Daerah terkait pembagian dana bagi hasil minyak dan gas bumi.
"UU Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah No. 33 tahun 2004 perlu direvisi," kata Harry Azhar Azis, di Batam,
Minggu.
Menurut Harry skema pembagian dana bagi hasil minyak dan gas bumi (DBH Migas) masih terlalu kecil bagi daerah
penghasil.
UU 33/2004 menetapkan daerah penghasil berhak atas 15,5 persen dari total DBH Migas secara nasional.
"Seharusnya bisa lebih besar, karena dampak negatif dari eksploitasi migas dirasakan langsung oleh daerah
penghasil," kata Harry.
Anggota DPR RI daerah pemilihan Provinsi Kepulauan Riau mengatakan umumnya eksploitasi migas berdampak
negatif pada lingkungan sekitar, sehingga memerlukan rehabilitasi. Dan dana untuk perbaikan kerusakan lingkungan
relatif besar.
"Karena itu DBH yang diterima daerah penghasil seharusnya bisa lebih besar," kata Harry.
Sementara itu, penerimaan DBH Migas untuk Kepri masih lebih kecil dari yang diatur dalam UU 33 tahun 2004, kata
Harry. Pada 2011 DBH Migas untuk Kepri Rp1,2 triliun, padahal, sumber pendapatan migas provinsi muda itu
mencapai Rp40 triliun.
"Artinya, 10 persen saja dari hasil migas tersebut tak sampai. Ini harus diperjuangkan agar penerimaan DBH migas
untuk Kepri terus meningkat," kata Harry.
Senada dengan Harry, anggota Dewan Pimpinan Daerah (DPD) asal Kepri Aida Ismeth mengatakan pembagian
DBH tidak adil untuk daerah penghasil.
"Tahun lalu DBH Kepri masih jauh dari 15 persen. Ini tidak adil, karena Kepri merupakan salah satu daerah penghasil
migas terbesar di Indonesia," kata Aida.
Aida bersama anggota DPD RI yang lain menemui kementerian terkait untuk mendorong peningkatan DBH untuk
daerah penghasil.
DPD juga bertemu Mahkamah Konstusi terkait pelaksanaan Undang Undang Nomor 33/2004 Tentang Perimbangan
Keuangan Pusat dan Daerah, kata Aida.
Ia mengatakan asas pemerataan yang dipegang pemerintah dalam membagikan DBH tidak tepat.
"Hendaknya tidak sampai mengganggu hak-hak daerah penghasil, seperti Kepri," kata istri mantan Gubernur Kepri
Ismeth Abdullah.
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 33 TAHUN 2004
TENTANG
PERIMBANGAN KEUANGAN
ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH
Pasal 14
Pembagian Penerimaan Negara yang berasal dari sumber daya alam sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 ayat (3) ditetapkan sebagai berikut:
a. Penerimaan Kehutanan yang berasal dari penerimaan Iuran Hak Pengusahaan Hutan (IHPH) dan Provisi Sumber Da
dari wilayah Daerah yang bersangkutan dibagi dengan imbangan 20% (dua puluh persen) untuk Pemerintah dan 8
Daerah.
b. Penerimaan Kehutanan yang berasal dari Dana Reboisasi dibagi dengan imbangan sebesar 60% (enam puluh pe
(empat puluh persen) untuk Daerah.
c. Penerimaan Pertambangan Umum yang dihasilkan dari wilayah Daerah yang bersangkutan, dibagi dengan imbang
Pemerintah dan 80% (delapan puluh persen) untuk Daerah.
d. Penerimaan Perikanan yang diterima secara nasional dibagi dengan imbangan 20% (dua puluh persen) untuk Pe
persen) untuk seluruh kabupaten/kota.
e. Penerimaan Pertambangan Minyak Bumi yang dihasilkan dari wilayah Daerah yang bersangkutan setelah dikuran
lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dibagi dengan imbangan:
Pasal 19
(1) Penerimaan Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi yang dibagikan ke Daerah adalah Penerimaan Negara dari su
Minyak Bumi dan Gas Bumi dari wilayah Daerah yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan
(2) Dana Bagi Hasil dari Pertambangan Minyak Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf e angka 2 sebes
dengan rincian sebagai berikut:
Pasal 20
(1) Dana Bagi Hasil dari Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf e an
0,5% (setengah persen) dialokasikan untuk menambah anggaran pendidikan dasar.
