Anda di halaman 1dari 12

TUGAS MATA KULIAH BIOMEDIK 2

“BAKTERI YERSINIA PESTIS DAN LEPTOSPIRA SP”

Oleh:

Nama : Rinanti Rahayuning Bekti

NIM : 101411131014

S1 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2018
1. Yersinia Pestis
1.1 Sejarah, Pengertian, dan Karakteristik Bakteri Yersinia Pestis
Yersinia Pestis ditemukan di Hongkong pada tahun 1894 oleh seorang dokter
bernama Swiss Alexandre Yersin. Dia mengkaitkan Yersinia pestis dengan plauge
pes, epidemi yang melanda Eropa pada 1300-an. Organisme dapat diisolasi
selama wabah di Hongkong, sebuah wilayah geografis baru bagi organisme yang
telah menyebabkan terjadinya wabah di Eropa dan Afrika. "The Black Death"
tercatat menjadi wabah di China pada tahun 1330-an. Selama periode ini, China
merupakan negara perdagangan yang penting, dan perdagangan internasional
melalui Jalan Sutra membantu menciptakan pandemi pertama di dunia. Tikus Pes
terinfeksi terbawa kapal dagang menyebarkan penyakit ke Asia Barat dan Eropa.
Pada musim gugur 1347, kapal dagang Italia dengan awak kapal sekarat
karena wabah berlabuh di Sisilia, dan dalam beberapa hari penyakit menyebar ke
kota dan pedesaan sekitarnya. Penyakit ini membunuh orang begitu cepat bahwa
novelis Italia Giovanni Boccaccio, yang ayah dan ibu tirinya meninggal karena
wabah, menulis bahwa "korban makan siang dengan teman-teman mereka dan
makan malam dengan nenek moyang mereka di surga." Pada bulan Agustus,
wabah telah menyebar sejauh utara seperti Inggris. Wabah pes telah menyebabkan
beberapa epidemi besar di Eropa dan Asia selama 2.000 tahun terakhir. Wabah
telah paling terkenal disebut "Black Death" karena dapat menyebabkan luka di
kulit yang membentuk koreng hitam.
Yersinia Pestis merupakan bakteri gram negatif yang dapat menularkan
penyakit pes/plague pada manusia. Bakteri Yersinia Pestis biasa ditemukan pada
pinjal yang hidup pada tubuh tikus. Bakteri Yersinia Pestis tergolong kedalam
bakteri anaerob fakultatif karena ia mampu bertahan hidup dengan atau tanpa
oksigen. Berikut adalah beberapa karakteristik yang dimiliki oleh bakteri Yersinia
Pestis :
a. Berbentuk coccobacillus
b. Memiliki ukuran 0,5-0,8 x 1,0-2,0 μm
c. Tidak bergerak (non-motil)
d. Tidak membentuk spora
e. Mengalami pertumbuhan optimum pada suhu 28°C - 30°C

1
f. Yersinia pestis merupakan jenis bakteri yang menunjukkan pewarnaan bipolar
dengan pewarnaan Giemsa, Wright, atau Wayson.
g. Pada kultur darah ketika suhunya 30°C maka koloni dari bakteri Yersinia
Pestis akan semakin mengecil dalam waktu 24 jam.

1.2 Taksonomi Bakteri Yersinia Pestis


Kingdom : Eubacteria
Filum : Proteobacteria
Kelas : Gamma Proteobacteria
Ordo : Enterobactericeae
Genus : Yersinia
Spesies : Yersinia Pestis

