Anda di halaman 1dari 8

ANALISA KASUS FIRST TRAVEL

DALAM SUDUT PANDANG AKUNTANSI

Latar Belakang
Andika Surachman dan Anniesa Hasibuan merupak pendiri dari pendiri biro perjalanan
wisata First Travel. Dahulu sebelum memulai bisnis dengan mendirikan First Travel , Andika
adalah seorang karyawan magang dari sebuah bank swasta dengan gaji yang dibayarkan per
hari. Lalu dia melanjutkan karirnya sebagai karyawan minimart. Ketika asyah mertuanya
meninggal andika harus menghidupi ketiga adik iparnya yang masih kecil. Ini yang membuat
andika mulai membuka usaha diantaranya mendirikan kios pulsa , menjual burger dan sprei.
Namun mengalami kerugian dan berhutang 50 juta , sehingga harus menyerahkan rumah
ayah mertuanya yang dijadikan jaminan dan hanya tersisa uang sebesar 10 juta. Uang tersebut
digunakan andika untuk membuka CV First Karya Utama yang bergerak pada bidang biro
perjalanan wisata. Andika dan istrinya memulai bisnis ini dengan mimpi mereka yang ingin
keliling Indonesia walaupun mereka sama sekali belum punya pengalaman dalam bidang
tersebut. Usaha mulai memperlihatkan hasil ketika menerima 100 klien dari Bank Indonesia
untuk umroh dan memenangkan tender dari pertamina. CV First Karya Utama berubah
menjadi PT First Travel dan akhirnya mulai mendapatkan banyak klien khususnya calon
jamaah umroh. Pada tahun 2012 berhasil memberngkatkan 800-900 orang, ditahun
berikutnya meningkat menjadi 3600 orang, di tahun 2014 memberangkatkan 15700 orang dan
pada tahun 2016 sudah ada 35.000 yang akan diberangkatkan menuju tanah suci. Karena
sering ditipu oleh temannya andika tidak mengangkat karyawan lagi dari orang yang mereka
kenal dan membuka canang hingga ke London . Kini First Travel menjadi salah satu biro
perjalanan ternama dengan omset 30 juta dollar amerika.
1. KRONOLOGI
 1 Juli 2009 First travel mengawali usahanya dari sebuah bisnis biro perjalanan
wisata , dibawah CV First Karya Utama. Menawarkan layanan perjalanan wisata
domestic dan internasional untuk klien perseorangan maupun perusahaan.
 Awal 2011 merambah bisnis perjalanan ibadah umroh dibawah bendera PT First
Anugerah Karya Wisata dan berkembang pesat
 28 Maret 2017 First Travel mendapat perhatian Kemenag setelah First Travel gagal
memberangkatkan jemaah umrah. Dalam kejadian itu jemaah diinapkan di hotel
sekitar Bandara Soekarno Hatta.
 18 April 2017 Kementerian Agama pun melakukan klarifikasi, investigasi, advokasi,
hingga mediasi dengan jemaah. Saat pertemuan itu juga, Kemenag langsung
menanyakan kejelasan kasus ini ke petinggi First Travel. Namun pihak manajemen
tidak memberikan jawaban sama sekali.
 24 Mei 2017 Kemenag kembali memanggil First Travel pada 24 Mei 2017. Upaya ini
pun gagal karena pihak manajemen tidak hadir.
 21 Juli 2017 Satuan Tugas Waspada Investasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
memerintahkan PT First Anugerah Karya Wisata untuk menghentikan penjualan
paket promonya karena ada indikasi investasi ilegal dan penghimpunan dana
masyarakat tanpa izin. First Travel juga tidak pernah menyampaikan data jamah yang
mendaftar dan belum diberangkatkan. Dokumen ini sudah diminta sejak empat bulan
lamanya.
 3 Agustus 2017 Pencabutan izin dilakukan karena PT First Anugerah Karya Wisata
dinilai terbukti telah melakukan pelanggaran. Pelanggaran tersebut berupa tindakan
penelantaran jemaah umrah yang mengakibatkan gagal berangkat ke Arab Saudi, dan
mengakibatkan timbulnya kerugian materi dan immateril yang di alami jemaah
umrah.

2. MASALAH YANG TERJADI


 Melakukan penelantaran calon jamaah haji sehingga semakin bertambah korban yang
gagal berangkat
 Memberikan promo yang tidak sesuai dengan arahan pemerintah seperti paket umroh
14 juta
 Menggunakan uang calon jamaah haji yang satu untuk memberangkatkan calon
jamaah haji yang lain, sehingga pada agustus diketahui 58.000 calon jamaah yang
gagal berangkat.
 Agen travel umroh memiliki izin, tetapi kegiatan pemasarannya tidak sesuai tujuan
dan lebih cenderung menggunakan mekanisme MLM.

3. PERUSAHAAN TRAVEL SEJENIS


 Abu tour , menawarkan promo yang mirip dengan first travel namun belum
ditemukan laporan dari calon jamaah.
 PT Arminareka, pemimpin cabang ditangkap karena menggelapkan uang pendaftaran
milik jamaah dan juga menerapkan sistem tambal sulam.
 PT Religi Sukses Jaya Sakti , berpusat di Jakarta dan memiliki cabang di Surabaya.
Beberapa Jemaah sudah menyetor uang sebesar 32 juta per orang namun tidak ada
yang diberangkatkan. Komisaris perusahaan tersebut dijatuhi hukuman 2 tahun pada
2015.
Kasus yang dialami oleh First Travel sangat menarik untuk dipelajari khususnya oleh
masyarakat yang mau mendirikan perusahaan, melakukan usaha, atau telah mempunyai
perusahaan. Tujuan dari tulisan ini adalah agar pemilik perusahaan dapat terhindar dari
masalah yang besar. Kasus ini dimulai dari ribuan calon jemaah yang gagal berangkat ke
Tanah Suci untuk menjalankan Ibadah Umroh. Agar calon jemaah ini dapat berangkat sesuai
jadwal, maka First Travel membutuhkan investor atau calon jemaah baru sehingga First
Travel mempunyai dana yang cukup. Saya tidak akan menyatakan kasus ini sebagai kasus
penipuan atau perbuatan pidana lain. Hal ini karena saat ini proses hukum masih berlangsung
dan belum ada putusan dari pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Namun, ada 2 kesalahan fatal yang dilakukan oleh pemilik First Travel yaitu:
1. Tidak mampu memisahkan kekayaan Perusahaan dan kekayaan pribadi.
Di dunia akuntansi dikenal prinsip entitas ekonomi. Akuntansi menyatakan bahwa
perusahaan adalah sebuah kesatuan ekonomi yang berdiri sendiri, terpisah dengan pribadi
pemilik ataupun entitas ekonomi yang lain. Akuntansi memisahkan dengan jelas antara
kekayaan atau aset perusahaan dan kekayaan pribadi pemilik perusahaan.
Berdasarkan penelusuran yang dilakukan oleh lembaga resmi Pemerintah yaitu
PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) terungkap bahwa sebagian uang
calon jemaah First Travel yang belum berangkat, dipakai oleh pemilik First Travel untuk
membeli mobil, rumah dan barang mewah lain. PPATK juga mengungkapkan bahwa uang
tersebut juga dipakai untuk melakukan perjalanan ke luar negeri yang dilakukan oleh pemilik
First Travel.
Perbuatan yang dilakukan oleh pemilik First Travel sangat tidak sesuai dengan prinsip
akuntansi. Pemilik First Travel seharusnya mengatur keuangan perusahaan dengan bijak.
Uang setoran calon jemaah hanya boleh digunakan untuk pembiayaan Ibadah Umroh seperti
membayar tiket pesawat, membayar Hotel dan pembiayaan lain. Jika uang tersebut ingin
dikembangkan, uang tersebut dapat diinvestasikan dengan cara yang aman yaitu dengan cara
ditaruh di bank syariah dalam bentuk deposito. Investasi ini sangat aman karena simpanan di
bank dijamin oleh Pemerintah.
Sementara itu pemilik perusahaan hanya diperbolehkan untuk mendapatkan gaji,
tunjangan, bonus dan dividen. Pemilik perusahaan tidak boleh menggunakan uang milik
perusahaan untuk kepentingan pribadi walau pemilik perusahaan mempunyai kuasa untuk
melakukan hal tersebut. Jika pemilik perusahaan memaksa untuk menggunakan uang
perusahaan maka kematian perusahaan tinggal menunggu waktu.
2. Komisaris merangkap sebagai Direktur Keuangan
Polisi sudah menetapkan adik pemilik First Travel adalah Komisaris merangkap
Direktur Perusahaan. Rangkap jabatan ini adalah suatu hal yang tidak boleh terjadi. Hal ini
karena Komisaris bertugas untuk mengawasi Direksi. Hal ini menunjukkan internal kontrol
tidak ada sama sekali, tidak ada pihak yang mengawasi Direksi.
UU Perseroan Terbatas telah mengatur fungsi dari komisaris yaitu melakukan
pengawasan atas 2 hal, yaitu kebijakan yang diambil oleh direksi dan operasional perusahaan.
Hal ini dilakukan untuk kepentingan perusahaan. Komisaris juga berwenang untuk
memberikan nasihat kepada Direksi agar terhindar dari kerugian.
Pemilik First Travel seharusnya menunjuk seseorang untuk menjalankan tugas
sebagai bagian keuangan dan menunjuk pihak lain sebagai Komisaris. Fungsi pengawasan ini
sangat penting dan harus dilakukan karena perusahaan membutuhkan pihak atau seseorang
untuk mengingatkan apabila ada kesalahan dalam operasional perusahaan. Hal ini agar
perusahaan terhindar dari kesulitan atau masalah besar. Apabila dirasakan perlu, maka
pemilik perusahaan dapat menunjuk kantor akuntan publik sebagai auditor untuk melakukan
audit keuangan. Hal ini untuk memastikan laporan keuangan perusahaan dalam keadaan
wajar sehingga dapat dipercaya untuk mengambil keputusan.

KASUS FIRST TRAVEL: SUDUT PANDANG AKUNTANSI DAN AUDIT

Berdasarkan Peraturan Menteri Agama Nomor 18 Tahun 2015, setiap penyelenggaraan


perjalanan ibadah umrah oleh biro perjalanan wisata wajib mendapatkan izin operasional
sebagai PPIU (Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah). Izin operasional sebagai PPIU
diberikan oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri setelah biro memenuhi beberapa
persyaratan, salah satunya adalah memiliki laporan keuangan perusahaan yang sehat 1 (satu)
tahun terakhir dan telah diaudit akuntan publik yang terdaftar dengan opini minimal Wajar
Dengan Pengecualian (WDP). Izin operasional tersebut berlaku untuk jangka waktu 3 tahun
dan dapat diperpanjang. Melalui peraturan tersebut, secara umum Kementerian Agama
‘tampaknya’ sudah melakukan perannya sebagai regulator yang bertugas melindungi
kepentingan masyarakat umum, dalam hal ini para jamaah umrah yang menggunakan jasa
biro perjalanan. Biro yang mengajukan permohonan untuk mendapatkan izin operasional
diharuskan untuk memiliki laporan keuangan yang sehat.
Tidak hanya sekedar laporan keuangan, Kementerian Agama mensyaratkan laporan
keuangan tersebut harus dalam keadaan sehat. Namun laporan keuangan yang bagaimanakah
yang bisa dikatakan sehat? Dalam akuntansi, dikenal istilah analisis laporan keuangan.
Dengan menganalisis laporan keuangan suatu perusahaan, kita dapat mengetahui apakah
perusahaan tersebut memiliki masalah keuangan seperti masalah likuiditas, laba yang
menurun, pendapatan yang berkurang dari tahun sebelumnya, dan bisa juga masalah
keberlangsungan usaha. Berkaitan dengan kasus biro perjalanan umrah First Travel, saya
akan mencoba memaparkan bagian penting dari laporan keuangan suatu biro perjalanan.
Dalam praktik jasa biro perjalanan, pelanggan biasanya diharuskan untuk melakukan
pembayaran uang muka terlebih dahulu agar biro perjalanan dapat memastikan dan
memasukkan pelanggan ke dalam kuota daftar keberangkatan. Dari segi pencatatan akuntansi
biro perjalanan, uang muka tersebut dicatat sebagai liabilitas (kewajiban), biasanya dalam
akun Pendapatan Diterima di Muka.
Alasannya, uang tersebut sebenarnya belum direalisasikan menjadi pendapatan karena
biro perjalanan belum menuntaskan kewajibannya yakni memberangkatkan para calon
jamaahnya. Oleh karena itu, untuk mengetahui stabilitas keuangan suatu biro perjalanan,
analisis yang dapat dilakukan adalah melihat tingkat likuiditasnya. Salah satu hal yang bisa
dilakukan adalah menghitung rasio lancar (current ratio), yakni mengukur kemampuan
perusahaan untuk melunasi hutang-hutang jangka pendeknya dengan menggunakan aset
lancarnya (misalnya Kas dan Piutang). Caranya adalah dengan membandingkan aset lancar
dengan liabilitas jangka pendek (termasuk Pendapatan Diterima di Muka). Contohnya,
perusahaan memiliki aset lancar sebesar Rp 1.500.000 dengan liabilitas jangka pendek
sebesar Rp 1.000.000, maka rasionya adalah 1,5. Dengan angka rasio 1,5, perusahaan bisa
dikatakan cukup sehat karena perusahaan dapat melunasi hutang-hutangnya yang akan jatuh
tempo dalam waktu dekat dengan menggunakan aset lancarnya.
Dalam kasus ini, biro perjalanan yang memiliki rasio likuiditas 1,5 memiliki aset lancar
yang cukup untuk melunasi hutangnya yakni memberangkatkan para jamaah umrah yang
telah menyetor uang muka sebelumnya. Seperti yang sudah dituliskan sebelumnya, ketika
meninjau laporan keuangan biro perjalanan, idealnya yang harus diperhatikan adalah tingkat
likuiditas laporan keuangan. Ini merupakan hal yang sangat penting karena likuiditas
mencerminkan kemampuan perusahaan untuk memberangkatkan para jamaahnya. Risiko
utama yang dihadapi para jamaah adalah perusahaan gagal memberangkatkan mereka dan
perusahaan tidak bisa mengembalikan uang yang sudah disetor jamaah. Oleh karenanya
Kementerian Agama seharusnya tidak boleh mengeluarkan izin operasional kepada biro
perjalanan yang memiliki tingkat likuiditas yang buruk. Biro perjalanan yang memiliki
masalah likuiditas berarti mengalami masalah keberlangsungan usaha pula. Jika biro gagal
memberangkatkan jamaah umrah yang sudah membayar, maka hal ini tentu akan berdampak
pada nama baik biro di masa mendatang sehingga dapat menurunkan jumlah pendapatannya.
Dalam menjalankan tugasnya sebagai regulator dengan tujuan melindungi kepentingan
masyarakat umum, Kementerian Agama dalam hal ini menghadapi risiko informasi. Risiko
yang dimaksud adalah kemungkinan adanya kesalahan informasi dari laporan keuangan biro
perjalanan. Mengapa risiko ini ada? Karena laporan keuangan dibuat oleh biro perjalanan itu
sendiri. Oleh karenanya, biro perjalanan bisa saja menyembunyikan keburukannya dan
menuliskan informasi yang keliru di dalam laporan keuangannya. Karena keberadaan risiko
inilah Kementerian Agama mensyaratkan laporan keuangan keuangan yang telah diaudit
akuntan publik. Peran auditor adalah meminimalisir risiko informasi yang dihadapi pengguna
laporan keuangan. Auditor sebagai pihak independen idealnya tidak memiliki kepentingan
dengan perusahaan yang diaudit maupun dengan pihak pengguna laporan.
Audit bertujuan memastikan laporan keuangan bebas dari salah saji material, sehingga
meningkatkan kredibilitas dan keandalan dari laporan keuangan tersebut. Auditor juga
melaporkan permasalahan-permasalahan material yang sedang dihadapi perusahaan jika
memang perusahaan sedang mengalaminya. Dengan laporan keuangan yang sudah diaudit,
Kementerian Agama dapat mengandalkan informasi yang tertuang di dalam laporan
keuangan tersebut dan kemudian mengambil keputusan berdasarkan informasi tersebut.
Namun yang perlu ditekankan adalah, tugas auditor bukan memberikan pernyataan
mengenai keadaan keuangan suatu perusahaan yang diaudit, apakah sehat atau tidak sehat,
melainkan hanya memberikan jasa asurans mengenai laporan keuangan yang dibuat oleh
pihak manajemen, agar para pengguna laporan keuangan dapat mengandalkan informasi
yang tertera di dalamnya. Jadi, untuk menentukan keadaan keuangan suatu biro perjalanan
dalam keadaan sehat atau tidak tetap menjadi tugas Kementerian Agama.
Dalam kasus First Travel, terdapat fakta yang sangat mengejutkan, berdasarkan kutipan
berita dari situs kriminalitas.com tanggal 22 Agustus 2017, pengacara korban penipuan First
Travel, Aldwin Rahadian, mempertanyakan izin operasional First Travel yang dikeluarkan
oleh Kementerian Agama. Kenyataannya adalah laporan keuangan dari First Travel belum
masuk ke Kementerian Agama. Jika laporan keuangan First Travel belum diserahkan ke
Kementerian Agama, bagaimana bisa Kementerian Agama mengeluarkan izin operasional
First Travel? Jawabannya juga tidak kalah mengejutkan. Seperti yang dikutip dari berita
www.tribunnews.com tanggal 29 Agustus 2017, pihak Kemenag mengaku sudah memeriksa
berbagai persyaratan yang dibutuhkan. Sekretaris Jenderal Kementerian Agama, Nur Syam,
menyebutkan bahwa berbagai persyaratan yang dibutuhkan bisa dipenuhi First Travel,
termasuk laporan keuangan tahunan. Dia mengatakan "Laporan keuangan setahun terakhir
(sebelum perpanjangan izin) dari akuntan publik, ada laporan yang menyatakan bahwa
keuangan First Travel dinilai dengan catatan wajar dengan pengecualian." Akuntan publik
mana yang mengeluarkan hasil audit untuk perusahaan yang saat ini tengah berkasus
tersebut, Sekjen Kemenag mengaku lupa.
Berdasarkan fakta yang terdapat dalam kedua berita tersebut, saya menyimpulkan bahwa
pada tahun 2016, First Travel mengurus izin operasional dan First travel dianggap sudah bisa
memenuhi persyaratan-persyaratan yang dicantumkan dalam peraturan, termasuk peraturan
mengenai laporan keuangan tahunan. Namun sebenarnya Kementerian Agama tidak
menerima laporan keuangan First Travel, melainkan hanya menerima laporan audit dari
auditor First Travel yang menyatakan bahwa laporan keuangan First Travel mendapatkan
opini Wajar Dengan Pengecualian. Kemudian berdasarkan laporan audit dengan opininya
tersebut, Kementerian Agama merasa bahwa First Travel sudah memenuhi syarat yang
ditentukan. Di sinilah letak kesalahannya. Peraturan tersebut seolah-olah menyatakan bahwa
jika suatu biro perjalanan telah mendapatkan minimal opini Wajar Dengan Pengecualian,
maka dengan asumsi syarat lain juga terpenuhi, biro perjalanan tersebut bisa diberikan izin
operasional untuk 3 tahun ke depannya. Seperti yang tertera dalam ISA 200 alinea 3, opini
auditor tidak memberikan keyakinan atas, sebagai contoh, kelangsungan hidup entitas di
masa depan maupun efisiensi atau efektivitas manajemen dalam melaksanakan kegiatan
entitas. Kementerian Agama sepertinya keliru dalam memaknai peraturannya sendiri dan
menganggap opini dari auditor sudah cukup untuk memastikan kesehatan keuangan dan
keberlangsungan usaha First Travel, padahal Kementerian Agama seharusnya melihat dan
menilai sendiri laporan keuangan First Travel. Dengan opini Wajar Dengan Pengecualian
yang didapatkan First Travel, Kementerian Agama seharusnya menelusuri bagian yang
dikecualikan oleh auditor, yakni hal-hal yang membuat auditor menganggap adanya suatu
permasalahan dalam laporan keuangan First Travel.

Anda mungkin juga menyukai