Oleh
Ni Putu Ayu Santika Dewi 1809612023
Made Santi Purwitasari 2009611004
I Gede Pasek Palguna 2009611030
Melati Pusparini Waskitha 2009611031
Ni Putu Sri Ayu Astini 2009611039
Fiorencia Zefanya 2009611057
Aditya Try Mahindra 2009611059
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat
dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan ini. Penulisan laporan ini
sehubungan dengan salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam mengikuti
Program Profesi Dokter Hewan (PPDH) di Laboratorium Reproduksi Veteriner
Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana. Penulis menyadari keberhasilan
penulisan laporan ini tidak lepas dari dukungan dan bimbingan seluruh staf dosen
Reproduksi Veteriner. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih
kepada:
1. Bapak Dr. drh. I Nengah Kerta Besung, M.Si sebagai Dekan Fakultas
Kedokteran Hewan Universitas Udayana.
2. Bapak Prof. Dr. drh. I Ketut Berata, M.Si, sebagai Koordinator Pendidikan
Profesi Dokter Hewan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana.
3. Bapak Dr. drh. I.G.N.B. Trilaksana, M.Kes, selaku Koordinator PPDH
Bagian Reproduksi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana.
4. Bapak Prof. Dr. drh. Tjok Gde Oka Pemayun, M.S, selaku Staf PPDH
Bagian Reproduksi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana
5. Bapak Dr. drh. I Wayan Bebas, M.Kes., selaku Staf PPDH Bagian
Reproduksi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana.
6. Bapak Dr. drh. Ketut Suatha, M.Si, selaku Staf PPDH Bagian Reproduksi
Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana.
7. Ibu Dr. drh. Ni Nyoman Werdi Susari, M.Si, selaku Staf PPDH Bagian
Reproduksi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana.
8. Ibu Dr. drh. Desak Nyoman Dewi Indira Laksmi, M.Biomed, selaku Staf
PPDH Bagian Reproduksi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas
Udayana.
9. Pimpinan dan staf UPT Balai Inseminasi Buatan Daerah Bali
10. Pimpinan dan Staf UPT Sentra Pembibitan Sapi Bali, SobanganMengwi.
Serta semua pihak yang membantu terlaksananya kegiatan koasistensi
Laboratorium Reproduksi Veteriner ini. Untuk kesempurnaan penulisan laporan
ini, segala kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat penulis harapkan.
Penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu
pengetahuan khususnya dibidang ilmu Kedokteran Hewan.
Kelompok 17 F
ii
DAFTAR ISI
Cover .................................................................................................................. i
Kata Pengantar .................................................................................................. ii
Daftar Isi........................................................................................................... iii
Daftar Gambar.................................................................................................. iv
Daftar Tabel ...................................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ............................................................................................ 1
1.2 Tujuan ......................................................................................................... 2
1.3 Manfaat ....................................................................................................... 3
iii
DAFTAR GAMBAR
iv
DAFTAR TABEL
v
BAB I
PENDAHULUAN
1
2
Sehingga dalam waktu yang singkat dapat menghasilkan anak dengan kualitas dan
kuantitas yang baik memanfaatkan pejantan unggul sebanyak-banyaknya (Kusumawati dan
Leondro, 2014). Dalam tata laksana IB juga muncul metode-metode seperti sinkronisasi
esterus, sehingga pelaksanaan IB menjadi lebih efektif dan efisien. Selain IB, teknologi
yang lebih modern untuk meningkatkan efisiensi reproduksi yaitu embrio transfer. Embrio
transfer adalah salah satu metode untuk meningkatkan mutu genetik ternak dan
meningkatkan kapasitas reproduksi dari ternak betina. Dalam embrio transfer pada ternak
terdapat berbagai prosedur yang perlu dikuasi mulai dari koleksi oosit hingga koleksi
embrio (Supriatna, 2018).
Berdasarkan uraian di atas, seorang Dokter Hewan harus memiliki keahlian di
bidang reproduksi dan kebidanan. Terdapat tiga hal dasar yang wajib dikuasai seorang
Dokter Hewan dalam bidang reproduksi yaitu meliputi fisiologi dan endokrinologi
reproduksi, ilmu kebidanan dan kemajiran, serta kemampuan melaksanakan teknologi
reproduksi. Ketiga hal dasar tersebut digunakan untuk menangani berbagai masalah
reproduksi dan meningkatkan efisiensi dan performa reproduksi hewan khususnya ternak.
Oleh karena itu, Mahasiswa Pendidikan Profesi Dokter Hewan Universitas Udayana
melakukan berbagai kegiatan untuk meningkatkan teori dan keterampilan di bidang
reproduksi. Dalam menunjang hal tersebut, penulis melaksanakan berbagai kegiatan di
bagian reproduksi berupa mempelajari siklus esterus melalui metode swab vagina,
melakukan koleksi oosit dan koleksi embrio dengan menggunakan hewan percobaan
berupa mencit, demonstrasi kedudukan fetus dan penanganan distokia dengan boneka sapi,
melakukan evaluasi kualitas semen ayam buras dan melakukan inseminasi buatan pada
ayam buras. Selaian kegiatan di Laboratorium Universitas Udayana. Pada UPT Balai
Inseminasi Buatan Daerah Baturiti Bali dilaksanakan kegiatan prosesing semen babi dan
sapi. Pada UPT Sentra Pengembangan dan Pembibitan Sapi Bali Sobangan-Badung,
dilakukan kegiatan pengamatan estrus, diagnosis kebuntingan (palpasi dan USG), dan
pelaksanaan inseminasi buatan.
1.2 Tujuan
Tujuan dilaksanakan kegiatan di Laboratorium Reproduksi Veteriner adalah
sebagai berikut:
1. Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam menentukan siklus estrus
pada mencit melalui metode swab vagina.
3
1.3 Manfaat
Adapun beberapa manfaat dilaksanakannya Koasistensi Reproduksi Veteriner adalah
sebagai berikut:
1. Mampu mendeteksi fase-fase pada siklus reproduksi hewan betina melalui swab
vagina pada mencit.
2. Mampu melakukan koleksi oosit sapi, babi dan mencit melalui metode aspirasi,
slashing, dan slicing.
3. Mampu melakukan koleksi embrio melalui metode slicing oviduct dan flushing
uterus.
4. Mampu melakukan penampungan semen unggas dan kualitas semen melalui
pemeriksaan makroskopis maupun mikroskopis.
5. Mampu menangani distokia akibat kedudukan fetus normal dan abnormal.
BAB II
MATERI DAN METODE
B. Metode
1. Metode Aspirasi pada Ovarium Sapi dan Babi
a. Menyiapkan ovarium sapi dan babi yang telah dibersihkan dari jaringan
dan lemak disekitarnya, lalu ditempatkan pada cawan petri yang telah
berisi NaCl fisiologis agar tidak autolysis.
b. Menyiapkan spuit 5 cc yang telah dimasukan larutan NaCl fisiologis
sebanyak 2,5 cc.
c. Melakukan penyedotan cairan folikel dengan cara menusukkan spuit
yang berisi NaCl fisiologis ke bagian folikel.
4
5
b. Pemeriksaan Mikroskopis.
c. Proses Pengenceran
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒
𝑉𝑜𝑙. 𝑠𝑒𝑚𝑒𝑛 𝑥 𝑀𝑜𝑡𝑖𝑙𝑖𝑡𝑎𝑠 𝑥 𝐾𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 𝑠𝑝𝑒𝑟𝑚𝑎 𝑥 𝑉𝑜𝑙. 𝑠𝑡𝑟𝑎𝑤
=
𝐾𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 𝑠𝑡𝑟𝑎𝑤
Keterangan :
Volume straw = 0,25 ml
Konsentrasi sperma dalam straw = 25 x 106
d. Printing Straw
Straw semen beku sapi Bali diberi label menggunakan printing otomatis.
Langkah kerja:
- Menyiapkan straw kosong yang akan diprinting.
- Label instansi, nama bull, kode produksi dan kode sapi telah
disetting pada alat pencetak straw.
- Printing beberapa straw sesuai jumlah yang dibutuhkan.
13
Keterangan:
TAMARA : Nama Pejantan
R021 : Batch Number
R : Tahun produksi 2014.
021 : Produksi ke berapa ditahun itu.
19010 : Kode Pejantan
1 : Kode Sapi Bali Murni.
90 : Kelahiran tahun 1999.
10 : Nomor urut pejantan.
f. Equilibrasi
- Straw yang berada dalam rak penghitung dimasukkan kedalam cold
handling cabinet dengan suhu 3-6º C selama 3-4 jam.
- Selama equilibrasi cold top tidak boleh dibuka tutup karena
perubahan suhu dapat mempengaruhi kualitas straw.
g. Freezing/Pembekuan
h. Thawing
Langkah kerja :
- Diambil satu atau dua buah straw masing-masing bull yang
diproses dari dalam container penyimpanan, memasukkan secara
perlahan ke dalam air dengan suhu 35-37º C selama 15-30 detik.
- Straw kemudian diambil dan sperma dikeluarkan dari dalam,
sperma yang cair diletakkan pada objek glass secukupnya dan
diperiksa dibawah mikroskop untuk melihat motilitas dan
progresifitas.
- Straw yang berkualitas baik dengan motilitas lebih dari 45%
disimpan didalam penyimpanan.
j. Distribusi
Sebelum semen beku didistribusikan, lebih awal dilakukan
pemeriksaan terhadap semen beku yang akan dikeluarkan yaitu dengan
pemeriksaan test after thawing dan pengecekan terhadap jumlah straw,
nama atau kode pejantan dan nomor batch, selanjutnya baru dilakukan
pemindahan straw kekontainer distribusi. Pemeriksaan ini bertujuan
apakah semen beku tersebut memenuhi syarat IB atau tidak, yang dinilai
adalah presentase hidup dan gerakan individu spermatozoa. Semen beku
yang memenuhi syarat selanjutnya dapat didistribusikan kepada
inseminator yang ada di masyarakat.
