Anda di halaman 1dari 3

Sakramen perkawinan, komitmen seumur hidup

Bacalah Injil Yesus Kristus menurut Matius 19:3-12

Suatu kali ada seorang teman saya mengungkapkan isi hatinya begini, “Romo, beberapa kali
saya ikut dalam upacara perkawinan Katolik di Gereja. Awalnya saya agak canggung karena
harus masuk rumah ibadat dan dengan upacara yang amat formal. Tetapi kalau saya amat-
amati perkawinan dalam Gereja Katolik itu amat-amat mengesankan, mengagumkan dan
bukan suatu upacara yang asal-asalan atau main-main”.

Saudari dan saudaraku, bagaimana perasaanmu ketika mendengarkan ungkapan hati seperti
itu? Saat itu, spontan saya merasa bangga sebagai orang Katolik. Lalu teman saya itu
menyambungnya lagi.

“Awalnya saya juga terheran-heran mengapa untuk menikah saja harus ada persiapan
semacam kursus-kursus segala. Saya pikir orang Katolik ini hanya mengada-ada, bikin repot
saja calon pengantin dan mencari-cari sensasi saja. Tetapi saya pikir benar juga bahwa sebuah
keluarga itu tidak serta merta terbentuk begitu saja, makanya sebuah pasangan harus belajar
dan mempersiapkannya. Saya juga menjadi mengerti bila perayaan di Gereja sangat sahdu
(mengapa), karena semuanya dipersiapkan sungguh-sungguh dan bahkan ada latihan
sebelumnya.”

Mendegarkan ungkapan hati yang positif membuat kita juga merasakan energi positif,
sehingga kita pun berpikir positif.

Lalu, apa yang Anda pikirkan ketika dalam sebuah keluarga ada saja tuntutan dari pasangan
yang sering tidak realistis. Komunikasi yang perlahan-lahan terasa hambar, mandek atau
bahkan tak memiliki rasa. Masa lalu yang kadang terasa menghantui, sehingga sama-sama
saling membandingkan...dst. Dan biasanya disusul dengan pertanyaan: Bisakah perkawinan
Gereja dibatalkan..., bolehkan saya menikah lagi?” Demikian pertanyaan-pertanyaan yang
sering terlontar dan terdengar.
Adalah mudah sekali mengambil opsi cerai sebagai jalan keluar terhadap situasi sulit seperti
itu. Tetapi apakah itu sungguh merupakan pilihan yang terbaik?

Dalam beberapa kesempatan, Paus Fransiskus menyampaikan keprihatinannya terhadap


situasi keluarga yang seperti itu. Dan menyesalkan banyaknya pernikahan yang berakhir
dengan perceraian. Salah satu dugaan nya, beliau melihat bahwa fenomena perceraian itu
bersumber pada "budaya relasi sementara" yang membuat orang-orang enggan membuat
komitmen seumur hidup.
Ketika kita berbicara tentang perceraian, kita sebenarnya diingatkan akan sifat dasar
perkawinan yang adalah monogami, satu laki laki hanya dengan satu perempuan, sehingga
pasangan hidupnya adalah bagian dari tubuhnya sendiri. Perkawinan Katolik disebut
sakramen, berarti ada kehadiran rahmat Allah yang menyelamatkan, sehingga perkawinan itu
bersifat sakral dan kekal selaras dengan pribadi Allah. Tujuan dari sebuah perkawinan
Katolik, mereka diutus untuk menjaga dan memelihara keluarga kerajaan Allah dan bukan
hanya sebatas pada nafsu.
Relasi antara manusia, atar sahabat, antara pasangan, menjadi hal yang amat mendasar dalam
kehidupan. Dalam konteks hidup berkeluarga setidaknya kita dapat melihatnya pada waktu-
waktu yang dimiliki bersama, perhatian, bicara, kerja sama, dan hubungan seksual yang
terpelihara. Di sini dapat kita garisbawahi bahwa kebersamaan menjadi bagian penting yang
harus dipertahankan oleh pasangan suami istri yang telah berjanji sehidup dan semati. Sebab
tanpa kebersamaan, maka perkawinan mustahil dapat diarahkan pada tujuan dasar
perkawinan itu sendiri, baik itu pada kesatuan, keturunan, atau kesejahteraan lahir batin.

Mengingat selalu janji perkawinan dan berusaha untuk memahaminya secara sungguh-
sungguh adalah tugas bersama dengan pasangan dalam sebuah keluarga. Jika Anda berdua
percaya bahwa Tuhan telah mempersatukan Anda, maka akan muncul penghargaan pada diri
sendiri, penghargaan terhadap pasangan, dan terlebih penghargaan terhadap perkawinan itu
sendiri.

Selain dalam banyak cerita dongeng, tak pernah ada jaminan bahwa pasangan yang menikah
akan hidup bahagia selamanya. Selalu ada saja masalah yang muncul, bahkan kadang begitu
rumit. Meskipun kita berusaha membentuk keluarga yang bahagia, kita bisa saja terperangkap
dalam rumah tangga yang penuh dendam, permusuhan, pertikaian, dan penderitaan. Tak ada
kesedihan yang lebih dalam dibanding kesedihan yang diakibatkan oleh pernikahan yang
tidak bahagia.

Namun, pernikahan yang sulit dapat menjadi tempat di mana Allah menggarap "manusia
batiniah yang tersembunyi" (1Petrus 3:4). Daripada hanya memfokuskan diri pada kesalahan
pasangan, kita seharusnya membuka hati bagi Tuhan dan memohon agar Dia melawan
kejahatan dalam hati kita. Secara bertahap, Dia akan bekerja dengan lembut dan murah hati.
Dengan begitu, kita akan mulai melihat diri kita yang sebenarnya. Ternyata kita bukan orang
yang penuh pertimbangan, sabar, sopan, ramah, murah hati, dan penuh penguasaan diri
seperti yang kita bayangkan. Kita menjadi sadar betapa kita membutuhkan pengampunan
Juruselamat dan pertolongan Roh Kudus untuk melakukan apa yang benar dan penuh kasih
(ayat 1-12), bahkan ketika kita disalahkan.

Pertumbuhan kita dalam kasih karunia bisa mengubah pasangan kita, bisa juga tidak. Tak ada
jaminan apa pun dalam hidup ini selain kasih Allah. Namun, dengan pertolongan-Nya, kita
bisa berubah. Meskipun mungkin tidak semua luka dalam pernikahan kita dapat
disembuhkan, kasih karunia Allah pasti mampu memulihkan kita --David Roper

Sebuah kisah tentang sepasang suami istri yang sedang berjalan melintasi gurun pasir. Di
tengah perjalanan, mereka bertengkar dan suaminya menghardik istrinya dengan sangat
keras. Istri yang kena hardik, merasa sakit hati, tapi tanpa berkata-kata, dia menulis di atas
pasir: Hari ini suamiku menyakiti hatiku.
 
Mereka terus berjalan, sampai menemukan sebuah oasis dimana mereka memutuskan untuk
mandi. Si istri mencoba berenang namun nyaris tenggelam dan berhasil diselamatkan
suaminya. Ketika dia mulai siuman dan rasa takutnya hilang, dia menulis di sebuah batu:
Hari Ini suamiku yang baik menyelamatkan nyawaku.
Suami bertanya, “Kenapa setelah saya melukai hatimu, kamu menulisnya di atas pasir dan
sekarang kamu menulis di atas batu?” Istrinya sambil tersenyum menjawab, “Ketika hal
buruk terjadi, kita harus menulisnya di atas pasir agar ketika angin maaf datang berhembus,
maka akan menghapus tulisan itu. Dan bila sesuatu yang luar biasa diperbuat suamiku, aku
harus memahatnya di atas batu hatiku agar tidak bisa hilang tertiup angin.”

Dalam hidup ini sering timbul beda pendapat dan konflik karena sudut pandang yang
berbeda, bahkan terkadang malah sangat menyakitkan. Yang terpenting adalah belajarlah
untuk segera memaafkan dan lupakan hal-hal yang menyakitkan hati kita, agar tidak menjadi
akar kepahitan di kemudian hari. Tetapi ingatlah selalu kebaikan-kebaikan yang kita alami
sehingga kita dapat maju terus menghadapi kehidupan ini. Walaupun mungkin banyak hal
yang akan mengguncang rumah tangga kita, tetapi jika kita selalu mau mengampuni, maka
akan tercipta kebersamaan yang selalu akan menguatkan kita. Semoga kita semua mengerti
betapa berharganya sebuah “keluarga”.

Anda mungkin juga menyukai