentasi
7 Gunting Memotong sampel
8 Botol larutan Wadah larutan untuk sampel
9 Plastik dan karet Menutup wadah sampel
10 Ember Wadah larutan
11 Pengaduk Mengaduk larutan
12 Lateks dan masker Alat hygiene
3.1.2. Bahan Praktikum
Tabel 4. Bahan Praktikum
No. Nama bahan Fungsi
1 Kulit Udang Bahan utama
2 EM-4 Fermentasi bakteri konsorsium
3 Reuse Penyedia unsur hara
4 Pupuk kompos Bahan tambahan pembuatan pupuk
5 Gula merah cair Penyedia nutrisi bakteri
6 Aquadest Pelarut untuk pengenceran

3.1.3. Waktu dan Tempat


3.1.3.1 Pembuatan Pupuk
Hari, tanggal : Kamis, 26 September 2019
Waktu : 13.00 – 15.00 WIB
Tempat : Laboratorium Basah Gedung E Lantai 1, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Universitas Diponegoro, Semarang
3.1.3.2 Pengamatan Minggu ke-1
Hari, tanggal : Kamis, 3 Oktober 2019
Waktu : 13.00 – 14.00
Tempat : Laboratorium Basah Gedung E Lantai 1, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Universitas Diponegoro, Semarang
3.1.3.3 Pengamatan Minggu ke-2
Hari, tanggal : Kamis, 10 Oktober 2019
Waktu : 13.00 – 14.00
Tempat : Laboratorium Basah Gedung E Lantai 1, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Universitas Diponegoro, Semarang
3.1.3.4 Pengamatan Minggu ke-3
Hari, tanggal : Kamis, 17 Oktober 2019
Waktu : 13.00 – 14.00
Tempat : Laboratorium Basah Gedung E Lantai 1, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Universitas Diponegoro, Semarang
3.2. Metode
3.2.1. Pengenceran EM4

1. Alat dan bahan disiapkan


2. 66,6 ml air gula, 933,4 ml aquadest dan 200 ml EM4 dimasukkan ke dalam ember
dan diaduk hingga homogen dengan perbandingan gula + aquadest : EM4 = 15:1
3.2.2. Pengenceran Reuse
1. Alat dan bahan disiapkan
2. Perhitungan perbandingan gula + aquadest : reuse = 15:1
3. 66,6 ml gula, 933,4 ml aquadest dan 200 ml reuse dimasukkan ke dalam ember
dan dihomogenkan
3.2.3. Cara Pembuatan Pupuk
1. Alat dan bahan disiapkan
2. Sampel kulit dihaluskan dengan cara dipotong kecil-kecil
3. Sampel kulit udang ditimbang seberat 75gram dan disiapkan 3 sampel pupuk
4. Botol plastik disiapkan kemudian dimasukkan 75gram sampel kulit udang
dicampur dengan 75gram pupuk kompos dengan urutan layer kompos 37,5gr
-kulit udang 75gr - kompos 37,5gr.
5. Botol plastik ditandai dengan label (EM4, Reuse dan Kontrol)
6. Larutan EM4 diukur sebanyak 50ml lalu dimasukkan ke dalam botol sampel yang
berlabel EM4 dan diratakan ke semua layer
7. Larutan reuse diukur sebanyak 50ml lalu dimasukkan ke dalam botol sampel
yang berlabel reuse dan diratakan ke semua layer
8. Ketiga botol sampel ditutup dengan plastik hingga rapat
9. Sampel disimpan untuk pengamatan selanjutnya
10. Perubahan (tekstur, suhu, warna) diamati setiap minggu sekali selama 3 minggu
11. Setelah 3 minggu, pupuk diui kadar N, P dan K
3.2.4. Pengamatan dan Analisis Data
1. Alat dan bahan disiapkan
2. Tekstur dari pupuk diamati dengan melihat bentuk pupuk yang terbentuk
3. Warna dari pupuk diamati melalui kenampakan pupuk di dalam botol
4. Suhu pupuk diukur dengan termometer pada ketiga botol pupuk
5. Kertas pH ditancapkan di botol berisi pupuk untuk menghitung nilai pH dari
pupuk yang dibuat
6. Hasil pengamatan dicatat dan didokumentasikan
7. Pengamatan dilakukan seminggu sekali selama 3 minggu
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil
4.1.1. Tabel Data Hasil Penggunaan EM4
Tabel 5. Hasil Penggunaan EM4

No Pengama Sampel Konsen Tekstur Warna pH Suhu [N] [P] [K]


tan -trasi
1 Minggu Kulit 1:5 Lebih remah Coklat 7 36oC - - -
1 udang A kehitaman
Kulit 1:10 Kasar Hitam 6 38oC - - -
udang B Coklat
Kulit 1:15 Padat Hitam 7 33oC - - -
udang C empuk Coklat
Kulit 1:20 Halus berair Hitam 6 34oC - - -
Udang D
2 Minggu Kulit 1:5 Lebih basah, Coklat 6 32oC - - -
2 udang A padat, kehitaman
lengket
Kulit 1:10 Kasar berair Coklat - 35oC - - -
udang B gelap
Kulit 1:15 Empuk Hitam - 34oC - - -
udang C gembur
Kulit 1:20 Halus Hitam - 35oC - - -
Udang D berjamur
3 Minggu Kulit 1:5 Basah Coklat 7 32oC
3 udang A kehitaman
Kulit 1:10 Halus berair Hitam 7 32oC
udang B coklat
Kulit 1:15 Basah Hitam 7 32oC
udang C
Kulit 1:20 Berbelatung Hitam 35oC
udang D

4.1.2. Tabel Data Hasil Penggunaan Reuse


Tabel 6. Hasil Penggunaan Reuse

No Pengamatan Sampel Konse Tekstur Warna pH Suh [N] [P] [K]


ntrasi u
1 Minggu 1 Kulit 1:5 Lembek Coklat 6,5 36oC - - -
udang A kehitaman
Kulit 1:10 Kasar Coklat 6 33oC - - -
udang B gelap
Kulit 1:15 lembek Coklat 6,5 34oC - - -
udang C gelap
Kulit 1:20 Halus Hitam 7 34oC - - -
udang D berjamur
lembab
2 Minggu 2 Kulit 1:5 Lebih Coklat 6.5 32oC - - -
udang A remah, kehitaman
padat
Kulit 1:10 Keras Coklat - 34oC - - -
udang B berair gelap
Kulit 1:15 Empuk Coklat - 35oC - - -
udang C padat kehitaman
Kulit 1:20 Belatung Hitam 35oC - - -
udang D
3 Minggu 3 Kulit 1:5 Basah dan Coklat 7 31oC 0,45 0,23 0,35
udang A hancur kehitaman % % %
Kulit 1:10 Kasar Coklat 7 33oC 0,56 0,34 0,47
udang B berair gelap % % %
Kulit 1:15 Lembek Coklat 7 33oC 0,67 0,41 0,57
udang C kehitaman % % %
o
Kulit 1:20 Lebih Hitam - 35 C 0,77 0,52 0,85
udang D halus, % % %
belatung

4.1.3. Tabel Data Hasil Penggunaan Kontrol Negatif


Tabel 7. Hasil Penggunaan Kontrol Negatif

No Pengamatan Sampel Konsentr Tekstur Warna pH Suhu [N] [P] [K]


asi
1 Minggu 1 Kulit 1:5 Keras, Coklat 7 35oC - - -
udang A padat
Kulit 1:10 Kering Coklat 7 35oC - - -
udang B gersang terang
Kulit 1:15 Kasar Coklat 6,5 34oC - - -
udang C
Kulit 1:20 Kering, Coklat 7 34oC - - -
udang D kasar terang
2 Minggu 2 Kulit 1:5 Hancur, Coklat 7 32oC - - -
udang A kering kehitaman
Kulit 1:10 Kering Coklat - 36oC - - -
udang B gersang terang
Kulit 1:15 Keras Coklat - 34oC - - -
udang C
Kulit 1:20 Setengah Hitam 35oC - - -
udang D kasar
3 Minggu 3 Kulit 1:5 Kering Coklat 7 31oC
udang A remah kehitaman
Kulit 1:10 Kering Coklat 7 34oC
udang B gersang terang
Kulit 1:15 Keras Coklat 7 34oC
udang C
Kulit 1:20 Setengah Hitam 33 oC
udang D kasar

4.1.4. Tabel Hasil Kelompok


Tabel 8. Hasil Kelompok

No Kontrol Konsentrasi Tekstur Warna pH Suhu [N] [P] [K]


1. EM4 1:15 Mengg Hitam 5 33oC - - -
(+) umpal pekat
2. Reuse 1:15 Padat Hitam 6 33oC 0,67% 0,41% 0,57%
3. (-) 1:15 Halus Coklat 7 33oC - - -

4.2. Pembahasan
Berdasarkan praktikum kali ini, sampel yang digunakan adalah kulit udang. Limbah
kulit udang dipotong kecil-kecil untuk dijadikan pupuk. Pupuk organik dari kulit udang
tersebut diamati selama 3 minggu dimana terdapat 3 sampel yang diberikan perlaukan
berbeda. Sampel pertama diberi larutan EM4, sampel kedua diberi larutan Reuse dan sampel
ketiga merupakan kontrol negatif. Sampel pertama yang diberi EM4 kelas C memiliki
konsentrasi 1:15. Pengamatan minggu pertama, sampel memiliki tekstur padat empuk
dimana kelas lain ada yang bertekstur keras, kasar dan halus berair. Suhu dari pengamatan
minggu pertama menunjukkan 33oC dan rata – rata suhu dari sampel lain sebesar 35oC.
Warna sampel pada minggu pertama menunjukkan warna hitam coklat. Pengamatan minggu
kedua sampel kelas C menunjukkan tekstur yang empuk gembur dan warna berubah hitam
coklat ke hitam. Suhu menunjukkan angka 34oC dimana sampel lain menunjukkan suhu rata
– rata 34oC. Pengamatan minggu ketiga sampel kelas C menunjukkan tekstur basah dan
warna berubah menjadi hitam pekat. pH kompos pada minggu 1 menunjukkan angka 7
dimana pH kompos yang baik adalah 7, sedangkan rata-rata pH kelas lain menunjukkan
angka 6,5. pH kompos pada minggu 3 menunjukkan angka 7 dimana pH kompos yang baik
adalah 7. Suhu kompos menunjukkan 33oC.
Sampel yang diberi Reuse kelas C memiliki konsentrasi 1:15. Pengamatan minggu
pertama, sampel memiliki tekstur lembek dimana kelas lain ada yang bertekstur kasar sampai
halus berjamur. Suhu dari pengamatan minggu pertama menunjukkan 34oC dan rata – rata
suhu dari sampel lain sebesar 34oC. Warna sampel pada minggu pertama menunjukkan warna
coklat gelap. Pengamatan minggu kedua sampel kelas C menunjukkan tekstur yang empuk
namun padat dan warna menjadi semakin coklat kehitaman. Suhu menunjukkan angka 35oC
dimana sampel lain menunjukkan suhu rata – rata 34oC. Pengamatan minggu ketiga sampel
kelas C menunjukkan tekstur lembek dan warna tetap yaitu coklat kehitaman. pH kompos
pada minggu 3 menunjukkan angka 7 dimana pH kompos yang baik adalah 7. Suhu kompos
menunjukkan 33oC.
Sampel ketiga yang tidak diberi perlakukan kelas C memiliki konsentrasi 1:15.
Pengamatan minggu pertama, sampel memiliki tekstur kasar dimana kelas lain ada yang
bertekstur kering sampai kering gersang. Suhu dari pengamatan minggu pertama
menunjukkan 34oC dan rata – rata suhu dari sampel lain sebesar 34,5oC. Warna sampel pada
minggu pertama menunjukkan warna coklat. Pengamatan minggu kedua sampel kelas C
menunjukkan tekstur yang berubah yaitu berubah menjadi keras dan warna tetap coklat. Suhu
menunjukkan angka 34oC dimana sampel lain menunjukkan suhu rata – rata 34 oC.
Pengamatan minggu ketiga sampel kelas C menunjukkan tekstur tetap keras dan warna tetap
yaitu coklat. pH kompos pada minggu 3 menunjukkan angka 7 dimana pH kompos yang baik
adalah 7. Suhu kompos menunjukkan 34oC sedangkan suhu rata-rata adalah 33oC
Kompos kulit udang kelas C menunjukkan kompos yang baik pada hampir di semua
pengamatan. Kompos kulit udang kelas C menunjukkan testur yang empuk dengan pH netral
yaitu 7. Kompos kulit udang merupakan salah satu kompos yang memanfaatkan limbah
makanan berupa udang atau limbah budidaya. Kompos limbah kulit udang diketahui dapat
mengendalikan hama penyakit pada tanaman, sehingga perannya dapat membantu dalam
mendukung pertanian organik. Ekstrak kompos kulit udang efektif dalam mengendalikan
penyakit karat daun pada tanaman kacang panjang dengan nilai penekanan penyakit sebesar
59,4%, penyakit busuk daun pada tanaman oyong dan mentimun dengan penekanan penyakit
sebesar 10,31% dan 14,85%. Penggunaan ekstrak kompos limbah udang dapat meningkatkan
produksi tanaman oyong dan kacang panjang secara berurutan yaitu 17,40% dan 24,47%
(Syahri et al., 2014).
Nilai N pada suatu pupuk memiliki standar yaitu >0,40%. Sedangkan nilai P memiliki
standar seniali >0,10%. Nilai K pada pupuk memiliki standar yaitu >0,20%. Kelompok 6C
dengan sampel kulit udang pada pupuk yang diberi Reuse memiliki nilai NPK sebesar
N=0,67%, P=0,41%, K=0,57% yang berarti kompos kulit udang kelompok 6C diatas standar.
Nitrogen sangat diperlukan untuk protein pertumbuhan daun, dan mendukung proses
metabolisme seperti fotosintesis. Fosfor berperan dalam memacu pertumbuhan akar dan
pembentukan sistem perakaran yang baik pada tanaman muda. Kalium berperan membantu
pembentukan protein dan karbohidrat (Ruhnayat, 2007).

V. PENUTUP

5.1. Kesimpulan
1. Bahan organik yang digunakan oleh kelompok 1C adalah kulit udang dengan
konsentrasi cairan aktivator sebesar 1 :15.
2. Pengamatan perubahan sampel organik dilakukan selama 3 minggu berturut –
turut hingga telihat adanya perubahan pada sampel organik.
3. Ciri fisik yang diamati dalam pengamatan morfologi dan pengomposan bahan
organik adalah tekstur, warna, pH dan suhu.
4. Hasil NPK tertinggi dari berbagai bahan organik pada kelas C adalah N = 0,67%;
P = 0,41% dan K = 5,7%.

5.2. Saran
1. Pembagian jadwal pengamatan harap diperjelas dan asisten harap mendampingi.
2. Jumlah alat yang digunakan untuk praktikum seharusnya mencukupi sehingga
mempersingkat waktu.
3. Praktikan diharapkan lebih kondusif dan tertib saat praktikum maupun
pengamatan.
DAFTAR PUSTAKA

Afrianti, H. L., 2004, Fermentasi, http://www.forumsains.com/index.php/to pic,


783.msg2697.html diakses 17 November 2014.
Asngad, A. 2013. Inovasi Pupuk Organik Kotoran Ayam dan Eceng Gondok Dikombinasi
dengan Bioteknologi Mikoriza Bentuk Granul. Jurnal MIPA., 36(1): 1-7.
Astuty, E. D. 1991. Fermentasi Alkohol Kulit Buah Pisang (Musa sapientum Lamb) dengan
Berbagai Jenis Inokulum. Tesis, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.Tidak
diterbitkan.
D. Elfiati. 2005. Peranan mikroba pelarut fosfat terhadap pertumbuhan tanaman, Medan:
USU.
Hadisuwito, Sukamto, 2007, Membuat Pupuk Kompos Cair, Cetakan ketiga, Agromedia
Pustaka, Jakarta.
Hanum, A, M., dan N, D, Kuswytasari. 2014. Laju Dekomposisi Serasah Daun Trembesi
(Samanea saman) dengan Penambahan Inokulum Kapang. Jurnal Sains dan Seni
POMITS., 3(1): 2337-3520.
Hardiwinoto,S., S. Haryono, M. Fasis, and S. Sambas. 1994. Pengaruh Sifat Kimia Terhadap
Tingkat Dekomposisi Beberapa Jenis Tanaman Hutan. Manusia dan Lingkungan
Jurnal Pusat Penelitian Lingkung. Hidup., 4(2): 25–36.
Hartatik, W., Husnain., dan L, R, Widowati. 2015. Peranan Pupuk Organik dalam
Peningkatan Produktivitas Tanah dan Tanaman. Jurnal Sumberdaya Lahan., 9(2):
107-120.
Indrawan I.M.O, G. A. B. Widana dan M. V. Oviantari. 2016. Analisis Kadar N, P, K Dalam
Pupuk Kompos Produksi Tpa Jagaraga, Buleleng. Jurnal Wahana Matematika
dan Sains. Vol 9(2): 1-7.
Istifadah, N., A. Melawati, P. Suryatmana, dan B. N. Fitriatin. 2014. Keefektifan Konsorsium
Mikroba Agens Antagonis dan Pupuk Hayati untuk Menekan Penyakit Rebah
Semai (Rhizoctonia solani) pada Cabai, Jurnal Agrikultura., 1 (4): 337 -345.
Jannah, A, M. 2010. Proses Hidrolisat Jerami Padi untuk Menghasilkan Bioetanol. Jurnal
Teknik Kimia., 1(17): 44-52.
Kloepper JW. 1993. Plant growth-promoting rhizobacteria as biological control agents. Pages
255-274. In: Soil Microbial Ecology: Applications in Agricultural and
Environmental Management. F. B. Metting, Jr. (Ed.) Marcel Dekker Inc., New
York.
Komarawidjaja, W., 2009. Karakteristik dan Pertumbuhan Konsorsium Mikroba Lokal dalam
Media Mengandung Minyak Bumi. Jurnal Teknik Lingkungan PTL–BPPT.,
10(1): 114-119.
Komarawidjaja, W. dan Esi L.. 2009. Status Konsorsium Mikroba Lokal Pendegradasi
Minyak. Jurnal Teknik Lingkungan., 10(3): 347-354.
Ngajow, M., Jemmy, A., dan Vanda, S.K. 2013. Pengaruh Antibakteri Ekstrak Kulit Batang
Matoa (Pometia pinnata) terhadap Bakteri Staphylococcus aureus secara In Vitro.
Jurnal MIPA Unsrat Online, 2 (2): 128 –132.
Nur, T., A, R, Noor., dan M, Elma. 2016. Pembuatan Pupuk Organik Cair dari Sampah
Organik Rumah Tangga dengan Penambahan Bioaktivator EM4 (Effective
Microorganisms). Konervsi., 5(2): 5-12.
Okoh, A, I. 2006. Biodegradation alternative in the clean up of petroleum hydrocarbon
pollutants. Biotechnol and Molecular Biology Review., 1(2): 38 -50.
Pringgenies D, Riyanda I, dan Izzuddin A. 2015. Eksplorasi bakteri simbion mangrove
sebagai aktivator untuk kompos. Laporan Penelitian Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan Universitas Diponegoro. Journal of Marine Research 2(4):69-77.
Rosman R., O. Trisilawati dan Setiawan. 2013. Pemupukan Nitrogen, Fosfor, Dan Kalium
Pada Tanaman Akar Wangi. Jurnal Littri. Vol 19(1): 33-40.
Ruhnayat A. 2007. Penentuan Kebutuhan Pokok Unsur Hara N, P, K Untuk Pertumbuhan
Tanaman Panili (Vanilla Planifolia Andrews). Bul Littro. Vol. 18 (1) : 49 – 59.
Schlegel, Schmidt. 1994. Mikrobiologi Umum. Tedja Baskara, penerjemah. Yogyakarta:
Gajahmada University Press.
Siahaan, S., M. Hutapea, dan R. Hasibuan, “Penentuan kondisi optimum suhu dan waktu
karbonasi pada pembuatan arang dari sekam padi.”, Jurnal Teknik Kimia USU
(2013) Vol. 2 No. 1.

Sudarmadji, S., Kasmidjo, R., Sardjono, Wibowo, D., Margino, S., & Rahayu, E. S. (1989).
Mikrobiologi pangan. UGM Yogyakarta.

Surtinah. 2013. Pengujian Kandungan Unsur Hara Dalam Kompos Yang Berasal Dari
Serasah Tanaman Jagung Manis (Zea Mays Saccharata). Jurnal Ilmiah Pertanian.
Vol. 11(1): 1-7.
Susanti P.D. dan W. Halwany. 2017. Dekomposisi Serasah dan Keanekaragaman
Makrofauna Tanah pada Hutan Tanaman Industri Nyawai (Ficus variegate.
Blume). Jurnal Ilmu Kehutanan, 11:212-223.
Syafruddin dan Safrizal H.D. 2013. Pengaruh Konsentrasi Dan Waktu Aplikasi Em4
Terhadap Pertumbuhan Dan Produksi Cabai (Capsicum Annum L.) Pada Tanah
Entisol. Jurnal Agrista, 17(2): 71-77.
Syahri, Hartono dan Suwandi. 2014. Pemanfaatan Ekstrak Kompos Kulit Udang Dalam
Pengendalian Penyakit Dan Peningkatan Produksi Tanaman Sayuran. Prosiding
Seminar Nasional Pertanian Organik.
Waluyo. L, 2005,Mikrobiologi Lingkungan, UMM Press, Malang.

DOKUMENTASI

Gambar 1. Menyiapkan kompos Gambar 2. Penimbangan kulit udang

Gambar 3. Penimbangan kompos Gambar 4. Sampel kompos 6c


Gambar 5. Penimbangan kompos udang Gambar 6. Larutan EM4 dimasukkan

Anda mungkin juga menyukai