Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bencana alam seperti tanah longsor sering terjadi pada daerah dengan curah hujan yang
tinggi dan memiliki kondisi morfologi yang curam. Sehingga mengakibatkan kerugian besar bagi
masyarakat, baik kerugian materil maupun non materi. Kejadian tanah longsor sebenarnya dapat
diprediksi dan dianalisis kedatangannya, karena faktor terbesar dari alam yang mempengaruhi
terjadinya tanah longsor adalah curah hujan. Dengan curah hujan tinggi, tanah pelapukan yang
mempunyai sifat meloloskan air menyebabkan tanah menjadi jenuh air. Air akhirnya mengalir
pada bidang kontak yang bertindak sebagai bidang gelincir (slipsurface). Akibat jenuhnya tanah
pelapukan, bobot massa tanah bertambah, hal ini menyebabkan keseimbangan lereng terganggu
dan lereng bergerak mencari keseimbangan baru sehingga bencana tanah longsor terjadi.
Hampir keseluruhan daerah aliran sungai (DAS) di Kota Malang berpotensi terjadi
longsong. Menurut BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah) Kota Malang terdapat
beberapa titik longsor yang tersebar di lima kecamatan. Masing-masing kecamatan memiliki
karakteristik potensi longsor yang berbeda-beda. Di Kecamatan Blimbing terdapat sekitar empat
titik rawan longsor, di Kecamatan Sukun terdapat belasan titik rawan longsor, di Kecamatan
Kedungkandang terdapat empat titik longsor. Sementara di Kecamatan Lowokwaru, titik
kerawanan longsor terjadi di hampir seluruh DAS dengan dimensi yang lebih kecil. Terakhir di
Kecamatan Klojen enam titik rawan longsor, keseluruhan titik rawan longsor tak terpusat di satu
kawasan namun memanjang di wilayah DAS.

B. Tujuan
Berdasarkan latar belakang di atas, adapun tujuan penelitian sebagai berikut.
1. Agar pembaca mengetahui po
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tanah Longsor
Suripin (2002) tanah longsor merupakan bentuk erosi dimana pengangkutan atau gerakan
masa tanah terjadi pada suatu saat dalam volume yang relatif besar. Peristiwa tanah longsor
dikenal sebagai gerakan massa tanah, batuan atau kombinasinya, sering terjadi pada lereng-
lereng alam atau buatan dan sebenarnya merupakan fenomena alam yaitu alam mencari
keseimbangan baru akibat adanya gangguan atau faktor yang mempengaruhinya dan
menyebabkan terjadinya pengurangan kuat geser serta peningkatan tegangan geser tanah. Kamus
Wikipidea menambahkan bahwa tanah longsor merupakan suatu peristiwa geologi dimana terjadi
pergerakan tanah seperti jatuhnya bebatuan atau gumpalan besar tanah.
Menurut Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (2005) menyatakan
bahwa tanah longsor boleh disebut juga dengan gerakan tanah. Didefinisikan sebagai massa
tanah atau material campuran lempung, kerikil, pasir, dan kerakal serta bongkah dan lumpur,
yang bergerak sepanjang lereng atau keluar lereng karena faktor gravitasi bumi.
Sutikno, dkk. (2002) mengatakan bahwa tanah longsor adalah proses perpindahan massa
tanah atau batuan dengan arah miring dari kedudukan semula akibat adanya gaya gravitasi
(terpisah dari massa aslinya yang relatif mantap).
Berdasarkan teori gerakan tanah (Scehmton dan Hitchison, 1969, Chowdhury, 1978,
Varnes, 1978 dalam Karnawati, 2001) didefinisikan bahwa gerakan tanah adalah merupakan
suatu gerakan menuruni lereng oleh massa tanah dan atau batuan penyusun lereng ke arah kaki
lereng, akibat dari terganggunya kestabilan tanah atau batuan penyusun lereng tersebut. Apabila
massa yang bergerak ini didominasi oleh massa tanah dan gerakannya melalui suatu bidang pada
lereng, baik berupa bidang miring ataupun lengkung, maka proses pergerakan tersebut disebut
sebagai longsoran tanah.
Menurut Sitorus (2006), longsor (landslide) merupakan suatu bentuk erosi yang
pengangkutan atau pemindahan tanahnya terjadi pada suatu saat yang relatif pendek dalam
volume (jumlah) yang sangat besar. Berbeda halnya dengan bentuk-bentuk erosi lainnya (erosi
lembar, erosi alur, erosi parit) pada longsor pengangkutan tanah terjadi sekaligus dalam periode
yang sangat pendek.
Gerakan tanah (tanah longsor) adalah suatu produk dari proses gangguan keseimbangan
lereng yang menyebabkan bergeraknya massa tanah dan batuan ke tempat yang lebih rendah.
Gaya yang menahan massa tanah di sepanjang lereng tersebut dipengaruhi oleh sifat fisik tanah
dan sudut dalam tahanan geser tanah yang bekerja di sepanjang lereng. Perubahan gaya-gaya
tersebut ditimbulkan oleh pengaruh perubahan alam maupun tindakan manusia. Perubahan
kondisi alam dapat diakibatkan oleh gempa bumi, erosi, kelembaban lereng akibat penyerapan
air hujan, dan perubahan aliran permukaan. Pengaruh manusia terhadap perubahan gaya-gaya
antara lain adalah penambahan beban pada lereng dan tepi lereng, penggalian tanah di tepi
lereng, dan penajaman sudut lereng. Tekanan jumlah penduduk yang banyak mengalihfungsikan
tanah-tanah berlereng menjadi pemukiman atau lahan budidaya sangat berpengaruh terhadap
peningkatan resiko longsor.
Tanah longsor merupakan contoh dari proses geologi yang disebut dengan mass wasting
yang juga sering disebut gerakkan masa ( mass movement ), merupakan perpindahan masa
batuan, regolith, dan tanah dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah karena gaya gravitasi.
Setelah batuan lapuk, gaya gravitasi akan menarik material hasil pelapukan ke tempat yang lebih
rendah.
Meskipun gravitasi merupakan faktor utama terjadinya gerakkan masa, ada beberapa
faktor lain yang jugs berpengaruh terhadap terjadinya proses tersebut antara lain kemiringan
lereng dan air. Apabila pori – pori sedimen terisi oleh air, gaya kohesi antar mineral akan
sewmakin lemah, sehingga memungkinkan partikel – partikel terebut dengan mudah untuk
bergeser. Selain itu air juga akan menambah berat beban masa material, sehingga memungkinkan
cukup untuk menyebabakan material untuk meluncur ke bawah.

B. Tipe Longsoran
Naryanto (2002), jenis tanah longsor berdasarkan kecepatan gerakannya dapat dibagi
menjadi 5 (lima) jenis yaitu :
1. Aliran ; longsoran bergerak serentak/mendadak dengan kecepatan tinggi.
2. Longsoran ; material longsoran bergerak lamban dengan bekas longsoran berbentuk tapal
kuda.
3. Runtuhan; umumnya material longsoran baik berupa batu maupun tanah bergerak cepat
sampai sangat cepat pada satu tebing.
4. Majemuk; longsoran yang berkembang dari runtuhan atau longsoran dan berkembang lebih
lanjut menjadi aliran.
5. Amblesan (penurunan tanah); terjadi pada penambangan bawah tanah, penyedotan air
tanah yang berlebihan, proses pengikisan tanah serta pada daerah yang dilakukan proses
pemadatan tanah.
Penurunan tanah (subsidence) dapat terjadi akibat adanya konsolidasi, yaitu penurunan
permukaan tanah sehubungan dengan proses pemadatan atau perubahan volume suatu lapisan
tanah. Proses ini dapat berlangsung lebih cepat bila terjad pembebanan yang melebihi faktor
daya dukung tanahnya, ataupun pengambilan air tanah yang berlebihan dan berlangsung relatif
cepat.
Pengambilan air tanah yang berlebihan dapat mengakibatkan penurunan muka air tanah
(pada sisitem akifer air tanah dalam) dan turunnya tekanan hidrolik, sedangkan tekanan antar
batu bertambah. Akibat beban di atasnya menurun, penurunan tanah pada umumnya terjadi pada
daerah dataran yang dibangun oleh batuan/tanah yang bersifat lunak (Sangadji, 2003).

C. Karakteristik Daerah Rawan Tanah Longsor


Darsoatmodjo dan Soedrajat (2002), menyebutkan bahwa terdapat beberapa
ciri/karakteristik daerah rawan akan gerakan tanah, yaitu:
1. Adanya gunungapi yang menghasilkan endapan batu vulkanik yang umumnya belum
padu dan dengan proses fisik dan kimiawi maka batuan akan melapuk, berupa lempung
pasiran atau pasir lempungan yang bersifat sarang, gembur, dan mudah meresapkan air.
2. Adanya bidang luncur (diskontinuitas) antara batuan dasar dengan tanah pelapukan,
bidang luncuran tersebut merupakan bidang lemah yang licin dapat berupa batuan
lempung yang kedap air atau batuan breksi yang kompak dan bidang luncuran tersebut
miring kea rah lereng yang terjal.
3. Pada daerah pegunungan dan perbukitan terdapat lereng yang terjal, pada daerah jalur
patahan/sesar juga dapat membuat lereng menjadi terjal dan dengan adanya pengaruh
struktur geologi dapat menimbulkan zona retakan sehingga dapat memperlemah kekuatan
batuan setempat.
4. Pada daerah aliran sungai tua yang bermeander dapat mengakibatkan lereng menjadi
terjal akibat pengikisan air sungai ke arah lateral, bila daerah tersebut disusun oleh batuan
yang kurang kuat dan tanah pelapukan yang bersifat lembek dan tebal maka mudah untuk
longsor.
5. Faktor air juga berpengaruh terhadap terjadinya tanah longsor, yaitu bila di lereng bagian
atas terdapat adanya saluran air tanpa bertembok, persawahan, kolam ikan (genangan air),
bila saluran tersebut jebol atau bila turun hujan air permukaan tersebut meresap ke dalam
tanah akan mengakibatkan kandungan air dalam massa tanah akan lewat jenuh, berat
massa tanah bertambah dan tahanan geser tanah menurun serta daya ikat tanah menurun
sehingga gaya pendorong pada lereng bertambah yang dapat mengakibatkan lereng
tersebut goyah dan bergerak menjadi longsor. Karakteristik lahan longsor dapat dilihat
pada Tabel.1
Tabel. 1 karakteristik tanah longsor
1. Fenomena sebab akibat Meluncurnya tanah pada lereng dan bebatuan
sebgai akibat getaran-getaran yang terjadi
secara alami, perubahan-perubahan secara
langsung kandungan air, hilangnya dukungan
yang berdekatan, pengisian beban,
pelapukan, atau manipulasi manusia terhadap
jalur-jalur air dan komposisi lereng.
2. Karakteristik umum Tanah longsor berbeda-beda dalam tipe
gerakannya (jatuh, meluncur, tumbang,
menyebar ke samping, mengalir), dan
mungkin pengaruh-pengaruh sekundernya
adalah badai yang kencang, gempa bumi dan
letusan gunung berapi. Tanah longsor lebih
menyebar dibandingkan dengan kejadian
geologi lainnya.
3. Bisa diramalkan Frekuensi kemunculannya, tingkat, dan
konsekuensi dari tanah longsor bisa
diperkirakan dan daerah-daerah yang
beresiko tinggi ditetapkan dengan
penggunaan informasi pada area geolog,
geomorphologi, hidrologi, & klimatologi dan
vegetasi.
4. Faktor-faktor yang Tempat tinggal yang dibangun pada lereng
memberikan kontribusi terjal, tanah yang lembek, puncak batu
terhadap kerentanan karang.
Tempat hunian yang dibangun pada dasar
lereng yang terjal, pada mulut-mulut sungai
dari lembah-lembah gunung.
Jalan-jalan, jalur-jalur komunikasi di daerah-
daerah pegunungan. Bangunan dengan
pondasi lemah.
Jalur-jalur pipa yang ditanam, pipa-pipa yang
mudah patah.
Kurangnya pemahaman akan bahaya tanah
longsor.
5. Pengaruh-pengaruh Kerusakan fisik- Segala sesuatu yang berada
umum yang merugikan di atas atau pada jalur tanah longsor akan
menderita kerusakan. Puing-puing bisa
menutup jalan-jalan, jalur komunikasi atau
jalan-jalan air. Pengaruh-pengaruh tidak
langsung bisa mencakup kerugian
produktifitas pertanian atau lahan-lahan
hutan, banjir, berkurangnya nilai property.
Korban –kematian terjadi karena runtuhnya
lereng. Luncuran puing-puing yang hebat
atau aliran Lumpur telah membunuh beribu-
ribu orang.
6. Tindakan pengurangan Pemetaan bahaya
resiko yang Legislasi dan peraturan penggunaan bahaya
memungkinkan Asuransi
7. Tindakan kesiapan Pendidikan komunitas
khusus Monitoring. System peringatan dan sistem
evakuasi
8. Kebutuhan khusus pasca SAR (penggunaan peralatan untuk
bencana memindahkan tanah)
Bantuan medis, emergensi tempat berlindung
bagi yang tidak memiliki tempat tinggal.
9. Alat-alat penilaian Formulir-formulir pengkajian kerusakan
dampak
Sumber: UNDP 1992

D. Jenis-Jenis Longsoran
Menurut Subowo (2003), ada 6 (enam) jenis tanah longsor, yaitu: longsoran translasi,
longsoran rotasi, pergerakan blok, runtuhan batu, rayapan tanah, dan aliran bahan rombakan.
Dari keenam jenis longsor tersebut, jenis longsor translasi dan rotasi paling banyak terjadi di
Indonesia, hal tersebut dikarenakan tingkat pelapukan batuan yang tinggi, sehingga tanah yang
terbentuk cukup tebal. Sedangkan longsor yang paling banyak menelan korban harta, benda dan
jiwa manusia adalah aliran bahan rombakan, hal tersebut dikarenakan longsor jenis aliran bahan
rombakan ini dapat menempuh jarak yang cukup jauh yaitu bisa mencapai ratusan bahkan ribuan
meter, terutama pada daerah-daerah aliran sungai di daerah sekitar gunungapi. Kecepatan
longsor jenis ini sangat dipengaruhi oleh kemiringan lereng, volume dan tekanan air, serta jenis
materialnya.
Tabel 2. Jenis-Jenis Longsoran
No. Jenis Sketsa Keterangan
Longsoran
1. Longsoran Longsoran translasi adalah
Translasi bergeraknya massa tanah dan
batuan  pada bidang  gelincir
berbentuk rata atau
menggelombang landai.
2. Longsoran Longsoran     rotasi     adalah
Rotasi bergeraknya massa tanah dan
batuan  pada bidang  gelincir
berbentuk cekung.
3. Pergerakkan Pergerakan     blok     adalah
Blok bergeraknya batuan pada
bidang gelincir berbentuk rata.
Longsoran ini disebut
longsoran translasi blok batu
4. Runtuhan Runtuhan batu adalah
Batu runtuhnya sejumlah  besar
batuan atau material lain
bergerak ke bawah dengan
cara   jatuh   bebas. Umumnya
terjadi pada lereng yang terjal
hingga menggantung.
5. Rayapan Rayapan tanah  adalah  jenis
Tanah gerakan tanah yang bergerak
lambat. Jenis gerakan tanah ini
hampir  tidak  dapat  dikenali.
Rayapan    tanah    ini    bisa
menyebabkan   tiang  telepon,
pohon, dan rumah miring.
6. Aliran Gerakan tanah ini terjadi
Bahan karena massa tanah bergerak
Rombakan didorong oleh   air. Kecepatan  
aliran
dipengaruhi kemiringan lereng,
volume dan tekanan air, serta
jenis materialnya. Gerakannya
terjadi di sepanjang lembah
dan mampu mencapai ribuan
meter.
Sumber : Subowo ( 2003 )

E. Penyebab Tanah Longsor


Faktor penyebab terjadinya gerakan pada lereng juga tergantung pada kondisi batuan dan
tanah penyusun lereng, struktur geologi, curah hujan, vegetasi penutup dan penggunaan lahan
pada lereng tersebut, namun secara garis besar dapat dibedakan sebagai faktor alami dan
manusia.
Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (2005), tanah longsor dapat terjadi
karena faktor alam dan faktor manusia sebagai pemicu terjadinya tanah longsor, yaitu:
1. Faktor Alam
Kondisi alam yang menjadi faktor utama terjadinya longsor antara lain:        
a. Kondisi geologi: batuan lapuk, kemiringan lapisan, sisipan lapisan batu lempung, lereng
yang terjal yang diakibatkan oleh struktur sesar dan kekar (patahan dan lipatan), gempa
bumi, stratigrafi dan gunungapi, lapisan batuan yang kedap air miring ke lereng yang
berfungsi sebagai bidang longsoran, adanya retakan karena proses alam (gempa bumi,
tektonik).
b. Keadaan tanah: erosi dan pengikisan, adanya daerah longsoran lama, ketebalan tanah
pelapukan bersifat lembek, butiran halus, tanah jenuh karena air hujan.
c. Iklim: curah hujan yang tinggi, air (hujan. di atas normal).
d. Keadaan topografi: lereng yang curam.
e. Keadaan tata air: kondisi drainase yang tersumbat, akumulasi massa air, erosi dalam,
pelarutan dan tekanan hidrostatika, susut air cepat, banjir, aliran bawah tanah pada sungai
lama).
f. Tutupan lahan yang mengurangi tahan geser, misal lahan kosong, semak belukar di tanah
kritis.

2. Faktor Manusia
Ulah manusia yang tidak bersahabat dengan alam antara lain:
a. Pemotongan tebing pada penambangan batu di lereng yang terjal.
b. Penimbunan tanah urugan di daerah lereng.
c. Kegagalan struktur dinding penahan tanah.
d. Perubahan tata lahan seperti penggundulan hutan menjadi lahan basah yang
menyebabkan terjadinya pengikisan oleh air permukaan dan menyebabkan tanah
menjadi lembek.
e. Adanya budidaya kolam ikan dan genangan air di atas lereng.
f. Sistem pertanian yang tidak memperhatikan irigasi yang aman.
g. Pengembangan wilayah yang tidak diimbangi dengan kesadaran masyarakat, sehingga
RUTR tidak ditaati yang akhirnya merugikan sendiri.
h. Sistem drainase daerah lereng yang tidak baik yang menyebabkan lereng semakin terjal
akibat penggerusan oleh air saluran di tebing.
i. Adanya retakan akibat getaran mesin, ledakan, beban massa yang bertambah dipicu
beban kendaraan, bangunan dekat tebing, tanah kurang padat karena material urugan
atau material longsoran lama pada tebing.
j. Terjadinya bocoran air saluran dan luapan air saluran

Kelerengan (Slope)
Menurut Karnawati (2001), kelerengan menjadi faktor yang sangat penting dalam proses
terjadinya tanah longsor. Pembagian zona kerentanan sangat terkait dengan kondisi kemiringan
lereng. Kondisi kemiringan lereng lebih 15o perlu mendapat perhatian terhadap kemungkinan
bencana tanah longsor dan tentunya dengan mempertimbangkan faktor-faktor lain yang
mendukung. Pada dasarnya sebagian besar wilayah Indonesia merupakan daerah perbukitan atau
pegunungan yang membentuk lahan miring. Namun tidak selalu lereng atau lahan yang miring
bepotensi tanah longsor. Potensi terjadinya gerakkan pada lereng juga tergantung pada kondisi
batuan dan tanah penyusun lerengnya, struktur geologi, curah hujan, vegetasi penutup, dan
penggunaan lahan pada lereng tersebut.
Lebih jauh Karnawati (2001), menyebutkan terdapat 3 tipologi lereng yang rentan untuk
bergerak (longsor), yaitu:
a. Lereng yang tersusun oleh tumpukan tanah gembur dialasi oleh batuan atau tanah yang
lebih kompak.
b. Lereng yang tersusun oleh pelapisan batuan miring searah lereng
c. Lereng yang tersususn oleh blok-blok batuan
Kemantapan suatu lereng tergantung kepada gaya penggerak dan gaya penahan yang ada
pada lereng tersebut. Gaya penggerak adalah gaya-gaya yang yang berusaha membuat lereng
longsor, sedangkan gaya penahan adalah gaya-gaya yang mempertahankan kemantapan lereng
tersebut. Jika gaya penahan ini lebih besar dari pada gaya penggerak, maka lereng tersebut tidak
akan mengalami gangguan atau berarti lereng tersebut mantap (Das, 1993; Notosiswojo dan
Projosumarto, 1984 dalam Mustafril, 2003).

Penutupan Vegetasi
Menurut Sitorus (2006), vegetasai berpengaruh terhadap aliran permukaan, erosi, dan
longsor melalui, (1) intersepsi hujan oleh tajuk vegetasi/tanaman, (2) batang mengurangi
kecepatan aliran permukaan dan kanopi mengurangi kekuatan merusak butir hujan, (3) akar
meningkatkan stabilitas struktur tanah dan pergerakan tanah, (4) transpirasi mengakibatkan
kandungan air tanah berkurang. Keseluruhan hal ini dapat mencegah dan mengurangi terjadinya
erosi dan longsor.
Tanaman mampu menahan air hujan agar tidak merembes untuk sementara, sehingga bila
dikombinasikan dengan saluran drainase dapat mencegah penjenuhan material lereng dan erosi
buluh (Rusli, 2007).
Rusli (1997), keberadaan vegetasi juga mencegah erosi dan pelapukan lebih lanjut batuan
lereng, sehingga lereng tidak bertambah labil. Dalam batasan tertentu, akar tanaman juga mampu
membantu kestabilan lereng. Namun, terdapat fungsi-fungsi yang tidak dapat dilakukan sendiri
oleh tanaman dalam mencegah longsor.
Pola tanam yang tidak tepat justru berpotensi meningkatkan bahaya longsor. Jenis
tanaman apapun yang ditanam saat rehabilitasi harus sesuai dengan kondisi geofisik dan sejalan
dengan tujuan akhir rehabilitasi lahan. Pohon yang cocok ditanam di lereng curam adalah yang
tidak terlalu tinggi, namun memiliki jangkauan akar yang luas sebagai pengikat tanah (Surono,
2003).

Faktor Tanah
Jenis tanah sangat menentukan terhadap potensi erosi dan longsor. Tanah yang gembur
karena mudah melalukan air masuk ke dalam penampang tanah lebih berpotensi longsor
dibandingkan dengan tanah yang padat (massive) seperti tanah bertekstur liat (clay). Hal ini
dapat terlihat juga dari kepekaan erosi tanah. Nilai kepekaan erosi tanah (K) menunjukkan
mudah tidaknya tanah mengalami erosi, ditentukan oleh berbagai sifat fisik dan kimia tanah.
Makin kecil nilai K makin tidak peka suatu tanah terhadap erosi. (Sitorus, 2006).
Kedalaman atau solum, tekstur, dan struktur tanah menentukan besar kecilnya air
limpasan permukaaan dan laju penjenuhan oleh air. Pada tanah bersolum dalam (>90 cm),
struktur gembur, dan penutupan lahan rapat, sebagian besar air hujan terinfiltrasi ke dalam tanah
dan hanya sebagian kecil yang menjadi air limpasan permukaan. Sebaliknya, pada tanah
bersolum dangkal, struktur padat, dan penutupan lahan kurang rapat, hanya sebagian kecil air
hujan yang terinfiltrasi dan sebagian besar menjadi air permukaan. (Litbang Departemen
Pertanian, 2006).

Curah Hujan
Karnawati (2003) menyatakan salah satu faktor penyebab terjadinya bencana tanah
longsor adalah air hujan. Air hujan yang telah meresap ke dalam tanah lempung pada lereng akan
tertahan oleh batuan yang lebih kompak dan lebih kedap air. Derasnya hujan mengakibatkan air
yang tertahan semakin meningkatkan debit dan volumenya dan akibatnya air dalam lereng ini
semakin menekan butiran-butiran tanah dan mendorong tanah lempung pasiran untuk bergerak
longsor.
Batuan yang kompak dan kedap air berperan sebagai penahan air dan sekaligus sebagai
bidang gelincir longsoran, sedangkan air berperan sebagai penggerak massa tanah yang
tergelincir di atas batuan kompak tersebut. Semakin curam kemiringan lereng maka kecepatan
penggelinciran juga semakin cepat. Semakin gembur tumpukan tanah lempung maka semakin
mudah tanah tersebut meloloskan air dan semakin cepat air meresap ke dalam tanah. Semakin
tebal tumpukan tanah, maka juga semakin besar volume massa tanah yang longsor. Tanah yang
longsor dengan cara demikian umumnya dapat berubah menjadi aliran lumpur yang pada saat
longsor sering menimbulkan suara gemuruh.
Selanjutnya, menurut Suryolelono (2005), pengaruh hujan dapat terjadi di bagian-bagian
lereng yang terbuka akibat aktivitas mahluk hidup terutama berkaitan dengan budaya masyarakat
saat ini dalam memanfaatkan alam berkaitan dengan pemanfaatan lahan (tata guna lahan),
kurang memperhatikan pola-pola yang sudah ditetapkan oleh pemerintah. Penebangan hutan
yang seharusnya tidak diperbolehkan tetap saja dilakukan, sehingga lahan-lahan pada kondisi
lereng dengan geomorfologi yang sangat miring, menjadi terbuka dan lereng menjadi rawan
longsor.

Faktor Geologi
Faktor geologi yang mempengaruhi terjadinya gerakkan tanah adalah struktur geologi,
sifat batuan, hilangnya perekat tanah karena proses alami (pelarutan), dan gempa. Struktur
geologi yang mempengaruhi terjadinya gerakkan tanah adalah kontak batuan dasar dengan
pelapukan batuan, retakan/rekahan, perlapisan batuan, dan patahan. Zona patahan merupakan
zona lemah yang mengakibatkan kekuatan batuan berkurang sehingga menimbulkan banyak
retakan yang memudahkan air meresap (Surono, 2003).
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian
1. Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam peneltian ini terdiri dari:
 Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) Bakosurtanal, skala 1 : 25.000;
 Data Digital Elevation Model (DEM) Shuttle Radar Topographic Mission (SRTM) dengan
 resolusi spasial 30 m;
 Data statistik Potensi Desa (PODES) tahun 2011 dari Badan Pusat Statistik (BPS, 2011).
Data PODES adalah data statistik kewilayahan yang banyak digunakan untuk analisis
sosial;
 Data curah hujan bulanan yang dikumpulkan dari dari stasiun pengukur curah hujan di
Kabupaten Ciamis dan data curah hujan global dari Global Precipitation Climatology
Center (GPCC). Data curah hujan bulanan dari stasiun hujan dikumpulkan selama 2 tahun
yaitu tahun 2008 dan 2009. Data curah hujan bulanan tahun 2008 merupakan rerata dari 14
stasiun hujan, sedangkan data curah hujan bulanan tahun 2009 merupakan rerata dari 8
stasiun hujan. Data curah hujan dari GPPC merupakan rerata bulanan selama 107 tahun
yaitu dari 1901 – 2007. Data curah hujan ini merupakan rerata dari seluruh wilayah Jawa
Barat dan sekitarnya, mencakup wilayah seluas 18 grid walaupun tidak semua grid ada
datanya. Data curah hujan GPCC ini berbasis grid 0,5 x 0,5 derajat Lintang- Bujur. Data
curah hujan global yang diperoleh dari GPCC digunakan untuk menganalisis pengaruh
iklim secara global terhadap kondisi setempat dan trend perubahannya termasuk
dampaknya terhadap longsor.
2. Analisis Data
Secara umum, tahapan analisis data dapat dibagi menjadi dua. Tahap pertama yaitu
analisis data untuk menyiapkan parameter untuk menyusun faktor risiko longsor yang terdiri
dari peta kerawanan, peta kerentanan dan peta kapasitas. Tahap kedua adalah tahap analisis
risiko longsor yang dilakukan berdasarkan faktor-faktor risiko tersebut.
3. Penarikan Kesimpulan
Tahapan yang dilakukan setelah interpretasi data yaitu penarikan kesimpulan, yaitu
memberikan jawaban atas hasil penelitian yang dilakukan. Kesimpulan berisi tentang diskusi
kebihan dan kelemahan penelitian, hal-hal yang mendukung, prospek penelitian ke depan, saran
teoritis untuk penelitian selanjutnya, serta saran praktis untuk diaplikasikan oleh masyarakat
umum.

B. Bagan Alur

C. Alat dan Bahan


Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi sampel tanah untuk pengujian di
laboratorium tanah sehingga didapatkan data-data berupa permeabilitas dan tekstur tanah untuk
menghitung besarnya erodibilitas tanah. Selain itu, mengukur kemiringan lereng serta panjang
lereng yang berguna untuk membuat profiling lereng.
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari peralatan untuk mendapatkan
data di lapangan dan di laboratorium. Untuk penyelidikan tanah di lapangan dibutuhkan
peralatan bor tanah dan alat GPS. Sedangkan di laboratorium dibutuhkan peralatan untuk
pengujian soil properties, uji distribusi butiran, dan uji permeabilitas.

D. Populasi dan Sampel

E. Metode Pengukuran Data


Penelitian ini menggunakan dua jenis data yaitu data primer dan data sekunder. Data
primer diperoleh langsung dari pengukuran di lapangan dan analisis di laboratorium. Sedangkan
data sekunder didapatkan dari instansi terkait dan beberapa literatur yang berhubungan dengan
tema penelitian.
1. Data Primer
a. Pengukuran Topografi dan Pemetaan
Untuk memulai pengukuran topografi dan pemetaan, terlebih dahulu ditentukan titik ikat
poligon dan pemasangan patok pada titik-titik yang diukur elevasi serta koordinatnya.
Pengukuran pertama yaitu dengan memakai alat GPS (Global Positioning System) untuk
menentukan posisi titik ikat pada koordinat global. Dari data pengukuran dengan alat theodolit
dibuat peta lokasi lengkap dengan informasi mengenai kontur, letak petak perumahan, sistem
drainase dan DAS, serta letak jalan dekat sungai. Data pengukuran GPS digunakan juga untuk
pengecekan koordinat titik pada peta lokasi sehingga didapatkan hasil yang lebih akurat.
b. Penyelidikan Tanah di Lapangan
Penyelidikan tanah di lapangan dilakukan dengan melakukan pengeboran tanah.
Pengeboran berguna untuk mengetahui struktur lapisan tanah, kedalaman muka air tanah, dan
mengambil sampel tanah untuk diselidiki sifatnya. Cara kerja pengeboran tanah dijelaskan
sebagai berikut.
a) Menentukan titik boring, yaitu pada lokasi yang dianggap kritis untuk dikaji.
b) Pada permukaan tanah yang di bor, dilubangi sedikit dengan linggis sebagai pertolongan
masuknya mata bor.
c) Mata bor disambung dengan pipa bor 1 meter dan stang pemutar dipasang.
d) Mata bor diletakkan di muka tanah yang sudah dilubangi kemudian stang diputar searah
jarum jam dan kedudukan pipa bor selalu tegak lurus dengan permukaan tanah.
e) Apabila mata bor sudah penuh, maka bor diangkat kemudian diamati warna dan jenis tanah
serta perubahan-perubahan tanah yang ada sesuai dengan kedalaman.
f) Ketika pengeboran mencapai muka air tanah, diukur kedalamannya.
g) Pengeboran dilakukan sampai dengan kedalaman 3 meter, dimana setiap interval 1 meter
diadakan pengambilan sampel.
c. Penyelidikan Tanah di Laboratorium
Sampel yang diambil ketika melaksanakan boring dilakukan pengamatan di laboratorium
untuk mendapatkan hasil uji soil properties, uji distribusi butiran, dan uji permeabilitas. Hasil
pengujian ini dimanfaatkan untuk pengisian data parameter tanah pada perhitungan dengan
metoda elemen hingga.

2. Data Sekunder
Data-data sekunder dapat diperoleh dari instansi-instansi yang terkait atau literatur yang
berhubungan dengan tema penelitian ini. Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai lokasi studi
dan membandingkannya dengan laporan hasil simulasi yang menggunakan metoda elemen
hingga, maka diperlukan data-data sekunder, yaitu:
a) Peta Lokasi, menggambarkan situasi, topografi dan sistem drainase dari lokasi studi.
b) Peta Tata Guna Lahan, menjelaskan mengenai konsep awal dari kegunaan lahan yang
menjadi lokasi studi dalam kaitannya dengan perencanaan wilayah kota secara
menyeluruh.
c) Peta Geologi dan Tata Lingkungan Kota Malang, memberikan gambaran keadaan topografi
dan kondisi geologi di lokasi studi.
d) Peta Zona Kerentanan Gerakan Tanah Kota Malang, memberikan gambaran mengenai
potensi terjadinya gerakan tanah yang dapat menyebabkan kelongsoran di lokasi studi.
3. Pengolahan Data
Data primer maupun data sekunder yang ada harus diolah terlebih dahulu sebelum
dianalisis dengan menggunakan metode elemen hingga. Berikut ini adalah tahapan-tahapan
pengolahan data sehingga dapat menjadi input untuk menganalisa stabilitas lereng.
a. Penggambaran Kemiringan Lereng
Pada pengamatan selanjutnya, dilakukan pengukuran terhadap kemiringan lereng di
lokasi studi. Setelah didapatkan hasil pengukurannya kemudian dibuat gambar sketsa dari
kemiringan lereng tersebut.
b. Pembuatan Penampang Profil Tanah (soil profile)
Penampang profil tanah adalah suatu penampang yang menunjukkan urutan lapisan tanah
atau batuan sepanjang penampang yang dikehendaki dari muka tanah sampai batas kedalaman
penyelidikan berdasarkan jenis, sifat fisik dan teknik lapisan tanah atau batuan. Penampang ini
dihasilkan dari korelasi lapisan yang didapat dari beberapa penyelidikan pemboran. Gambaran
dan bentuk lapisan tanah hasil korelasi dari titik-titik pemboran, sangat ditentukan dari kondisi
geologi setempat, jarak titik penyelidikan, metode penyelidikan, dan kecermatan pelaksanaan
penyelidikan.
Dalam penelitian ini, data-data tanah hasil pengujian lapangan dan laboratorium direkap
ulang kemudian dibuat perkiraan penampang profil tanah. Penampang profil tanah ini berguna
untuk memodelkan lereng dengan metoda elemen hingga.
c. Parameter Tanah
Data parameter tanah didapatkan dari laporan hasil penyelidikan tanah yang sudah
diperiksa serta dicocokan dengan data lapangan dan parameter lain yang masih berkaitan. Ini
dilakukan untuk mencegah kekeliruan yang bisa terjadi antara data laboratorium dan data hasil
tes di lapangan.
1) Berat Volume Tanah Kering ( Dry Soil Weight )
2) Berat Volume Tanah Basah ( Wet Soil Weight )
3) Permeabilitas Arah Horizontal ( Permeability in Horizontal Direction )
4) Permeabilitas Arah Vertikal ( Permeability in Vertical Direction )

F. Analisis Data
Secara umum, tahapan analisis data dapat dibagi menjadi dua. Tahap pertama yaitu
analisis data untuk menyiapkan parameter untuk menyusun faktor risiko longsor yang terdiri
dari peta kerawanan, peta kerentanan dan peta kapasitas. Tahap kedua adalah tahap analisis
risiko longsor yang dilakukan berdasarkan faktor-faktor risiko tersebut.
Peta bahaya longsor dibuat berdasarkan kombinasi data bentuk lahan, data penggunaan
lahan, data kemiringan lereng, dan kerapatan aliran yang merupakan parameter risiko longsor,
seperti disajikan pada Tabel 1. Semua data disusun dalam bentuk layer data spasial yang siap
dianalisis dengan bantuan Sistem Informasi Geografis (SIG). Proses pemetaan dimulai dari
penyusunan petapeta input yang menjadi parameter dalam analisis risiko longsor hingga hasil
analisis yang diturunkan dan direpresentasikan pada peta potensi risiko longsor.
Diagram alir penelitian ini disajikan pada Analisis parameter risiko longsor diawali
dengan pembuatan peta bentuk lahan, yang dianalisis dengan menggunakan gabungan dari relief
dan penutup lahan. Dalam hal ini relief permukaan bumi diidentifikasi secara visual dengan
menggunakan data DEM SRTM. Data ini dapat menunjukkan bentuk lahan karena relief
permukaan bumi menjadi lebih jelas tergambar. Sedangkan informasi penutup lahan juga
diambil dari layer Peta RBI skala 1:25.000. Analisis bentuk lahan ini juga menggunakan citra
Landsat karena citra Landsat dapat memperlihatkan pola dan kondisi permukaan bumi yang
lebih bervariasi, sehingga identifikasi bentuk lahan dapat dilakukan dengan lebih mudah dan
jelas. Citra penginderaan jauh sesungguhnya telah banyak digunakan dalam studi terkait longsor
(Vohora & Donoghue, 2004; Debella-Gilo & Kääb, 2011, 2012; Tofani et al., 2013).
Data DEM juga digunakan untuk menghitung kemiringan lereng secara digital. Hasil
perhitungan lereng ini berupa data raster yang kemudian dikonversi menjadi data vektor dalam
bentuk poligon. Lereng diklasifikasi ke dalam tiga kelas, yaitu <40%, 40%-70% dan >70%.
Pertimbangan klasifikasi ini adalah bahwa pada kemiringan lereng <40% kemungkinan besar
tidak terjadi longsor. Selanjutnya peta kerapatan aliran disusun berdasarkan jaringan sungai dan
DEM. Kerapatan aliran sangat penting untuk analisis longsor karena mengindikasikan banyak
hal, terutama tingkat infiltrasi dan erosi masa lalu. Secara umum, pada kerapatan aliran yang
tinggi mengindikasikan jenis tanah dengan infiltrasi rendah sehingga air hujan lebih banyak
yang menjadi runoff. Tanah dengan infiltrasi rendah biasanya banyak mengandung clay atau
tanah liat. Sifat tanah dengan kandungan clay tinggi adalah akan mudah terdispersi jika ditimpa
air, dan dalam massa yang besar akan menyebabkan tanah longsor. Pada penelitian ini kelas
kerapatan aliran tertinggi diberi skor 9.
Parameter risiko lainnya adalah kepadatan penduduk dan kapasitas masyarakat yang
diturunkan dari data statistik PODES. Peta Kepadatan Penduduk dibuat dengan menggunakan
unit pemetaan berdasarkan batas administrasi desa, demikian juga dengan Peta Kapasitas
Masyarakat.
Penyusunan Peta Rawan Longsor selanjutnya dilakukan berdasarkan parameter yang
telah selesai disusun. Dalam hal ini, proses overlay dilakukan terhadap parameter fisik lahan
untuk menyusun Peta Rawan Longsor. Selanjutnya peta ini di-overlay dengan Peta Kepadatan
Penduduk menjadi Peta Tingkat Kerentanan Penduduk. Setelah data kerentanan dan kapasitas
selesai maka proses selanjutnya adalah menghitung potensi risiko berdasar skor dari masing-
masing parameter. Pada penelitian risiko longsor diformulasikan menggunakan Persamaan 1.
Risk = Hazard x Vulnerability/Capacity ....... (1)
Hazard dalam formula ini adalah bencana alam yaitu bahaya tanah longsor, yang
direpresentasikan secara spasial sebagai Peta Rawan Longsor dengan klasifikasi tingkat bahaya
dari rendah, sedang, dan tinggi. Vulnerability (kerentanan) diwakili oleh keterpaparan
masyarakat terhadap kondisi bahaya. Asumsi logis dalam hal ini yaitu tidak ada orang yang
tidak rentan terhadap bahaya longsor. Demikian juga dengan asumsi bahwa dimana banyak
penduduk maka berasosiasi dengan keberadaan properti mereka. Dengan demikian, tingkat
kerentanan dapat diprediksi berdasarkan pada jumlah orang yang berpotensi terkena bahaya
longsor. Jumlah orang yang terkena bahaya longsor dihitung berdasarkan kepadatan penduduk
yang tinggal di setiap wilayah pada masing-masing tingkat bahaya longsor.
Pemeringkatan tingkat kerentanan dilakukan dengan analisis menggunakan bantuan
SIG sehingga diperoleh sebaran kerentanan yang direprentasikan pada peta. Hal tersebut dapat
dihitung dengan cara melakukan perkalian atau penambahan skor bahaya longsor dengan skor
kepadatan penduduk. Dalam hal ini, unit pemetaan yang digunakan untuk pemetaan kerentanan
adalah desa. Kepadatan penduduk dihitung berdasarkan wilayah desa yaitu jumlah penduduk
pada setiap wilayah desa/kelurahan, misalnya 500 orang/km 2. Kelas kepadatan penduduk diberi
skor seperti pada Tabel 3.
Peta bahaya tanah longsor yang telah dibuat kemudian di-overlay dengan Peta
Kepadatan Penduduk untuk menghasilkan Peta Keterpaparan Penduduk. Dalam data PODES
setidaknya terdapat empat parameter yang digunakan sebagai tolok ukur dalam menentukan
kesiapsiagaan masyarakat terhadap bencana alam, sebagaimana ditampilkan pada Tabel 4.
Tabel 3. Klasifikasi skor kepadatan penduduk.
Kepadatan Penduduk Kelas Skor
<= 500 orang/km2 Rendah 1
500 – 1000 orang/km2 Menengah 3
>1000 orang/km2 Tinggi 6

Tabel 4. Parameter kesiapsiagaan masyarakat terhadap bencana alam.


Parameter Ada/Tidak Skor
1. Apakah ada ketersediaan
peralatan yang digunakan untuk
Ya/Tidak 2/1
mengatasi bencana di desa
tersebut?
2. Apakah ada pendidikan tentang
Ya/Tidak 2/1
kencanaan di desa tersebut?
3. Apakah ada lembaga kegotong-
Ya/Tidak 2/1
royongan di desa tersebut?
4. Apakah ada atau tidak adanya
sistem peringatan dini terhadap Ya/Tidak 2/1
bahaya di desa tersebut?
5. Apakah ada atau tidak jalur
Ya/Tidak 2/1
evakuasi dan lainnya?

Peta Kapasitas Masyarakat selanjutnya disusun berdasarkan parameter kesiapsiagaan ini


yaitu dengan mengintegrasikan data tersebut ke dalam data spasial berbasis desa. Skor total
untuk masing-masing desa kemudian diklasifikasikan menjadi tiga tingkatan kapasitas yaitu
rendah, sedang, dan tinggi. Pada tahap terakhir disusun Peta Risiko dengan menggunakan
Persamaan 1.
DAFTAR RUJUKAN
Darsoatmojo, A. Dan Soedrajat, G. M. 2002. Bencana Tanah Longsor Tahun 2001.Year Book
Mitigasi Bencana Tahun 2001.
DVMBG. 2005. Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi 2005: Manajemen
Bencana Tanah Longsor.
Karnawati, D. 2001. Bencana Alam Gerakkan Tanah Indonesia Tahun 2000 (Evaluasi dan
Rekomendasi). Jurusan Teknik Geologi. Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada.
Yogyakarta.
Karnawati, D. 2003. Himbauan Untuk Antisipasi Longsoran Susulan. Tim Longsoran Teknik
Geologi UGM Yogyakarta. Tidak Diterbitkan.
Litbang Departemen Pertanian. 2006. Pedoman Umum Budidaya Pertanian di Lahan
Pegunungan. Online, (http://www.litbang.deptan.go.id/regulasi/one/12/file/BAB-II.pdf),
diakses pada tanggal 30 Maret 2017.
Naryanto, N.S. 2002. Evaluasi dan Mitigasi Bencana Tanah Longsor di Pulau Jawa Tahun 2001.
BPPT. Jakarta.
Sangadji, Ismail. 2003. Formasi Geologi, Penggunaan Lahan, dan Pola Sebaran Aktivitas
Penduduk di Jabodetabek, Skripsi. Departemen Tanah Fakultas Pertanian IPB.
Sitorus, Santun R. P. 2006. Pengembangan Lahan Berpenutupan Tetap Sebagai Kontrol
Terhadap Faktor Resiko Erosi dan Bencana Longsor. Direktorat Jenderal Penataan Ruang
Departemen Pekerjaan Umum. Jakarta.
Subowo, E. 2003. Pengenalan Gerakkan Tanah. Bandung: Pusat Vulkanologi dan Mitigasi
Bencana Geologi, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral.
Suripin. 2002. Pelestarian Sumberdaya Tanah dan Air. Yoyakarta: Andi.
Surono. 2003. Potensi Bencana Geologi di Kabupaten Garut. Prosiding Semiloka Mitigasi
Bencana Longsor di Kabupaten Garut. Pemerintah Kabupaten Garut.
Suryolelono, K. B. 2005. Bencana Alam Tanah Longsor Perspektif Ilmu Geoteknik. Pidato
Pengukuhan Jabatan Guru Besar Fakultas Teknik UGM. UGM Press.
[UNDP] United Nation Development Program. 1992. Introduction Hazard. Pustaka Belajar dan
Oxfam B. G. Penerjemah ; Paripurno ET, editor.

http://insanprasetiyo.blogspot.co.id/2014/11/contoh-proposal-skripsi-karakteristik.html

Anda mungkin juga menyukai