Penampungan dan Processing Semen Cair Babi
Kegiatan di kandang babi dimulai pada pukul 08:30 WITA, di tempat
penampungan dan processing semen.
16
B. PROSEDUR KERJA
Palpasi Rektal
1. Sapi direstrain terlebih dahulu, kemudian kenakan glove khusus rektal /
veterinary glove pada salah satu tangan (bukan tangan dominan) dan
dibasahi dengan air sabun sebagai pelumas.
18
Inseminasi Buatan
2 Flushing Morfologi :
Complete Cumulus
a Oocyte Complex’s
(COC)
c a. Ooplasma
b. Zonapelucida
c. Cumulus cells
b
20
21
3 Aspirasi Morfologi :
Complete Cumulus
Oocyte Complex’s
(COC)
b
a. Ooplasma
b. Cumulus cells
a c. Zonapelucida
4 Slashing Morfologi:
Complete Cumulus
Oocyte Complex’s
(COC)
a. Ooplasma
b. Zonapelucida
c. Cumullus cells
Slashing Morfologi:
5 Partial
c
a. Ooplasma
b. Zona pelucida
c. Sel Cumulus
a
b
22
a. Ooplasma
b. Cumulus cells
c. Zona pelucida
c
a b
a Oophorus Compleks
(COC)
a. Ooplasma
b. Zonapelucida
c. Cumulus cells
c
23
a
a. Ooplasma
b b. Zona Pelusida
a. Sel kumulus
c b. Nukleus
c. Ooplasma
d
d. Zona pelusida
3 Slicing Morfologi: Nude
a Fase : Germinal Vesikel
(GV)
b a. Zona Pelusida
b. Nukleus
c
c. Ooplasma
B. Pembahasan
Ovarium adalah organ reproduksi betina yang terletak diruang abdomen
seekor hewan. Ovarium berfungsi sebagai organ eksokrin (menghasilkan sel
telur) dan endokrin yang berfungsi untuk memproduksi hormon-hormon pada
siklus reproduksi (Thomas and Joanna, 2002). Ovarium berbentuk oval dengan
ukuran yang berbeda-beda pada setiap individunya. Ovarium yang digunakan
24
untuk koleksi oosit adalah ovarium sapi dan ovarium babi yang diambil dari RPH
Pesanggaran dan ovarium mencit yang diperoleh dari hasil laparotomi mencit
yang sudah dieutanasi dengan metode kepala ditarik ke cranial dan ekor ditarik
ke bagian caudal. Pada sapi, ovarium berbentuk oval dan bervariasi dalam ukuran,
panjang dan lebar yang akan menunjukkan jumlah serta morfologi oosit yang
berbeda, sedangkan ovarium babi berbentuk seperti untaian buah anggur, dan
pada mencit berbentuk bulat kecil (Toelihere, 1977).
Metode yang digunakan dalam koleksi oosit pada praktikum kali ini adalah
metode aspirasi, slashing, dan slicing. Metode aspirasi dan slashing dilakukan
pada ovarium sapi dan babi, sedangkan metode slicing digunakan pada ovarium
mencit. Metode ini dipilih karena sulit untuk melakukan metode slashing pada
ovarium mencit dimana ukuran ovariumnya yang kecil. Metode ini digunakan
untuk mendapatkan oosit dalam jumlah yang lebih banyak. Metode ini memiliki
keuntungan yang sama dengan metode slashing namun memiliki resiko
kerusakan morfologi oosit yang lebih besar jika dibandingkan dengan metode
slashing. Adapun kekurangan dari metode slashing yaitu memiliki resiko yang
lebih besar terjadinya kerusakan morfologi pada oosit dibandingkan dengan
metode aspirasi.
Kualitas oosit ditentukan berdasarkan lapisan kumulus oophorus yaitu sel-
sel granulosa yang mengelilingi oosit dalam kondisi utuh atau tidak. Fungsi
sel kumulus adalah sebagai agen komunikasi antar sel dan penghubung
mekanisme hormonal menuju oosit, karena pada sel kumulus terdapat banyak sel
reseptor FSH dan LH. Selain itu sel kumulus juga berperan sebagai pemasok
nutrisi untuk oosit melalui penjuluran sel kumulus menembus zona pelusida oosit,
Semakin banyal lapisan kumulus oophorus maka lebih banyak pula sel-sel
granulosa yang mengelilingi oosit dan makin banyak pula oosit menerima suplai
nutrisi yang tentu saja akan berakibat pada pertumbuhan oosit menjadi lebih baik
sehingga ketika dilakukan fertilisasi akan lebih sempurna dibuahi oleh
spermatozoa membentuk zigot dan selanjutnya embrio.
Sel kumulus berpengaruh terhadap maturasi oosit. Hal tersebut didukung
oleh pendapat Bilodeau-Goeseels dan Panich (2002) yang menyatakan persentase
tingkat pembelahan sel yang berasal dari oosit yang memiliki lebih dari lima lapis
25
sel kumulus mencapai angka yang lebih tinggi dan berbeda nyata daripada tingkat
pembelahan sel yang berasal dari oosit dengan lapisan sel kumulus kurang dari
lima lapis, walaupun sitoplasmanya homogen. Davachi et al. (2011) juga
melaporkan bahwa jumlah lapisan sel kumulus yang mengelilingi oosit (3-5 lapis)
berpengaruh nyata terhadap jumlah oosit mencapai tahap MII. Berdasarkan sel
kumulusnya, oosit dikatergorikan menjadi empat kategori. Kategori oosit yang
baik ditunjukkan dengan morfologi complete dan expanded, oosit dengan kualitas
sedang yaitu oosit dengan morfologi partial, sedangkan oosit yang dikategorikan
buruk yaitu dengan morfologi nude (Lonergan et al., 1992). Morfologi oosit
dikelompokkan menjadi 4 yaitu :
a. Complete, yang ditandai adanya sel-sel kumulus oosit yang terdiri dari 3- 5
lapisan tebal dan terlihat kompak.
b. Expanded, adanya sel-sel kumulus oosit yang terdiri dari 3-5 lapisan tebal,
dengan salah satu bagian tidak utuh.
c. Partial, terdapat hanya 2 lapisan sel-sel kumulus oophorus.
d. Nude, tidak ada sel-sel yang mengelilingi oosit, oosit hanya dikelilingi
zona pellucida secara merata.
Selain secara morfologi, oosit juga dapat diamati berdasarkan tahap
pendewasaan (maturasi) yaitu perubahan oosit primer (2n) menjadi oosit
sekunder (n) atau ovum. Dalam proses ini terjadi pembelahan oosit primer
menjadi oosit sekunder secara meiosis (Kurniawati, 2006). Proses maturasi inti
berhubungan dengan aktivitas sintesis RNA, ditandai dengan perubahan inti dari
fase diploten menjadi MII (Metafase II). Tahap maturasi oosit dimulai dari tahap:
a. Germinal Vesicle (GV) ditandai dengan membran inti dan nukleus yang
tampak dengan jelas.
b. Germinal Vesicle Break Down (GVBD) ditandai dengan pecahnya
membran inti dan nukleus tidak terlihat jelas.
c. Metafase I (M1) ditandai dengan adanya sel-sel sentromer yang mengarah
ke kutub,
d. Metafase II (MII) ditandai dengan terbentuknya polar bodi pertama.
Hasil yang diperoleh dari koleksi oosit sapi pada metode aspirasi dan
flushing ditemukan oosit dengan morfologi Complete Cumulus Oocyte
26
Keterangan :
a. Vaginal plug (sumbat vagina)
Keterangan :
a. Ovarium
b. Tuba fallopii
a c.Cornua uteri
b d. Corpus uteri
c
d
3 Ovarium Mencit
Keterangan:
a a. Corpus Luteum
a
28
Keterangan:
a. Zona Pelusida
a
d b. Blastocole
c. Trophoblast
b d. Inner Sel Mass
e. Ruang Perivitelin
e
B. Pembahasan
Koleksi Embrio dilakukan berdasarkan dengan pengamatan dalam embrio
yang berada pada saluran reproduksi induknya. Koleksi embrio diawali dengan
memilih mencit betina yang telah kawin dan sudah dilakukan pengamatan
terhadap fase estrus mencit tersebut. Tipe estrus pada mencit adalah poliestrus
dengan panjang siklus estrus adalah 4-5 hari. Fase estrus pada mencit berlangsung
selama 9-15 jam (Sumarsono, 2016). Pada fase estrus inilah mencit betina
menerima mencit jantan untuk kawin. Untuk memassikan keberhasilan
perkawinan, dilakukan pemeriksaan vaginal plug (sumbat vagina) sebelum
melakukan koleksi embrio. Sumbat vagina terjadi karena adanya cairan seminal
(semen) yang mengental yang dapat bertahan selama 16 – 48 jam. Hari dimana
vaginal plug ditemukan diasumsikan sebagai hari pertama (Adnan, 2015).
