Hadits Arbain 39
Hadits Arbain 39
ال َخطَأ َ َوالنِّ ْسيَانَ َو َما ا ْستُ ْك ِرهُوا: «إِ َّن هللاَ ت ََجا َو َز لِي ع َْن أُ َّمتِي:ُول هللاِ ﷺ قَال
َ أَ َّن َرس،ض َي هللاُ َع ْنهُ َما
ِ س َر
ٍ ع َِن اب ِْن َعبَّا
ٌ َعلَ ْي ِه» َح ِدي.
َ ْث َح َس ٌن َر َواهُ ابْنُ َم
اج ْه َوالبَ ْيهَقِ ُّي َو َغ ْي ُرهُ َما
Keterangan hadits
Tajaawaza: memaafkan
Faedah hadits
4. Syariat datang untuk mengangkat kesulitan. Maka konsekuensinya, dosa diangkat dari orang
yang tidak berniat yaitu saat keliru, lupa, atau dipaksa.
Segala yang haram yang dikerjakan hamba karena tidak tahu (jahil), lupa, atau dipaksa, maka tidak
dikenakan dosa.
Ketika Lupa
“Mereka telah lupa kepada Allah, maka Allah melupakan mereka.” (QS. At-Taubah: 67).
Maksud nisyan dalam ayat ini adalah meninggalkan.
Pengaruh Lupa
Ulama Syafi’iyah dan ulama Hambali dalam pendapat sahih menurut mereka, orang yang lupa
berarti telah bebas dari mukallaf (pembebanan syariat) ketika ia lupa. Karena mengerjakan suatu
perintah harus dengan didasari ilmu.
Sepakat para ulama bahwa orang yang lupa tidak dikenakan dosa sama sekali. Sebagaimana firman
Allah,
“Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah.” (QS. Al-Baqarah:
286)
Dalam hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ketika turun firman Allah Ta’ala,
ت َربَّنَا الَ تُ َؤا ِخ ْذنَا ِإ ْن نَ ِسينَا أَوْ أَ ْخطَأْنَا ْ َالَ يُ َكلِّفُ هَّللا ُ نَ ْفسًا إِالَّ ُو ْس َعهَا لَهَا َما َك َسب
ْ َت َو َعلَ ْيهَا َما ا ْكتَ َسب
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala
(dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.
(Mereka berdoa): “Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah.”
(QS. Al-Baqarah: 286). Lalu Allah menjawab, aku telah mengabulkannya.” (HR. Muslim, no. 125).
ض َع ع َْن أُ َّمتِى ْال َخطَأ َ َوالنِّ ْسيَانَ َو َما ا ْستُ ْك ِرهُوا َعلَ ْي ِه
َ إِ َّن هَّللا َ َو
“Sesungguhnya Allah menghapuskan dari umatku dosa ketika mereka dalam keadaan keliru, lupa
dan dipaksa.” (HR. Ibnu Majah, no. 2045. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih).
“Siapa saja yang melakukan perkara yang dilarang dalam keadaan keliru atau lupa, Allah tidak akan
menyiksanya karena hal itu. Kondisinya seperti tidak pernah berbuat kesalahan tersebut sehingga ia
tidak dihukumi berdosa. Jika tidak berdosa, maka tidak disebut ahli maksiat dan tidak dikatakan
terjerumus dalam dosa. Jadi ia masih dicatat melakukan yang diperintah dan tidak mengerjakan yang
dilarang. Semisal dengan ini tidak membatalkan ibadahnya. Ibadah itu batal jika tidak melakukan
yang Allah perintahkan atau melakukan yang dilarang.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 25:226).
Jika itu berkaitan dengan meninggalkan perintah karena lupa, maka tidaklah gugur, bahkan harus
dilakukan ketika ingat.
Jika itu berkaitan dengan melakukan larangan dalam keadaan lupa selama bukan pengrusakan, maka
tidak dikenakan apa-apa.
Jika itu berkaitan dengan melakukan larangan dalam keadaan lupa dan ada pengrusakan, maka tetap
ada dhaman (ganti rugi).
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Perbedaan penting yang perlu diperhatikan bahwa siapa yang
melakukan yang haram dalam keadaan lupa, maka ia seperti tidak melakukannya. Sedangkan yang
meninggalkan perintah karena lupa, itu bukan alasan gugurnya perintah. Namun bagi yang
mengerjakan larangan dalam keadaan lupa, maka itu uzur baginya sehingga tidak terkenai dosa.”
(I’lam Al-Muwaqi’in, 2:51).
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
“Barangsiapa melakukan suatu yang terlarang karena lupa, maka ia tidak dikatakan melakukan suatu
yang terlarang.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 20:573)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صالَةَ لِ َم ْن الَ ُوضُو َء لَهُ َوالَ ُوضُو َء لِ َم ْن لَ ْم يَ ْذ ُك ِر ا ْس َم هَّللا ِ تَ َعالَى َعلَ ْي ِه
َ َال
“Tidak ada shalat bagi yang tidak ada wudhu. Tidak ada wudhu bagi yang tidak membaca bismillah
di dalamnya.” (HR. Abu Daud, no. 101 dan Ibnu Majah, no. 399. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan
bahwa hadits ini hasan).
Kalau dilihat dari hadits-hadits yang ada yang semisal dengan hadits di atas, dapat dikatakan bahwa
haditsnya saling menguatkan satu dan lainnya. Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata, “Nampak bahwa
dilihat dari berbagai macam jalur, hadits yang membicarakan anjuran bismillah saat wudhu saling
menguatkan, yang menunjukkan adanya ajaran akan hal itu.” (Talkhish Al-Habir, 1:128).
Sebagian ulama mendhaifkan hadits di atas, namun dari berbagai jalur, hadits menjadi kuat.
Sedangkan penafian (peniadaan) yang disebutkan dalam hadits adalah kesempurnaan. Jadi
maksudnya adalah tidak sempurna wudhunya. Karena ada hadits-hadits yang membicarakan tentang
wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti hadits ‘Abdullah bin Zaid, ‘Utsman bin ‘Affan, dan
juga Ibnu ‘Abbas, tidak menyebutkan bismilah di dalamnya. Sehingga penafian yang ada
dimaknakan, tidak sempurna. Jadi tetap ada anjuran membaca bismillah di awal wudhu, namun
tidak menunjukkan wajib.
Ulama Syafi’iyah dan madzhab Imam Ahmad berpendapat bahwa membaca bismillah pada awal
wudhu termasuk perkara sunnah. Jika lupa membacanya di awal wudhu, maka boleh dibaca kapan
pun saat wudhu sebelum wudhu selesai. Jika meninggalkan membaca bismillah karena lupa, maka
sah wudhunya.
2. Lupa mengerjakan shalat wajib
Para ulama sepakat bahwa siapa saja yang lupa shalat fardhu, wajib ia mengqadha’nya.
“Jika salah seorang di antara kalian tertidur dari shalat atau ia lupa dari shalat, maka hendaklah ia
shalat ketiak ia ingat. Karena Allah berfirman (yang artinya): Kerjakanlah shalat ketika ingat.” (QS.
Thaha: 14) (HR. Muslim, no. 684)
Cara mengqadha’nya jika yang lupa lebih dari satu shalat, bisa dengan petunjuk dari Syaikh
‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di berikut ketika beliau mengatakan dalam Manhajus Salikin,
َ َب َعلَ ْي ِه ق
ضا ُؤهَا فَوْ رًا ُم َرتِّبًا َ َُو َم ْن فَاتَ ْته
َ صاَل ةٌ َو َج
اض َر ِة
ِ الح َّ فَإِ ْن ن َِس َي أَوْ َج ِهلَهُ أَوْ َخافَ فَوْ تَ ال
َ َصالَ ِة َسقَطَ التَّرْ تِيْبُ بَ ْينَهَا َوبَ ْين
“Siapa yang luput dari shalat, wajib baginya untuk mengqadha’nya segera secara berurutan.
Jika ia lupa, tidak tahu, atau khawatir luput dari shalat hadhirah (yang saat ini ada), maka gugurlah
tartib (berurutan) antara shalat yang luput tadi dan shalat yang hadhirah (yang saat ini ada).”
Sebagaimana dikatakan oleh Al-Qadhi Abu Syuja’ dalam Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib, ketentuan
mengenai perkara yang tertinggal dalam shalat ada tiga yaitu: fardhu, sunnah ab’adh, dan sunnah
hai’at.
Jika termasuk fardhu (rukun shalat), apabila tertinggal dalam shalat, maka tidak bisa digantikan
dengan sujud sahwi. Akan tetapi jika seseorang teringat sementara jarak waktu masih
memungkinkan untuk mengerjakannya, dia harus mengerjakan perkara tersebut dan di akhir
melakukan sujud sahwi.
Jika termasuk sunnah ab’adh (seperti tasyahud awwal, duduk tasyahud awwal, shalawat kepada
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tasyahud awal, shalawat kepada keluar Nabi pada tasyahud
awal dan akhir, pen.), lalu tertinggal dalam shalat, maka tidak perlu diulang apabila yang rukun
(fardhu) sudah dikerjakan. Akan tetapi di akhir, harus melakukan sujud sahwi.
Jika termasuk dalam sunnah hai’at, maka perkara yang tertinggal tersebut tidak perlu diulang setelah
tertinggal dan seseorang tidak perlu melakukan sujud sahwi.
3. Melakukan sesuatu yang terlarang dalam shalat karena lupa; jika dilakukan sengaja, akan
membatalkan shalat seperti menambah rakaat jadi lima dalam shalat Zhuhur karena lupa.
4. Memindahkan yang merupakan fi’il (perbuatan) shalat baik rukun shalat atau sunnah ab’adh
atau memindahkan membaca surat bukan pada tempatnya seperti membaca Al-Fatihah
ketika tasyahud, membaca surat pendek ketika I’tidal. (Lihat Al-Fiqh Al-Manhaji, 1:173-174)
Cara melakukan sujud sahwi:
Sujud sahwi dilakukan dengan dua kali sujud seperti sujud saat shalat. Yang ingin melakukannya
berniat untuk sujud sahwi. Sujud sahwi dilakukan di akhir shalat sebelum salam. Jika seseorang yang
shalat mengucapkan salam sebelum sujud sahwi dengan sengaja atau lupa, dan jedanya sudah
begitu lama, maka sujud sahwi jadi gugur. Jika jaraknya masih dekat, maka sujud sahwi tetap
dilakukan dengan dua kali sujud dengan niatan sujud sahwi, lalu salam. Inilah penjelasan dalam
madzhab Syafi’i sebagaimana disebutkan dalam Al-Fiqh Al-Manhaji, hlm. 174.
Dalam Mughni Al-Muhtaj–salah satu kitab fiqih Syafi’iyah–disebutkan, “Tata cara sujud sahwi sama
seperti sujud ketika shalat dalam perbuatann wajib dan sunnahnya, seperti meletakkan dahi,
thuma’ninah(bersikap tenang), menahan sujud, menundukkan kepala, melakukan duduk iftirosy
ketika duduk antara dua sujud sahwi, duduk tawarruk ketika selesai dari melakukan sujud sahwi, dan
dzikir yang dibaca pada kedua sujud tersebut adalah seperti dzikir sujud dalam shalat.”
ُإِ َذا أَك ََل أَ َح ُد ُك ْم فَ ْليَ ْذ ُك ِر ا ْس َم هَّللا ِ تَ َعالَى فَإِ ْن ن َِس َى أَ ْن يَ ْذ ُك َر ا ْس َم هَّللا ِ تَ َعالَى فِى أَ َّولِ ِه فَ ْليَقُلْ بِس ِْم هَّللا ِ أَ َّولَهُ َوآ ِخ َره
“Apabila salah seorang di antara kalian makan, maka hendaknya ia menyebut nama Allah Ta’ala.
Jika ia lupa untuk menyebut nama Allah Ta’ala di awal, hendaklah ia mengucapkan: ‘BISMILLAAH
AWWALAHU WA AAKHIROHU (dengan nama Allah pada awal dan akhirnya).’” (HR. Abu Daud, no.
3767 dan Tirmidzi, no. 1858. Tirmidzi mengatakan hadits tersebut hasan sahih. Syaikh Al-Albani
mengatakan bahwa hadits tersebut sahih).
بِس ِْم هَّللا فِي أَوَّله َوآ ِخره: ْ فَإِ ْن نَ ِس َي فِي أَوَّله فَ ْليَقُل، إِ َذا أَك ََل أَ َحد ُك ْم طَ َعا ًما فَ ْليَقُلْ بِس ِْم هَّللا
“Apabila salah seorang di antara kalian makan, maka hendaknya ia ucapkan “Bismillah”. Jika ia lupa
untuk menyebutnya, hendaklah ia mengucapkan: BISMILLAAH FII AWWALIHI WA AAKHIRIHI (dengan
nama Allah pada awal dan akhirnya).” (HR. Tirmidzi no. 1858, Abu Daud no. 3767 dan Ibnu Majah no.
3264. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini sahih dan Syaikh Al Albani
menyatakan hadits ini sahih).
“Aduh, celakalah ibuku! Mengapa Anda semua memandangku seperti itu?” Mereka bahkan
menepukkan tangan mereka pada paha mereka. Setelah itu barulah aku tahu bahwa mereka
menyuruhku diam. Lalu aku diam. Tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai shalat, ayah
dan ibuku sebagai tebusanmu (ungkapan sumpah Arab), aku belum pernah bertemu seorang
pendidik sebelum dan sesudahnya yang lebih baik pengajarannya daripada beliau. Demi Allah! Beliau
tidak menghardikku, tidak memukul, dan tidak memakiku. Beliau bersabda saat itu,
ِ ْاس إِنَّ َما هُ َو التَّ ْسبِي ُح َوالتَّ ْكبِي ُر َوقِ َرا َءةُ ْالقُر
آن ْ صالَةَ الَ يَصْ لُ ُح فِيهَا ش
ِ ََّى ٌء ِم ْن َكالَ ِم الن َّ إِ َّن هَ ِذ ِه ال
‘Sesungguhnya shalat ini, tidak pantas di dalamnya ada percakapan manusia, karena shalat itu
hanyalah tasbih, takbir dan membaca Al-Qur’an.’” (HR. Muslim, no. 537)
Menurut ulama Malikiyah dan Syafi’iyah bahwa siapa yang berbicara ketika shalat dalam keadaan
lupa, shalatnya tidaklah batal asalkan kata-kata yang keluar sedikit dan nantinya ditutup kealpaan
tersebut dengan sujud sahwi. Jika kata-kata yang keluar banyak, shalatnya batal.
Barangsiapa yang lupa membersihkan diri dari najis lalu ia shalat dalam keadaan lupa, maka
shalatnya sah. Masalah najis berkaitan dengan larangan ketika shalat. Ketika dilakukan diterjang
dalam keadaan lupa, maka shalatnya tetap sah dan tidak perlu diulangi. Hal ini menjadi pendapat
Syafi’i yang qadim. Dalil dari hal ini adalah hadits ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melepas
sandal saat shalat. Hadits lengkapnya sebagaimana berikut ini.
ضى َ َار ِه فَلَ َّما َرأَى َذلِكَ ْالقَوْ ُم أَ ْلقَوْ ا نِ َعالَهُ ْم فَلَ َّما ق
ِ ض َعهُ َما ع َْن يَ َس َ ُصلِّي بِأَصْ َحابِ ِه إِ ْذ َخلَ َع نَ ْعلَ ْي ِه فَ َو
َ صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ي
َ ِ بَ ْينَ َما َرسُو ُل هَّللا
هَّللا
ُ صل ى َّ هَّللا َ َ َ َ ْ َ َ
َ ِ ك ألقيْتَ نَ ْعل ْيكَ فألق ْينَا نِ َعالنَا فقا َل َرسُو ُل َ َ ْ َ َ ُ َ ُ َ ْ َ ُ َ
َ ال َما َح َملك ْم َعلى إِلقا ِء نِ َعالِك ْم قالوا َرأ ْينَا َ
َ صاَل تَهُ ق َ صلَّى هَّللا ُ َعل ْي ِه َو َسل َم
َّ َ َ ِ َرسُو ُل هَّللا
ال أَ ًذى َوقَا َل إِ َذا َجا َء أَ َح ُد ُك ْم إِلَى ْال َم ْس ِج ِد فَ ْليَ ْنظُرْ فَإِ ْن َرأَى فِي نَ ْعلَ ْي ِه قَ َذرًا أَوْ أَ ًذى َ َيل أَتَانِي فَأ َ ْخبَ َرنِي أَ َّن فِي ِه َما قَ َذرًا أَوْ ق
َ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم إِ َّن ِجب ِْر
ص ِّل فِي ِه َما ْ ْح
َ ُفليَ ْم َس هُ َولي ْ َ
“Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tidak sengaja.” (QS. Al-
Baqarah: 286). Dalam hadits disebutkan bahwa Allah telah memenuhi hal tersebut.
او َز ع َْن أُ َّمتِى ْال َخطَأ َ َوالنِّ ْسيَانَ َو َما ا ْستُ ْك ِرهُوا َعلَ ْي ِه
َ إِ َّن هَّللا َ تَ َج
“Sesungguhnya Allah memaafkan umatku ketika ia tidak sengaja, lupa atau dipaksa.” (HR. Ibnu
Majah, no. 2043. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini sahih karena memiliki penguat
dari jalur lainnya)
Pertama, jika terkait dengan hak sesama manusia. Ada dua hal yang perlu diperhatikan:
1. Jika memang perbuatan tersebut diizinkan, ia sengaja melakukan, namun tidak sengaja
merusak, ketika itu tidak ada dhaman (ganti rugi). Contoh seperti yang dilakukan oleh
seorang tabib atau dokter, atau orang yang menjadi wakil (diserahi tanggung jawab) lalu
tidak sengaja merusak. Karena kaedahnya, sesuatu yang dibolehkan oleh syari’at
mengakibatkan tidak ada dhaman (ganti rugi).
2. Jika memang perbuatan tersebut tidak diizinkan, maka dikenakan dhaman (ganti rugi).
Contoh orang yang tidak sengaja membunuh orang lain walaupun tidak dikenakan qishash
(nyawa dibalas nyawa), namun tetap dikenakan dhaman (ganti rugi) yaitu dikenakan diyyat.
Kedua, jika terkait dengan hak Allah, maka tidak ada hukuman had. Namun apakah ada dhaman
(ganti rugi)? Hal ini perlu dirinci.
1. Jika tidak ada itlaf (pengrusakan) seperti seseorang yang tidak sengaja menutup kepalanya
saat ihram atau memakai baju saat ihram (padahal tidak boleh mengenakan pakaian yang
membentuk lekuk tubuh seperti baju, pen.), maka tidak ada kafarah
2. Jika ada itlaf (pengrusakan) seperti memotong kuku saat ihram atau memotong rambut saat
ihram atau berburu hewan saat ihram, maka ada beda pendapat jika dilakukan tidak sengaja
untuk kasus kedua ini. Pendapat yang lebih kuat adalah tetap dikenakan kafarah.
Baca Juga: Kaedah Fikih (26): Merusak Tetapi Tidak Perlu Ganti Rugi
Fidyah karena melakukan larangan ihram yaitu mencukur rambut, memotong kuku, memakai
harum-haruman, mencumbu istri dengan syahwat, memakai pakaian berjahit yang membentuk
lekuk tubuh bagi laki-laki, memakai sarung tangan, menutup rambut kepala, dan memakai niqob
bagi wanita.
Bentuk fidyah dari setiap pelanggaran ini adalah memilih salah satu dari tiga hal:
Ketika Dipaksa
Bagaimana jika ada yang dipaksa dengan ancaman dibunuh untuk mengucapkan kalimat kufur,
lantas ia mengucapkannya? Atau bagaimana jika ia dipaksa untuk murtad?
Dalam hadits disebutkan bahwa orang-orang musyrik pernah menyiksa ‘Ammar bin Yasir. Ia tidaklah
dilepas sampai mencela Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menyanjung dengan kebaikan pada
sesembehan orang musyrik. Lalu setelah itu ia pun dilepas. Ketika ‘Ammar mendatangi Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ia pun ditanya oleh Rasul, “Apa yang terjadi padamu?” “Sial,
wahai Rasulullah. Aku tidaklah dilepas sampai aku mencelamu dan menyanjung-nyanjung
sesembahan mereka.”
Ibnu Hazm juga menyatakan ada klaim ijmak dalam hal ini. Beliau berkata dalam Maratib Al-Ijma’,
hlm. 61,
َي ٌء ِمنَ ْال ُك ْف ِر ِع ْن َد هللاِ تَ َعالَى ْ اتَّفَقُوْ ا َعلَى أَ َّن ْال ُم ْك َرهَ َعلَى ْال ُك ْف ِر َوقَ ْلبُهُ ُم
ْ ط َمئِ ٌّن بِا ِال ْي َما ِن أَنَّهُ اَل يَ ْل َز ْمهُ ش
“Para ulama sepakat bahwa orang yang dipaksa berbuat kufur sedangkan hatinya dalam keadaan
tenang di atas iman, ia tidak dihukumi kufur di sisi Allah Ta’ala.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Al-Istiqamah (2: 210) berkata,
ٍّ ق ال ُم ْك َر ِه بِ َغي ِْر َح
ق ُ ال الَ يَ ْثب
ِّ ُت ُح ْك ُمهَا فِي َح َ ع فِي أَ َّن األَ ْق َو
ٌ َولِهَ َذا لَ ْم يَ ُك ْن ِع ْن َدنَا نِزَا
“Oleh karena itu, kami tidak ada silang pendapat mengenai hukum bagi orang yang dipaksa tanpa
jalan yang benar bahwa tidak dikenakan hukum padanya.”
Juga dalam Ensiklopedia Fikih, Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah (22: 182) disebutkan,
Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullah dalam kitab tafsirnya (14: 223) mengatakan, Ibnu ‘Abbas
radhiyallahu ‘anhuma menyatakan bahwa siapa saja yang kufur setelah sebelumnya ia beriman,
maka baginya murka Allah dan baginya siksa yang pedih. Namun siapa yang dipaksa untuk
mengucapkan kalimat kufur, namun hatinya tetap masih dalam keadaan iman, ia mengucapkannya
hanya ingin menyelamatkan diri dari musuhnya, maka seperti itu tidaklah mengapa. Karena Allah
Ta’ala menghukumi hamba hanya karena kekufuran yang ia ridhai dalam hatinya.
Dalam Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah (22: 182) disebutkan bahwa pemaksaan itu ada dua macam.
Pemaksaan pertama disebut ikrahan tamman, yaitu pemaksaan sempurna, artinya benar-benar
menghadapi bahaya besar. Seperti dipaksa dengan dibunuh, dipotong, dipukul yang dapat
membahayakan jiwa atau anggota badan, baik dengan sedikit atau banyak pukulan.
Pemaksaan kedua disebut ikrahan naqishan, yaitu pemaksaan yang tidak sempurna, artinya tidak
benar-benar mengancam jiwa. Seperti dipenjara, dirantai, atau pukulan yang tidak sampai
membahayakan jiwa atau anggota badan.
Para ulama menyatakan bahwa yang disebut pemaksaan yang boleh melakukan perbuatan
kekufuran atau mengucapkan kata kufur adalah pemaksaan pertama, yaitu pemaksaan sempurna
(ikrahan tamman). Namun syarat disebut ikrahan tamman adalah:
1. Ancaman yang diberikan benar-benar berdampak bahaya pada jiwa atau anggota badan.
3. Yang dipaksa benar-benar tidak mampu untuk menolak ancaman pada dirinya, baik dengan
melarikan diri atau meminta pertolongan pada yang lain.
4. Yang dipaksa punya sangkaan kuat bahwa ancaman tersebut benar-benar bisa diwujudkan
oleh yang memaksa.
Memilih mati
Bolehkah bagi yang diancam memilih untuk bersabar dan terus terkena bahaya dan terus disakiti,
andai juga ia terbunuh ketika itu?
Iya, boleh memilih seperti itu. Bilal bin Rabbah radhiyallahu ‘anhu dan lainnya pernah memilih
seperti itu.
Ibnu Katsir rahimahullah menyatakan, seseorang boleh memilih untuk mati ketika diancam untuk
mengatakan kalimat kufur. Seperti yang dipilih oleh Bilal. Ia enggan mengucapkan kalimat kufur.
Sampai-sampai orang kafir meletakkan batu yang besar di dadanya dalam keadaan panas. Mereka
terus memaksa Bilal untuk berbuat syirik pada Allah, namun Bilal enggan menuruti keinginan
mereka. Bilal tetap mengatakan, “Ahad, Ahad (artinya: Esa, Esa).” Bilal mengatakan, “Demi Allah,
seandainya aku tahu suatu kalimat yang akan membuat kalian lebih marah dari kalimat itu, tentu aku
akan mengucapkannya.” Semoga Allah meridhai Bilal.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 4: 715)
Referensi:
1. Al-Fiqh Al-Manhaji ‘ala Madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i. Syaikh Dr. Musthafa Al-Khin, Suyaikh
Dr. Musthafa Al-Bugha, Syaikh ‘Ali Asy-Syabaji. Penerbit Darul Qalam.
2. Al-Haram fii Asy-Syari’ah Al-Islamiyah. Cetakan pertama, tahun 1432 H. Dr. Qutb Ar Risuni,
terbitan Dar Ibni Hazm.
4. Jami’ Al-Bayan ‘an Ta’wil Ay Al-Qur’an (Tafsir Ath-Thabari). Cetakan pertama, tahun 1423 H.
Al-Imam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari. Penerbit Dar Ibnu Hazm.
7. Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah. Cetakan ketiga, Tahun 1425 H. Syaikh Muhammad bin
Shalih Al-‘Utsaimin. Penerbit Dar Ats-Tsuraya.
9. Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim. Cetakan pertama, tahun 1431 H. Imam Ibnu Katsir. Penerbit Dar
Ibnul Jauzi.
Sumber https://rumaysho.com/25032-hadits-arbain-39-tidak-sengaja-lupa-dipaksa-berarti-tidak-
terkena-dosa.html