Anda di halaman 1dari 11

A.

Penggolongan Obat

Penggolongan obat berdasarkan kegunaannya pada tubuh adalah

menyembuhkan (terapeutik), mencegah (profilaktik), dan diagnosis (diagnostik).

Sementara itu, menurut cara penggunaannya, obat dibagi menjadi lima, yaitu

melalui mulut (oral), suntikan (parenteral), dihirup (inhalasi), selaput lendir

(membran mukosa), dan topikal (permukaan kulit) (Widyawati, 2019).

Adapun penggolongan obat berdasarkan cara kerja dalam tubuh adalah

lokal (obat bekerja pada jaringan setempat, contoh pemakaian topikal pada kulit)

dan sistemik (obat didistribusikan ke seluruh tubuh, seperti tablet analgetik)

(Widyawati, 2019).

Berdasarkan undang-undang obat dikategorikan sebagai berikut

(Widyawati, 2019):

1. Obat Bebas

Obat bebas adalah obat yang boleh digunakan tanpa resep dokter.

Disebut juga obat OTC (Over The Counter), yang terdiri atas obat bebas

dan obat bebas terbatas.

2. Obat Bebas Terbatas

Obat bebas terbatas adalah obat yang sebenarnya termasuk obat

keras, tetapi masih dapat dibeli bebas tanpa resep dokter dan disertai tanda
peringatan. Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat bebas terbatas

adalah lingkaran biru dengan garis tepi berwarna hitam (Widyawati,

2019).

Ketentuan lain mengenai obat bebas terbatas ialah bahwa penjualan

obat harus disertai dengan kemasan asli dari produsen pembuatnya

sehingga diharapkan tanda peringatan dapat selalu terbaca oleh pasien

(Athijah, 2011).

Kelompok obat bebas dan bebas terbatas dapat diperoleh dan

digunakan oleh masyarakat secara langsung karena kelompok obat

tersebut memiliki indeks terapi yang luas. Indeks terapi adalah jarak antara

kadar minimum obat memberikan efek terapi dan kadar maksimum obat

aman digunakan oleh manusia. Obat dengan indeks terapi yang luas, maka

tingkat keamanan obat tersebut menjadi tinggi (Athijah, 2011).

Ada 6 macam tanda peringatan yang dipilih sesuai dengan

obatnya :

a. Peringatan No. 1 : Awas! Obat keras. Bacalah aturan memakainya.

b. Peringatan No. 2 : Awas! Obat keras. Hanya untuk kumur, jangan

ditelan.

c. Peringatan No. 3 : Awas! Obat keras. Hanya untuk bagian luar badan.
d. Peringatan No. 4 : Awas! Obat keras. Hanya untuk dibakar (untuk

rokok asma)

e. Peringatan No. 5 : Awas! Obat keras. Tidak boleh ditelan.

f. Peringatan No. 6 : Awas! Obat keras. Obat wasir, jangan ditelan.

3. Obat keras

Obat keras dulunya disebut obat daftar G (gevaarlijk), yaitu obat

berkhasiat keras yang untuk memperolehnya harus dengan resep dokter.

Obat ini biasanya memakai tanda lingkaran merah bergaris tepi hitam

dengan tulisan huruf K di dalamnya (Widyawati, 2019).

Obat yang tergolong obat keras dinyatakan aman bagi pasien

dewasa jika digunakan sampai batas dosis maksimum yang diperbolehkan.

Akan tetapi obat ini berbahaya jika penggunaannya melampaui dosis

tertinggi. Oleh karena itu, apoteker hanya diperbolehkan menyiapkan obat

tersebut jika dosis yang tertera dalam resep tidak melebihi dosis

maksimum. Sebagai perkecualian, jika dokter penulis resep membubuhkan

tanda seru “!” beserta tanda tangan atau paraf dibelakang dosis, maka

dokter secara sadar menghendaki pasien mendapatkan obat dengan dosis

tertulis, meskipun melebihi dosis tertingginya (Athijah, 2011).

4. Psikotropika

Psikotropika termasuk golongan obat keras sehingga memiliki

simbol yang sama dengan simbol obat keras. Nama lain psikotropika
adalah obat keras tertentu (OKT). Sesuai dengan undang-undang

psikotropika nomor 5, yang dimaksud dengan “psikotropika ialah zat atau

obat, baik alamiah maupun sintesis, bukan narkotika, yang bersifat

psikoaktif melalui pengaruh selektif pada Susunan Saraf Pusat yang

menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mentah perilaku” (Depkes,

1997).