Koleksi embrio dilakukan sebanyak tiga kali yaitu pada tanggal 22
September 2020, 3 Oktober 2020, dan 20 Oktober 2020. Koleksi embrio
dilaksanakan di Embriologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana
dengan tetap mengikuti himbauan pemerintah tetap menggunakan masker, jaga
jarak dan menggunakan glove. Mencit dieutanasia dengan cara dislokasi os
vertebrae cervicalis, kemudian dilakukan pembedahan untuk mendapatkan
saluran reproduksinya. Saluran reproduksi yang didapat selanjutnya dipisahkan
dengan lemak yang menempel. Selanjutnya masing-masing organ reproduksi
dipisahkan menjadi ovarium, oviduct, dan uterus. Pada ovarium dilakukan
29
1. Presentasi : Longitudinal
Anterior
Posisi : Dorso Sacral
Postur : Normal
2. Presentasi : Longitudinal
Posterior
Posisi : Dorso Sacral
Postur : Normal
3. Presentasi : Longitudinal
Anterior
Posisi : Dorso Sacral
Postur : Unilateral Carpal
Flexion (abnormal)
Penanganan :
1. Melakukan ligasi kepala
dan kaki dengan postur
normal
2. Repulsi sambil
melakukan ekstensi
carpal dengan
32
memegang teracaknya
agar tidak melukai
saluran reproduksi
3. Setelah postur normal,
dilanjutkan dengan tarik
paksa
4. Presentasi : Longitudinal
Anterior
Posisi : Dorso Sacral
Postur : Unilateral Elbow
Flexion (Abnormal)
Penanganan:
1. Melakukan ligasi pada
kepala dan kaki yang
posturnya normal
2. Melakukan repulsi
3. Melakukan ekstensi
pada senidu bahu,
sehingga postur menjadi
unilateral carpal flexion
4. Repulsi sambil
melakukan ekstensi
carpal dengan
memegang teracaknya
agar tidak melukai
saluran reproduksi
5. Setelah postur normal,
dilanjutkan dengan tarik
paksa
33
5. Presentasi : Longitudinal
Anterior
Posisi : Dorso Sacral
Postur : Leher dan kepala
menekuk kearah illial sinistra
(Abnormal)
Penanganan:
1. Melakukan ligasi pada
kedua kaki depan
2. Melakukan repulse
3. Mengembalikan posisi
kepala dan leher dengan
cara menarik mandibula
4. Setelah postur kepala
dan leher normal,
dilakukan tarik paksa
6. Presentasi : Longitudinal
Anterior
Posisi : Dorso Sacral
Postur : Neck fleksion kea
rah pubis
(Abnormal)
Penanganan:
1. Melakukan ligasi pada
kedua kaki depan
2. Melakukan repulse
3. Melakukan ekstensi
kepala dengan cara
menarik mandibula
34
7. Presentasi : Longitudinal
Anterior
Posisi : Dorso Sacral
Postur : Penekukan leher
dan kepala kearah os sacrum
(Abnormal)
Penanganan:
1. Melakukan ligasi pada
kedua kaki depan
2. Melakukan repulse
3. Mengembalikan posisi
kepala dan leher dengan
cara menarik mandibula
4. Setelah postur kepala
dan leher normal,
dilakukan tarik paksa
8. Presentasi : Longitudinal
Anterior
Posisi : Dorso illial kiri
(Abnormal)
Postur : Normal
Penanganan:
1. Melakukan ligasi pada
kedua kaki dan kepala
2. Melakukan repulse
3. Melakukan rotasi 900
searah jarum jam,
35
9. Presentasi : Longitudinal
Anterior
Posisi : Dorso illial kanan
(Abnormal)
Postur : Normal
Penanganan:
1. Melakukan ligasi pada
kedua kaki dan kepala
2. Melakukan repulse
3. Melakukan rotasi 900
berlawanan arah jarum
jam, sehingga menjadi
posisi dorso sacral
4. Setelah posisi normal,
dilakukan tarik paksa
2. Melakukan repulse
3. Melakukan rotasi 900
berlawanan arah jarum
jam, sehingga menjadi
posisi dorso sacral
4. Melakukan ektensi
carpal dengan
memegang teracaknya
5. Melakukan tarik paksa
B. Pembahasan
Distokia atau kelahiran yang sulit merupakan salah satu faktor utama dalam
kerugian ekonomi akibat kematian fetus maupun induk. Distokia umumnya
terjadi ketika stadium kedua dalam proses kelahiran tertunda atau ketika stadium
pertama gagal berkembang ke stadium berikutnya dalam 30 menit. Kejadian
distokia secara umum terjadi pada sapi yang pertama kali melahirkan (premipara)
daripada sapi yang sudah beberapa kali melahirkan (pluripara) (Mahaputra et al.,
2011). Terdapat dua jenis faktor yang menjadi penyebab distokia yaitu faktor
maternal dan faktor fetus. Prevalensi kasus distokia sebab maternal sebesar 25%
sedangkan sebab fetus 75%. Distokia akibat faktor maternal atau induk dapat
dipengaruhi oleh bangsa, periode kelahiran, jumlah pakan, pergerakan tubuh
41
induk (exercise) di luar kandang, gangguan reproduksi yang pernah diderita dan
trauma saat kebuntingan (Toelihere, 1985). Penyakit gangguan reproduksi dapat
meliputi inersia uterus, kegagalan kekuatan ekspulsif abdomen dan obstruksi
saluran lahir. Beberapa penyebab lain yang dijelaskan termasuk ruptur uteri, torsi
uterus dan fraktur pelvis. Inersia uteri terjadi akibat kondisi induk yang
mengalami hipokalsemia saat partus (Jackson, 2007). Obstruksi dari saluran
kelahiran akibat dari pelvis yang kecil, kelainan bentuk pelvis, obstruksi vagina
oleh jaringan parut atau septum vagina, prolapse vagina, fibrosis vagina atau
vestibular, dan torsio uterus (Purohit, 2006).
Penyebab distokia karena faktor fetus yang meliputi janin besar,
malpresentasi, malposisi, cacat postural, dan kelainan bawaan (Pugh dan Baird,
2012). Kedudukan fetus pada saluran kelahiran juga dapat menjadi faktor penyebab
distokia. Kedudukan fetus dapat dinilai berdasarkan presentasi, posisi, dan postur
fetus. Presentasi adalah hubungan antara sumbu panjang fetus dengan jalan
kelahiran pada induk. Dimana terdapat longitudinal posterior (ekstremitas fetus
menghadap pelvis) dan anterior (kepala fetus menghadap pelvis). Terdapat pula
presentasi tranversal yaitu bagian tubuh fetus tidak sejajar dengan tubuh induk.
Presentasi tranversal berdasarkan yang menghadap rongga pelvis dapat berupa
ventral maupun dorsal. Posisi dapat berupa dorsal, ventral, lateral kiri, dan kanan.
Sedangkan postur, menunjukkan konfigurasi kaki dan kepala (flexi atau terekstensi)
(Noakes, 2001).
42
diperiksa untuk melihat adanya lesi atau perdarahan yang mungkin disebabkan oleh
upaya persalinan sebelumnya. Pemeriksa kemudian menentukan seakurat mungkin
presentasi, posisi, dan postur janin serta apabila untuk mengetahui kedudukan fetus
yang abnormal. Dalam beberapa kasus, sulit menentukan kaki depan dan kaki
belakang fetus. Telinga, mata, dan rahang bawah dapat digunakan untuk
mengidentifikasi kepala, sedangkan keberadaan ekor menunjukkan presentasi ekor.
Periksa juga kemungkinan induk bunting kembar (Norman dan Youngquist, 2001).
Pemeriksaan hidup atau matinya fetus pada presentasi longitudinal cranial
dapat dilakukan dengan menjepit bagian interdigital untuk melihat refleksnya, fetus
yang masih hidup akan merespon dengan menarik kaki. Selain itu dapat pula
dilakukan dengan memberikan tekanan pada lidah, dan tekanan ringan pada bola
mata. Dalam presentasi longitudinal posterior, dapat dilakukan dengan menguji
reflek interdigital dan reflek anal (spincter ani). Setelah status hidup matinya fetus
ditentukan, pemeriksaan perkiraan ukuran janin dengan saluran kelahiran dilakukan
(Norman dan Youngquist, 2007). Setelah penyebab distokia berhasil didiagnosa,
selanjutnya dilakukan restrain dan anastesi. Injeksi anestesi dapat dilakukan
diantara coccygea 1 dan 2 atau sacral terakhir dan cocygea 1 menggunakan
lidocaine hidroklorida pada tingkat dosis 0,5 mg/kg.
Setelah penyebab distokia didiagnosa, metode penanganan distokia harus
segera dipilih dan dilakukan. Secara umum terdapat empat penanganan distokia
yang dapat dilakukan yaitu mutasi, tarik paksa, fetotomi, dan section caesaria
(Toelihere, 1985).
a. Mutasi
Mutasi adalah proses perbaikan presentasi, posisi, dan postur fetus
yang tidak normal melalui repulsi, rotasi, versi, dan ekstensi. Langkah
pertama dalam mutasi yaitu repulse yang merupakan pendorongan fetus dari
cavum pelvis ke cavum abdomen sehingga tersedia cukup ruang untuk
melakukan koreksi. Dalam mendorong fetus harus dilakukan seksama dan
hati-hati agar tidak terjadi rupture uteri. Selanjtnya rotasi merupakan
pemutaran tubuh fetus pada sumbu panjangnya untuk membawa fetus pada
posisi dorsosakral. Sedangkan versi adalah rotasi fetus pada poros
transversalnya yaitu situs anterior atau posterior. Terakhir dalam prosedur
44
digunakan pada status fetus yang masih hidup (Toelihere, 1985). Dystocia
dapat ditangani tanpa operasi jika kriteria berikut dapat dicapai: 1) serviks
melebar dengan cukup dan pelvis berukuran cukup untuk mengekstraksi
janin; 2) Dimensi pelvis memungkinkan masuknya tangan ke dalam rahim
untuk manipulasi janin; 3) uterus memiliki ruang yang cukup untuk
menggenggam dan memanipulasi janin; atau 4) ruang yang cukup tersedia
untuk fetotomy jika janin sudah mati. Jika kriteria ini tidak dapat dipenuhi,
keputusan untuk melakukan operasi caesar harus dilakukan tanpa
penundaan (Anderson, 2014).
