Anda di halaman 1dari 3

FRAUD BANK SYARIAH MANDIRI : NODA INDUSTRI KEUANGAN SYARIAH

Oleh : Adel Hikam Arif

Sekalipun berlabel Syariah dan mendapat pengendalian tambahan dari Dewan


Pengawas Syariah, tidak menjamin sumber daya manusia dalam Lembaga Keuangan
Syariah bertindak sesuai ketentuan ajaran Islam. Kasus kecurangan keuangan yang terjadi
pada Bank Syariah Mandiri Cabang Bogor pada tahun 2013 lalu menjadi contohnya. Bank
Mandiri Syariah cabang Bogor harus mengalami kerugian kurang lebih Rp 102 Miliar akibat
skandal kredit fiktif yang dilakukan oleh beberapa pemangku jabatan.
Sebenarnya modus Fraud yang dilakukan bisa dikatakan primitif. Yaitu dengan cara
memalsukan dokumen-dokumen mulai dari pengajuan pembiayaan hingga pencairan dana.
Modus Fraud semacam ini tentunya diawali dengan tindakan kolusi antara pemangku
jabatan di internal Bank Mandiri Syariah cabang Bogor dengan pihak eksternal. Dalam
kasus ini diwakili oleh tiga orang pemangku jabatan dan seorang pengusaha properti
berinisial IP.
Menurut hasil penyelidikan Polres Bogor, kronologi kejadian diawali dengan
pertemuan antara Account Officer berinisal JL dengan IP selaku pengusaha properti. Pada
awalnya, IP mengajukan pembiayaan pembangunan rumah pribadi dengan nilai di atas Rp 1
Milyar. Kedua pihak ini sebelumnya memang sudah sering bertemu karena sama-sama
menggeluti bisnis properti. Oleh karena sudah benar-benar saling kenal, maka muncul niat
berbuat curang dengan membuat pembiayaan fiktif yang diinisiasi IP lantas kemudian
membujuk JL untuk membantu memuluskan niatnya. Supaya rencana bisa berjalan dengan
benar-benar mulus, IP terlebih dahulu memberikan hadiah kepada pejabat Bank Syariah
Mandiri (BSM) Kantor Cabang Pembantu Bogor berupa mobil atau uang tunai 3 hingga 4
miliar rupiah. Pemberian inilah yang diduga menjadi pendorong pejabat BSM berani
melanggar prosedur penerimaan pengajuan kredit perumahan dengan benar.
IP kemudian mengajukan pembiayaan pada Juli 2011 hingga Mei 2012 dengan
menggunakan akad mudharabah. Awalnya pengajuan itu untuk pembelian lahan dan
pembangunan perumahan di wilayah Bogor. IP mengajukan 197 nasabah dengan plafon
Rp100 juta sampai Rp 300 juta. Dari 197, ada 113 nasabah fiktif. Berarti hanya 84 nasabah
yang asli. Ke 113 identitas nasabah fiktif ini seperti KTP, persyaratan administrasi, dan datadata semuanya dipalsukan. Kemudian rata-rata setiap nasabah fiktif dibuat IP mendapat
plafon kreditnya sebesar Rp 100 sampai Rp 200 juta. Kredit fiktif yang diajukan IP bisa
berjalan mulus tentu karena adanya kerjasama dengan orang dalam. Sampai pada

akhirnya, manajemen BSM menaruh kecurigaan pada laporan KCP BSM Bogor karena ada
sesuatu yang tidak beres di kantor cabang itu pada 2012. Kemudian kecurigaan tersebut
ditindaklanjuti dengan diturunkannya direktorat kepatuhan BSM dan tim audit khusus BSM
pusat. Temuan awal sebenarnya bisa dikatakan sederhana. Tim BSM menemukan adanya
dugaan penggelembungan nilai kredit (mark up). Penindakan kemudian dilanjutkan ke ranah
hukum pada 12 September 2013. Pihak BSM mengklaim pengaduan yang dilakukan
merupakan bagian dari penerapan tata kelola perusahaan yang baik atau good corporate
governance (GCG).
Dari manajemen pusat BSM memang tidak bisa melakukan penelitian secara
langsung kredit yang diajukan nasabah. Karena kredit yang diajukan itu sifatnya perorangan
dan nilainya tidak besar, sehingga persetujuan kredit hanya sampai pada tingkat pimpinan
BSM Cabang saja.
Hal yang bisa dipelajari adalah soal pengendalian internal. Dalam kasus ini,
pengendalian internal di Bank Mandiri Syariah ternyata masih bisa dibobol relatif dengan
mudahnya. Selain itu, masalah independensi di sini juga menjadi sebuah concern. Hal
tersebut bisa dilihat dari pihak account officer yang memiliki kedekatan khusus dengan pihak
pengusaha properti. Adanya kedekatan dengan pihak yang mengajukan pembiayaan pada
dasarnya mengandung resiko independensi dimana prosedur operasi sewaktu-waktu bisa
ditelikung. Untuk itu, dalam masalah independensi, apabila account officer menghadapi
pemohon yang merupakan orang dekat, maka sebaiknya dialihkan ke account officer yang
lain. Posisi account officer juga perlu sering dilakukan rotasi untuk mengindari kemungkinan
terjadinya kecurangan mengingat posisi tersebut merupakan ujung tombak dalam hal
pembiayaan.
Dalam kaitannya dengan pengendalian internal, Bank Mandiri Syariah pusat sendiri
mengakui kalau pengawasan terhadap pembiayaan memang dirasa kurang karena terlalu
mempercayakan kepada cabang. Maka dari itu, pusat perlu melakukan pemeriksaan
terhadap pelaksanaan pembiayaan secara berkala. Hal ini bisa dilakukan dengan
mengandalkan Satuan Pengawasan Internal yang bertanggung jawab langsung kepada
jajaran pemimpin pusat. Kewaspadaan juga harus ditingkatkan untuk memitigasi
kecurangan keuangan. Hal tersebut bisa dilakukan dengan mengawasi perilaku dan gerakgerik staff dan jajaran pemimpin cabang. Kecurigaan boleh saja ditimpakan kepada
siapapun di internal manajemen apabila terdapat perilaku atau kondisi yang tidak wajar
seperti gaya hidup di luar kewajaran, hegemoni dan tekanan-tekanan tidak wajar (red flag
behavior).

Bank Mandiri Syariah merupakan bagian dari industri keuangan Syariah yang
menjadi ikon dalam pengembangan Ekonomi dan Bisnis yang Islami. Dalam rancang
bangun Ekonomi Islam, akhlak merupakan pilar penopang. Dalam hal ini, peranan Dewan
Pengawas Syariah yang komponennya berasal dari unsur Ulama perlu ditingkatkan untuk
membentuk manajemen Bank Syariah yang dilandasi akhlak yang baik (akhlaqul karimah).
Sumber daya manusia yang memiliki akhlak baik, sudah tentu berintegritas dan akuntabel
serta selalu menanamkan kepatuhan terhadap prosedur operasi karena akhlak merupakan
sesuatu yang bersifat integral dan holistik. Kualitas akhlak yang baik akan mencegah
kecurangan keuangan (Fraud) baik secara individual maupun komunal. Masalah akhlak
merupakan isu penting mengingat dalam industri keuangan Syariah, adanya tindak
penyimpangan pada satu lembaga berakibat jatuhnya ekspektasi masyarakat terhadap
Industri Keuangan Syariah secara integral.

Anda mungkin juga menyukai