Berdasarkan undang-undang yang berlaku, psikotropika

dikelompokkan menjadi empat golongan berdasarkan potensi atau

kekuatan bahan dalam menimbulkan ketergantungan (Athijah, 2011).

Psikotropika golongan I adalah psikotropika yang hanya dapat

digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam

terapi, serta mempunyai potensi sangat kuat mengakibatkan sindrom

ketergantungan (Athijah, 2011).

Psikotropika golongan II adalah psikotropika yang berkhasiat

pengobatan dan dapat digunakan dalam terapi dan atau untuk tujuan ilmu

pengetahuan serta mempunyai potensi kuat mengakibatkan sindroma

ketergantungan (Athijah, 2011).

Psikotropika golongan III berkhasiat pengobatan dan banyak

digunakan dalam terapi dan atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta

mempunyai potensi sedang mengakibatkan sindrom ketergantungan

(Athijah, 2011).

Sedangkan psikotropika golongan IV digunakan sangat luas dalam

terapi dan atau untuk tujuan ilmu pengetahuan. Hal ini karena obat-obat
tersebut mempunyai potensi ringan mengakibatkan sindrom

ketergantungan (Athijah, 2011).

5. Narkotika

Seperti tercantum dalam undang-undang No.35 tahun 2009,

“narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan

tanaman, baik sintesis maupun semisintesis, yang dapat menyebabkan

penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai

menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan”.

Obat-obat yang termasuk dalam golongan narkotika adalah bahan yang

mengandung opiat (Athijah, 2011).

Terdapat tiga golongan narkotika sesuai dengan ketentuan

perundang-undangan. Narkotika golongan I hanya dapat digunakan untuk

tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi,

serta, mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan

(Athijah, 2011).

Narkotika golongan II berkhasiat pengobatan dan digunakan

sebagai pilihan terakhir dalam terapi dan atau untuk tujuan pengembangan

ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan

ketergantungan (Athijah, 2011).


Narkotika golongan III banyak digunakan dalam terapi dan atau

untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi

ringan mengakibatkan ketergantungan (Athijah, 2011).

Menurut bentuk sediaannya, obat dapat dikelompokkan menjadi bentuk

padat (serbuk, tablet, pil, kapsul, dan supositoria); bentuk setengah padat (salep,

krim, pasta, gel, serata, dan salep mata); dan bentuk cair/larutan (potio, sirup,

eliksir, tetes mata, obat kumur, injeksi, infus, dan lotio); bentuk gas (inhalasi,

spray, aerosol) (Widyawati, 2019).

Menurut proses fisiologis dan biokimia dalam tubuh, obat dikelompokkan

sebagai berikut (Widyawati, 2019):

1. Obat farmakodinamik. Obat ini bekerja dengan mempercepat atau

memperlambat proses fisiologis atau fungsi biokimia tubuh.

2. Obat kemoterapeutik. Obat ini dapat membunuh parasit dan kuman di

dalam tubuh inang.

3. Obat diagnostik. Obat ini membantu diagnosis atau pengenalan

penyakit.

Selain itu, dalam pemasarannya, obat juga dapat dikelompokkan menjadi 3

bagian berdasarkan nama merknya, antara lain :

1. Obat paten

Obat paten atau specialite adalah obat milik perusahaan

tertentu dengan nama khas yang diberikan produsennya dan dilindungi

hukum, yaitu merek terdaftar (proprietary name) (Depkes, 2010).


Menurut UU No. 14 Tahun 2001 paten adalah hak ekslusif

yang diberikan negara kepada investor kepada hasil invesinya dibidang

teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan invesinya

tersebut atau memberikan persetujuan kepada pihak lain untuk

melaksanakannya. Invensi adalah ide investor yang dituangkan ke

dalam suatu kegiatan pemecahan masalah yang spesifik dibidang

teknologi dapat berupa produk atau proses, atau penyempurnaan dan

pengembangan produk atau proses. Investor adalah seorang atau

beberapa orang yang secara bersama-sama melaksanakan ide yang

dituangkan ke dalam kegiatan yang menghasilkan invensi. Masa

berlaku paten di Indonesia adalah 20 tahun. Selama 20 tahun itu,

perusahaan farmasi tersebut memiliki hak ekslusif di Indonesia untuk

memproduksi obat yang dimaksud. Perusahaan lain tidak

diperkenankan untuk memproduksi dan memasarkan obat yang serupa

kecuali jika memiliki perjanjian khusus dengan pemilik paten.

2. Obat Generik Bermerk / Bernama Dagang

Berdasarkan peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

Nomor HK.02.02/Menkes/068/I/2010 obat generik bermerk bernama

dagang adalah obat generik dengan nama dagang yang menggunakan

nama milik produsen obat yang bersangkutan.

