Anda di halaman 1dari 8

Hadits Arbain #39

‫ستُ ْك ِرهُوا‬ ْ ِّ‫ الخَ طََأ وَ الن‬:‫هللا َت َجاوَ زَ ِلي عَ نْ ُأ َّم ِتي‬
ْ ‫سيَانَ وَ مَا ا‬ َ َّ‫ «ِإن‬:‫هللا ﷺ َقال‬ ِ ‫ َأنَّ رَ سُو َل‬،‫هللا عَ ْن ُهمَا‬
ُ ‫ي‬ َ ‫ض‬
ِ َ‫َّاس ر‬
ٍ ‫ْن عَ ب‬
ِ ‫عَ ِن اب‬
‫ي وَ َغيْرُ ُهمَا‬ُّ ‫َاج ْه وَ البَ ْي َه ِق‬ ٌ ‫عَ لَ ْي ِه» َح ِدي‬.
َ ‫ْث َحسَنٌ رَ وَ ا ُه ابْنُ م‬
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah
memaafkan umatku ketika ia tidak sengaja, lupa, dan dipaksa.” (Hadits hasan, HR. Ibnu Majah no. 2045, Al-Baihaqi
VII/356, dan selainnya)

Sumber https://rumaysho.com/25032-hadits-arbain-39-tidak-sengaja-lupa-dipaksa-berarti-tidak-terkena-dosa.html

Telah ada penjelasan dalam menafsirkan ayat Allah:


ُ‫َوِإنْ ُت ْبد ُْوا َما فِيْ َأ ْنفُسِ ُك ْم َأ ْو ُت ْخفُ ْوهُ ي َُحاسِ ْب ُك ْم ِب ِه هللا‬
“Jika kalian tampakkan yang ada pada hati kalian atau tidak kalian tampakkan Allah tetap menghisab
kalian” (Al Baqarah: 284).
Ketika turun ayat ini para shahabat Radiyallahu’anhum merasa berat, maka Abu Bakar, Umar,
Abdurrahman bin Auf dan Muadz bin Jabal mendatangi Rasulullah bersama sekelompok orang yang
berkata:
‫ث َن ْف َس ُه ِب َما الَ َي ِجبُ َأنْ َي ْثبُت فِيْ َق ْل ِب ِه َوَأنَّ لَ ُه ال ُّد ْن َيا‬ َ ‫ ِإنَّ َأ َح َد َنا لَي َُح ِّد‬،‫ْق‬
ُ ‫ َكلَّ َف َنا م َِن ْال َع َم ِل َماالَ ُنطِ ي‬.
“Allah membebani kami dengan sesuatu yang tidak mampu kami lakukan, sungguh seseorang kami
terbetik dalam hatinya perkara yang tidak ia inginkan hal tersebut ada dalam hatinya walau diberi dunia
seisinya”.
Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
‫ قُ ْولُ ْوا َسمِعْ َنا َوَأ َطعْ َنا‬.‫ص ْي َنا‬ َ ‫ َسمِعْ َنا َو َع‬:‫ت َب ُن ْوا ِإسْ َراِئيْل‬ ْ َ‫ لَ َعلَّ ُك ْم َتقُ ْولُ ْو َن َك َما َقال‬:‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬
َ ُّ‫ َف َقا َل ال َّن ِبي‬.
“Mungkin kalian seperti bani Israil yang berkata: “kami dengar dan kami bermaksiat”, katakanlah kami
dengar dan kami taat”.
Jawaban tersebut terasa berat bagi para shahabat hingga mereka pun diam beberapa lama, akhirnya Allah
menurunkan ayat sebagai jalan keluar dan rahmat bagi hamba-Nya:
‫ت َر َّب َنا الَ ُتَؤ اخ ِْذ َنآ ِإنْ َنسِ ْي َنآ َأ ْو َأ ْخ َطْأ َنا‬ْ ‫ت َو َعلَ ْي َها َما ا ْك َت َس َب‬ ْ ‫الَ ُي َكلِّفُ هللاُ َن ْفسًا ِإالَّ وُ سْ َع َها لَ َها َما َك َس َب‬
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan yang ia mampu, baginya pa yang ia amalkan
dan atasnya apa yang ia perbuat,”Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami
keliru” (Al Baqarah: 284). Allah berfirman: “Telah Aku lakukan…” sampai akhir kisah. Turunlah ayat yang
meringankan dan dimansukhlah (dihapus hukum) ayat yang pertama.
Imam Baihaqi berkata: “Telah berkata Imam Syafi’I: Allah Ta’ala berfirman:
‫ِإالَّ َمنْ ُأ ْك ِر َه َو َق ْل ُب ُه م ُْطمَِئنٌّ ِباِْإل ْي َم ِن‬
“Kecuali orang yang dipaksa dan hatinya masih tentram dengan keimanan” (An Nahl: 106).
Dalam masalah kekafiran ada banyak hukum, tapi karena Allah menegaskan tidak kafirnya orang yang
dipaksa maka gugurlah hukum-hukum lainnya dari seseorang karena dipaksa. Karena jika perkara yang
paling besar gugur maka gugur pula masalah-masalah yang kecil, kemudian beliau meriwayatkan dari Ibnu
Abbas bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Allah akan memaafkan kesalahan seorang hamba karena keliru, lupa atau dipaksa”, juga meriwayatkan
dari Aisyah Radiyallahu’anha Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
‫ال طالق والعتاف في إغالق‬
“Tidak ada thalaq dan pembebasan budak jika dalam keadaan tidak sadar” ini adalah madzhabnya Umar
bin Khatthab, Ibnu Umar dan Ibnu Zubair. Tsabit bin Ahnaf pernah menikahi ummu walad milik
Abdurrahman bin Zaid bin Khattab. Kemudian Abdurrahman bin Zaid memaksanya dengan cambuk dan
ancaman agar ia mentalaq ummu walad ketika masa khalifah Ibnu Zubair, Ibnu Umar berkata kepadanya:
“Belum jatuh thalaq atasmu, kembalilah kekelargamu ketika itu Ibnu Zubair ada di Mekkah, ia pun
menyusulnya kemudian Ibnu Zubair menulis surat kepada pegawainya di Madinah, untuk mengembalikan
istri Tsabit kepadanya, dan perintah untuk menghukum Abdurrahman bin Zaid. Kemudian Shafiyah bintu
Abi Ubaid istri Abdullah bin Umar menyiapkan istri Tsabit, Abdullah bin Umar bahkan menghadiri
pernikahannya, wallahu a’lam.
(Diterjemah Abdurahman Mubarak Ata)

