Anda di halaman 1dari 15

TUGAS

ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

Oleh

Hillery Briliani Octtraina


1765050275
Pembimbing
DR. Sudung Nainggolan,MHSc

KEPANITRAAN KLINIK ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


PERIODE 22 JULI– 28 SEPTEMBER 2019
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN
INDONESIA
JAKARTA
HYGIENE MAKANAN

JURNAL :

From wiley journal of food safety, 2018.


Pembahasan inti jurnal

Penggunaan asam organik untuk pengawetan dan keamanan produk


daging tradisional
Sajad Ahmad Mir | Farooq Ahmad Masoodi ORIGINAL ARTICLE

Department of Food Science and Technology, University of Kashmir, Srinagar, Jammu and Kashmir, India

Correspondence

Farooq Ahmad Masoodi, Department of Food Science and Technology, University of Kashmir, Hazratbal, Srinagar
190006, Jammu and Kashmir, India.

Email: masoodi_fa@yahoo.co.in

Funding information

Council of Scientific and Industrial research, Grant/Award Number: 09/251(0096)2k18

Kerusakan produk daging tradisional merupakan tantangan utama di depan


industri daging dan menghasilkan kerugian ekonomi yang sangat besar. Berbagai
teknik pengawetan dalam praktiknya untuk mengurangi pembusukan dan
meningkatkan keamanan produk daging ini. Penggunaan asam / garam organik
sebagai zat pencegah adalah salah satu pilihan untuk meminimalkan pembusukan,
dengan dampak paling kecil pada berbagai sifat kualitas. Penerapan asam / garam
organik dalam produk daging tradisional perlu ditingkatkan teknologinya dan
disahkan.
Karena meningkatnya spesialisasi produk daging tradisional, strategi teknologi
harus diadopsi untuk memastikan keamanan dan kualitasnya selama penyimpanan.
Faktor utama yang bertanggung jawab atas kerusakannya adalah pertumbuhan
mikroba dan oksidasi lipid. Karena faktor-faktor ini, daging daging ini mengalami
penurunan umur simpan, tekstur, dan atribut sensorik. Lipid
oksidasi menyebabkan produksi bau tak sedap, degradasi metmyoglobin,
pembentukan senyawa beracun, kehilangan tetesan, dan kemunduran daging olahan
(Morrissey, Sheehy, Galvin, Kerry, & Buckley, 1998). Kerugian yang disebabkan
karena pembusukan produk daging olahan tradisional tersebut perlu dicegah pada
tahap awal dengan berbagai teknik. Teknologi bahan seperti pembekuan, pendinginan,
dan pemrosesan termal baru-baru ini digunakan untuk meningkatkan masa
penyimpanan produk daging olahan. Penggunaan bahan pengawet kimia dan sintetis
dalam produk-produk ini telah menyebabkan kekhawatiran negatif tentang kesehatan
konsumen. Oleh karena itu, kebutuhan dirasakan untuk menggunakan antioksidan
alami seperti bakteriosin, enzim, rempah-rempah, herbal, minyak esensial, dan asam
organik food grade untuk mengekang pertumbuhan mikroba pembusukan yang
berbeda dan untuk meningkatkan masa penyimpanan produk daging olahan.
(Mataragas, Drosinos, & Metaxopoulos, 2003). Antioksidan alami seperti polifenol
juga dapat digunakan sebagai pengawet dalam berbagai makanan Charalambous,
2018; Galanakis, Tsatalas, & Galanakis, 2018). Poli-fenol dan antioksidan alami
lainnya seperti asam askorbat, campuran tokoferol (α, β, γ, dan δ) dan α-tokoferol
bertindak sebagai agen antimikroba dalam produk roti (Galanakis, Tsatalas, &
Charalambous, 2018; Galakis, Tsatalas, Charalambous, & Galanakis, 2018;
Galanakis, Tsatalas, & Galanakis, 2018). Polifenol dan bioaktif lainnya yang
diekstraksi dari limbah buah dan sayuran bertindak sebagai aditif makanan alami
(Prokopov, Goranova, Baeva, Slavov, & Galanakis, 2015). Asam organik dan
garamnya bertindak sebagai antioksidan dan mencegah pembusukan produk daging.
Karena ketersediaan mudah, tidak beracun, dan efisiensi yang jelas dari asam organik,
mereka memiliki ruang lingkup yang besar untuk digunakan dalam produk daging
olahan (Hinton & Corry, 1999). FDA telah menyetujui penggunaan asam-asam ini ke
dalam produk daging karena statusnya secara umum diakui aman. Asam organik
seharusnya menyebabkan pengasaman dan akumulasi sitoplasma ke tingkat toksik
dalam mikroba. Garam asam organik terutama bertindak sebagai bakteriostatik
(Smulders & Greer, 1998), sedangkan sebagai sifat bakterisidal dan bakteriostatik
ditunjukkan oleh asam organik. Efek bakterisida terutama disebabkan oleh keadaan
asam organik yang tidak terisi dan tidak terdisosiasi (Theron & Lues, 2007). Natrium
laktat dan kalium laktat telah digunakan hingga 4,8% dalam produk daging tanpa
penurunan atribut kualitas, sedangkan natrium asetat (SA) dan natrium diasetat
disetujui hingga 0,25%. Asetat bertindak sebagai agen antimikroba yang kuat dalam
daging dan produk daging. Ini karena nilai pKa (4,76) yang lebih rendah dari asam
asetat dan proporsinya yang lebih besar tetap dalam bentuk tidak terdisosiasi. Efek
antioksidan SA telah dipelajari pada warna dan oksidasi lipid dalam beef-3 patty
daging sapi yang diperkaya dengan minyak bumi (Lee, Decker, & Faustman, 2005).
Efek antimikroba dan antioksidan SA telah dilaporkan sebelumnya pada salmon irisan
dingin (Sallam, 2007). Asam organik dan garamnya seperti SA, natrium diasetat, dan
kalium laktat memiliki sejarah panjang dalam penggunaannya dalam produk daging
olahan. Namun, ada kurangnya dokumentasi mengenai penggunaannya dalam produk
daging tradisional. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengotentikasi
penggunaan asam organik dalam produk daging olahan tradisional. kaya lemak,
misalnya, produk daging (Galanakis, Tsatalas, Charalambous, & Galanakis, 2018;
Galanakis, Tsatalas, &

HASIL DAN PEMBAHASAN Beban mikrobiologis


|
Nilai-nilai untuk beban mikroba selama studi penyimpanan dari kedua rista yang
diteliti dan kontrol diberikan dalam (Tabel 1). TPC yang diukur dalam log10 cfu / g
untuk kontrol serta rista yang diobati, menunjukkan tren peningkatan yang signifikan
(p ≤ 0,05) dari hari ke 0 penyimpanan. TPC untuk rista yang dirawat lebih signifikan
(p ≤ 0,05) lebih rendah dari kontrol selama periode penyimpanan 15 hari. Nilai untuk
TPC dalam kasus sampel kontrol adalah 6,82 cfu / g, sedangkan dalam kasus SA1,
SA2, dan SA3, nilainya 4,56, 3,08, dan 2,35 cfu / g, masing-masing pada akhir
penyimpanan. Nilai TPC yang lebih rendah dalam rista yang diolah mungkin karena
efek antimikroba dari bentuk garam natrium asam organik yang tidak terlepas.
Dengan meningkatnya konsentrasi SA dalam perawatan yang berbeda, aktivitas
antimikroba telah meningkat. Hasil kami dalam perjanjian dengan Drosinos dan
Board (1994), Ostling dan Lindgren (1993), yang melaporkan bahwa sifat lipofilik
dan jumlah yang lebih tinggi dari bentuk SA yang tidak berhubungan, menunjukkan
aktivitas antimikroba yang lebih tinggi pada pH tertentu. Selain itu, Mbandi dan
Shelef (2002) mencatat keterlambatan total pertumbuhan aerobik menggunakan
natrium laktat, diasetat, dan kombinasi garam, yang tampaknya meningkatkan efek
penghambatan. S. aureus tidak diamati dalam kasus kontrol dan rista yang diobati
pada 0 hari penyimpanan. Namun, nilainya dicatat pada hari ke 5 sebagai 1,07 cfu / g,
yang pada akhir penyimpanan ditemukan 6,92 cfu / g. Dalam kasus SA1, keberadaan
S. aureus dicatat pada hari penyimpanan ke-10 (1,21 cfu / g) dan ke-15 (2,74 cfu / g).
Namun, dalam kasus SA2 dan SA3, tidak ada S. aureus yang tercatat sampai akhir
penyimpanan. Pada kontrol rista, tidak ada coliform yang tercatat pada 0 hari periode
penyimpanan, sedangkan coliform dicatat pada hari 5 penyimpanan dan nilainya
tercatat 1,08 cfu / g, yang meningkat menjadi 1,89 cfu / g pada hari 15 dari periode
penyimpanan. Tidak ada coliform yang diamati dalam kasus rista yang diobati selama
periode penyimpanan 15 hari. Ini mungkin karena efek sinergis dari SA dan suhu
pemrosesan (180 C), yang mungkin telah menyebabkan penghancuran mikroba ini,
jauh di atas titik kematian termal 57 C. Persiapan lebih lanjut dan pengemasan rista
dalam kondisi higienis juga bisa menjadi salah satu alasan tidak adanya coliform dan
staphylococcus. Dalam sampel yang diobati, SA mungkin meningkatkan efek
pengawet dan antimikroba. Hasil kami sesuai dengan penelitian sebelumnya seperti
yang dilaporkan oleh Singh, Kumar, Bhat, dan Kumar (2015), Singh, Sanyal, Dubey,
dan Menratta (2011), Kandeepan, Anjaneyulu, Kondaiah, dan Mendiratta (2010),
yang mencatat tidak adanya coliform dalam produk daging yang diproses pada suhu
yang lebih tinggi. Dalam kontrol rista, tidak ada pertumbuhan BAL yang diamati,
sedangkan dalam kasus rista yang diobati, tren peningkatan dalam pertumbuhan BAL
dicatat. Dalam kasus kontrol, SA1, SA2, dan SA3 rista, LAB tidak terdeteksi pada 0
hari periode penyimpanan. Nilai untuk LAB dalam kasus SA1, SA2, dan SA3 pada
hari kelima periode penyimpanan adalah 1,56, 1,75, dan 1,98 cfu / g, yang meningkat
menjadi nilai 3,74, 4,15, dan 4,82 cfu / g pada tanggal 15 hari penyimpanan masing-
masing. Nilai BAL yang lebih tinggi jika rista yang diolah mungkin karena kondisi
pH yang baik dan fase lag yang besar dari mikroba ini. Mendonca, Molins, Kraft, dan
Walker (1989) melaporkan pengurangan populasi lactobacilli yang tidak signifikan
pada daging yang diberi asam laktat. Dalam kontrol rista, enterobacteriaceae tidak
dicatat pada 0 hari periode penyimpanan. Hitungan enterobacteriaceae (EBC) dalam
kasus kontrol rista pada hari kelima adalah 0,49 cfu / g, yang pada hari ke 15
penyimpanan dicatat 5,74 cfu / g. Namun, dalam kasus sampel SA1, SA2, dan SA3,
enterobacteriaceae tidak dicatat hingga hari kelima periode penyimpanan. EBC pada
hari ke 10 penyimpanan dalam kasus SA1 adalah 0,82 cfu / g, yang pada akhir
penyimpanan adalah 3,21 cfu / g. Pada hari ke 15 penyimpanan, SA3
mempertahankan jumlah terendah 1,16 cfu / g, diikuti oleh SA2 (2,14 cfu / g).
Clostridium spp. tidak terdeteksi dalam sampel mana pun selama periode
penyimpanan. Ini mungkin lagi karena praktik higienis yang diikuti selama
pemrosesan dan perlakuan suhu tinggi. Sepanjang penyimpanan, tidak ada
pertumbuhan jamur dan ragi yang dicatat dalam SA3 dan SA2. Sedangkan seperti
dalam kasus SA1, jumlah jamur dan ragi 1,07 cfu / g dicatat pada hari ke 10
penyimpanan, yang meningkat menjadi 3,14 cfu / g pada hari ke 15 penyimpanan.
Asam organik telah menunjukkan aktivitas antimikroba untuk mengekang
pertumbuhan mikroorganisme patogen dan pembusukan terutama bakteri, ragi, dan
kapang (Stratford & Eklund, 2003). SA karenanya bertindak sebagai pengawet alami
dan karenanya efektif dalam mengendalikan pertumbuhan mikroba dalam daging
olahan di seluruh penyimpanan. Sifat lipofilik SA yang lebih tinggi dan disosiasi yang
lebih sedikit pada pH tertentu daripada natrium laktat mungkin bertanggung jawab
atas aktivitas antimikroba yang berpotensi lebih tinggi (Drosinos & Board, 1994;
Ostling & Lindgren, 1993).

