Anda di halaman 1dari 25

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi Tanah Longsor


Gerakan tanah (mass movement) adalah gerakan perpindahan atau gerakan
lereng dari bagian atas atau perpindahan massa tanah maupun batu pada arah
tegak, mendatar atau miring dari kedudukan semula. Longsoran merupakan
bagian dari gerakan tanah. Tanah longsor yang disesuaikan dengan dasar
klasifikasi yang dipergunakan masing-masing ahli, berikut ini dijelaskan nama- nama
kelas gerakan tanah yang umum dipakai (Ritter, 1986).
1. Tanah Longsor tipe jatuhan (falls)
Tanah longsor tipe ini, material batuan atau tanah atau campuran keua- duanya
bergerak dengan cara jatuh bebas karena gaya beratnya sendiri. Proses tanah
longsor semacam ini umumnya terjadi pada lereng terjal, bisa dalam bentuk
bongkah individual batuan berukuran besar atau dalam bentuk guguran
fragmen bongkah bercampur dengan bongkah-bongkah yang berukuran lebih
kecil yang dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Tanah Longsor tipe jatuhan (falls)

2. Tanah Longsor tipe robohan (Toples)


Gerakan massa robohan hampir serupa dengan tanah longsor tipe falls, pada tipe
toples ini gerakannya dimulai dengan bagian paling atas dari bongkah lepas dari
batuan induknya karena adanya cela retakan pemisah, bongkah terdorong kedepan
hingga tidak dapat menahan bebannya sendiri seperti pada Gambar 2.2.

1
2

Gambar 2.2 Tanah Longsor tipe robohan (Toples)

3. Tanah longsor tipe gelincir (slides)


Tanah longsor tipe gelincir adalah tanah longsor batuan atau tanah atau
campuran keduanya yang bergerak melalui bidang gelincir tertentu yang
bertindak sebagai bidang diskontinuitas, berupa bidang perlapisan batuan atau
bidang sesar/patahan, bidang kekar, bidang batas pelapukan seperti pada
Gambar 2.3. Jika bidang-bidang diskontinuitas tersebut sejajar dengan bidang
perlapisan, maka semakin besar peluang terjadinya tanah longsor.

Gambar 2.3 Tanah longsor tipe gelincir (slides)

4. Tanah Longsor Tipe Aliran (Flows)


Tanah longsor tipe aliran adalah tanah longsor atau tanah bercampur
dengan bongkah-bongkah batuan bergerak pada saluran tertentu yang
3

disebabkan massa tanah yang kehilangan daya rekatnya karena penjenuhan


oleh air meresap kedalam tanah sangat banyak karena intensitas hujan
yang sangat tinggi dan lama atau pencairan gletser didaerah yang beriklim
dingin.
5. Tanah Longsor Tipe Rayapan
Gerakan tipe tanah rayapan (creep) adalah tanah longsor yang bergerak sangat
lambat, gerakannya tidak spontan (tidak mendadak), gerakan ini hanya
diketahui dari retakan pada bangunan permanen, tiang listrik pohon- pohon
miring condong kearah bawah lereng.
Berdasarkan bentuk bidang gelincirnya, gerakan tanah dan longsoran dapat
dibagi menjadi :
1. Longsoran Rotasi
Longsoran rotasi merupakan longsoran yang sering dijumpai dan dapat terjadi
pada batuan maupun tanah. Longsoran ini bidang gelincirnya menyerupai
busur lingkaran ataupun berbentuk lengkung tetapi bukan lingkaran. Pada
umumnya, longsoran lingkaran terjadi pada kondisi tanah yang homogen
dan longsoran bukan lingkaran terjadi pada kondisi tanah yang tidak
homogen. Dapat dilihat pada Gambar 2.4.

(Sumber: Highland dan Jonhson 2004)

Gambar 2.4 Longsoran Rotasi

2. Longsoran Translasi
Longsoran translasi terjadi karena adanya kekuatan geser yang berbeda pada
lapisan tanah yang berbatasan, dimana lapisan tanah yang berbatasan berada
pada kedalaman yang relatif dangkal di bawah permukaan lereng. Bidang
4

gelincir pada tipe longsoran ini hampir lurus dan sejajar muka tanah. Dapat
dilihat pada Gambar 2.5.

(Sumber: Highland dan Jonhson 2004)

Gambar 2.5 Longsoran Translasi

3. Longsoran Gabungan (Rotasi + Translasi)


Bidang gelincir tipe longsoran ini berupa bidang lengkung dan lurus.
Longsoran gabungan terjadi karena adanya kekuatan geser yang berbeda
pada lapisan yang berbatasan, dimana lapisan tanah yang berbatasan berada
pada kedalaman yang lebih besar, dapat dilihat pada Gambar 2.6.