Sesudah fetus berhasil dikeluarkan dari saluran reproduksi induk, saluran
reproduksi harus diperiksa kembali terhadap kemungkinan adanya rupture atau
luka. Bila ada perlukaan perlu diberikan suntikan antibiotika secara parental dan
local. Perobekan besar pada vulva, vagina, cervix, uterus sedapat mungkin
dilakukan jahitan. Penyuntikan preparat estrogen dapat membantu kontraksi dan
penutupan luka. Pemberian antbiotika berspektrum luas seperti larutan
Tardomyocel atau Metritin kedalam uterus dan penyuntikan preparat estrogen
seperti Cyren B atau Ovalumon sangat membantu pelepasan plasenta dan
penyembuhan serta involusi uteri. Apabila hewan tidak mau bangun, perlu
diperiksa terhadap paralisa atau paresis puepuralis (Toilehere, 2010).
46
No Bull Pengujian
Volume Motilitas Konsentrasi Volume Volume
(cc) (%) (x106) Pengencer Total (cc)
(cc)
1 Bangtidar 5,9 70 1371 44 49,9
2 Baladewa 7,4 70 800 29 36,4
3 Badilawa 6,9 70 839 29 35,9
4 Budaparta 7,5 70 749 - -
5 Bulbakarta 10,1 70 1116 59 69,1
6 Abimanyu 5,5 70 1660 51 56,5
7 Blandar 4,0 70 1117 24 28
15 Dr Chapoh 02 100 40 - - -
16 Lr Apoh 01 180 70 1:4 900 11
17 Lr Tegal Apoh 260 75 1:4 1040 13
03
18 Lw Melaya 02 180 65 1:2 360 5
19 Duroc Batur 200 70 1:3 600 8
20 Lw Chapoh 02 200 75 1:4 800 10
B. Pembahasan
Kegiatan di UPTD Peternakan Provinsi Bali Inseminasi Buatan dilaksanakan
selama 5 hari kerja oleh kelompok 17F, terhitung sejak tanggal 28 September – 2
Oktober 2020. Kelompok 17F yang beranggotakan 7 orang dibagi menjadi 2
kelompok. Kelompok pertama akan mengikuti kegiatan processing semen beku
sapi bali, sedangkan kelompok yang lain akan mengikuti kegiatan processing
semen cair babi. Nantinya kedua kelompok akan melakukan rolling di hari ketiga,
agar setiap anggota kelompok dapat mengikuti kedua kegiatan tersebut.
Hari pertama, dilaksanakan penerimaan secara resmi oleh pihak UPTD
Baturiti dan pengenalan tentang sistem kerja yang dilakukan di UPT BIBD Provinsi
Bali. Penerimaan ini sekaligus dengan pengarahan untuk anggota kelompok selama
kegiatan koasistensi dilaksanakan. Kemudian, kedua kelompok segera menuju
lokasi masing-masing untuk melakukan kegiatan. Kelompok yang bertugas di
bagian sapi memulai kegiatan dengan melihat perawatan ternak, proses
penampungan semen, dan pengolahan semen.
Penampungan semen dilakukan dengan menggunakan vagina buatan.
Kemudian, semen segar diberikan kepada pihak laboratorium untuk pemeriksaan
lebih lanjut. Pemeriksaan utama yang dilakukan adalah pemeriksaan makroskopis
yang meliputi volume, warna, baru, konsistensi dan pH. Bila semen tidak
memenuhi standar pemeriksaan tahap ini, maka semen harus dieliminasi.
Sebaliknya, bila semen memenuhi standar pemeriksaan makroskopis, maka akan
dilakukan pemeriksaan berikutnya yaitu pemeriksaan mikroskopis yang meliputi
motilitas, gerak massa dan konsenstrasi total spermatozoa.
Konsistensi semen dapat dilihat dengan cara menggoyangkan tabung
penampung secara perlahan. Bila konsistensi semen kental, maka saat posisi
51
penampung dari miring diubah ke tegak normal, semen yang menempel di dinding
penampung ke posisi normal akan memakan waktu lama, berbeda dengan semen
berkonsistensi encer. Selain konsistensi, semen sapi normal akan berwarna putih
susu atau krem dan keruh (Feradis, 2010).
pH merupakan derajat keasaman pada semen yang menunjukkan bila semen
tersebut memiliki pH asam atau basa. Variasi dari nilai pH ini dipengaruhi oleh
beberapa faktor, yaitu adanya aktivitas spermatozoa dalam menguraikan fruktosa
sehingga pH menjadi turun, kontaminasi dengan mikroorganisme sehingga pH
naik, dan perbedaan cara mengoleksi semen (Sundari et al, 2013). Nilai pH juga
berkaitan dengan konsentrasi spermatozoa. mengatakan bahwa pH semen bisa
dikatakan normal bila berkisar antara 6,2 – 7,0 (Wahyuningsih et al, 2013).
Pemeriksaan mikroskopis dilakukan untuk melihat gerakan spermatozoa,
abnormalitas dan konsentrasi. Menurut Toelihere (1985), penilaian gerakan massa
spermatozoa dibagi menjadi 4, yaitu :
1. Sangat baik (3+) bila terjadi gelembung besar, tampak gelap, tebal, aktif, dan
cepat berpindah. Keadaan ini diperkirakan mengandung 80 sampai 100%
spermatozoa motil progresif.
2. Baik (2+) bila gelombang tipis, kecil, jarang, kurang jelas, lamban gerakannya
dan diperkirakan mengandung 60 sampai 79 % sel sperma motil progresif.
3. Sedang (1+) bila tidak ada gerakan gelombang, gerakan individu aktif dan
progresif, diperkirakan mengandung 30 sampai 59% sel sperma motil progresif.
4. Buruk (necrospermia) bila hanya sedikit/tidak ada gerakan individu, kurang 30%
sel sperma motil progresif.
Kemudian, perhitungan konsentrasi dilakukan dengan cara mengambil semer
segar sapi menggunakan mikropipet yang kemudian dicampurkan NaCl 0,9%, lalu
dihomogenkan dan diletakkan pada cuvet. Setelah itu, cuvet yang diletakkan pada
sketrofotometer akan secara otomatis menunjukkan nilai konsentrasi semen segar.
Konsentrasi spermatozoa dan volume semen ini akan menentukan jumlah total
spermatozoa yang terkandung dalam setiap ejakulat. Kedua parameter ini akan
menjadi dasar perhitungan jumlah bahan pengencer semen yang harus ditambahkan
dan menentukan jumlah dosis semen beku yang dihasilkan.
52
Baturiti berupa pakan konsentrat yang mengandung dedak padi, dedak gandum,
polar, jagung, konsentrat 152, mineral dan starbio.
Setelah melewati pemeriksaan secara mikroskopis semen yang memiliki
minimal 60% motilitas maka proses akan dilanjutkan dengan penambahan
pengencer. Processing semen segar pada babi di BIBD Baturiti menggunakan
bahan pengencer BTS. Penggunaan BTS sebagai bahan pengencer sangat
bermanfaat dalam preservasi spermatozoa babi. Pengencer BTS merupakan
pengencer tipe shortterm/ berdaya simpan pendek. Bahan pengencer semen
mempunyai fungsi antara lain sebagai sumber energi bagi spermatozoa, dalam
bentuk glukosa, melindungi spermatozoa terhadap kerusakan akibat pendinginan
yang cepat (anti cold shock) dengan menggunakan bahan seperti BSA sebagai
penyangga (buffer) yang mencegah efek membahayakan terhadap perubahan pH
akibat terbentuknya asam laktat, mempertahankan tekanan osmotik dan
keseimbangan elektrolit yang tepat bagi spermatozoa, sehingga dapat melindungi
sel spermatozoa selama proses pembekuan (Gadea, 2003).
Tahap selanjutnya yaitu pengemasan dengan menggunakann botol tube
yang telah disiapkan. Semen babi yang layak produksi akan dikemas ke dalam botol
tube dengan volume 80 ml kemudian direkatkan dengan alat sealing. kemudian
dilakukan cek kebocoran dengan cara memberi tekanan untuk memastikan ada
tidaknya kebocoran pada kemasan. Setelah dipastikan tidak adanya kebocoran,
kemasan diberi label yang berisi alamat kantor, nama pejantan, asal, tanggal lahir,
dan aturan pemakaian semen serta label yang diisi tanggal tampung dan tanggal
kadaluarsanya.
Kegiatan pada hari terakhir adalah pembersihan kandang sapi dan babi yang
dilanjutkan dengan thawing straw hasil dari semen beku yang sudah di processing
pada hari Kamis, 1 Oktober 2020. Selanjutnya dilakukan ujian evaluasi terhadap
kegiatan yang telah dilakukan selama di UPTD Balai Inseminasi Buatan Daerah
Baturiti sebagai bentuk dari evaluasi diri masing-masing mahasiswa Program
Pendidikan Dokter Hewan (PPDH).
