Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

 I. Latar Belakang Masalah

Qawaidul fiqhiyah  (kaidah-kaidah fiqh) adalah suatu kebutuhan bagi kita semua
khususnya mahasiswa fakultas tarbiyah. Banyak dari kita yang kurang mengerti bahkan ada yang
belum mengerti sama sekali apa itu Qawaidul fiqhiyah. Maka dari itu, saya selaku penulis
mencoba untuk menerangkan tentang kaidah-kaidah fiqh, mulai dari pengertian, sejarah,
perkembangan dan beberapa urgensi dari kaidah-kaidah fiqh.

Dengan menguasai kaidah-kaidah fiqh kita akan mengetahui benang merah yang
menguasai fiqh, karena kaidah fiqh itu menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh, dan lebih
arif di dalam menerapkan fiqh dalam waktu dan tempat yang berbeda untuk kasus, adat
kebiasaan, keadaan yang berlainan. Selain itu juga akan lebih moderat di dalam menyikapi
masalah-masalah sosial, ekonomi, politik, budaya dan lebih mudah mencari solusi terhadap
problem-problem yang terus muncul dan berkembang dalam masyarakat.

 II. Rumusan Masalah

1. Mengerti dan memahami pengertian dan sejarah perkembangan kaidah-kaidah fiqh!


2. Menyebutkan pembagian kaidah fiqh!
3. Apakah manfaat dan urgensi dari kaidah-kaidah fiqh?
4. Bagaimana kedudukan dan sistematika kaidah fiqh?
5. Apa perbedaan kaidah ushul dan kaidah fiqh? 

III. Tujuan Pembahasan

            Makalah ini disusun bertujuan agar kita mengetahui, memahami dan mengerti tentang
hal-hal yang berhubungan dengan kaidah-kaidah fiqh, mulai dari definisi, pembagian dan
sistematika kaidah fiqh.

1
BAB II

PEMBAHASAN

I. Pengertian Qawaidul Fiqhiyah

Sebagai studi ilmu agama pada umumnya, kajian ilmu tentang kaidah-kaidah fiqh diawali
dengan definisi. Defenisi ilmu tertentu diawali dengan pendekatan kebahasaan. Dalam studi ilmu
kaidah fiqh, kita kita mendapat dua term yang perlu dijelaskan, yaitu kaidah dan fiqh.

Qawaid merupakan bentuk jamak dari qaidah, yang kemudian dalam bahasa indonesia
disebut dengan istilah kaidah yang berarti aturan atau patokan. Ahmad warson menembahkan
bahwa, kaidah bisa berarti al-asas (dasar atau pondasi), al-Qanun (peraturan dan kaidah dasar),
al-Mabda’ (prinsip), dan al-nasaq (metode atau cara). Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam
surat An-Nahl ayat 26 :

”Allah akan menghancurkan rumah-rumah mereka dari fondasinya”. (Q.S. An-Nahl : 26)

Sedangkan  dalam  tinjauan   terminologi (istilah) kaidah  punya  beberapa   arti,  menurut
Dr. Ahmad Asy-syafi’i dalam buku Usul Fiqh Islami, mengatakan bahwa kaidah itu adalah :
”Kaum yang bersifat universal (kulli) yang diakui oleh satuan-satuan hukum juz’i yang
banyak”.1) Sedangkan mayoritas Ulama Ushul mendefinisikan kaidah dengan : ”Hukum   yang  
biasa   berlaku    yang   bersesuaian   dengan   sebagian   besar bagiannya”.2)

Sedangkan arti fiqh secara etimologi lebih dekat dengan ilmu, sebagaimana yang banyak
dipahami, yaitu : ”Untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama” (Q.S. At-Taubat :
122). Dan juga sabda Nabi SAW, yaitu :

Barang siapa yang dikehendaki baik oleh Allah niscaya diberikan kepadanya kepahaman dalam
agama.