Gambar 2.6 Aspek rasio kelongsoran gabungan translasi dan rotasi


(Terzaghi and Peck, 1967)

Menurut Terzaghi dan Peck (1967), pergerakan tanah dapat terjadi secara
perlahan-lahan atau tiba-tiba, dengan atau tanpa penyebab yang jelas.
Pergerakan ini biasanya karena kehilangan kekuatan tanah secara bertahap atau
akibat adanya perubahan kondisi geometri lereng.
5

2.2 Analisis Stabilitas Lereng


Lereng dapat terjadi secara alami maupun sengaja dibuat oleh manusia dengan
tujuan tertentu (Bowles, 1984). Menurut SNI 8460 (2017), lereng terbagi menjadi
beberapa jenis, diantaranya adalah:
1. Lereng alam
Lereng alam terbentuk akibat kegiatan alam (erosi, gerakan tektonik, dan
sebagainya). Material yang membentuk lereng memiliki kecenderungan tergelincir
akibat beratnya sendiri dan gaya-gaya luar yang ditahan oleh kuat geser tanah dari
material tersebut.
2. Lereng galian
Lereng galian terbentuk akibat kegiatan penggalian atau pemotongan pada tanah
asli. Perancangan pemotongan lereng galian yang dimaksud adalah usaha untuk
membuat suatu lereng dengan kemiringan tertentu yang cukup aman dan ekonomis.
3. Lereng timbunan (embankment)
Lereng timbunan umumnya digunakan untuk badan jalan raya, jalan kereta api, dan
bendungan tanah. Sifat teknis lereng timbunan dipengaruhi oleh jenis tanah, cara
penimbunan dan derajat kepadatan tanah.
Pergerakan tanah dan longsoran pada lereng dapat disebabkan oleh alam
maupun manusia, hal tersebut sulit untuk dihindari. Pergerakan tanah yang diakibatkan
oleh alam dapat berupa unsur geologi, iklim, dan topografi, sedangkan yang disebabkan
oleh manusia yaitu berupa penggalian lereng. Longsoran dan pergerakan tanah terjadi
akibat kekuatan geser (tahanan geser) pada tanah lebih kecil dibandingkan beban
(tegangan geser yang terjadi). (Indra Noer Hamdan, Desti Santi Pratiwi, 2017)
Pada umumnya suatu lereng dapat dikatakan stabil apabila faktor keamanannya
lebih besar dari pada satu. Kestabilan lereng tergantung dari kekuatan geser tanahnya.
Pergeseran tanahnya terjadi karena adanya gerakan relatif antara butir-butir tanah. Oleh
karena itu, kuat geser tanah tergantung pada gaya yang bekerja antara butir-butirnya.
Tanah yang padat dengan susunan butir seperti pembagian ukuran
butir interlocking dan besarnya kontak antara butir, lebih besar kekuatan gesernya dari
tanah yang lepas (Braja M. Das.,1993).
6

2.2.1 Kuat Geser Tanah dan Keruntuhan Tanah


Keruntuhan lereng dapat saja terjadi pada hampir setiap kasus lereng alami atau
lereng buatan secara pelan atau tiba-tiba dengan atau tanpa adanya tanda-tanda
sebelumnya. Penyebab utama terjadinya keruntuhan lereng adalah meningkatnya
tegangan geser, menurunnya kuat geser pada bidang longsor atau keduanya secara
simultan. (Violetta Gabriella Margaretha Pangemanan, 2014)
Suatu beban yang dikerjakan pada suatu massa tanah akan selalu menghasilkan
tegangan-tegangan dengan intensitas yang berbeda-beda di dalam zona berbentuk bola
lampu (bulb) di bawah beban tersebut. Hal yang pertama yang harus dilakukan adalah
meninjau kekuatan tanah. Ini dikarenakan beban yang bekerja pada massa tanah
memerlukan dua pertimbangan (Das, 1994):
1. Besarnya penurunan total
2. Kemungkinan keruntuhan tanah. Ini dapat berupa suatu gerakan rotasi tanah di
bawah areal yang mengalami pembebanan atau kadang-kadang berupa suatu
“keruntuhan pons” (punching failure). Yang belakangan ini biasanya merupakan
gerakan yang terbatas; walaupun demikian, besarnya mungkin cukup untuk
menyebabkan gangguan struktural yang cukup berarti pada struktur atas.
Nilai sudut geser dalam tanah (φ) tergantung dari kepadatan butiran tanah
terutama pasir yang terkandung didalamnya, namun dipengaruhi juga akibat gradasinya
(Braja M. Das, 1993).
Faktor keamanan adalah titik terikat pada tingginya keserongan jikaCditetapkan
nol, tingginya keserongan secara umum mempengaruhi stabilitas. Pada tegangan yang
rendah, material boleh tidak berkohesi jika tegangan tanah meningkat bersamaan
dengan kenaikan ketinggian, material tanah akan memperlihatkan nilai kohesi yang
nyata.
Posisi yang paling relatis dan permukaan gelincir kritis adalah pada umumnya
diperoleh pada saat menggunakan parameter kekuatan yang efektif c dan . Pada daerah
tanah yang tidak jenuh, tekanan air pori akan meningkatkan tegangan tanah dimana
sepadan dengan peningkatan tegangan kohesif.
2.2.2 Pengujian Tanah Untuk Menentukan Parameter Tanah
Untuk mendapatkan nilai parameter tanah c (kohesi) dan ϕ (phi) dilakukan
dengan 3 cara pengujian lab, yaitu:
7

1. Uji geser langsung (Direct Shear Test)


Pengujian ini dimaksudkan untuk menentukan nilai kuat geser tanah dengan
mengubah tegangan axial. Kuat geser adalah gaya perlawanan yang dilakukan
oleh butiran tanah terhadap tarikan dengan persamaan sebagai berikut:
P
τ = …………………………………………………………...................
A
(2.1)
Dengan:
τ = Tegangan geser
P = Tekanan terbesar
A = Luas cincin

2. Uji tekan bebas (Unconfined Compression Test)


Kekuatan yang didapat dari pengujian ini selalu diidentifikasikan sebagai qu.
Pengujian ini juga disebut uji tak terkonsolidasi tak terdrainase (unconsolidated-
undrained) tetapi kuat geser yang tak terdrainase disebut Su. Kekuatan geser
tanah tak jenuh dapat dihitung dengan rumus:
τ s = c + (σ – u) tanφ……………......................................................…..(2.2)
Dengan :
τs = Kekuatan geser tanah (kN/m²)
σ = Tegangan total pada bidang geser (kN/m²)
u = Tegangan air pori (kN/m²)
c = Kohesi (kN/m²)
ø = Sudut geser (º)
Pada tanah jenuh air, besarnya tegangan normal total pada sebuah titik
adalah sama dengan jumlah tegangan efektif ditambah dengan tegangan air pori.
Kekuatan geser tanah jenuh dapat dihitung dengan rumus

τ u ' s = σ + u……………………………………………………….……(2.3)
Dengan:
τs = Kekuatan geser (kN/m²)
σ’ = Tegangan efektif (kN/m²)
u = Tegangan air pori (kN/m²)

3. Uji Triaxial (Triaxial Text)


8

Uji geser triaksial adalah uji yang paling dapat diandalkan untuk menentukan
parameter tegangan geser. Uji ini telah digunakan secara luas untuk keperluan
pengujian biasa ataupun untuk keperluan riset. Gambar skematik dari uji ini
diberikan pada Gambar 2.7.

Gambar 2.7 Skema Alat Triaxial


(Sumber: Bishop dan Bjerrum, 1960)

Pada uji triaxial umumnya digunakan sebuah sampel tanah kira-kira berdiameter
1,5 inchi (38,1 mm) dan panjang 3 inchi (76,2 mm). Sampel tanah (benda uji)
tersebut ditutup dengan membran karet yang tipis dan diletakkan di dalam sebuah
bejana silinder dari bahan plastik (atau juga gelas) yang kemudian bejana tersebut
diisi dengan air atau larutan gliserin. Di dalam bejana, benda uji tersebut akan
9

mendapat tekanan hidrostatis. (Catatan: untuk media penekan dapat juga digunakan
udara).
Untuk menyebabkan terjadinya keruntuhan geser pada benda uji, tegangan aksial
(vertikal) diberikan melalui suatu piston vertikal (tegangan ini biasanya juga disebut
tegangan deviator). Pembebanan arah vertikal dapat dilakukan dengan dua cara:
1) Dengan memberikan beban mati yang berangsur-angsur ditambah (penambahan
setiap saat sama) sampai benda uji runtuh (deformasi arah aksial akibat
pembebanan ini diukur dengan sebuah arloji ukur/dial gage);
2) Dengan memberikan deformasi arah aksial (vertikal) dengan kecepatan
deformasi yang tetap dengan bantuan gigi-gigi mesin atau pembebanan hidrolis.
Cara ini disebut juga sebagai uji regangan terkendali.
Beban aksial yang diberikan diukur dengan bantuan sebuah proving ring
(lingkaran pengukur beban) yang berhubungan dengan piston vertikal. Juga alat ini
dilengkapi dengan pipa-pipa untuk mengalirkan air ke dan dari dalam sampel tanah
dimana pipa-pipa tersebut juga berguna sebagai sarana pengukur tegangan air pori
(pada kondisi uji). Ada tiga tipe standar dari uji triaksial yang biasanya dilakukan:
a. Consolidated-drained test atau drainde test (CD test);
b. Consolidated-undrained test (CU test);
c. Unconsolidated-undrained test atau undrainded test (UU test).
Pengujian laboratorium yang diuraikan diatas dilakukan sesuai dengan prosedur
Standar Nasional Indonesia (SNI) seperti tampak pada Tabel 2.1 sebagai berikut.
Tabel 2.1 Penyelidikan Lapangan dan Pengujian Laboratorium yang Mengacu
Terhadap SNI
Standar Nasional Indonesia
Metode Pengujian Tabel SNI
Metode Pengujian Berat Jenis Tanah SNI 03-1964-1990
Metode Pengujian Kadar Air Tanah SNI 03-1965-1990
Metode Pengujian Triaxial SNI 03-2455-1991
Tata Cara Pemetaan Geologi Teknik Lapangan SNI 03-2849-1992
Metode Pengujian Penetrasi Dengan SPT SNI 03-4148-1996
Metode Penyiapan Benda Uji dari Contoh Tanah
SNI 03-6790-1992
Terganggu
Metode Uji Lapangan dengan Alat Sondir SNI 03-2827-1992
(Sumber: Pedoman Penyusunan Spesifikasi Teknik Pekerjaan Geoteknik, 2005)
10

2.2.3 Metode Bishop Disederhanakan


Metode ini merupakan metode irisan yang disederhanakan diberikan oleh Bishop
(1955). Metode ini menganggap bahwa gaya-gaya yang bekerja pada sisi-sisi irisan
mempunyai resultan nol pada arah vertikal.
Persamaan kuat geser dalam tinjauan tegangan evektif yang dapat dikerahkan
tanah, hingga tercapainya kondisi keseimbangan batas dengan memperhatikan faktor
aman adalah (Hardiyanto & Hary Christady., 1992):
c tan ∅
τ = + ( σ−u ) ...................................................................................... (2.4)
F F
Dengan τ adalah tegangan normal pada bidang longsor dan u adalah tekanan air
pori.
Persamaan faktor aman adalah ;
1
F= ∑ ¿ ¿................................. (2.5)
∑ Wsin

Faktor keamanan didefinisikan sebagai nilai perbandingan antara gaya yang menahan
dan gaya yang menggerakan. Faktor keamanan dapat dilihat dari persamaan berikut:

τ
FK = .......................................................................................................... (2.6)
τd

Dengan:
FK = Faktor keamanan
τ = Tahanan geser maksimum yang dapat dikerahkan oleh tanah (kN/m2)
τd = Tegangan geser yang terjadi akibat gaya berat tanah yang akan longsor (kN/m2)
2.2.4 Mohr Coloumb
Mohr (1980) memperkenalkan sebuah teori tentang keruntuhan pada material
yang menyatakan bahwa keruntuhan terjadi pada suatu material akibat kombinasi kritis
antara tegangan normal dan geser, bukan hanya akibat tegangan normal dan geser dalam
kondisi maksimum saja.
τf = f (σ).....................................................................................................….(2.7)
Garis keruntuhan yang dinyatakan oleh persamaan di atas sebenarnya berbentuk
garis lengkung, tetapi dalam berbagai permasalahan besar mekanika tanah, garis
tersebut didekati oleh sebuah garis lurus yang menunjukan hubungan linear antara
11

tegangan normal dan geser (Coulomb, 1776). Hubungan tersebut dikenal sebagai
kriteria keruntuhan Mohr-Coulomb yang dapat ditulis sebagai berikut:
τf = c + σ tan φ .........................................................................................…(2.8)
Di mana:
c = kohesi
φ = sudut geser dalam
σ = tegangan normal
Pada kondisi jenuh air, tegangan normal (σ) berubah menjadi tegangan efektif (σ’)
σ’ = σ - u .....................................................................................................…(2.9)
u = tegangan pori tanah (kN/m2)
Persamaan tegangan geser tanah (τ) menjadi:
τ = c + (σ - u) tan(ϕ)…………………………………………………….…..(2.10)

Ketika tegangan normal dan geser bekerja pada suatu bidang massa tanah, maka
keruntuhan geser tidak akan terjadi pada bidang tersebut. Ketika tegangan normal dan
geser tepat pada garis keruntuhan, maka keruntuhan geser akan terjadi pada bidang
tersebut. Untuk mengetahui suatu tanah runtuh atau tidak dapat dilihat dari grafik
lingkaran Mohr seperti pada Gambar 2.8.

Gambar 2.8 Keruntuhan Mohr-Coulomb


(Sumber: Braja M Das, 2011)

2.2.5 Faktor Keamanan


` Suatu satu cara untuk menyatakan kstabilan lereng adalah dengan faktor
keamanan (safety factor), yang merupakan perbandingan antara gaya penahan dengan
gaya penggerak.
12

Rumus dasar faktor keamanan (safety factor, F) lereng (material tanah) yang
diperkenalkan oleh Fellenius dan kemudian dikembangkan oleh Lambe & Whitman
(1969) dan Parcher & Means (1974) dinyatakan dalam Rumus 2.11, Rumus 2.12 dan
Rumus 2.13 sebagai berikut dan dapat dilihat sketsanya pada Gambar 2.9 dan
Gambar 2.10:
τ = cL + {(W+V) cos α - µ} tan ϕ……………………........................(2.11)
s = (W+V) sin α…………………………..………..............................(2.12)
F = Σ τ/s……………………………...………………..…...................(2.13)
Dengan:
F = faktor kemanan lereng
L = Panjang segmen bidang gelincir (m)
τ = gaya ketahanan geser/ tahanan geser sepanjang L (ton/m2)
s = gaya dorong geser (ton/m2)
c = kohesi massa lereng (ton/m2)
ϕ = sudut geser dalam massa lereng (derajat)
W = bobot massa di atas segmen L (ton)
V = beban luar (ton)
µ = tekanan pori (γair x h x L)
h = Panjang garis ekuipotensial ke titik berat L (m)
α = sudut yang dibentuk oleh bidang gelincir dengan bidang horizontal (derajat)

Gambar 2.1 Sketsa Lereng dan Gaya yang Bekerja


(Sumber: Lambe & Whitman, 1969; Parcher & Means, 1974)
13

Gambar 2.10 Sketsa Gaya yang Bekerja (τ dan s)


(Sumber: Lambe & Whitman, 1969; Parcher & Means, 1974)

Adapun nilai-nilai faktor keamanan (FK) atau safety factor (SF) untuk menilai
kestabilan suatu lereng menurut Joseph E. Bowles (1984) sebagai berikut:
SF < 1,07 : Keruntuhan biasa terjadi (labil)
1,07 < SF < 1,25 : Keruntuhan pernah terjadi (kritis)
SF ≥ 1,25 : Keruntuhan jarang terjadi (stabil)

2.3 Tekanan Tanah Aktif dan Pasif Menurut Rankine


Rankine menyelidiki keadaan tegangan di dalam massa tanah yang berada pada
kondisi keseimbangan plastis. Keseimbangan plastis adalah suatu kondisi dimana setiap
titik dalam suatu massa tanah menuju proses keadaan runtuh. Komponen gaya-gaya
yang bekerja pada turap dapat ditentukan dengan terlebih dahulu menghitung tegangan
14

tanah lateral aktif (a) dan tegangan tanah lateral pasif (p) menggunakan Teori
Rankine.
2.4 Pondasi Tiang Bor (Bored Pile)
Tiang bor (bored pile) merupakan salah satu jenis pondasi yang merupakan
bagian dari konstruksi yang terbuat dari beton dan tulangan baja. Fungsi pondasi ini
untuk mentransfer beban-beban dari atas ke lapisan tanah. Bentuk distribusi beban dapat
berbentuk beban vertikal melalui dinding tiang. Dengan kata lain daya dukung tiang
dapat dikatakan merupakan kombinasi tahan selimut dengan tahanan ujung tiang.
Pondasi tiang bor (bored pile) adalah pondasi tiang yang pemasangannya
dilakukan dengan mengebor tanah pada awal pengerjaannya. Bored pile dipasang ke
dalam tanah dengan cara mengebor tanah terlebih dahulu, baru kemudian diisi tulangan
dan dicor beton. (Christian Harsanto, 2015).
2.4.1 Kapasitas Kuat Dukung Bored Pile dari Hasil Sondir
Diantara perbedaan tes dilapangan, sondir atau cone penetration test (CPT)
seringkali sangat dipertimbangkan berperanan dari geoteknik. Cone penetration test
(CPT) atau sondir ini dapat juga mengklasifikasi lapisan tanah dan dapat
memperkirakan kekuatan dan karakteristik dari tanah. Didalam perencanaan pondasi
tiang, data tanah sangat diperlukan dalam merencanakan kapasitas daya dukung bearing
capacity) dari bored pile sebelum pembangunan dimulai, guna menentukan kapasitas
daya dukung ultimit dari pondasi tiang. (Ulfa Jusi, 2015).
Untuk menghitung kuat dukung bored pile berdasarkan data hasil pengujian
sondir dapat dilakukan dengan menggunakan :
Metode Aoki dan De Alencar Kuat dukung ultimit pondasi bored pile dinyatakan
dengan rumus :
Qu = (q A ) b  b (1) .................................................................................... (2.14)
Keterangan : Qult = Kapasitas daya dukung bored pile (kN)
qb = Tahanan ujung sondir (kN/m2 )
Ab = Luas penampang tiang (m2 )
Aoki dan Alencar mengusulkan untuk memperkirakan kapasitas dukung ultimit
dari data sondir. Kapasitas dukung ujung persatuan luas (qb) diperoleh sebagai berikut:
15

qca(base )
qb = ..............................................................................................
Fb
(2.15)
Keterangan :
qca (base) = Perlawanan konus rata-rata 1,5D di atas ujung tiang, 1,5D di
bawah ujung tiang.
Fb = Faktor empirik yang tergantung pada tipe tanah.
Tabel 2.2 Faktor empiric Fb
Tipe Tiang Pancang Fb
Bored Pile 3.5
Baja 1.75
Beton Pratekan 1.75
(Sumber : Titi & Farsakh, 1999)

Pada perhitungan kapasitas pondasi bored pile dengan sondir tidak


diperhitungkan kuat dukung selimut bored pile. Hal ini dikarenakan
perlawanan geser tanah yang terjadi pada pondasi bored pile dianggap sangat
kecil sehingga dianggap tidak ada. Untuk memperoleh kapasitas ijin tiang,
maka diperlukan untuk membagi kapasitas ultimit dengan faktor aman
tertentu.
Untuk besar tiang yang dibesarkan dengan d<2m :
Qu
Qa = .......................................................................................................
2,5
(2.16)
Untuk dasar tiang tanpa pembesaran dibagian bawah :
Qu
Qa = .......................................................................................................
2
(2.17)
a. Metode Schmertmann dan Nottingham
Kuat dukung ultimit neto (Qu), dihitung dengan persamaan :
Qu = Ab Fb + As Fs................................................................................... (2.18)
atau
Qu = Ab qca + As Kf qf.......................................................................... (2.19)
16

Keterangan :
Ab = Luas penampang tiang (cm2 )
As = Luas selimut tiang (cm2 )
fb = Tahanan ujung satuan (kg/cm2 )
fs = Tahanan gesek satuan (kg/cm2 )
qca = Tahanan konus rata-rata (kg/cm2)
qf = Tahanan gesek sisi konus (kg/cm2)
Kf = Koefisien tak berdimensi
 = Koefisien korelasi

1). Tahanan ujung satuan


Dalam metode Schmertmann dan Nottingham (1975) tahanan ujung tiang
per satuan luas, diperoleh dari nilai rata-rata qc disepanjang 8d diatas dasar
tiang sampai 0,7d atau 4d di bawah tiang. Langkah-langkah penentuan qca
adalah sebagai berikut :
a). Perhatikan diagram tahanan kerucut (qc) per kedalamannya dan pilihlah
kedalaman sementara yang dianggap mendekati kapasitas ultimit bahan
tiang yang dipakai.
b). Pada kedalaman tiang yang ditinjau, perhatikan tahanan konus rata-rata
(qc) diambil pada jarak 8d di atas kedalaman ujung tiang dan 4d di
bawahnya.
c). Tentukan qc1 dengan menghitung nilai rata-rata tahanan kerucut (qc)
di sepanjang garis patah-patah pada zona 8d di atas dasar tiang.
Lintasan garis patah-patah menunjukkan pengambilan nilai-nilai qc
yang mewakili dan diperkirakan aman.
d). Telusuri lintasan garis patah-patah sedalam 4d di bawah tiang.
Tentukan qc2 dengan menghitung qc rata-rata di sepanjang garis
tersebut.
e). Hitung qca = ½ (qc1 + qc2)
f). Dengan menggunakan nilai-nilai dalam tabel 2, tentukan ω guna
memperhatikan pengaruh kadar kerikil atau OCR.
g). Hitung tahanan ujung satuan dengan persamaan :
17

Fb =  q ca  150 kg/cm 2 (15.000 kN/m 2 ) .............................. (2.20)

Keterangan :
fb = Tahanan ujung satuan (kg/cm2 )
 = Koefisien korelasi yang bergantung pada OCR (tabel 2)
qca = ½ (qc1 + qc2) (kg/cm2)
qc1 = qc rata-rata pada zona 0,7d atau 4d di bawah dasar tiang (kg/cm2)
qc2 = qc rata-rata pada zona 8d di atas dasar tiang (kg/cm2)

Tabel 2.3 Faktor ω (deRuiter dan Beringen, 1979)


Kondisi Tanah Faktor ω
Pasir terkonsolidasi normal (OCR = 1) 1
Pasir mengandung banyak kerikil kasar; Pasir dengan OCR = 2 sampai 4 0.67
Krikil halus; Pasir dengan OCR = 6 sampai 10 0.5

(Sumber : Bowles, 1996)

2). Tahanan gesek satuan


fs = Kf qf (kg/cm ) .......................................................................... (2.21)
Keterangan :
fs = Tahanan gesek satuan (kg/cm2 ), nilainya dibatasi sampai 1,2 kg/cm2
(120kPa)
qf = Tahanan gesek sisi konus (sleeve friction) (kg/cm2)
Kf = Koefisien tak berdimensi

Bila tiang dalam pasir, Kf bergantung pada rasio L/d (L = kedalaman,


dan d = diameter tiang). Di dalam kedalaman 8d pertama dari permukaan
tanah, Kf diinterpolasi dai nol di permukaan tanah sampai 2,5 di kedalaman 8d.
Lebih bawah dari kedalaman ini, nilai Kf berkurang dari 2,5 sampai 0,891 pada
kedalaman 20d, atau, dianggap saja secara keseluruhan Kf = 0,9. Metode yang
lain, untuk tiang dalam tanah pasir (tidak berlaku untuk lempung), gesek satuan
dapat ditentukan dari tahanan konus qc :
fs = Kc qc (kg/cm2) ....................................................................... (2.22)
Keterangan :
18

fs = Tahanan gesek satuan (kg/cm2 ), nilainya dibatasi sampai 1,2 kg/cm2


(120kPa)
qc = Tahanan konus (kg/cm2)
Kc = Koefisien tak berdimensi yang nilainya bergantung pada tipe tiang
Tiang baja ujung bawah terbuka,
Kc = 0,8 %
Tiang pipa ujung bawah tertutup,
Kc = 1,8 %
Tiang beton,
Kc = 1,2 %
c. Metode Meyerhoff
1). Tahanan ujung
fb = 1 2 qca................................................................................ (2.23)
Keterangan :
fb = Tahanan ujung satuan, untuk tiang bor diambil 70% atau 50%-nya
qca = qc rata-rata (kN/m2 ) pada zona 1d di bawah ujung tiang dan 4d di
atasnya
n
1 = [(d + 0,5) /2d] ; koefisien modifikasi pengaruh
skala, jika d > 0,5 m ω1 = 1

1 = L/10d ; koefisien modifikasi untuk penetrasi tiang dalam


lapisan pasir padat saat L < 10d, Jika L > 10d, ω2 = 1

d = Diameter tiang (m)

L = Kedalaman penetrasi tiang di dalam lapisan pasir padat (m)

n = Nilai eksponensial [(1 untuk pasir longgar (qc < 5 Mpa), (2 untuk
pasir kepadatan sedang (5 Mpa < qc < 12 Mpa), (3 untuk pasir padat
(qc > 12 Mpa)]

2). Tahanan gesek


Untuk tiang pancang, tahanan gesek satuan diambil salah satu dari :
fs = K f q f dengan Kf = 1........................................................ (2.24)
atau, bila tidak dilakukan pengukuran tahanan gesek sisi konus :
fs = Kc qc dengan Kc = 0,005.................................................. (2.25)
Keterangan :
19

fs = Tahanan gesek satuan (kg/cm2 )


Kf = Koefisien modifikasi tahanan gesek sisi konus
Kf = Koefisien modifikasi tahanan konus

Untuk tiang bor, Meyerhoff menyarankan menggunakan faktor reduksi


70% dan 50% dalam menghitung tahanan gesek tiang dengan
menggunakan persamaan (2.24) dan (2.25).
2.4.2 Kapasitas Kuat Dukung Bored Pile Dari Hasil Standard Penetration Test
(N- SPT)
a. Metode O’Neil dan Reese (1989)
1). Tahanan ujung ultimit
Qb = Ab Fb.................................................................................... (2.26)
O’Neil dan Reese (1989) dari merekomendasikan tahanan ujung tiang bor
pada penurunan 5% dari diameter dasar tiang pada pasir :
fb = 0,60r N60  4500 kPa.......................................................... (2.27)
Keterangan :
Ab = Luas dasar tiang bor (m2 )
fb = Tahanan ujung neto per satuan luas (kPa)
N60 = Nilai N-SPT rata-rata antara ujung bawah tiang bor sampai 2db di
bawahnya, tidak perlu dikoreksi terhadap overburden
db = Diameter ujung bawah tiang bor (m)
r = Tegangan referensi = 100 kPa

Jika tiang bor dasarnya berdiameter lebih dari 120 cm, maka besarnya
fb dapat mengakibatkan penurunan lebih besar dari 25 mm (1 inci). Untuk
memenuhi syarat penurunan ijin, O’Neil dan Reese (1989) menyarankan fb
direduksi menjadi fbr dengan :
fbr = 4,17(dr /db )fb bila db 1200 mm (15) ............................... (2.28)
Keterangan :
dr = Lebar referensi = 300 mm
db = Lebar ujung bawah tiang bor
20

Nilai tahanan ujung satuan yang dipakai dalam perancangan adalah fbr.
Sebagai alternatif, O’Neil dan Reese (1989) menyarankan untuk
melakukan analisis penurunan, kemudian merubah perancangan tiang
sedemikian hingga penurunannya masih dalam batas-batas toleransi. Jika
penurunan toleransi dibolehkan lebih besar atau lebih kecil dari 25 mm,
dan diameter tiang dimana penurunan berlebihan menjadi masalah, maka
cara-cara penyesuaian dalam analisis hitungan fb perlu dilakukan.
2). Tahanan gesek ultimit
fs = '  r......................................................................................... (2.29)
 = K tan ...................................................................................... (2.30)
Keterangan :
fs = Tahanan gesek satuan (kN/m2)
r' = Tekanan overbuden di tengah-tengah lapisan tanah (kN/m2 )
 = Sudut gesek antara tanah dan tiang (derajat)

Metode ini disebut juga dengan metode β. Nilai K/Ko ditunjukkan


dalam tabel 3 dan rasio δ/φ’ ditunjukkan dalam tabel 4. Koefisien β juga
dapat dihitung dengan menggunakan persamaan yang disarankan oleh
O’Neil dan Reese (1989):
 = 1,5- 0,135 z/dr........................................................................... (2.31)
dengan 0,25 ≤ β ≤ 1,2........................................................................... (2.32)

Keterangan :
dr = Lebar referensi = 300 mm
z = Kedalaman di tengah-tengah lapisan tanah (m)

Tabel 2.3. Nilai-nilai K/Ko untuk tiang bor


Metode Pelaksanaan Ka/Ko
Pelaksanaan kering dengan gangguan dinding lubang bor kecil, pengecoran cepat 1
Pelaksanaan dengan cairan – cara kerja baik 1
Pelaksanaan dengan cairan – cara kerja buruk 0,67
Dengan pipa selubung di bawah air 0,83
(Sumber : Kulhawy, 1991)
21

Tabel 2.4. Nilai-nilai δ/φ’ untuk tiang bor


Metode Pelaksanaan δ/φ’
Lubang terbuka atau dengan pipa selubung sementara 1
Metode dengan cairan (slurry method) – minimum slurry cake 1
Metode dengan cairan (slurry method) – maksimal slurry cake 0,8
Pipa selubung permanen 0,7
(Sumber : Kulhawy, 1991)

Bila lebar referensi dr = 300 mm disubstitusikan ke persamaan (2.31)


 = 1,5- 0,245 z
dengan 0,25 ≤ β ≤ 1,2......................................................... (2.33)
Jika N60 ≤ 15, maka β dalam persamaan (2.31) dikalikan dengan N60 /15
atau
 = N 15 1,5 - 0,245 z  60................................................................ (2.34)
untuk N60 ≤ 15 (22) .......................................................................... (2.35)

N60 adalah N-SPT yang tidak dikoreksi terhadap overburden dan hanya
dikoreksi oleh prosedur (alat) di lapangan.
Beberapa nilai β untuk tanah non-kohesif yang disarankan oleh Reese dkk
(2006) :
(1). Untuk pasir:
β = 0,25, jika z > 26,14 m
(2). Untuk pasir yang banyak mengandung kerikil:
β = 2 – 0,15(z)0,75 dengan 0,25 ≤ β ≤ 1,8
(3). Untuk pasir berkerikil atau kerikil:
β = 0,25, jika z > 26,5 m
Untuk pasir dan pasir berkerikil, fungsi β mencapai batasnya pada
kedalaman z = 1,5 m dan 26 m, karena itu pembuatan batas-batas lapisan
tanah harus dalam zona- zona diantaranya. Selain itu, batas lapisan juga harus
dibuat pada permukaan air tanah. Batas-batas tambahan juga harus dibuat
pada setiap interval 6 m, dan dimana batas dari lapisan pasir berakhir. Setelah
itu, analisis didasarkan pada macam tanahnya (lempung atau pasir).
b. Metode Meyerhoff (1976)
22

1). Kuat dukung ujung


Qb = Ab qb..................................................................................... (2.36)
Keterangan :
Ab = Luas penampang bored pile (m 2 )
qb = Tahanan ujung per satuan luas (kN/m2 )
Qb = Kuat dukung ujung tiang (kN)
2). Tahanan ujung
qb = r ' Nq * 50 Nq * tan ........................................................ (2.37)

Keterangan :
qb = Tahanan ujung per satuan luas (kN/m2 )
r' = Tegangan efektif (overburden) (kN/m2 )
Nq * = Faktor kuat dukung
 = Sudut geser dalam tanah
3). Kuat dukung selimut
Qs =  As qs................................................................................... (2.38)
Dengan As = i. Li........................................................................... (2.39)
Keterangan :
As = Luas selimut tiang (m 2)
qs = Nilai tahanan sisi tiang sepanjang Li dengan tanah setebal Li adalah
tahanan sisi persatuan luas sisi tiang (kN/m2 )
i = Keliling tiang pada selang Li (m)
Li = Panjang bagian tiang dengan keliling Θi (m)
4). Tahanan sisi tiang
qs = K r ' tan .......................................................................... (2.40)
Keterangan :
K = Koefisien tekanan tanah lateral pada sisi tiang yang ditinjau
r ' = Tegangan efektif (overburden) (kN/m2)
 = Sudut geser antara tiang deng

Tabel 2.5 Pemilihan parameter tanah sisi


23

(Sumber : Kulhawy, 1991)

c. Metode Coyle dan Castello (1981)


1). Kuat dukung ujung
Qb = Ab .r '.Nq *.......................................................................... (2.41)
Keterangan :
Ab = Luas penampang bored pile (m 2 )
r ' = Tegangan vertikal efektif pada ujung tiang (kN/m2 )
Nq * = Faktor kuat dukung
2). Kuat dukung selimut
Qs = fav.S.L.................................................................................... (2.42)
fav = K r ' tan ............................................................................. (2.43)

Keterangan :
fav = Tahanan gesek rata-rata untuk keseluruhan tiang (kN/m2 )
K = Koefisien tekanan tanah lateral
r' = Tekanan overburden efektif rata-rata (kN/m2 )
 = Sudut gesek antara tiang dan tanah

Berdasarkan studi ini, perhitungan untuk nilai faktor kuat dukung (Nq*)
dikorelasikan dengan nisbah panjang tiang L/D. Gambar (2.11)
memperlihatkan nilai-nilai Nq* untuk berbagai nisbah panjang tiang dan
sudut gesek tanah. Di sini Nq* secara perlahan akan meningkat dengan
24

L/D hingga mencapai suatu nilai maksimum tertentu dan akan menurun
sesudahnya.

Gambar 2.11 Variasi Nq* dengan L/D (Coyle dan Castello, 1981)
(Sumber : Bowles, 1996)

Dengan cara yang sama, nilai-nilai deduksi K untuk berbagai nilai Φ dan
nisbah L/D diberikan pada gambar 2 Di sini dapat terlihat bahwa untuk
setiap nilai Φ, K berkurang secara linier dengan nisbah L/D.
25

Gambar 2.12 Variasi K dengan L/D (Coyle dan Castello, 1981) (Sumber : Bowles,
1996)

2.5 Program Plaxis 2D


Plaxis adalah program aplikasi komputer berdasarkan metode elemen hingga
dua dimensi yang digunakan secara khusus untuk menganalisis deformasi dan stabilitas
untuk berbagai aplikasi dalam bidang geoteknik, seperti daya dukung tanah. Kondisi
sesungguhnya dapat dimodelkan dalam regangan (plane strain) bidang maupun
secara axi-simetri. Program ini menerapkan metode antarmuka grafis yang mudah
digunakan sehingga pengguna dapat dengan cepat membuat model geometri dan jaring
elemen berdasarkan penampang melintang dari kondisi yang ingin dianalisis.
Program ini terdiri dari empat buah sub-program yaitu masukan, perhitungan,
keluaran, dan kurva.
Langkah awal yang dilakukan adalah melakukan pemodelan menggunakan
model regangan bidang (plane strain) atau axi-simetri sesuai kasus yang akan dianalisis
seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.13.

Gambar 2.13 Contoh permasalahan regangan bidang (plane strain) dan axi-simetri
(Sumber : Manual Plaxis 8.2)

Anda mungkin juga menyukai