54
11.00- Istirahat
Selasa, 6 13.00
Oktober
2020 13.00- Palpasi rektal untuk menemukan bifocarsio uterus
15.00
08.00- Inspeksi, pengamatan estrus, pengamatan kesehatan sapi,
11.00 melakukan penyemprotan desinfektan pada area kandang,
penyemprotan gusanex pada sapi yang mengalami luka, dan
palpasi rektal
14.00- Istirahat
15.00
E4 Metestrus
E5 Metestrus
F29 Pyometra
Senin, 12 F2 Estrus
Oktober 2020 F5 Diestrus I Wayan Kantun
E? Bunting
Selasa, 13 H24 Proestrus
Oktober 2020 A30 Bunting I Wayan Kantun
A34 Estrus
Rabu, 14 A34 Metestrus
Oktober 2020 E15 Diestrus
I Wayan Kantun
H24 Estrus
A30 Bunting
Kamis, 15 A34 Metestrus
Oktober 2020 E15 Diestrus
I Wayan Kantun
H24 Metestrus
A30 Bunting
B. Pembahasan
Kegiatan PPDH bagian reproduksi dilaksanakan di UPT Sentra
Pengembangan dan Pembibitan Sapi Bali desa Sobangan, berlangsung selama
2 minggu dimulai pada tanggal 5 Oktober 2020 sampai dengan 16 Oktober 2020
dengan waktu kerja dimulai pada pukul 08.00 WITA sampai dengan 16.00
WITA. Kegiatan utama selama berada di Sentra Pembibitan Sapi Bali Sobangan
yaitu pengamatan siklus estrus, eksplorasi rektal, pemeriksaan kebuntingan, dan
pemeriksaan kemungkinan adanya kelainan pada saluran reproduksi sapi betina
serta kegiatan lainnya seperti pemberian terapi pada hewan yang sakit,
pembelajaran USG (Ultrasonography), pemeriksaan Body Condition Score
(BCS) sapi dan pembelajaran teknik IB (Inseminasi Buatan).
Palpasi Rektal
Palpasi rektal adalah cara untuk menentukan kondisi fisiologis reproduksi
sapi. Palpasi rektal merupakan cara diagnosa kebuntingan yang paling praktis
pada sapi. Sebelum melakukan palpasi rektal, perlu diketahui: (1) sejarah
perkawinan ternak yang bersangkutan, (2) tanggal melahirkan terakhir, (3)
tanggal dan jumlah perkawinan atau IB terakhir, dan (4) kejadian penyakit pada
ternak tersebut.
Pelaksanaan palpasi rektal membutuhkan satu orang yang bertugas
sebagai pelaksana restrain sapi. Pada saat me-restrain sapi dilakukan dengan
cara memegang tali telusuk agar meminimalisir resiko cidera bagi operator
maupun sapi yang akan dipalpasi rektal. Pemeriksa menggunakan sepatu boot,
pakaian praktek lapangan berlengan pendek, dan menggunakan sarung tangan
plastik (glove). Kuku pemeriksa harus dipotong pendek dan tidak di
perkenankan menggunakan aksesoris (gelang, jam tangan, cincin dll) agar tidak
melukai mukosa rectum pada sapi betina. Pemeriksaan dilakukan menggunakan
61
tangan kiri atau kanan sesuai dengan tangan yang lebih peka. Gunakan sarung
tangan plastik (glove) yang, kemudian sarung tangan tersebut oleskan dengan
air sabun agar mempermudah saat tangan mulai masuk ke dalam rectum sapi
dengan posisi tangan mengkuncup. Waspada terhadap tendangan kaki sapi yang
biasanya terjadi saat tangan dimasukan kedalam rectum sapi.
Saat tangan sudah masuk kedalam rectum sapi jika didalam rectum
ditemukan banyak kotoran sapi (feses), keluarkan terlebih dahulu kotoran
(feses) tersebut agar rectum sapi bersih. Pada saat melakukan pemeriksaan
pastikan kondisi rectum dalam kondisi bersih dari feses dan dalam keadaan
relaksasi. Selanjutnya lakukan diagnosa agar bisa mengetahui apakah sapi
tersebut bunting atau tidak, selanjutnya tentukan adanya kelainan dengan
melakukan palpasi terhadap adanya perubahan-perubahan di servik, corpus
uteri, cornua uteri sampai ke ovarium.
Hasil eksplorasi rektal yang didapat pada fase proestrus didapatkan vulva
berwarna merah dengan adanya pembuluh darah kapiler, lubang vulva sedikit
terbuka dan terlihat basah. Suhu vulva 38.1oC. Pada fase proestrus cervix dan
uterus teraba mediumtonus-hypertonus.
Pada fase estrus didapatkan vulva berwarna merah terang, lubang vulva
terlihat terbuka/bengkak, basah dengan adanya leleran bening, dan terasa
hangat. Suhu vulva 38.4oC. Pada fase estrus cervix dan uterus teraba hipertonus.
Suhu pada vulva dipengaruhi oleh hormon estrogen yang dihasilkan dari folikel
ovarium. Estrogen menyebabkan mengecilnya pembuluh darah sehingga
tekanan jantung meningkat dan kerjanya lebih keras. Hal tersebut menyebabkan
suhu vulva meningkat.
Pada fase metestrus vulva berwarna putih pucat, lubang vulva tertutup dan
kering. Cervix sapi pada fase metestrus teraba mediumtonus-hypotonus dan
uterus teraba hypotonus. Pada fase diestrus vulva sapi bali berwarna merah
muda, serta vulva tidak terlihat basah dan tidak kering. Cervik pada fase diestrus
teraba hypotonus dan uterus teraba hypotonus.
Pada sapi yang tidak bunting ukuran cornuanya yaitu simetris, sedangkan
pada sapi bunting ditandai dengan cornuauteri yang asimetris, tidak teraba
bivocarsio, akan teraba arteri uterina mediana di umur kebuntingan 2-4 bulan,
terdapat gelembung seperti balon di umur kebuntingan 4-6 bulan dan teraba
arteri uterine mediana, dan fetus ekstremitas kepala mulai teraba di umur
kebuntingan 7-8 bulan.
Inseminasi Buatan
Inseminasi buatan (IB) adalah suatu cara atau teknik untuk
memasukkan mani (sperma atau semen) yang telah dicairkan dan telah
diproses terlebih dahulu yang berasal dari ternak jantan ke dalam saluran
alat kelamin betina dengan menggunakan metode dan alat khusus yang
disebut 'insemination gun'. Inseminasi buatan (IB) pada ternak sapi telah
menjadi suatu pilihan sebagai solusi untuk peningkatan angka kebuntingan dalam
upaya meningkatkan populasi ternak.
Tujuan dari inseminasi buatan memperbaiki mutu genetika ternak,
63
2. Manajemen Pemeliharaan
Untuk mendapatkan bibit yang berkualitas maka dibutuhkan
pemilihan induk yang berkualitas pula yang dapat dilakukan
dengan menilai bentuk eksteriornya, silsilah berdasarkan silsilah,
seleksi berdasarkan penilaian dalam pameran danpenilaian
berdasarkan catatan produksi yang dihasilkan.
3. Pakan
Pemberian pakan dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu,
dengan pengembalaan (Pasture fattening), kreman atau Dry Lot
Fattening dan kombinasi cara pertama dan kedua. Defisiensi
makanan untuk sapi sedang bunting menyebabkan embrio yang
sedang tumbuh dan berkembang bisa merusak kondisinya dan
menyebabkan kematian fetus di dalam uterus atau kelahiran anak
sapi yang lemah atau cacat.
4. Kesuburan Ternak
Pemulihan kesuburan ternak setelah melahirkan ditandai oleh
kembalinya siklus birahi, mau dikawini pejantan dan dilanjutkan
terjadi kebuntingan. Waktu yang optimal untuk melaksanakan IB
adalah pada saat uterus sudah kembali normal, sebaiknya uterus
bebas dari penyakit yang menular, dan telah mengalami beberapa
kali birahi setelah beranak baru setelah di IB.
5. Ditinjau dari faktor manusia,
Kegagalan reproduksi ternak pada kesalahan tatalaksana yang dapat
dibagi atas kegagalan pendeteksian birahi dan kegagalan melaporkan
dan mengawinkan sapi betina pada saat yang tepat (Insiminator kurang
atau tidak terampil), terlalu singkatnya pengawinan setelah partus,
buruknya kualitas pakan yang diberikan.
Penentuan estrus pada sapi merupakan hal yang sangat penting untuk
65
diketahui dalam pelaksanaan IB. Tanda-tanda estrus pada sapi ditandai dengan
adanya kegelisahan, kebengkakan dan kemerahan pada vulva, produksi susu
menurun, keluarnya cairan atau lendir jernih tembus pandang dari vulva (Hafez
dan Hafez, 2000; McDonald, 2000). Lama estrus dan waktu ovulasi pada setiap
spesies hewan sangat bervariasi. Lama estrus pada sapi adalah 18-19 jam
dengan ovulasi terjadi 10-11 jam setelah estrus berakhir. Namun, menentukan
lamanya estrus dan waktu ovulasi pada sapi di lapangan sangatlah sulit,
sehingga perlu dicari solusi untuk menentukan waktu IB yang tepat. Waktu IB
terbaik menurut Pemayun (2014) adalah 24 jam setelah estrus dimana pada
penelitian nya keberhasilan IB (100%) terlihat pada sapi yang di IB 24 jam pada
saat pertama kali terlihat keluarnya leleran bening dan kental dari vagina. Hal
ini menunjukkan waktu ovulasi terjadi setelah berakhirnya estrus.
(a)
(b)
Diameter ovarium diukur dengan cara mencari rataan panjang dan lebar
diameter ovarium. Pada gambar 3.1 (a) diameter dari ovarium adalah 1.89cm dan
pada gambar 3.1 (b) diameter ovarium adalah 1.19cm dengan diameter folikel yaitu
0.4cm. Ukuran diameter ovarium sapi bali normal yaitu sekitar 1.91±0.35cm
(Sobari, 2012)
tubuh pada bagian tertentu tubuh ternak. bertujuan untuk mengetahui pencapaian
standar kecukupan cadangan lemak tubuh yang akan mempengaruhi dalam
penampilan produksi susu, efesiensi reproduksi dan herd longevity. Body Condition
Score (BCS) atau penilaian skor kondisi tubuh sekarang sudah menjadi alat atau
sarana untuk mendeteksi kemungkinan adanya ganggungan atau kelainan pada
ternak terutama sapi. Sistem penilaian Skotlandia / Canada:
1. Ternak yang kondisinya sangat kurus dengan nilai BCS 1 Ternak yang
kondisinya sangat kurus dengan nilai BCS 1
2. Kondisi ternak kurus dengan nilai BCS 2
3. Kondisi tubuh ternak ideal dengan nilai BCS 3
4. Kondisi tubuh ternak yang cukup gemuk dengan nilai BCS 4
5. Kondisi tubuh ternak yang sangat gemuk dengan nilai BCS 5
Berdasarkan Tabel 3.11 kasus yang banyak teramati adalah diare dan
penyakit kulit. Penanganan yang dilakukan yaitu pemberian antibiotik dan
antiparasit. Pada kasus diare obat yang diberikan yaitu interflox atau colibact.
Interflox mengandung ciprofloxacin yang merupakan antibiotik berguna untuk
menangani berbagai jenis infeksi akibat bakteri, misalnya infeksi saluran kemih,
infeksi pada saluran pencernaan, infeksi pada mata, dan infeksi seks yang menular.
Colibact merupakan antibiotik yang mengandung Sulfanamide dan Trimethoprim.
Pada penyakit kulit seperti demodex dan ring worm diberikan obat ivomec
dengan kandungan zat aktif yaitu ivermectin1 % namun obat ini tidak boleh
diberikan kepada sapi yang sedang bunting. Selain tindakan pengobatan, dilakukan
juga tindakan desinfeksi secara spraying dilingkungan perkandangan. Tindakan
desinfeksi dilakukan untuk menekan perkembangan agen penyakit. Terjadinya
beberapa kasus diare dan penyakit kulit dikarenakan manajemen pemeliharan
ternak yang masih kurang baik. Dilihat dari kebersihan dan sanitasi kadang UPT
Sentra Pembibitan Sapi Bali Sobangan masih sangat kurang sehingga
mempermudah perkembangan penyakit baik itu penyakit yang disebakan oleh
virus, bakteri, parasit.
69
Penanganan Kelahiran
Sapi yang akan beranak perlu dipantau prosesnya agar dapat dilakukan
pertolongan pertama jika terjadi kemungkinan distokia ataupun prolapsus. Proses
kelahiran sapi yang normal yaitu berlangsung kurang dari dua jam. Jika lebih dari
dua jam sapi tersebut perlu penanganan secepatnya agar pedet dan induk dapat
diselamatkan keduanya. Pasca kelahiran, induk sapi akan kelelahan oleh sebab itu
perlu dilakukan injeksi vitamin B-kompleks dan zat besi dan jika kolostrum tidak
keluar dapat diinjeksikan oksitosin. Induk sapi juga diinjeksi antibiotik (intramox)
secara intrauteri dan intramuscular.
Penanganan pedet juga perlu digarisbawahi. Pedet yang baru lahir
membutuhkan perawatan yang lebih khusus dibandingkan dengan sapi dewasa.
Kandang untuk pedet yang baru lahir dipersiapkan dengan memberikan jerami
kering pada lantai atau kertas merang yang bersih. Lantai kandang sebaiknya dalam
keadaan kering dan tidak lembab sehingga pedet merasa nyaman. Pedet yang hahir
segera dikeringkan badannya dengan cara induknya menjilati anaknya dan bila
perlu bantuan handuk agar proses pengeringan lebih cepat. Pedet dapat dilumuri
dengan garam agar induk lebih terangsang untuk menjilati anaknya. Garam jua
diberikan sedikit di lidah pedet agar pedet membuka mulutnya sehingga melatih
pernafasan.
Lendir yang berada pada rongga hidung dan mulut pedet segera dibersihkan
dengan tujuan untuk memperlancar pernafasan. Pedet yang sulit bernafas segera
ditolong menggunakan nafas buatan dengan menggerakkan kedua kaki depan pada
posisi pedet terlentang dan menekan berulang pada rongga dada atau mengangkat
kedua kaki belakang dan membiarkan kepala ke bawah, kemudian dibalik dan
angkat turunkan pedet berulang-ulang sehingga lendir yang masih menyumbat
rongga hidung dan mulut dapat keluar. Nafas buatan dapat dilakukan juga dengan
cara membaringkan pedet, kemudian dilakukan massage (pijat) sampai pada
anggota kaki. Cara lain untuk menolong pedet yang kesulitan bernafas adalah
menarik lidah pedet kemudian lendir dikeluarkan dari mulut dan tenggorokan
dengan menggunakan jari telunjuk agar bernafas dengan normal.
70
2. Sel Intermediet
Sel intermediet memiliki ciri-ciri bentuk sel diameter lebih besar dari
parabasal, bentuk oval atau bulat, dan inti mencolok kecil. Sel intermediet
dibagi menjadi dua kelompok, sel intermediet kecil memiliki sedikit
berbentuk bulat atau lonjong dengan inti bening dan menonjol. Sel
menengah besar memiliki poligonal masuk bentuk dengan inti kecil.
Selama fase metestrus, sel-sel intermediet memiliki sudut atau bahkan
berinti sitoplasma. Sel-sel intermediet ini umumnya ditemukan di semua
siklus estrus kecuali dalam fase estrus (Foeh et al., 2019; Rahayu et al.,
2018).
3. Sel Superficial
Sel superfisial merupakan sel epitel yang memiliki ukuran paling besar
diantara epitel lainnya sel, memiliki bentuk poligonal atau tidak beraturan,
datar, tepi tidak rata dan tidak ada inti atau pyknotic (inti terlihat kecil dan
gelap). Sel superfisial yang tidak berinti sering mengalami cornifikasi atau
keratinization yang berfungsi untuk melindungi mukosa vagina dari iritasi
selama sanggama. Dangkal sel dapat ditemukan dalam jumlah besar pada
fase estrus dan tidak ditemukan pada fase diestrus dan anestrus (Rahayu et
al., 2018).
4. Sel Kornifikasi
Sel kornifikasi memiliki bentuk poligonal, tidak memiliki inti dan. Sel
kornifikasi berfungsi untuk melindungi mukosa vagina dari iritasi saat
kopulasi (Najamudin et al., 2010). Sel kornifikasi merupakan jenis sel
vagina yang paling tua dibandingkan sel parabasal, sel intermediet, sel
superfisial, dan karakteristik nukleus tidak lengkap. Kehadiran dari
kornifikasi sel terjadi karena konsentrasi estrogen yang tinggi selama estrus
menyebabkan penebalan dinding vagina dan mengakibatkan sel epitel
mengalami pembekuan dan pelepasan dinding epitel vagina. Sel
kornifikasi dapat ditemukan dalam jumlah besar pada fase estrus dan tidak
ditemukan pada fase diestrus atau anestrus (Rahayu et al., 2018).
74
Gambar 3.6 Sel Superficial (tanda panah kuning) dan Sel Kornifikasi
(tanda panah biru)
(Sumber: Foeh et al., 2019)
5. Leukosit Polimorfonuklear
Sel leukosit polomorfonuklear merupakan hal yang lazim
ditemukan pada hasil ulas swab vagina. Perubahan pada penurunan kadar
estrogen menyebabkan penumpukkan sel dan memicu munculnya leukosit.
Pembelahan mitosis dapat menyebabkan penumpukkan sel, sementara
lapisan permukaan yang membentuk squamosa dan bertanduk akan
terkelupas kedalam vagina yang mengakibatkan munculnya sel leukosit
yang merupakan respon pertahanan dari tubuh yang diaanggap adanya
benda asing yang masuk (Foeh et al., 2019).
keberadaan sel-sel epitel berinti (Kusdiantoro et al., 2005). Pada sapi dalam fase
proestrus sel intermediet mengalami peningkatan presentase rata-rata jumlah. Hal
yang sama juga ditemukan pada hewan kancil (Tragulus javanicus). Perubahan
fisiologis yang terjadi pada fase ini adalah pertumbuhan folikel, meningkatnya
pertumbuhan endometrium, uteri dan serviks serta peningkatan vaskularisasi dan
keratinisasi epitel vagina pada beberapa spesies (Rahayu et al., 2018). Pada fase
estrus, kadar hormon esterogen mencapai maksimal. Hormon estrogen
menyebabkan peningkatan mitosis dan proliferasi sel-sel epitel dan proses
pertandukan pada sel-sel epitel permukaan. Konsentrasi estrogen yang tinggi pada
saat estrus mengakibatkan penebalan dinding vagina dan mengakibatkan sel-sel
epitel mengalami pertandukan dan terlepas dari dinding epitel vagina (Kumar et
al., 2005). Pada anjing, ditemukan sel superfisial mendominasi selama fase estrus
tetapi tidak semua sel mengalami kornifikasi. Jumlah sel superfisial pada sitologi
vagina anjing sekitar 90% dan total 5% sel parabasal (Rahayu et al., 2018). Hal
serupa juga ditemukan pada kancil sel superfisial/kornifikasi dominan sebesar
86,3% (Najamudin et al., 2010).
Pada fase luteal (metestrus dan diestrus) konsentrasi estrogen mulai
mengalami penurunan dan kornifikasi semakin berkurang. Pada fase metestrus
sel tanduk berkurang dan ovarium mengandung korpus luteum yang mengandung
sel-sel lutein dan folikel-folikel kecil. Pada ulas vagina sapi bali fase metestrus
didominasi oleh sel parabasal, selain juga ditemukannya sel intermediet (Rahayu
et al., 2018). Pada mencit fase metestrus terlihat adanya sel epitel berinti, sel
konifikasi, dan leukosit, yang secara kualitatif mendominasi hampir sama banyak.
Hal serupa juga ditemui pada fase diestrus. Fase adalah fase terakhir dari siklus
estrus yang ditandai tidak adanya kebuntingan (Simatauw dan Unitly, 2019). Pada
fase ini ditemukan banyak sel darah putih dan sel epitel berinti yang tersebar
homogen. Adanya leukosit akibat kadar esterogen yang menyebabkan
penumpukan sel, sementara lapisan permukaan yang membentuk squamosa dan
bertanduk akan terkelupas kedalam vagina yang mengakibatkan munculnya sel
leukosit yang merupakan respon pertahanan dari tubuh yang diaanggap adanya
benda asing yang masuk (Foeh et al., 2019).
76
Gambar 3.8 Profil sel epitel vagina pada sapi Bali selama siklus estrus (A)
Proestrus, (B) dan (C) Estrus, (D) Metestrus, (E) dan (F) Diestrus (P: Parabasal;
SI: Small Intermediate; LI: Large Intermediate; S: Superficial; C: Cornification;
L: Leukosit)
(Sumber: Rahayu et al., 2018)
Perbedaanya yaitu fase yang mengalami pemanjangan adalah fase proestrus dan
estrus. Pada kedua fase tersebut hormon estrogen akan berperan dalam proses
proliferasi dan pematangan sel, persiapan saluran reproduksi dan menimbulkan
gejala estrus. Pemanjangan pada fase proestrus dan estrus akibat dari pemberian
ekstrak etanol rumput kebar. Rumput kebar dapat berperan sebagai fitoestrogen
yang diduga mampu berikatan dengan reseptor estrogen ER-β sehingga terjadi
efek estrogenik pada epitel vagina yaitu terjadinya proliferasi dan kornifikasi sel
epitel vagina. Fitoestrogen memiliki struktur kimia yang mirip dengan estrogen
dan bekerja dengan meniru estrogen, hasil yang akan didapatkan sangat
bergantung dengan dosis yang diberikan, sehingga dapat diasumsikan bahwa
pemberian ekstrak etanol rumput kebar mampu meningkatkan kadar 17 ß-
estradiol dalam darah tikus (Safrida, 2008). Rumput kebar diduga mengandung
saponin yang merupakan bahan dasar untuk sintesis hormon-hormon steroid.
Rumput kebar termasuk golongan steroid yang dapat berubah menjadi estrogen
melalui proses aromatisasi sehingga dapat meningkatkan dan memperpanjang
waktu estrus (Simatauw dan Unitly, 2018).
warna karena beberapa burung tidak akan kawin dengan jantan dengan
warna berbeda kecuali jika mereka dibesarkan bersama. Dalam kondisi
seperti itu, IB membantu dalam kawin silang yang berhasil.
Simanjuntak (2004) juga menambahkan keuntungan IB yang lain, yaitu
untuk mencegah penularan berbagai jenis penyakit kelamin, dan memungkinkan
adanya bank sperma hingga sperma bisa disimpan sampai saat yang tepat untuk
bisa digunakan lagi.
Selain keuntungan yang didapatkan dari IB, terdapat beberapa kerugian
yang ditimbulkan. Hal ini dikemukakan oleh Manafi (2011), antara lain :
1. Beberapa pejantan mengeluarkan virus dalam sperma tanpa tanda-tanda
klinis penyakit.
2. Beberapa bakteri patogen resisten terhadap antibiotik dalam pemanjang
air mani atau dapat menghindari efeknya dengan membentuk biofilm.
3. Fokus pada individu tertentu dapat mengakibatkan hilangnya variasi
genetik.
B. Organ Reproduksi Burung
Organ Reproduksi Burung Jantan
Sistem reproduksi burung jantan terdiri dari dua testis berbentuk elips yang
berfungsi untuk menghasilkan sperma, vas deferens sebagai saluran sperma dan
sebuah kloaka yang menjadi muara dari sistem reproduksi tersebut (Srigandono,
1997). Alat reproduksi burung jantan terdiri atas alat kelamin pokok dan alat
kelamin pelengkap. Alat kelamin pokok adalah organ yang langsung membentuk
spermatozoa yaitu testis. Alat kelamin pelengkap terdiri atas saluran testis yang
menuju kloaka yaitu epididymis, vas defferens, dan papillae.
Testis pada burung terletak di ventral dari lobus anterior ginjal. Ukuran testis
tidak selalu konstan, karena menjadi besar pada saat musim kawin. Bagian kiri
sering lebih besar dari bagian kanan. Pinggir medial testis sedikit konkaf dan
mempunyai penjuluran kecil pipih yang dianggap sama seperti epididimis pada
mamalia. Saluran vas defferens keluar yang secara bergelombang-gelombang
lateral terhadap ureter masuk ke dalam kloaka (Soegiarsih, 1990).
81
Ukuran (panjang, lebar dan berat) testes kiri relatif lebih besar dibanding
dengan testes kanan (Masyud,2007). Meskipun ukuran testes kiri lebih besar
daripada testes kanan, namun hasil analisis perbandingan rata-rata antara testes
kiri dan testes kanan ternyata tidak berbeda nyata. Etches (1996) mengemukakan
bahwa pada burung biasanya testes kiri lebih besar 0.5 – 3 gram daripada testes
kanan.
82
Gambar 3.11 Anatomi reproduksi burung jantan tekukur dan puter (1)
testis; (2) epididimis; (3) vas deferens (C = mm)
Bahr dan Bakst (1987) menyatakan bahwa pada burung berat testes antara
14-60 gram tergantung jenis burung. Etches (1996) mengemukakan bahwa pada
masa dewasa kelamin ukuran berat testes biasanya meningkat dari 2-4 gram
menjadi 25-35 gram. Burung jantan memiliki testis yang tidak turun dalam
skrotum tetapi tetap dalam rongga badan. Testis menghasilkan sperma untuk
membuahi telur yang berasal dari betina. Testis yang berbentuk bulat kacang
tersebut besarnya berbeda-beda menurut umur dan besar burung. Permukaan
testis diselaputi oleh suatu jaringan fibrosa yang kuat yang diteruskan kedalam
testis membentuk kerangka penunjang tenunan testis (Sarwono, 1993). Masing-
masing vas defferens menuju papilae yang berfungsi sebagai organ cadangan
yang mengalami rudimenter. Papilae ini terletak di bagian tengah dari kloaka
(Sarengat, 1982).
Persiapan Pengencer
Pengenceran semen bertujuan untuk menambah volume semen. Jenis
pengencer semen harus memenuhi persyaratan teknis yaitu pengencer tidak
beracun bagi sperma, dapat menyediakan zat-zat makanan bagi sperma, dan
kondisi pH 7-7,9. Perbandingan pengencer dengan semen yang umum
dilakukan adalah 1:4 yaitu 1 bagian semen diencerkan dengan 4 bagian.
Semen yang telah diencerkan, dapat langsung diinseminasikan atau disimpan.
Penyimpanan sebaiknya tidak terlalu lama sejak pengumpulan sampai
diinseminasikan agar daya tahan hidup spermatozoa tetap tinggi. Pengenceran
dapat menggunakan NaCl fisiologis, air kelapa, dan fosfat kuning telur.
Sandra pada tahun 2016 menyatakan semen burung puyuh (Coturnix coturnix
japonica) dalam pengencer fosfat kuning telur yang disimpan pada suhu 4ºC
dapat digunakan untuk IB dalam waktu tidak lebih dari 32 jam.
D. Proses Pengambilan Semen Burung
Kualitas semen adalah yang terbaik dan paling konsisten jika diperoleh dari burung
yang dikondisikan untuk pengambilan semen. Pada banyak burung nondomestik, teknik
pengumpulan semen paling efektif menggunakan dua orang. Seorang asisten memegang
dan menstimulasi burung dengan membelai betis bagian dalam dan daerah perut bagian
perut. Kolektor menstimulasi daerah sekitar ekor, perut dan kloaka dengan membelai
dengan tangan kiri, dari daerah post-dorsal punggung ke daerah ekor interpelvis, dan
daerah postlateral di bawah ekor. Pada tanda-tanda respons pertama, kolektor
membengkokkan ekor ke belakang dengan tangan kiri dan dengan tangan kanan,
85
membelai daerah perut dan sternal dari anterior ke posterior. Burung akan merespons
dengan ejakulaasi parsial dari kloaka dan kadang-kadang ejakulasi. Kolektor memegang
jaringan di belakang bibir punggung kloaka dengan ibu jari dan jari telunjuk tangan kiri
dan kolektor memegang alat pengumpul (cangkir, corong, atau tabung kapiler) di tangan
kanan.
Berikut adalah beberapa teknik untuk mengoleksi semen dari pejantan yang
telah dipilih adalah :
1. Sebelum pengambilan sperma, pejantan sebaiknya dipuasakan kurang
lebih 10 jam. Hal ini ditujukan untuk mengurangi pencemaran feces
pada sperma yang ditampung (dapat mengurangi daya tunas).
2. Untuk memudahkan dalam pelaksanaan pemerahan sperma, sebaiknya
dilakukan oleh dua orang, dengan tugas melakukan perangsangan dan
sebagai penampung sperma.
3. Satu orang memegang burung (usahakan burung dalam keadaan tenang)
yang bertugas melakukan perangsangan yaitu dengan kolektor
memberikan tekanan lembut ke bibir dorsal kloaka. Kolektor
mengulangi stimulasi kloaka sampai semen yang tersisa terkumpul.
Tanda spesifik dari pejantan yang terangsang adalah ekor akan naik ke
atas dan keluar tonjolan dari kloaka.
4. Jika pejantan sudah terangsang, dengan jari telunjuk dan jempol
langsung menekan kloaka sampai terjadi ejakulasi. Saat terjadi
ejakulasi, sperma yang keluar segera ditampung oleh orang kedua.
5. Sperma yang sudah ditampung kalau memungkinkan dievaluasi secara
makroskopis dan mikroskopis.
komunikasi pribadi), merpati dan merpati (Owen, 1941), unggas air (Johnson,
1954; Danau , 1962; Pingel, 1972; Skinner, 1974), burung pegar (Smyth, 1968;
Durrant dan Burch, 1991; Durrant et al., 1995; Rose, 1996), burung puyuh
(Wentworth dan Mellen, 1963), burung elang (Bird dan Buckland , 1976; Weaver
dan Cade, 1985), hawks (Corten, l973), crane (Gee, 1969, tidak diterbitkan;
Archibald, 1974), curassows and turkeys (GA Greenwell et al., Komunikasi
pribadi), condors (Gee, tidak diterbitkan) kasuari (Pickett, komunikasi pribadi)
dan burung unta (Irons et al., 1996).
Gambar 3.14 Penentuan posisi system reproduksi betina untuk AI dengan cara
menahan sisi sayap dan kaki yang sama secara bersamaan, sementara burung
dipertahankan dalam posisi kepala menghadap ke bawah, secara vertikal, dengan
sedikit miring ke kanan. Hal ini sering kali terjadi pada proses AI non-kooperatif pada
spesies yang lebih besar sehingga urin cenderung tidak mengalir dari urodeum
mengaburkan lokasi pintu masuk ke saluran telur. (Blanco et al., 2009)
88
elang emas (Blanco et al., 2009), dan di sejumlah spesies burung pegar (Saint
Jaime et al., 2002).
90
BAB IV
4.1 Simpulan
Berdasarkan hasil kegiatan maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Pada kegiatan koleksi oosit didapatkan oosit dengan morfologi cumulus
oophorus complex (COC), partial dan nude. Fase dari oosit tidak dapat
diidentifikasi pada oosit sapid an babi akibat kematian sel. Pada oosit
mencit ditemukan oosit fase germinal vesicle (GV) dan germinal vesicle
break down (GVBD).
2. Pada kegiatan koleksi embrio pada mencit ditemukan embrio tahap
blastosis, yang diperoleh dari hasil flushing uterus pada mencit yang umur
kebuntingannya 4 hari.
3. Demonstrasi kedudukan fetus dan cara penanganan distokia dilakukan
dengan 16 kedudukan fetus yang berbeda.
4. Kegiaan lapangan di UPT. Balai Inseminasi Batan Provinsi Bali, meliputi
pembersihan kandang dan pemberian pakan, pelaksanaan penampungan
dan processing semen sapi dan babi.
5. Kegiatan di UPT Sentra Sapi Bali di Sibongan meliputi pengamatan estrus,
eksplorasi rektal, pemeriksaan kebuntingan, pemeriksaan adanya
gangguan reproduksi, pelaksanaan inseminasi buatan, pemberian terapi
pada hewan yang sakit dan penetuan BCS pada sapi.
6. Swab vagina merupakan salah satu metode untuk mendeteksi siklus estrus
terutama pada hewan atau ruminansia kecil. Dalam swab vagina dapat
diperoleh hasil yaitu ditemukannya sel intermediet, superficial, kornifikasi,
parabasal, dan sel polimorfonuklear. Berdasarkan keberadaan sel-sel
tersebut fase dari siklus estrus dapat diidentifikasi.
7. Inseminasi buatan adalah teknologi reproduksi yang terbukti mampu dan
telah berhasil untuk menghasilkan reproduksi yang efekti dan efisien serta
meningkatkan perbaikan mutu genetik. Reproduksi Burung dibagi menjadi
2 yaitu jantan dan betina. Persiapan IB dilakukan dengan 3 cara yaitu
Persiapan Induk Betina, Jantan serta Pengencer. Pada banyak burung
nondomestik, teknik pengumpulan semen paling efektif menggunakan dua
91
4.2 Saran
Saran yang dapat penulis sampaikan yaitu diharapkan adanya peningkatan
sarana dan prasarana di laboratorium.
92
DAFTAR PUSTAKA
Mc Geady TA, Quinn PJ, Fitz Patrick ES, Ryan MT. 2006. Veterinary Embryology.
Oxford: Blackwell Publishing Ltd.
Mohle U, Heistermann M, Pahme R, Hodges JK. 2002. Characterization of Urinary
and Fecal Metabolite of Testosterone and Their Messurement for Assessing
Gonadal Endocrine Function in Male Nonhuman Primates. General and
Comparative Endocrinology 129:135-145.
Najamudin, Rusdin, Sriyanto, Amrozi, Agungpriyono S., Yusuf T.L. 2010.
Penentuan Siklus Estrus pada Kancil (Tragulus javanicus) Berdasarkan
Perubahan Sitologi Vagina. Jurnal Veteriner, 11(2): 81-86
Palmiter RD. 1972. Regulation of protein synthesis in chick oviduct: independent
regulation of ovalbumin, conalbumin, ovomucoid and lysoyme induction. J
Biol Chem 247:6450-6461.
Puja IK, Suatha IK, Heryani LGSS, Susari NW, Setiasih NLE. 2010. Embriologi
Modern. Bali: Udayana University Press.
Rahayu, J., Salmah S., Yusuf M., Ramadhan B., Sari D.K. 2020. The Profile and
Percentage of Vaginal Epithelial Cell Numbers During The Estrous Cycle in
Bali Cattle. International Conference of Animal Science and Technology 1-
10
Reddy KCS, Raju KGS, Rao KS, Rao KBR. 2011. Vaginal Cytology, Vaginoscopy
and Progesterone Profil. Iraq Journal of veterinary science, 25(2): 51-54.
Rugh,R. 1972. A Gide to Vertebrate Development. Ed.6. Minneapolis: Burgess
Publishing.
Safrida. 2008. Perubahan Kadar Hormon Estrogen pada Tikus yang Diberi Tepung
Kedelai dan Tepung Tempe. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian
Bogor. Bogor
Saint Jaime, M. 2002. Endangered Avian Species Captive Propagation: An
overview of Functions and Techniques.Avian and Poultry Biology Reviews
13, 187‐202.
Sandra AN, Bebas IW, Trilaksana IGNB. 2016. Motilitas dan Viabilitas
Spermatozoa Burung Puyuh (Coturunix coturnix japonica) dalam Pengencer
Fosfat Kuning Telur pada Suhu 4ºC. Indonesia Medicus Veterinus 5(4): 296-
303.
Saputra, D., Sumartono, Humaidah N. 2017. Hubungan Kualitas Estrus
Berdasarkan Profil Sitologi Swab Vagina dan Gejala Estrus Terhadap
Keberhasilan IB Intracervical Kambing Peranakan Etawa. Dinamika
Rekasatwa, 2(2)
Sarengat, W. 1982. Pengantar Ilmu Ternak Unggas. Fakultas Peternakan dan
Perikanan Universitas Diponegoro. Semarang.
Sarwono, B. 1993. Ragam Ayam Piaraan. Penebar Swadaya. Jakarta.
95
Simanjuntak, L., 2004. TikTok Unggas Pedaging Hasil Persilangan Itik & Entok.
AgroMedia.
Simatauw, A.Z., Unitly A.J.A. 2019. Gambaran Siklus Estrus Tikus Rattus
norvegicus Terpapar Asap Rokok Setelah Diterapi Ekstrak Etanol Rumput
Kebar (Biophytum petersianum Klotzsch). Jurnal Rumphius Pattimura
Biological, 1(1): 1-7
Soegiarsih, P. 1990. Diktat Ilmu Ternak Unggas. Fakultas Peternakan Universitas
Diponegoro. Semarang.
Srigandono, B. 1997. Produksi Unggas Air. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
Sumarsono P. 2016. Potensi Antioksidan Buah Merah (Pandanus Conoldeus)
Terhadap Ekspresi Caspase-9 dan Jumlah Sel Trophoblast Plasenta Mencit
(Mus Musculus) Bunting Sebelum Terpapar Plumbum. Tesis. Surabaya:
Universitas Airlangga.
Sundari TW, Tagama TR dan Maidaswar. 2013. Korelasi Kadar pH Semen Segar
dengan Kualitas Semen Sapi Limousin di Balai Inseminasi Buatan. Jurnal
Ilmu Peternakan 1(3):1043-1049.
Toelihere, M.R.1977. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Bandung:Angkasa
Theiler K. 1989. The House Mouse: Atlas of Embryonic Development. Heidelberg:
Springer Verlag.
Thomas C, Joanna MB. 2002. Clinical Anatomy & Fisiologi for Veterinary
technicians. United State of America: Mosby, Inc
Wahyuningsih A, Saleh DM dan Sugiyatno. 2013. Pengaruh Umur Pejantan dan
Frekuensi Penampungan Terhadap Volume dan Motilitas Semen Segar Sapi
Simmental Di Balai Inseminasi Buatan Ungaran. Jurnal Ilmiah Peternakan
1(3): 947-953.
96
Palpasi Rektal
97
Penanganan Kelahiran
98