Faedah hadits
. Luasnya rahmat Allah pada hamba-Nya.
. Allah memaafkan hamba ketika keliru, lupa, atau dipaksa.
. Pemaafan dan kemudahan adalah kekhususan umat ini.
. Syariat datang untuk mengangkat kesulitan. Maka konsekuensinya, dosa diangkat dari orang yang tidak berniat yaitu saat
keliru, lupa, atau dipaksa.
 
Kaedah dari hadits
Segala yang haram yang dikerjakan hamba karena tidak tahu (jahil), lupa, atau dipaksa, maka tidak dikenakan dosa.
 

Ketika Lupa
Lupa secara bahasa berarti meninggalkan. Seperti dalam ayat,
‫نَسُوا اللَّ َه َفنَ ِسيَ ُه ۗ ْم‬
“Mereka telah lupa kepada Allah, maka Allah melupakan mereka.” (QS. At-Taubah: 67). Maksud nisyan dalam ayat ini adalah
meninggalkan.
Secara istilah, Ibnu Nujaim mengatakan tentang nisyan adalah,
‫اج ِت ِه ِإلَ ْي ِه‬ َ ‫شيْ ِء وَ ْق‬
َ ‫ت َح‬ َّ ‫عَ َد ُم تَ َذ َّك ُر ال‬
“Tidak mengingat sesuatu pada waktu ia membutuhkannya.”
 
Pengaruh Lupa
Ulama Syafi’iyah dan ulama Hambali dalam pendapat sahih menurut mereka, orang yang lupa berarti telah bebas dari
mukallaf (pembebanan syariat) ketika ia lupa. Karena mengerjakan suatu perintah harus dengan didasari ilmu.
 
Adapun pengaruh hukum terhadap yang lupa:
Pertama: Hukum ukhrawi
Sepakat para ulama bahwa orang yang lupa tidak dikenakan dosa sama sekali. Sebagaimana firman Allah,
‫رَ بَّنَا الَ تَُؤ ا ِخ ْذنَا ِإنْ نَ ِسينَا َأوْ َأخْ طَْأ نَا‬
“Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah.” (QS. Al-Baqarah: 286)
Dalam hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ketika turun firman Allah Ta’ala,
‫َت رَ بَّنَا الَ تَُؤ ا ِخ ْذنَا ِإنْ نَ ِسينَا َأوْ َأخْ طَْأ نَا‬ َ َ‫َت وَ عَ لَ ْي َها مَا ا ْكت‬
ْ ‫سب‬ َ ‫الَ يُ َكلِّفُ اللَّ ُه نَ ْفسًا ِإالَّ وُ سْ َع َها لَ َها مَا َك‬
ْ ‫سب‬
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang
diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): “Ya Rabb kami, janganlah
Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah.” (QS. Al-Baqarah: 286). Lalu Allah menjawab, aku telah
mengabulkannya.” (HR. Muslim, no. 125).
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma secara marfu’, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫ستُ ْك ِرهُوا عَ لَ ْي ِه‬ ْ ِّ‫ِإنَّ اللَّ َه وَ ضَ عَ عَ نْ ُأ َّم ِتى ا ْلخَ طََأ وَ الن‬
ْ ‫سيَانَ وَ مَا ا‬
“Sesungguhnya Allah menghapuskan dari umatku dosa ketika mereka dalam keadaan keliru, lupa dan dipaksa.” (HR. Ibnu
Majah, no. 2045. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih).
Ibnu Taimiyah berkata tentang masalah ini,
ِ َ‫مَنْ َف َع َل م َْحظُورً ا مُخْ ِطًئا َأوْ ن‬
‫اسيًا لَ ْم يَُؤ ا ِخ ْذ ُه اللَّ ُه ِب َذ ِلكَ وَ ِحينَِئ ٍذ يَ ُكونُ ِب َم ْن ِزلَ ِة مَنْ لَ ْم يَ ْف َع ْل ُه فَاَل يَ ُكونُ عَ لَ ْي ِه إ ْث ٌم وَ مَنْ اَل إ ْث َم‬
‫ وَ ِم ْث ُل َه َذا اَل يُب ِْط ُل‬. ‫ي عَ ْن ُه‬ َ ‫ي عَ ْن ُه وَ ِحينَِئ ٍذ َفيَ ُكونُ َق ْد َف َع َل مَا ُأ ِمرَ ِب ِه وَ لَ ْم يَ ْف َع ْل مَا ن ُِه‬ َ ‫اصيًا وَ اَل مُرْ تَ ِكبًا ِلمَا ن ُِه‬
ِ َ‫عَ لَ ْي ِه لَ ْم يَ ُكنْ ع‬
‫َات إ َذا لَ ْم يَ ْف َع ْل مَا ُأ ِمرَ ِب ِه َأوْ َف َع َل مَا ُح ِظرَ عَ لَ ْي ِه‬ ِ ‫ِعبَا َدتَ ُه إنَّمَا يُب ِْط ُل ا ْل ِعبَاد‬
“Siapa saja yang melakukan perkara yang dilarang dalam keadaan keliru atau lupa, Allah tidak akan menyiksanya karena hal
itu. Kondisinya seperti tidak pernah berbuat kesalahan tersebut sehingga ia tidak dihukumi berdosa. Jika tidak berdosa, maka
tidak disebut ahli maksiat dan tidak dikatakan terjerumus dalam dosa. Jadi ia masih dicatat melakukan yang diperintah dan
tidak mengerjakan yang dilarang. Semisal dengan ini tidak membatalkan ibadahnya. Ibadah itu batal jika tidak melakukan
yang Allah perintahkan atau melakukan yang dilarang.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 25:226).
 
Kedua: Hukum duniawi
Jika itu berkaitan dengan meninggalkan perintah karena lupa, maka tidaklah gugur, bahkan harus dilakukan ketika ingat.
Jika itu berkaitan dengan melakukan larangan dalam keadaan lupa selama bukan pengrusakan, maka tidak dikenakan apa-
apa.
Jika itu berkaitan dengan melakukan larangan dalam keadaan lupa dan ada pengrusakan, maka tetap ada dhaman (ganti
rugi).
 
Kaedah membedakan lupa dalam perintah dan larangan
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Perbedaan penting yang perlu diperhatikan bahwa siapa yang melakukan yang haram
dalam keadaan lupa, maka ia seperti tidak melakukannya. Sedangkan yang meninggalkan perintah karena lupa, itu bukan
alasan gugurnya perintah. Namun bagi yang mengerjakan larangan dalam keadaan lupa, maka itu uzur baginya sehingga
tidak terkenai dosa.” (I’lam Al-Muwaqi’in, 2:51).
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
‫اسيًا لَ ْم َي ُكنْ َق ْد َف َع َل َم ْن ِهيًّا عَ ْن ُه‬
ِ َ‫مَنْ َف َع َل م َْحظُورً ا ن‬
“Barangsiapa melakukan suatu yang terlarang karena lupa, maka ia tidak dikatakan melakukan suatu yang terlarang.”
(Majmu’ah Al-Fatawa, 20:573)
 
Beberapa bentuk lupa
Pertama: Lupa dengan meninggalkan perintah
1. Lupa membaca bismillah pada awal wudhu
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫الَ صَ الَ َة ِلمَنْ الَ ُوضُو َء لَ ُه وَ الَ ُوضُو َء ِلمَنْ لَ ْم يَ ْذ ُك ِر اسْ َم اللَّ ِه تَعَالَى عَ لَ ْي ِه‬
“Tidak ada shalat bagi yang tidak ada wudhu. Tidak ada wudhu bagi yang tidak membaca bismillah di dalamnya.” (HR. Abu
Daud, no. 101 dan Ibnu Majah, no. 399. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan).
Kalau dilihat dari hadits-hadits yang ada yang semisal dengan hadits di atas, dapat dikatakan bahwa haditsnya saling
menguatkan satu dan lainnya. Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata, “Nampak bahwa dilihat dari berbagai macam jalur, hadits yang
membicarakan anjuran bismillah saat wudhu saling menguatkan, yang menunjukkan adanya ajaran akan hal itu.” (Talkhish
Al-Habir, 1:128).
Sebagian ulama mendhaifkan hadits di atas, namun dari berbagai jalur, hadits menjadi kuat. Sedangkan penafian (peniadaan)
yang disebutkan dalam hadits adalah kesempurnaan. Jadi maksudnya adalah tidak sempurna wudhunya. Karena ada hadits-
hadits yang membicarakan tentang wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti hadits ‘Abdullah bin Zaid, ‘Utsman bin
‘Affan, dan juga Ibnu ‘Abbas, tidak menyebutkan bismilah di dalamnya. Sehingga penafian yang ada dimaknakan, tidak
sempurna. Jadi tetap ada anjuran membaca bismillah di awal wudhu, namun tidak menunjukkan wajib.
Ulama Syafi’iyah dan madzhab Imam Ahmad berpendapat bahwa membaca bismillah pada awal wudhu termasuk perkara
sunnah. Jika lupa membacanya di awal wudhu, maka boleh dibaca kapan pun saat wudhu sebelum wudhu selesai. Jika
meninggalkan membaca bismillah karena lupa, maka sah wudhunya.
 
2. Lupa mengerjakan shalat wajib
Para ulama sepakat bahwa siapa saja yang lupa shalat fardhu, wajib ia mengqadha’nya.
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫صالَ ِة َأوْ َغ َف َل عَ ْن َها َف ْليُصَ لِّ َها ِإ َذا َذ َكرَ َها َفِإنَّ اللَّ َه يَقُو ُل َأ ِق ِم الصَّ الَ َة ِل ِذ ْك ِرى‬
َّ ‫ِإ َذا رَ َق َد َأ َح ُد ُك ْم عَ ِن ال‬
“Jika salah seorang di antara kalian tertidur dari shalat atau ia lupa dari shalat, maka hendaklah ia shalat ketiak ia ingat.
Karena Allah berfirman (yang artinya): Kerjakanlah shalat ketika ingat.” (QS. Thaha: 14) (HR. Muslim, no. 684)
Cara mengqadha’nya jika yang lupa lebih dari satu shalat, bisa dengan petunjuk dari Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-
Sa’di berikut ketika beliau mengatakan dalam Manhajus Salikin,
‫وَ مَنْ َفاتَ ْت ُه صَ اَل ٌة وَ َجبَ عَ لَ ْي ِه َقضَ اُؤ َها َفوْ رً ا مُرَ تِّبًا‬
‫اضرَ ِة‬ َ َ‫س َقط َ التَّرْ ِتيْبُ بَ ْينَ َها وَ بَيْن‬
ِ ‫الح‬ َ ‫صالَ ِة‬َّ ‫ت ال‬َ ْ‫ي َأوْ َج ِهلَ ُه َأوْ خَ افَ َفو‬
َ ‫َفِإنْ نَ ِس‬
“Siapa yang luput dari shalat, wajib baginya untuk mengqadha’nya segera secara berurutan.
Jika ia lupa, tidak tahu, atau khawatir luput dari shalat hadhirah  (yang saat ini ada), maka gugurlah tartib (berurutan) antara
shalat yang luput tadi dan shalat yang hadhirah (yang saat ini ada).”
 
3. Lupa salah satu bagian shalat
Sebagaimana dikatakan oleh Al-Qadhi Abu Syuja’ dalam Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib, ketentuan mengenai perkara yang
tertinggal dalam shalat ada tiga yaitu: fardhu, sunnah ab’adh, dan sunnah hai’at.
Jika termasuk fardhu (rukun shalat), apabila tertinggal dalam shalat, maka tidak bisa digantikan dengan sujud sahwi. Akan
tetapi jika seseorang teringat sementara jarak waktu masih memungkinkan untuk mengerjakannya, dia harus mengerjakan
perkara tersebut dan di akhir melakukan sujud sahwi.
Jika termasuk sunnah ab’adh (seperti tasyahud awwal, duduk tasyahud awwal, shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam pada tasyahud awal, shalawat kepada keluar Nabi pada tasyahud awal dan akhir, pen.), lalu tertinggal dalam shalat,
maka tidak perlu diulang apabila yang rukun (fardhu) sudah dikerjakan. Akan tetapi di akhir, harus melakukan sujud sahwi.
Jika termasuk dalam sunnah hai’at, maka perkara yang tertinggal tersebut tidak perlu diulang setelah tertinggal dan
seseorang tidak perlu melakukan sujud sahwi.
Sebab melakukan sujud sahwi menurut ulama Syafi’iyah ada empat:
. Meninggalkan salah satu dari sunnah ab’adh seperti tasyahud awal.
. Ragu mengenai jumlah rakaat.
. Melakukan sesuatu yang terlarang dalam shalat karena lupa; jika dilakukan sengaja, akan membatalkan shalat seperti
menambah rakaat jadi lima dalam shalat Zhuhur karena lupa.
. Memindahkan yang merupakan fi’il (perbuatan) shalat baik rukun shalat atau sunnah ab’adh atau memindahkan membaca
surat bukan pada tempatnya seperti membaca Al-Fatihah ketika tasyahud, membaca surat pendek ketika I’tidal. (Lihat Al-
Fiqh Al-Manhaji, 1:173-174)
Cara melakukan sujud sahwi:
Sujud sahwi dilakukan dengan dua kali sujud seperti sujud saat shalat. Yang ingin melakukannya berniat untuk sujud sahwi.
Sujud sahwi dilakukan di akhir shalat sebelum salam. Jika seseorang yang shalat mengucapkan salam sebelum sujud sahwi
dengan sengaja atau lupa, dan jedanya sudah begitu lama, maka sujud sahwi jadi gugur. Jika jaraknya masih dekat, maka
sujud sahwi tetap dilakukan dengan dua kali sujud dengan niatan sujud sahwi, lalu salam. Inilah penjelasan dalam madzhab
Syafi’i sebagaimana disebutkan dalam Al-Fiqh Al-Manhaji, hlm. 174.
Dalam Mughni Al-Muhtaj–salah satu kitab fiqih Syafi’iyah–disebutkan, “Tata cara sujud sahwi sama seperti sujud ketika shalat
dalam perbuatann wajib dan sunnahnya, seperti meletakkan dahi, thuma’ninah(bersikap tenang), menahan sujud,
menundukkan kepala, melakukan duduk iftirosy ketika duduk antara dua sujud sahwi, duduk tawarruk ketika selesai dari
melakukan sujud sahwi, dan dzikir yang dibaca pada kedua sujud tersebut adalah seperti dzikir sujud dalam shalat.”
Baca Juga: Manhajus Salikin: Sujud Sahwi
4. Lupa membaca bismillah ketika makan
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫سْم اللَّ ِه َأوَّ لَ ُه وَ آ ِخرَ ُه‬
ِ ‫س َم اللَّ ِه تَعَالَى ِفى َأ َّو ِل ِه َف ْليَقُلْ ِب‬
ْ ‫ى َأنْ يَ ْذ ُكرَ ا‬
َ ‫ِإ َذا َأ َك َل َأ َح ُد ُك ْم َف ْليَ ْذ ُك ِر اسْ َم اللَّ ِه تَعَالَى َفِإنْ نَ ِس‬
“Apabila salah seorang di antara kalian makan, maka hendaknya ia menyebut nama Allah Ta’ala. Jika ia lupa untuk menyebut
nama Allah Ta’ala di awal, hendaklah ia mengucapkan: ‘BISMILLAAH AWWALAHU WA AAKHIROHU (dengan nama Allah
pada awal dan akhirnya).’” (HR. Abu Daud, no. 3767 dan Tirmidzi, no. 1858. Tirmidzi mengatakan hadits tersebut hasan sahih.
Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits tersebut sahih).
Dalam lafazh lain disebutkan,
‫ ِبسْ ِم اللَّه ِفي َأوَّله وَ آ ِخره‬: ْ‫ي ِفي َأوَّ له َف ْليَقُل‬
َ ‫ َفِإنْ نَ ِس‬، ‫ِإ َذا َأ َك َل َأ َحد ُك ْم طَعَامًا َف ْليَ ُق ْل ِبس ِْم اللَّه‬
“Apabila salah seorang di antara kalian makan, maka hendaknya ia ucapkan “Bismillah”. Jika ia lupa untuk menyebutnya,
hendaklah ia mengucapkan: BISMILLAAH FII AWWALIHI WA AAKHIRIHI (dengan nama Allah pada awal dan akhirnya).” (HR.
Tirmidzi no. 1858, Abu Daud no. 3767 dan Ibnu Majah no. 3264. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini
sahih dan Syaikh Al Albani menyatakan hadits ini sahih).
 

Kedua: Lupa dengan melakukan larangan


1. Makan dan minum dalam keadaan lupa saat puasa
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
َ َ‫ َفِإنَّمَا َأطْ َع َم ُه َاللَّ ُه و‬,‫ َف ْليُ ِت َّم صَ وْ َم ُه‬, َ‫ش ِرب‬
‫س َقا ُه‬ َ ْ‫ َفَأ َك َل َأو‬,‫ي وَ ُهوَ صَ اِئ ٌم‬
َ ‫مَنْ نَ ِس‬
“Barangsiapa yang lupa sedang ia dalam keadaan puasa lalu ia makan atau minum, maka hendaklah ia sempurnakan
puasanya karena kala itu Allah yang memberi ia makan dan minum.” (HR. Bukhari, no. 1933 dan Muslim, no. 1155).
 
2. Berbicara dalam shalat dalam keadaan lupa
Dari Mu’awiyah bin Hakam As-Sulamiy radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku ketika itu shalat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam lalu ada seseorang yang bersin dan ketika itu aku menjawab ‘yarhamukallah’ (semoga Allah merahmatimu). Lantas
orang-orang memalingkan pandangan kepadaku. Aku berkata ketika itu,
َّ َ‫شْأ نُ ُك ْم تَ ْنظُرُونَ ِإل‬
‫ى‬ َ ‫وَ اثُ ْك َل ُأ ِّميَا ْه مَا‬
“Aduh, celakalah ibuku! Mengapa Anda semua memandangku seperti itu?” Mereka bahkan menepukkan tangan mereka
pada paha mereka. Setelah itu barulah aku tahu bahwa mereka menyuruhku diam. Lalu aku diam. Tatkala Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai shalat, ayah dan ibuku sebagai tebusanmu (ungkapan sumpah Arab), aku belum pernah
bertemu seorang pendidik sebelum dan sesudahnya yang lebih baik pengajarannya daripada beliau. Demi Allah! Beliau tidak
menghardikku, tidak memukul, dan tidak memakiku. Beliau bersabda saat itu,

ِ ْ‫َّسْبي ُح وَ التَّ ْك ِبيرُ وَ ِقرَ ا َء ُة ا ْلقُر‬


‫آن‬ َ ‫ِإنَّ َه ِذ ِه الصَّ الَ َة الَ يَصْ لُ ُح ِفي َها‬
ِ ‫شىْ ٌء ِمنْ َكالَ ِم الن‬
ِ ‫َّاس ِإنَّمَا ُهوَ الت‬
‘Sesungguhnya shalat ini, tidak pantas di dalamnya ada percakapan manusia, karena shalat itu hanyalah tasbih, takbir dan
membaca Al-Qur’an.’” (HR. Muslim, no. 537)
Menurut ulama Malikiyah dan Syafi’iyah bahwa siapa yang berbicara ketika shalat dalam keadaan lupa, shalatnya tidaklah
batal asalkan kata-kata yang keluar sedikit dan nantinya ditutup kealpaan tersebut dengan sujud sahwi. Jika kata-kata yang
keluar banyak, shalatnya batal.
 
3. Baru mengetahui adanya najis setelah shalat
Barangsiapa yang lupa membersihkan diri dari najis lalu ia shalat dalam keadaan lupa, maka shalatnya sah. Masalah najis
berkaitan dengan larangan ketika shalat. Ketika dilakukan diterjang dalam keadaan lupa, maka shalatnya tetap sah dan tidak
perlu diulangi. Hal ini menjadi pendapat Syafi’i yang qadim. Dalil dari hal ini adalah hadits ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam melepas sandal saat shalat. Hadits lengkapnya sebagaimana berikut ini.
Dari Abu Sa’id radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
‫َار ِه َفلَمَّا رَ َأى َذ ِلكَ ا ْل َقوْ ُم َأ ْل َقوْ ا‬ ‫َأ‬
ِ ‫سلَّ َم يُصَ لِّي ِب صْ َح ِاب ِه ِإ ْذ خَ لَعَ نَ ْعلَ ْي ِه َفوَ ضَ َع ُهمَا عَ نْ يَس‬ َ َ‫بَ ْينَمَا رَ سُو ُل اللَّ ِه صَ لَّى اللَّ ُه عَ لَ ْي ِه و‬
َ‫ْت نَعْ لَيْك‬ َ ‫سلَّ َم صَ اَل تَ ُه َقا َل مَا َح َملَ ُك ْم عَ لَى ِإ ْل َقا ِء ِنعَا ِل ُك ْم َقالُوا رَ َأ ْينَاكَ َأ ْل َقي‬
َ َ‫ِنعَالَ ُه ْم َفلَمَّا َقضَ ى رَ سُو ُل اللَّ ِه صَ لَّى اللَّ ُه عَ لَ ْي ِه و‬
‫يهمَا َق َذرً ا َأوْ َقا َل َأ ًذى وَ َقا َل ِإ َذا َجا َء‬ ‫َأ‬ ‫َأ‬ ‫َأ‬
ِ ‫سلَّ َم ِإنَّ ِجب ِْري َل تَا ِني َف خْ بَرَ ِني نَّ ِف‬ َ َ‫َفَأ ْل َق ْينَا ِنعَالَنَا َف َقا َل رَ سُو ُل اللَّ ِه صَ لَّى اللَّ ُه عَ لَ ْي ِه و‬
‫َأ َأ‬ ‫َأ‬ ْ ‫َأ َح ُد ُك ْم ِإلَى ا ْل َم‬
‫يهمَا‬ِ ‫س ِج ِد َف ْليَ ْنظُرْ َفِإنْ رَ ى ِفي نَعْ لَ ْي ِه َق َذرً ا وْ ًذى َف ْليَمْ س َْح ُه وَ ْليُصَ ِّل ِف‬
“Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat bersama shahabatnya, tiba-tiba dia melepaskan kedua sandalnya dan
meletakkannya di sebelah kirinya. Ketika para shahabat melihatnya, mereka pun melepas sandalnya. Ketika Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai shalat, beliau berkata, ‘Apa yang membuat kalian melepas sandal kalian?’ Mereka berkata,
‘Kami lihat engkau melepas sandalmu, maka kamipun melepas sandal kami.’ Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, ‘Sesungguhnya Jibril mendatangiku dan mengabarkan kepadaku bahwa pada kedua sandalku terdapat kotoran.
Dan dia berkata, ‘Jika kalian mendatangi masjid, hendaknya memperhatikan, jika pada sandalnya terdapat najis atau kotoran
hendaknya dia bersihkan, lalu shalat dengan memakai keduanya.” (HR. Abu Daud, no. 650. Syaikh Al-Albani mengatakan
bahwa hadits ini sahih)
Baca Juga: Safinatun Najah: Uzur Shalat yaitu Tidur dan Lupa

Ketika Tidak Sengaja


Yang dimaksud di sini adalah tidak punya maksud untuk melakukan sesuatu. Bukan yang dimaksud dengan khatha’ di sini
adalah lawan dari benar atau berarti salah.
Sesuatu ketidaksengajaan tidaklah dikenakan dosa sebagaimana disebutkan dalam ayat,
‫رَ بَّنَا اَل تَُؤ ا ِخ ْذنَا ِإنْ نَ ِسينَا َأوْ َأخْ طَْأ نَا‬
“Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tidak sengaja.” (QS. Al-Baqarah: 286). Dalam hadits
disebutkan bahwa Allah telah memenuhi hal tersebut.
Dalam hadits disebutkan,
‫ِإنَّ اللَّ َه تَ َجاوَ زَ عَ نْ ُأ َّم ِتى ا ْلخَ طََأ وَ النِّسْ يَانَ وَ مَا اسْ تُ ْك ِرهُوا عَ لَ ْي ِه‬
“Sesungguhnya Allah memaafkan umatku ketika ia tidak sengaja, lupa atau dipaksa.” (HR. Ibnu Majah, no. 2043. Al-Hafizh
Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini sahih karena memiliki penguat dari jalur lainnya)
 
Apakah kalau tidak sengaja dikenakan ganti rugi?
Hal ini perlu dirinci.
Pertama, jika terkait dengan hak sesama manusia. Ada dua hal yang perlu diperhatikan:
. Jika memang perbuatan tersebut diizinkan, ia sengaja melakukan, namun tidak sengaja merusak, ketika itu tidak ada dhaman
(ganti rugi). Contoh seperti yang dilakukan oleh seorang tabib atau dokter, atau orang yang menjadi wakil (diserahi
tanggung jawab) lalu tidak sengaja merusak. Karena kaedahnya, sesuatu yang dibolehkan oleh syari’at mengakibatkan tidak
ada dhaman (ganti rugi).
. Jika memang perbuatan tersebut tidak diizinkan, maka dikenakan dhaman (ganti rugi). Contoh orang yang tidak sengaja
membunuh orang lain walaupun tidak dikenakan qishash (nyawa dibalas nyawa), namun tetap dikenakan dhaman (ganti
rugi) yaitu dikenakan diyyat.
Kedua, jika terkait dengan hak Allah, maka tidak ada hukuman had. Namun apakah ada dhaman (ganti rugi)? Hal ini perlu
dirinci.
. Jika tidak ada itlaf (pengrusakan) seperti seseorang yang tidak sengaja menutup kepalanya saat ihram atau memakai baju
saat ihram (padahal tidak boleh mengenakan pakaian yang membentuk lekuk tubuh seperti baju, pen.), maka tidak ada
kafarah
. Jika ada itlaf (pengrusakan) seperti memotong kuku saat ihram atau memotong rambut saat ihram atau berburu hewan saat
ihram, maka ada beda pendapat jika dilakukan tidak sengaja untuk kasus kedua ini. Pendapat yang lebih kuat adalah tetap
dikenakan kafarah.
Baca Juga: Kaedah Fikih (26): Merusak Tetapi Tidak Perlu Ganti Rugi
Adapun yang dimaksud dengan kafarah atau fidyah:
Fidyah karena melakukan larangan ihram yaitu mencukur rambut, memotong kuku, memakai harum-haruman, mencumbu
istri dengan syahwat, memakai pakaian berjahit yang membentuk lekuk tubuh bagi laki-laki, memakai sarung tangan,
menutup rambut kepala, dan memakai niqob bagi wanita.
Bentuk fidyah dari setiap pelanggaran ini adalah memilih salah satu dari tiga hal:
. Menyembelih satu ekor kambing
. Memberi makan kepada enam orang miskin
. Berpuasa selama tiga hari
 

Ketika Dipaksa
Bagaimana jika ada yang dipaksa dengan ancaman dibunuh untuk mengucapkan kalimat kufur, lantas ia mengucapkannya?
Atau bagaimana jika ia dipaksa untuk murtad?
Tentang masalah tersebut, mari kita perhatikan dalil-dalil berikut ini.
‫شرَ َح ِبا ْل ُك ْف ِر صَ دْرً ا َف َعلَي ِْه ْم َغضَ بٌ ِّمنَ اللَّ ِه وَ لَ ُه ْم‬
َ ‫َان وَ لَ ِكن مَّن‬ ‫ُأ‬
ِ ‫مَن َك َفرَ ِباللَّ ِه ِمن بَ ْع ِد إيمَا ِن ِه ِإالَّ مَنْ ْك ِر َه وَ َق ْلبُ ُه ُمطْمَِئنٌّ ِباِإليم‬
‫عَ َذابٌ عَ ِظي ٌم‬
“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir
padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk
kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.” (QS. An-Nahl: 106)
Dalam hadits disebutkan bahwa orang-orang musyrik pernah menyiksa ‘Ammar bin Yasir. Ia tidaklah dilepas sampai mencela
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menyanjung dengan kebaikan pada sesembehan orang musyrik. Lalu setelah itu ia pun
dilepas. Ketika ‘Ammar mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ia pun ditanya oleh Rasul, “Apa yang terjadi
padamu?” “Sial, wahai Rasulullah. Aku tidaklah dilepas sampai aku mencelamu dan menyanjung-nyanjung sesembahan
mereka.”
‫ « ِإنْ عَ ادُوا َف ُع ْد‬: ‫َان َقا َل‬
ِ ‫ ُمطْمَِئنٌّ ِباِإل ْيم‬: ‫ « َكيْفَ تَ ِج ُد َق ْلبَكَ ؟ » َقا َل‬: ‫» َقا َل‬
Rasul balik bertanya, “Bagaimana hatimu saat itu?” Ia menjawab, “Hatiku tetap dalam keadaan tenang dengan iman.”  Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali mengatakan, “Kalau mereka memaksa (menyiksa) lagi, silakan engkau mengulanginya
lagi seperti tadi.” (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, 2: 389; Al-Baihaqi dalam Sunan Al-Kubra, 8: 208. Sanad hadits ini dha’if.
Namun ada banyak jalur periwayatan kisah ini. Intinya kisah ini masih memiliki asal. Ibnu Hajar dalam Fath Al-Bari, 12: 312
menyatakan bahwa hadits ini termasuk hadits mursal yang saling menguatkan satu dan lainnya)
Ibnu Hazm juga menyatakan ada klaim ijmak dalam hal ini. Beliau berkata dalam Maratib Al-Ijma’, hlm. 61,
‫هللا تَعَالَى‬ َ ‫َان َأنَّ ُه اَل يَ ْلزَ مْ ُه‬
ِ ‫شيْ ٌء ِمنَ ا ْل ُك ْف ِر ِع ْن َد‬ ِ ‫اتَّ َفقُوْ ا عَ لَى َأنَّ ا ْل ُم ْكرَ َه عَ لَى ا ْل ُك ْف ِر وَ َق ْلبُ ُه ُمطْمَِئنٌّ ِبا‬
ِ ‫ال ْيم‬
“Para ulama sepakat bahwa orang yang dipaksa berbuat kufur sedangkan hatinya dalam keadaan tenang di atas iman, ia
tidak dihukumi kufur di sisi Allah Ta’ala.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Al-Istiqamah (2: 210) berkata,
ٍّ‫وَ ِل َه َذا لَ ْم َي ُكنْ ِع ْن َدنَا ِنزَ اعٌ ِفي َأنَّ اَأل ْقوَ ا َل الَ يَ ْثبُتُ ُح ْك ُم َها ِفي َحقِّ ال ُم ْكرَ ِه ِب َغي ِْر َحق‬
“Oleh karena itu, kami tidak ada silang pendapat mengenai hukum bagi orang yang dipaksa tanpa jalan yang benar bahwa
tidak dikenakan hukum padanya.”

Juga dalam Ensiklopedia Fikih, Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah (22: 182) disebutkan,


ِ ‫ لَ ْم ي‬: ‫وَ اتَّ َف َق ال ُف َق َها ُء عَ لَى َأنَّ مَنْ ُأ ْك ِر َه عَ لَى ال ُك ْف ِر َفَأتَى ِب َك ِل َم ِة ال ُك ْف ِر‬
‫َصرْ َكا ِفر ًا‬
“Para fuqaha sepakat bahwa siapa yang dipaksa untuk melakukan suatu kekufuran lantas ia mengucapkan kalimat kufur,
maka tidak divonis sebagai orang kafir.”
Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullah dalam kitab tafsirnya (14: 223) mengatakan, Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma
menyatakan bahwa siapa saja yang kufur setelah sebelumnya ia beriman, maka baginya murka Allah dan baginya siksa yang
pedih. Namun siapa yang dipaksa untuk mengucapkan kalimat kufur, namun hatinya tetap masih dalam keadaan iman, ia
mengucapkannya hanya ingin menyelamatkan diri dari musuhnya, maka seperti itu tidaklah mengapa. Karena Allah Ta’ala
menghukumi hamba hanya karena kekufuran yang ia ridhai dalam hatinya.
Baca Juga: Kaedah Fikih (20): Dipaksa, Tidak Dikenai Dosa

Dipaksa itu ada dua macam


Dalam Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah (22: 182) disebutkan bahwa pemaksaan itu ada dua macam.
Pemaksaan pertama disebut ikrahan tamman, yaitu pemaksaan sempurna, artinya benar-benar menghadapi bahaya besar.
Seperti dipaksa dengan dibunuh, dipotong, dipukul yang dapat membahayakan jiwa atau anggota badan, baik dengan
sedikit atau banyak pukulan.
Pemaksaan kedua disebut ikrahan naqishan, yaitu pemaksaan yang tidak sempurna, artinya tidak benar-benar mengancam
jiwa. Seperti dipenjara, dirantai, atau pukulan yang tidak sampai membahayakan jiwa atau anggota badan.
Para ulama menyatakan bahwa yang disebut pemaksaan yang boleh melakukan perbuatan kekufuran atau mengucapkan
kata kufur adalah pemaksaan pertama, yaitu pemaksaan sempurna (ikrahan tamman). Namun syarat disebut ikrahan tamman
adalah:
. Ancaman yang diberikan benar-benar berdampak bahaya pada jiwa atau anggota badan.
. Yang memaksa benar-benar mampu diwujudkan ancamannya.
. Yang dipaksa benar-benar tidak mampu untuk menolak ancaman pada dirinya, baik dengan melarikan diri atau meminta
pertolongan pada yang lain.
. Yang dipaksa punya sangkaan kuat bahwa ancaman tersebut benar-benar bisa diwujudkan oleh yang memaksa.
 
Memilih mati
Bolehkah bagi yang diancam memilih untuk bersabar dan terus terkena bahaya dan terus disakiti, andai juga ia terbunuh
ketika itu?
Iya, boleh memilih seperti itu. Bilal bin Rabbah radhiyallahu ‘anhu dan lainnya pernah memilih seperti itu.
Ibnu Katsir rahimahullah menyatakan, seseorang boleh memilih untuk mati ketika diancam untuk mengatakan kalimat kufur.
Seperti yang dipilih oleh Bilal. Ia enggan mengucapkan kalimat kufur. Sampai-sampai orang kafir meletakkan batu yang
besar di dadanya dalam keadaan panas. Mereka terus memaksa Bilal untuk berbuat syirik pada Allah, namun Bilal enggan
menuruti keinginan mereka. Bilal tetap mengatakan, “Ahad, Ahad (artinya: Esa, Esa).” Bilal mengatakan, “Demi Allah,
seandainya aku tahu suatu kalimat yang akan membuat kalian lebih marah dari kalimat itu, tentu aku akan
mengucapkannya.” Semoga Allah meridhai Bilal.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 4: 715)
Semoga bahasan ini bermanfaat.
Baca Juga: Hadits Arbain #40: Hidup di Dunia Hanya Sebentar
Referensi:
. Al-Fiqh Al-Manhaji ‘ala Madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i. Syaikh Dr. Musthafa Al-Khin, Suyaikh Dr. Musthafa Al-Bugha, Syaikh
‘Ali Asy-Syabaji. Penerbit Darul Qalam.
. Al-Haram fii Asy-Syari’ah Al-Islamiyah. Cetakan pertama, tahun 1432 H. Dr. Qutb Ar Risuni, terbitan Dar Ibni Hazm.
. Al-Mawshu’ah Al-Fiqhiyyah. Penerbit Kementrian Agama Kuwait.
. Jami’ Al-Bayan ‘an Ta’wil Ay Al-Qur’an (Tafsir Ath-Thabari). Cetakan pertama, tahun 1423 H. Al-Imam Abu Ja’far Muhammad
bin Jarir Ath-Thabari. Penerbit Dar Ibnu Hazm.
. Khulashah Al-Fawaid wa Al-Qawa’id min Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah. Syaikh ‘Abdullah Al-Farih.
. Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib. Al-Qadhi Abu Syuja’.
. Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah. Cetakan ketiga, Tahun 1425 H. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin. Penerbit Dar
Ats-Tsuraya.
. Syarh Al-Manzhumah As-Sa’diyah fi Al-Qowa’id Al-Fiqhiyyah. Cetakan kedua, tahun 1426 H. Syaikh Dr. Sa’ad bin Nashir bin
‘Abdul ‘Aziz Asy-Syatsri. Penerbit Dar Kanuz Isybiliya.
. Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim. Cetakan pertama, tahun 1431 H. Imam Ibnu Katsir. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.
 
 

Sumber https://rumaysho.com/25032-hadits-arbain-39-tidak-sengaja-lupa-dipaksa-berarti-tidak-terkena-dosa.html

Anda mungkin juga menyukai