CRITICAL REVIEW

Memasukkan asam organik sebagai agen antimikroba dalam produk daging


tradisional yang diproses adalah metode yang aman dan relatif mudah untuk
meningkatkan umur simpannya. Penggunaan natrium asetat secara optimal dalam
produk daging tradisional yang diproses seharusnya mengurangi pembusukannya dan
untuk mempertahankan sifat fisikokimia selama penyimpanan. Penelitian lebih lanjut
harus dilakukan dalam berbagai sistem model daging untuk mengevaluasi dan
mengotentikasi penggunaan asam organic ini.
PENGENDALIAN RADIASI
JURNAL :

Unnes Journal of Public Health


http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujph

PENERAPAN MANAJEMEN KESELAMATAN RADIASI DI


INSTALASI RADIOLOGI RUMAH SAKIT

Tri Dianasari, dan Herry Koesyanto


Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas
Negeri Semarang,

Info Artikel

Sejarah Artikel:

Diterima Agustus 2016 Disetujui September 2016 Dipublikasikan Juli 2017

Keywords:
Safety; Radiation; Radiology

Unnes Journal of Public Health 6 (3) (2017)

Abstrak

Kegiatan radiologi selain dapat memberikan manfaat juga dapat menimbulkan ba- haya
bagi pekerja radiasi. Untuk mencegah hal tersebut dapat dilakukan dengan menerapkan
aspek manajemen keselamatan radiasi. Penelitian ini bertujuan meng- etahui gambaran
penerapan manajemen keselamatan radiasi pada instalasi radi- ologi RSUD Ungaran. Jenis
penelitian ini menggunakan metode diskriptif kuanti- tatif dengan teknik pengambilan data
observasi dan wawancara. Hasil penelitian ini menunjukkan dari 5 variabel dengan 16
komponen terdiri dari 48 poin. Sebanyak 29 poin (60,42%) terpenuhi dan sesuai dengan
standar/ peraturan. Sebanyak 10 poin (20,83%) terpenuhi tetapi belum sesuai dengan
standar/peraturan. Sebanyak 9 poin (18,75%) tidak terpenuhi oleh instalasi radiologi RSUD
Ungaran.