1.3 Gambar Bakteri Yersinia Pestis

Gambar 1. Bakteri Yersinia Pestis Gambar 2. Bakteri Yersinia Pestis pada


Pengecatan Gram
1.4 Penyakit Yang Ditimbulkan oleh Bakteri Yersinia Pestis
1. Penyakit Pes/Plague/Sampar
Penyakit pes/plague/sampar merupakan infeksi yang disebabkan oleh bakteri
Yersinia Pestis. Penyakit ini ditularkan oleh tikus yang digigit oleh pinjal yang
terinfeksi bakteri Yersinia Pestis. Kutu tikus yang menularkan penyakit pes
disebut dengan pinjal (Xenopsyllya cheopsis). Pes telah menyebabkan beberapa
epidemic besar di negara Eropa dan Asia selama 2000 tahun terakhir. Penyakit pes
ini dikenal juga dengan “Black Death” karena dapat menyebabkan luka di kulit

2
yang membentuk koreng berwarna hitam. Penyakit pes di bedakan menjadi 3 jenis
yaitu :
1) Pes Bubon
Pes bubon merupakan bentuk wabah yang paling umum dari ketiga jenis
penyakit pes yaitu hampir lebih drai 80% dari semua kasus yang terjadi. Pes jenis
ini disebut dengan bubon karena penyakit pes jenis ini menyerang dan
menginfeksi kelenjar getah bening yang kemudia disebut dengan “buboes”. Pes
bubon ini memiliki masa inkubasi selama 2-7 hari dengan gejalanya yaitu kelenjar
getah bening yang berada di daerah dekat gigitan kutu akan berwarna merah dan
membengkak serta berisi cairan yang akan menimbulkan rasa sakit apabila
ditekan. Orang yang terinfeksi pes bubon akan menunjukkan gejala seperti flu,
demam tinggi, pusing, menggigil, nyeri otot hingga menyebabkan kelemahan
ekstrim dalam waktu 24 jam, muncul benjolan lunak berisi cairan pada tonsil,
limpa dan thymus.
2) Septicemic Plague
Septicemic plague dapat terjadi ketika bakteri Yersinia Pestis menyebar
melalui aliran darah dan menyebabkan infeksi darah yang disebut dengan
septicemia. Hal tersebut juga dapat terjadi jika Y.Pestis menyebar dari bubo atau
dari paru-paru ke dalam aliran darah setelah seseorang memiliki kontak langsung
dengan daging atau darah hewan yang terinfeksi. Gejala dari septicemic plague
antara lain adalah mual, muntah, diare, dan sakit perut. Septikemia dapat
berkembang menjadi pendarahan parah pada area bawah kulit, urin, mulutm
hidung, serta rectum. Pendarahan dapat diikuti dengan tanda-tanda seperti
penurunan berat badan, kenaikan tekanan darah, denyut nadi menjadi cepat, gagal
ginjal, kesulitas bernapas bahkan hingga menimbulkan kematian.
3) Pes Pneumonia
Pes jenis ini terjadi ketika bakteri Yersinia Pestis menginfeksi paru dan
menyebabkan pneumonia. Hal tersebut dapat terjadi ketika seseorang bernapas
dan menghirup droplet Y.Pestis dari hewan atau manusia yang terinfeksi. Gejala
yang timbul antara lain adalah demam tinggi, meggigil, sakit kepala, nyeri dada,
napas cepat, sesak napas yang hebat hingga batuk darah. Memiliki masa inkubasi
1-3 hari, diantara ketiga jenis pes pneumonis pes inilah yang paling berbahaya.

3
1.5 Mekanisme Penularan Bakteri Yersinia Pestis

Gambar 3. Mekanisme Penularan Bakteri Yersinia Pestis

Penyakit Pes dapat ditularkan oleh tikus yang digigit oleh pinjal yang
terinfeksi bakteri Yersinia Pestis. Pinjal (Xenopsylla cheopis) sering ditemukan
pada hewan pengerat seperti tikus. Manusia yang tergigit oleh tikus ataupun pinjal
yang terinfeksi oleh bakteri Yersinia Pestis dapat terkena penyakit Pes. Bakteri
Y.Pestis kemudian akan cepat menyebar melalui kelenjar limfe kemudian
berkembang biak baik secara intrasel maupun ekstrasel. Pada saat bakteri masuk,
sebenarnya daya tahan tubuh kita melakukan perlawanan, akan tetapi sel-sel
mononuklear yang merupakan sistem imun tubuh manusia tidak mampu untuk
membunuh kuman Yesernia pestis tersebut bahkan kuman justru mampu
berkembang biak membentuk dinding sel-dinding selnya yang merupakan
endotosin.  Untuk bertahan hidup dalam host dan mempertahankan infeksi
persisten, Yersinia pestis menggunakan berbagai mekanisme untuk menghindari
atau mengatasi sistem kekebalan tubuh inang, terutama sistem kekebalan tubuh
bawaan (imunitas nonspesifik seluler seperti sel mononuklear (monosit dan
makrofag) serta sel polimorfonuklear seperti neutrofil.). Yersinia pestis mengatasi
sistem kekebalan tubuh kita dengan melakukan blokade terhadap sistem

4
fagositosis imun kita melalui sistem sekresi tipe III dengan menyuntikan
setidaknya enam macam protein kedalam makrofag kita, dimana protein ini
dikenal dengan Yersinia Protein Outer (Yops). Racun Yop ini menonaktifkan
sistem imun tubuh manusia dan juga mempengaruhi adhesi sel. Kemampuan
Yersinia pestis untuk menghambat fagositosis memungkinkan bakteri ini untuk
tumbuh dalam kelenjar getah bening dan menyebabkan limfadenopati .
Apabila terjadi kegagalan fagositosis maka bakteri Yersinia Pestis akan
berkembang dengan cepat mencapai saluran getah bening dan akhirnya terjadi
haemorrgic yang hebat pada kelenjar getah bening sehingga menimbulkan bubo
(pembengkakan yang berisi cairan dan area sekitar pembengkakan berwarna
kemerahan). Pada kondisi yang parah maka infeksi bakteri Yersinia Pestis ini
akan menyebar ke aliran darah kemudian ke paru-paru hingga menimbulkan pes
pneumonia. Selain dari gigitan tikus yang terinfeksi oleh bakteri Yersinia Pestis,
penyakit pes jenis pes pneumonia dapat ditularkan droplet Yersinia Pestis dari
hewan atau manusia yang terinfeksi oleh bakteri tersebut.

2. Leptospirosis
2.1 Pengertian, dan Karakteristik Bakteri Leptospira sp.
Bakteri Leptospira sp. berasal dari kata “leptos” yang berarti tipis dan
“spira” yang berarti lilitan. Bakteri leptospirosa sp termasuk kedalam bakteri gram
negative yang pertumbuhannya membutuhkan oksigen sehingga tergolong dalam
bakteri aerobic obligat. Berdasarkan spesifisitas biokimia dan serologi,
Leptospira sp. dibagi menjadi Leptospira interrogans yang merupakan
spesies yang patogen dan Leptospira biflexa yang bersifat tidak patogen
(saprofit). Leptospira bersarang di tubulus ginjal pejamu mamalia dan keluar di
urin. Bakteri ini bertahan hidup selama berhari-hari atau berminggu-minggu pada
kondisi hangat, lembap, dan sedikit alkali, terutama di air segar yang tenang atau
mengalir lambat pada suhu sedang di musim panas serta di tanah yang lembap dan
air di daerah tropik, terutama pada musim hujan.
Sampai saat ini telah diidentifikasi lebih dari 200 serotipe pada
L.interrogans. Serotipe yang paling besar prevalensinya adalah canicola,
grippotyphosa, hardjo, icterohaemorrhagiae, dan pomona. Bakteri Leptospira sp
merupakan bakteri yang mudah untuk dibiakkan dan tumbuh dengan baik pada

5
suhu 28°C - 30°C dengan pH 7,4. Media yang bisa digunakan untuk
mengembangbiakkan bakteri ini adalah media semisolid yang kaya protein
misalnya Flecth atau Stuart. Lingkungan yang cocok untuk hidup Leptospira sp.
adalah lingkungan lembab seperti kondisi pada daerah yang tropis. Berikut adalah
karakteristik yang dimiliki oleh bakteri Leptospira sp. :
a. Memiliki bentuk yang tipis, berlilit padat.
b. Memiliki panjang 5-15 µm disertai dengan spiral halus.
c. Memiliki lebar 0,1-0,2 µm.
d. Salah satu ujung bakteri berbentuk bengkok dan membentuk kait.
e. Motil dengan maju mundur apabila dalam air maka bakteri akan bergerak lebih
cepat.
f. Dapat bergerak pada lingkungan dengan vsikositas tinggi.
g. Sel bakteri dibungkus oleh membrane luar yang terdiri dari 3-5 lapis.

Ciri khas bakteri Leptispira sp. ini adalah lokasi flagelnya, yang terletak
diantara membran luar dan lapisan peptidoglikan. Flagela ini disebut flagela
periplasmik. Leptospira memiliki dua flagel periplasmik, masing-masing
berpangkal pada setiap ujung sel. Kuman ini bergerak aktif, paling baik dilihat
dengan menggunakan mikroskop lapangan gelap.

2.2 Taksonomi Bakteri Leptospira sp.


Kingdom : Bacteria
Filum : Spirochaetes
Kelas : Spirochaetes
Ordo : Spirochaetes
Famili : Leptospiraceae
Genus : Leptospira

6
2.3 Gambar Bakteri Leptospira sp.

Gambar 4. Bakteri Leptospira sp. menggunakan mikroskop electron tipe


scanning

Gambar 5. Bakteri Leptospira sp. dilihat menggunakan mikroskop medan


gelap (dark-field microscopy)

2.4 Penyakit Yang Ditimbulkan oleh Bakteri Leptospira sp.


1. Leptospirosis
Leptospirosis adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh patogen
spirocaeta, genus leptospira. Spirochaeta pertama kali diisolasi di Jepang oleh
Inada setelah sebelumnya digambarkan oleh Adolf Weil tahun 1886. Weil
menemukan bahwa penyakit ini menyerang manusia dengan gejala demam,

7
ikterus, pembesaran hati dan limpa, serta kerusakan ginjal. Di Indonesia,
gambaran klinis leptospirosis dilaporkan pertama kali oleh Van der Scheer
di Jakarta pada tahun 1892, sedang isolasinya dilakukan oleh Vervoot pada
tahun 1922. Penyakit ini disebut juga sebagai Weil disease, Canicola fever,
Hemorrhagic jaundice, Mud fever, atau Swineherd disease.
Leptospirosis terdistribusi secara luas di seluruh dunia, terutama pada wilayah
dengan iklim tropis dan subtropis. Angka kejadian leptospirosis di seluruh dunia
belum diketahui secara pasti. Di daerah dengan kejadian luar biasa leptospirosis
ataupun pada daerah yang memiliki faktor risiko tinggi terpapar leptospirosis,
angka kejadian leptospirosis dapat mencapai lebih dari 100 per 100.000 per
tahun. Di daerah tropis dengan kelembaban tinggi angka kejadian leptospirosis
berkisar antara 10-100 per 100.000 sedangkan di daerah subtropis angka
kejadian berkisar antara 0,1-1 per 100.000 per tahun. Case fatality rate
(CFR) leptospirosis di beberapa bagian dunia dilaporkan berkisar antara
<5% - 30%. Penyakit leptospirosis memiliki gejala klinik yang terbagi menjadi:
1. Fase leptospiremi atau septicemia
Fase ini memiliki masa inkubasi 7-12 hari dengan rata-rata masa inkubasi
selama 10 hari. Untuk beberapa kasus, dapat menjadi lebih singkat yaitu 2 hari
atau bahkan bisa memanjang sampai 30 hari. Fase ini ditandai adanya demam
yang timbul dengan onset tiba-tiba, menggigil, sakit kepala, mialgia, ruam
kulit,mual, muntah, conjunctival suffusion, dan tampak lemah. Demam tinggi
dan bersifat remiten bisa mencapai 40ºC sebelum mengalami penurunan suhu
tubuh. Conjunctival suffusion merupakan tanda khas yang biasanya timbul pada
hari ke-3 atau ke-4 sakit. Selama fase ini, leptospira dapat dikultur dari
darah atau cairan serebrospinal penderita. Tes serologi menunjukkan hasil yang
negatif sampai setidaknya 5 hari setelah onset gejala. Pada fase ini mungkin
dijumpai adanya hepatomegali, akan tetapi splenomegali kurang umum
dijumpai. Pada hitung jumlah platelet,
2. Fase imun
Fase kedua ini ditandai dengan leptospira dan berhubungan dengan
timbulnya antibodi IgM dalam serum penderita. Pada kasus yang ringan (mild
case) fase kedua ini berhubungan dengan tanda dan gejala yang minimal,

8
sementara pada kasus yang berat (severe case) ditemukan manifestasi terhadap
gangguan meningeal dan hepatorenal yang dominan.
Pada manifestasi meningeal akan timbul gejala meningitis yang ditandai
dengan sakit kepala, fotofobia, dan kaku kuduk. Keterlibatan sistem saraf pusat
pada leptospirosis sebagian besar timbul sebagai meningitis aseptik. Pada fase
ini dapat terjadi berbagai komplikasi, antara lain neuritis optikus, uveitis,
iridosiklitis, dan neuropati perifer. Pada kasus yang berat, perubahan fase
pertama ke fase kedua mungkin tidak terlihat, akan tetapi timbul demam tinggi
segera disertai jaundice dan perdarahan pada kulit, membrana mukosa, bahkan
paru. Selain itu ini sering juga dijumpai adanya hepatomegali, purpura, dan
ekimosis. Gagal ginjal, oliguria, syok, dan miokarditis juga bisa terjadi dan
berhubungan dengan mortalitas penderita

2.5 Mekanisme Penularan Bakteri Leptospira sp.

Gambar 6. Mekanisme Penularan Bakteri Leptospirosa sp.

Hewan yang memiliki peranan penting dalam penularan leptospirosis


adalah jenis binatang pengerat, terutama tikus. Bakteri leptospira khususnya
spesies L. Ichterro haemorrhagiae banyak menyerang tikus besar seperti tikus
wirok (Rattus norvegicus) dan tikus rumah (Rattus diardii). Sedangkan hewan

9
peliharaan seperti kucing, anjing, kelinci, kambing, sapi, kerbau, dan babi dapat
menjadi hospes perantara dalam penularan leptospirosis. Selain itu penularan
juga bisa terjadi karena manusia mengonsumsi makanan dan minuman yang
terkontaminasi oleh bakteri leptospira
Transmisi infeksi leptospira ke manusia dapat melalui berbagai cara,
yang tersering adalah melalui kontak dengan air atau tanah yang tercemar
bakteri leptospira. Bakteri masuk ke tubuh manusia melalui kulit yang lecet atau
luka dan mukosa, bahkan dalam literatur disebutkan bahwa penularan penyakit
ini dapat melalui kontak dengan kulit sehat (intak) terutama bila kontak lama
dengan air. Selain melalui kulit atau mukosa, infeksi leptospira bisa juga masuk
melalui konjungtiva. Bakteri leptospira yang berhasil masuk ke dalam tubuh tidak
menimbulkan lesi pada tempat masuk bakteri. Hialuronidase dan atau gerak yang
menggangsir (burrowing motility) telah diajukan sebagai mekanisme masuknya
leptospira ke dalam tubuh.
Bakteri leptospira virulen akan mengalami multiplikasi di darah dan jaringan
sementara leptospira yang tidak virulen gagal bermultiplikasi dan dimusnahkan
oleh sistem kekebalan tubuh setelah 1 atau 2 hari infeksi. Leptospira virulen
mempunyai kemampuan motilitas yang tinggi, lesi primer adalah kerusakan
dinding endotel pembuluh darah dan menimbulkan vaskulitis serta merusak organ.
Patogenitas leptospira yang penting adalah perlekatannya pada permukaan sel
dan toksisitas selular. Lipopolysaccharide (LPS) pada bakteri leptospira
mempunyai aktivitas endotoksin yang berbeda dengan endotoksin bakteri gram
negatif, dan aktivitas lainnya yaitu stimulasi perlekatan netrofil pada sel
endotel dan trombosit, sehingga terjadi agregasi trombosit disertai
trombositopenia.
Patogenitas leptospira yang penting adalah perlekatannya pada permukaan
sel dan toksisitas selular. Lipopolysaccharide (LPS) pada bakteri leptospira
mempunyai aktivitas endotoksin yang berbeda dengan endotoksin bakteri gram
negatif, dan aktivitas lainnya yaitu stimulasi perlekatan neutrofil pada sel endotel
dan trombosit, sehingga terjadi agregasi trombosit disertai trombositopenia.
Bakteri leptospira mempunyai fosfolipase yaitu suatu hemolisis yang
mengakibatkan lisisnya eritrosit dan membran sel lain yang mengandung

10
fosfolipid. Organ utama yang terinfeksi kuman leptospira adalah ginjal dan
hati. Di dalam ginjal bakteri leptospira bermigrasi ke interstisium tubulus ginjal
dan lumen tubulus. Pada leptospirosis berat, vaskulitis akan menghambat
sirkulasi mikro dan meningkatkan permeabilitas kapiler, sehingga menyebabkan
kebocoran cairan dan hipovolemia. Hipovolemia akibat dehidrasi dan perubahan
permeabilitas kapiler salah satu penyebab gagal ginjal. Pada gagal ginjal
tampak pembesaran ginjal disertai edema dan perdarahan subkapsular, serta
nekrosis tubulus renal. Sementara perubahan yang terjadi pada hati bisa
tidak tampak secara nyata. Secara mikroskopik tampak perubahan patologi
berupa nekrosis sentrolobuler disertai hipertrofi dan hiperplasia sel Kupffer.

DAFTAR PUSTAKA

Dennis DT, Campbell GL. 2008. Chapter 152: Plague and Other Yersinia
Infections dalam Harrison’s Principles of Internal Medicine 17th Ed. USA:
McGraw-Hill.

Dewiana, Anita. 2008. Yersinia Pestis. Yogyakarta; Program Studi Farmasi


Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Fachrunnisa, Novi. 2013. Xenopsylla Cheopsis.[online] didapat dari


https://www.slideshare.net/enefnovhy/makalah-xenopsylla-cheopis diakses
pada 17 Januari 2018 pukul 15.45 WIB. Malang; Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Malang.

Haake David and Levett Paul. 2009. Leptospirosis Species (Leptospirosis)


Chapter 3 : Infectious Disease and Their Etilogis Agents. [online]
media.axon.es/pdf/73105_1.pdf diakses pada 17 Januari 2018 pukul 21.18
WIB.

Rebecca et al. 2008. Persistance of Yersinia Pestis in Soil Under Natural


Condition. Journal of Emerging Infectious Disease Vol.14, No.6 June 2008.

Triwibowo. 2006. Penyakit Sampar. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.

World Health Organization. 2009. Informal Expert Consultation on


Surveillance, Diagnosis, and Risk Reduction of Leptospirosis [online]
didapat dari
http://www.searo.who.int/entity/emerging_diseases/topics/Communicable_
Diseases_Surveillance_and_response_SEA-CD-217.pdf diakses pada 17
Januari 2018 pukul 20.20 WIB.

11

Anda mungkin juga menyukai