ضا ۚ أَيُحبُّ أ َ َحدُ ُك ْم أ َ ْن يَأ ْ ُك َل لَ ْح َم أَخيه َم ْيتًا فَ َكر ْهت ُ ُموهُ ۚ َواتَّقُوا
ً ض ُك ْم َب ْع
ُ َو ََل َي ْغتَبْ َب ْع
اب َرحي ٌم َّ َّللاَ ۚ إ َّن
ٌ َّللاَ ت َ َّو َّ
“Dan janganlah kalian saling menggunjing. Adakah seorang diantara kamu yang
suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu
merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang” (QS. Al-Hujurat: 12).
Dalam ayat di atas, Allah ta’ala menyamakan orang yang mengghibah
saudaranya seperti memakan bangkai saudaranya tersebut. Apa rahasia dari
penyamaan ini?
Imam Qurthubi dalam tafsirnya menjelaskan, “Ini adalah permisalan yang amat
mengagumkan, diantara rahasianya adalah:
Pertama, karena ghibah mengoyak kehormatan orang lain, layaknya seorang
yang memakan daging, daging tersebut akan terkoyak dari kulitnya. Mengoyak
kehormatan atau harga diri, tentu lebih buruk keadaannya.
Kedua, Allah ta’ala menjadikan “bangkai daging saudaranya” sebagai
permisalan, bukan daging hewan. Hal ini untuk menerangkan bahwa ghibah itu
amatlah dibenci.
Ketiga, Allah ta’ala menyebut orang yang dighibahi tersebut sebagai mayit.
Karena orang yang sudah mati, dia tidak kuasa untuk membela diri. Seperti itu
juga orang yang sedang dighibahi, dia tidak berdaya untuk membela kehormatan
dirinya.
Keempat, Allah menyebutkan ghibah dengan permisalan yang amat buruk, agar
hamba-hambaNya menjauhi dan merasa jijik dengan perbuatan tercela tersebut”
(Lihat: Tafsir Al-Qurtubi 16/335), lihat juga: I’laamul Muwaqqi’iin 1/170).
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di menjelaskan, “Ayat di atas
menerangkan sebuah ancaman yang keras dari perbuatan ghibah. Dan
bahwasanya ghibah termasuk dosa besar. Karena Allah menyamakannya dengan
memakan daging mayit, dan hal tersebut termasuk dosa besar. ” (Tafsir As-
Sa’di, hal. 745)
Buah Manis Menjaga Lisan
(1). Menjaga lisan adalah sebab diampuniya dosa-dosa dan sekaligus akan
memperbaiki amal. Allah Ta’ala berfirman :
ً سديدا َّ صل ْح لَ ُك ْم أ َ ْع َمالَ ُك ْم َويَ ْغف ْر لَ ُك ْم يَا أَيُّ َها الَّذينَ آ َمنُوا اتَّقُوا
َ ًَّللاَ َوقُولُوا قَ ْوَل ْ ُي
ً سولَهُ فَقَ ْد فَازَ فَ ْوزا ً َعظيما َّ ذُنُو َب ُك ْم َو َمن يُط ْع
ُ َّللاَ َو َر
َّللاُ َع َّز
َّ ب ْ ظ ُّن أ َ ْن ت َ ْبلُ َغ َما َبلَغ
ُ ُ َت فَ َي ْكت َّ إ َّن أ َ َحدَ ُك ْم لَيَت َ َكلَّ ُم ب ْال َكل َمة م ْن رض َْوان
ُ ََّللا َما ي
َُو َج َّل لَهُ ب َها رض َْوانَهُ إلَى يَ ْوم يَ ْلقَاه
“Sungguh seorang hamba mengucapkan sebuah kalimat yang mengandung
keridhoan Allah, dia tidak menyangka ucapannya begitu tinggi nilainya, maka
Allah ‘Azzza wa Jalla akan menuliskan keridhoan baginya sampai hari
kiamat.“ (HR. Tirmidzi, shahih)
(6). Menjaga lisan adalah pokok dari segala kebaikan. Hal ini ditunjukkan
oleh hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika memberi wasiat kepada
Muadz bin Jabal radhiyalllahu ‘anhu. Rasul shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda :
ما رأيت أحدا ً لسانه منه على بال إَل رأيت ذلك صَلحا ً في سائر عمله
“Tidaklah aku menjumpai seseorang yang memperhatikan lisannya, melainkan
hal tersebut berpengaruh baik terhadap seluruh aktivitasnya.” (Jaami’ul ‘Uluw
wal Hikam)
Yahya bin Abi Katsiir rahimahullah berkata :
ُّ منطق رجل
َّقط إَل ُ َ وَل فسد، عرفت ذلك في سائر عمله
َ َّمنطق رجل إَل
ُ ما صلَ َح
عرفت ذلك في سائر عملهَ
“ Tidaklah seseorang ucapannya baik, kecuali akan tampak pada semua
aktifitasnya. Dan tidaklah jelek ucapannya, kecuali akan tampak pula pada
semua aktifitasnya.“ (Hilyatul Auliyaa’)
(7). Menjaga lisan merupakan tanda keimanan dan ciri kebaikan agama
seseorang yang menunjukkan kuatnya iman dan hubungannya dengan
Allah Ta’ala. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :