Anda di halaman 1dari 27

BAB III

DASAR TEORI

3.1. Lereng

Lereng adalah suatu permukaan tanah atau batuan yang menghubungkan

dua permukaan tanah yang membentuk sudut tertentu terhadap bidang datar yang

menurut cara terbentuknya dibedakan menjadi dua yaitu lereng alami misalnya

lereng bukit,tebing sungai dan lereng buatan antara lain yaitu galian dan timbunan

untuk membuat jalan raya dan jalan kereta api, bendungan, tanggul sungai dan

kanal serta tambang terbuka (Taopan, Henda V.R., 2014).

Suatu longsoran adalah keruntuhan dari massa tanah yang terletak pada

sebuah lereng sehingga terjadi pergerakan massa tanah ke bawah dan ke luar.

Longsoran dapat terjadi dengan berbagai cara, secara perlahan-lahan atau

mendadak serta dengan ataupun tanpa tanda-tanda yang terlihat. Menurut material

pembentuknya, lereng dapat dibedakan atas lereng batuan dan lereng tanah.

Pendekatan penyelesaian dalam analisa kemantapan lereng batuan akan berbeda

dengan analisa kemantapan lereng tanah (Taopan, Henda V.R., 2014).

Perbedaan dalam ciri-ciri kelongsoran pada batuan dan tanah, antara lain

(Taopan, Henda V.R., 2014) :

1. Pada batuan, bidang ketidakmenerusan sangat mempengaruhi atau

menentukan bentuk longsoran, sedangkan pada tanah tidak ada.

12
13

2. Pada batuan, bidang longsoran atau bidang geser dari longsoran

umumnya mempunyai bentuk bidang lurus, sedangkan pada tanah

umumnya mempunyai bentuk longsoran busur.

3.1.1 Lereng Alami

Sumber: Google images, 2017


Gambar 3.1. Lereng Alami

Lereng alami yang telah berada dalam kondisi yang stabil selama puluhan

atau bahkan ratusan tahun dapat tiba-tiba runtuh sebagai akibat dari adanya

perubahan kondisi lingkungan, antara lain seperti perubahan bentuk topografi,

kondisi air tanah, adanya gempa bumi maupun pelapukan. Kadang-kadang

keruntuhan tersebut juga dapat disebabkan oleh adanya aktivitas konstruksi

seperti pembuatan jalan raya, jalan kereta api, saluran air dan bendungan.

Terdapat beberapa kesulitan yang dihadapi dalam analisis kestabilan lereng

alami karena beberapa hal sebagai berikut (Herianto, 1983) :

1. Kesulitan untuk mendapatkan data masukan, (seperti model geologi,

hubungan tegangan-regangan, distribusi tekanan air pori), yang memadai.


14

2. Tingginya tingkat ketidakpastian mengenai mekanisme longsoran

yang mungkin terjadi serta proses-proses penyebabnya.

Beberapa pertimbangan yang harus dilakukan dalam analisis kestabilan

lereng alami antara lain yaitu menentukan apakah longsoran yang mungkin

terjadi merupakan longsoran yang pertama kali atau longsoran yang terjadi pada

bidang geser yang sudah ada serta kemungkinan terjadinya longsoran apabila

dibuat suatu pekerjaan konstruksi atau penggalian pada lereng.

3.1.2 Lereng Buatan

Sumber: Penulis, 2017


Gambar 3.2. Lereng Buatan

Lereng buatan dibuat karena adanya persyaratan perubahan ketinggian

guna keperluan proyek yang telah ditetapkan, misalnya pembuatan gedung,

lapangan udara, dan juga jalan raya (Herianto, 1983). Gaya-gaya yang bekerja

pada lereng dapat menyebabkan stabilitas tanah terganggu. Apabila tahanan

geser tanah lebih kecil dari tegangan geser yang terjadi, maka akan terjadi

longsoran tanah.

Perbedaan elevasi pada permukaan tanah seperti lereng dapat


15

mengakibatkan pergerakan massa tanah dari bidang dengan elevasi yang tinggi

menuju bidang dengan elevasi yang lebih rendah, pergerakan ini diakibatkan oleh

gravitasi. Pergerakan massa tanah tersebut juga dapat dipengaruhi oleh air dan

gaya gempa. Pergerakan atau gaya tersebut akan menghasilkan tegangan

geser yang berfungsi sebagai gaya penahan dan apabila berat massa tanah

yang bekerja sebagai gaya pendorong itu lebih besar dari tegangan geser tersebut

maka akan mengakibatkan kelongsoran.

3.2. Longsor

Tanah longsor (longsoran) adalah pergerakan massa tanah atau batuan ke

arah miring, mendatar, atau vertikal pada salah satu lereng. Longsor terjadi karena

terganggunya keseimbangan lereng akibat pengaruh gaya - gaya yang berasal dari

dalam lereng seperti gaya gravitasi bumi, tekanan air pori dalam tanah atau lereng

dan gaya dari luar lereng seperti getaran kendaraan dan pembebanan kendaraan.

Terzaghi (1950, dalam Hardiyatmo, 2003) membagi penyebab longsoran

lereng terdiri dari akibat pengaruh luar (external effect) dan pengaruh dalam

(internal effect). Pengaruh luar, yaitu pengaruh yang menyebabkan bertambahnya

gaya geser dengan tanpa adanya perubahan kuat tgeser tanah. Contohnya, akibat

perbuatan manusia mempertajam kemiringan tebing atau memperdalam galian

tanah dan erosi sungai. Pengaruh dalam, yaitu longsoran yang terjadi dengan

tanpa adanya perubahan kondisi luar atau gempa bumi. Contoh yang umum untuk

kondisi ini adalah pengaruh bertambahnya tekanan air pori di dalam lereng.
16

Kelongsoran lereng alam dapat terjadi dari hal-hal sebagai berikut

(Hardiyatmo, 2007):

1. Penambahan beban pada lereng.

2. Penggalian atau pemotongan tanah pada kaki lereng.

3. Penggalian yang mempertajam kemiringan lereng.

4. Perubahan posisi muka air secara cepat.

5. Kenaikan tekanan lateral oleh air (air yang mengisi retakan akan

mendorong tanah ke arah lateral).

6. Gempa bumi.

7. Penurunan tahanan geser tanah pembentuk lereng oleh akibat kenaikan

kadar air, kenaikan tekanan air pori, tekanan rembesan oleh genangan air

di dalam tanah, tanah pada lereng mengandung lempung yang mudah

kembang susut dan lain-lain.

Aktivitas manusia yang memicu terjadinya longsoran pada umumnya

berkaitan dengan pekerjaan konstruksi dan kegiatan yang merubah sudut

kemiringan lereng serta kondisi air permukaan juga air tanah. Perubahan sudut

kemiringan lereng antara lain disebabkan oleh kegiatan galian dan timbunan untuk

konstruksi jalan, konstruksi gedung, serta operasi tambang terbuka. Apabila

aktivitas- aktivitas tersebut dikerjakan atau dirancang dengan sembarangan maka

longsoran dapat terjadi karena beban yang bekerja pada lereng melebihi tahanan

geser yang dimiliki oleh lereng.


17

3.3. Klasifikasi Kelongsoran

Menurut Hoek and Bray tahun 1981 (Mahendra, Arif 2012), kestabilan

lereng dapat dianalisis sesuai dengan jenis kelongsoran yang mungkin dapat

terjadi. Secara umum ada empat jenis longsoran yaitu:

3.3.1. Longsoran Bidang (Plane Failure)

Longsoran bidang merupakan suatu longsoran batuan yang terjadi

sepanjang bidang luncur yang dianggap rata. Bidang luncur tersebut dapat berupa

sesar, rekahan (joint) maupun bidang perlapisan batuan.

Gambar 3.3. Bentuk longsoran bidang (Plane Failure)

Kondisi yang diperlukan untuk terjadinya longsoran bidang adalah sebagai

berikut:

1. Terdapatnya bidang luncur bebas (daylight) berarti kemiringan bidang

luncur harus lebih kecil dari pada kemiringan lereng.

2. Arah bidang luncur sejajar atau mendekati sejajar dengan arah lereng

(maksimum berbeda 20º).


18

3. Kemiringan bidang luncur lebih besar dari pada sudut geser dalam

batuannya.

4. Terdapatnya bidang bebas (tidak terdapatnya gaya penahan) pada kedua

sisi longsoran.

3.3.2. Longsoran Baji (Wedge Failure)

Longsoran ini hanya bisa terjadi pada batuan yang mempunyai lebih dari

satu bidang lemah yang saling berpotongan membentuk baji (Lihat Gambar 3.4.).

Dalam kondisi yang sangat sederhana longsoran baji terdapat pada sepanjang

garis potong kedua bidang lemah tersebut.

Gambar 3.4. Bentuk longsoran baji (Wedge Failure)

Kondisi yang diperlukan untuk terjadinya longsoran baji adalah sebagai berikut:

1. Permukaan bidang lemah A dan bidang lemah B rata, tetapi kemiringan

bidang lemah B lebih besar daripada bidang lemah A.