1)
Ahmad, Muhammad Asy-Syafi’i 1983 : Hlm. 4

2)
Fathi, Ridwan, 1969 : Hlm. 171-172

2
Sedangkan menurut istilah, Fiqh adalah ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’
yang bersifat amaliyah (praktis) yang diambilkan dari dalil-dalil yang tafsili (terperinci).
Jadi, dari semua uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa Qawaidul fiqhiyah adalah :
Suatu perkara kulli (kaidah-kaidah umum) yang berlaku pada semua bagian-bagian atau cabang-
cabangnya yang banyak yang dengannya diketahui hukum-hukum cabang itu.
Dari pengertian diatas dapat diketahui bahwa setiap kaidah fiqhiyah telah mengatur
beberapa masalah fiqh dari berbagai bab.

II. Sejarah Perkembangan Qawaidul Fiqhiyah

Sejarah perkembangan dan penyusunan Qawaidul Fiqhiyah diklarifikasikan menjadi 3 fase,


yaitu :

1. Fase pertumbuhan dan pembentukan

Masa pertumbuhan dan pembentukan  berlangsung  selama tiga abad lebih. Dari zaman
kerasulan hingga abad ke-3 hijriyah. Periode ini dari segi fase sejarah hukum islam, dapat dibagi
menjadi tiga; zaman Nabi muhammad SAW, yang berlangsung selama 22 tahun lebih (610-632
H / 12 SH-10 H), dan zaman tabi’in serta tabi’ tabi’in yang berlangsung selama 250 tahun (724-
974 M / 100-351 H). Tahun 351 H / 1974 M, dianggap sebagai zaman kejumudan, karena tidak
ada lagi ulama pendiri maazhab. Ulama pendiri mazhab terakhir adalah Ibn Jarir al-Thabari (310
H / 734 M), yang mendirikan mazhab jaririyah.

Dengan demikian, ketika fiqh telah mencapai puncak kejayaan, kaidah fiqh baru dibentuk
dab ditumbuhkan. Ciri-ciri kaidah fiqh yuang dominan adalah Jawami al-Kalim (kalimat ringkas
tapi cakupan maknnya sangat luas). Atas dasar ciri dominan tersebut, ulama menetapkan bahwa
hadits yang mempunyai ciri-ciri tersebut dapat dijadikan kaidah fiqh. Oleh karena itulah
periodesasi sejarah kaidah fiqih dimulai sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Sabda Nabi
Muhammad SAW, yang jawami al-Kalim dapat ditinjau dari dua segi, yaitu :

Segi sumber : Ia adalah hadits, oleh karena itu, ia menjadi dalil hukum islam yang tidak
mengandung al-Mustasnayat.

3
Segi cakupan makna dan bentuk kalimat : Ia dikatakan sebagai kaidah fiqh karena kalimatnya
ringkas, tapi cakupan maknanya luas.

Beberapa sabda Nabi Muhammad SAW yang dianggap sebagai kaidah fiqh, yaitu : 

”pajak itu disertai imbalan jaminan”

”Tidak boleh menyulitkan (orang lain) dan tidak boleh dipersulitkan (oleh orang lain)”3)

            Demikian beberapa sabda Nabi Muhammad SAW, yang dianggap sebagai kaidah fiqh.
Generasi berikutnya adalah generasi sahabat, sahabat berjasa dalam ilmu kaidah fiqh, karena
turut serta membentuk kaidah fiqh. Para sahabat dapat membentuk kaidah fiqh karena dua
keutamaan, yaitu mereka adalah murid Rasulullah SAW dan mereka tahu situasi yang menjadi
turunnya wahyu dan terkadang wahyu turun berkenaan dengan mereka.

Generasi berikutnya adalah tabi’in dan tabi’ tabi’in selama 250 tahun. Diantara ulama
yang mengembangkan kaidah fiqh pada generasi tabi’in adalah Abu Yusuf Ya’kub ibn Ibrahim
(113-182), dengan karyanya yang terkenal kitab Al-Kharaj, kaidah-kaidah yang disusun adalah :

”Harta setiap yang meninggal yang tidak memiliki ahli waris diserahkan ke Bait al- mal”

            Kaidah tersebut berkenaan dengan pembagian harta pusaka Baitul Mal sebagai salah satu
lembaga ekonomi umat Islam dapat menerima harta peninggalan (tirkah atau mauruts), apabila
yang meninggal dunia tidak memiliki ahli waris.

Ulama berikutnya yang mengembangkan kaidah fiqh adalah Imam Asy-Syafi’i, yang
hidup pada fase kedua abad kedua hijriah (150-204 H), salah satu kaidah yang dibentuknya, yaitu
:

”Sesuatu yangh dibolehkan dalah keadaan terpaksa adalah tidak diperbolehkan ketika tidak
terpaksa”

3)
Muhammad Shidqi ibn Ahmad Al-Burnu. Hal. 77

4
2. Fase perkembangan dan kodifikasi

Dalam sejarah hukum islam, abad IV H, dikenal sebagai zaman taqlid. Pada zaman ini,
sebagian besar ulama melakukan tarjih (penguatan-penguatan) pendapat imam mazhabnya
masing-masing. Usaha kodifikasi kaidah-kaidah fiqhiyah bertujuan agar kaidah-kaidah itu bisa
berguna bagi perkembangan ilmu fiqh pada masa-masa berikutnya.

Pada abad VIII H, dikenal sebagai zaman keemasan dalam kodifikasi kaidah fiqh, karena
perkembangan kodifikasi kaidah fiqh begitu pesat. Buku-buku kaidah fiqh terpenting dan
termasyhur abad ini adalah :

·        Al-Asybah wa al-Nazha’ir, karya ibn wakil al-Syafi’i (W. 716 H)

·        Kitab al-Qawaid, karya al-Maqarri al-maliki (W. 750 H)

·        Al-Majmu’ al-Mudzhab fi Dhabh Qawaid al-Mazhab, karya al-Ala’i al-Syafi’i (W. 761
H)

·        Al-Qawaid fi al-Fiqh, karya ibn rajab al-Hambali (W. 795 H)

3.  Fase kematangan dan penyempurnaan

Abad X H dianggap sebagai periode kesempurnaan kaidah fiqh, meskipun demikian tidak
berarti tidak ada lagi perbaikan-perbaikan kaidah fiqh pada zaman sesudahnya. Salah satu kaidah
yang disempurnakan di abad XIII H adalah :

“seseorang tidak dibolehkan mengelola harta orang lain, kecuali ada izin dari pemiliknya”

Kaidah tersebut disempurnakan dengan mengubah kata-kata idznih menjadi idzn. Oleh
karena itu kaidah fiqh tersebut adalah :

“seseorang tidak diperbolehkan mengelola harta orang lain tanpa izin”

5
III. Pembagian Kaidah Fiqh

1. Segi fungsi

Dari segi fungsi, kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sentral dan marginal.
Kaidah fiqh yang berperan sentral, karena kaidah tersebut memiliki cakupan-cakupan yang
begitu luas. Kaidah ini dikenal sebagai al-Qawaid al-Kubra al-Asasiyyat, umpamanya :

”Adat dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan hukum”

kaidah ini mempunyai beberapa turunan kaidah yang berperan marginal, diantaranya :

”Sesuatu yang dikenal secara kebiasaan seperti sesuatu yang telah ditentukan sebagai syarat”

”Sesuatu yang ditetapkan berdasarkan kebiasaan seperti ditetapkan dengan naskh”

Dengan demikian, kaidah yang berfungsi marginal adalah kaidah yang cakupannya lebih
atau bahkan sangat sempit sehingga tidak dihadapkan dengan furu’.

2.  Segi mustasnayat

Dari sumber pengecualian, kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu : kaidah yang
tidak memiliki pengecualian dan yang mempunyai pengecualian. Kaidah fiqh yang tidak punya
pengecualian adalah sabda Nabi Muhammad SAW. Umpamanya adalah :

”Bukti dibebankan kepada penggugat dan sumpah dibebankan kepada tergugat”

Kaidah fiqh lainnya adalah kaidah yang mempunyai pengecualian kaidah yang tergolong
pada kelompok yang terutama diikhtilafkan oleh ulama.

3.  Segi kualitas

Dari segi kualitas, kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu :

·        Kaidah kunci

6
Kaidah kunci yang dimaksud adalah bahwa seluruh kaidah fiqh pada dasarnya, dapat
dikembalikan kepada satu kaidah, yaitu :

”Menolak kerusakan (kejelekan) dan mendapatkan maslahat”

Kaidah diatas merupakan kaidah kunci, karena pembentukan kaidah fiqh adalah upaya
agar manusia  terhindar dari kesulitan dan dengan sendirinya ia mendapatkan kemaslahatan.

·        Kaidah asasi

Adalah kaidah fiqh yang tingkat kesahihannya diakui oleh seluruh aliran hukum islam.
Kaidah fiqh tersebut adalah :

”Perbuatan / perkara itu bergantung pada niatnya”

”Kenyakinan tidak hilang dengan keraguan”

”Kesulitan mendatangkan kemudahan”

”Adat dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan hukum”

·        Kaidah fiqh yang diterima oleh semua aliran hukum sunni

Kaidah fiqh yang diterima oleh semua aliran hukum sunni adalah ” majallah al-Ahkam
al-Adliyyat”, kaidah ini dibuat di abad XIX M, oleh lajnah fuqaha utsmaniah.

IV. Manfaat Kaidah Fiqh

Manfaat dari kaidah Fiqh (Qawaidul Fiqh) adalah :

1. Dengan kaidah-kidah fiqh kita akan mengetahui prinsip-prinsip umum fiqh dan akan
mengetahui pokok masalah yang mewarnai fiqh dan kemudian menjadi titik temu dari
masalah-masalah fiqh.
2. Dengan memperhatikan kaidah-kaidah fiqh akan lebih mudah menetapkan hukum bagi
masalah-masalah yang dihadapi.

7
3. Dengan kaidah fiqh akan lebih arif dalam menerapkan materi-materi dalam waktu dan
tempat yang berbeda, untuk keadaan dan adapt yang berbeda.
4. Meskipun kaidah-kaidah fiqh merupakan teori-teori fiqh yang diciptakan oleh Ulama,
pada dasarnya kaidah fiqh yang sudah mapan sebenarnya mengikuti al-Qur’an dan al-
Sunnah, meskipun dengan cara yang tidak langsung.

Menurut Imam Ali al-Nadawi (1994)

1. Mempermudah dalam menguasai materi hukum.


2. Kaidah dapat membantu menjaga dan menguasai persoalan-persoalan yang banyak
diperdebatkan.
3. Mendidik orang yang berbakat fiqh dalam melakukan analogi (ilhaq) dan takhrij untuk
memahami permasalahan-permasalahnan baru.
4. Mempermudah orang yang berbakat fiqh dalam mengikuti (memahami) bagian-bagian
hukum dengan mengeluarkannya dari tema yang berbeda-beda serta meringkasnya dalam
satu topik.
5. Meringkas persoalan-persoalan dalam satu ikatan menunjukkan bahwa hukum dibentuk
untuk menegakkan maslahat yang saling berdekatan atau menegakkan maslahat yang
lebih besar.
6. Pengetahuan tentang kaidah fiqh merupakan kemestian karena kaidah mempermudah
cara memahami furu’ yang bermacam-macam.

V. Urgensi Qawaidul Fiqhiyah

Kaidah fiqh dikatakan penting dilihat dari dua sudut :

1. Dari sudut sumber, kaidah merupakan media bagi peminat fiqh Islam untuk memahami
dan menguasai maqasid al-Syari’at, karena dengan mendalami beberapa nash, ulama
dapat menemukan persoalan esensial dalam satu persoalan.
2. Dari segi istinbath al-ahkam, kaidah fiqh mencakup beberapa persoalan yang sudah dan
belum terjadi. Oleh karena itu, kaidah fiqh dapat dijadikan sebagai salah satu alat  dalam
menyelesaikan persoalan yang terjadi yang belum ada ketentuan atau kepastian
hukumnya.

8
Abdul Wahab Khallaf  dalam ushul fiqhnya bertkata bahwa hash-nash tasyrik telah
mensyariatkan hukum terhadap berbagai macam undang-undang, baik mengenai perdata, pidana,
ekonomi dan undang-undang dasar, telah sempurna dengan adanya nash-nash yang menetapkan
prinsip-prinsip umum dan qanun-qanun tasyrik yang kulli yang tidak terbatas suatu cabang
undang-undang.

Karena cakupan dari lapangan fiqh begitu luas, maka perlu adanya kristalisasi berupa
kaidah-kaidah kulli yang berfungsi sebagai klasifikasi masalah-masalah furu’ menjadi beberapa
kelompok. Dengan berpegang pada kaidah-kaidah fiqhiyah, para mujtahid merasa lebih mudah
dalam mengistinbathkan hukum bagi suatu masalah, yakni dengan menggolongkan masalah yang
serupa di bawah lingkup satu kaidah.

Selanjutnya Imam Abu Muhammad Izzuddin ibnu Abbas Salam menyimpulkan bahwa
kaidah-kaidah fiqhiyah adalah sebagai suatu jalan untuk mendapatkan suatu kemaslahatan dan
menolak kerusakan serta bagaimana menyikapi kedua hal tersebut. Sedangkan al-Qrafy dalam
al-Furuqnya menulis bahwa seorang fiqh tidak akan besar pengaruhnya tanpa berpegang pada
kaidah fiqhiyah, karena jika tidak berpegang pada kaidah itu maka hasil ijtihadnya banyak
pertentangan dan berbeda antara furu’-furu’ itu. Dengan berpegang pada kaidah fiqhiyah
tentunya mudah menguasai furu’nya dan mudah dipahami oleh pengikutnya.

VI. Kedudukan Qawaidul Fiqhiyah

Kaidah fiqh dibedakan menjadi dua, yaitu :

1. Kaidah fiqh sebagai pelengkap, bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai dalil setelah
menggunakan dua dalil pokok, yaitu al-Qur’an dan sunnah. Kaidah fiqh yang dijadikan
sebagai dalil pelengkap tidak ada ulama yang memperdebatkannya, artinya ulama
“sepakat” tentang menjadikan kaidah fiqh sebagai dalil pelengkap.
2. Kaidah fiqh sebagai dalil mandiri, bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai dalil hukumyang
berdiri sendiri, tanpa menggunakan dua dalil pokok. Dalam hal ini para ulama berbeda
pendapat tentang kedudukan kaidah fiqh sebagai dalil hukum mandiri. Imam al-
Haramayn al-Juwayni berpendapat bahwa kaidah fiqh boleh dijadikan dalil mandiri.

9
Namun al_Hawani menolak pendapat Imam  al-Haramayn al-juwayni. Menurutnya,
berdalil hanya dengan kaidah fiqh tidak dibolehkan. Al-Hawani mengatakan bahwa setiap kaidah
bersifat pada umumnya, aglabiyat, atau aktsariyat. Oleh karena itu, setiap kaidah mempunyai
pengecualian-pengecualian. Karena memiliki pengecualian yang kita tidak mengetahui secara
pasti pengecualian-pengecualian tersebut, kaidah fiqh tidak dijadikan sebagai dalil yang berdiri
sendiri merupakan jalan keluar yang lebih bijak.

Kedudukan kaidah fiqh dalam konteks studi fiqh adalah simpul sederhana dari masalah-
masalah fiqhiyah yang begitu banyak. Al-syaikh Ahmad ibnu al-Syaikh Muhammad al-Zarqa
berpendapat sebagai berikut : “kalau saja tidak ada kaidah fiqh ini, maka hukum fiqh yang
bersifat furu’iyyat akan tetap bercerai berai.”

Dalam konteks studi fiqh, al-Qurafi menjelaskan bahwa syar’iah mencakup dua hal :
pertama, ushul; dan kedua, furu’, Ushul terdiri atas dua bagian, yaitu ushul al-Fiqh yang
didalamnya terdapat patokan-patokan yang bersifat kebahasaan; dan kaidah fiqh yang di
dalamnya terdapat pembahasan mengenai rahasia-rahasia syari’ah dan kaidah-kaidah dari furu’
yang jumlahnya tidak terbatas.

VII. Sistematika Qawaidul Fiqhiyah

            Pada umumnya pembahasan qawaidul fiqhiyah berdasarkan pembagian kaidah-kaidah


asasiah dan kaidah-kaidah ghairu asasiah. Kaidah-kaidah asasiah adalah kaidah yang disepakati
oleh Imam Mazhahib tanpa diperselisihkan kekuatannya, jumlah kaidah asasiah ada 5 macam,
yaitu :

1. Segala macam tindakan tergantung pada tujuannya


2. Kemudharatan itu harus dihilangkan
3. Kebiasaan itu dapat menjadi hukum
4. Yakin itu tidak dapat dihilangkan dengan keraguan
5. Kesulitan itu dapat menarik kemudahan.

10
Sebagian fuqaha’ menambah dengan kaidah “tiada pahala kecuali dengan niat.”
Sedangkan kaidah ghairu asasiah adalah kaidah yang merupakan pelengkap dari kaidah asasiah,
walaupun kebahasaannya masih tetap diakui.

VIII. Perbedaan Kaidah Ushul dan Kaidah Fiqh

1. Kaidah ushul adalah cara menggali hukum syara’ yang praktis. Sedangkan kaidah fiqh
adalah kumpulan hukum-hukum yang serupa yang kembali kepada satu hukum yang
sama.
2. Kaidah-kaidah ushul muncul sebelum furu’ (cabang). Sedangkan kaidah fiqh muncul
setelah furu’.
3. Kaidah-kaidah ushul menjelaskan masalah-masalah yang terkandung di dalam berbagai
macam dalil yang rinci yang memungkinkan dikeluarkan hukum dari dalil-dalil tersebut.
Sedangkan kaidah fiqh menjelaskan masalah fiqh yang terhimpun di dalam kaidah.

11
BAB III

PENUTUP

I.       Kesimpulan

1.   Kaidah-kaidah fiqh itu terdiri dari banyak pengertian, karena kaidah itu bersifat
menyeluruh yang meliputi bagian-bagiannya dalam arti bisa diterapkan kepada
juz’iyatnya (bagian-bagiannya).

2.   Salah satu manfaat dari adanya kaidah fiqh, kita akan mengetahui prinsip-prinsip umum
fiqh dan akan mengetahui pokok masalah yang mewarnai fiqh dam kemudian menjadi
titik temu dari masalah-masalah fiqh.

3.   Adapun kedudukan dari kaidah fiqh itu ada dua, yaitu :

·     Sebagai pelengkap, bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai dalil setelah menggunakan
dua dalil pokok, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah.

·     Sebagai dalil mandiri, bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai dalil hukum yang berdiri
sendiri, tanpa menggunakan dua dalil pokok.

II.    Saran

Penyusun makalah ini hanya manusia yang dangkal ilmunya, yang hanya mengandalkan
buku referensi. Maka dari itu saya menyarankan agar para pembaca yang ingin mendalami
masalah Qawaidul Fiqhiyah, agar setelah membaca makalah ini, membaca sumber-sumber lain
yang lebih komplit, tidak hanya sebatas membaca makalah ini saja.

12
DAFTAR PUSTAKA

Djazuli, HA, Kaidah-kaidah fiqh, Jakarta : kencana, 2006

Mujib, Abdul, Al-Qawaidul Fiqhiyah, Malang : Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel, 1978.

Usman, Muslih, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, Jakarta : Rajawali Pers, 1999.

Effendi, Satria, Ushul Fiqh, Jakarta : Kencana, 2005.

Mubarok, Jaih, Kaidah Fioqh, Jakarta : Rajawali Pers, 2002.

Djazuli, HA, Ilmu Fiqh, Jakarta : Kencana, 2005.

Asjmuni, A Rahman, Kaidah-kaidah Fiqh, Jakarta : Bulan Bintang, 1976.

Ash-shiddiqie, Hasbi, Mabahits fi al-Qawaidul Fiqhiyah., 1999.

Al-Nadwi, Ali Ahmad, Al-Qawaidul Fiqhiyah, Beirut : Dar al-Kalam, 1998.

Faisal, Enceng Arif, Kaidah Fiqh Jinayah, Bandung : Pustaka Bani Quraisy   , 2004.

http://moenawar.multiply.com/journal/item/10?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem

13

Anda mungkin juga menyukai