PENDAHULUAN

Perkembangan rumah sakit sebagai fasi- litas pelayanan kesehatan rujukan di


Indonesia sangat pesat, baik dari jumlah maupun peman- faatan teknologi
kedokteran. Rumah sakit se- bagai fasilitas pelayanan kesehatan tetap harus
mengupayakan Keselamatan dan Kesehatan Ker- ja (K3) bagi seluruh pekerja
rumah sakit (Kemen- kes, 2010; Ristiono dan Nizwardi, 2010).

Upaya Kesehatan dan Keselamatan Kerja harus diselenggarakan untuk


mewujudkan pro- duktivitas kerja yang optimal di semua tempat kerja, khususnya
tempat yang mempunyai risiko bahaya kesehatan, mudah terjangkit penyakit. Se-
jalan dengan itu, maka rumah sakit termasuk ke dalam kriteria tempat kerja
dengan berbagai po- tensi bahaya yang dapat menimbulkan dampak kesehatan
seperti potensi bahaya radiasi (Kemen- kes, 2010).
Salah satu pelayanan medik spesialis pe- nunjang di rumah sakit ialah radiologi
yang menggunakan pesawat sinar X. Pemanfaatan pe- sawat sinar X radiologi
diagnostik di Indonesia terus berkembang. Radiologi ini memanfaatkan sinar X
untuk keperluan diagnosis baik radiologi diagnostik maupun radiologi
intervensional (Per- ka BAPETEN Nomor 8, 2011). Kegiatan radiolo- gi harus
memperhatikan aspek keselamatan kerja radiasi. Sinar X merupakan jenis radiasi
pengion yang dapat memberikan manfaat (diagnosa) den- gan radiasi suatu
penyakit atau kelainan organ tubuh dapat lebih awal dan lebih teliti dideteksi
(Suyatno, 2008). Untuk memastikan pesawat sinar X memenuhi persyaratan
keselamatan ra- diasi dan memberikan informasi diagnosis maka diperlukan uji
fungsi atau uji kesesuaian seba- gai bentuk penerapan proteksi radiasi agar dosis
yang diterima serendah mungkin. Kesesuaian ini kesesuaian terhadap peraturan
perundangan ke- selamatan radiasi dan peraturan pelaksanaannya untuk
peralatan pesawat sinar X (Hastuti, dkk, 2009).

Risiko bahaya yang mungkin terjadi pada pekerja radiasi yaitu efek deterministik
dan efek stokastik. Pengaruh sinar X dapat menyebab- kan kerusakan
haemopoetik (kelainan darah) seperti: anemia, leukimia, dan leukopeni yaitu
menurunnya jumlah leukosit (dibawah normal atau <6.000 m3). Pada manusia
dewasa, leuko- sit dapat dijumpai sekitar 7.000 sel per mikroliter darah (Mayerni
dkk, 2013). Selain itu, efek de- terminisitik yang dapat ditimbulkan pada organ
reproduksi atau gonad adalah strerilitas atau ke- mandulan serta menyebabkan
menopause dini sebagai akibat dari gangguan hormonal sistem

reproduksi (Dwipayana, 2015).


Kontribusi terbesar dosis radiasi yang di-

terima oleh penduduk dunia adalah dari aplikasi radiasidi bidang medik, dan lebih
dari 90% kont- ribusi ini berasal dari sinar X diagnostik. Kese- lamatan pekerja
radiasi tidak terlepas dari dosis radiasi. Berdasarkan laporan pemantauan dosis
pekerja radiasi, pada tahun 2013 nilai dosis ter- tinggi yang diterima pekerja
radiasi di Indonesia sebesar 21,85 mSv, nilai dosis terendah 1,20 mSv, dan rata-
rata 1,20 mSv. Pada tahun 2011-2012 ni- lai minimum dosis yang diterima
pekerja radiasi masing-masing sebesar 1,20 mSv dan nilai maksi- mum dosis yang
diterima masing-masing sebesar 25,03 mSv dan 23,64 mSv. Sedangkan nilai rata-
rata dosis yang diterima secara keseluruhan sebe- sar 1,20 mSv, nilai ini di bawah
NBD (Nilai Batas Dosis) yang dipersyaratkan yaitu sebesar 20 mSv. Nilai Batas
Dosis ialah dosis terbesar yang dii- zinkan oleh BAPETEN yang dapat diterima oleh
pekerja radiasi dan anggota masyarakat dalam jangka waktu tertentu dan tanpa
menimbulkan efek genetik dan somatik yang berarti akibat pe- manfaatan tenaga
nuklir (BAPETEN, 2011).

Namun demikian, pada tahun 2013 dari 42.450 pekerja radiasi yang melakukan
anali- sis masih terdapat pekerja radiasi yang menda- patkan dosis melebihi NBD
(Nilai Batas Dosis) sebanyak 17 pekerja. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya
nilai dosis tertinggi sebesar 21,85 mSv pada pekerja radiasi. Sedangkan pada
tahun 2011 dari 42.430 pekerja radiasi yang melakukan analisis dan 2012 dari
31.940 pekerja radiasi yang melakukan analisis terdapat pekerja radiasi yang
mendapatkan dosis melebihi NBD masing-ma- sing sebanyak 34 dan 25 pekerja
dengan nilai do- sis tertinggi masing-masing 25,03 mSv dan 23,64 mSv. Kejadian
tersebut disebabkan karena terda- pat pelanggaran dan kelalaian terhadap
prosedur keselamatan kerja yaitu pekerja tidak memakai TLD
(Thermoluminisence Dosemeter) saat bekerja di medan radiasi dan menempatkan
TLD dekat dengan sumber radiasi (BAPETEN, 2011).