(2) Dana Bagi Hasil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibagi masing-masing dengan rincian sebagai berikut:
(3) Bagian kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, dibagikan dengan porsi yang sama besar u
provinsi yang bersangkutan.
Jakarta, Dalam rangka pelaksanaan kegiatan usaha hulu migas berdasarkan kontrak bagi hasil yang
berorientasi pada peningkatan efisiensi dan efektivitas pola bagi hasil produksi migas, perlu mengatur
bentuk dan ketentuan-ketentuan pokok kontrak bagi hasil tanpa mekanisme pengembalian biaya operasi.
Berdasakan pertimbangan tersebut, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan
tanggal 13 Januari 2017 menetapkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 08 Tahun 2017 tentang Kontrak
Kontrak bagi hasil gross split adalah suatu kontrak bagi hasil dalam kegiatan usaha hulu migas
Pasal 2 aturan ini menyatakan, Menteri ESDM menetapkan bentuk dan ketentuan-ketentuan pokok
kontrak bagi hasil gross split. Kontrak ini paling sedikit memuat persyaratan:
Kontrak bagi hasil gross split wajib memuat paling sedikit ketentuan-ketentuan pokok yaitu:
a. Penerimaan negara
b. Wilayah kerja dan pengembaliannya
c. Kewajiban pengeluaran dana
d. Perpindahan kepemilikan hasil produksi atas minyak dan gas bumi.
e. Jangka waktu dan kondisi perpanjangan kontrak.
f. Penyelesaian perselisihan.
g. Kewajiban pemasokan minyak bumi dan/atau gas bumi untuk kebutuhan
dalam negeri.
h. Berakhirnya kontrak.
i. Kewajiban pasca operasi pertambangan
j. Keselamatan dan kesehatan kerja.
k. Pengelolaan lingkungan hidup.
l. Pengalihan hak dan kewajiban.
m. Pelaporan yang diperlukan.
n. Rencana pengembangan lapangan.
o. Pengutamaan penggunaan kerja Indonesia.
p. Pengutamaan pemanfaatan barang dan jasa dalam negeri.
q. Pengembangan masyarakat sekitarnya dan jaminan hak-hak masyarakat
adat.
Dalam pasal 4 dinyatakan, kontrak bagi hasil gross split menggunakan mekanisme bagi hasil awal (base
split) yang dapat disesuaikan berdasarkan komponen variabel dan komponen progresif.
Dalam pelaksanaan kontrak bagi hasil gross split, ditetapkan besaran bagi hasil awal (base split) yaitu:
a. Untuk minyak bumi sebesar 57% bagian negara dan 43% bagian
kontraktor.
b. Untuk gas bumi sebesar 52% bagian negara dan 48% bagian kontraktor.
Bagi hasil awal digunakan sebagai acuan dasar dalam penetapan bagi hasil pada saat persetujuan
“Pada saat persetujuan pengembangan lapangan, besaran bagi hasil ditetapkan berdasarkan bagi hasil
awal (base split) yang disesuaikan dengan komponen variabel dan komponen progresif,” demikian bunyi
pasal 6 ayat 1.
Komponen variabel yang dimaksud, antara lain status wilayah kerja, lokasi lapangan,
Sementara komponen progresif adalah harga minyak bumi dan jumlah kumulatif produksi migas.
Dalam hal perhitungan komersial lapangan atau beberapa lapangan tidak mencapai keekonomian
tertentu, Menteri ESDM dapat memberikan tambahan persentase bagi hasil paling banyak sebesar 5%
kepada kontraktor.
Sebaliknya, dalam hal perhitungan komersialisasi lapangan atau beberapa lapangan melebihi
keekonomian tertentu, Menteri ESDM dapat menetapkan tambahan persentase bagi hasil paling banyak
Pasal 8 aturan ini menyebutkan, Menteri ESDM atas usulan SKK Migas, menetapkan bagi hasil yang
merupakan satu kesatuan dengan persetujuan rencana pengembangan lapangan pertama. Kepala SKK
Dalam hal terdapat perbedaan komponen variabel dan komponen progresif pada pengembangan
lapangan dengan kondisi aktual, dilakukan penyesuaian bagi hasil dengan mengacu pada kondisi aktual
bulan berdasarkan hasil evaluasi yang dilaksanakan oleh SKK Migas. Evaluasi ini dilakukan berdasarkan
Penyesuaian bagi hasil dituangkan dalam berita acara yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Terkait penerimaan negara dan kontraktor, diatur bahwa penerimaan negara dalam kontrak bagi
hasil gross split terdiri atas bagian negara, bonus-bonus dan pajak penghasilan kontraktor. Selain
penerimaan negara tersebut, pemerintah mendapatkan pajak tidak langsung sesuaidengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Penerimaan kontraktor (contractor take) dalam kontrak bagi hasil gross split merupakan bagian kontraktor
yang dihitung berdasarkan persentase gross produksi setelah dikurangi pajak penghasilan. Ketentuan
mengenai pemberian fasilitas perpajakan dan insentif lainnya mengikuti ketentuan peraturan perundang-
undangan fasilitas perpajakan dan insentif pada kegiatan usaha hulu migas.
Kontraktor wajib membayar pajak penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
Pasal 14 menyatakan, biaya operasi yang telah dikeluarkan oleh kontraktor dapat diperhitungkan sebagai
Mengenai rencana kerja dan anggaran serta rencana pengembangan lapangan, Pasal 15 menyatakan,
kontraktor wajib menyusun dan menyampaikan rencana kerja dan anggaran kepada SKK Migas.
Berdasarkan hasil evaluasi, SKK Migas dapat menyetujui atau menolak rencana kerja yang dismapaikan
oleh kontraktor dalam jangka waktu paling lama 30 hari kerja setelah diterimanya dokumen rencana kerja
yang lengkap.
Menteri ESDM memberikan persetujuan terhadap rencana pengembangan lapangan yang pertama kali
akan diproduksikan dalam suatu wilayah kerja berdasarkan pertimbangan dari SKK Migas. Kepala SKK
memenuhi kebutuhan minyak dan atau gas bumi untuk keperluan dalam negeri. Kewajiban kontraktor
untuk ikut memenuhi kebutuhan dalam negeri, dilakukan dengan menyerahkan sebesar 25% dari hasil
produksi minyak bumi dan atau gas bumi bagian kontraktor. Atas pemenuhan kewajiban ini, kontraktor
Ditetapkan pula, kontraktor wajib mengutamakan penggunaan tenaga kerja warga negara Indonesia,
pemanfaatan barang, jasa, teknologi serta kemampuan rekayasa dan rancang bangun dalam
negeri.Sedangkan pengadaan atas barang dan jasa dilakukan oleh kontraktor secara mandiri.
Data yang diperoleh kontraktor dari pelaksanaan kontrak bagi hasil gross split merupakan data milik
negara.
Ketentuan-ketentuan mengenai tata cara penyiapan, penetapan dan penawaran wilayah kerja, komitmen
dana kegiatan pasca operasi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
“Seluruh barang dan peralatan yang secara langsung digunakan dalam kegiatan usaha hulu minyak dan
gas bumi yang dibeli kontraktor menjadi milik/kekayaan negara yang pembinaannya dilakukan oleh
Pemerintah dan dikelola oleh SKK Migas,” demikian bunyi pasal 21.
Dinyatakan pula, tanah yang telah diselesaikan proses pembebasannya oleh kontraktor menjadi milik
Terkait pengendalian dan pengawasan, SKK Migas melaksanakan pengendalian dan pengawasan
Pengelolaan terhadap wilayah kerja yang akan berakhir jangka waktu kontraknya dan tidak
diperpanjang, diberlakukan kontrak bagi hasil gross split. Dalam hal wilayah kerja kerja yang akan
berakhir jangka waktu kontraknya dan diperpanjang, Pemerintah dapat menetapkan bentuk kontrak kerja
Pada saat Permen ini mulai berlaku, ketentuan dan yang mengatur mengenai kontrak bagi hasil gross
split sliding scale dalam Permen ESDM Nomor 38 Tahun 2015 tentang Percepatan Pengusahaan Minyak
dan Gas Bumi Non Konvensional, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pemerintah menargetkan penandatangan kontrak kerja sama bagi hasil gross split Blok
Rokan dapat dilaksanakan pada akhir Januari 2019. Sebelumnya pada Desember
2018, PT Pertamina telah membayar bonus tanda tangan sebesar US$ 784 juta atau
Rp 11,3 triliun dan jaminan pelaksanaan sebesar 10% dari total komitmen kerja pasti
(KKP) yang mencapai US$ 500 juta atau Rp 7,2 triliun.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan kepada wartawan di
Kementerian ESDM, Jumat (4/1), mengatakan, pembahasan kontrak kerja sama
memakan waktu sekitar 2 minggu, sebelum akhirnya ditandatangani.
"Ya ini kan banyak sebagian yang masih cuti. Ya pekan depan dibahas ya. Kalau sudah
mulai hari ini, ya dalam dua pekan ke depan sudah bisa ditandatangani," kata Jonan.
Dengan dikelolanya Blok Rokan oleh Pertamina mulai 9 Agustus 2021 mendatang,
maka kontribusi produksi minyak BUMN tersebut meningkat menjadi 60% dari produksi
minyak nasional. Tahun 2018, kontribusi produksi minyak Pertamina sekitar 36%. "Nah
di 2021 nanti, kami ekspektasi, kontribusi minyak Pertamina bisa meningkat 50%,"
tambah Jonan.
Blok Rokan merupakan blok minyak terbesar di Indonesia. Saat ini, produksinya
mencapai 207.000 barel per hari atau setara dengan 26% produksi nasional. Blok yang
memiliki luas 6.220 kilometer ini memiliki 96 lapangan di mana tiga lapangan berpotensi
menghasilkan minyak sangat baik yaitu Duri, Minas dan Bekasap. Tercatat, sejak
beroperasi 1971 hingga 31 Desember 2017, total produksi di Blok Rokan mencapai
11,5 miliar barel minyak sejak awal operasi.
Ketua Komisi III DPRD Riau, Husaimi Hamidi, kepada Gatra.com menyebut
perusahaan badan usaha milik daerah (BUMD) itu menunjukan tanda-tanda
tidak siap melaksanakan tugas. Adapun kerja Chevron di Blok Rokan akan
berakhir pada tahun 2021,selanjutnya Pertamina menjadi pengelolah blok
tersebut.
"Ini perusahaan ruginya setiap tahun, mau tumbang. Hari ini kondisi
perusahaanya minus. Bahkan konsultan yang melakukan kajian-kajian
tentang Blok Rokan enggan mengeluar hasil kajiannya, lantaran belum
dibayar oleh Riau Petroleum. Saya pikir biaya miliaran, tapi Rp300 juta,
perusahaan tak mau bayar," tekannya.
"Bisa saja berubah. Dalam waktu dekat kita akan melakukan Focus Group
Discussion (FGD) bersama Dinas Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), nanti
penilaianya tergantung Pertamina Hulu Energi (PHE), nanti kalau dianggap
tidak layak sesuai kajian naska akademis, kita ganti," pungkasnya.