Hadits Arbain #-WPS Office
Hadits Arbain #-WPS Office
Keterangan hadits
Tajaawaza: memaafkan
Faedah hadits
1. Luasnya rahmat Allah pada hamba-Nya.
2. Allah memaafkan hamba ketika keliru, lupa, atau dipaksa.
3. Pemaafan dan kemudahan adalah kekhususan umat ini.
4. Syariat datang untuk mengangkat kesulitan. Maka konsekuensinya, dosa
diangkat dari orang yang tidak berniat yaitu saat keliru, lupa, atau dipaksa.
Kaedah dari hadits
Segala yang haram yang dikerjakan hamba karena tidak tahu (jahil), lupa, atau
dipaksa, maka tidak dikenakan dosa.
Ketika Lupa
Lupa secara bahasa berarti meninggalkan. Seperti dalam ayat,
“Mereka telah lupa kepada Allah, maka Allah melupakan mereka.” (QS. At-
Taubah: 67). Maksud nisyan dalam ayat ini adalah meninggalkan.
Pengaruh Lupa
Ulama Slyafi’iyah dan ulama Hambali dalam pendapat sahih menurut mereka,
orang yang lupa berarti telah bebas dari mukallaf (pembebanan syariat) ketika ia
lupa. Karena mengerjakan suatu perintah harus dengan didasari ilmu.
Sepakat para ulama bahwa orang yang lupa tidak dikenakan dosa sama sekali.
Sebagaimana firman Allah,
Dalam hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ketika turun firman Allah Ta’ala,
ِإ ْن نَ ِسينَا َأوْ َأ ْخطَْأنَاCَؤاخ ْذنَا ْ َ لَهَا َما َك َسبCالَ يُ َكلِّفُ هَّللا ُ نَ ْفسًا ِإالَّ ُو ْس َعهَا
ْ َت َو َعلَ ْيهَا َما ا ْكتَ َسب
ِ ُت َربَّنَا الَ ت
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia
mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa
(dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): “Ya Rabb kami, janganlah
Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah.” (QS. Al-Baqarah: 286).
Lalu Allah menjawab, aku telah mengabulkannya.” (HR. Muslim, no. 125).
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma secara marfu’, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
َعلَ ْي ِهCض َع ع َْن ُأ َّمتِى ْال َخطََأ َوالنِّ ْسيَانَ َو َما ا ْستُ ْك ِرهُوا
َ ِإ َّن هَّللا َ َو
“Sesungguhnya Allah menghapuskan dari umatku dosa ketika mereka dalam
keadaan keliru, lupa dan dipaksa.” (HR. Ibnu Majah, no. 2045. Syaikh Al-Albani
mengatakan bahwa hadits ini sahih).
Jika itu berkaitan dengan melakukan larangan dalam keadaan lupa selama bukan
pengrusakan, maka tidak dikenakan apa-apa.
Jika itu berkaitan dengan melakukan larangan dalam keadaan lupa dan ada
pengrusakan, maka tetap ada dhaman (ganti rugi).
ء لِ َم ْن لَ ْم يَ ْذ ُك ِر ا ْس َم هَّللا ِ تَ َعالَى َعلَ ْي ِهCَ صالَةَ لِ َم ْن الَ ُوضُو َء لَهُ َوالَ ُوضُو
َ َال
“Tidak ada shalat bagi yang tidak ada wudhu. Tidak ada wudhu bagi yang tidak
membaca bismillah di dalamnya.” (HR. Abu Daud, no. 101 dan Ibnu Majah, no.
399. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan).
Kalau dilihat dari hadits-hadits yang ada yang semisal dengan hadits di atas, dapat
dikatakan bahwa haditsnya saling menguatkan satu dan lainnya. Ibnu Hajar Al-
Asqalani berkata, “Nampak bahwa dilihat dari berbagai macam jalur, hadits yang
membicarakan anjuran bismillah saat wudhu saling menguatkan, yang
menunjukkan adanya ajaran akan hal itu.” (Talkhish Al-Habir, 1:128).
Sebagian ulama mendhaifkan hadits di atas, namun dari berbagai jalur, hadits
menjadi kuat. Sedangkan penafian (peniadaan) yang disebutkan dalam hadits
adalah kesempurnaan. Jadi maksudnya adalah tidak sempurna wudhunya. Karena
ada hadits-hadits yang membicarakan tentang wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam seperti hadits ‘Abdullah bin Zaid, ‘Utsman bin ‘Affan, dan juga Ibnu ‘Abbas,
tidak menyebutkan bismilah di dalamnya. Sehingga penafian yang ada
dimaknakan, tidak sempurna. Jadi tetap ada anjuran membaca bismillah di awal
wudhu, namun tidak menunjukkan wajib.
Para ulama sepakat bahwa siapa saja yang lupa shalat fardhu, wajib ia
mengqadha’nya.
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
“Jika salah seorang di antara kalian tertidur dari shalat atau ia lupa dari shalat,
maka hendaklah ia shalat ketiak ia ingat. Karena Allah berfirman (yang artinya):
Kerjakanlah shalat ketika ingat.” (QS. Thaha: 14) (HR. Muslim, no. 684)
Cara mengqadha’nya jika yang lupa lebih dari satu shalat, bisa dengan petunjuk
dari Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di berikut ketika beliau mengatakan
dalam Manhajus Salikin,
َ َب َعلَ ْي ِه ق
ُم َرتِّبCضاُؤ هَا فَوْ ًرا َ َُو َم ْن فَاتَ ْته
َ صاَل ةٌ َو َج
اض َر ِة
ِ الح َّ فَِإ ْن نَ ِس َي َأوْ َج ِهلَهُ َأوْ خَ افَ فَوْ تَ ال
َ َصالَ ِة َسقَطَ التَّرْ تِيْبُ بَ ْينَهَا َوبَ ْين
“Siapa yang luput dari shalat, wajib baginya untuk mengqadha’nya segera secara
berurutan.
Jika ia lupa, tidak tahu, atau khawatir luput dari shalat hadhirah (yang saat ini
ada), maka gugurlah tartib (berurutan) antara shalat yang luput tadi dan shalat
yang hadhirah (yang saat ini ada).”
Sebagaimana dikatakan oleh Al-Qadhi Abu Syuja’ dalam Matan Al-Ghayah wa At-
Taqrib, ketentuan mengenai perkara yang tertinggal dalam shalat ada tiga yaitu:
fardhu, sunnah ab’adh, dan sunnah hai’at.
Jika termasuk fardhu (rukun shalat), apabila tertinggal dalam shalat, maka tidak
bisa digantikan dengan sujud sahwi. Akan tetapi jika seseorang teringat
sementara jarak waktu masih memungkinkan untuk mengerjakannya, dia harus
mengerjakan perkara tersebut dan di akhir melakukan sujud sahwi.
Jika termasuk sunnah ab’adh (seperti tasyahud awwal, duduk tasyahud awwal,
shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tasyahud awal, shalawat
kepada keluar Nabi pada tasyahud awal dan akhir, pen.), lalu tertinggal dalam
shalat, maka tidak perlu diulang apabila yang rukun (fardhu) sudah dikerjakan.
Akan tetapi di akhir, harus melakukan sujud sahwi.
Jika termasuk dalam sunnah hai’at, maka perkara yang tertinggal tersebut tidak
perlu diulang setelah tertinggal dan seseorang tidak perlu melakukan sujud sahwi.
Sujud sahwi dilakukan dengan dua kali sujud seperti sujud saat shalat. Yang ingin
melakukannya berniat untuk sujud sahwi. Sujud sahwi dilakukan di akhir shalat
sebelum salam. Jika seseorang yang shalat mengucapkan salam sebelum sujud
sahwi dengan sengaja atau lupa, dan jedanya sudah begitu lama, maka sujud
sahwi jadi gugur. Jika jaraknya masih dekat, maka sujud sahwi tetap dilakukan
dengan dua kali sujud dengan niatan sujud sahwi, lalu salam. Inilah penjelasan
dalam madzhab Syafi’i sebagaimana disebutkan dalam Al-Fiqh Al-Manhaji, hlm.
174.Dalam Mughni Al-Muhtaj–salah satu kitab fiqih Syafi’iyah–disebutkan, “Tata
cara sujud sahwi sama seperti sujud ketika shalat dalam perbuatann wajib dan
sunnahnya, seperti meletakkan dahi, thuma’ninah(bersikap tenang), menahan
sujud, menundukkan kepala, melakukan duduk iftirosy ketika duduk antara dua
sujud sahwi, duduk tawarruk ketika selesai dari melakukan sujud sahwi, dan dzikir
yang dibaca pada kedua sujud tersebut adalah seperti dzikir sujud dalam shalat.
ِ ِإ َذا َأ َك َل َأ َح ُد ُك ْم فَ ْليَ ْذ ُك ِر ا ْس َم هَّللا ِ تَ َعالَى فَِإ ْن نَ ِس َى َأ ْن يَ ْذ ُك َر ا ْس َم هَّللا ِ تَ َعالَى فِى َأ َّولِ ِه فَ ْليَقُلْ بِس ِْم هَّللا ِ َأ َّولَهُ َو
ُآخ َره
“Apabila salah seorang di antara kalian makan, maka hendaknya ia menyebut
nama Allah Ta’ala. Jika ia lupa untuk menyebut nama Allah Ta’ala di awal,
hendaklah ia mengucapkan: ‘BISMILLAAH AWWALAHU WA AAKHIROHU (dengan
nama Allah pada awal dan akhirnya).’” (HR. Abu Daud, no. 3767 dan Tirmidzi, no.
1858. Tirmidzi mengatakan hadits tersebut hasan sahih. Syaikh Al-Albani
mengatakan bahwa hadits tersebut sahih).
ِ بِس ِْم هَّللا فِي َأ َّوله َو: ْ فَِإ ْن نَ ِس َي فِي َأ َّوله فَ ْليَقُل، ِإ َذا َأ َك َل َأ َحد ُك ْم طَ َعا ًما فَ ْليَقُلْ بِس ِْم هَّللا
آخره
Dari Mu’awiyah bin Hakam As-Sulamiy radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku ketika
itu shalat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu ada seseorang yang
bersin dan ketika itu aku menjawab ‘yarhamukallah’ (semoga Allah
merahmatimu). Lantas orang-orang memalingkan pandangan kepadaku. Aku
berkata ketika itu,
ِ ْر َوقِ َرا َءةُ ْالقُرCُ اس ِإنَّ َما ه َُو التَّ ْسبِي ُح َوالتَّ ْكبِي
آن ِ َّصالَةَ الَ يَصْ لُ ُح فِيهَا َش ْى ٌء ِم ْن َكالَ ِم الن
َّ ِإ َّن هَ ِذ ِه ال
Menurut ulama Malikiyah dan Syafi’iyah bahwa siapa yang berbicara ketika shalat
dalam keadaan lupa, shalatnya tidaklah batal asalkan kata-kata yang keluar sedikit
dan nantinya ditutup kealpaan tersebut dengan sujud sahwi. Jika kata-kata yang
keluar banyak, shalatnya batal.
Barangsiapa yang lupa membersihkan diri dari najis lalu ia shalat dalam keadaan
lupa, maka shalatnya sah. Masalah najis berkaitan dengan larangan ketika shalat.
Ketika dilakukan diterjang dalam keadaan lupa, maka shalatnya tetap sah dan
tidak perlu diulangi. Hal ini menjadi pendapat Syafi’i yang qadim. Dalil dari hal ini
adalah hadits ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melepas sandal saat shalat.
Hadits lengkapnya sebagaimana berikut ini.
ار ِه فَلَ َّما َرَأى َذلِكَ ْالقَوْ ُم ِ ع َْن يَ َسCض َعهُ َما َ ُصلِّي بَِأصْ َحابِ ِه ِإ ْذ خَ لَ َع نَ ْعلَ ْي ِه فَ َو َ م يCَ َّصلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسل
َ ِ بَ ْينَ َما َرسُو ُل هَّللا
ك َ ال َما َح َملَ ُك ْم َعلَى ِإ ْلقَا ِء نِ َعالِ ُك ْم قَالُوا َرَأ ْينَا َ َصاَل تَهُ ق َ مCَ َّصلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسل
َ ِ ضى َرسُو ُل هَّللا َ ََأ ْلقَوْ ا نِ َعالَهُ ْم فَلَ َّما ق
يل َأتَانِي فََأ ْخبَ َرنِي َأ َّن فِي ِه َما قَ َذرًا َأوْ قَا َل َ صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ِإ َّن ِجب ِْر َ ِ ال َرسُو ُل هَّللا َ ََأ ْلقَيْتَ نَ ْعلَ ْيكَ فََأ ْلقَ ْينَا نِ َعالَنَا فَق
َ َأ ًذى َوقَا َل ِإ َذا َجا َء َأ َح ُد ُك ْم ِإلَى ْال َم ْس ِج ِد فَ ْليَ ْنظُرْ فَِإ ْن َرَأى فِي نَ ْعلَ ْي ِه قَ َذرًا َأوْ َأ ًذى فَ ْليَ ْم َسحْ هُ َو ْلي
ُص ِّل فِي ِه َما
“Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat bersama shahabatnya, tiba-
tiba dia melepaskan kedua sandalnya dan meletakkannya di sebelah kirinya.
Ketika para shahabat melihatnya, mereka pun melepas sandalnya. Ketika
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai shalat, beliau berkata, ‘Apa yang
membuat kalian melepas sandal kalian?’ Mereka berkata, ‘Kami lihat engkau
melepas sandalmu, maka kamipun melepas sandal kami.’ Lalu Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya Jibril mendatangiku dan
mengabarkan kepadaku bahwa pada kedua sandalku terdapat kotoran. Dan dia
berkata, ‘Jika kalian mendatangi masjid, hendaknya memperhatikan, jika pada
sandalnya terdapat najis atau kotoran hendaknya dia bersihkan, lalu shalat
dengan memakai keduanya.” (HR. Abu Daud, no. 650. Syaikh Al-Albani
mengatakan bahwa hadits ini sahih)
اوزَ ع َْن ُأ َّمتِى ْال َخطََأ َوالنِّ ْسيَانَ َو َما ا ْستُ ْك ِرهُوا َعلَ ْي ِه
َ ِإ َّن هَّللا َ ت ََج
“Sesungguhnya Allah memaafkan umatku ketika ia tidak sengaja, lupa atau
dipaksa.” (HR. Ibnu Majah, no. 2043. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa
hadits ini sahih karena memiliki penguat dari jalur lainnya)
Apakah kalau tidak sengaja dikenakan ganti rugi?
Pertama, jika terkait dengan hak sesama manusia. Ada dua hal yang perlu
diperhatikan:
Jika memang perbuatan tersebut tidak diizinkan, maka dikenakan dhaman (ganti
rugi). Contoh orang yang tidak sengaja membunuh orang lain walaupun tidak
dikenakan qishash (nyawa dibalas nyawa), namun tetap dikenakan dhaman (ganti
rugi) yaitu dikenakan diyyat.
Kedua, jika terkait dengan hak Allah, maka tidak ada hukuman had. Namun
apakah ada dhaman (ganti rugi)? Hal ini perlu dirinci.
Jika tidak ada itlaf (pengrusakan) seperti seseorang yang tidak sengaja menutup
kepalanya saat ihram atau memakai baju saat ihram (padahal tidak boleh
mengenakan pakaian yang membentuk lekuk tubuh seperti baju, pen.), maka
tidak ada kafarah
Jika ada itlaf (pengrusakan) seperti memotong kuku saat ihram atau memotong
rambut saat ihram atau berburu hewan saat ihram, maka ada beda pendapat jika
dilakukan tidak sengaja untuk kasus kedua ini. Pendapat yang lebih kuat adalah
tetap dikenakan kafarah.
Bentuk fidyah dari setiap pelanggaran ini adalah memilih salah satu dari tiga hal:
Ketika Dipaksa
Bagaimana jika ada yang dipaksa dengan ancaman dibunuh untuk mengucapkan
kufur, lantas ia mengucapkannya? Atau bagaimana jika ia dipaksa untuk murtad?
kalimat
َضبٌ ِّمنَ ص ْدرًا فَ َعلَ ْي ِه ْم َغ ْ َمن َكفَ َر بِاهَّلل ِ ِمن بَ ْع ِد إي َمانِ ِه ِإالَّ َم ْن ُأ ْك ِرهَ َوقَ ْلبُهُ ُم
َ ط َمِئ ٌّن بِاِإل ي َما ِن َولَ ِكن َّمن َش َر َح بِ ْال ُك ْف ِر
َظي ٌم ِ هَّللا ِ َولَهُ ْم َع َذابٌ ع
“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat
kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang
dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya
untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang
besar.” (QS. An-Nahl: 106)
Rasul balik bertanya, “Bagaimana hatimu saat itu?” Ia menjawab, “Hatiku tetap
dalam keadaan tenang dengan iman.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali
mengatakan, “Kalau mereka memaksa (menyiksa) lagi, silakan engkau
mengulanginya lagi seperti tadi.” (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, 2: 389; Al-
Baihaqi dalam Sunan Al-Kubra, 8: 208. Sanad hadits ini dha’if. Namun ada banyak
jalur periwayatan kisah ini. Intinya kisah ini masih memiliki asal. Ibnu Hajar dalam
Fath Al-Bari, 12: 312 menyatakan bahwa hadits ini termasuk hadits mursal yang
saling menguatkan satu dan lainnya)
Ibnu Hazm juga menyatakan ada klaim ijmak dalam hal ini. Beliau berkata dalam
Maratib Al-Ijma’, hlm. 61,
ان َأنَّهُ اَل يَ ْلزَ ْمهُ َش ْي ٌء ِمنَ ْال ُك ْف ِر ِع ْن َد هللاِ تَ َعالَى ْ اتَّفَقُوْ ا َعلَى َأ َّن ْال ُم ْك َرهَ َعلَى ْال ُك ْف ِر َوقَ ْلبُهُ ُم
ِ ط َمِئ ٌّن بِا ِال ْي َم
“Para ulama sepakat bahwa orang yang dipaksa berbuat kufur sedangkan hatinya
dalam keadaan tenang di atas iman, ia tidak dihukumi kufur di sisi Allah Ta’ala.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Al-Istiqamah (2: 210) berkata,
“Oleh karena itu, kami tidak ada silang pendapat mengenai hukum bagi orang
yang dipaksa tanpa jalan yang benar bahwa tidak dikenakan hukum padanya.”
“Para fuqaha sepakat bahwa siapa yang dipaksa untuk melakukan suatu
kekufuran lantas ia mengucapkan kalimat kufur, maka tidak divonis sebagai orang
kafir.”
Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullah dalam kitab tafsirnya (14: 223)
mengatakan, Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menyatakan bahwa siapa saja
yang kufur setelah sebelumnya ia beriman, maka baginya murka Allah dan
baginya siksa yang pedih. Namun siapa yang dipaksa untuk mengucapkan kalimat
kufur, namun hatinya tetap masih dalam keadaan iman, ia mengucapkannya
hanya ingin menyelamatkan diri dari musuhnya, maka seperti itu tidaklah
mengapa. Karena Allah Ta’ala menghukumi hamba hanya karena kekufuran yang
ia ridhai dalam hatinya.
Dalam Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah (22: 182) disebutkan bahwa pemaksaan itu ada
dua macam.
Para ulama menyatakan bahwa yang disebut pemaksaan yang boleh melakukan
perbuatan kekufuran atau mengucapkan kata kufur adalah pemaksaan pertama,
yaitu pemaksaan sempurna (ikrahan tamman). Namun syarat disebut ikrahan
tamman adalah:
Ancaman yang diberikan benar-benar berdampak bahaya pada jiwa atau anggota
badan.
Yang dipaksa benar-benar tidak mampu untuk menolak ancaman pada dirinya,
baik dengan melarikan diri atau meminta pertolongan pada yang lain.
Yang dipaksa punya sangkaan kuat bahwa ancaman tersebut benar-benar bisa
diwujudkan oleh yang memaksa.
Memilih mati
Bolehkah bagi yang diancam memilih untuk bersabar dan terus terkena bahaya
dan terus disakiti, andai juga ia terbunuh ketika itu?
Iya, boleh memilih seperti itu. Bilal bin Rabbah radhiyallahu ‘anhu dan lainnya
pernah memilih seperti itu.
Ibnu Katsir rahimahullah menyatakan, seseorang boleh memilih untuk mati ketika
diancam untuk mengatakan kalimat kufur. Seperti yang dipilih oleh Bilal. Ia
enggan mengucapkan kalimat kufur. Sampai-sampai orang kafir meletakkan batu
yang besar di dadanya dalam keadaan panas. Mereka terus memaksa Bilal untuk
berbuat syirik pada Allah, namun Bilal enggan menuruti keinginan mereka. Bilal
tetap mengatakan, “Ahad, Ahad (artinya: Esa, Esa).” Bilal mengatakan, “Demi
Allah, seandainya aku tahu suatu kalimat yang akan membuat kalian lebih marah
dari kalimat itu, tentu aku akan mengucapkannya.” Semoga Allah meridhai Bilal.”
(Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 4: 715)