Mengingat potensi bahaya radiasi yang besar dalam pemanfaatan sinar X, faktor
kese- lamatan merupakan hal yang penting sehingga dapat memperkecil risiko
akibat kerja di instalasi radiologi dan dampak radiasi terhadap pekerja radiasi.
Untuk mencegah hal tersebut dapat di- lakukan dengan menerapkan aspek
manajemen keselamatan radiasi dimana keselamatan radiasi merupakan
tindakan yang dilakukan untuk me- lindungi pasien, pekerja, dan anggota
masyara- kat dari bahaya radiasi.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No- mor 33 Tahun 2007 tentang Keselamatan


Radia-

si Pengion dan Keamanan Sumber Radioaktif, setiap orang atau badan yang akan
memanfaat- kan tenaga nuklir seperti tenaga yang berasal dari sumber radiasi
pengion wajib memiliki izin pe- manfaatan tenaga nuklir dan memenuhi persya-
ratan keselamatan radiasi. Persyaratan keselama- tan radiasi meliputi (1)
persyaratan manajemen; (2) persyaratan proteksi radiasi; (3) persyaratan teknik;
dan (4) verifikasi keselamatan yang ber- tujuan untuk mencapai keselamatan
pekerja dan anggota masyarakat.

Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Un- garan merupakan salah satu rumah sakit
di Ka- bupaten Semarang yang memiliki instalasi radio- logi. Berdasarkan studi
pendahuluan data rumah sakit, pada tahun 2015 dari 9 pekerja radiasi rata- rata
nilai dosis yang diterima pekerja radiasi di instalasi radiologi sebesar 1,2 mSv
(Data Instalasi Radiologi, 2015). Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata nilai dosis
masih dibawah NBD (Nilai Batas Dosis). Nilai Batas Dosis merupakan acu- an
limitasi dosis sebagai persyaratan proteksi dalam persyaratan keselamatan
radiasi (BAPE- TEN, 2011). Walaupun demikian apabila nilai dosis tidak
dikendalikan maka nilai dosis akan terakumulasi, maka dosis yang diterima akan
se- makin tinggi sehingga menyebabkan berkurang- nya jumlah limfosit secara
drastis (Mayerni dkk, 2013).

Selain itu, peralatan protektif proteksi ra- diasi pada tahun 2015 sebanyak 2
apron men- galami kebocoran dan kamar pemeriksaan satu ketika melakukan
exposure kondisi pintu tidak tertutup rapat. Hal ini tidak sesuai dengan SPO
(Standar Prosedur Operasi) yang menyebutkan “Pastikan Pintu Ruangan
Pemeriksaan Tertutup” pada saat pemeriksaan. Kondisi tersebut dalam
memberikan perlindungan terhadap paparan ra- diasi tidak maksimal dan
berpotensi menerima paparan radiasi yang berlebih, maka limitasi do- sis yang
merupakan bagian dari persyaratan pro- teksi belum sesuai (BAPETEN, 2011).
Peralatan radiologi memerlukan penanganan yang baik agar peralatan tersebut
dalam kondisi baik, siap pakai, dan aman. Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD)
atau peralatan proteksi radiasi dan personal monitor radiasi dapat mengurangi
dan melindungi pekerja radiasi dalam menjalankan tugasnya (Hendra, ddk, 2011).

Instalasi radiologi RSUD Ungaran belum memiliki surveymeter sehingga


pemantauan dosis tidak dapat dilakukan sepenuhnya. Surveymeter digunakan
untuk mengukur intensitas radiasi, dalam bentuk paparan atau dosis radiasi (Mar-
tem, dkk, 2015). Pentingnya surveymeter ialah un- tuk menilai adanya kebocoran
tabung pesawat si-

nar X atau tidak, memantau paparan radiasi dan memastikan agar paparan yang
diterima pekerja radiasi dan anggota masyarakat serendah mung- kin yang dapat
dicapai sehingga Nilai Batas Do- sis tidak terlampaui (BAPETEN, 2011). Selain itu
paparan radiasi sekitar ruangan yang tidak melampaui dosis radiasi sesuai
dengan peraturan yang berlaku sehingga akan menjamin kesela- matan bagi
petugas dan lingkungan sekitarnya. Sehingga dapat diketahui potensi bahaya
radiasi dari daerah kerja yang terdapat sumber radiasi. Pemantauan dosis juga
dilakukan perorangan atau setiap pekerja radiasi dapat menggunakan film badge
dengan tujuan untuk memantau dosis yang diterima oleh seseorang supaya tidak
mele- bihi NBD.
Walaupun nilai rata-rata dosis yang dite- rima masih di bawah Nilai Batas Dosis
apabila tidak dikendalikan dalam jangka waktu yang lama dosis yang diterima
akan terakumulasi. Pada dosis yang cukup tinggi akan terjadi kerusa- kan
permanen yang berakhir dengan kematian (Mayerni dkk, 2013). Oleh karena itu
manaje- men keselamatan radiasi perlu ditingkatkan da- lam penerapannya
(Mayerni dkk, 2013). Hal ini diperkuat dengan peraturan PP Nomor 33 tahun 2007
bahwa di setiap fasilitas pengguna radiasi pengion atau tenaga nuklir diwajibkan
mewujud- kan budaya keselamatan. Semakin baik perilaku K3 semakin rendah
dosis radiasi.

Berdasarkan latar belakang, pada instalasi radiologi memiliki potensi bahaya


radiasi yang dapat berdampak pada kesehatan pekerja radiasi. Salah satu cara
mencegah dan meminimalisir ra- diasi yang diterima adalah dengan adanya
sistem manajemen keselamatan radiasi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Instalasi radiologi merupakan bagian dari pelayanan yang diperlukan untuk


menunjang upaya peningkatan kesehatan, pencegahan, dan pengobatan penyakit
serta pemulihan kesehatan. Radiologi dalam bidang dignostik ini menggu- nakan
alat-alat yang memancarkan energi radiasi pengion maupun bukan pengion.
Pesawat atau alat yang memancarkan sinar X yang digunakan untuk pemeriksaan
radiologi disebut pesawat si- nar X. Pesawat sinar X yang digunakan di insta- lasi
radiologi RSUD Ungaran meliputi: Siemens MultiX Swing, Acteon Group Satelec
with Soredex 990937 dan 990017, dan Polymobile Plus. Instalasi radiologi
merupakan tempat yang menggunakan sumber radiasi sinar X yang termasuk ke
dalam bahaya potensial fisik.

Berdasarkan hasil penelitian, penelitan ini dibahas dalam gambaran penerapan 5


variabel penelitian yang terdiri atas: perizinan, persyara- tan manajemen,
persyaratan proteksi, persyara- tan teknik, dan verifikasi keselamatan. Pembaha-
san masing-masing variabel sebagai berikut:

Gambaran Penerapan Perizinan

Gambaran penerapan perizinan di instala- si radiologi RSUD Ungaran sebagai


berikut:

Berdasarkan hasil observasi, wawancara, dan studi dokumentasi yang dilakukan


peneli- ti di instalasi radiologi RSUD Ungaran dipero- leh hasil penerapan perizinan
yang terdiri atas 1 komponen diketahui bahwa untuk komponen perizinan (1 poin)
sebanyak 1 poin (100%) telah terpenuhi yaitu instalasi memiliki surat izin pe-
manfaatan tenaga nuklir dengan sumber radiasi pengion dari kepala BAPETEN
dengan merk pembangkit radiasi pengion Siemens MultiX Swing tipe 135/30/55R
nomor seri 3126 (berlaku sam- pai dengan 4 Mei 2017), Acteon Group Satelec
with Soredex tipe OPX/105 nomor seri 990017 dan 990937 (berlaku sampai
dengan 26 Juli 2017), dan Siemens Polymobile Plus tipe 5605022 nomor

seri 13N570 (berlaku sampai dengan 6 September 2017) dan sesuai dengan
standar PP Nomor 29 Tahun 2009 pasal 3 ayat 2h, PP Nomor 33 Tahun 2007 pasal
4 ayat 1, dan Perka Bapeten Nomor 8 Tahun 2011 pasal 4 yaitu instalasi memiliki
izin pemanfaatan tenaga nuklir dengan sumber radia- si pengion dari kepala
BAPETEN.

Berdasarkan hal tersebut komponen peri- zinan sebesar 100% (1 poin) terpenuhi
dan sesuai dengan standar acuan PP Nomor 29 Tahun 2009 tentang Perizinan
Pemanfaatan Sumber Radiasi Pengion dan Bahan Nuklir, PP Nomor 33 Tahun 2007
Keselamatan Radiasi Pengion dan Keama- nan Sumber Radioaktif, dan Perka
Bapeten No- mor 8 Tahun 2011 Keselamatan Radiasi dalam Penggunaan Pesawat
Sinar X Radiologi Diagnos- tik dan Intervensional.

Gambaran Penerapan Persyaratan Manajemen

Gambaran penerapan persyaratan manaje- men di instalasi radiologi RSUD


Ungaran seba- gai berikut:

Berdasarkan hasil observasi, wawancara, dan studi dokumentasi yang dilakukan


peneliti di instalasi radiologi RSUD Ungaran diperoleh hasil penerapan
persyaratan manajemen yang terdirii atas 5 komponen (26 poin), diketahui bahwa
untuk komponen penanggung jawab kese- lamatan radiasi (8 poin) sebanyak 6
poin (75%) telah terpenuhi dan sesuai dengan standar (Perka BAPETEN Nomor 8
Tahun 2011 pasal 12 ayat 1, 3a, 3b, 3d, 3e, dan 3f) meliputi: (1) Penanggung
jawab keselamatan radiasi terdiri atas direktur ru- mah sakit selaku pemegang
izin, kepala instalasi radiologi, petugas keamanan radiasi, dan pekerja radiasi
yang meliputi dokter spesialis radiologi, fisikawan medis, dan radiografer; (2)
Pemegang izin menyediakan, melaksanakan dan mendoku- mentasikan program
proteksi dan keselamatan radiasi; (3) Pemegang izin melakukan verifikasi bahwa
personil yang sesuai kompetensi yang be- kerja dalam penggunaan pesawat sinar
X; (4) Pe- megang izin menyelenggaraan pemantauan kese-

