Anda di halaman 1dari 6

Di awal tahun 2012 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) menerbitkan putusan

terkait ketentuan outsourcing. Produk hukum MK yang teregistrasi dengan No. 27/PUU-
XI/2011, dibacakan pada17 Januari 2012.

Menjelang akhir tahun 2012 pemerintah mengundangkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi No. 19 tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan
Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain, tanggal 19 November 2012(Permenaker Outsourcing).Di
bawah ini akan diuraikan beberapa poin muatan dan apa implikasi dari penerapan Permenaker
Outsourcing ini.

A.           Konsideran
Pada bagiankonsideran,PermenakerOutsourcingini disebut merujuk pada UU No. 3 tahun
1951tentang Pernyataan Berlakunya Undang-Undang Pengawasan Perburuhan Nomor 23 Tahun
1948, UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan), UU No. 2 tahun
2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI) dan Keppres No. 84/P
Tahun 2009.

Masih pada bagian konsideran, Permenaker Outsourcing ini menjelaskan bahwa dua
Kepmenakertransyang mengatur mengenai outsourcing dinilaisudah tidak sesuai dengan
perkembangan saat ini, sehingga perlu dilakukan penyempurnaan.Hal ini ditegaskan pada bagian
Ketentutan Penutup yang menyatakan dua kepmenakertrans itu sudah tak berlaku sejak
diundangkannya Permenaker Outsourcing.

Dua keputusan menteri itu adalah Kepmenakertrans No. KEP. 101/MEN/VI/2004 tentang Tata
Cara Perijinan Penyediaan Jasa Pekerja/Buruh dan Kepmenakertrans Nomor Kep.
220/MEN/X/2004 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada
Perusahaan Lain.

Memperhatikan konsideran dan ketentuan penutup tersebut, Permenaker Outsourcing bukan


aturan perubahan dariduaKepmenakertransitu. Melainkanperaturan pengganti. Maka, semua
ketentuan dalam dua Kepmenakertrans tersebuttidak lagi berlaku sebagai hukum positif. 

Menariknya, pemerintah justru tidak mencantumkan putusan MK ke dalam konsideran.Padahal,


jika dicermati, putusan MK turut mempengaruhi Permenaker Outsourcing. Setidaknya itu terlihat
di Pasal 29 dan Pasal 31 Permenaker.

Bagian lain yang perlu mendapat sorotan adalah fakta di mana pemerintah tidak mengatakan
pembentukan Permenaker itu sebagai jawaban atas tuntutan/desakan pekerja/buruh. Hal ini
bertolak belakang dengan realitas di mana pada3 Oktober 2012 Majelis Pekerja Buruh Indonesia
(MPBI) melakukan mogok kerja nasional (moknas) menuntut penghapusan sistem outsourcing.     

Pilihan Menakertrans tidak mencantumkan desakan masyarakat pekerja/buruh dan putusan MK


sebagai konsideran Permenaker bisa diduga karena alasan bahwa Kemenakertrans memberi
kesan bahwa pembentukan Permenaker sebagai inisiatif murni Kemenakertrans.Bukan pengaruh
desakan masyarakat pekerja/buruh dan putusan MK.
Selain itu Kemenakertrans mungkin tidak mau mau dituduh melanggar UU No 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan karena menindaklanjuti putusan MK
melalui peraturan menteri. Padahal Pasal 10 ayat (1) huruf (d) UU No. 12 tahun 2011 mengatur
bahwa putusan MK harus ditindaklanjuti ke dalam undang-undang.

B.          Penyerahan Pekerjaan dan Alur Kegiatan


Permenaker Outsourcing mengatur dua cara penyerahan pekerjaan kepada perusahaan lain.
Ketentuan itu tidak berbeda dengan UU Ketenagakerjaan. Penyerahan pekerjaan kepada
perusahaan lain itubisa dilakukan melalui pemborongan pekerjaan atau melalui perjanjian
penyediaan jasa pekerja/buruh (PJP/B). Untuk dapat menyerahkan pekerjaan melalui
pemborongan pekerjaan, pemberi kerja harus terlebihdahulu menentukan bidang mana dari
proses kegiatan perusahaannya yang dikategorikan sebagai pekerjaan penunjang.

Pasal 65 ayat (2) UU Ketenagakerjaanmengatur empat syarat pekerjaan yang boleh diborongkan
kepada perusahaan lain. Keempat syarat itu adalah: (a) pekerjaan yang dikerjakan itu dilakukan
secara terpisah dari kegiatan utama; (b) pekerjaan itu dilakukan dengan perintah langsung atau
tidak langsung dari pemberi pekerjaan; (c) pekerjaan itu merupakan kegiatan penunjang
perusahaan secara keseluruhan; (d) pekerjaan yang diborongkan tidak menghambat proses
produksi secara langsung.

Pemerintah memberi penjelasan atas keempat syarat di atas. Penjelasan mana membuat
Permenaker itu identik bukan sebagai ketentuan pokok tetapi sebagai ketentuan penjelasan. Pasal
3 ayat (2)Permenakerselengkapnya disusun dengan redaksi sebagai berikut :

“Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan penerima pemborongan sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat sebagai berikut (garis bawah oleh Penulis) :  

a.     Dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama baik manajemen maupun kegiatan
pelaksanaan pekerjaan ;
b.   Dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan,
dimaksudkan untuk memberi penjelasan tentang cara melaksanakan pekerjaan agar
sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh perusahaan pemberi pekerjaan ;
c.   Merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan, artinya kegiatan
tersebut merupakan kegiatan yang mendukung dan memperlancar pelaksanaan
kegiatan utama sesuai dengan alur kegiatan pelaksanaan pekerjaan yang ditetapkan
oleh asosiasi sektor usaha yang dibentuk sesuai peraturan perundang-undangan ; dan
d.   Tidak menghambat proses produksi secara langsung, artinya kegiatan tersebut
merupakan kegiatan tambahan yang apabila tidak dilakukan oleh perusahaan pemberi
pekerjaan, proses pelaksanaan pekerjaan tetap berjalan sebagaimana mestinya.”

Pemerintah tidak boleh membuat sepihak penjelasan baru atas undang-undang, terlebih
memasukkan ke dalam peraturan menteri, kecuali UU memberi mandat kepada eksekutif untuk
melakukan itu. Oleh karenanyaPasal 3 ayat (2) Permenaker menambah penjelasan pada
ketentuan yang bersumber pada Pasal 65 ayat (2)UU Ketenagakerjaan. Maka penjelasan itu
menyimpang dan bertentangan dengan Pasal 65 ayat (2) UU Ketenagakerjaan.
Penyimpangan itu mudah disimpulkan karena Pasal 3 ayat (2) huruf (c) Permenaker menyebut
asosiasi sektor usaha sebagai lembaga yang berwenang menetapkan alur kegiatan proses
pelaksanaan pekerjaan perusahaan. Kalau pemerintah memandang perlu memberi kewenangan
kepada asosiasi sektor usaha menentukan alur kegiatan bisnis perusahaan, penjelasan Pasal 3
ayat (2) seharusnya dibuat dalam amandemen UU Ketenagakerjaan. Setidaknya, disusun ke
dalam pasal tersendiri yang terpisah dari Pasal 3 ayat (2).

Sesuai Pasal 3 ayat (2) huruf c dan Pasal 4, perusahaan tidak memiliki lagi hak menentukan
sendiri alur kegiatan pekerjaannya. Pemerintah mewajibkan pengusaha membentuk asosiasi
sektor usaha. Berdasarkan Permenakertersebut, organisasi sektor usaha satu-satunyayang dapat
menetapkan alur kegiatan proses pelaksanaan pekerjaan perusahaan. Regulasi itu mengandung
ketidakpastian karena tidak mengatur siapa yang boleh menentukan alur kegiatan pekerjaan
sebelum asosiasi sektor terbentuk.

C.           Pendaftaran Perjanjian


Perjanjian pemborongan pekerjaan dan perjanjian PJP/B bukan dokumen rahasia. Kesimpulan itu
didasarkanpada Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) Permenakeryangmewajibkan pengusaha
mendaftarkan perjanjian pemborongan dan perjanjian PJP/B ke kantor pemerintah yang
mengurusi ketenagakerjaan di kabupaten/kota.

Pendaftaran perjanjian PJP/B dilakukan paling lambat 30 hari kerja sejak menandatangani
perjanjian PJP/B.Sedangkan pendaftaran perjanjian pemborongan pekerjaan dilakukan paling
lambat 30 hari kerja sebelum pekerjaan dilaksanakan.

Konsekuensi pendaftaran itu mewajibkan pemerintah menerbitkan bukti pendaftaran. Bukti


pendaftaran perjanjian pemborongan harus terbit paling lambat 5 (lima) hari kerja dan bukti
pendaftaran perjanjian PJP/B paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak menerima berkas
pendaftaran.  

Permenaker tidak menjelaskan apa tujuan mendaftarkan perjanjian pemborongan pekerjaan.


Pendaftaran perjanjian pemborongan dan perjanjian PJP/B dikualifikasi sebagai sarana
memeriksa implementasi Pasal 5, Pasal 9, Pasal 17, Pasal 20, Pasal 24 Permenaker.

Walau demikian, Permenaker tidak mengatur sanksi kepada perusahaan pemberi pekerjaan dan
penerima pekerjaan yang tidak mendaftarkan perjanjian pemborongan. Permenaker hanya
mengatur akibat hukum bagi perusahaan yang memborongkan pekerjaan sebagaimana diatur
dalam Pasal 7 ayat (2) yang menegaskan, hubungan kerja antara penerima pemborongan dengan
pekerja/buruh beralih kepada perusahaan pemberi pekerjaan bila terbukti penyerahan pekerjaan
itu dilakukan sebelum memiliki bukti pelaporan. 

Pada bagian lain,Pasal 22 melarang perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh (PPJP/B)


melaksanakan operasional perusahaan sebelum memiliki bukti pendaftaran perjanjian PJP/B.
Bila PPJP/B tetap melaksanakan operasionalnya, dinas tenaga kerja tingkat propinsi mencabut
izin operasional PPJP/B.
Dalam keadaan tersebut, Permenaker tidak mengatakan hubungan kerjasamaPPJP/B dengan
perusahaan pemberi kerja berakhir demi hukum. Pasal 23 ayat (2) mengatur, pemenuhan hak
pekerja/buruh tetap menjadi tanggungjawab PPJP/B. Oleh karena itu, pencabutan izin
operasional PPJP/B tidak serta merta mengakhiri kontrak kerja antara PPJP/B dengan perusahaan
pemberi kerja (user).

Bahkan, pencabutan izin operasional PPJP/B tidak mengakibatkan hubungan kerja para
pekerja/buruh PPJP/B beralih ke perusahaan pengguna tenaga kerja (user). Bisa dikatakan,
pekerja/buruh outsourcing tidak memperoleh apapun dari pencabutan izin operasional PPJP/B.
Pencabutan izin operasional hanya memberi “derita” bagi perusahaan PPJP/B tetapi tidak
memberi manfaat kepada pekerja/buruh.  

Yang dibutuhkan pengusaha dan pekerja/buruh adalah regulasi yang bisa menjamin
kelangsungan bekerja dan ketertiban berusaha. Daripada sibuk mengurus pencabutan ijin
operasional, lebih baik pemerintah membuka dasar hukum yang tegas mewajibkan PPJP/B
membayar kompensasi pengakhiran PKWT kepada pekerja/buruh outsourcing. Pemerintah
sebaiknya tidak menghambat perusahaan user dan PPJP/B memberi kompensasi kepada
pekerja/buruh outsourcing. Praktik pemberian kompensasi kepada pekerja/buruh outsourcing
yangberakhir PKWT–sampai saat ini masih berlangsung di sektor pertambangan dan minyak.  

D.           Badan Hukum


Perusahaan yang dapat menerima pemborongan pekerjaan adalah perusahaan berbadan hukum.
Yang digolongkan ke dalam badan hukum adalah perseroan terbatas (PT), yayasan dan koperasi.
Permenaker tidak menyebut PT sebagaisatu-satunya perusahaan yang boleh bertindak sebagai
pemborong pekerjaan. Artinya, koperasi, yayasan dan PT dapat bertindak sebagai penerima atau
pemborong pekerjaan.

Selanjutnya Pasal 24 mensyaratkan, perusahaan yang dapat bertindak sebagaai PPJP/B adalah
perusahaan berbentuk perseroan terbatas (PT). Maka, koperasi, yayasan, firma, CV tidak boleh
bertindak sebagai PPJP/B. Apabila PPJP/B bukan PT, hubungan kerja pekerja/buruh outsourcing
- berdasarkan Pasal 66 ayat (3) dan ayat (4) UU Ketenagakerjaan- beralih ke perusahaan user.

E.            Pembatasan Jenis Kegiatan Jasa Penunjang


Permenaker menetapkan lima macam kegiatan jasa penunjang, antara lain : (1) usaha pelayanan
kebersihan (cleaning service); (2) usaha penyediaan makanan bagi pekerja/buruh (catering); (3)
usaha tenaga pengamanan (security/satuan pengamanan); (4) usaha jasa penunjang di
pertambangan dan perminyakan; dan (5) usaha penyediaan angkutan bagi pekerja/buruh.

Pembatasan itu sejak awal sudah diatur dalam Pasal 66 UU Ketenagakerjaan. Keberatan
pengusaha atas pembatasan limabidang kegiatan jasa penunjang di atas muncul karena
menggunakan penafsiran sejarah pembentukan UU Ketenagakerjaan. Pembatasan lima bidang
jasa penunjang di atas secara gramatikal sudah baku. Kata ‘antara lain’dalam penjelasan Pasal 66
UU Ketenagakerjaanbersifat pasti dan terbatas pada apa yang disebut secara tegas dalam
penjelasan itu.  
Permenaker memberi dua alternatif bentuk hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan PPJP/B,
yaitu perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) dan perjanjian kerja waktu tidak tertentu
(PKWTT). Hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan PPJP/B selama ini dominan
menggunakan PKWT. Bahkan, Permenaker tidak menjamin pekerja/buruh outsourcing akan
semakin banyak bekerja dalam bingkai PKWTT. Permenaker tidak mengatur kewajiban
perusahaan PJP/B memberi kompensasi uang bagi pekerja/buruh outsourcing saat berakhir
PKWT. Permenaker terbaru memastikan, dominasi PKWT dalam PPJP/B tidak akan berkurang.
Karena itu semangat Permenaker ini lebih rendah dari hukum yang terdapat dalam putusan MK.

F.            Masa Berlaku  Permenakertrans


Permenaker ini diundangkan pada19 November 2012. Dalam ketentuan penutup,Kemenakertrans
memberi kesempatan kepada perusahaan pemberi pekerjaan, perusahaan penerima pemborongan
atau PPJP/B menyesuaikan diri dengan ketentuan yang terdapat dalam Permenaker paling lambat
12 bulan. Perusahaan pemborong pekerjaan atau PPJP/B yang tidak menyesuaikan perjanjian
kerja dengan Permenaker tetap bertanggung jawab memenuhi hak pekerja/buruh yang
diperjanjikan.

Ketentuan peralihan dalam Permenaker sejatinya ditujukan kepada perusahaan penyedia


pekerjaan, perusahaan pemborong pekerjaan atau PPJP/B yang sedang terikat hubungan kerja
pemborongan dan PJP/B pada saat Permenaker diberlakukan. Ketentuan peralihan dalam Pasal
34 ayat (1) tidak secara eksplisit ditujukan kepada perjanjian pemborongan dan PPJP/B yang
sedang berjalan, sehingga ketentuan peralihan yang terdapat dalam Pasal 34 sasaran
pengaturannya bersifat abstrak.     

G.           Resistensi Pengusaha dan Pekerja/buruh


Pengusaha menolak Permenaker, sedangkan serikat pekerja/serikat buruh asyik mengkaji
kemanfaatannya sambil menggerutu. Pengusaha secara terbuka mengutarakan niat mengajukan
judicial review ke Mahkamah Agung (MA).

Oleh karena itu, pengusaha dan pekerja/buruh bila mengacu pada UU Pembentukan Peraturan
Perundang-undangandan UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman memiliki hak
yang sama untuk‘menggugat’Permenaker melalui MA. Materi pengujian yang dimohonkan bisa
membatalkan sebagian  atau seluruh isi peraturan yang diuji.        

Pembatasan lima jenis kegiatan jasa penunjang – pada satu sisi -pengusaha menganggap - hal itu
akan menambah jumlah pengangguran. Di sisi lain, pekerja menganggap, outsourcing tenaga
kerja tetap merugikan pekerja/buruh.

Bila kedua asumsi itu benar, urusan outsourcing bukan lagi sekedar masalah hukum tetapi
tergolong masalah kemanusiaan. Satjipto Rahardjo menulis, bernegara hukum adalah suatu
pekerjaan total dan tidak hanya berhubungan dengan urusan hukum semata. Dari permasalahan
hukum dan kemanusiaan, Sadjipto Rahardjo menekankan, penyelesaian utama pada problem
kemanusiaan (Satjipto Rahardjo, 2009 : 105).  
Sebagai fasilitator dan regulator, pemerintah harus bertindak proaktif dan bertindak adil
menyelesaikan sengketa yang mendera pekerja/buruh dan pengusaha. Masalah outsourcing yang
muncul ke publik merupakan masalah bangsa berdimensi nasional.

Praktik outsourcing selama ini ditengarai mengabaikan aspek keadilan sosial. Mochtar
Kusumaatmadja menulis, “asas keadilan sosial mengamanatkan bahwa semua warga negara
mempunyai hak yang sama dan bahwa semua orang sama di hadapan hukum” (Mochtar
Kusumaatmadja, 2006 : 188). Untuk mewujudkan cita-cita itu, Satjipto Rahardjo mengatakan,
pemangku jabatan publik dalam negara hukum harus membahagiakan rakyatnya (Satjipto
Rahardjo, ibid).  

*) Hakim Ad Hoc Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Tulisan ini adalah pendapat pribadi penulis.

Anda mungkin juga menyukai