2. Arah penunjaman garis potong harus lebih kecil daripada sudut

kemiringan lereng.
19

3. Bentuk longsoran dibatasi oleh muka lereng, bagian atas lereng dan kedua

bidang lemahnya.

3.3.3. Longsoran Busur (Circular Failure)

Longsoran busur merupakan longsoran yang paling umum terjadi di alam,

terutama pada tanah dan batuan yang telah mengalami pelapukan sehingga hampir

menyerupai tanah. Pada batuan yang keras longsoran busur hanya dapat terjadi

jika batuan tersebut sudah mengalami pelapukan dan mempunyai bidang-bidang

lemah (rekahan) dengan jarak yang sangat rapat kedudukannya.

Gambar 3.5. Bentuk longsoran busur (Circular Failure)

Syarat terjadinya:

1. Memiliki bidang lemah yang banyak dan arah longsorannya bergerak

sepanjang bidang lemah yang berbentuk busur.

2. Kemiringan lereng lebih besar dari kemiringan bidang lemah dan

kemiringan bidang lemah lebih besar dari sudut geser dalam material.
20

3.3.4. Longsoran Guling (Toppling failure)

Longsoran guling terjadi pada lereng terjal untuk batuan yang keras

dengan bidang-bidang lemah tegak atau hamper tegak dan arahnya berlawanan

dengan arah kemiringan lereng. Kondisi untuk menggelincir atau mengguling

ditentukan oleh sudut geser dalam dan kemiringan sudut bidang gelincirnya

Gambar 3.6. Bentuk longsoran guling (Toppling Failure)

3.4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kestabilan Lereng

Beberapa Faktor yang mempengaruhi kestabilan lereng adalah sebagai

berikut :

3.4.1 Geometri Lereng

Yang dimaksud dengan geometri lereng adalah tinggi (H) dan kemiringan

lereng (ψ), baik itu secaa individu maupun secara keseluruhan (overall). Suatu

lereng disebut lereng individu jika dibentuk oleh satu jenjang saja dan disebut

keseluruhan (overall) jika dibentuk oleh beberapa jenjang. Sudut kemiringan


21

jenjang untuk lereng overall diperoleh dengan menarik garis dari batas bawah

jenjang (toe) terbawah ke batas atas jenjang (crest) teratas (Gambar 2.7).

Perancangan suatu lereng yang aman dan ideal harus benar-benar

memperhatikan perbandingan yang sesuai antara tinggi jenjang dan lebar jenjang,

sehingga lereng yang terbentuk nanti stabil. Sebagai asumsi apabila diinginkan

suatu lereng dengan kemiringan yang cukup besar, maka tinggi lereng sebaiknya

dibuat tidak terlalu tinggi, sebaliknya apabila diinginkan suatu lereng dengan

tinggi yang cukup besar, maka perlu dibuat kemiringan lereng yang tidak terlalu

besar, sehingga geometrinya menjadi seimbang. Hal ini dapat menghindari

terjadinya lereng dengan geometri tidak seimbang antara tinggi dan

kemiringannya, yang dapat menjadikan lereng tersebut rawan untuk terjadi

longsoran.

Gambar 3.7. Penampang Lereng Individu Dan Lereng Total.

3.4.2 Struktur batuan

Struktur batuan yang sangat mempengaruhi kemantapan lereng adalah

bidang-bidang sesar, perlapisan dan rekahan. Struktur batuan tersebut merupakan

bidang-bidang lemah dan sekaligus sebagai tempat merembesnya air, sehingga

batuan lebih mudah longsor


22

3.4.3 Sifat fisik tanah

Sifat fisik tanah yang mempengaruhi kemantapan lereng adalah : kadar air

optimum, berat jenis, porositas, derajat kejenuhan, batas attreberg, konsolidasi,

dan permeabilitas .

3.4.3.1 Penentuan kadar air optimum

Tujuan pemadatan diantaranya untuk memadatkan tanah dalam keadaan

kadar air optimum, sehingga udara dalam pori-pori tanah akan keluar. Untuk

mengetahui kadar air yang optimum pada tanah, maka dilakukan pengujian

pemadatan proctor standar, pengujian tersebut dilakukan dengan pemadatan

sampel tanah basah (pada kadar air terkontrol) dalam suatu cetakan dengan

jumlah 3 lapisan. Setiap lapisan dipadatkan dengan 25 tumbukan yang

ditentukan degang penumbuk massa 2,5 kg dan tinggi jatuh 30 cm. energy

pemadatan sebesar 592,57 kilo Joule/m3

Kadar air yang memberikan berat kering yang maksimal disebut kadar

air optimum. Untuk tanah berbutir halus dalam mendapatkan kadar air

optimum digunakan batas plastisnya. Buat kurva hubungan antara kadar air

(w) sebagai absis dan berat volume tanah kering. Kadar air bisa dicari dengan

menggunakan rumus berikut :

𝑊𝑤
w= 𝑥 100%
𝑊𝑠

Dengan : w = kadar air (%)

Ww = Berat air (gr)

Ws = berat contoh kering (gr)


23

Berat isi basah/unit weight or density (γ) adalah perbandingan antara

berat tanah seluruhnya dengan isi tanah seluruhnya (Wesley) 1977. Berat isi

tanah tergantung pada berat masing-masing butiran tanah yang ada, jumlah

total partikel yang ada dan jumlah air yang ada di dalam rongga. Berat isi

tanah bisa dicari dengan menggunakan rumus berikut :

𝑊
𝛾𝑏 =
𝑉

Dengan : γb = Berat isi basah (gr/cm3)

W = Berat contoh basah (gr)

V = Volume cetakan (cm3)

Berat isi kering/dry density (γd) adalah perbandingan antara berat

butir dengan isi tanah seluruhnya, (Wesley) 1977. Berat isi kering bisa

dicari dengan menggunakan rumus berikut :

𝛾𝑏 𝑥 100
𝛾𝑑 =
100+𝑤

Dengan : γd = Berat isi kering (gr/cm3)

γd = Berat isi tanah (gr/cm3)

w = kadar air (%)

Zero Air Void (ZAV) merupakan garis kepadatan tertinggi tanpa

adanya rongga udara. ZAV bisa dicari dengan menggunakan rumus

berikut :

𝐺𝑠 𝑥 𝛾𝑤
𝑍𝐴𝑉 =
1+( 𝐺𝑠 𝑥 𝑤)

Dengan : Gs = nilai berat jenis


24

γw = Berat jenis air (gr/cm3)

w = kadar air (%)

Porositas didefinisikan sebagai perbandingan antara volume pori

dan volume tanah total, porositas bisa dicari dengan menggunakan rumus

berikut :

Vv
n=
V

Dengan : n = porositas

Vv = Volume pori (cm3)

V = Volume cetakan tanah (cm3)

Derajat kejenuhan didefinisikan sebagai perbandingan antara

volume air dan volume pori, derajat kejenuhan bisa dicari dengan

menggunakan rumus berikut :

𝑉𝑤
Sr =
𝑉𝑣

Dengan : Sr = Derajat kejenuhan

Vw = Volume air (cm3)

Vv = Volume pori (cm3)

3.4.3.2 Berat Jenis

Harga berat jenis dari butiran tanah sangat berperan penting dalam

bermacam-macam keperluan perhitungan mekanika tanah. Harga-harga itu

dapat ditentukan secara akurat dilaboratorium.


25

Berat jenis didefinisikan sebagai perbandingan antara berat isi bahan

terhadap berat isi air, (Bowles) 1991. Berat jenis tanah bisa dicari dengan

menggunakan rumus berikut :

𝑊𝑡
Gs =
(𝑊5−𝑊3)

Dengan : Gs = Berat Jenis

Wt = Berat contoh (gr)

W3 = Berat piknometer + air + contoh (gr)

W5 = [Berat piknometer + contoh] – [Berat piknometer] + [Berat

piknometer + air] (gr)

3.4.3.3 Batas-Batas Atterberg

Batas Atterberg dimaksudkan untuk mengklasifikasikan tanah berbutir

halus serta memastikan karakter indeks property tanah. Batas Atterberg

mencakup batas cair, batas plastis, serta batas susut.

Tanah yang berbutir halus umumnya mempunyai karakter plastis. Karakter

plastis itu adalah kekuatan tanah sesuai pergantian bentuk tanah sesudah

bercampur dengan air pada volume yang tetap. Tanah tersebut berupa cair,

plastis, semi padat atau padat, bergantung jumlah air yang tercampur pada

tanah itu.

1. Batas Cair (Liquid Limit)

Batas cair (LL) adalah kadar air tanah, pada batas antara keadaan

cair dan keadaan plastis (yaitu: batas atas dari daerah plastis). dalam

praktek didapat dengan cara mencari kadar air pada ketukan ke 25 dialat
26

Casagranda dimana tanah yang digores dengan Groving tool merapat

sepanjang 0,5 inch (kurang lebih 1,25 cm). Batas Cair bisa dicari dengan

menggunakan rumus berikut :

𝑁 0,121
LL = 𝑤 ( )
25

Dengan : LL = Berat Jenis

w = kadar air pada ketukan sebanyak N

N = jumlah ketukan

2. Batas Plastis (Plastic Limit)

Batas plastis (PL) adalah kadar air pada batas bawah daerah plastis.

dalam praktek ditentukan dengan menggiling tanah diatas plat kaca

sehingga diameter dari batang tanah yang terbentuk karena penggilingan

mencapai diameter 3 mm bilamana tanah mulai menjadi retak pada saat

diameternya mencapai 3 mm, kadar air yang didapat adalah Plastis. Batas

plastis bisa dicari dengan menggunakan rumus berikut :

PL = wN

∑𝑤
(wN) = 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑒𝑟𝑐𝑜𝑏𝑎𝑎𝑛

Dengan : PL = Batas Plastis

wN = rata – rata kadar air

∑ 𝑤 = jumlah kadar air

3. Indeks Plastisitas (Plasticity Index)

Plasticity Index adalah Selisih antara batas cair dengan batas plastis

ialah daerah dimana tanah tersebut adalah dalam keadaan plastis. Index
27

plastis suatu tanah dan batas cairnya memberikan satu titik pada suatu

diagram plastisitas, tanah berbutir halus dibagi lagi menjadi tanah-tanah

dengan plastisitas rendah, sedang dan tinggi seperti yang diperlihatkan

yaitu:

- Plastisitas rendah LL < 35%

- Plastisitas sedang LL 35% - 50%

- Plastisitas tinggi LL > 50%

Plasticity Index bisa dicari dengan menggunakan rumus berikut :

PI = LL – PL , dengan PI = Indeks Plastisitas

LL = Batas Cair

PL = Batas Plastis

3.4.3.4 Konsolidasi

Bila suatu lapisan tanah mengalami tambahan beban di atasnya maka air

pori akan mengalir dari lapisan tersebut dan volumenya akan menjadi lebih

kecil. Peristiwa inilah yang disebut dengan konsolidasi. Pada umumnya

konsolidasi ini akan berlangsung dalam satu jurusan vertikal saja karena

lapisan yang mendapat beban tambahan tersebut tidak dapat bergerak dalam

jurusan horizontal (ditahan oleh tanah sekelilingnya).

Bila tanahnya berjenis lempung, maka penurunan akan agak besar,

sedangkan kalau tanah terdiri dari pasir, penurunannya akan kecil. Karena itu

lempung dikatakan mempunyai High Compressibility dan pasir mempunyai

Low Compresibility. Penurunan pada lempung biasanya memakan waktu yang

lama, karena daya rembesan air sangat lemah.


28

Koefisien Konsolidasi bisa dicari dengan menggunakan rumus berikut :

0,848 𝐻2
CV =
𝑡 90

Dengan : CV = Koefisien Konsolidasi

H2 = tinggi benda uji

t 90 = harga akar waktu untuk tercapainya konsolidasi 90 %

3.4.3.5 Permeabilitas

Permeabilitas adalah cepat lambatnya air merembes ke dalam tanah baik

melalui pori makro maupun pori mikro baik ke arah horizontal maupun

vertikal. Tanah adalah kumpulan partikel padat dengan rongga yang saling

berhubungan. Rongga ini memungkinkan air dapat mengalir di dalam partikel

melalui rongga dari satu titik yang lebih tinggi ke titik yang lebih rendah. Sifat

tanah yang memungkinkan air melewatinya pada berbagai laju alir tertentu

disebut permeabilitas tanah. Sifat ini berasal dari sifat alami granular tanah,

meskipun dapat dipengaruhi oleh faktor lain (seperti air terikat di tanah liat).

Jadi, tanah yang berbeda akan memiliki permeabilitas yang berbeda.

Koefisien permeabilitas tergantung pada ukuran rata-rata pori yang

dipengaruhi oleh distribusi ukuran partikel, bentuk partikel dan struktur tanah.

Secara garis besar, makin kecil ukuran partikel, makin kecil pula ukuran pori

dan makin rendah koefisien permeabilitasnya. Hukum Darcy menjelaskan

tentang kemampuan air mengalir pada rongga-rongga (pori) dalam tanah dan

sifat-sifat yang mempengaruhinya. Ada dua asumsi utama yang digunakan

dalam penetapan hukum Darcy ini. Asumsi pertama menyatakan bahwa aliran
29

fluida/cairan dalam tanah bersifat laminar. Sedangkan asumsi kedua

menyatakan bahwa tanah berada dalam keadaan jenuh.

Permeabilitas bisa dicari dengan menggunakan rumus berikut :


𝐿 ℎ
K = 0,025 𝑡 log ℎ1
2

Dengan : K = Koefisien Permeability (cm/s)

L = Panjang/Tinggi Sampel (cm)

t = Waktu Pengamatan (detik)

h1 = Tinggi Head Mula-mula (cm)

h2 = Tinggi Head Akhir (cm)

Sebagai standar koefisien Permeability pada temperatur 20° C. Sehingga


perlu koreksi terhadap suhu untuk temperatur yang lain.

𝑛𝑖
K20 = 𝐾
𝑛20

Dengan : K20 = Koefisien Permeability pada temperatur 20° C (cm/s)

K = Koefisien Permeability (cm/s)


𝑛𝑖
= Viskositas air
𝑛20

3.4.4 Sifat Mekanik tanah

Pengujian sifat mekanik tanah untuk mendapatkan nilai sifat-sifat mekanik tanah

untuk penentuan kestabilan lereng antara lain sudut geser dalam dan kohesi tanah.

3.4.4.1 Geser Langsung (Direct Shear Test)

Uji geser langsung dimaksudkan untuk menentukan nilai kekuatan geser

tanah dengan melakukan percobaan geser langsung dengan mengubah-ubah

tegangan axial pada beberapa contoh sehingga diperoleh tegangan geser.


30

Kecepatan perubahan contoh tanah pada arah horisontal disesuaikan dengan

Ws = keadaan jenis tanahnya. Dengan ini diperoleh garis yang memberikan

hubungan antara tegangan geser dengan tegangan normal. Oleh karena itu

kekuatan tanah tergantung kepada gaya-gaya yang bekerja antara butirnya.

untuk mengetahui nilai kekuatan geser tanah dikemukakan oleh Coulomb

sekitar tahun 1776, sebagai berikut ::

S = c + θ tan ϕ

Dengan : s = Kuat geser (kg/cm2)

c = Kohesi (kg/cm2)

θ = Tegangan normal (kg/cm2)

ϕ = Sudut geser dalam (o)

pada pengujian kuat geser tegangan normal dapat dihitung sebagai berikut :

Beban Normal
tegangan normal =
Luas penampang sampel

sedangkan tegangan geser dapat dihitung sebagai berikut :

Gaya Geser
tegangan geser =
Luas penampang sampel

3.4.4.2 Regresi Linear Sederhana

Analisis regresi linear sederhana terdiri dari satu variable terikat dan satu

variable bebas. Analisis regresi linear sederhana dinyatakan dengan hubungan

persamaan sebagai berikut :

 y = ax + b
31

𝑛 𝛴𝑥𝑦− 𝛴𝑥 . 𝛴𝑦
 a=
𝑛 𝛴𝑥 2 −(𝛴𝑥)2

𝛴𝑦 .𝛴𝑥2 − 𝛴𝑥 . 𝛴𝑥𝑦
 b= 2
𝑛 𝛴𝑥2 −(𝛴𝑥)

dari persamaan diatas maka diperoleh nilai a yang menunjukan

gradient regresi linear yang menjadi nilai sudut geser dalam dan b adalah

kohesi

3.4.5 Pengaruh gaya dari luar

Biasanya gaya-gaya dari luar yang dapat mempengaruhi kestabilan lereng

antara lain : getaran alat-alat berat yang bekerja pada atau sekitar lereng,

peledakan, gempa bumi, dan lain-lain. Semua gaya-gaya tersebut akan

memperbesar tegangan geser sehingga dapat mengakibatkan kelongsoran pada

lereng.

3.5 Cara-Cara Menstabilkan Lereng

Penanggulangan longsor yang dilakukan bersifat pencegahan sebelum longsor

terjadi pada daerah potensial dan stabilisasi, setelah longsor terjadi jika belum

runtuh total. Penanggulangan yang tepat pada kedua kondisi diatas dengan

memperhatikan penyebab utama longsor, kondisi pelapisan tanah dan juga aspek

geologinya.

Sedang langkah yang umum dalam menangani longsor antara lain: pemetaan

geologi topografi daerah yang longsor, pemboran untuk mengetahui bentuk

pelapisan tanah/batuan dan bidang gelincirnya, pemasangan piezometer untuk

mengetahui muka air atau tekanan air porinya, dan pemasangan slope indicator
32

untuk mencari bidang geser yang terjadi. Selain itu dilakukan pula pengambilan

tanah tidak terganggu, terutama pada bidang geser untuk dipelajari besar kekuatan

tahanan gesernya.

Ada beberapa cara untuk menstabilkan lereng yang berpotensi terjadi

kelongsoran. Pada prinsipnya ada dua cara yang dapat digunakan untuk

menstabilkan suatu lereng, yaitu:

1. Memperkecil gaya penggerak atau momen penyebab longsor. Gaya atau

momen penyebab longsor dapat diperkecil dengan cara merubah bentuk

lereng, yaitu dengan cara:

 Merubah lereng lebih datar atau memperkecil sudut kemiringan

 Memperkecil ketinggian lereng

 Merubah lereng menjadi lereng bertingkat (multi slope)

2. Memperbesar gaya lawan atau momen penahan longsor. Gaya lawan atau momen

penahan longsor dapat diperbesar dengan beberapa cara yaitu:

 Menggunakan counter weight yaitu tanah timbunan pada kaki lereng. Cara

ini mudah dilaksanakan asalkan terdapat tempat dikaki lereng untuk tanah

timbunan tersebut.

 Dengan mengurangi air pori di dalam lereng

 Dengan cara mekanis yaitu dengan memasang tiang pancang atau tembok

penahan tanah.
33

3.6. Faktor Keamanan Lereng

Secara sistematis faktor keamanan suatu lereng dapat ditulis dengan rumus

sebagai berikut:
Gaya Penahan Longsor
FK =
Gaya Penggerak Longsor
dengan ketentuan, jika:

FK > 1,0 lereng dalam kondisi stabil

FK < 1,0 lereng tidak stabil

FK = 1,0 lereng dalam kondisi kritis

Namun pada kenyataannya penggunaan parameter kekuatan material

dalam analisa kestabilan lereng tidak menjamin 100% kekuatan massa batuan

tersebut, sehingga nilai faktor keamanan (FK) = 1,0 dari hasil perhitungan belum

tentu menjamin lereng berada dalam kondisi yang stabil. Hal ini disebabkan

karena ada beberapa faktor yang mempengaruhi dalam perhitungan faktor

keamanan, seperti kekurang telitian dalam pengujian conto di laboratorium, conto

material yang diambil belum mewakili keadaan sebenarnya di lapangan serta cara

mengatasi beban-beban luar yang ada. Untuk itu diperlukan suatu nilai faktor

keamanan minimum dengan suatu nilai tertentu yang disarankan sebagai batas

faktor keamanan terendah yang masih aman sehingga lereng dapat dinyatakan

stabil atau tidak.

3.7. Metode Bishop Yang Disederhanakan (Simplified Bishop Method)

Metode Bishop disederhanakan (Bishop,1955 dalam Hardiyatmo)

menganggap bahwa gaya-gaya yang bekerja pada sisi-sisi irisan mempunyai


34

resultan nol pada arah vertikal. Metode Bishop dipakai untuk menganalisis

permukaan gelincir (slip surface) yang berbentuk lingkaran. Pada metode ini ada

beberapa asumsi, diantaranya:

1. Pada metode ini keruntuhan diasumsikan akibat gerakan rotasi dari tanah

tersebut yang mana keruntuhan tersebut berbentuk lingkaran. Metode ini tidak

bisa digunakan untuk menghitung faktor keamanan dari sebuah keruntuhan

yang tidak memiliki bidang keruntuhan berbentuk lingkaran.

2. Nilai dari gaya horisontal pada kedua sisi dapat diabaikan karena tidak

diketahui nilainya dan sulit untuk dihitung.

3. Gaya normal yang bekerja diasumsikan bekerja ditengah bidang irisan dan

diperoleh dengan menjumlahkan gaya-gaya dalam arah vertikal.

Dengan metode irisan, massa tanah yang longsor dipecah – pecah menjadi

beberapa irisan vertical. Kemudian, keseimbangan dari tiap – tiap irisan

diperhatikan. Gambar 3.8 memperlihatkan satu irisan dengan gaya – gaya yang

bekerja padanya. Gaya – gaya ini terdiri dari gaya geser (Xr dan X1) dan gaya

normal efektif (Er dan E1) di sepanjang sisi irisannya, dan juga resultan gaya

geser efektif (Ti) dan resultan gaya normal efektif (Ni) yang bekerja di sepanjang

dasar irisannya. Pada irisannya, tekanan air pori U1 dan Ur bekerja di kedua

sisinya, dan tekanan air pori Ui bekerja pada dasarnya. Dianggap tekana air pori

sudah diketahui sebelumnya.


35

Gambar 3.8. Gaya-Gaya Yang Bekerja Pada Irisan

Persamaan faktor aman yaitu:

′ ′ 1
∑𝑖=𝑛
𝑖=1 ( 𝑐 𝑏𝑖 +[𝑊𝑖−𝑢𝑖 𝑏𝑖]𝑡𝑔𝜑 )( )
cos 𝜃𝑖(1+𝑡𝑔𝜑𝑖 𝑡𝑔𝜑′ /𝐹
F=
∑𝑖=𝑛
𝑖=1 𝑊𝑖 𝑠𝑖𝑛𝛳𝑖

Dengan :

F = faktor aman

c’ = kohesi tanah efektif (kN/m2)

φ’ = sudut geser dalam tanah efektif (derajat)

bi = lebar irisan ke-i (m)

Wi = berat irisan tanah ke-i (kN)

ϴi = sudut yang didefinisikn dalam Gambar 3.8 (derajat)

ui = tekanan air pori pada irisan ke-i (kN/m2)

Rasio tekanan air pori (pore pressure ratio) didefinisikan sebagai:

𝑢𝑏 𝑢
ru = =
𝑊 ɣℎ

dengan:
36

ru = rasio tekanan air pori

u = tekanan air pori (kN/m2)

b = lebar irisan (m)

γ = berat volume tanah (kN/m3)

h = tinggi irisan rata-rata (m)

Perhitungan nilai faktor aman dengan menggunakan simplified bishop

method ini dibutuhkan cara coba-coba (trial and error), karena nilai faktor aman F

nampak di kedua sisi persamaannya. Akan tetapi, cara ini telah terbukti

menghasilkan nilai faktor aman yang mendekati hasil hitungan dengan cara lain

yang lebih teliti.

3.8. Pengambilan Contoh Tanah

Tanah utuh atau tanah tak terganggu (undisturbed soil sample) adalah

tanah yang terletak dibawah permukaan tanah yang memiliki struktur berbeda

dari tanah tak utuh (terganggu) karena tanah tersebut masih belum terganggu

oleh faktor luar.

Tanah tak utuh atau terganggu (disturbed soil sample) merupakan

tanah yang memiliki distribusi ukuran partikel sama dengan seperti di tempat

asalnya, tetapi strukturnya telah cukup rusak atau hancur seluruhnya.

Pengambilan sampel tanah utuh (undisturbed soil sample) diperlukan

untuk berbagai analisa sifat fisik tanah seperti penentuan bobot isi tanah , ruang

pori total (porositas) tanah, permeabilitas, penentuan pH, penentuan distribusi

pori, kandungan atau kadar air.


37

Pengambilan contoh tanah tak utuh atau tanah terganggu (disturbed soil)

untuk kepentingan analisa kimia dan kestabilan agregat (agregat stability).

1. Langkah pengambilan sampel tanah utuh (undisturbed soil sample) :

 Pertama-tama permukaan tanah harus bersih dari rerumputan dan

sampah.

 Letakkan pipa sampel diatas tanah.

 Pukul pipa tersebut sampai pipa sampel tertanam secara keseluruhan

dalam tanah. Usahakan agar saat memukul pipa tersebut tidak

bergerak karena dapat menyebabkan tanahnya terganggu.

 Pakailah sekop kemudian tusukkan ke tanah kira – kira 10cm dari posisi

pipa diusahakan tusukan sekop tersebut lebih dalam dari pipa yang

tertanam.

 Angkat pelan – pelan sekop tersebut dan satu orang teman kita

menahan pipa sampel dengan tangan agar tidak bergerak saat kita

mengangkat keluar pipa tersebut.

 Bungkus tanah utuh pada pipa sampel yang besar dengan pelastik

secara rapi lalu ikat dengan tali karet agar tanah tak hancur dan kedap

udara.

2. Langkah pengambilan sampel tanah tak utuh (disturbed soil sample) :

 Setelah kita mengambil sampel tanah utuh, pertama – tama kita

membersihkan permukaan yang berada disebelah tempat kita

mengambil tanah utuh.


38

 Kemudian tanah digali dengan menggunakan sekop kurang lebih

sedalam 20cm.

 Masukkan tanah tersebut ke kantung pelastik secukupnya.

Anda mungkin juga menyukai