ستُ ْك ِرهُوا ْ ِّ الخَ طََأ وَ الن:هللا َت َجاوَ زَ ِلي عَ نْ ُأ َّم ِتي
ْ سيَانَ وَ مَا ا َ َّ «ِإن:هللا ﷺ َقال ِ َأنَّ رَ سُو َل،هللا عَ ْن ُهمَا
ُ ي َ ض
ِ ََّاس ر
ٍ ْن عَ ب
ِ عَ ِن اب
ي وَ َغيْرُ ُهمَاُّ َاج ْه وَ البَ ْي َه ِق ٌ عَ لَ ْي ِه» َح ِدي.
َ ْث َحسَنٌ رَ وَ ا ُه ابْنُ م
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah
memaafkan umatku ketika ia tidak sengaja, lupa, dan dipaksa.” (Hadits hasan, HR. Ibnu Majah no. 2045, Al-Baihaqi
VII/356, dan selainnya)
Sumber https://rumaysho.com/25032-hadits-arbain-39-tidak-sengaja-lupa-dipaksa-berarti-tidak-terkena-dosa.html
Faedah hadits
. Luasnya rahmat Allah pada hamba-Nya.
. Allah memaafkan hamba ketika keliru, lupa, atau dipaksa.
. Pemaafan dan kemudahan adalah kekhususan umat ini.
. Syariat datang untuk mengangkat kesulitan. Maka konsekuensinya, dosa diangkat dari orang yang tidak berniat yaitu saat
keliru, lupa, atau dipaksa.
Kaedah dari hadits
Segala yang haram yang dikerjakan hamba karena tidak tahu (jahil), lupa, atau dipaksa, maka tidak dikenakan dosa.
Ketika Lupa
Lupa secara bahasa berarti meninggalkan. Seperti dalam ayat,
نَسُوا اللَّ َه َفنَ ِسيَ ُه ۗ ْم
“Mereka telah lupa kepada Allah, maka Allah melupakan mereka.” (QS. At-Taubah: 67). Maksud nisyan dalam ayat ini adalah
meninggalkan.
Secara istilah, Ibnu Nujaim mengatakan tentang nisyan adalah,
اج ِت ِه ِإلَ ْي ِه َ شيْ ِء وَ ْق
َ ت َح َّ عَ َد ُم تَ َذ َّك ُر ال
“Tidak mengingat sesuatu pada waktu ia membutuhkannya.”
Pengaruh Lupa
Ulama Syafi’iyah dan ulama Hambali dalam pendapat sahih menurut mereka, orang yang lupa berarti telah bebas dari
mukallaf (pembebanan syariat) ketika ia lupa. Karena mengerjakan suatu perintah harus dengan didasari ilmu.
Adapun pengaruh hukum terhadap yang lupa:
Pertama: Hukum ukhrawi
Sepakat para ulama bahwa orang yang lupa tidak dikenakan dosa sama sekali. Sebagaimana firman Allah,
رَ بَّنَا الَ تَُؤ ا ِخ ْذنَا ِإنْ نَ ِسينَا َأوْ َأخْ طَْأ نَا
“Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah.” (QS. Al-Baqarah: 286)
Dalam hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ketika turun firman Allah Ta’ala,
َت رَ بَّنَا الَ تَُؤ ا ِخ ْذنَا ِإنْ نَ ِسينَا َأوْ َأخْ طَْأ نَا َ ََت وَ عَ لَ ْي َها مَا ا ْكت
ْ سب َ الَ يُ َكلِّفُ اللَّ ُه نَ ْفسًا ِإالَّ وُ سْ َع َها لَ َها مَا َك
ْ سب
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang
diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): “Ya Rabb kami, janganlah
Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah.” (QS. Al-Baqarah: 286). Lalu Allah menjawab, aku telah
mengabulkannya.” (HR. Muslim, no. 125).
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma secara marfu’, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ستُ ْك ِرهُوا عَ لَ ْي ِه ْ ِِّإنَّ اللَّ َه وَ ضَ عَ عَ نْ ُأ َّم ِتى ا ْلخَ طََأ وَ الن
ْ سيَانَ وَ مَا ا
“Sesungguhnya Allah menghapuskan dari umatku dosa ketika mereka dalam keadaan keliru, lupa dan dipaksa.” (HR. Ibnu
Majah, no. 2045. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih).
Ibnu Taimiyah berkata tentang masalah ini,
ِ َمَنْ َف َع َل م َْحظُورً ا مُخْ ِطًئا َأوْ ن
اسيًا لَ ْم يَُؤ ا ِخ ْذ ُه اللَّ ُه ِب َذ ِلكَ وَ ِحينَِئ ٍذ يَ ُكونُ ِب َم ْن ِزلَ ِة مَنْ لَ ْم يَ ْف َع ْل ُه فَاَل يَ ُكونُ عَ لَ ْي ِه إ ْث ٌم وَ مَنْ اَل إ ْث َم
وَ ِم ْث ُل َه َذا اَل يُب ِْط ُل. ي عَ ْن ُه َ ي عَ ْن ُه وَ ِحينَِئ ٍذ َفيَ ُكونُ َق ْد َف َع َل مَا ُأ ِمرَ ِب ِه وَ لَ ْم يَ ْف َع ْل مَا ن ُِه َ اصيًا وَ اَل مُرْ تَ ِكبًا ِلمَا ن ُِه
ِ َعَ لَ ْي ِه لَ ْم يَ ُكنْ ع
َات إ َذا لَ ْم يَ ْف َع ْل مَا ُأ ِمرَ ِب ِه َأوْ َف َع َل مَا ُح ِظرَ عَ لَ ْي ِه ِ ِعبَا َدتَ ُه إنَّمَا يُب ِْط ُل ا ْل ِعبَاد
“Siapa saja yang melakukan perkara yang dilarang dalam keadaan keliru atau lupa, Allah tidak akan menyiksanya karena hal
itu. Kondisinya seperti tidak pernah berbuat kesalahan tersebut sehingga ia tidak dihukumi berdosa. Jika tidak berdosa, maka
tidak disebut ahli maksiat dan tidak dikatakan terjerumus dalam dosa. Jadi ia masih dicatat melakukan yang diperintah dan
tidak mengerjakan yang dilarang. Semisal dengan ini tidak membatalkan ibadahnya. Ibadah itu batal jika tidak melakukan
yang Allah perintahkan atau melakukan yang dilarang.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 25:226).
Kedua: Hukum duniawi
Jika itu berkaitan dengan meninggalkan perintah karena lupa, maka tidaklah gugur, bahkan harus dilakukan ketika ingat.
Jika itu berkaitan dengan melakukan larangan dalam keadaan lupa selama bukan pengrusakan, maka tidak dikenakan apa-
apa.
Jika itu berkaitan dengan melakukan larangan dalam keadaan lupa dan ada pengrusakan, maka tetap ada dhaman (ganti
rugi).
Kaedah membedakan lupa dalam perintah dan larangan
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Perbedaan penting yang perlu diperhatikan bahwa siapa yang melakukan yang haram
dalam keadaan lupa, maka ia seperti tidak melakukannya. Sedangkan yang meninggalkan perintah karena lupa, itu bukan
alasan gugurnya perintah. Namun bagi yang mengerjakan larangan dalam keadaan lupa, maka itu uzur baginya sehingga
tidak terkenai dosa.” (I’lam Al-Muwaqi’in, 2:51).
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
اسيًا لَ ْم َي ُكنْ َق ْد َف َع َل َم ْن ِهيًّا عَ ْن ُه
ِ َمَنْ َف َع َل م َْحظُورً ا ن
“Barangsiapa melakukan suatu yang terlarang karena lupa, maka ia tidak dikatakan melakukan suatu yang terlarang.”
(Majmu’ah Al-Fatawa, 20:573)
Beberapa bentuk lupa
Pertama: Lupa dengan meninggalkan perintah
1. Lupa membaca bismillah pada awal wudhu
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الَ صَ الَ َة ِلمَنْ الَ ُوضُو َء لَ ُه وَ الَ ُوضُو َء ِلمَنْ لَ ْم يَ ْذ ُك ِر اسْ َم اللَّ ِه تَعَالَى عَ لَ ْي ِه
“Tidak ada shalat bagi yang tidak ada wudhu. Tidak ada wudhu bagi yang tidak membaca bismillah di dalamnya.” (HR. Abu
Daud, no. 101 dan Ibnu Majah, no. 399. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan).
Kalau dilihat dari hadits-hadits yang ada yang semisal dengan hadits di atas, dapat dikatakan bahwa haditsnya saling
menguatkan satu dan lainnya. Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata, “Nampak bahwa dilihat dari berbagai macam jalur, hadits yang
membicarakan anjuran bismillah saat wudhu saling menguatkan, yang menunjukkan adanya ajaran akan hal itu.” (Talkhish
Al-Habir, 1:128).
Sebagian ulama mendhaifkan hadits di atas, namun dari berbagai jalur, hadits menjadi kuat. Sedangkan penafian (peniadaan)
yang disebutkan dalam hadits adalah kesempurnaan. Jadi maksudnya adalah tidak sempurna wudhunya. Karena ada hadits-
hadits yang membicarakan tentang wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti hadits ‘Abdullah bin Zaid, ‘Utsman bin
‘Affan, dan juga Ibnu ‘Abbas, tidak menyebutkan bismilah di dalamnya. Sehingga penafian yang ada dimaknakan, tidak
sempurna. Jadi tetap ada anjuran membaca bismillah di awal wudhu, namun tidak menunjukkan wajib.
Ulama Syafi’iyah dan madzhab Imam Ahmad berpendapat bahwa membaca bismillah pada awal wudhu termasuk perkara
sunnah. Jika lupa membacanya di awal wudhu, maka boleh dibaca kapan pun saat wudhu sebelum wudhu selesai. Jika
meninggalkan membaca bismillah karena lupa, maka sah wudhunya.
2. Lupa mengerjakan shalat wajib
Para ulama sepakat bahwa siapa saja yang lupa shalat fardhu, wajib ia mengqadha’nya.
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صالَ ِة َأوْ َغ َف َل عَ ْن َها َف ْليُصَ لِّ َها ِإ َذا َذ َكرَ َها َفِإنَّ اللَّ َه يَقُو ُل َأ ِق ِم الصَّ الَ َة ِل ِذ ْك ِرى
َّ ِإ َذا رَ َق َد َأ َح ُد ُك ْم عَ ِن ال
“Jika salah seorang di antara kalian tertidur dari shalat atau ia lupa dari shalat, maka hendaklah ia shalat ketiak ia ingat.
Karena Allah berfirman (yang artinya): Kerjakanlah shalat ketika ingat.” (QS. Thaha: 14) (HR. Muslim, no. 684)
Cara mengqadha’nya jika yang lupa lebih dari satu shalat, bisa dengan petunjuk dari Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-
Sa’di berikut ketika beliau mengatakan dalam Manhajus Salikin,
وَ مَنْ َفاتَ ْت ُه صَ اَل ٌة وَ َجبَ عَ لَ ْي ِه َقضَ اُؤ َها َفوْ رً ا مُرَ تِّبًا
اضرَ ِة َ َس َقط َ التَّرْ ِتيْبُ بَ ْينَ َها وَ بَيْن
ِ الح َ صالَ ِةَّ ت الَ ْي َأوْ َج ِهلَ ُه َأوْ خَ افَ َفو
َ َفِإنْ نَ ِس
“Siapa yang luput dari shalat, wajib baginya untuk mengqadha’nya segera secara berurutan.
Jika ia lupa, tidak tahu, atau khawatir luput dari shalat hadhirah (yang saat ini ada), maka gugurlah tartib (berurutan) antara
shalat yang luput tadi dan shalat yang hadhirah (yang saat ini ada).”
3. Lupa salah satu bagian shalat
Sebagaimana dikatakan oleh Al-Qadhi Abu Syuja’ dalam Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib, ketentuan mengenai perkara yang
tertinggal dalam shalat ada tiga yaitu: fardhu, sunnah ab’adh, dan sunnah hai’at.
Jika termasuk fardhu (rukun shalat), apabila tertinggal dalam shalat, maka tidak bisa digantikan dengan sujud sahwi. Akan
tetapi jika seseorang teringat sementara jarak waktu masih memungkinkan untuk mengerjakannya, dia harus mengerjakan
perkara tersebut dan di akhir melakukan sujud sahwi.
Jika termasuk sunnah ab’adh (seperti tasyahud awwal, duduk tasyahud awwal, shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam pada tasyahud awal, shalawat kepada keluar Nabi pada tasyahud awal dan akhir, pen.), lalu tertinggal dalam shalat,
maka tidak perlu diulang apabila yang rukun (fardhu) sudah dikerjakan. Akan tetapi di akhir, harus melakukan sujud sahwi.
Jika termasuk dalam sunnah hai’at, maka perkara yang tertinggal tersebut tidak perlu diulang setelah tertinggal dan
seseorang tidak perlu melakukan sujud sahwi.
Sebab melakukan sujud sahwi menurut ulama Syafi’iyah ada empat:
. Meninggalkan salah satu dari sunnah ab’adh seperti tasyahud awal.
. Ragu mengenai jumlah rakaat.
. Melakukan sesuatu yang terlarang dalam shalat karena lupa; jika dilakukan sengaja, akan membatalkan shalat seperti
menambah rakaat jadi lima dalam shalat Zhuhur karena lupa.
. Memindahkan yang merupakan fi’il (perbuatan) shalat baik rukun shalat atau sunnah ab’adh atau memindahkan membaca
surat bukan pada tempatnya seperti membaca Al-Fatihah ketika tasyahud, membaca surat pendek ketika I’tidal. (Lihat Al-
Fiqh Al-Manhaji, 1:173-174)
Cara melakukan sujud sahwi:
Sujud sahwi dilakukan dengan dua kali sujud seperti sujud saat shalat. Yang ingin melakukannya berniat untuk sujud sahwi.
Sujud sahwi dilakukan di akhir shalat sebelum salam. Jika seseorang yang shalat mengucapkan salam sebelum sujud sahwi
dengan sengaja atau lupa, dan jedanya sudah begitu lama, maka sujud sahwi jadi gugur. Jika jaraknya masih dekat, maka
sujud sahwi tetap dilakukan dengan dua kali sujud dengan niatan sujud sahwi, lalu salam. Inilah penjelasan dalam madzhab
Syafi’i sebagaimana disebutkan dalam Al-Fiqh Al-Manhaji, hlm. 174.
Dalam Mughni Al-Muhtaj–salah satu kitab fiqih Syafi’iyah–disebutkan, “Tata cara sujud sahwi sama seperti sujud ketika shalat
dalam perbuatann wajib dan sunnahnya, seperti meletakkan dahi, thuma’ninah(bersikap tenang), menahan sujud,
menundukkan kepala, melakukan duduk iftirosy ketika duduk antara dua sujud sahwi, duduk tawarruk ketika selesai dari
melakukan sujud sahwi, dan dzikir yang dibaca pada kedua sujud tersebut adalah seperti dzikir sujud dalam shalat.”
Baca Juga: Manhajus Salikin: Sujud Sahwi
4. Lupa membaca bismillah ketika makan
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
سْم اللَّ ِه َأوَّ لَ ُه وَ آ ِخرَ ُه
ِ س َم اللَّ ِه تَعَالَى ِفى َأ َّو ِل ِه َف ْليَقُلْ ِب
ْ ى َأنْ يَ ْذ ُكرَ ا
َ ِإ َذا َأ َك َل َأ َح ُد ُك ْم َف ْليَ ْذ ُك ِر اسْ َم اللَّ ِه تَعَالَى َفِإنْ نَ ِس
“Apabila salah seorang di antara kalian makan, maka hendaknya ia menyebut nama Allah Ta’ala. Jika ia lupa untuk menyebut
nama Allah Ta’ala di awal, hendaklah ia mengucapkan: ‘BISMILLAAH AWWALAHU WA AAKHIROHU (dengan nama Allah
pada awal dan akhirnya).’” (HR. Abu Daud, no. 3767 dan Tirmidzi, no. 1858. Tirmidzi mengatakan hadits tersebut hasan sahih.
Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits tersebut sahih).
Dalam lafazh lain disebutkan,
ِبسْ ِم اللَّه ِفي َأوَّله وَ آ ِخره: ْي ِفي َأوَّ له َف ْليَقُل
َ َفِإنْ نَ ِس، ِإ َذا َأ َك َل َأ َحد ُك ْم طَعَامًا َف ْليَ ُق ْل ِبس ِْم اللَّه
“Apabila salah seorang di antara kalian makan, maka hendaknya ia ucapkan “Bismillah”. Jika ia lupa untuk menyebutnya,
hendaklah ia mengucapkan: BISMILLAAH FII AWWALIHI WA AAKHIRIHI (dengan nama Allah pada awal dan akhirnya).” (HR.
Tirmidzi no. 1858, Abu Daud no. 3767 dan Ibnu Majah no. 3264. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini
sahih dan Syaikh Al Albani menyatakan hadits ini sahih).
Ketika Dipaksa
Bagaimana jika ada yang dipaksa dengan ancaman dibunuh untuk mengucapkan kalimat kufur, lantas ia mengucapkannya?
Atau bagaimana jika ia dipaksa untuk murtad?
Tentang masalah tersebut, mari kita perhatikan dalil-dalil berikut ini.
شرَ َح ِبا ْل ُك ْف ِر صَ دْرً ا َف َعلَي ِْه ْم َغضَ بٌ ِّمنَ اللَّ ِه وَ لَ ُه ْم
َ َان وَ لَ ِكن مَّن ُأ
ِ مَن َك َفرَ ِباللَّ ِه ِمن بَ ْع ِد إيمَا ِن ِه ِإالَّ مَنْ ْك ِر َه وَ َق ْلبُ ُه ُمطْمَِئنٌّ ِباِإليم
عَ َذابٌ عَ ِظي ٌم
“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir
padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk
kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.” (QS. An-Nahl: 106)
Dalam hadits disebutkan bahwa orang-orang musyrik pernah menyiksa ‘Ammar bin Yasir. Ia tidaklah dilepas sampai mencela
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menyanjung dengan kebaikan pada sesembehan orang musyrik. Lalu setelah itu ia pun
dilepas. Ketika ‘Ammar mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ia pun ditanya oleh Rasul, “Apa yang terjadi
padamu?” “Sial, wahai Rasulullah. Aku tidaklah dilepas sampai aku mencelamu dan menyanjung-nyanjung sesembahan
mereka.”
« ِإنْ عَ ادُوا َف ُع ْد: َان َقا َل
ِ ُمطْمَِئنٌّ ِباِإل ْيم: « َكيْفَ تَ ِج ُد َق ْلبَكَ ؟ » َقا َل: » َقا َل
Rasul balik bertanya, “Bagaimana hatimu saat itu?” Ia menjawab, “Hatiku tetap dalam keadaan tenang dengan iman.” Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali mengatakan, “Kalau mereka memaksa (menyiksa) lagi, silakan engkau mengulanginya
lagi seperti tadi.” (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, 2: 389; Al-Baihaqi dalam Sunan Al-Kubra, 8: 208. Sanad hadits ini dha’if.
Namun ada banyak jalur periwayatan kisah ini. Intinya kisah ini masih memiliki asal. Ibnu Hajar dalam Fath Al-Bari, 12: 312
menyatakan bahwa hadits ini termasuk hadits mursal yang saling menguatkan satu dan lainnya)
Ibnu Hazm juga menyatakan ada klaim ijmak dalam hal ini. Beliau berkata dalam Maratib Al-Ijma’, hlm. 61,
هللا تَعَالَى َ َان َأنَّ ُه اَل يَ ْلزَ مْ ُه
ِ شيْ ٌء ِمنَ ا ْل ُك ْف ِر ِع ْن َد ِ اتَّ َفقُوْ ا عَ لَى َأنَّ ا ْل ُم ْكرَ َه عَ لَى ا ْل ُك ْف ِر وَ َق ْلبُ ُه ُمطْمَِئنٌّ ِبا
ِ ال ْيم
“Para ulama sepakat bahwa orang yang dipaksa berbuat kufur sedangkan hatinya dalam keadaan tenang di atas iman, ia
tidak dihukumi kufur di sisi Allah Ta’ala.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Al-Istiqamah (2: 210) berkata,
ٍّوَ ِل َه َذا لَ ْم َي ُكنْ ِع ْن َدنَا ِنزَ اعٌ ِفي َأنَّ اَأل ْقوَ ا َل الَ يَ ْثبُتُ ُح ْك ُم َها ِفي َحقِّ ال ُم ْكرَ ِه ِب َغي ِْر َحق
“Oleh karena itu, kami tidak ada silang pendapat mengenai hukum bagi orang yang dipaksa tanpa jalan yang benar bahwa
tidak dikenakan hukum padanya.”
Sumber https://rumaysho.com/25032-hadits-arbain-39-tidak-sengaja-lupa-dipaksa-berarti-tidak-terkena-dosa.html