3. Obat Generik

Berdasarkan peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

Nomor HK.02.02/Menkes/068/I/2010 obat generik adalah obat dengan


nama resmi International Non Propietary Names (INN) yang

ditetapkan dalam Farmakope Indonesia atau buku standar lainnya

untuk zat khasiat yag dikandungnya.

Penggolongan obat berdasarkan jenisnya menurut Menkes R.I. NO.

193/Keb/BVII/71:

1. Obat jadi adalah obat dalam keadaan murni atau campuran dalam

bentuk serbuk, tablet, pil, kapsul, supositoria, cairan, salep, atau bentuk

lainnya yang secara teknis sesuai dengan Farmakope Indonesia atau

buku resmi lain yang ditetapkan pemerintah.

2. Obat baru yaitu obat-obat yang berisi zat, baik yang berkhasiat maupun

tidak berkhasiat-seperti lapisan, pengisi, pelarut, pembantu, atau

komponen lain-yang belum dikenal sehingga tidak diketahui khasiat

dan kegunaannya.

3. Obat asli yaitu obat yang didapat langsung dari bahan-bahan alamiah

Indonesia, diolah secara sederhana berdasarkan pengalaman dan

digunakan dalam pengobatan tradisional

4. Obat esensial yaitu obat yang paling banyak dibutuhkan untuk layanan

kesehatan masyarakat dan tercantum dalam Daftar Obat Esensial

Nasional (DOEN) yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan Republik

Indonesia

5. Obat trasidional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan

tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik), atau

campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah


digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman (UU No. 23

Tahun 1992).

Berdasarkan keputusan Kepala Badan POM RI No.

HK.00.05.4.2411 tentang ketentuan pokok pengelompokan dan

penandaan obat bahan alam Indonesia, obat tradisional dikelompokkan

menjadi tiga, yaitu :

a. Jamu (Empirical Based Herbal Medicine)

Jamu adalah obat tradisional yang berisi seluruh bahan

tanaman yang menjadi penyusun jamu tersebut. Jamu disajikan

secara tradisional dalam bentuk serbuk seduhan, pil, atau

cairan. Umumnya, obat tradisional ini dibuat dengan mengacu

pada resep peninggalan leluhur. Satu jenis jamu disusun dari

berbagai tanaman obat yang jumlahnya antara 5-10 macam,

bahkan bisa lebih. Jamu tidak memerlukan pembuktian ilmiah

sampai uji klinis, tetapi cukup dengan bukti empiris. Di

samping klaim khasiat yang dibuktikan secara empiris, jamu

juga harus memenuhi persyaratan keamanan dan standar mutu.

Jamu yang telah digunakan secara turun temurun selama

berpuluh-puluh tahun bahkan ratusan tahun telah membuktikan

keamanan dan menfaat secara langsunguntuk tujuan kesehatan

tertentu (Suharmiati, 2006).


b. Obat Herbal Terstandar (Standarized Based Herbal Medicine)

Obat herbal terstandar merupakan obat tradisional

yang disajikan dari hasil ekstraksi atau penyarian bahan alam,

baik tanaman obat, binatang, maupun mineral. Dalam proses

pembuatannya, dibutuhkan peralatan yang tidak sederhana dan

lebih mahal daripada jamu. Tenaga kerjanya pun harus

didukung oleh pengetahuan dan keterampilan membuat

ekstrak. Obat herbal ini umumnya ditunjang oleh pembuktian

ilmiah berupa penelitian praklinis. Penelitian ini meliputi

standarisasi kandungan senyawa berkhasiat dalam bahan

penyusun, standarisasi pembuatan ekstrak yang higienis, serta

uji toksisitas akut maupun kronis (Suharmiati, 2006).

c. Fitofarmaka

Fitofarmaka merupakan obat tradisional yang dapat

disejajarkan dengan obat modern. Proses pembuatannya telah

terstandar dan ditunjang oleh bukti ilmiah sampai uji klinis

pada manusia. Karena itu, dalam pembuatannya diperlukan

peralatan berteknologi modern, tenaga ahli, dan biaya yang

tidak sedikit (Suharmiati, 2006).


DAFTAR PUSTAKA

Athijah, Umi. 2011. Buku Ajar Preskripsi Obat Dan Resep Jilid I. Airlangga

University Press : Surabaya.

Suharmiati. 2006. Cara Benar Meracik Obat Tradisional. Agromedia Pustaka :

Jakarta.

Widyawati, Veni. 2019. Jadi Dokter Keluarga Di Rumah Sendiri. Laksana :

Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai