Anda di halaman 1dari 7

Buah Manis Menjaga Lisan

Nikmat Allah kepada para hamba-Nya sangatlah banyak tidak terhingga.


Allah Ta’ala berfirman :

‫َوإِن تَعُدُّواْ نِ ْع َمةَ ه‬


ُ ‫ّللاِ الَ ت ُ ْح‬
‫صو َها‬
“Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat
menentukan jumlahnya.“ (QS. An Nahl : 18)

‫َو َما ِبكُم ِ همن ِنه ْع َم ٍة فَ ِم َن ه‬


ِ‫ّللا‬
“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah
(datangnya).” (QS. An Nahl : 53)

Nikmat Allah Berupa Lisan Kepada Hamba-Nya


Nikmat Allah kepada kita sangat banyak dan tidak terhingga. Di antara nikmat
yang hendaknya kita renungkan adalah nikmat yang Allah sebutkan dalam
firman-Nya :

َ ُ‫شفَتَيْن أَلَ ْم ن َْج َعل لَّه‬


‫ع ْينَيْن‬ َ ‫سانا ً َو‬
َ ‫َول‬
“Bukankah Kami telah memberikan kepadanya dua buah mata, lisan, dan dua
buah bibir.” (Al Balad : 8-9 )
Allah menganugerahkan kepada kita dua nikmat yang agung ini, yaitu nikmat
kedua mata sehingga kita bisa melihat dan nikmat lisan sehingga kita bisa
berbicara. Allah juga menciptakan dua bibir sebagai penutup lisan sebagaimana
Allah menciptakan kelopak mata sebagai pelindung mata. Sungguh betapa agung
nikmat Allah ini. Semoga kita bisa mensyukurinya dan menggunakan nikmat ini
dalam ketaatan dan hal-hal yang diridhoi-Nya.
Di antara bentuk mensyukuri nikmat lisan dan kedua mata adalah senantiasa
menggunakannya dalam ketaatan kepada Allah dan menjaganya dari perkara-
perkara yang Allah murkai. Barangsiapa yang Allah muliakan dengan penjagaan
lisan dan pandangannya maka dia akan mendapat faidah dan buah manis berupa
banyaknya kebaikan yang akan dia dapatkan di dunia dan di akhirat. Pada
kesempatan ini kita akan membahas tentang faidah dan buah manis dari menjaga
lisan yang akan didapatkan oleh pelakunya di dunia dan akhirat.
Perempuan memang dikenal lebih banyak mampu mengekspresikan perasaannya
dengan cara berbicara. Hanya saja, ada sebagian perempuan yang kurang dapat
mengontrol ucapannya. Padahal, di dalam hadis Nabi saw terdapat kisah seorang
perempuan ahli ibadah masuk neraka disebabkan karena ucapannya, sebagaimana
diriwayatkan oleh Sahabat Abu Hurairah berikut

َ ‫َّللا إ َّن فُ ََلنَةَ يُ ْذ َك ُر م ْن َكثْ َرة‬


‫ص ََلت َها‬ ُ ‫َع ْن أَبي ُه َري َْرة َ قَا َل قَا َل َر ُج ٌل َيا َر‬
َّ ‫سو َل‬
‫سو َل‬ُ ‫ي في النَّار قَا َل يَا َر‬ َ ‫سان َها قَا َل ه‬ َ ‫صدَقَت َها َغي َْر أَنَّ َها تُؤْ ذي ج‬
َ ‫يرانَ َها بل‬ َ ‫َوصيَام َها َو‬
‫صد َُّق ب ْاْلَثْ َوار م ْن‬
َ َ ‫ص ََلت َها َوإنَّ َها ت‬
َ ‫صدَقَت َها َو‬َ ‫َّللا فَإ َّن فُ ََلنَةَ يُ ْذ َك ُر م ْن قلَّة صيَام َها َو‬
َّ
.‫ رواه أحمد‬.‫ي في ْال َجنَّة‬
َ ‫سان َها قَا َل ه‬ َ ‫ْاْلَقط َو ََل تُؤْ ذي ج‬
َ ‫يرانَ َها بل‬
Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, “Seorang laki-laki berkata, “Wahai Rasulullah,
ada seorang perempuan yang terkenal dengan banyak melaksanakan shalat,
puasa, dan sedekah, hanya saja ia menyakiti tetangganya dengan lisannya. Beliau
bersabda, “Ia di neraka.” Laki-laki itu berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya
ada seorang perempuan yang terkenal dengan sedikit puasa, sedekah, dan
shalatnya. Ia hanya sedekah dengan sepotong keju, tetapi ia tidak menyakiti
tetangganya dengan lisannya.” Maka beliau bersabda, “Ia di surga.” (H.R.
Ahmad)
Hadis tersebut juga diriwayatkan oleh imam Al-Hakim di dalam kitabnya yang
berjudul Al-Mustadrak Alas Shahihain. Riwayat imam Al-Hakim menyebutkan
bahwa perempuan yang ahli neraka tersebut malam-malamnya ia gunakan untuk
melaksanakan shalat, sedangkan siang harinya ia berpuasa. Artinya ia tidak hanya
melaksanakan ibadah-ibadah wajib saja, ibadah-ibadah sunnah pun ia lakukan.
Hanya saja, mulut dan lisannya tidak dapat ia kontrol. Sehingga banyak
tetangganya yang merasa sakit hati karenanya.
Berbeda dengan perempuan satunya yang dijamin masuk surga. Meskipun ia
hanya melaksanakan ibadah-ibadah yang wajib saja, yakni shalat fardu, puasa di
bulan Ramadhan, dan sedekahnya cuman sedikit. Namun, ia dapat mengontrol
ucapannya, sehingga tidak ada tetangganya yang merasa sakit hati karenanya.
Dengan demikian, maka kisah dua perempuan di dalam hadis tersebut sangat
penting sekali untuk kita renungkan. Betapa pentingnya budi pekerti atau akhlak
yang baik kepada sesama manusia. Di samping kita harus berakhlak baik kepada
Allah swt. dengan menjalankan ibadah-ibadah kepada-Nya. Oleh sebab itu, mari
kita jaga lisan dan perbuatan kita agar tidak satu pun makhluk Allah yang merasa
tidak nyaman berada di sisi kita. Wa Allahu A’lam bis shawab.
Bahaya Ghibah

‫ضا ۚ أَيُحبُّ أ َ َحدُ ُك ْم أ َ ْن يَأ ْ ُك َل لَ ْح َم أَخيه َم ْيتًا فَ َكر ْهت ُ ُموهُ ۚ َواتَّقُوا‬
ً ‫ض ُك ْم َب ْع‬
ُ ‫َو ََل َي ْغتَبْ َب ْع‬
‫اب َرحي ٌم‬ َّ ‫َّللاَ ۚ إ َّن‬
ٌ ‫َّللاَ ت َ َّو‬ َّ
“Dan janganlah kalian saling menggunjing. Adakah seorang diantara kamu yang
suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu
merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang” (QS. Al-Hujurat: 12).
Dalam ayat di atas, Allah ta’ala menyamakan orang yang mengghibah
saudaranya seperti memakan bangkai saudaranya tersebut. Apa rahasia dari
penyamaan ini?
Imam Qurthubi dalam tafsirnya menjelaskan, “Ini adalah permisalan yang amat
mengagumkan, diantara rahasianya adalah:
Pertama, karena ghibah mengoyak kehormatan orang lain, layaknya seorang
yang memakan daging, daging tersebut akan terkoyak dari kulitnya. Mengoyak
kehormatan atau harga diri, tentu lebih buruk keadaannya.
Kedua, Allah ta’ala menjadikan “bangkai daging saudaranya” sebagai
permisalan, bukan daging hewan. Hal ini untuk menerangkan bahwa ghibah itu
amatlah dibenci.
Ketiga, Allah ta’ala menyebut orang yang dighibahi tersebut sebagai mayit.
Karena orang yang sudah mati, dia tidak kuasa untuk membela diri. Seperti itu
juga orang yang sedang dighibahi, dia tidak berdaya untuk membela kehormatan
dirinya.
Keempat, Allah menyebutkan ghibah dengan permisalan yang amat buruk, agar
hamba-hambaNya menjauhi dan merasa jijik dengan perbuatan tercela tersebut”
(Lihat: Tafsir Al-Qurtubi 16/335), lihat juga: I’laamul Muwaqqi’iin 1/170).
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di menjelaskan, “Ayat di atas
menerangkan sebuah ancaman yang keras dari perbuatan ghibah. Dan
bahwasanya ghibah termasuk dosa besar. Karena Allah menyamakannya dengan
memakan daging mayit, dan hal tersebut termasuk dosa besar. ” (Tafsir As-
Sa’di, hal. 745)
Buah Manis Menjaga Lisan
(1). Menjaga lisan adalah sebab diampuniya dosa-dosa dan sekaligus akan
memperbaiki amal. Allah Ta’ala berfirman :
ً ‫سديدا‬ َّ ‫صل ْح لَ ُك ْم أ َ ْع َمالَ ُك ْم َويَ ْغف ْر لَ ُك ْم يَا أَيُّ َها الَّذينَ آ َمنُوا اتَّقُوا‬
َ ً‫َّللاَ َوقُولُوا قَ ْوَل‬ ْ ُ‫ي‬
ً ‫سولَهُ فَقَ ْد فَازَ فَ ْوزا ً َعظيما‬ َّ ‫ذُنُو َب ُك ْم َو َمن يُط ْع‬
ُ ‫َّللاَ َو َر‬

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan


katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-
amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa mentaati
Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang
besar. “ (Al Ahzab : 70-71)
(2). Menjaga lisan merupakan jaminan bagi hamba untuk masuk surga.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
َ‫ض َم ْن لَهُ ْال َجنَّة‬
ْ َ ‫ض َم ْن لي َما َبيْنَ لَ ْح َييْه َو َما َبيْنَ ر ْجلَيْه أ‬
ْ ‫َم ْن َي‬
“Barangsiapa yang menjamin untukku sesuatu yang berada di antara jenggotnya
(mulut) dan di antara kedua kakinya (kemaluan), maka aku akan menjamin
baginya surga.” (HR. Bukhari)
Pemberi jaminan adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jaminannya
adalah masuk surga. Cara untuk mendapatkannya yaitu seorang hamba menjaga
kemaluannya dan lisannya.
(3). Menjaga lisan menyebabkan keselamatan di dunia dan di akhirat.
Diriwayatkan dari ‘Uqbah bin ‘Aamir radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “
Wahai Rasulullah, apakah keselematan itu ? “. Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjawab :

َ َ‫ َو ْلي‬، ‫سان ََك‬


‫ َوابْك َعلَى خَطيئَت َك‬، ‫س ْع َك بَ ْيت ُ َك‬ َ ‫أ َ ْمس ْك َعلَي َْك ل‬
“Jaga lisanmu, tetaplah tinggal di rumahmu, dan tangisilah dosa-dosamu.“ (HR.
Tirmidzi, shahih)
Dari sahabat ‘Abdullah bin Amru, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda :

‫ت نَ َجا‬ َ ‫َم ْن‬


َ ‫ص َم‬
“Barangsiapa yang diam niscaya ia akan selamat. “ (HR. Tirmidzi, shahih)
(4). Seluruh anggota badan akan lurus dan istiqomah dengan lurusnya lisan,
sebagaimana anggota badan akan menyimpang karena penyimpangan lisan.
Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

َّ ‫ اتَّق‬: ‫سانَ فَتَقُو ُل‬


‫َّللاَ فينَا فَإنَّ َما نَ ْح ُن ب َك‬ َ ‫ضا َء ُكلَّ َها ت ُ َكف ُر الل‬ ْ َ ‫إذَا أ‬
َ ‫صبَ َح اب ُْن آدَ َم فَإ َّن ْاْل َ ْع‬
‫ت اع َْو َج ْجنَا‬ َ ‫ َوإ ْن اع َْو َج ْج‬، ‫ت ا ْستَقَ ْمنَا‬ َ ‫؛ فَإ ْن ا ْستَقَ ْم‬
“Jika manusia berada di waktu pagi, maka semua anggota badannya
menyalahkan lisan. Mereka berkata, “ Wahai lisan, bertakwalah kepada Allah
dalam urusan kami karena sesungguhnya kami tergantung pada dirimu, Jika
kamu bersikap lurus, maka kami pun akan lurus. Namun jika engkau
menyimpang, maka kamipun akan menyimpang. “ (HR. Tirmidzi, shahih)
(5). Menjaga lisan akan mengangkat derajat seorang hamba sehingga
menjadi tinggi kedudukannya dan mendapatkan kebahagian berupa
keridhoaan Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

َّ ُ‫َّللا ََل يُ ْلقي لَ َها َب ًاَل َي ْرفَعُه‬


‫َّللاُ ب َها دَ َر َجات‬ َّ ‫إ َّن ْال َع ْبدَ لَ َيت َ َكلَّ ُم ب ْال َكل َمة م ْن رض َْوان‬
“Sungguh seorang hmba mengucapakan sebuah kalimat yang Allah ridhoi, yang
dia tidak memperhatikannya, namun dengan sebab itu Allah mengangkatnya
beberapa derajat. “ (HR. Bukhari)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :

‫َّللاُ َع َّز‬
َّ ‫ب‬ ْ ‫ظ ُّن أ َ ْن ت َ ْبلُ َغ َما َبلَغ‬
ُ ُ ‫َت فَ َي ْكت‬ َّ ‫إ َّن أ َ َحدَ ُك ْم لَيَت َ َكلَّ ُم ب ْال َكل َمة م ْن رض َْوان‬
ُ َ‫َّللا َما ي‬
ُ‫َو َج َّل لَهُ ب َها رض َْوانَهُ إلَى يَ ْوم يَ ْلقَاه‬
“Sungguh seorang hamba mengucapkan sebuah kalimat yang mengandung
keridhoan Allah, dia tidak menyangka ucapannya begitu tinggi nilainya, maka
Allah ‘Azzza wa Jalla akan menuliskan keridhoan baginya sampai hari
kiamat.“ (HR. Tirmidzi, shahih)
(6). Menjaga lisan adalah pokok dari segala kebaikan. Hal ini ditunjukkan
oleh hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika memberi wasiat kepada
Muadz bin Jabal radhiyalllahu ‘anhu. Rasul shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda :

‫أ َ ََل أ ُ ْخب ُر َك ب َم ََلك ذَل َك ُكله‬


“ Maukah Engkau aku kabarkan dengan sesuatu yang menjadi kunci itu
semua? ”
Aku menjawab, “Ya, wahai Nabi Allah.”
Lalu beliau memegang lisannya dan bersabda,
‫ف َعلَي َْك َهذَا‬
َّ ‫ُك‬
“Tahanlah lisanmu ini.”
Aku bertanya, “Wahai Nabi Allah, apakah sungguh kita akan diadzab disebabkan
oleh perkataan yang kita ucapkan?”
Beliau menjawab,

َ َّ‫ َوه َْل َي ُكبُّ الن‬،ُ‫ثَكلَتْ َك أ ُ ُّم َك يَا ُمعَاذ‬


‫اس في النَّار َعلَى ُو ُجوهه ْم أ َ ْو َعلَى َمنَاخره ْم إ ََّل‬
‫صائدُ أ َ ْلسنَته ْم‬ َ ‫َح‬
“Celakalah engkau Wahai Muadz !Tidaklah manusia itu disungkurkan ke dalam
neraka di atas muka dan hidung mereka, melainkan disebabkan ucapan lisan
mereka.” (HR. Tirmidzi, shahih)
Senada dengan makna hadis di atas, Yunus bin ‘Ubaid rahimahullah berkata :

‫ما رأيت أحدا ً لسانه منه على بال إَل رأيت ذلك صَلحا ً في سائر عمله‬
“Tidaklah aku menjumpai seseorang yang memperhatikan lisannya, melainkan
hal tersebut berpengaruh baik terhadap seluruh aktivitasnya.” (Jaami’ul ‘Uluw
wal Hikam)
Yahya bin Abi Katsiir rahimahullah berkata :
ُّ ‫منطق رجل‬
َّ‫قط إَل‬ ُ َ‫ وَل فسد‬، ‫عرفت ذلك في سائر عمله‬
َ َّ‫منطق رجل إَل‬
ُ ‫ما صلَ َح‬
‫عرفت ذلك في سائر عمله‬َ
“ Tidaklah seseorang ucapannya baik, kecuali akan tampak pada semua
aktifitasnya. Dan tidaklah jelek ucapannya, kecuali akan tampak pula pada
semua aktifitasnya.“ (Hilyatul Auliyaa’)
(7). Menjaga lisan merupakan tanda keimanan dan ciri kebaikan agama
seseorang yang menunjukkan kuatnya iman dan hubungannya dengan
Allah Ta’ala. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

ْ ‫اَّلل َو ْال َي ْوم ْاْلخر فَ ْل َيقُ ْل َخي ًْرا أ َ ْو ل َي‬


ْ ‫ص ُم‬
‫ت‬ َّ ‫َم ْن َكانَ يُؤْ م ُن ب‬
“Barangispa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaknya dia berkata
yang baik atau diam. “ (HR. Bukhari dan Muslim)

ُ‫سانُه‬ َ ‫ َو ََل يَ ْستَقي ُم قَ ْلبُهُ َحتَّى يَ ْستَق‬، ُ‫يم قَ ْلبُه‬


َ ‫يم ل‬ َ ‫عبْد َحتَّى يَ ْستَق‬ ُ ‫ََل يَ ْستَقي ُم إي َم‬
َ ‫ان‬
“Tidak akan lurus di atas jalan istiqomah iman seorang hamba sebelum
istiqomah hatinya, dan tidak akan istiqomah hatinya sebelum istiqomah
lisannnya”. (HR. Ahmad, shahih)
Penutup
Inilah di antara beberapa pengaruh dan buah manis dari menjaga lisan. Seorang
hamba yang beriman wajib untuk senantiasa mengingat nikmat lisan ini.
Allah ‘Azza wa Jalla memberikan anugerah dan kemuliaan dengan nikmat ini.
Maka ingatlah dan syukurilah nikmat ini dan semangatlah untuk menjaga lisan
dari berbagai dosa-dosa lisan yang menyebabkan seorang hamba celaka di dunia
dan akhirat. Sedangkan orang yang Allah beri anugerah untuk menjaga lisan dan
ucapannya maka dia kan mendapat keberuntungan yang banyak dan buah manis
di dunia dan di akhirat.

ْ ُ‫ص ْمتي ف ْكرا ً َون‬


ً ‫طقي ذ ْكرا‬ ْ ‫اَللَّ ُه َّم‬
َ ‫اج َع ْل‬
Artinya: "Wahai Allah, jadikanlah diamku berpikir, dan bicaraku berdzikir.
Semoga Allah senantiasa memberi taufik kepada kita semua untuk menjaga lisan-
lisan kita.

Anda mungkin juga menyukai