hatan bagi pekerja radiasi setiap tahun sekali; (5) Pemegang izin menyediaan
perlengkapan pro- teksi radiasi atas usulan petugas proteksi radiasi bersama
kepala instalasi; (6) Pemegang izin me- laporan program proteksi radiasi kepada
kepala BAPETEN. Sebanyak 2 poin (25%) telah terpe- nuhi tetapi belum sesuai
standar (Perka BAPE- TEN Nomor 8 Tahun 2011 pasal 12 ayat 3c, dan 3f) yaitu (1)
Penyelenggaraan pelatihan proteksi radiasi yang diselenggarakan oleh pemegang
izin belum pernah dilakukan sehingga pekerja radia- si mengikuti seminar yang
dilakukan oleh pihak luar sedangkan sosialisasi tidak terprogram atau sesuai
kebutuhan misalnya ketika ada penamba- han alat radiologi; dan (2) Pelaporan
verifikasi ke- selamatan yang terdiri dari laporan pemantauan paparan radiasi, uji
kesesuaian pesawat sinar X dan identifikasi paparan potensial hanya tersedia
laporan uji kesesuaian pesawat sinar X sedang- kan untuk pemantauan paparan
radiasi dan iden- tifikasi paparan potensial belum dilakukan kare- na instalasi
tidak memiliki alat untuk mengukur paparan radiasi yaitu surveymeter.

Gambaran Penerapan Persyaratan Proteksi


Gambaran Penerapan Persyaratan Teknik
KESIMPULAN

Penelitian yang berjudul “Gambaran Penerapan Manajemen Keselamatan Radiasi


dalam Penggunaan Pesawat Sinar X di Instalasi Radiologi RSUD Ungaran
Kabupaten Semarang Tahun 2016” ini disimpulkan bahwa dari 5 va- riabel yaitu
perizinan, persyaratan manajemen, persyaratan proteksi, persyaratan teknik, dan
ve- rifikasi keselamatan dari 16 komponen (48 poin) yang dibahas, sebanyak 29
poin (60,42%) terpe- nuhi dan sesuai dengan standar/peraturan. Seba- nyak 10
poin (20,83%) terpenuhi tetapi belum se- suai dengan standar/peraturan.
Sebanyak 9 poin (18,75%) tidak terpenuhi oleh instalasi radiologi RSUD Ungaran.
Saran yang direkomendasikan menyelenggarakan pelatihan proteksi radiasi,
pengadaan surveymeter, penambahan alat proteksi radiasi, mengirimkan film
badge tepat waktu, me- renovasi ruangan kamar pemeriksaan 1, mem- buat
rencana penanggulangan paparan darurat, memelihara rekaman terkait
penggunaan pesa- wat sinar X, petugas proteksi radiasi mengikuti pelatihan dan
menggunakan alat proteksi dengan konsisten.

CRITICAL REVIEW 

Proteksi radiasi adalah hal mutlak yang harus diketahui oleh radiolog dan staf lainnya yang
bekerja dalam bidang kedokteran yang menggunakan radiasi pengion. Penggunaan radiasi
pengion dalam pemeriksaan dan tindakan medik saat ini
makin  berkembang pesat baik untuk kepentingan diagnostik guna meningkatkan ketepatan di
agnosis maupun untuk kepentingan tindakan medik (terapeutik) guna meningkatkan kualitas
hidup pasien.  Selain itu, penerapan managemen keselamatan radiasi di rumah sakit harus
ditingkatkan di setiap rumah sakit guna meningkatkan keselamatan para pekerja kesehatan
yang bertugas terutama di instalasi radiologi rumah sakit. Petugas radiologi setiap melakukan
tindakan radiologi juga diharapkan patuh pada peraturan yang ada agar dapat
dapat meminimalkan resiko radiasi yang ada.
KESEHATAN KERJA
JURNAL :

Jurnal Pendidikan Ekonomi: Jurnal Ilmiah Ilmu Pendidikan, Ilmu Ekonomi, dan Ilmu Sosial 99 ISSN 1907-
9990 │E-ISSN 2548-7175 │Volume 12 Nomor 1 (2018)
DOI: 10.19184/jpe.v12i1.7593

PENGARUH KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA (K3) TERHADAP


PRODUKTIVITAS KERJA KARYAWAN PADA PT. KUTAI TIMBER
INDONESIA (Studi Kasus Pada PT. Kutai Timber Indonesia Kota Probolinggo)
1 1 1
Nining Wahyuni , Bambang Suyadi , Wiwin Hartanto

1
Program Studi Pendidikan Ekonomi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Jember e-
mail: wiwinhartanto@unej.ac.id

Abstrak

Keselamatan dan kesehatan kerja termasuk salah satu program pemeliharaan yang ada di
perusahaan.Pelaksanaan program keselamatan dan kesehatan kerja bagi karyawan sangatlah penting
karena bertujuan untuk menciptakan sistem keselamatan dan kesatuan kerja yang nantinya dapat
meningkatkan produktivitas kerja karyawan.Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui apakah ada
pengaruh keselamatan dan kesehatan kerja (K3) terhadap produktivitas kerja karyawan pada PT. Kutai
Timber Indonesia Kota Probolinggo. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan
menggunakan dua uji instrumen data yaitu uji validitas dan uji reliabilitas. Adapun metode analisis data
yang digunakan yaitu analisis regresi linier sederhana, analisis varian garis regresi, uji F, analisis
koefisien determinasi dan standart error of estimate. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah
kuisioner, observasi, wawancara dan dokumen. Sampel dalam penelitian ini adalah karyawan PT. Kutai
Timber Indonesia yang berjumlah 85 responden. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa “keselamatan
dan kesehatan kerja (K3) berpengaruh signifikan terhadap produktivitas kerja karyawan pada PT. Kutai
Timber Indonesia”. Hal ini dapat dibuktikan dari nilai R-Square sebesar 67,9%.

Kata Kunci: Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), Produktivitas Kerja

Pembahasan inti jurnal :


Terdapat berbagai sumber daya yang dibutuhkan dalam menjalankan suatu bisnis perusahaan, seperti
modal, material dan mesin.Tidak terkecuali perusahaan juga membutuhkan sumber daya manusia, yaitu
para karyawan.Karyawan yang diharapkan organisasi tentunya adalah karyawan yang dapat bekerja
produktif, yaitu yang berkemampuan untuk menghasilkan produktivitas kerja yang optimal seperti
yang direncanakan.

Produktivitas merupakan indikator utama bagi kemajuan sebuah perusahaan, sehingga peningkatan
produktivitas pada semua bagian sistem merupakan suatu cara untuk meningkatkan laju pertumbuhan
ekonomi perusahaan tersebut. Perusahaan berupaya untuk meningkatkan produktivitas seluruh
karyawannya agar mampu bersaing dengan perusahaan lain karena dapat menghasilkan suatu barang
atau jasa dengan cara yang lebih efisiensi.Selain produktivitas kerja karyawan, terdapat pula salah satu
hal yang harus menjadi perhatian, yaitu keselamatan dan kesehatan kerja.Keselamatan dan kesehatan
kerja termasuk salah satu program pemeliharaan yang ada di perusahaan.

Keselamatan kerja adalah keselamatan yang berhubungan dengan aktivitas kerja manusia baik pada
industri, manufaktur dan kontruksi, yang melibatkan mesin, peralatan, penanganan material, pesawat
uap, bejana bertekanan, alat kerja bahan baku dan proses pengolahannya, landasan tempat kerja dan
lingkungannya serta cara-cara melakukan pekerjaan, maupun industri jasa, yang melibatkan peralatan
pembersih gedung, sarana transportasi, dan lain-lain (Meggison dalam Mangkunegara, 2002:138).

Kesehatan kerja didalam perusahaan merupakan spesialisasi dalam ilmu kesehatan beserta prakteknya
dengan mengadakan penilaian kepada faktor-faktor penyebab penyakit dalam lingkungan kerja dan
perusahaan melalui pengukuran yang hasilnya dipergunakan untuk dasar tindakan korektif dan bila
perlu pencegahan kepada

Jurnal Pendidikan Ekonomi: Jurnal Ilmiah Ilmu Pendidikan, Ilmu Ekonomi, dan Ilmu Sosial 100 ISSN 1907-
9990 │E-ISSN 2548-7175 │Volume 12 Nomor 1 (2018)
DOI: 10.19184/jpe.v12i1.7593

lingkungan tersebut, agar pekerja dan masyarakat sekitar perusahaan terhindar dari bahaya akibat kerja,
serta dimungkinkan untuk mengecap derajat kesehatan setinggi-tingginya (Kuswana : 2014).

Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) ini sangat penting diterapkan khususnya pada perusahaan yang
berhubungan langsung dengan bidang produksi agar karyawandapat merasa aman, nyaman, sehat dan
selamat dalam melakukan pekerjaan mereka, sehingga produktivitas kerja dapat tercapai secara
optimal. Dalam penelitian ini, yaitu Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) telah di terapkan di PT.
Kutai Timber Indonesia sejak awal berdirinya perusahaan KTI hingga saat ini. Program K3 yang
diterapkan pada PT. Kutai Timber Indonesia antara lain: (a) Program tentang pelatihan evakuasi
tanggap darurat; (b) Pelatihan penggunaan APAR (Alat Pemadam Api Ringan), yang mana pelatihan
ini merupakan program perusahaan untuk melatih semua orang yang bekerja di PT. Kutai Timber
Indonesia (PT. KTI) mengerti dan mengetahui cara penggunaannya; (c) Safety induction tentang
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3); (d) Program tentang SOP (Standard Operational Procedure);
dan (e) Pengenalan tentangHIRAX, yaitu kegunaannya untuk mengidentifikasi bahaya dan resiko yang
ada di tempat kerja.

Berdasarkan pernyataan di atas, tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui pengaruh keselamatan dan
kesehatan kerja terhadap produktivitas kerja karyawan pada PT. Kutai Timber Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai