Anda di halaman 1dari 90

TUGAS AKHIR

EVALUASI DEFORMASI DAN STABILITAS TIMBUNAN


BERTIANG DI ATAS TANAH GAMBUT (STUDI KASUS: RUAS
JALAN SIJENJANG–SIMPANG PELABI STA 47+690, PROVINSI
JAMBI)

Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan menyelesaikan pendidikan


Program Sarjana pada Program Studi Teknik Sipil

Disusun Oleh:
Gega Sies Arie Wicaksono
22 2013 211

PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL


FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN
INSTITUT TEKNOLOGI NASIONAL
BANDUNG
2019

i
PENGAKUAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam Tugas Akhir ini tidak terdapat karya yang
pernah dipergunakan dalam rangka penyusunan naskah Tugas Akhir pada program
pendidikan sarjana, dan sepanjang pengetahuan saya tidak terdapat karya atau pendapat
yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu
dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Bandung, Januari 2019

Gega Sies Arie Wicaksono


NRP: 22 2013 211
EVALUASI DEFORMASI DAN STABILITAS TIMBUNAN BERTIANG DI ATAS
TANAH GAMBUT (Studi Kasus: Ruas Jalan Sijenjang-Simpang Pelabi STA
47+690, Provinsi Jambi), (Gega Sies Arie Wicaksono, NRP 22 2013 211,
Pembimbing Benny Moestofa, Ir., MAB., Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik
Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Nasional Bandung)

ABSTRAK
Pembangunan konstruksi jalan di atas tanah gambut memiliki banyak tantangan dan
kesulitan. Salah satu solusi umum pada tanah gambut yang memiliki kuat geser rendah
adalah menggunakan tiang pancang untuk meningkatkan daya dukungnya. Penelitian ini
akan menitikberatkan evaluasi terhadap deformasi dan stabilitas timbunan bertiang
menggunakan Plaxis 2D 2017 berbasis metode elemen hingga pada ruas jalan nasional
Sijenjang-Simpang Pelabi STA 47+690, Provinsi Jambi. Penelitian ini menggunakan
model Mohr-Coulomb untuk timbunan eksisting dan model elastisitas linier untuk
timbunan bertiang. Hasil penelitian dalam tugas akhir ini menunjukan bahwa nilai
penurunan yang terjadi sebesar 181,369 cm dengan nilai faktor keamanan sebesar 1,892
untuk timbunan eksisting, sedangkan untuk timbunan bertiang menghasilkan nilai
penurunan sebesar 1,226 cm dengan nilai faktor keamanan sebesar 3,613. Oleh karena itu
dapat disimpulkan bahwa penggunaan timbunan bertiang di atas tanah gambut untuk
konstruksi jalan akan menghasilkan penurunan kurang dari 99% (<99%) dan dapat
meningkatkan faktor keamanan sebesar 47% (>47%) dibandingkan timbunan eksisting.
Kata Kunci: tanah gambut, timbunan bertiang, penurunan, faktor keamanan.
EVALUATION OF PILED EMBANKMENT DEFORMATION AND STABILITY ON
PEAT SOIL (Case Study: Sijenjang-Simpang Pelabi Road STA 47+690, Jambi
Province), (Gega Sies Arie Wicaksono, NRP 22 2013 211, Mentor by Benny Moestofa,
Ir., MAB., Faculty of Civil Engineering and Planing, National Institute of Technology)
ABSTRACT
Road construction on peat soils has many challenges and difficulties. One of common
solutions for the low shear strength of peat is to increase its bearing capacity using pile
embankment. This research study will focus on the deformation and stability evaluation
of piled embankment using Plaxis 2D 2017 based on finite element method on national
road Sijenjang-Simpang Pelabi STA 47+690, Jambi Province. This research use Mohr-
Coulomb modeling for the existing embankment and linear elasticity modeling for the
piled embankment. The result shows a settlement value of 181.369 cm with safety factor
value of 1.165 on the existing embankment and a settlement value of 1.226 cm with safety
factor value 3.613 on the piled embankment. It can be concluded that using piled
embankment on peat soil for road construction decreases settlement value to be less than
99% (<99%) and increase safety factor value more than 47% (>47%) compared to
existing embankment.

Keywords: peat soil, piled embankment, settlement, safety factor.

i
KATA PENGANTAR
Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat, taufik serta hidayah-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan Tugas Akhir
ini. Tugas Akhir ini yang berjudul “Evaluasi Deformasi dan Stabilitas Timbunan
Bertiang di atas Tanah Gambut (Studi Kasus: Ruas Jalan Sijenjang-Simpang Pelabi
STA 47+690, Provinsi Jambi)”. Tugas Akhir ini disusun dalam rangka memenuhi salah
satu syarat untuk dapat menyelesaikan Program Pendidikan Sarjana pada Program Studi
Teknik Sipil, Institut Teknologi Nasional Bandung.
Penyusun menyadari bahwa selesainya penyusunan Tugas Akhir ini tidak terlepas
dari bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Dengan penuh rasa hormat penyusun
menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya dan terima kasih kepada:
1. Allah SWT yang telah memberikan kesehatan, kekuatan, rahmat serta rezeki-Nya
sehingga penyusun dapat menyelesaikan Tugas Akhir ini.
2. Kedua orang tua yang tercinta (Drs. Siswandi dan Sri Purwanti), serta kakak
tersayang (Genta Sies Arie Wibisono, S.E.) yang telah memberikan dukungan, doa
dan motivasi kepada penyusun selama ini.
3. Bapak Benny Moestofa, Ir., MAB., selaku dosen pembimbing yang sangat banyak
sekali membantu, membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan
Tugas Akhir ini.
4. Bapak Dr. techn. Indra Noer Hamdhan, S.T., M.T., dan Dr. Yuki Achmad Yakin,
S.T., M.T. selaku dosen penguji yang telah mengarahkan serta memberikan wawasan
kepada penyusun.
5. Viqri Fahmi, S.T., Desti Santi Pratiwi, S.T., dan Fauziah Fitriani, S.T. selaku asisten
laboratorium mekanika tanah serta Muhammad Rendy Wibisono, S.T. yang banyak
membantu dan memberikan arahan dalam proses penyusunan tugas akhir ini.
6. Cindy Rahmawati Puteri Utami yang selalu menemani dan memotivasi penulis dalam
kondisi apapun.
7. Teman-teman Green Army Geotekers yang telah memberikan dukungan dan
berjuang bersama-sama.

ii
8. HMS 2013 yang selalu memberikan dukungan dan semangat selama penyusunan
Tugas Akhir ini.
9. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu sehingga
Tugas Akhir ini dapat terselesaikan.

Penyusun memohon maaf apabila ada kekurangan dan kesalahan yang terdapat
dalam penyusunan Tugas Akhir ini. Untuk itu penyusun mengharapkan saran dan kritik,
sebagai masukan bagi penyusun agar dapat menjadi lebih baik lagi. Akhir kata, semoga
Tugas Akhir ini dapat bermanfaat bagi penyusun dan bagi semua kalangan pembaca serta
menambah wawasan dan pengetahuan.

Bandung, Januari 2019

Penyusun

iii
DAFTAR ISI

ABSTRAK ........................................................................................................... i
KATA PENGANTAR......................................................................................... ii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR......................................................................................... vi
DAFTAR TABEL ............................................................................................. viii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .............................................................................. 2
1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................... 3
1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................. 3
1.5 Ruang Lingkup Penelitian ................................................................. 3
1.6 Sistematika Penulisan ......................................................................... 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 5
2.1 Kondisi Geologi Regional Sumatera dan Sekitarnya ........................ 5
2.2 Karakteristik Tanah Gambut ............................................................... 7
2.3 Karakteristik Tanah Lunak ................................................................. 14
2.4 Metode Penyelidikan Tanah ............................................................... 15
2.4.1 Penyelidikan Lapangan......................................................... 16
2.4.2 Pengujian Laboratorium ....................................................... 20
2.5 Timbunan Bertiang ............................................................................. 25
2.5.1 Komponen-Komponen Timbunan Bertiang ......................... 25
2.5.2 Metode Perencanaan Timbunan Bertiang............................. 26
2.5.3 Perencanaan Timbunan......................................................... 27
2.5.4 Perencanaan Tiang................................................................ 28
2.6 Tekanan Tanah Lateral ....................................................................... 35
2.6.1 Tekanan Tanah Saat Diam .................................................... 35
2.6.2 Tekanan Tanah Aktif ............................................................ 37
2.6.3 Tekanan Tanah Pasif ............................................................ 38
2.7 Beban Lalu Lintas ............................................................................ 39
2.8 Stabilitas .......................................................................................... 40

iv
2.8.1 Parameter Tegangan Total .................................................... 41
2.8.2 Parameter Tegangan Efektif ................................................. 41
2.9 Deformasi ........................................................................................ 42
2.10 Tinggi Kritis Timbunan ................................................................... 44
2.11 Pola Keruntuhan .............................................................................. 45
2.12 Plaxis 2D 2017 (Berbasis Metode Elemen Hingga) ........................ 47
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ......................................................... 57
3.1 Tahapan Penelitian .............................................................................. 57
3.1.1 Tinjauan Pustaka ..................................................................... 57
3.1.2 Pengumpulan Data .................................................................. 57
3.1.3 Evaluasi Deformasi dan Stabilitas .......................................... 57
3.1.4 Analisis dan Pembahasan........................................................ 58
3.1.5 Kesimpulan dan Saran ............................................................ 58
3.2 Bagan Alir Penelitian .......................................................................... 58
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN ...................................................... 60
4.1 Lokasi Penelitian ............................................................................. 60
4.2 Hasil Penyelidikan Lapangan ......................................................... 60
4.3 Hasil Pengujian Laboratorium ........................................................ 62
4.4 Parameter Tanah Dasar ....................................................................63
4.5 Parameter Tiang Pancang ................................................................ 65
4.6 Analisis Deformasi dan Stabilitas Timbunan Jalan ......................... 65
4.6.1 Analisis Deformasi dan Stabilitas Timbunan Eksisting ......... 66
4.6.2 Analisis Deformasi dan Stabilitas Timbunan Bertiang........... 67
4.7 Perbandingan Deformasi dan Stabilitas Antara Timbunan Eksisting
dengan Timbunan Bertiang ............................................................. 69
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 72
5.1 Kesimpulan ...................................................................................... 72
5.2 Saran ................................................................................................ 73

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 75

LAMPIRAN

v
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Peta Penyebaran Tanah Gambut di Indonesia ............................. 1


Gambar 2.1 Fisiografi Sumatera ..................................................................... 5
Gambar 2.2 Peta Penyebaran Tanah Gambut Wilayah Sumatera ................... 6
Gambar 2.3 Peta Geologi Daerah Penelitian ................................................... 6
Gambar 2.4 Kurva Hubungan ε vs log t Pada Tanah Gambut dengan Beban 25
kPa .............................................................................................. 13
Gambar 2.5 Rotary Core Drill ........................................................................ 17
Gambar 2.6 Rangkaian Alat Penetrasi Konus ................................................. 18
Gambar 2.7 Penetrasi dengan SPT .................................................................. 19
Gambar 2.8 Jenis-jenis Tiang untuk Timbunan Bertiang ............................... 26
Gambar 2.9 Jarak Antar Tiang ........................................................................ 28
Gambar 2.10 Sumbu Antar Tiang ..................................................................... 28
Gambar 2.11 Daya Dukung Pondasi Tiang ....................................................... 29
Gambar 2.12 Faktor Lekatan untuk Digunakan Pada Metode 𝛼 ....................... 30
Gambar 2.13 Grafik Kolerasi untuk Menentukan Ucr dari Polous dan Davis ... 33
Gambar 2.14 Tekanan Tanah Lateral ................................................................ 35
Gambar 2.15 Tekanan Tanah Diam .................................................................. 36
Gambar 2.16 Tekanan Tanah Diam Menurut Lingkaran Mohr ........................ 36
Gambar 2.17 Tekanan Tanah Aktif ................................................................... 37
Gambar 2.18 Tekanan Tanah Aktif Menurut Lingkaran Mohr ......................... 38
Gambar 2.19 Tekanan Tanah Pasif ................................................................... 38
Gambar 2.20 Tekanan Tanah Pasif Menurut Lingkaran Mohr ......................... 39
Gambar 2.21 Penentuan Indeks Pemampatan Sekunder (Cα) ........................... 44
Gambar 2.22 Pola Keruntuhan Geser Umum (General Shear Failure) ........... 45
Gambar 2.23 Pola Keruntuhan Geser Setempat (Local Shear Failure) ............ 46
Gambar 2.24 Pola Keruntuhan Geser Baji (Punching Shear Failure) .............. 46
Gambar 3.1 Bagan Alir Penelitian .................................................................. 59
Gambar 4.1 Peta Lokasi Penelitian ................................................................. 60
Gambar 4.2 Peta Situasi Lokasi Penilitian ..................................................... 61
Gambar 4.3 Potongan Melintang Kondisi Badan Jalan Daerah Penelitian .... 61

vi
Gambar 4.4 Simulasi Model Timbunan Eksisting .......................................... 66
Gambar 4.5 Diagram Hasil Penurunan (Uy) .................................................. 67
Gambar 4.6 Diagram Hasil Faktor Keamanan (FK) ....................................... 67
Gambar 4.7 Simulasi Model Timbunan Bertiang ........................................... 68
Gambar 4.8 Diagram Hasil Penurunan (Uy) .................................................. 69
Gambar 4.9 Diagram Hasil Faktor Keamanan (FK) ....................................... 69
Gambar 4.10 Grafik Perbandingan Penurunan (Uy) Timbunan Eksisting ....... 70
Gambar 4.11 Grafik Perbandingan Penurunan (Uy) Timbunan Bertiang ........ 71

vii
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Klasifikasi Tanah Berdasarkan Kadar Organik ..................................7


Tabel 2.2 Klasifikasi Tanah Gambut Berdasarkan Kadar Serat .........................7
Tabel 2.3 Deskripsi Gambut Berdasarkan Tingkat Kematangan ........................8
Tabel 2.4 Klasifikasi Gambut Menurut Von Post ...............................................8
Tabel 2.5 Klasifikasi Gambut Berdasarkan Tingkat Kebasahan ..................... 10
Tabel 2.6 Klasifikasi Gambut Berdasarkan Kadar Air Tanah Organik ........... 10
Tabel 2.7 Klasifikasi Gambut Berdasarkan Kadar Serat ................................. 10
Tabel 2.8 Klasifikasi Gambut Berdasarkan Kandungan Kayu ........................ 11
Tabel 2.9 Klasifikasi Gambut Berdasarkan Kadar Abu ................................... 11
Tabel 2.10 Klasifikasi Gambut Berdasarkan Tingkat Asam .............................. 11
Tabel 2.11 Sifat Fisik Tanah Gambut Indonesia ................................................ 12
Tabel 2.12 Sifat Teknik Tanah Gambut ............................................................ 13
Tabel 2.13 Klasifikasi Tanah ........................................................................... . 15
Tabel 2.14 Modulus Secant Tanah .................................................................. . 15
Tabel 2.15 Hubungan Antar Konsistensi dengan Tekanan Konus .................. . 18
Tabel 2.16 Hubungan Nilai N-SPT dan Konsistensi Tanah ............................ . 20
Tabel 2.17 SNI Pengujian Laboratorium Tanah .............................................. . 24
Tabel 2.18 Metode dan Pendekatan Desain Timbunan Bertiang .................... . 27
Tabel 2.19 Nilai Tipikal Modulus Reaksi Tanah Dasar kh .............................. . 33
Tabel 2.20 Parameter untuk Tiang Pada Tanah Tidak Kohesif ....................... . 34
Tabel 2.21 Parameter untuk Tiang Pada Tanah Kohesif ................................. . 34
Tabel 2.22 Beban Lalu Lintas untuk Analisis Stabilitas ................................. . 39
Tabel 2.23 Sistem Klasifikasi Jalan di Indonesia ............................................ . 40
Tabel 2.24 Faktor Keamanan Minimum untuk Perhitungan Stabilitas ........... . 40
Tabel 2.25 Hubungan Nilai Faktor Keamanan dan Intensitas Longsor........... . 41
Tabel 2.26 Kuat Geser, Tekanan Air Pori dan Berat Isi .................................. . 42
Tabel 2.27 Kriteria Penurunan Timbunan ....................................................... . 44
Tabel 2.28 Kolerasi Antara N-SPT Terhadap Berat Jenis Tanah Lempung ... . 53
Tabel 2.29 Hubungan Antara N-SPT Terhadap Modulus Elastisitas Tanah ... . 54
Tabel 2.30 Nilai Angka Poisson Ratio (v) ....................................................... . 55

viii
Tabel 2.31 Nilai Kohesi ................................................................................... . 56
Tabel 2.32 Hubungan Antara Sudut Geser Dalam dengan Jenis Tanah............ 56
Tabel 4.1 Hasil Pengeboran BM-1 .................................................................. 62
Tabel 4.2 Hasil Pengujian Laboratorium BM-1 .............................................. 63
Tabel 4.3 Parameter Tanah Dasar .................................................................... 64
Tabel 4.4 Parameter Tiang Pancang ................................................................ 65
Tabel 4.5 Hasil Analisis Timbunan Eksisting ................................................. 66
Tabel 4.6 Hasil Analisis Timbunan Bertiang .................................................. 68
Tabel 4.7 Perbandingan Timbunan Eksisting dan Timbunan Bertiang ........... 70

ix
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tanah gambut terbentuk dari dekomposisi tumbuh-tumbuhan yang memiliki
tingkat pembusukan yang bervariasi. Umumnya berwarna coklat tua sampai hitam,
memiliki karakteristik yang berbeda dibandingkan dengan tanah lempung organik,
disamping memiliki sifat sangat kompresibel, muka air tanah tinggi, daya dukung sangat
rendah dan mempunyai kuat geser yang sulit diukur. Hal ini dikarenakan gambut
mempunyai kadar air dan daya rembes yang tinggi serta masih berjalannya proses
dekomposisi pada serat-serat organik. Lahan gambut Indonesia saat ini berfungsi sebagai
lahan pertanian dan perkebunan, hutan campuran, hutan sekunder bekas tebangan, semak
belukar dan padang rumput rawa (Istomo, 2008). Indonesia memiliki luas lahan gambut
sekitar 17 – 22 juta ha (Wibowo, 2009). Peta penyebaran tanah gambut di Indonesia dapat
dilihat pada Gambar 1.1.

Gambar 1.1 Peta Penyebaran Tanah Gambut di Indonesia


(Sumber: Ritung et al., 2011)

Luas area tanah gambut yang cukup besar seperti pada Gambar 1.1 merupakan
suatu kendala dalam pengembangan infrastruktur suatu wilayah. Umumnya lapisan di
bawah tanah gambut berupa tanah lunak (soft soil) dengan daya dukung yang sangat
rendah dan kompresibilitas yang sangat tinggi apabila memperoleh beban struktur yang
bekerja di atasnya. Apabila kemampuan untuk mendukung beban lebih rendah dari pada

1
2

berat konstruksi yang harus dipikulnya, maka akan terjadi proses keruntuhan akibat
rendahnya daya dukung tanah dasar (bearing capacity failure). Begitu juga dengan
pemampatan yang tidak merata (differential settlement) akan menyebabkan terjadinya
retak-retak struktur atau miringnya konstruksi yang ada.
Pembangunan infrastruktur jaringan jalan yang berfungsi sebagai konektivitas
untuk menghubungkan daerah terisolasi sangat memerlukan kondisi tanah dasar yang
baik. Untuk menghadapi tantangan khususnya penanganan konstruksi jaringan jalan di
atas tanah problematik seperti tanah gambut yang memiliki daya dukung yang rendah dan
kompresibilitas yang tinggi memerlukan penyelidikan tanah rinci untuk mencegah
terjadinya deformasi dan gangguan stabilitas konstruksi jalan di atas tanah gambut.
Teknologi timbunan bertiang merupakan salah satu solusi untuk mengatasi
masalah timbunan jalan di atas tanah gambut, bahkan sering diterapkan dengan perkuatan
geosintetik dan telah banyak digunakan di negara-negara lain. Teknologi timbunan
bertiang terus diteliti untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas dan optimasi
penggunaannya, salah satu contoh penelitian telah dilakukan dalam rangka optimasi
teknologi timbunan bertiang dengan perkuatan geosintetik (Van Eekelen dan Bezuijen,
2012).
Oleh karena itu, dibutuhkan kegiatan penelitian timbunan bertiang di atas tanah
gambut untuk mengidentifikasi perilaku dan kinerja konstruksi timbunan tersebut. Dalam
penelitian tugas akhir ini dilakukan evaluasi deformasi dan stabilitas timbunan bertiang
di atas tanah gambut pada ruas jalan Sijenjang-Simpang Pelabi STA 47+690, Provinsi
Jambi.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penilitian tugas
akhir ini dapat dikemukakan sebagai berikut:

1. Belum dilakukan identifikasi perilaku dan kinerja timbunan bertiang di atas


tanah gambut.
2. Belum adanya kajian deformasi dan stabilitas timbunan bertiang di atas
tanah gambut.
3

1.3 Tujuan Penelitian


Tujuan penelitian dalam tugas akhir ini yaitu untuk mengevaluasi deformasi dan
stabilitas timbunan bertiang di atas tanah gambut.

1.4 Manfaat Penelitian


Manfaat dari penelitian ini yaitu dapat memberikan informasi dalam mengatasi
masalah deformasi dan stabilitas konstruksi timbunan jalan di atas tanah gambut
menggunakan konstruksi tiang.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian


Adapun ruang lingkup penelitian yang dijadikan sebagai batasan dalam penulisan
Tugas Akhir ini adalah sebagai berikut:

1. Tinjauan pustaka berasal dari beberapa jurnal dan majalah teknik sipil,
laporan-laporan penelitian sebelumnya, buku-buku teknik sipil dan data-
data dari Pusat Penelitian Jalan dan Jembatan Balitbang Kementerian
Pekerjaan Umum Dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia.
2. Pengumpulan data, berupa:
a. Data parameter tanah (lapangan dan laboratorium).
b. Data geometri ruas jalan Sijenjang-Simpang Pelabi, Provinsi Jambi.
c. Syarat perancangan dan pelaksanaan timbunan bertiang di atas tanah
gambut.
3. Simulasi model timbunan bertiang dan evaluasi deformasi dan stabilitas
timbunan bertiang menggunakan program Plaxis 2D 2017.
4. Analisis dan pembahasan perilaku dan kinerja timbunan bertiang dalam
mengatasi masalah deformasi dan stabilitas konstruksi jalan di atas tanah
gambut.
5. Saran dan kesimpulan.

1.6 Sistematika Penulisan


Sistematika yang digunakan dalam penyusunan laporan tugas akhir ini adalah
sebagai berikut:
4

BAB I PENDAHULUAN
Bab ini menjelaskan secara singkat latar belakang judul penelitian, rumusan masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, ruang lingkup penelitian dan sistematika penulisan.
Pada bagian ini diharapkan akan diperoleh gambaran tentang betapa pentingnya
penelitian ini dilakukan sehingga akan diperoleh data-data yang terkait dalam pencapaian
tujuan penelitian.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


Bab ini berisi tentang teori-teori, jurnal dan majalah teknik sipil, laporan-laporan
penelitian terkait dan parameter yang mendukung kajian penelitian yang dilakukan dalam
penyusunan tugas akhir ini.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN


Bab ini berisi tentang tahapan kegiatan penelitian yang dimulai dari tinjauan pustaka,
pengumpulan data, simulasi model dan analisis dengan program Plaxis 2D, evaluasi dan
pembahasan serta kesimpulan dan saran.

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN


Bab ini berisi tentang bagaimana menganalisis topik yang di tinjau dan juga membahas
bagaimana hasil yang diperoleh.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN


Bab ini berisi tenrang kesimpulan dari penelitian yang telah dilakukan dan saran untuk
penelitian yang akan datang.

DAFTAR PUSTAKA
1 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kondisi Geologi Regional Sumatera dan Sekitarnya


Menurut van Bemmelen (1949), secara fisiografis daerah Sumatera dibagi
menjadi enam bagian besar, yaitu Zona Jajaran Barisan, Zona Semangko, Zona
Pegunungan Tigapuluh, Zona Kepulauan Busur Luar, Zona Paparan Sunda, Zona Dataran
Rendah dan Berbukit. Daerah penelitian terletak pada Zona Pegunungan Tigapuluh
seperti tampak pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Fisiografi Sumatera


(Sumber: van Bemmelen, 1949)

Sumatera memiliki sekitar 7,2 juta hektar lahan gambut. Lahan gambut terluas
terdapat di Riau 56,1% dengan luas 4,044 juta ha, Sumatera Selatan 20,6% dengan luas
1,848 juta ha, Jambi 9,95% dengan luas 0,717 juta ha, Sumatera Utara 4,5% dengan luas
0,325 juta ha, Aceh 3,8% dengan luas 0,274 juta ha, Sumatera Barat 2,9% dengan luas
0,210 juta ha, Lampung 1,2% dengan luas 0,088 juta ha, dan Bengkulu 0,88% dengan
luas 0,063 juta ha (Wahyunto dan Heryanto, 2005). Peta penyebaran tanah gambut di
wilayah Sumatera dapat dilihat pada Gambar 2.2.

5
6

Gambar 2.2 Peta Penyebaran Tanah Gambut Wilayah Sumatera Tahun 2005-2011
(Sumber: Landsat TM, 2002)

Berdasarkan peta geologi regional lembar Jambi seperti pada Gambar 2.3, maka
dapat diuraikan bahwa daerah Sijenjang dan Simpang Pelabi tersusun atas Aluvium (Qa)
dan Endapan Rawa (Qs). Aluvium (Qa) yang terdiri dari kerakal, kerikil, lanau, pasir dan
lempung. Sedangkan Endapan Rawa (Qs) terdiri dari pasir, lanau, lempung, lumpur dan
gambut.

Gambar 2.3 Peta Geologi Daerah Penelitian


(Sumber: Andi & Hermanto, 1993)
7

2.2 Karakteristik Tanah Gambut


Gambut berdasarkan bahan pembentuknya berasal dari tumbuh-tumbuhan yang
mengalami berbagai tingkat kebusukan. Umumnya memiliki warna coklat tua sampai
hitam, dan memiliki bau yang khas. Secara fisik gambut mengandung serat-serat
tumbuhan (fibrous) hingga amorfos, mempunyai daya serap air yang tinggi dan mudah
terbakar. Tanah gambut berserat dan gambut tidak berserat dapat dikelompokkan sebagai
tanah sangat lembek dan pada umumnya mempunyai kemampuan daya dukung (bearing
capacity) yang sangat rendah dan pemampatan/kompresibilitasnya sangat tinggi.
Klasifikasi gambut didasarkan oleh beberapa faktor, antara lain derajat
dekomposisi, kadar serat, kadar abu, tingkat keasaman, serta kandungan organik yang
terkandung. Klasifikasi tanah berdasarkan kadar organik dapat dilihat pada Tabel 2.1 dan
berdasarkan kandungan serat gambut dikelompokan menjadi dua kelompok pada Tabel
2.2.

Tabel 2.1 Klasifikasi Tanah Berdasarkan Kadar Organik


Kadar Organik Kelompok Tanah
> 75% Gambut
25% - 75% Tanah organik
Tanah dengan kadar organik
< 25%
rendah
(Sumber: Kimpraswil, 2002a)

Tabel 2.2 Klasifikasi Tanah Gambut Berdasarkan Kadar Serat


Kadar Serat Kelompok Gambut
< 20% Amorf
> 20% Berserat (fibros)
(Sumber: Kimpraswil, 2002a)

Deskripsi gambut berdasarkan tingkat kematangan atau kadar seratnya dapat dilihat pada
Tabel 2.3, dengan keterangan sebagai berikut:
1. Fibrik (mentah) adalah gambut yang belum melapuk, bahan aslinya masih dapat
dikenali, berwarna coklat dan bila diremas > 67% seratnya masih tersisa.
2. Hemik (setengah matang) adalah gambut setengah lapuk, sebagian bahan aslinya
masih dapat dikenali, berwarna coklat dan bila diremas bahan seratnya 33 – 67%.
8

3. Saprik (matang) adalah gambut yang sudah melapuk lanjut dan bahan asalnya
tidak dikenali, berwarna coklat tua sampai hitam dan bila diremas kandungan
seratnya < 33%.
Tabel 2.3 Deskripsi Gambut Berdasarkan Tingkat Kematangan
Kadar Serat Kadar Serat
Fibrik > 67%
Hemik 33% - 67%
Saprik < 33%
(Sumber: Kimpraswil, 2002c)

Klasifikasi gambut berdasarkan kadar serat dapat dibandingkan dengan pengamatan


lapangan dengan klasifikasi berdasarkan Von Post terhadap derajat pembusukan dapat
dilihat pada Tabel 2.4, fibrik berada pada rentang H1 – H3, hemik berada pada rentang H4
– H6 dan saprik pada rentang H7 – H10.

Tabel 2.4 Klasifikasi Gambut Menurut Von Post


Simbol Deskripsi
Gambut yang sama sekali belum membusuk, yang mengeluarkan air
H1 cukup jernih. Sisa-sisa tumbuhan yang ada akan dengan mudah
diidentifikasikan. Tak ada material amorf yang terlihat.
Gambut yang hampir seluruhnya belum mengalami pembusukan sama
sekali, yang mengeluarkan air cukup jernih atau sedikit kekuning-
H2
kuningan. Sisa-sisa tumbuhan yang ada akan dengan mudah
diidentifikasikan. Tak ada material amorphous yang terlihat.
Gambut yang sangat sedikit mengalami pembusukan, yang
mengeluarkan air keruh dan berwarna coklat, tapi jika diremas tak ada
H3
bagian gambut yang melalui sela-sela jari. Sisa-sisa tumbuhan yang ada
akan mudah diidentifikasikan. Tidak ada material amorf yang terlihat.
Gambut yang sedikit mengalami pembusukan, yang mengeluarkan air
gelap dan sangat keruh. Jika diremas tak ada bagian gambut yang
H4
melalui sela-sela jari tapi sisa-sisa tumbuhan yang ada sedikit berbentuk
seperti bubur dan telah kehilangan beberapa ciri yang dapat dikenali.

Gambut yang mengalami pembusukan sedang yang mengeluarkan air


sangat keruh dan jika diremas akan ada sedikit butiran gambut amorf
melalui sela-sela jari. Struktur dari sisa-sisa tumbuhan sedikit sukar
H5
untuk dikenali, walaupun masih memungkinkan untuk
mengidentifikasikan ciri-ciri tertentu. Dan sisa-sisa tumbuhan tersebut
hampir seluruhnya berbentuk seperti bubur.
9

Tabel 2.4 Klasifikasi Gambut Menurut Von Post (Lanjutan)

Simbol Deskripsi
Gambut yang hampir separuhnya mengalami pembusukan dengan
struktur tumbuhan yang sukar untuk dikenali. Jika diremas sekitar
sepertiga bagian dari gambut akan keluar melewati sela-sela jari. Sisa-
H6
sisa tumbuhan tersebut hampir seluruhnya berbentuk seperti bubur dan
menunjukkan struktur tumbuhan yang lebih mudah untuk dikenali
dibandingkan sebelum diremas.
Gambut yang lebih dari separuhnya telah membusuk. Mengandung
banyak material amorf dan struktur tumbuhan sangat kering yang sukar
H7 dikenali. Jika diremas sekitar setengah bagian dari gambut akan keluar
melewati sela-sela jari. Kalaupun ada air yang keluar, akan berwarna
sangat gelap.
Gambut yang hampir seluruhnya telah membusuk dengan sejumlah
besar material amorf dan struktur tumbuhan sangat kering yang sukar
dikenali. Jika diremas sekitar 2/3 bagian dari gambut akan keluar
H8
melewati sela-sela jari. Sejumlah kecil sisa-sisa tumbuhan akan
tertinggal di tangan berupa sisa-sisa akar dan serat yang tidak
membusuk.
Gambut yang telah membusuk seluruhnya dimana hampir tidak ada lagi
sisa-sisa struktur tumbuhan yang dapat dilihat. Jika diremas, hampir
H9
seluruh gambut akan keluar melewati sela-sela jari dalam bentuk pasta
yang hampir seragam.
Gambut yang telah membusuk sempurna tanpa ada struktur tumbuhan
H10 yang dapat dilihat. Jika diremas, seluruh bagian gambut yang basah
akan keluar melewati sela-sela jari.
(Sumber: Von Post, 1924)

Sistem Von Post (Landva dan Pheeney, 1980) pada awalnya dirancang untuk
menggambarkan derajat dekomposisi gambut. Kemudian sistem ini dimodifikasi untuk
menyertakan sifat lain dari gambut serta karakteristik permukaan dari lapisan gambut.
Parameter yang harus diketahui adalah kedalaman, jenis gambut, kadar air, derajat
dekomposisi, kandungan serat, terdapatnya sisa-sisa kayu dan informasi lain yang
relevan (misalnya adanya arang/karbon dan sisa-sisa tanaman). Masing-masing dari
parameter tersebut mempunyai detail seperti dibawah ini:
1. Kedalaman tanah (dalam cm).
2. Jenis gambut berdasarkan fitur-fitur yang dikenali dari tanaman asli sekitar,
(S) Sphagnum, (C) Carex, (er) Eriophorium, (Eq) Equisetium, (ph)
Phagmites, (Sch) Scheuchzeria, (N) Semak, (L) Kayu.
10

3. Klasifikasi gambut berdasarkan kebasahan atau kandungan air seperti dapat


dilihat pada Tabel 2.5 dan Tabel 2.6.
Tabel 2.5 Klasifikasi Gambut Berdasarkan Tingkat Kebasahan
Kelas Deskripsi
B1 Kering
B2 Kadar air rendah
B3 Kadar air sedang
B4 Kadar air tinggi
B5 Kadar air sangat tinggi
(Sumber: Landva dan Pheeney, 1982)

Tabel 2.6 Klasifikasi Gambut Berdasarkan Kadar Air Tanah Organik


Kelas Deskripsi
W < 500 B2
500 < W < 1000 B3
1000 < W < 2000 B4
W > 2000 B5
(Sumber: Landva dan Pheeney, 1982)

4. Kandungan Serat
Adanya serat halus (F) dan serat kasar (R) tercatat. Hasilnya serat halus
utamanya dikarenakan adanya Eriphorum, sedangkan serat kasar merujuk
pada serat dengan diameter lebih besar dari 1 mm.
Tabel 2.7 Klasifikasi Gambut Berdasarkan Kadar Serat
Kelas Deskripsi
F0 Nol
F1 Rendah
F2 Sedang
F3 Kering
(Sumber: Landva dan Pheeney, 1982)

5. Derajat dekomposisi
Huruf H pada Tabel 2.6 dengan penomoran 1 sampai 10 berfungsi untuk
menunjukkan derajat dekomposisi (contoh: H1 = Gambut benar-benar
terdekomposisi).
11

6. Kehadiran sisa-sisa kayu


Hal ini diidentifikasikan dengan huruf W dengan penomoran 0 sampai 3,
semakin besar kehadiran sisa-sisa kayu, semakin besar penomoran.

Tabel 2.8 Klasifikasi Gambut Berdasarkan Kandungan Kayu


Kelas Deskripsi
W0 Nol
W1 Tingkat kandungan rendah
W2 Tingkat kandungan sedang
W3 Tingkat kandungan tinggi
(Sumber: Landva dan Pheeney, 1982)

7. Informasi lain yang relevan ditambah ke akhir menggunakan simbol-simbol


dan singkatan yang sesuai. Dengan demikian lapisan arang/karbon yang
mengindikasikan pernah terjadi kebakaran, biji-bijian dan sisa-sisa tanaman
yang dikenali lainnya dapat dicatat.

Tabel 2.9 Klasifikasi Gambut Berdasarkan Kadar Abu


Jenis Gambut Kadar Abu (%)
Abu rendah <5
Abu sedang 5 - 15
Abu tinggi > 15
(Sumber: Landva dan Pheeney, 1982)

PH adalah parameter kualitas air untuk mengetahui tipe dan laju kecepatan reaksi
beberapa bahan di dalam air. Besaran pH berkisar dari 0 (sangat asam) sampai dengan 14
(sangat basa). Nilai pH kurang dari 7 menunjukkan lingkungan yang asam sedangkan
nilai pH di atas 7 menunjukkan lingkungan yang basa (alkalin). Klasifikasi gambut
berdasarkan nilai pH dapat dilihat pada Tabel 2.10.

Tabel 2.10 Klasifikasi Gambut Berdasarkan Tingkat Asam


Jenis Gambut Nilai pH
Highly acidic < 4.5
Moderately acidic 4.5 – 5.5
Slightly acidic 5.5 – 7
Basic >7
(Sumber: ASTM D2976)
12

Sifat fisik tanah gambut memiliki sesuatu yang sangat khusus, yaitu nilai
kandungan organik yang tinggi sebagai akibat terjadinya proses pembentukan tanah
gambut itu sendiri. Nilai angka pori yang besar serta kandungan air yang tinggi
menyebabkan harga koefisien rembesan tanah gambut mendekati kondisi tanah pasir. Hal
ini wajar sebagai akibat besarnya angka pori yang dapat menyebabkan air dalam pori
mudah keluar apabila terdapat beban di atasnya. Nilai berat volume tanah gambut yang
kecil menunjukkan bahwa kepadatan tanah gambut tidak seperti tanah pada umumnya.
Jika dihubungkan dengan nilai kadar airnya yang tinggi, berat air yang terkandung dalam
tanah gambut mencapai 6 kali lebih berat dibandingkan berat butiran soil tanah gambut
itu sendiri. Hal yang penting untuk diperhatikan adalah tanah gambut mempunyai pH
yang sangat rendah, hal ini bersifat sangat korosif (Mochtar,N.E, 2002) terhadap material
baja dan beton yang ada dalam lingkungan tersebut.

Tabel 2.11 Sifat Fisik Tanah Gambut Indonesia


No Sifat Fisik Nilai
1 Kandungan organik (Oc) 95 – 99%
2 Berat volume (t) 0.9 – 1.25 t/m3
3 Kadar air (w) 750% – 1500%
4 Angka pori (e) 5 – 15
5 pH 4–7
6 Kadar abu (Ac) 1 – 5%
7 Spesifik gravity (Gs) 1.38 – 1.52
8 Rembesan (k) 2. s/d 1.2-06 cm/dt
-02

(Sumber: Faisal & Fuad, 2012)

Sifat fisik suatu material akan berpengaruh terhadap sifat teknik material itu
sendiri; demikian pula yang terjadi pada tanah gambut. Tabel 2.12 menunjukkan sifat
teknik tanah gambut, dimana sifat teknis yang paling menonjol adalah daya dukungnya
yang rendah dan kemampatannya yang tinggi. Berbagai penyelidikan terhadap daya
dukung tanah gambut menunjukkan bahwa daya dukungnya bahkan lebih rendah dari soft
clay (Jelisic & Leppanen, 1992).
13

Tabel 2.12 Sifat Teknik Tanah Gambut


No Sifat Nilai Keterangan
1 Kohesi tanah/kuat geser 0 (Adam, 1995) Non kohesif material
2 Compressibility/kemampumampatan Sangat tinggi Sensitif terhadap beban
3 Bearing capacity 5 – 7 kPa Skandinavia
4 Sudut > 50 derajat Terutama fibrous peat
5 Ko/koefesien tekanan tanah diam Maks 0,5 Lebih kecil dari lempung
6 Konsolidasi Sangat lama 4 tahap
(Sumber: Faisal & Fuad, 2012)

Nilai sudut geser-dalam tanah gambut berserat sangat besar yaitu > 500; tetapi hal
tersebut sangat dipengaruhi oleh serat yang ada. Landva (1982) menyatakan bahwa harga
sudut geser-dalam untuk tanah gambut berserat sebenarnya berkisar antara 270 – 320.
Kemampuan tanah gambut yang tinggi untuk menyerap dan menyimpan air akan
berpengaruh pada sifat teknik tanah gambut (Vautrain, 1976); semakin besar kadar air
yang terkandung pada tanah gambut semakin kecil pula kekuatannya. Selain itu, tanah
gambut sangat sensitif terhadap beban yang bekerja diatasnya, hal ini menunjukkan
bahwa tanah gambut mempunyai harga pemampatan yang tinggi (High Compressibility).
Perilaku pemampatan tanah gambut sangat berbeda dengan perilaku pemampatan
pada tanah lempung. Gambar 2.4 menunjukkan kurva pemampatan (ε vs log t) tanah
gambut berserat dengan beban 25 kPa. Pada kurva tersebut terlihat adanya 4 (empat)
komponen pemampatan yaitu pemampatan segera (εi), pemampatan primer (εp),
pemampatan sekunder (εs) dan pemampatan tersier (εt). Pemampatan primer adalah
proses keluarnya air pori dari makropori, pemampatan sekunder primer merupakan proses
keluarnya air dari mikropori (serat) ke makropori sedangkan pemampatan tersier adalah
proses dekomposisi dari tanah gambut. Karena alasan tersebut maka penggunaan metode
Terzaghi (1925) untuk menentukan besar pemampatan pada tanah gambut kurang tepat.

Gambar 2.4 Kurva Hubungan ε vs log t Pada Tanah Gambut dengan Beban 25 kPa
(Sumber: Dhowian dan Edil, 1980)
14

2.3 Karakteristik Tanah Lunak


Tanah lunak dalam konstruksi sering kali menimbulkan permasalahan, baik
penurunan maupun stabilitas. Hal ini disebabkan oleh rendahnya daya dukung tanah
lunak tersebut. Daya dukung yang rendah dapat menyebabkan kerugian, baik dari sisi
biaya konstruksi yang semakin mahal, hingga mengancam keselamatan konstruksi di
atasnya, tepatnya struktur yang dibangun tidak mampu berdiri secara stabil dan bahkan
dapat runtuh. Dalam menanggulangi permasalahan tersebut, maka diperlukan pekerjaan
perbaikan tanah.
Tanah lunak merupakan tanah kohesif yang terdiri dari sebagian besar butir-butir
yang sangat halus seperti lempung atau lanau. Tanah lunak secara umum mempunyai
karakteristik sebagai berikut:
1. Kuat geser rendah.
2. Bila kadar air bertambah, kuat gesernya berkurang.
3. Bila struktur tanah terganggu, kuat gesernya berkurang.
4. Bila basah bersifat plastis dan mudah mampat.
5. Menyusut bila kering dan mengembang bila basah.
6. Memiliki kompresibilitas yang besar.
7. Berubah volumenya dengan bertambahnya waktu akibat rangkak pada beban
yang konstan.
Menurut Terzaghi (1967) tanah lempung kohesif diklasifikasikan sebagai tanah lunak
apabila mempunyai daya dukung lebih kecil dari 0,5 kg/cm2 dan nilai standard
penetration test lebih kecil dari 4 (N-value < 4). Berdasarkan uji lapangan, tanah lunak
secara fisik dapat diremas dengan mudah oleh jari-jari tangan. Menurut Toha (1989), sifat
umum tanah lunak adalah memiliki kadar air 80-100%, batas cair 80-110%, batas plastis
30-45%. Saat dilakukan analisa saringan, maka butiran yang lolos oleh saringan no 200
akan lebih besar dari 90% serta memiliki kuat geser 20-40 kN/m2.
Jenis tanah yang dapat digunakan sebagai material timbunan untuk timbunan oprit
jembatan pada tanah lunak adalah tanah berbutir sedang hingga kasar seperti ditunjukan
pada Tabel 2.13, dengan nilai modulus secant seperti pada Tabel 2.14.
15

Tabel 2.13 Klasifikasi Tanah

Simbol
Kelas Ukuran
Jenis Tanah (USCS)
Tanah Butiran
*
Kerikil bergradasi baik atau kerikil pasiran GW
Kerikil bergradasi buruk atau kerikil pasiran GP
I Kasar
Pasir bergradasi baik atau kerikil pasiran SW
Pasir bergradasi buruk atau kerikil pasiran SP
Kerikil lanauan atau kerikil pasiran lanauan GM
Kerikil lempungan atau kerikil pasiran lempungan GC
II Sedang
Pasir lanauan atau pasir kerikil lanauan SM
Pasir lempungan atau pasir kerikil lempungan SC
(Sumber: ASTM D 2487)

Tabel 2.14 Modulus Secant Tanah


Kepadatan dari
Kelas
Standar Proctor, Es Mpa
Jalan
%**
85 6
90 12
I
95 24
100 30
85 3
90 6
II
95 12
100 15
(Sumber: ASTM D 698)

2.4 Metode Penyelidikan Tanah


Penyelidikan tanah adalah kegiatan untuk mengetahui daya dukung, karakteristik
dan kondisi geologi, seperti mengetahui susunan lapisan tanah/sifat tanah, kekuatan
lapisan tanah, kepadatan dan korosivitas tanah.
Penyelidikan tanah harus dilakukan untuk mendapatkan informasi kondisi bawah
tanah yang diperlukan untuk:
a. Mengetahui karakteristik tanah timbunan (klasifikasi tanah)
b. Menyediakan informasi untuk merancang timbunan
c. Stabilitas area penggalian dan kondisi deformasi
d. Pengendalian perpindahan tanah yang dapat diakibatkan dari pengaruh
aliran air dan perilaku tanah.
16

Penyelidikan air tanah yang dilakukan di lapangan yaitu Sondir (DCP), Uji
Penetrasi Standar (SPT), Pemboran Teknik dan lain-lain. Dari sample tanah yang diambil
di lapangan untuk mengetahui sifat-sifat dan karakteristik tanah maka dilakukan
pengujian laboratorium.

2.4.1 Penyelidikan Lapangan


1. Pemboran Mesin (Machine Drilling)
Penyelidikan tanah di lapangan bertujuan untuk mendapatkan gambaran
mengenai kondisi geologi maupun kondisi lapisan tanah dan air tanah secara
keseluruhan dari suatu lokasi penilitan. Dalam pemboran mesin dilakukan
pengambilan contoh tanah, baik tanah terganggu (tanah tidak asli) maupun tanah
tidak terganggu (tanah asli) untuk keperluan pengujian laboratorium.
Pemboran mesin merupakan pengujian lapangan yang paling baik dan akurat
untuk segala jenis tanah dan diperlukan untuk test-test yang lain, sedangkan
pemboran mesin juga memiliki kerugian seperti mahal, berat (perlu alat angkat
yang memadai), waktu pelaksanaan lama dan kurang cocok untuk bangunan
sederhana. Setiap pelaksanaan test boring selalu diikuti dengan uji penetrasi baku
(SPT).
Menurut L.D Wesley (1977), untuk bor yang dalam umumnya digunakan rotary
drilling machine, dengan kedalaman dapat mencapai 100 meter. Motor penggerak
alat bor pada umumnya terdiri dari bagian-bagian berikut:
a. Alat yang dapat memutar stang-stang bor dengan kecepatan yang bisa di atur
dan memberikan gaya kebawah.
b. Pompa, untuk memompakan air pencuci (wash water) ke bawah melalui
bagian dalam stang bor.
c. Roda pemutar (winches) dan derrick atau tripod untuk menarik dan
menurunkan stang-stang dan alat-alat bor kedalam lubang.

Tabung penginti (Core barrel) terdiri dari dua tabung yaitu, tabung dalam dan
tabung luar. Tabung dalam merupakan tabung penginti (tidak berputar),
sedangkan tabung luar berputar memutari pahat yang melakukan pemboran. Air
dipompakan ke bawah melalui bagian dalam dari stang bor dan mengalir terus ke
bawah diantara kedua tabung tersebut lewat pahat dan kembali ke atas melalui
17

bagian luar tabung. Fungsi air, sebagai pelumas dan pendingin mata bor (bit) dan
juga berfungsi untuk mengangkut potongan-potongan tanah ke atas permukaan
tanah. Rangkaian alat rotary core drilling dapat dilihat pada Gambar 2.5.

Gambar 2.5 Rotary Core Drill


(Sumber: L.D. Wesley, 1977)

2. Uji Sondir (Cone Penetration Test)


Uji sondir adalah sebuah metode yang digunakan untuk menentukan property
tanah (geotechnical engineering) dan menggambarkan grafik yang menunjukkan
kekerasan dan kelekatan tanah (stratigraphy). Metode ini merupakan metode yang
paling diterima dalam metode penyelidikan tanag (soil investigation) di seluruh
dunia.
Metode pengujian terdiri dari penekanan ujung kerucut ke dalam tanah dengan
kecepatan yang dikontrol 1,5 hingga 2,5 cm per detik. Ada dua macam ujung
penetrometer yang bisa dipakai yaitu ”standard type” (mantel konus) dan “friction
sleeve” atau “adhesion jacket type” (bikonus). Hasil dari pengujian CPT ini adalah
stratigrafi lapisan-lapisan tanah di bawah permukaan. Ujung kerucut yang
digunakan pada umumnya memiliki luas 10 atau 15 cm2 atau berdiameter 3,6 cm
dan 4,4 cm. cara uji penetrasi lapangan dengan alat sondir terdapat pada SNI-
2827-2008. Rangkaian alat sondir dapat dilihat pada Gambar 2.6.
18

Gambar 2.6 Rangkaian Alat Penetrasi Konus


(Sumber: SNI 2827-2008)

Tabel 2.15 Hubungan Antar Konsistensi dengan Tekanan Konus


Tekanan
Konsistensi Undrain Cohesion
Konus qc
Tanah (T/m2)
(kg/cm2)
Very soft < 2,5 < 1,25
Soft 2,5 – 5,0 1,25 – 2,5
Medium soft 5,0 – 10,0 2,5 – 5,0
Stiff 10,0 – 20,0 5,0 – 10,0
Very stiff 20,0 – 40,0 10,0 – 20,0
Hard > 40,0 > 20
(Sumber: Terzaghi et al, 1996)

3. Uji SPT (Standard Penetration Test)


Uji SPT adalah uji yang dilakukan dengan cara pengeboran untuk mengetahui
baik perlawanan dinamik tanah maupun pengambilan contoh tanah terganggu
dengan teknik penumbukan.
Menurut L.D. Wesley (1977), dalam system beban jatuh ini, digunakan palu
dengan beban 140 lb (63,5 kg) yang dijatuhkan secara berulang dengan ketinggian
19

30 in (0,76 m). pelaksanaan pengujian dibagi dalam tiga tahap, yaitu berturut-turut
setebal 6 in (150 mm) untuk masing-masing tahap. Tahap pertama dicatat sebagai
dudukan, sementara jumlah pukulan untuk memasukkan tahap kedua dan ketiga
dijumlahkan untuk memperoleh nilai pukulan N atau perlawanan SPT (dinyatakan
dalam pukulan /0,3 m atau pukulan per foot (ft)). Uji SPT dilakukan pada setiap
2 m pengeboran dan dihentikan pada saat uji N-SPT sama dengan atau lebih besar
dari 60 N berturut-turut sebanyak 3 kali. Cara uji penetrasi lapangan dengan SPT
terdapat pada SNI-4153-2008. Rangkaian alat SPT dapat dilihat pada Gambar
2.7. Adapun hubungan antara N-SPT dengan konsistensi tanah dapat dilihat pada
Tabel 2.16.

Gambar 2.7 Penetrasi dengan SPT


(Sumber: L.D. Wesley, 1977)
20

Tabel 2.16 Hubungan Nilai N-SPT dan Konsistensi Tanah


Clay Sand
Nilai N-SPT Konsistensi Nilai N-SPT Relative Density
<2 Very soft 0–4 Very loose
2–4 Soft 4 – 10 Loose
4–8 Medium 10 – 30 Medium
8 – 15 Stiff 30 – 50 Dense
15 – 30 Very stiff > 50 Very dense
> 30 Hard
(Sumber: Terzaghi & Peck, 1967, Mayerhof, 1965)

4. Pengambilan Contoh Tanah


Pengambilan contoh tanah merupakan tahapan penting untuk penetapan sifat-sifat
fisik tanah di laboratorium, hasil analisis sifat-sifat fisik tanah di laboratorium
harus dapat menggambarkan keadaan sesungguhnya sifat fisik tanah di lapangan.
Pengambilan sampel tanah di bagi menjadi du acara yaitu:
1) Contoh tanah tidak terganggu (Undisturbed sample) adalah contoh tanah
yang struktur asli tanah dan sifat/karakteristiknya dijaga tetap seperti di
lapangan tanpa gangguan. Contoh ini paling cocok untuk pengujian di
laboratorium.
2) Contoh tanah terganggu (Disturbed sample) adalah contoh tanah yang
sebagian atau seluruh struktur asli tanah terganggu, sementara kadar airnya
tetap dijaga.

4.4.2 Pengujian Laboratorium


Sifat-sifat fisik tanah dapat dipelajari dari hasil uji laboratorium pada contoh-
contoh tanah yang diambil dari hasil pengeboran. Hasil-hasil pengujian yang
diperoleh dapat digunakan untuk menghitung kapasitas daya dukung, penurunan
dan stabilitas.
Secara umum, pengujian di laboratorium berdasarkan sifat fisik yang sering
dilakukan adalah:
1. Berat isi tanah (ɣ)
Berat isi tanah merupakan berat suatu sample tanah dibagi dengan volume
tanah dimana sample tanah tersebut harus dalam kondisi asli. Berat isi tanah
dinyatakan dalam gr/cm3 = ton/m3. Nilai berat isi pada tanah jarang < 1,2
21

kg/cm3 atau > 2,5 kg/cm3. Nilai yang biasa terjadi 1,6 kg/cm3 s/d 2,0 kg/cm3.
Berat isi kering ditentukan dengan satuan yang sama gr/cm3 nilai yang biasa
terjadi 0,6 kg/cm3 s/d 2,4 kg/cm3.
2. Derajat kejenuhan
Derajat kejenuhan dinyatakan dalam persen (%) sehingga nilai terkecil 0%
dan terbesar 100%. Tanah yang asli di lapangan luasnya mempunyai derajat
kejenuhan lebih tinggi dari 90%.
3. Angka pori (e)
Dinyatakan sebagai bilangan saja. Nilainya berkisar sekitar 0,3 sampai 3,0.
4. Batas plastis dan batas cair
Pengujian ini dilakukan pada tanah kohesif untuk maksud klasifikasi dan
untuk estimasi sifat-sifat teknisnya. Grafik plastisitas dari casagranade dapat
digunakan untuk memperkirakan kompresibilitas tanah-tanah lempung dan
lanau. Dalam menggunakan grafik plastisitas, perlu diketahui apakah tanah
berupa tanah organic atau anorganik, yang biasanya dapat diketahui dari
warnanya yang gelap dan baunya seperti tanaman yang busuk bila tanahnya
organic. Bila terdapat keragu-raguan mengenai tanah organic ini, uji batas cair
dilakukan pada contoh tanah yang telah dipanaskan dalam oven. Jika setelah
pengeringan, nilai batas cair tereduksi sampai 30% atau lebih, maka tanah
adalah tanah organic.
5. Indeks Plastis (PI)
Indeks plastis adalah selisih antara batas cair dan batas plastis. Jika tanah
banyak mengandung pasir maka test batas plastis (plastic limit) harus
dilaksanakan sebelum penentuan batas cair dilakukan. PI dinyatakan NP (non
plastic) jika batas plastis sama dengan atau lebih besar dari batas cair dan batas
cair atau batas plastis tidak dapat ditemukan.
6. Analisa saringan
Analisa saringan untuk mengetahui ukuran dan susunan butiran (gradasi)
tertahan saringan no. 200 ASTM. Ukuran-ukuran saringan berkisar dari
lubang berdiameter 101,6 mm (No. 4) sampai 0,0037 mm (No. 400).
22

7. Batas susut (SL)


Batas susut adalah batas dimana sudah kehilangan kadar air tapi tidak
menyebabkan penyusutan tanah lagi. Batas susut akan menyusut apabila air
yang dikandung secara perlahan-lahan hilang dalam tanah, dan penambahan
kehilangan air tidak akan menyebabkan perubahan volume.
8. Kadar air (w)
Pemeriksaan kadar air dilakukan pada contoh tanah tidak terganggu dan
biasanya merupakan bagian dari uji kuat geser tanah. Kadar air sample adalah
perbandingan antara berat air yang terkandung didalamnya terhadap sample
tanah kering. Kadar air tanag selalu dinyatakan dalam persen (%) dan nilainya
0% sampai dengan 200% atau 300%. Pada tanah dalam keadaan aslinya kadar
air biasanya bernilai 15% sampai dengan 100%.
9. Analisa Hydrometer (KL)
Analisa Hydrometer bertujuan untuk menentukan distribusi dari butiran tanah
yang memiliki diameter yang lebih kecil dari 0,074 mm (saringan No. 200
ASTM) dengan cara pengendapan.
10. Berat jenis (Gs)
Berat jenis tanah dinyatakan sebagai bilangan saja nilainya rata-rata 2,65
dengan variasi yang agak kecil, yaitu jarang di bawah 2,4 atau di atas 2,8.
Sedangkan, pengujian di laboratorium berdasarkan sifat mekanik yang sering
dilakukan adalah:
1. Kuat geser langsung
Tegangan normal (N) pada benda uji diberikan dari atas kontak geser. Gaya
geser diterapkan pada setengah bagian kontak geser. Selama pengujian
perpindahan (∆L) akibat gaya geser dan perubahan tebal (∆h) benda uji
dicatat. Pada tanah pasir bersih yang padat, tahanan geser bertambah sampai
beban puncak, dimana keruntuhan geser terjadi, sesudah itu kondisi menurun
dengan penambahan penggeseran dan akhirnya konstan, kondisi ini disebut
kuat geser residu. Sudut gesek dalam padat (Øm) dalam kondisi padat
diperoleh dari tegangan puncak, sedang sudut gesek dalam kondisi longgar
(Øt) diperoleh dari tegangan batas (residu).
23

2. Kuat tekan bebas (qu)


Pengujian ini berguna untuk menentukan kuat geser tak terdrainasi pada tanah
lempung jenuh yang tidak mengandung butiran kasar, yang akan digunakan
dalam hitungan kapasitas dukung.
3. Triaksial
Dalam perancangan fondasi, uji triaksial terbatas hanya dilakukan pada tanah-
tanah lempung, lanau dan batuan lunak. Umumnya pengujian ini tidak
dilakukan pada tanah pasir dan kerikil, karena sulitnya memperoleh contoh
tanah tidak terganggu. Walaupun pengambilan contoh tanah pasir sudah
diusahakan sangat hati-hati, namun pada pelepasan contoh tanah dari dalam
tabung, tanah akan berubah atau terganggu dari kondisi aslinya. Pada tanah
pasir lebih baik jika sudut geser dalam secara empiris diukur dari uji lapangan,
seperti uji SPT atau uji penetrasi kerucut statis (sondir). Kuat geser tanah
lempung yang digunakan untuk hitungan kapasitas dukung tanah dapat
diperoleh dari pengujian triaksial tidak terdrainasi (undrained). Uji triaksial
dibagi menjadi tiga metode, yaitu Unconsolidated Undrained (UU test atau
quick test), Consolidated Undrained (CU test) dan Consolidated Drained (CD
test).
Pengujian Unconsolidated Undrained dilakukan untuk mensimulasikan
kondisi di lapangan apabila penambahan/pemberian beban relatif cepat
sehingga lapisan tanah belum sempat terkonsolidasi (air di dalam pori tanah
tidak sempat mengalir ke luar selama proses pemberian beban). Oleh karena
itu pengujian ini juga dinamakan quick test. Sebagai contoh dalam kasus ini
adalah suatu lapisan tanah yang menerima beban relatif cepat seperti beban
urugan yang berlangsung relatif singkat.
Pengujian Consolidated Undrained dilakukan untuk mensimulasikan kondisi
lapisan tanah yang telah terkonsolidasi dan kemudian menerima penambahan
beban yang relatif cepat. Pada kasus ini mula-mula air di dalam pori tanah
dibiarkan mengalir keluar akibat proses konsolidasi dan setelah tanah
terkonsolidasi sempurna (100%), lapisan tanah tersebut menerima tambahan
beban yang relatif cepat sehingga air di dalam pori tanah pada saat
penambahan beban tidak sempat mengalir ke luar. Sebagai contoh pada kasus
24

ini adalah beban tangki yang didirikan di atas suatu urugan pada tanah
lempung yang telah mengalami konsolidasi 100%.
Pengujian Consolidated Drained dilakukan untuk mensimulasikan kondisi
pemberian beban pada tanah yang telah terkonsolidasi dengan kecepatan yang
relatif lambat dibandingkan dengan keluarnya air dari pori tanah.
4. Uji konsolidasi
Pengujian ini hanya dilakukan untuk jenis tanah berbutir halus seperti
lempung dan lanau dan digunakan untuk mengukur besarnya penurunan
konsolidasi dan kecepatan penurunan. Pengujian dilakukan pada alat
oedometer atau konsolidometer. Dari nilai koefisien konsolidasi (Cv) yang
dihasilkan, dapat ditentukan kecepatan penurunan bangunannya. Data
hubungan beban dan penurunan diperoleh koefisien perubahan volume (mv)
atau indeks pemampatan (Cc), yang selanjutnya digunakan untuk menghitung
estimasi penurunan akibat beban bangunan. Uji konsolidasi bisa tidak
dilakukan bila tanahnya berupa lempung terkonsolidasi sangat berlebihan
(heavily overconsolidated). Karena pada jenis tanah lempung tersebut,
sepanjang beban yang diterapkan tidak sangat berlebihan, penurunan yang
terjadi sangat kecil sehingga dapat diabaikan.
Pengujian laboratorium yang diuraikan di atas mengikuti Standar Nasional
(SNI) seperti diuraikan pada Tabel 2.17.

Tabel 2.17 SNI Pengujian Laboratorium Tanah


No Jenis Pengujian SNI
1 Berat Isi Tanah 03-3637-1994
2 Batas Cair 1967-2008
3 Batas Plastis 1966-2008
4 Indeks Plastis 1966-2008
5 Batas Susut 3422-2008
6 Analisa Saringan 03-1968-1990
7 Analisa Hidrometer 03-3423-1994
8 Konsolidasi 2812-2011
9 Kadar Air 03-1965-1990
10 Berat Jenis 03-1964-1990
11 Kuat Geser Langsung 03-2813-1992
25

Tabel 2.17 SNI Pengujian Laboratorium Tanah (Lanjutan)


12 Kuat Tekan Bebas 03-3638-1994
13 Triaxial 03-4813-1998

2.5 Timbunan Bertiang


Timbunan jalan yang berada di atas gambut akan mengalami masalah penurunan
dan instabilitas timbunan dan daya dukung diakibatkan oleh perubahan kadar air yang
dapat mengakibatkan kerusakan pada bangunan yang berdiri di atasnya, untuk itu
diperlukan teknologi penanganan yang bertujuan untuk meningkatkan daya dukung
tanah, mengendalikan air dan memperkuat timbunannya. Salah satu solusi penanganan
yang direkomendasikan adalah timbunan bertiang (Piled Embankment), yaitu teknologi
perkuatan tanah dengan memanfaatkan bahan geosintetik dan dikombinasikan dengan
tiang yang dipancang ke dalam lapisan tanah lunak (BS 8006:2010).
Penggunaan timbunan bertiang memiliki beberapa keuntungan, diantaranya:
1. Biaya pelaksanaan timbunan bertiang lebih murah dibandingkan dengan
konstruksi pipa drainase vertikal (prefabricated vertical drain) dengan
kombinasi beban sementara.
2. Tidak diperlukannya pemeliharaan berlebih.
3. Sisa penurunan yang terjadi setelah konstruksi relatif lebih kecil.
4. Pelaksanaan konstruksi lebih cepat karena tidak perlu menunggu proses
konsolidasi selesai.
5. Timbunan bertiang dapat mencegah perbedaan penurunan pada tanah lunak.
2.5.1 Komponen-komponen Timbunan Bertiang
Komponen-komponen yang mendukung timbunan bertiang adalah tiang pancang,
timbunan dan tanah dasar.
1. Tiang Pancang
Dalam timbunan bertiang, beban didistribusikan ke sejumlah tiang pancang
yang lebih kaku. Tiang pancang yang digunakan pada umumnya merupakan
buatan pabrik (driven piles) atau dicor di tempat. Tiang pancang dapat berupa
tiang dari beton atau tiang cerucuk kayu (timber piles) yang memiliki
diameter berkisar antara 10-30 cm, bahkan hingga 60 cm. Tiang pancang
yang baik adalah yang tertanam ke lapisan tanah keras (end-bearing piles).
26

Namun, pada lapisan lempung lunak yang tebal, tiang pancang seringnya
tidak dapat mencapai lapisan tanah keras, sehingga disebut tiang lekatan
(friction piles). Tiang yang umum digunakan di Indonesia adalah tiang
pancang dari kayu bakau dengan panjang maksimum 6 m. Untuk
meningkatkan transfer beban ke tiang maka diperlukan topi tiang. Ukuran
topi tiang adalah 4 – 22% dari luas timbunannya. Jenis-jenis tiang yang dapat
dipilih untuk timbunan bertiang dapat dilihat pada Gambar 2.8.

(a) (b)
Gambar 2.8 Jenis-jenis Tiang untuk Timbunan Bertiang: (a) Tiang Panjang Beton
Pracetak Lingkaran; (b) Tiang Pancang Beton Pracetak Persegi
2. Timbunan
Lapisan dibawah timbunan (matras) harus terdiri dari material friksi, seperti
pasir atau agregat hancur (hancuran material konstruksi). Pada banyak kasus,
matras terdiri dari agregat hancur dan sisi timbunan terdiri dari material
berkualitas rendah, contohnya pasir.
2.5.2 Metode Perencanaan Timbunan Bertiang
Metode perencanaan timbunan bertiang yang dijelaskan meliputi perencanaan
timbunan dan perencanaan tiang. Pendekatan desain yang digunakan untuk
merencanakan timbunan bertiang adalah metode tegangan kerja atau beban kerja
(working stress design) dan faktor keamanan global. Meskipun demikian sejumlah
pedoman timbunan dengan tiang yang sudah dipublikasikan menggunakan pendekatan
desain dengan metode tegangan batas ultimit (Ultimate Limit State, ULS) atau tegangan
batas layan (Serviceability Limit States, SLS), dengan faktor keamanan parsial (partial
safety factor) yang belum umum digunakan di Indonesia.
27

Tabel 2.18 Metode dan Pendekatan Desain Timbunan Bertiang (dari berbagai sumber)

Tinggi
Pendekatan Perencanaan Pendekatan Perhitungan
Metode Minimum
Perencanaan Faktor Keamanan Lengkung Tanah
Timbunan

Ultimate Limit Faktor keamanan Diasumsikan berbentuk kubah


State (ULS) parsial untuk beban, semi bulat (semi-spherical
BS 8006
Serviceability massa tanah dan 0,7 (s-a) dome) dan tidak tergantung
(1995 -2010)
Limit State parameter kekuatan kepada jenis dan kekuatan
(SLS) tanah material timbunan

Diasumsikan sebagai selubung


lengkung berbentuk kubah
Ultimate Limit Faktor keamanan
setengah bulat (hemispherical
State (ULS) parsial untuk beban,
Old German dome).
Serviceability massa tanah dan s-a
Method Mempertimbangkan kekuatan
Limit State parameter kekuatan
material timbunan.
(SLS) tanah
Mempertimbangkan tekanan
dari tanah dasar lunak

Diasumsikan sebagai multi


New German
Ultimate Limit Faktor keamanan lengkung.
Method/Multi
State (ULS) parsial untuk beban, Mempertimbangkan kubah
Shell Arching
Serviceability massa tanah dan 0,7 s lengkung terentang antara
Theory
Limit State parameter kekuatan kolom atau topi tiang.
(EBGEO,
(SLS) tanah Mempertimbangkan tekanan
2010)
tanah lunak di antara tiang.

Faktor keamanan
parsial untuk beban
Dutch Ultimate Limit
kendaraan, sudut
Design State (ULS) Diasumsikan beban kendaraan
geser dalam, berat isi
Guidelines Serviceability 0,66 (s-a) > berat timbunan atau
tanah, reaksi tanah
CUR226 Limit State pengurangan lengkung tanah
dasar, kekakuan
(2010) (SLS)
aksial geosintetik dan
kekuatan geosintetik

2.5.3 Perencanaan Timbunan


Menurut BS 8006:2010, hal pertama yang harus dilakukan dalam perencanaan
timbunan bertiang adalah menentukan dimensi timbunan dimana tinggi timbunan yang
disyaratkan adalah H > 0,7 (s-a). Dimana:
H adalah tinggi timbunan
s adalah jarak antar tiang
a adalah dimensi topi tiang
28

Gambar 2.9 Jarak Antar Tiang


(Sumber: BS 8006:2010)

CUR (2010) mensyaratkan tinggi timbunan adalah H/(s-a) ≥ 0,66 dan menurut
EBGEO tinggi minimum timbunan bertiang yang disyaratkan adalah H/(s-d)
≥ 0,8 apabila didominasi oleh beban statis.

2.5.4 Perencanaan Tiang


Dalam proses perencanaan tiang, terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan,
diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Jarak antar tiang
Jarak antar tiang menurut EBGEO adalah (s-d) ≤ 3 m untuk yang didominasi
beban statis serta (s-d) ≤ 2,5 m untuk yang didominasi oleh beban dinamis
atau juga 0,5 ≤ sx/sy ≤ 1.

Gambar 2.10 Sumbu Antar Tiang


(Sumber: EBGEO)

Diameter yang disyaratkan adalah d/s ≥ 0,15 (d = diameter tiang dengan


bentuk penampang lingkaran). Jarak antar tiang dapat ditentukan dengan
Persamaan 2.1.
𝑄𝑝
𝑠 = √𝑓 ……………………………………………...……….. (2.1)
𝑓𝑠 .𝜆.𝐻+𝑓𝑞 .𝑤𝑠

Dimana:
s = Jarak antar tiang
29

Qp = Kapasitas beban yang ditopang oleh tiang


ffs = Faktor unit berat tanah
λ = Unit berat material timbunan
H = Tinggi Timbunan
fq = Faktor beban eksternal
ws = Beban eksternal
CUR mensyaratkan perbandingan antara topi tiang dan jarak antar tiang
adalah a/s ≥ 0,15.
2. Kapasitas daya dukung batas tunggal
Secara umum, kapasitas daya dukung batas tunggal dari pondasi tiang dapat
diperoleh dengan menjumlahkan kapasitas daya dukung ujung dan tahanan
geser selimut tiang. Kapasitas daya dukung tersebut dapat dilihat pada
Persamaan 2.2.
𝑄𝑢 = 𝑄𝑠 + 𝑄𝑝 …………………………………………..………………. (2.2)

Dimana:

Qu = Kapasitas daya dukung ultimate


Qs = Kapasitas daya dukung ujung ultimate
Qp = Tahanan geser selimut tiang ultimate

Gambar 2.11 Daya Dukung Pondasi Tiang

3. Tahanan geser selimut tiang


Tahanan geser selimut tiang ultimate dari pondasi pada tanah dapat dihitung
berdasarkan Persamaan 2.3.
𝑄𝑠 = 𝑄𝑠𝑐 + 𝑄𝑠𝜑 ……………………………………………………… (2.3)
30

Dimana:
Qs = Tahanan geser selimut tiang ultimate
Qsc = Kontribusi dari kohesi tanah, c (pada tanah lempung)
Qsφ = Kontribusi dari sudut geser dalam tanah, φ (pada tanah pasir)
Secara umum, kontribusi kohesi tanah untuk tahanan geser selimut tiang
ultimate dapat diperoleh dengan menggunakan Persamaan 2.4.
𝑄𝑠𝑐 = ∑ 𝛼. 𝑐𝑢−𝑖 . 𝑙𝑖 . 𝑝 ………………………………………………….. (2.4)
Dimana:
α = Faktor lekatan
cu-i = Kohesi tanah undrained pada lapisan ke-i
li = Panjang tiang pada lapisan ke-i
p = Keliling tiang
Faktor lekatan (𝛼) dapat ditentukan dengan menggunakan grafik yang
direkomendasikan oleh Tomlinson (1977) sebagaimana diperlihatkan pada
Gambar 2.12.

Gambar 2.12 Faktor Lekatan untuk Digunakan Pada Metode 𝛼


(Sumber: Tomlinson, 1977)

Sedangkan kontribusi dari sudut geser dalam tanah, φ, untuk tahanan geser
selimut ultimate dapat diperoleh dengan menggunakan Persamaan 2.5.
𝑄𝑠𝜑 = ∑𝑛𝑖=𝑙 𝑓𝑖 . 𝑙𝑖 . 𝑝 …………………………………………………...…. (2.5)
Dimana:
fi = Ko-i . σ’v-i . tan (2/3 φi)
Ko-i = Koefisien tekanan tanah lateral pada lapisan ke-i = 1-sinφ
Σ’v-i = Tegangan vertical efektif pada tengah lapisan ke-i
31

φi = Sudut geser dalam tanah pada lapisan ke-i


li = Panjang tiang pada lapisan ke-i
p = Keliling tiang
Karena kesulitan yang timbul dalam menentukan besarnya nilai sudut geser
dalam, φ, maka untuk perhitungan tahanan geser selimut dapat digunakan
berdasarkan nilai N-SPT. Berdasarkan NavDoc, besarnya tahanan geser
untuk tiang pancang dapat dilihat pada Persamaan 2.6.
𝑁 𝑡
𝑓𝑠 = 𝑡𝑠𝑓 = 0,2𝑁 𝑚2 ≤ 𝑓𝑙 …………………………………………... (2.6)
50

Dimana:
N = Nilai rata-rata standard penetration test sepanjang selimut tiang
fs = Tahanan geser selimut ultimate, untuk tiang pancang dalam tsf
fl = Batas tahanan selimut, untuk tiang pancang fl = 1 tsf
4. Tahanan ujung tiang
Kapasitas daya dukung ujung pondasi tiang yang terletak pada lapisan tanah
dapat dihitung berdasarkan Persamaan 2.7.
𝑄𝑝 = 𝐴𝑝 (𝑐. 𝑁𝑐 ∗ + 𝑞 ′ . 𝑁𝑞 ∗ )…………………………………………….. (2.7)
Dimana:
Ap = Luas penampang bagian ujung tiang
c = kohesi tanah pada bagian ujung tiang
q’ = Tegangan vertical efektif pada daerah ujung tiang
Nc*, Nq* = Faktor daya dukung
Tahanan ujung tiang diperhitungkan untuk dua jenis tanah, yaitu pasir dan
lempung.
5. Kapasitas daya dukung ijin tiang
Daya dukung ijin tiang adalah daya dukung ultimate dibagi dengan angka
keamanan, atau dapat dilihat pada Persamaan 2.8.
𝑄𝑢𝑙𝑡
𝑄𝑎𝑙𝑙 = ……………………………………………………………… (2.8)
𝑆𝐹

Pada umumnya, angka keamanan yang sering digunakan berkisar antara 2 – 4


untuk kondisi operasional atau untuk beban yang bekerja selama operasi.
Menurut Tomlinson (1977), penentuan kapasitas ijin dari tiang adalah seperti
pada Persamaan 2.9.
32

𝑘𝑎𝑝𝑎𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠 𝑢𝑙𝑡𝑖𝑚𝑎𝑡𝑒 𝑡𝑖𝑎𝑛𝑔


𝐾𝑎𝑝𝑎𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠 𝑖𝑗𝑖𝑛 𝑡𝑖𝑎𝑛𝑔 = ……………………… (2.9)
2,5

OCDI – Technical Standards and Commentaries for Port and Harbour


Facilities in Japan (2009), menyarankan penggunaan angka keamanan
sebesar 2,5 untuk kapasitas tiang.
6. Analisis tekuk (buckling) tiang akibat gaya lateral
Tekuk (buckling) pada tiang sering dijumpai pada kasus-kasus tiang-tiang
langsing (slender foundation) dibawah timbunan. Tekuk pada umumnya
terjadi pada tanah yang memiliki kekuatan rendah seperti gambut, pasir yang
sangat lepas dan lempung lunak. Sebagai panduan sederhana, tanah dengan
nilai N-SPT > 4 menurut ASTM D-1586 disekeliling tiang dapat menahan
tertekuknya tiang, dengan catatan tidak ada gaya geser atau momen tekuk
yang bekerja diatas tiang. Sebaliknya, tiang yang berada disekeliling tanah
yang sangat lunak dengan nilai N-SPT < 4 dapat mengalami tekuk sehingga
perlu dihitung pengaruh tekuk tersebut dengan menggunakan metode
Davisson (1963) seperti dapat dilihat pada Persamaan 2.10 sampai
Persamaan 2.11.
𝑈𝑐𝑟 = 𝑃𝑐𝑟 . 𝑅 2 / 𝐸𝑝 . 𝐼𝑝 .............................................................................. (2.10)
𝑅 = 4√𝐸𝑝 . 𝐼𝑝 /𝑘ℎ . 𝑑.................................................................................. (2.11)
Dimana:
Pcr = Beban tekuk kritis
Ep = Modulus elastisitas tiang
Ip = Momen inersia tiang
kh = Modulus reaksi tanah dasar
d = Diameter tiang
Ucr = Rasio tanpa dimensi
Dengan mengasumsikan kh konstan pada profil tanah tertentu, tentukan
besarnya R dan dengan menggunakan Gambar 2.13, tentukan besarnya Ucr
sehingga Pcr dapat diselesaikan melalui persamaan diatas. Nilai tipikal kh
dapat dilihat pada Tabel 2.19.
33

Gambar 2.13 Grafik Kolerasi untuk Menentukan Ucr


(Sumber: Polous dan Davis, 1980)

Tabel 2.19 Nilai Tipikal Modulus Reaksi Tanah Dasar kh


Deskripsi tanah Modulus reaksi tanah dasar (kh)
Lempung sangat lunak 15 – 20
Lempung lunak 30 – 75
Pasir lepas 20
(Sumber: Hubbel Inc, 2003)

7. Penurunan tiang
Salah satu metode yang dapat digunakan untuk menghitung penurunan tiang
adalah metode elastisitas seperti pada Persamaan 2.12 sampai Persamaan
2.15.
𝑆 = 𝑆𝑒1 + 𝑆𝑒2 + 𝑆𝑒3 ............................................................................. (2.12)
(𝑄𝑤𝑝 +𝜉.𝑄𝑤𝑠 ).𝐿
𝑆𝑒1 = ................................................................................ (2.13)
𝐴𝑝 .𝐸𝑝

𝑄𝑤𝑝 .𝐶𝑝
𝑆𝑒2 = ........................................................................................... (2.14)
𝐷.𝑞𝑝

𝑄𝑤𝑠 .𝐶𝑠
𝑆𝑒3 = ........................................................................................... (2.15)
𝐿.𝑞𝑝

Dimana:
S = Penurunan total
Se1 = Penurunan elastis dari tiang
Se2 = Penurunan tiang yang disebabkan oleh beban di ujung tiang
Se3 = Penurunan tiang yang disebabkan oleh beban di sepanjang tiang
34

Qwp = Daya dukung ujung tiang dikurangi daya dukung gesek


Qws = Daya dukung gesek
Ap = Luas penampang tiang
L = Panjang tiang
Ep = Modulus elastisitas bahan tiang
ξ = Koefisien skin friction (0,67)
D = Diameter tiang
qp = Daya dukung ultimit
Cp = Koefisien empiris (0,02)
Cs = Konstanta Empiris = (0,93 + 0,16 √𝐿/𝐷). 𝐶𝑝

Pada Tabel 2.20 dapat dilihat parameter untuk tiang yang berada pada tanah tidak
kohesif, sedangkan parameter untuk tiang yang berada pada tanah kohesif dapat
dilihat pada Tabel 2.21.

Tabel 2.20 Parameter untuk Tiang Pada Tanah Tidak Kohesif


Kondisi Tanah Ff Nq

Tingkat Nilai Nilai Sondir, ZL/d Tiang Tiang cor Tiang Tiang cor
Kepadatan SPT (N) qc (kPa) pancang setempat pancang setempat

Lepas 0-10 0-4000 6 0,8 0,3 60 25


Sedang 10-30 4000-12000 8 1,0 0,5 100 60
Padat 30-50 12000-20000 15 1,5 0,8 180 100

Tabel 2.21 Parameter untuk Tiang Pada Tanah Kohesif


Kondisi Tanah
Nilai cu, Faktor
Nilai Kpa Gangguan
Konsistensi Nilai qc. kPa Nilai N
qu, kPa
100 – 120 0,55 – 0,45
120 – 140 0,45 – 0,40
200 –
Sangat kenyal 4000 – 8000 15 – 30 140 – 160 0,40 – 0,36
400
160 – 180 0,36 – 0,35
180 – 200 0,35 – 0,34
400 –
Keras 8000 – 15000 30 – 50 >200 0,34
800
Sangat keras >800 >15000 >50 >200 0,34
35

Tabel 2.21 Parameter untuk Tiang Pada Tanah Kohesif (Lanjutan)


Kondisi Tanah
Nilai cu, Faktor
Nilai Kpa Gangguan
Konsistensi Nilai qc. kPa Nilai N
qu, kPa

Sangat lembek 0 – 25 <500 0–2 0 – 10 1,0

Lembek 25 – 50 500 – 1000 2–4 10 – 25 1,0


25 – 45 1
Teguh 50 – 100 1000 – 2000 4–8
45 – 50 1,0 – 0,95
50 – 60 0,95 – 0,80
100 –
Kenyal 2000 – 4000 8 – 15 60 – 80 0,80 – 0,65
200
80 – 100 0,65 – 0,55

2.6 Tekanan Tanah Lateral


Tekanan tanah lateral adalah sebuah parameter perencanaan yang penting dalam
teknik pondasi dan dinding penahan. Tekanan tanah lateral ditimbulkan oleh dorongan
tanah dibelakang struktur tiang. Tekanan tanah lateral yang terjadi dibedakan menjadi
tekanan tanah dalam keadaan diam (lateral earth pressure at rest) seperti pada Gambar
2.14 (a), tekanan tanah aktif (lateral active earth pressure) seperti pada Gambar 2.14 (b)
dan tekanan pasif (lateral passive earth pressure) yang ditunjukkan pada Gambar 2.14
(c).

Gambar 2.14 Tekanan Tanah Lateral


(Sumber: Braja M. Das, 2011)

2.6.1 Tekanan Tanah Saat Diam


Ditinjau pada suatu tiang penahan tanah dengan permukaan tanah mendatar pada
Gambar 2.15. Mula-mula tiang dan tanah di belakangnya pada kondisi diam, sehingga
tanah pada kedudukan ini masih dalam kondisi elastis.
36

Gambar 2.15 Tekanan Tanah Diam


(Sumber: Hardiyatmo, 2010)

Pada posisi ini, tekanan tanah pada tiang akan berupa tekanan tanah saat diam
(earth pressure at rest) dan tekanan tanah lateral pada tiang kedalaman tertentu (z)
dinyatakan oleh Persamaan 2.16.
𝜎ℎ = 𝐾0 . 𝜎𝑣 = 𝐾0 . 𝑧. 𝛾 ……………………………………………....……………. (2.16)
Dimana:
K0 = Koefisien tekanan tanah saat diam
γ = Berat volume tanah (t/m3)
Kedudukan tegangan di dalam tanah yang dinyatakan oleh lingkaran Mohr yang
ditunjukkan pada Gambar 2.16 saat tanah pada kondisi diam diwakili oleh lingkaran A.
Perhatikan bahwa kedudukan K0, lingkaran A tidak menyinggung garis kegagalan OP.

Gambar 2.16 Tekanan Tanah Diam Menurut Lingkaran Mohr


(Sumber: Hardiyatmo, 2010)
37

2.6.2 Tekanan Tanah Aktif


Tekanan tanah aktif (active earth pressure) adalah tekanan tanah lateral minimum
yang mengakibatkan kerutntuhan geser tanah akibat gerakan tiang menjauhi tanah
dibelakangnya seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.17. Jika tiang bergeser menjauhi
tanah timbunannya dan jika gerakan ini diikuti oleh gerakan tanah dibelakang tiang, maka
tekanan tanah lateral pada tiang akan berangsur-angsur berkurang yang diikuti dengan
berkembangnya tahanan geser tanah secara penuh. Pada suatu saat gerakan tiang
selanjutnya mengakibatkan terjadinya keruntuhan geser tanah dan tekanan tanah pada
tiang menjadi konstan pada tekanan minimumnya.

Gambar 2.17 Tekanan Tanah Aktif


(Sumber: Hardiyatmo, 2010)

Kedudukan tegangan saat tanah pada kedudukan keseimbangan limit aktif terjadi
diwakili oleh lingkaran B yang menyinggung garis kegagalan OP yang ditunjukkan pada
Gambar 2.18. Jika tegangan vertikal 𝜎𝑣 di titik tertentu di dalam tanah dinyatakan oleh
𝜎𝑣 = 𝑧. 𝛾, maka tekanan tanah lateral pada saat runtuh dapat dilihat pada Persamaan
2.17.
𝜎ℎ = 𝐾𝑎 . 𝜎𝑣 = 𝐾𝑎 . 𝑧. 𝛾 ………………………………………………..…………….(2.17)
38

Gambar 2.18 Tekanan Tanah Aktif Menurut Lingkaran Mohr


(Sumber: Hardiyatmo, 2010)

2.6.3 Tekanan Tanah Pasif


Tekanan tanah pasif (passive earth pressure) adalah tekanan tanah lateral
maksimum yang mengakibatkan keruntuhan geser tanah akibat gerakan tiang menekan
tanah seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.19.

Gambar 2.19 Tekanan Tanah Pasif


(Sumber: Hardiyatmo, 2010)

Jika tanah tertekan sebagai akibat tiang mendorong tanah, maka gaya yang
dibutuhkan untuk menimbulkan kontraksi tanah secara lateral lebih besar daripada
besarnya tekanan tanah yang menekan ke tiang. Besarnya gaya ini bertambah dengan
bertambahnya regangan dalam tanah seiring dengan bergeraknya tiang, hingga sampai
suatu regangan tertentu, tanah mengalami keruntuhan geser akibat desakan tiang, saat
mana gaya lateral tanah mencapai nilai yang konstan yaitu pada nilai maksimumnya.
Kedudukan tegangan saat tanah pada kedudukan keseimbangan limit pasif terjadi
diwakili oleh lingkaran C yang menyinggung garis kegagalan OP yang ditunjukkan pada
Gambar 2.20. Jika tegangan vertikal 𝜎𝑣 di titik tertentu di dalam tanah dinyatakan oleh
39

𝜎𝑣 = 𝑧. 𝛾, maka tekanan tanah lateral pada saat runtuh dapat dilihat pada Persamaan
2.18.
𝜎ℎ = 𝐾𝑝 . 𝜎𝑣 = 𝐾𝑝 . 𝑧. 𝛾…………………………………………..………………….(2.18)

Gambar 2.20 Tekanan Tanah Pasif Menurut Lingkaran Mohr


(Sumber: Hardiyatmo, 2010)

2.7 Beban Lalu Lintas


Beban lalu lintas ditambahkan ketika melakukan perhitungan stabilitas timbunan,
dengan menggunakan angka yang ditunjukkan pada Tabel 2.22.
Pengelompokkan kelas jalan pada Tabel 2.22 mengacu pada sistem klasifikasi
jalan di Indonesia yang diperlihatkan pada Tabel 2.23. Klasifikasi perencanaan jalan
kelas I s.d. IV pada Tabel 2.23 ditentukan berdasarkan besar volume Lalu Lintas Harian
Rata-Rata (LHR) dan fungsi jalannya.

Tabel 2.22 Beban Lalu Lintas untuk Analisis Stabilitas


Beban Lalu Lintas
Kelas Jalan
(kPa)
I 15
II 12
III 12
12 (direncanakan
IV sama dengan jalan
kelas III)
(Sumber: Pt-T-10-2002-B)
40

Tabel 2.23 Sistem Klasifikasi Jalan di Indonesia


Klasifikasi
Berdasarkan Fungsi LHR Kelas
Jalan
Seluruh lalu
Arteri I
lintas
Primer ≥ 10000 I
Kolektor
≤ 10000 II
≥ 20000 I
Arteri
≤ 20000 II
≥ 6000 II
Sekunder Kolektor
≤ 6000 III
≥ 500 III
Lokal
≤ 500 IV

2.8 Stabilitas
Stabilitas ditunjukan dengan nilai Faktor Keamanan (FK). Suatu timbunan
dianggap berada pada titik keruntuhan jika faktor keamanan, FK = 1, serta berada pada
kondisi stabil jika FK yang dimiliki lebih besar dari satu (FK > 1) atau dengan kata lain
memiliki kekuatan yang lebih (reserve strength). Pd T-11-2005-B memberikan kriteria
FK minimum untuk kondisi jangka pendek atau selama masa pelaksanaan timbunan yang
diperlihatkan pada Tabel 2.24.

Tabel 2.24 Faktor Keamanan Minimum untuk Perhitungan Stabilitas


Faktor
Kelas Jalan
Keamanan
I 1,4
II 1,4
III 1,3
IV 1,3
(Sumber: Pd T-11-2005-B)

Menurut Bowles (1989), nilai dari faktor keamanan berdasarkan intensitas


kelongsorannya seperti dapat dilihat pada Tabel 2.25.
41

Tabel 2.25 Hubungan Nilai Faktor Keamanan dan Intensitas Longsor


Nilai Faktor Keamanan Kejadian (Intensitas Longsor)
FK kurang dari 1,07 Longsor sering terjadi (labil)
FK antara 1,07 sampai 1,25 Longsor pernah terjadi (kritis)
FK lebih dari 1,25 Longsor jarang terjadi (relatif stabil)
(Sumber: Bowles, 1989)

2.8.1 Parameter Tegangan Total


Perhitungan stabilitas yang umum digunakan adalah perhitungan dengan analisis
tegangan total (Toral Stress Analysis, TSA) dan perhitungan dengan analisis tegangan
efektif (Effective Stress Analysis, ESA). Pada perhitungan tegangan total, parameter kuat
geser material timbunan dihitung melalui pengujian tekan dengan alat triaksial pada
kondisi tertentu sesuai dengan tinggi timbunannya. Stabilitas timbunan dihitung dengan
hanya mempertimbangkan kuat geser tak terdrainase (undrained) sebelum dimulainya
konstruksi, tanpa memperhitungkan kenaikan kuat geser akibat konsolidasi.
Apabila diasumsikan tanah sepenuhnya jenuh (fully saturated), maka kuat geser
tak terdrainase yang digunakan adalah cu = su dan øu = 0. Kuat geser untuk perhitungan
tegangan total dapat diperoleh dari uji triaksial tak terkonsolidasi tak terdrainase
(unconsolidated undrained, UU), uji geser baling (vane shear, VST) atau sondir (CPT).

2.8.2 Parameter Tegangan Efektif


Kuat geser efektif yang diperlukan untuk perhitungan tegangan efektif dinyatakan
dengan parameter-parameter kuat geser efektif Mohr-Coulomb, yaitu c’ dan ø’ yang
didapat dari uji triaksial terkonsolidasi-terdrainase (consolidated undrained, CU) dengan
pengukuran tekanan air pori atau uji geser langsung. Nilai c’ dan ø’ dari uji triaksial CU
pada prinsipnya sama dengan yang didapat dari uji triaksial CD dan geser langsung.
Perhitungan tegangan efektif memerlukan informasi tekanan air pori awal
sebelum, selama dan sesudah konstruksi. Tekanan air pori awal sebelum konstruksi bisa
diketahui dengan relatif mudah melalui penyelidikan lapangan. Namun, variasinya
selama konstruksi sulit diprediksi dengan akurat. Mempertimbangkan hal tersebut,
kondisi tak terdrainase harus dihitung dengan menggunakan tegangan total.
Kuat geser, tekanan air pori dan berat isi yang relevan untuk analisis stabilitas
pada berbagai kondisi diperlihatkan pada Tabel 2.26 dan untuk memperoleh penjelasan
42

lebih lengkap mengenai perhitungan tegangan total dan efektif dapat merujuk ke Dep.PU
(2004).

Tabel 2.26 Kuat Geser, Tekanan Air Pori dan Berat Isi
Kondisi
Jenis Pembebanan
Parameter Akhir Jangka
Tanah Beberapa
Konstruksi Panjang
Tahap*
Tekanan
Semua air Sertakan Sertakan Sertakan
eksternal
Semua Berat isi Total Total Total
Terdrainase
Kuat geser c' dan ø' c' dan ø' c' dan ø'
(drained)
u dari
Terdrainase Tekanan u dari analisis u dari analisis
analisis
(drained) air pori (u) rembesan rembesan
rembesan
Tegangan
Tegangan total,ø'
total, c' dan ø'
Tak u = 0 dan cu dari
dari uji-uji
Terdrainase Kuat geser uji triaksial CU c' dan ø'
lapangan,
(undrained) pada tekanan
triaksial UU
konsolidasi
dan CU
Tak Abaikan, set u Abaikan, set u = 0 u dari
Tekanan
Terdrainase = 0 pada input pada input analisis
air pori (u)
(undrained) komputer komputer rembesan

2.9 Deformasi
Salah satu permasalahan utama pada tanah lunak dalam suatu pekerjaan
konstruksi adalah deformasi atau penurunan tanah yang sangat besar. Penurunan yang
besar tersebut disebabkan oleh penurunan konsolidasi pada tanah, yang akan dijelaskan
pada bagian berikutnya.
Ketika tanah dibebani, maka sama dengan material lain, tanah akan mengalami
penurunan. Dalam ilmu Geoteknik, dikenal tiga jenis penurunan tanah.
1. Penurunan Seketika (Immediate Settlement)
Penurunan seketika merupakan penurunan yang terjadi seketika saat beban
diberikan. Pada tanah jenuh air dan permeabilitas rendah, beban yang bekerja
diterima sepenuhnya oleh tegangan air pori. Pada tanah dengan permeabilitas
tinggi, tegangan air pori yang terjadi muncul hanya sebentar karena tegangan air
43

pori ini terdisipasi dengan cepat. Deformasi yang terjadi pada tanah tidak disertai
dengan perubahan volume. Perhitungan untuk penurunan seketika ini didasarkan
pada hukum elastisitas material.
2. Penurunan Konsolidasi/Primer (Consolidation Settlement)
Penurunan konsolidasi adalah penurunan pada tanah kohesif yang diakibatkan
terdisipasinya tegangan air berlebih di dalam tanah, dan akhirnya menghasilkan
perubahan dari segi volume. Jenis penurunan ini terjadi bersama dengan waktu
yang berlalu. Tegangan air pori berlebih di transfer menuju partikel tanah menjadi
tegangan efektif. Saat tegangan air pori berlebih ini = 0, penurunan konsolidasi
sudah selesai dan tanah berada dalam keadaan drained. Besarnya nilai penurunan
konsolidasi primer dapat dihitung dengan Persamaan 2.19.
∆𝑒
𝑆𝑐 = 1+𝑒 . 𝐻.....................................................................................................(2.19)
0

Dimana:
Sc = Penurunan konsolidasi primer
∆e = Perubahan angka pori
e0 = Angka pori awal
H = Tebal lapisan Tanah
3. Penurunan Rangkak/Sekunder (Creep/Secondary Settlement)
Penurunan sekunder merupakan penurunan yang terjadi setelah penurunan
konsolidasi. Penurunan ini terjadi seiring dengan waktu berlalu dan biasanya terjadi
sangat lama setelah beban mulai bekerja, dimana partikel tanah mengalami creep.
Penurunan ini terjadi saat semua tegangan air pori berlebih di dalam tanah telah
terdisipasi dan saat tegangan efektif yang terjadi berada dalam keadaan konstan.
Besarnya nilai konsolidasi sekunder dapat dihitung menggunakan Persamaan 2.20.
𝑆𝑠 = 𝐶𝛼 . 𝐻. log(𝑡2 ⁄𝑡1 ).....................................................................................(2.20)
Dimana:
Ss = Penurunan konsolidasi sekunder
Cα = Rasio pemampatan sekunder
H = Tebal lapisan tanah yang ditinjau
t2 = t1 + ∆t
t1 = Waktu saat konsolidasi primer selesai
44

Nilai Cα dapat diperoleh dari grafik hubungan angka pori (e) terhadap waktu (t)
seperti tampak pada Gambar 2.21.

Gambar 2.21 Penentuan Indeks Pemampatan Sekunder (Cα)


(Sumber: Hary Christady, 2002)

Kriteria penurunan timbunan selama masa konstruksi serta kecepatan penurunan yang
disyaratkan oleh Pt-T-10-2002-B dapat dilihat pada Tabel 2.27, dimana s adalah jumlah
penurunan selama masa konstruksi dan stot adalah penurunan total yang diperkirakan.
Kriteria ini berlaku untuk timbunan jalan di atas tanah dasar yang lunak.

Tabel 2.27 Kriteria Penurunan Timbunan


Kecepatan
Penurunan yang
Kelas Penurunan Setelah
Disyaratkan Selama
Jalan Konstruksi
Masa Konstruksi, s/stot
(mm/tahun)
I > 90% < 20
II > 85% < 25
III > 80% < 30
IV > 75% < 30
(Sumber: Pt-T-10-2002-B)

2.10 Tinggi Kritis Timbunan


Berdasarkan Pt T-10-2002-B perhitungan tinggi kritis timbunan yang aman tanpa
perbaikan tanah dapat ditentukan dengan Persamaan 2.21.
𝟒𝒄
𝑯𝒄 = Ɣ𝒖 ................................................................................................................ (2.21)

Dimana:

Hc = Tinggi kritis timbunan (m)


Cu = Kuat geser tak terdrainase (kN/m2), nilai dengan rata-rata sampai kedalaman
lima meter atau setebal lapisan lempung lunak bila kurang dari lima meter.
Ɣ = Berat isi timbunan (kN/m3), nilai yang digunakan yaitu nilai tertinggi dari
45

material timbunan.
Perhitungan ini tidak memperhitungkan kontribusi kuat geser dari timbunan.
Apabila tinggi timbunan sudah melampaui tinggi kritisnya, maka elevasi timbunan
diturunkan agar tidak terjadi keruntuhan.

2.11 Pola Keruntuhan


Berdasarkan pengujian model yang dilakukan oleh Vesic (1963), terdapat 3 (tiga)
kemungkinan pola keruntuhan kapasitas dukung tanah, yaitu:
1. Keruntuhan geser umum (General Shear Failure), Gambar 2.22.
1) Kondisi kesetimbangan plastis terjadi penuh diatas failure plane
2) Muka tanah di sekitarnya mengembang (naik)
3) Keruntuhan terjadi di satu sisi sehingga pondasi miring
4) Terjadi pada tanah dengan kompresibilitas rendah (padat dan kaku)
5) Kapasitas dukung batas (qu) bisa diamati dengan baik.

Gambar 2.22 Pola Keruntuhan Geser Umum (General Shear Failure)


(Sumber: Vesic, 1963)
2. Keruntuhan geser setempat (Local Shear Failure), Gambar 2.23.
1) Muka tanah disekitar pondasi tidak terlalu mengembang, karena
dorongan kebawah dasar pondasi lebih besar
2) Kondisi kesetimbangan plastis hanya terjadi pada sebagian tanah saja
3) Miring yang terjadi pada pondasi tidak terlalu besar terjadi
4) Terjadi pada tanah dengan kompresibilitas tinggi yang ditunjukkan
dengan penurunan yang relatif besar
46

5) Kapasitas dukung batas (qu) sulit dipastikan sulit dianalisis, hanya bisa
diamati penurunannya saja.

Gambar 2.23 Pola Keruntuhan Geser Setempat (Local Shear Failure)


(Sumber: Vesic, 1963)

3. Keruntuhan geser baji/penetrasi (Punching Shear Failure), Gambar 2.24.


1) Terjadi desakan dibawah dasar pondasi disertai pergeseran arah vertikal
sepanjang tepi.
2) Tidak terjadi kemiringan pondasi dan pengangkatan di permukaan tanah.
3) Penurunan yang terjadi cukup besar.
4) Terjadi pada tanah dengan kompresibilitas tinggi dan kompresibilitas
rendah jika kedalaman pondasi agak dalam.

Gambar 2.24 Pola Keruntuhan Geser Baji (Punching Shear Failure)


(Sumber: Vesic, 1963)
47

2.12 Plaxis 2D 2017 (Berbasis Metode Elemen Hingga)


Metode elemen hingga (Finite Element Method) adalah metode perhitungan yang
didasarkan pada konsep diskretisasi, yaitu pembagian suatu sistem struktur, massa atau
benda padat menjadi elemen-elemen yang lebih kecil. Pembagian ini memungkinkan
sistem yang memiliki derajat kebebasan tidak terhingga menjadi derajat kebebasan
terhingga. Metode elemen hingga juga merupakan metode pendekatan, semakin kecil
pembagian elemen-elemen kecil semakin akurat perhitungan pendekatan melalui metode
elemen hingga. Metode ini dapat digunakan untuk mengetahui deformasi ataupun
tegangan yang terjadi pada suatu elemen yang disebabkan oleh distribusi beban atau gaya.
Plaxis adalah program analisa geoteknik, terutama untuk analisa stabilitas dan
penurunan tanah berbasis metode elemen hingga yang mampu melakukan analisa yang
dapat mendekati perilaku sebenarnya. Dengan bantuan program Plaxis tanah dapat
dimodelkan untuk mengetahui perilaku tanah tersebut. Untuk menganalisa timbunan pada
oprit jembatan dan lapisan-lapisan tanah di bawahnya pun dapat dimodelkan dengan
cepat.
Secara umum tahapan perhitungan menggunakan Plaxis 2D terdiri dari:
1. Tahap input data (input)
Menjalankan suatu analisis berdasarkan metode elemen hingga dengan program
Plaxis 2D, langkah pertama yaitu membuat sebuah model elemen hingga dan
menentukan sifat-sifat material serta kondisi batasnya. Untuk membuat sebuah
model elemen hingga yang lengkap, pengguna terlebih dahulu harus membuat
sebuah model geometri 2D yang terdiri dari titik-titik, garis-garis dan komponen-
komponen lainnya dalam bidang x-y. Penyusunan jaring elemen hingga dan
penentuan sifat-sifat serta kondisi batas pada tiap elemen dilakukan secara
otomatis oleh pembentuk jaring elemen di dalam Plaxis berdasarkan masukan dari
model geometri. Prinsipnya tahap input data meliputi gambaran kontur geometri,
kemudian tambahkan pelapisan tanah, kemudian obyek-obyek struktural,
kemudian geometri yang diperlukan untuk memodelkan tahapan konstruksi,
kemudian kondisi-kondisi batas dan diikuti dengan pembebanan.
2. Tahap perhitungan (calculation)
Program perhitungan memuat semua fasilitas untuk mendefinisikan dan memulai
perhitungan elemen hingga. Tahapan perhitungan yang telah diselesaikan dengan
48

sukses akan diindikasikan dengan ‘trick mark’ berwarna hijau, sedangkan tahapan
yang gagal diselesaikan akan diindikasikan dengan tanda silang berwarna merah.
3. Hasil Perhitungan (output)
Output dari suatu perhitungan elemen hingga adalah perpindahan pada titik-titik
nodal dan titik-titik tegangan. Selain itu, saat model elemen hingga
mengikutsertakan elemen-elemen struktural, maka gaya-gaya struktural juga akan
dihitung dalam elemen-elemen ini.
Program keluaran memuat seluruh fasilitas untuk menampilkan hasil dari data
masukan yang telah dibentuk serta hasil dari perhitungan elemen hingga.
Program Plaxis dilengkapi oleh beberapa fitur untuk menghadapi berbagai aspek
struktur dan geoteknik. Ringkasan mengenai fitur-fitur dan uraian penting dalam plaxis
antara lain adalah sebagai berikut:
1. Pembuatan model geometri secara grafis
Masukan berupa pelapisan tanah, elemen-elemen struktur, tahapan konstruksi,
pembebanan serta kondisi-kondisi batas dilakukan dengan menggunakan
prosedur grafis yang mudah dengan bantuan komputer, yang memungkinkan
pembuatan model geometri berupa penampang melintang yang mendetail. Dari
model geometri ini jaring elemen hingga 2D dapat dengan mudah dibentuk.
2. Pembentukan jaring elemen secara otomatis
Plaxis secara otomatis akan membentuk jaring elemen hingga 2D yang acak
dengan pilihan untuk memperhalus jaring elemen secara global maupun lokal.
3. Pelat
Elemen pelat merupakan obyek struktural yang digunakan untuk memodelkan
struktur yang tipis dalam tanah dengan kekakuan lentur yang signifikan serta
kekakuan normal. Elemen pelat dapat digunakan untuk memodelkan pengaruh
dari dinding, pelat, cangkang atau dinding terowongan yang menerus dalam arah-
z. Penggambaran elemen-elemen pelat dalam model geometri serupa dengan cara
penggambaran garis-garis geometri. Saat elemen pelat digambarkan, garis
geometri juga terbentuk secara bersamaan.
Sifat-sifat material dari elemen pelat diatur dalam kumpulan data material.
Parameter-parameter yang paling penting adalah kekakuan lentur EI dan
49

kekakuan aksil EA. Dari kedua parameter ini sebuah ketebalan ekivalen dari
elemen pelat deq dapat dihitung dari Persamaan 2.22.
𝐸𝐼
𝑑𝑒𝑞 = √12 𝐸𝐴................................................................................................ (2.22)

Perubahan rasio EI/EA akan mengubah tebal ekivalen deq, demikian juga dengan
jarak antara titik-titik tegangan. Jika hal ini dilakukan saat ada gaya-gaya yang
bekerja dalam elemen balok, maka hal ini akan mengubah distribusi momen
lentur, dimana hal ini tidak diijinkan.
4. Antarmuka (Interface)
Elemen antar muka atau elemen penghubung dapat digunakan untuk memodelkan
interaksi tanah-struktur. Sebagai contoh, elemen-elemen ini dapat digunakan
untuk memodelkan zona tipis diantara lining terowongan dengan tanah
disekelilingnya yang mengalami intensitas geser yang tinggi. Nilai sudut geser
dan kohesi dari elemen antarmuka umumnya berbeda dengan nilai sudut geser dan
kohesi dari tanah disekitarnya.
5. Baris Balok Tertanam (Embedded Beam Rows)
Elemen balok 2D merupakan pendekatan yang disederhanakan untuk menangani
deretan tiang pancang dalam arah luar bidang dalam model regangan bidang 2D.
Balok itu mewakili pergerakan deretan tiang di luar bidang dari masing-masing
tiang. Kekakuan antarmuka harus dipilih sedemikian rupa sehingga menyumbang
perbedaan antara perpindahan tanah dan perpindahan tiang dengan memindahkan
beban dari struktur ke tanah dan sebaliknya. Baris balok tertanam dapat digunakan
untuk memodelkan deretan struktural yang digunakan untuk mengirimkan beban
ke tanah.
6. Tekanan air pori hidrostatis
Distribusi tekanan air pori yang kompleks dapat dihitung berdasarkan elevasi dari
grafis freatik atau masukan langsung berupa nilai-nilai tekanan air. Sebagai
alternatif, perhitungan aliran air statis dalam tanah dapat dilakukan untuk
memperoleh distribusi tekanan air pori pada masalah-masalah aliran statis atau
rembesan.
7. Analisis konsolidasi
Semakin berkurangnya tekanan air pori berlebih terhadap waktu dapat dihitung
dengan menggunakan sebuah analisis konsolidasi. Suatu perhitungan konsolidasi
50

membutuhkan masukan berupa koefisien permebilitas tanah untuk tiap lapisan


tanah. Penggunaan prosedur peningkatan langkah waktu secara otomatis akan
membuat analisis menjadi mudah dilakukan namun tetap handal.
8. Lintasan tegangan
Sebuah pilihan khusus tersedia untuk menggambarkan kurva beban terhadap
perpindahan, lintasan tegangan atau jalur tegangan, lintasan regangan, kurva
tegangan-regangan serta kurva penurunan terhadap waktu. Visualisasi dari
lintasan tegangan akan memberikan informasi yang berharga terhadap perilaku
tanah secara lokal dan memungkinkan analisis yang mendetail terhadap hasil dari
perhitungan dengan menggunakan plaxis.
9. Material
a. Model material
Plaxis mendukung berbagai model konstitutif untuk memodelkan perilaku
dari material tanah maupun material kontinum lainnya. Berikut adalah sebagian
pembahasan singkat dari model-model material:
1) Model Elastisitas Linier
Model ini menyatakan hukum Hooke tentang elastisitas linier isotropis.
Model ini meliputi dua buah parameter kekakuan, yaitu modulus Young (E),
dan angka Poisson (v).
Model linier elastis sangat terbatas untuk pemodelan perilaku tanah. Model
ini terutama digunakan pada struktur-struktur yang kaku dalam tanah.
2) Model Mohr-Coulomb
Model yang sangat dikenal ini digunakan untuk pendekatan awal terhadap
perilaku tanah secara umum. Model ini meliputi lima buah parameter utama,
yaitu modulus Young (E), angka Poisson (v), kohesi (c), sudut geser (ø), dan
sudut dilatansi (ѱ).
3) Model Hardening Soil
Model ini merupakan model hiperbolik yang bersifat elastoplastis, yang
diformulasikan dalam lingkup plastisitas dari pengerasan akibat friksi
(friction hardening plasticity). Model ini telah mengikutsertakan kompresi
hardening untuk memodelkan pemampatan tanah yang tidak dapat kembali
seperti semula (irreversible) saat menerima pembebanan yang bersifat
51

kompresif. Model berderajat dua ini dapat digunakan untuk memodelkan


perilaku tanah pasiran, kerikil serta jenis tanah yang lebih lunak seperti
lempung dan lanau.
4) Model Soft Soil
Model ini merupakan model Cam-Clay yang digunakan untuk memodelkan
perilaku tanah lunak seperti lempung terkonsolidasi normal dan gambut.
Model ini paling baik digunakan untuk situasi kompresi primer.
Pengembangan dari model soft soil ini adalah secondary compression
(Creep). Model creep digunakan untuk memodelkan perilaku rangkak
(Creep) dan time dependent pada tanah lunak.
Sesungguhnya Model Soft Soil telah dilampaui oleh Model Hardening Soil,
tetapi Model Soft Soil tetap dipertahankan untuk pengguna yang telah terbiasa
dengan model ini. Penggunaan Model Soft Soil harus dibatasi untuk situasi
yang dinominasi terutama oleh kompresi. Model ini tidak direkomendasikan
untuk digunakan pada masalah galian.
b. Jenis perilaku material
Pada prinsipnya, seluruh parameter model dalam Plaxis bertujuan untuk
menyatakan respon tanah dalam kondisi tegangan efektif, yaitu hubungan
antara tegangan dan regangan yang terjadi pada butiran-butiran tanah. Hal
penting dalam tanah adalah keberadaan air pori. Tekanan air pori secara
signifikan akan mempengaruhi respon dari tanah. Plaxis menyediakan pilihan
berupa tiga buah jenis perilaku untuk setiap model tanah sebagai berikut:
1) Perilaku terdrainase
Dengan perilaku ini maka tekanan air pori berlebih tidak akan dibentuk
sama sekali. Perilaku ini jelas untuk diterapkan pada kasus tanah-tanah
kering, kasus dimana terjadi drainase penuh akibat permeabilitas yang
tinggi (tanah pasiran) dan juga pada kasus dimana kecepatan pembebanan
sangat rendah. Pilihan ini juga dapat digunakan untuk memodelkan
perilaku jangka panjang dari tanah tanpa perlu memodelkan sejarah dari
pembebanan tak terdrainase maupun konsolidasi.
52

2) Perilaku tak terdrainase


Perilaku ini digunakan untuk pembentukan tekanan air pori berlebih
secara penuh. Aliran air pori terkadang dapat diabaikan karena
permeabilitas yang sangat rendah (tanah lempungan) atau akibat
kecepatan pembebanan yang sangat tinggi. Seluruh klaster yang
dispesifikasikan sebagai tak terdrainase akan benar-benar bersifat tak
terdrainase, meskipun klaster atau sebagian dari klaster tersebut berada
diatas grafik freatik (muka air tanah). Parameter-parameter efektif dari
model yang harus dimasukkan adalah E’, v’, c’, ø’ dan bukannya Eu, vu,
cu (su), øu. Selain kekakuan dan kekuatan dari butiran tanah, Plaxis
menambahkan kekakuan bulk (bulk stiffness) dari air serta membedakan
antara tegangan total, tegangan efektif dan tekanan air pori berlebih.
3) Perilaku tidak porous
Dengan perliaku ini maka baik tekanan air pori awal maupun tekanan air
pori berlebih tidak akan diperhitungkan sama sekali. Aplikasi dari
perilaku ini adalah pada pemodelan material beton atau untuk perilaku
obyek struktural. Perilaku tidak porous sering dikombinasikan dengan
penggunaan Model Linier Elastis. Masukan berupa berat isi jenuh dan
permeabilitas tidak relevan untuk material tanpa pori. Jenis material tanpa
pori juga dapat diterapkan pada elemen antarmuka. Untuk mencegah
terjadinya aliran air melalui dinding turap atau struktur kedap air lainnya.

c. Parameter tanah
Parameter tanah digunakan untuk mendeskripsikan sifat-sifat tanah dan
perilaku karakteristik tanah yang selanjutnya dianalisa kedalam Plaxis.
Adapun parameter-parameter tanah secara umum yang digunakan dalam
program Plaxis adalah sebagai berikut:
1) Berat volume tanah jenuh (γsat)
Berat volume tanah jenuh, didefinisikan sebagai berat tanah termasuk zat cair
dalam pori per satuan volume. Berat volume ini digunakan untuk
merepresentasikan semua material yang berada dibawah muka air tanah.
53

2) Berat volume tanah tidak jenuh (γunsat)


Berat volume tanah tidak jenuh, didefinisikan sebagai berat tanah per satuan
volume. Berat volume ini digunakan untuk merepresentasikan semua material
yang berada diatas muka air tanah. Untuk tanah yang mempunyai pori-pori,
berat isi tak jenuh tentu akan lebih kecil dibandingkan dengan berat isi
jenuhnya. Kolerasi antara N-SPT dengan berat jenis tanah lempung dapat
dilihat pada Tabel 2.28.

Tabel 2.28 Kolerasi Antara N-SPT Terhadap Berat Jenis Tanah Lempung

(Sumber: William T., Whitman, Robert V., 1962.)

3) Permeabilitas (kx dan ky)


Permeabilitas mempunyai satuan kecepatan (satuan panjang per satuan
waktu). Masukan berupa parameter permeabilitas hanya dibutuhkan untuk
analisis konsolidasi dan untuk perhitungan aliran air dalam tanah. Plaxis
membedakan antara permeabilitas horisontal (kx), dan permeabilitas vertikal
(ky), karena beberapa jenis tanah (misalnya gambut) mempunyai perbedaan
permeabilitas arah horisontal dan vertikal yang jauh berbeda.
Pada kondisi tanah sesungguhnya, berbagai lapisan tanah dapat mempunyai
perbedaan permeabilitas yang cukup besar. Walaupun demikian, pengguna
harus berhati-hati saat permeabilitas yang sangat rendah dan sangat tinggi
digunakan secara bersamaan dalam suatu model elemen hingga, karena hal
ini akan menyebabkan permasalahan numerik pada matriks aliran. Untuk
memperoleh hasil yang akurat, rasio antara permeabilitas yang tertinggi dan
yang terendah dalam geometri tidak boleh melampaui 100000.
Untuk memodelkan material yang hampir kedap atau impermeabel (misalnya
beton atau batuan yang solid) pengguna harus menggunakan nilai
54

permeabilitas yang rendah, relatif terhadap tanah disekitarnya. Umumnya


faktor sebesar 1000 telah cukup untuk memperoleh hasil yang memuaskan.
4) Angka pori (eawal, emin, emaks)
Angka pori (e), mempunyai hubungan dengan porositas, n ( e = n / (1 – n)).
Nilai ini digunakan dalam pilihan-pilihan tertentu. Nilai awal (eawal), adalah
angka pori dalam kondisi awal. Angka pori aktual kemudian dihitung dalam
tiap tahap perhitungan dari nilai awalnya dan regangan volumetrik yang
terjadi. Selain eawal, nilai minimum (emin), dan nilai maksimum (emaks), juga
dapat dimasukkan. Nilai-nilai ini berhubungan dengan kepadatan minimum
dan maksimum yang dapat dicapai oleh tanah.
5) Modulus Young (E)
Plaxis menggunakan Modulus Young sebagai modulus kekakuan dasar dalam
model elastis dan model Mohr-Coulomb, tetapi beberapa modulus alternatif
juga ditampilkan. Modulus kekakuan mempunyai satuan tegangan (satuan
gaya per satuan luas). Hubungan antara N-SPT dengan Modulus Elastisitas
Tanah dapat dilihat pada Tabel 2.29.

Tabel 2.29 Hubungan Antara N-SPT Terhadap Modulus Elastisitas Tanah

(Sumber: Prakash & Sharma, 1990)


55

6) Angka Poisson (v)


Uji triaksial terdrainase standar dapat menyebabkan tingkat pemampatan
volume yang signifikan pada awal pemberian beban aksial sehingga juga akan
menghasilkan nilai angka Poisson awal (v0) yang rendah. Umumnya nilai v
berkisar antara 0,3 dan 0,4.
Pada kasus perilaku tak terdrainase, disarankan untuk memasukkan angka
Poisson efektif dan memilih tak terdrainase untuk jenis perilaku material.
Penggunaan angka Poisson yang lebih tinggi akan berarti bahwa air tidak
cukup kaku dibandingkan dengan butiran tanah dalam memodelkan perilaku
tak terdrainase. Nilai angka Poisson ratio dapat dilihat pada Tabel 2.30.

Tabel 2.30 Nilai Angka Poisson Ratio (v)


Jenis Tanah Angka Poisson (v)
Batuan 0,1 – 0,4
Tanah lus 0,1 – 0,3
Es 0,36
Beton 0,15
Lempung jenuh 0,4 – 0,5
Lempung tak jenuh 0,1 – 0,3
Lempung berpasir 0,2 – 0,3
Lanau 0,3 – 0,35
Pasir padat 0,1 – 1,00
(Sumber: Bowles, 1997)

7) Kohesi (c)
Kekuatan berupa kohesi mempunyai satuan tegangan. Plaxis dapat
menangani pasir non-kohesif (c = 0), tetapi beberapa pilihan akan berjalan
kurang baik. Untuk menghindari hal ini, pengguna yang belum
berpengalaman disarankan untuk memasukkan nilai yang kecil untuk kohesi
(gunakan c > 0,2 kPa). Nilai kohesi dapat dilihat pada Tabel 2.31.
56

Tabel 2.31 Nilai Kohesi


Consistency (kN/m2)
Subgroup
Medium Stiff Very Stiff Hard
Silt, sandy silt, clayey silt 30 60 - -
Sandy clay, silty clay 25 50 100 -
Clay 25 50 100 150 - 200
(Sumber: Zdenek Bazant, 1979)

8) Sudut geser (ø)


Nilai sudut geser (ø), dimasukkan dalam satuan derajat. Sudut geser yang
tinggi, seperti pada pasir padat, akan mengakibatkan peningkatan beban
komputasi plastis. Waktu kompetisi akan meningkat kurang-lebih secara
eksponensial terhadap sudut geser. Karena itu, sudut geser yang tinggi
sebaiknya dihindari saat melakukan perhitungan awal untuk suatu proyek
tertentu. Hubungan antara sudut geser dalam dengan jenis tanah dapat dilihat
pada Tabel 2.32.

Tabel 2.32 Hubungan Antara Sudut Geser Dalam dengan Jenis Tanah
Sudut Geser
Jenis Tanah
Dalam (ø)
Kerikil kepasiran 35° - 40°
Kerikil kerakal 35° - 40°
Pasir padat 35° - 40°
Pasir Lepas 30°
Lempung kelanauan 25° - 30°
Lempung 20° - 25°
(Sumber: Braja M. Das, 1998)

9) Sudut dilatansi (ѱ)


Sudut dilatansi (ѱ), dinyatakan dalam derajat. Selain tanah lempung yang
terkonsolidasi sangat berlebih, tanah lempung cenderung tidak menunjukkan
dilatansi sama sekali (yaitu ѱ = 0). Dilatansi dari tanah pasir bergantung pada
kepadatan serta sudut gesernya. Untuk pasir kwarsa besarnya dilatansi kurang
lebih adalah ѱ ≈ φ – 30°. Walaupun demikian, dalam kebanyakan kasus sudut
dilatansi adalah nol untuk nilai φ kurang dari 30°. Nilai negatif yang kecil
untuk ѱ hanya realistis untuk tanah pasir yang sangat lepas.
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Tahapan Penelitian


Tahapan kegiatan penelitian yang dilakukan pada tugas akhir ini dapat diuraikan
sebagai berikut:
3.1.1 Tinjauan Pustaka
Tinjauan pustaka dalam tugas akhir ini dilakukan dengan mencari referensi teori
yang relevan dengan kasus atau permasalahan yang ditentukan. Adapun bahan yang dapat
dijadikan acuan pada penelitian ini berasal dari beberapa jurnal teknik sipil, laporan-
laporan tugas akhir penelitian sebelumnya dan data-data dari Pusat Penelitian Jalan dan
Jembatan mengenai penanganan jalan nasional Provinsi Jambi pada ruas jalan Sijenjang-
Simpang Pelabi STA 47+690.
3.1.2 Pengumpulan Data
Pengumpulan data untuk pemodelan seperti parameter tanah dan geometri lereng
didapat dari dokumen evaluasi penanganan jalan nasional Provinsi Jambi yang dilakukan
oleh Pusat Penelitian Jalan dan Jembatan. Dimana pada pengumpulan data ini terbagi
menjadi tiga bagian yang pertama adalah data parameter dibawah timbunan jaringan
jalan, yang kedua adalah data geometri timbunan yang berupa seberapa tinggi timbunan
yang akan dimodelkan, dan yang ketiga adalah data syarat timbunan bertiang yang
digunakan.
3.1.3 Evaluasi Deformasi dan Stabilitas
Pada tahap ini, setelah mendapatkan data parameter tanah dan geometri timbunan
untuk studi kasus yang telah disebutkan diatas, selanjutnya dilakukan pemodelan dengan
bantuan program PLAXIS 2D 2017 yang berbasis metode elemen hingga. Setelah
pemodelan dan input data-data yang dibutuhkan pada program Plaxis 2D 2017, tahap
selanjutnya adalah melakukan proses evaluasi deformasi dan stabilitas timbunan bertiang
diatas tanah gambut.

57
58

3.1.4 Analisis dan Pembahasan


Proses analisis masih menggunakan program Plaxis 2D 2017, karena program ini
dinilai akurat dan banyak digunakan untuk mengetahui deformasi dan stabilitas pada
timbunan maupun lereng. Seterusnya dapat diketahui apakah timbunan bertiang memiliki
stabilitas yang bagus dan penurunan yang sedikit terhadap tanah gambut.
3.1.5 Kesimpulan dan Saran
Akhirnya evaluasi deformasi dan stabilitas timbunan bertiang diatas tanah gambut
dapat diketahui melalui tahapan-tahapan diatas. Diharapkan juga saran yang membangun
untuk tugas akhir ini.

3.2 Bagan Alir Penelitian


Untuk memberikan gambaran yang jelas tentang tahapan kegiatan penelitian
yang diuraikan diatas, maka dapat dilihat bagan alir pada Gambar 3.1.
59

Mulai

Tinjauan Pustaka

Pengumpulan Data:
 Data Parameter Tanah (Lapangan dan Laboratorium)
 Data Geometri Jalan Sijenjang-Simpang Pelabi, Provinsi
Jambi
 Syarat Timbunan Bertiang

Evaluasi Deformasi dan Stabilitas Timbunan Bertiang


di atas Tanah Gambut Menggunakan Program PLAXIS
2D 2017

Deformasi Stabilitas
(Penurunan) (FK)

Timbunan Eksisting Timbunan Bertiang Timbunan Eksisting Timbunan Bertiang

Tidak
Memenuhi Syarat

Ya

Analisis dan Pembahasan

Kesimpulan dan Saran

Selesai

Gambar 3.1 Bagan Alir Penelitian


BAB IV

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

4.1 Lokasi Penelitian


Lokasi penelitian dalam tugas akhir ini terletak pada proyek penanganan jalan
Nasional Provinsi Jambi Ruas Batanghari II – Zona Lima – Muarasabak, tepatnya pada
ruas jalan Sijenjang – Simpang Pelabi STA 47+690 yang ditunjukan pada Gambar 4.1.
Lokasi penelitian ini dipilih karena memiliki lapisan tanah gambut dengan ketebalan 5
meter, sesuai hasil penyelidikan bawah tanah berupa bor mesin.

Daerah Lokasi
Penelitian

Gambar 4.1 Peta Lokasi Penelitian


(Sumber: Pusjatan, 2016)

4.2 Hasil Penyelidikan Lapangan


Titik penyelidikan yang dilakukan di lapangan terletak pada ruas jalan Sijenjang
– Simpang Pelabi STA 47+690 dapat dilihat pada Gambar 4.2.

60
61

Lokasi Titik Bor Mesin BM-1

Gambar 4.2 Peta Situasi Lokasi Penelitian


(Sumber: Pusjatan, 2016)

Potongan melintang kondisi badan jalan di daerah penelitian digambarkan pada


pada Gambar 4.3.

Gambar 4.3 Potongan Melintang Kondisi Badan Jalan Daerah Penelitian

Data yang digunakan untuk melakukan evaluasi deformasi dan stabilitas timbunan
merupakan hasil pemboran mesin yang dilakukan pada lokasi penelitian, tepatnya pada
titik BM-1 yang dapat dilihat pada Lampiran 1. Pada Tabel 4.1 terdapat urut-urutan jenis
lapisan tanah, kedalaman dan nilai N-SPT masing-masing lapisan tanah dari permukaan
jalan hingga kedalaman maksimum pemboran (± 36,50 m).
62

Tabel 4.1 Hasil Pengeboran BM-1


Kedalaman (m) N-SPT Deskripsi
-2 Urugan ( Lempung, Coklat Muda Bintik Putih)
-4 1
-6 Gambut, Humus
1
-7
-8 5
-10 5
Lempung Putih, Kekuning-kuningan
-12
7
-13
-14 12
-16 17
-18 20 Pasir Halus, Kelempungan, Abu-abu
-20 20
-21 25
-22 Pasir, Agak Kasar, Kelempungan, Abu-
28
-23,5 abu
-24
22 Pasir, Halus, Kelempungan, Abu-abu
-25,5
-26 40
-28 Pasir, Kasar, Kelempungan, Abu-abu
23
-28,5
-30
26 Pasir, Agak Kasar
-31
-32
51 Lempung, Abu-abu, Padat
-33,5
-34 55
-36 Lempung, Abu-abu, Sangat Padat
60
-36,5

4.3 Hasil Pengujian Laboratorium


Hasil-hasil pengujian laboratorium dilakukan terhadap sampel tanah dari titik bor
mesin BM-1 dimana, secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 2. Adapun rangkuman
hasil pengujian laboratorium dapat dilihat pada Tabel 4.2.
63

Tabel 4.2 Hasil Pengujian Laboratorium BM-1


Kedalaman
Jenis
No.
Pengujian
Simbol Satuan 2,50 – 3,00 7,00 – 7,50 13,00 – 13,50
m m m
1 Kadar Air W (%) 241,48 37,56 32,57

2 Berat Jenis Gs - 1,44 2,48 2,13

3 Batas Cair LL (%) N/A 66,70 79,02

4 Batas Plastis PL (%) N/A 32,95 34,16

5 Indeks Plastis PI (%) N/A 33,75 44,86


Analisa
6 #200 (%) 33,29 98,85 99,46
Saringan
Kuat Tekan
7 qu (kg/cm2) 0,29 0,83 0,55
Bebas
Kuat Geser C (kg/cm2) 0,067 0,413 0,121
8
Langsung ϕ (°) 8,93 14,42 26,17
2
Cv (cm /detik) 0,139533 N/A 0,205817
9 Konsolidasi
Cc - 0,677395 N/A 0,131079
Berat Isi
10 γ (gr/cm3) 1,12 1,82 1,87
Tanah Basah

Berat Isi
11 γd (gr/cm3) 0,46 1,34 1,53
Tanah Kering

12 Angka Pori e - 26,93 12,59 11,22

Derajat
13 Sr (%) 96,91 104,35 121,80
Kejenuhan

4.4 Parameter Tanah Dasar


Penyelidikan lapangan yang dilaksanakan oleh Pusat Litbang Jalan dan Jembatan,
Badan Litbang Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat berupa 1 (satu)
titik pemboran mesin BM-1 dan hasil-hasil pengujian laboratorium terhadap sampel
terganggu (disturbed sample) maupun sampel tidak terganggu (undisturbed sample).
Adapun parameter tanah dasar yang digunakan untuk analisis deformasi dan stabilitas
timbunan jalan pada daerah penelitian dapat dilihat pada Tabel 4.3.
64

Tabel 4.3 Parameter Tanah Dasar


Kedalaman Material Drainage γUnsat γSat c' E
Jenis N-SPT ϕ (°) v λ* κ*
(m) Model 3 3
Type (kN/m ) (kN/m (kN/m2) (kN/m2)
Mohr
0,0 - 2,0 Lempung (Urugan) Undrained 14,9 16,9 33 - 0,3 20000 - -
Coulomb
2,0 - 7,0 Gambut 1 Soft Soil Undrained 9,2 11,2 6,57 8,93 - - 0,1824 0,00365
Mohr
7,0 - 13,0 Lempung 6 Undrained 16 18 39 - 0,3 18000 - -
Coulomb
Mohr
13,0 - 21,0 Pasir (Halus) 19 Drained 13 15 - 30 0,3 13500 - -
Coulomb
Mohr
21,0 - 25,5 Pasir (Halus-Kasar) 25 Drained 15 17 - 33 0,3 17500 - -
Coulomb
Mohr
25,5 - 31,0 Pasir (Kasar) 30 Drained 16 18 - 36 0,3 21000 - -
Coulomb
Mohr
31,0 - 36,5 Lempung 56 Undrained 22 24 364 - 0,3 165000 - -
Coulomb

Parameter tanah dasar seperti pada Tabel 4.3 merupakan hasil korelasi N-SPT,
dikarenakan pengujian laboratorium tidak dilakukan pada semua lapisan tanah yang ada
dan beberapa hasil pengujian laboratorium tidak representatif dengan lapisan tanah
tersebut. Nilai λ*dan κ* pada lapisan tanah gambut diperoleh dari Persamaan 4.1 dan
Persamaan 4.2 sebagai berikut:

𝑪
𝝀∗ = 𝟐 𝒙 𝟑 𝒙𝑪(𝟏+𝒆) .......................................................................................................... (4.1)

Dimana:
Cc = Indeks pemampatan
e = Angka pori

𝐶
𝜅 ∗ = 2 𝑥 3 𝑥𝑟(1+𝑒) .......................................................................................................... (4.2)

Dimana:
Cr = Indeks pemampatan kembali
e = Angka pori

Berdasarkan Persamaan 4.1 dan Persamaan 4.2 diperoleh nilai λ*dan κ* sebagai
berikut:
65

𝐶
𝜆∗ = 2 𝑥 3 𝑥𝐶(1+𝑒)

𝜆∗ = 0,1824
𝐶
𝜅 ∗ = 2 𝑥 3 𝑥𝑟(1+𝑒)

𝜅 ∗ = 0,00365

4.5 Parameter Tiang Pancang


Tiang pancang yang digunakan dalam penelitian tugas akhir ini adalah tiang
pancang beton berbentuk lingkaran atau Concrete Spun Pile (CSP) dengan diameter 0,45
m, jarak antar tiang 1,57 m, tebal beton 0,08 m dan mutu beton K-500, sedangkan untuk
topi tiang (pile cap) digunakan mutu beton K-250 dengan tinggi 0,675 m. Parameter tiang
pancang yang digunakan untuk pemodelan dapat dilihat pada Tabel 4.4.

Tabel 4.4 Parameter Tiang Pancang


E Tiang T skin T skin E Pile Cap EA Pile Cap EI Pile Cap w v
Pancang start end (kN/m2) (kN/m) (kN/m2/m) (kN/m/m)
(kN/m2) (kN/m) (kN/m)
30277632,01 79,325 381,78 21409518,91 158965677,9 6035728,083 20,01 0,15

Mengingat tiang pancang yang digunakan dalam penelitian tugas akhir ini
berbentuk lingkaran atau Concrete Spun Pile, maka analisis tekuk (buckling) terhadap
tiang akibat gaya lateral tidak dilakukan karena momen tekuk yang bekerja di bawah
timbunan hanya terjadi pada kasus-kasus tiang langsing (slender foundation).

4.6 Analisis Deformasi dan Stabilitas Timbunan Jalan


Analisis deformasi dan stabilitas timbunan pada lokasi penelitian dalam tugas
akhir ini dihitung dengan metode numerik menggunakan aplikasi Plaxis 2D 2017 berbasis
metode elemen hingga. Simulasi ini dilakukan untuk mengetahui efektivitas penggunaan
timbunan bertiang yang dapat mengurangi penurunan yang terjadi dan meningkatkan
stabilitas timbunan jalan di atas tanah gambut.
Pada timbunan eksisting digunakan simulasi model Mohr-Coulomb dan untuk
timbunan bertiang digunakan simulasi model Linear Elastic.
66

Simulasi timbunan dilakukan dengan 2 (dua) model analisis, yaitu model konstruksi
langsung dan model konstruksi bertahap.

4.6.1 Analisis Deformasi dan Stabilitas Timbunan Eksisting


Pemodelan timbunan dilakukan sesuai dengan potongan melintang dari studi
kasus pada ruas jalan Sijenjang – Simpang Pelabi STA 47+690, Provinsi Jambi dengan
lebar 11 m dan tinggi timbunan 2 m, dimana tanah timbunan yang digunakan merupakan
tanah lempung. Model analisis secara konstruksi bertahap dilakukan dengan tebal
perlapisan sebesar 20 cm. Kedua model analisis timbunan dilakukan untuk
mengidentifikasi sejauh mana efektivitas hasil analisis dengan Plaxis 2D 2017 ditinjau
dari besarnya nilai penurunan dan nilai faktor keamanan timbunan pada lokasi penelitian.
Bentuk 2 (dua) model analisis dengan menggunakan Plaxis 2D 2017 dapat dilihat pada
Gambar 4.4.

(a) (b)

Gambar 4.4 Simulasi Model Timbunan Eksisting: (a) Konstruksi Langsung; (b)
Konstruksi Bertahap

Dari hasil simulasi 2 (dua) model menggunakan Plaxis 2D 2017 diperoleh


besarnya nilai penurunan dan nilai faktor keamanan yang dapat dilihat pada Tabel 4.5,
sedangkan diagram penurunan (Uy) dan diagram faktor keamanan hasil pemodelan
timbunan eksisting dapat dilihat pada Gambar 4.5 dan Gambar 4.6.
67

Tabel 4.5 Hasil Analisis Timbunan Eksisting


Model Analisis Penurunan (cm) Faktor Keamanan
Konstruksi Langsung 183,263 1,797
Konstruksi Bertahap 181,369 1,892

(a) (b)
Gambar 4.5 Diagram Hasil Penurunan (Uy): (a) Konstruksi Langsung (183,263 cm);
(b) Konstruksi Bertahap (181,369 cm)

(a) (b)

Gambar 4.6 Diagram Hasil Faktor Keamanan (FK): (a) Konstruksi Langsung (1,797);
(b) Konstruksi Bertahap (1,892)

4.6.2 Analisis Deformasi dan Stabilitas Timbunan Bertiang


Pemodelan timbunan bertiang diperlakukan seperti pemodelan timbunan
eksisting, dimana dimensi sesuai dengan kondisi studi kasus dengan lebar badan jalan 11
m dan tinggi timbunan 2 m dengan kemiringan 1:1,5. Simulasi model dilakukan dengan
2 (dua) model, yaitu konstruksi langsung dan konstruksi bertahap dengan jumlah tiang
68

horizontal berjumlah 8 tiang dengan jarak antar tiang 1,57 m dan diameter tiang 0,45 m.
Bentuk 2 (dua) model analisis dengan menggunakan Plaxis 2D 2017 dapat dilihat pada
Gambar 4.7.

(a) (b)
Gambar 4.7 Simulasi Model Timbunan Bertiang: (a) Konstruksi Langsung; (b)
Konstruksi Bertahap

Dari hasil simulasi 2 (dua) model menggunakan Plaxis 2D 2017 didapatkan


besarnya nilai penurunan dan nilai faktor keamanan yang terdapat pada Tabel 4.6,
sedangkan diagram penurunan (Uy) dan diagram faktor keamanan dari hasil pemodelan
seperti tampak pada Gambar 4.8 dan Gambar 4.9.

Tabel 4.6 Hasil Analisis Timbunan Bertiang


Model Analisis Penurunan (cm) Faktor Keamanan
Konstruksi Langsung 1,274 3,498
Konstruksi Bertahap 1,226 3,613
69

(a) (b)
Gambar 4.8 Diagram Hasil Penurunan (Uy): (a) Konstruksi Langsung (1,274 cm); (b)
Konstruksi Bertahap (1,226 cm)

(a) (b)

Gambar 4.9 Diagram Hasil Faktor Keamanan: (a) Konstruksi Langsung (3,498); (b)
Konstruksi Bertahap (3,613)

4.7 Perbandingan Deformasi dan Stabilitas Antara Timbunan Eksisting dengan


Timbunan Bertiang
Analisis deformasi dan stabilitas timbunan pada ruas jalan Sijenjang – Simpang
Pelabi STA 47+690, Provinsi Jambi dilakukan dengan membandingkan timbunan
eksisting dengan timbunan bertiang. Untuk membuktikan efektivitas penggunaan
timbunan bertiang, terutama dapat mengurangi besarnya penurunan dan meningkatkan
stabilitas timbunan, maka dilakukan perbandingan tersebut dan hasilnya dapat dilihat
pada Tabel 4.7, Gambar 4.10, Gambar 4.11, Gambar 4.12 dan Gambar 4.13.
70

Tabel 4.7 Perbandingan Timbunan Eksisting dan Timbunan Bertiang


Jenis Timbunan Model Analisis Penurunan (cm) Faktor Keamanan
Timbunan Konstruksi
183,263 1,797
Eksisting Langsung
Timbunan Konstruksi
1,274 3,498
Bertiang Langsung
Timbunan Konstruksi
181,369 1,892
Eksisting Bertahap
Timbunan Konstruksi
1,226 3,613
Bertiang Bertahap

0
-20
-40
-60
-80
Uy (cm)

-100
Timbunan Eksisting Konstruksi
-120
Langsung
-140
Timbunan Eksisting Konstruksi
-160
Bertahap -181,369
-180
-200 -183,263
0,1 1,0 10,0 100,0 1000,0 10000,0
Waktu (Hari) (skala log)

Gambar 4.10 Grafik Perbandingan Penurunan (Uy) Timbunan Eksisting


71

0,000

-0,200
Timbunan Bertiang
Konstruksi Langsung
-0,400
Timbunan Bertiang
-0,600 Konstruksi Bertahap
Uy (cm)

-0,800

-1,000
-1,226
-1,200

-1,400 -1,274
0,1 1,0 10,0 100,0 1000,0 10000,0
Waktu (Hari) (skala log)

Gambar 4.11 Grafik Perbandingan Penurunan (Uy) Timbunan Bertiang

Dari hasil perbandingan simulasi model deformasi dan stabilitas antara timbunan
eksisting dengan timbunan bertiang, maka diketahui bahwa penggunaan timbunan
bertiang dapat mengurangi besarnya penurunan, karena beban yang terjadi disalurkan
terhadap tiang yang menopang dibawah timbunan. Hal ini terjadi akibat tanah diberi
perkuatan tambahan berupa tiang di bawah badan jalan Sijenjang – Simpang Pelabi STA
47+690, sehingga dapat disimpulkan bahwa nilai penurunan timbunan bertiang jauh lebih
kecil 99% dibandingkan dengan timbunan eksisting.
Simulasi model timbunan bertiang juga menunjukkan bahwa nilai faktor
keamanan lebih besar 47% dibandingkan dengan timbunan eksisting. Hal ini terjadi
akibat adanya tiang di bawah timbunan yang bersifat kaku karena terbuat dari beton,
sehingga stabilitas timbunan bertiang akan meningkat.
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang telah diuraikan di atas, maka
dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Berdasarkan teori Von Post, tanah gambut yang berada pada lokasi penelitian
termasuk dalam klasifikasi H5 yang dikategorikan sebagai gambut dengan derajat
pembusukan sedang, mengeluarkan air sangat keruh dan jika diremas masih ada
sedikit butiran gambut amorf yang keluar melalui sela-sela jari. Struktur sisa-sisa
tumbuhan juga masih memungkinkan untuk dikenali walaupun tidak mudah untuk
mengidentifikasi ciri-ciri butiran gambut amorf. Sisa-sisa tumbuhan hampir
seluruhnya berbentuk seperti bubut yang bersifat lembek, sehingga dapat diambil
kesimpulan penurunan yang terjadi akan sangat besar.
2. Tanah gambut terbentuk dari fragmen-fragmen material organik yang berasal dari
tumbuh-tumbuhan dan memiliki kadar organik yang tinggi, sehingga tanah
gambut memiliki karakteristik, diantaranya muka air tanah yang tinggi,
kompresibilitas sangat tinggi, daya dukung tanah yang sangat rendah, konsolidasi
sekunder mendominasi dalam kurun waktu yang sangat lama dan teori Terzagi
tidak berlaku.
3. Secara garis besar, fungsi perkuatan dasar timbunan dengan menggunakan tiang
adalah untuk mendistribusikan beban dari timbunan melalui tiang ke lapisan tanah
keras, sehingga meningkatkan data dukung tanah dasar.
4. Data bor log hasil pemboran mesin pada titik BM-1 diperoleh bahwa kedalaman
atau tebal lapisan tanah gambut sebesar 5 m dengan nilai N-SPT 1. Hasil
pengujian yang dilakukan di laboratorium pada sampel tanah menunjukan hasil
yang kurang representatif dikarenakan pengambilan sampel tanah dilakukan pada
area yang dekat dengan batas tanah lempung.
5. Hasil simulasi model pada Plaxis 2D 2017 menunjukan bahwa timbunan eksisting
mengalami penurunan sebesar 181,369 cm, sedangkan timbunan bertiang sebesar
1,226 cm. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa penggunaan timbunan
bertiang akan menghasilkan penurunan yang jauh lebih kecil (<99%)

72
73

dibandingkan dengan timbunan eksisting. Hal ini terjadi karena tiang memberikan
perkuatan tambahan untuk menopang beban yang terjadi.
6. Hasil simulasi model pada Plaxis 2D 2017 menunjukan bahwa timbunan eksisting
memiliki nilai faktor keamanan sebesar 1,892, sedangkan timbunan bertiang
memiliki nilai faktor keamanan sebesar 3,613. Oleh karena itu, dapat disimpulkan
bahwa penggunaan timbunan bertiang akan menghasilkan nilai faktor keamanan
yang lebih besar (>47%) dibandingkan dengan timbunan eksisting. Hal ini terjadi
akibat tiang pancang terbuat dari beton dan bersifat kaku, sehingga dengan
sendirinya stabilitas timbunan akan meningkat.
7. Penggunaan tiang pancang memiliki beberapa kelebihan antara lain, biaya relatif
lebih murah, tidak diperlukan pemeliharaan, pelaksanaan konstruksi cepat, nilai
sisa penurunan relatif kecil dan dapat mencegah terjadinya differential settlement.

5.2 Saran

Berdasarkan kesimpulan yang telah diuraikan di atas, maka dapat dirangkum dan
disajikan saran-saran sebagai berikut:
1. Untuk pengambilan sampel tanah gambut disarankan pada bagian tengah
kedalaman tanah gambut (± 2,5 m), agar pengujian yang dilakukan di
laboratorium terhadap sampel tanah gambut mendapatkan nilai yang representatif
atau sesuai dengan kondisi sebenarnya.
2. Alternatif penanggulangan untuk mempercepat penurunan akibat konsolidasi
pada tanah gambut dapat dilakukan dengan menggunakan tiang-tiang pasir (Sand
Drain), agar proses disipasi air lebih cepat dengan cara mengeluarkan kandungan
air pada tanah gambut ke permukaan.
3. Pada saat melakukan simulasi model lapisan tanah gambut pada Plaxis 2D 2017
disarankan menggunakan material model soft soil creep agar mendapatkan hasil
penurunan konsolidasi sekunder yang representatif atau sesuai dengan kondisi
sebenarnya.
4. Penggunaan timbunan bertiang dapat menjadi salah satu solusi untuk mengatasi
permasalahan penurunan pada tanah gambut dengan memberikan perkuatan
tambahan berupa perkuatan tiang, tepatnya dapat meningkatkan daya dukung
pada tanah dasarnya.
74

5. Mengingat tingkat keasaman gambut sangat tinggi (pH < 4), maka sambungan
pada tiang pancang harus diberi lapisan anti karat (galvanis) untuk mencegah
terjadinya korosi atau pengeroposan pada sambungan tiang pancang.
6. Perlu adanya analisis harga satuan (AHS) untuk perbandingan antara penggunaan
tiang pancang dengan pile slab yang saat ini banyak digunakan oleh Direktorat
Jendral Bina Marga Kementerian PUPR dalam pembangunan konstruksi jalan di
atas tanah gambut dan tanah lunak.
DAFTAR PUSTAKA

ASTM Annual Book (1985). ”Standard Classification of Peat Samples by


Laboratory Testing (D4427-84)”. ASTM, Section 4, Volume 04.08 Soil and Rock,
pp 883-884.

Bemmelen, van, R.W., 1949, The Geology of Indonesia Vol. IA: Netherland,
Martinus Nijhoff, The Hague.

Hardiyatmo, H. C. (1996), Teknik Fondasi II. Jakarta: Penerbit PT Gramedia


Pustaka Utama.

Istomo. 2008. Pemanfaatan Lahan Gambut untuk Pengembangan Hutan Tanaman


Kayu: Riset yang perlu Dipersiapkan. Bahan Kuliah Umum Disampaikan di
Balai Penelitian Hutan Serat, Badan Litbang Kehutanan. Kuaok-Riau, 16
September 2008. Bagian Ekologi, Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan
IPB. Bogor.

Kementerian Pekerjaan Umum Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat


Penelitian dan Pengembangan Jalan dan Jembatan. 2014.
Kajian Teknologi Timbunan Bertiang (Piled Embankment) Untuk Konstruksi
Jalan Di Atas Gambut. Jakarta: Kementerian Pekerjaan Umum.

L.D. Wesley. 1988. Mekanika tanah. Jakarta: Badan Penerbit Pekerjaan Umum.

MacFarlane, I.C. dan Radforth, N.W. (1965). ”A Study of Physical Behaviour of


Peat Derivatives Under Compression. Proceeding of The Tenth Muskeg Research
Conference. National Research Council of Canada, Technical Memorandun No 85.

PLAXIS MANUAL 2D. (2017)

Pt T-09-2002-B. 2002. Timbunan Jalan Pada Tanah Lunak. Indonesia: Departemen


Permukiman dan Prasarana Wilayah.

Pt T-10-2002-B. 2002. Timbunan Jalan Pada Tanah Lunak. Indonesia: Departemen


Permukiman dan Prasarana Wilayah.

Terzaghi, K. (1925). “Principles of Soil Mechanics”. Engr. News Record, Vol. 95,
pp.832-836.

Wibowo A. 2009. Peran lahan Gambut Dalam Perubahan Iklim Global. Jurnal
Tekno
Hutan Tanaman, 2(1): 19-26.

75
LAMPIRAN
Lampiran 1
Lampiran 2

Anda mungkin juga menyukai