Anda di halaman 1dari 25

DEMAM TIFOID

Intan Eskawati Ahmad, Mustaring

A. Pendahuluan

Demam tifoid merupakan infeksi sistemik yang disebabkan oleh

Salmonella enterica serovar typhi (S typhi). Salmonella enterica serovar

paratyphi A, B, dan C juga dapat menyebabkan infeksi yang disebut demam

paratifoid. Demam tifoid dan paratifoid termasuk ke dalam demam enterik.

Pada daerah endemik, sekitar 90% dari demam enterik adalah demam tifoid.

Demam tifoid juga masih menjadi topik yang sering diperbincangkan.1

Demam tifoid merupakan masalah kesehatan yang penting di berbagai

Negara berkembang, karena penyebarannya berkaitan erat dengan urbanisasi,

kepadatan penduduk, kesehatan lingkungan, sumber air dan sanitasi yang

buruk serta standar hygiene industri pengolahan makanan yang masih rendah.2

Demam tifoid merupakan penyakit infeksi sistemik akut yang

mengenai sistem retikuloendotelial, kelenjar limfe saluran cerna, dan kandung

empedu. Disebabkan terutama oleh Salmonella enterica serovar typhi (S.

typhi) dan menular melalui jalur feko-oral. Demam tifoid endemis di negara

berkembang khususnya Asia Tenggara. Sebuah penelitian berbasis populasi

yang melibatkan 13 negara di berbagai benua, melaporkan bahwa selama

tahun 2000 terdapat 21.650.974 kasus demam tifoid dengan angka kematian

10%. Insidens demam tifoid pada anak tertinggi ditemukan pada kelompok

1
usia 5-15 tahun. Indonesia merupakan salah satu negara dengan insidens

demam tifoid, pada kelompok umur 5-15 tahun dilaporkan 180,3 per 100,000

penduduk.3

Sejak awal abad ke 20, insidens demam tifoid menurun di USA dan

Eropa dengan ketersediaan air bersih dan sistem pembuangan yang baik yang

sampai saat ini belum dimiliki oleh sebagian besar negara berkembang.

Manusia adalah satu-satunya penjamu yang alamiah dan merupakan reservoir

untuk Salmonella typhi. Bakteri tersebut dapat bertahan hidup selama berhari-

hari di air tanah, air kolam, atau air laut dan selama berbulan-bulan dalam

telur yang sudah terkontaminasi atau tiram yang dibekukan. Pada daerah

endemik, infeksi paling banyak terjadi pada musim kemarau atau permulaan

musim hujan. Dosis yang infeksius adalah 103-106 organisme yang tertelan

secara oral. Infeksi dapat ditularkan melalui makanan atau air yang

terkontaminasi oleh feses.1

B. Definisi

Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan

bakteri Salmonella typhi dengan gejala demam lebih dari satu minggu,

gangguan pada saluran pencernaan dan gangguan kesadaran.4

2
C. Epidemiologi

Demam tifoid masih merupakan beban untuk negara berkembang.

Angka kejadian pasti tidak diketahui karena surveilans di negara berkembang

belum memadai dan di negara maju telah menjalankan imunisasi tifoid. Data

tahun 2010, estimasi global jumlah kasus demam tifoid sebesar 13,9-26,9

juta,3 dengan estimasi kasus di negara berkembang sebesar 20.6 juta kasus,

dan 223.000 kematian.5 Berdasarkan investigasi dari CDC diperkirakan 21,6

juta kasus demam thypoid dengan insiden bervariasi dari 100-1000 per

100.000 populasi. Data World Health Organization (WHO) tahun 2003

memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia

dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap tahun.

Prevalensi demam tifoid di Indonesia adalah 350-810/100.000

penduduk dengan jumlah kematian lebih dari 20.000/tahun. Penyakit ini tidak

terbatas pada umur tertentu, namun cukup tinggi pada anak umur di atas 5

tahun.6

Departemen Kesehatan 2013, angka penderita demam tifoid di

Indonesia mencapai 81% per 100.000. Di Indonesia kasus ini tersebar secara

merata di seluruh propinsi dengan insidensi di daerah pedesaan 358/100.000

penduduk/tahun dan di daerah perkotaan 760/100.000 penduduk/tahun atau

sekitar 600.000 dan 1.5 juta kasus per tahun. Umur penderita yang terkena di

Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91% kasus, dengan Case Fatality
2,5
Rate (CFR) sebesar 1.25%. Kota Surabaya merupakan ibukota Provinsi

3
Jawa Timur dengan jumlah kasus demam tifoid yang tinggi dibandingkan

dengan kota/ kabupaten yang lain, hal ini disebabkan karena kepadatan

penduduk dan sanitasi lingkungan yang kurang baik sehingga penularan

Salmonella typhii menjadi lebih mudah.7

D. Etiologi

Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri

Salmonella typhi yang merupakan bakteri Gram-negatif, berflagela, tidak

berkapsul, dan tidak membentuk spora fakultatif anaerob, yang termasuk

family Enterobacteriacae.8 Lebih dari 2500 jenis Salmonella serotipe telah

ditemukan, serotipe terbanyak yang menyebabkan penyakit pada manusia

adalah Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi A, B dan C. Pada tahun

2009, di USA laporan terbanyak pada manusia yang terisolasi dengan

Salmonella serotipe Enteriditis, Typhimurium, Newport, Javiana dan

Heidelberg, kelima serotipe ini adalah penyebab paling banyak dari infeksi di

USA.8 Salmonella typhi mempunyai beberapa komponen antigen, yaitu :

antigen dinding sel (O) yang merupakan lipopolisakarida dan bersifat spesifik

group, antigen flagella (H) yang merupakan komponen protein dalam flagella

dan bersifat spesifik spesies, antigen virulen (Vi) merupakan polisakarida dan

berada di kapsul yang melindungi seluruh permukaan sel. Antigen Vi

berhubungan dengan daya invasif bakteri dan efektivitas vaksin. Salmonella

Typhi menghasilkan endotoksin yang merupakan bagian terluar dari dinidng

4
sel, terdiri dari antigen O yang sudah dilepaskan, lipopolisakarida dan lipid A.

Ketiga antigen di atas di dalam tubuh akan membentuk antibodi aglutinin.

Antigen ke empat adalah Outer Membrane Protein (OMP). Antigen OMP

merupakan bagian dari dinding sel terluar yang terletak di luar membran

sitoplasma dan lapisan peptidoglikan yang membatasi sel dengan lingkungan

sekitarnya. Salmonella typhi hanya dapat hidup pada tubuh manusia.2

Gambar 1. Struktur antigenik Salmonellae.

E. Patogenesis

Demam tifoid disebabkan oleh kuman Salmonella typhi atau

Salmonella para typhi. Penularan ke manusia melalui makanan dan atau

minuman yang tercemar dengan feses manusia. Setelah melewati lambung

kuman mencapai usus halus (ileum), berkembang biak di lamina propria

kemudian masuk ke dalam kelenjar getah bening mesenterium.9 Melalui

5
saluran limfe mesenterik kuman masuk aliran darah sistemik (bakterimia I)

yang asimptomatis lalu bakteri akan masuk ke organ-organ terutama hati dan

sum-sum tulang.9,10 Fase ini dianggap masa inkubasi (7-14 hari). Kemudian

dari jaringan ini terjadi pelepasan bakteri dan endotoksin ke peredaran darah

sehingga menyebabkan bakteremia II. Bakteri yang berada di hati akan masuk

kembali ke dalam usus merangsang pelepasan sitokin proinflamasi yang

menginduksi reaksi inflamasi. Respon inflamasi akut menyebabkan diare dan

dapat menyebabkan ulserasi serta penghancuran mukosa. Sebagian bakteri

lainnya akan dikeluarkan bersama feses.9

Kuman Salmonella menghasilkan endotoksin yang merupakan

kompleks lipopolisakarida dan dianggap berperan penting pada patogenesis

demam tifoid. Endotoksin bersifat pirogenik serta memperbesar reaksi

peradangan dimana kuman Salmonella berkembang biak. Di samping itu

merupakan stimulator yang kuat untuk memproduksi sitokin oleh sel-sel

makrofag dan sel lekosit di jaringan yang meradang. Sitokin ini merupakan

mediator-mediator untuk timbulnya demam dan gejala toksemia

(proinflamatory). Oleh karena basil salmonella bersifat intraseluler maka

hampir semua bagian tubuh dapat terserang dan kadang-kadang pada jaringan

yang terinvasi dapat timbul fokal-fokal infeksi.10

Kelainan patologis yang utama terdapat di usus halus terutama di

ileum bagian distal dimana terdapat kelenjar plak peyer. Pada minggu

pertama, pada plak peyer terjadi hiperpelasia berlanjut menjadi nekrosis

6
pada minggu ke 2 dan ulserasi pada minggu ke 3, akhirnya terbentuk ulkus.

Ulkus ini mudah menimbulkan perdarahan dan perforasi yang merupakan

komplikasi yang berbahaya. Hati membesar karena infiltrasi sel-sel limfosit

dan sel mononuklear lainnya serta nekrosis fokal. Demikian juga proses ini

terjadi pada jaringan retikuloendotelial lain seperti limpa dan kelenjar

mesentrika. Kelainan-kelainan patologis yang sama juga dapat ditemukan

pada organ tubuh lain seperti tulang, usus, paru, ginjal, jantung dan

selaput otak. Pada pemeriksaan klinis, sering ditemukan proses radang dan

abses-abses pada banyak organ, sehingga dapat ditemukan bronkhitis, arthritis

septik, pielonefritis, meningitis, dll. Kandung empedu merupakan tempat yang

disenangi basil Salmonella. Bila penyembuhan tidak sempurna, basil tetap

tahan di kandung empedu ini, mengalir ke dalam usus, sehingga menjadi

karier intestinal.10

F. Gambaran Klinis

Manifestasi klinis tifoid sangat bervariasi, dari gejala yang ringan

sekali (sehingga tidak terdiagnosis), dan dengan gejala yang khas (sindrom

demam tifoid) sampai dengan gejala klinis yang berat yang disertai

komplikasi. Gambaran klinis juga bervariasi berdasarkan daerah atau negara,

serta menurut waktu. Gambaran klinis di negara berkembang dapat berbeda

dengan negara maju dan gambaran klinis tahun 2000 dapat berbeda dengan

tahun enam puluhan pada daerah yang sama. Gambaran klinis pada anak

7
cenderung tak khas dan biasanya lebih ringan dibandingkan dewasa. 2 Makin

kecil anak, gambaran klinis makin tak khas. Kebanyakan perjalanan penyakit

berlangsung dalam waktu pendek dan jarang menetap lebih dari 2 minggu.6,10

Kumpulan gejala-gejala klinis tifoid disebut dengan sindrom demam

tifoid. Beberapa gejala klinis yang sering pada tifoid diantaranya adalah :

a. Demam

Demam atau panas adalah gejala utama Tifoid. Pada awal sakit,

demamnya kebanyakan samar-samar, selanjutnya suhu tubuh sering turun

naik. Pagi lebih rendah atau normal, sore dan malam lebih tinggi (demam

intermitten). Dari hari ke hari intensitas demam makin tinggi yang disertai

banyak gejala lain seperti sakit kepala (pusing-pusing) yang sering

dirasakan di daerah frontal, nyeri otot, pegal-pegal, insomnia, anoreksia,

mual dan muntah. Pada minggu ke 2 intensitas demam makin tinggi,

kadang-kadang terus menerus (demam kontinyu). Bila pasien membaik

maka pada minggu ke 3 suhu badan berangsur turun dan dapat normal

kembali pada akhir minggu ke 3. Masa inkubasi demam tifoid umumnya

7-14 hari, dengan rentang 3-60 hari.10,11

b. Gangguan saluran pencernaan

Sering diteukan bau mulut yang tidak sedap karena demam yang lama.

Bibir kering dan kadang-kadang pecah. Lidah kelihatan kotor dan ditutupi

selaput putih. Ujung dan tepi lidah kemerahan dan tremor (coated tongue

atau selaput putih), dan pada penderita anak jarang ditemukan.10 Gejala

8
klinis terbanyak adalah anoreksia diikuti mual, muntah, dan nyeri perut.

Crump dkk dalam Rumpengan 2013 menyatakan anoreksia ditemukan

85%, mual maupun nyeri perut 50%, dan batuk 35% pasien. 12 Pada anak,

diare sering dijumpai pada awal gejala yang baru, kemudian dilanjutkan

dengan konstipasi.1

c. Gangguan Kesadaran

Umumnya terdapat gangguan kesadaran yang kebanyakan berupa

penurunan kesadaran ringan. Sering didapatkan kesadaran apatis dengan

kesadaran seperti berkabut (tifoid). Bila klinis berat, tak jarang penderita

sampai somnolen dan koma atau dengan gejala-gejala psychosis (0rganic

Brain Syndrome). Pada penderita dengan toksik, gejala delirium lebih

menonjol.10

d. Hepatosplenomegali

Hati dan atau limpa, ditemukan sering membesar. Hati terasa kenyal

dan nyeri tekan. Insiden hepatomegali 7% pasien, splenomegali 13%. Di

Pakistan, pada anak-anak 5 tahun penyakit lebih berat dapat ditemukan.

20-40% terdapat hepatomegali, 5-20% terdapat splenomegali.11

e. Bradikardia relatif dan gejala lain

Bradkardi relatif sering ditemukan, mungkin karena teknis

pemeriksaan yang sulit dilakukan. Bradikardi relatif adalah peningkatan

suhu tubuh yang tidak diikuti oleh peningkatan frekuensi nadi. Patokan

yang sering dipakai adalah bahwa setiap peningkatan suhu 1°C tidak

9
diikuti peningkatan frekuensi nadi 8 denyut dalam 1 menit. 9 Pada sekitar

25% dari kasus, ruam makular atau makulopapular (rose spots) mulai

terlihat pada hari ke 7-10, terutama pada orang berkulit putih, dan terlihat

pada bagian dada bagian bawah dan abdomen pada hari ke 10-15 serta

menetap selama 2-3 hari.1

G. Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis berupa demam,

gangguan gastrointestinal, dan mungkin disertai perubahan atau gangguan

kesadaran. Tes diagnostik untuk deteksi antigen Salmonella dengan

Immunoassay, agglutinasi latex, dan monoklonal antibodi.

Beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan meliputi :

a. Kultur

Sampai saat ini baku emas diagnosis demam tifoid adalah pemeriksaan

kultur. Pemilihan spesimen untuk kultur sebagai penunjang diagnosis pada

demam minggu pertama dan awal minggu kedua adalah darah, karena

masih terjadi bakteremia. Hasil kultur darah positif sekitar 40%-60%.

Sedangkan pada minggu kedua dan ketiga spesimen sebaiknya diambil

dari kultur tinja (sensitivitas <50%) dan urin (sensitivitas 20-30%).

Sampel biakan sumsum tulang lebih sensitif, sensitivitas pada minggu

pertama 90% namun invasif dan sulit dilakukan dalam praktek.5 Jika

demam enterik telah diketahui maka dapat di diagnostik dengan kultur

10
darah, sum-sum tulang atau empedu, karena pada pemeriksaan kultur tinja

kadang tidak ditemukan bakteri. Sesitivitas kultur darah dan sum-sum

tulang pada anak dengan demam enterik yaitu masing-masing 60% dan

90%. Kombinasi kultur darah dan empedu yaitu 90% dapat mendeteksi

infeksi yang disebabkan oleh serotipe Salmonella Typhi pada anak dengan

klinis demam eterik.8

b. Pemeriksaan widal

Pemeriksaan Widal mengukur kadar antibodi terhadap antigen O dan

H dari S. typhi. Prinsip uji Widal adalah serum pasien dengan pengenceran

berbeda-beda ditambah antigen dalam jumlah sama. Jika dalam serum

terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang

masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum.

Pada umumnya antibodi O meningkat di hari ke-6-8 dan antibodi H hari

ke 10-12 sejak awal penyakit. Uji serologi Widal sebenarnya tidak spesifik

oleh karena beberapa hal, yakni (1) semua Salmonela dalam grup D

(kelompok Salmonella typhi) memiliki antigen O yang sama yakni nomor

9 dan 12, namun perlu diingat bahwa antigen O nomor 12 dimiliki pula

oleh Salmonela grup A dan B (yang lebih dikenal sebagai paratyphi A dan

paratyphi B), (2) semua Salmonela grup D memiliki antigen H d fase 1

seperti S. typhi, dan (3) titer antibodi H masih tinggi untuk jangka waktu

lama setelah infeksi atau imunisasi.5

11
Pemeriksaan Widal memiliki sensitivitas 40%, spesifisitas 91,4%, dan

nilai prediksi positif 80%. Hasil pemeriksaan Widal positif palsu dapat

terjadi oleh karena reaksi silang dengan non-typhoidal Salmonella,

enterobacteriaceae, pemeriksaan dilakukan di daerah endemis infeksi

dengue dan malaria, riwayat imunisasi tifoid, dan preparat antigen

komersial yang bervariasi serta standardisasi yang kurang baik.

Pemeriksaan Widal seharusnya dilakukan 1-2 minggu kemudian sehingga

kenaikan 4 kali, terutama agglutinin O memiliki nilai diagnostik yang

penting untuk demam tifoid. Pemeriksaan Widal pada serum akut satu kali

saja tidak mempunyai arti penting. Pemeriksaan serologi untuk aglutinin

Salmonella seperti pemeriksaan Widal bahkan tidak dianjurkan.5

c. Pemeriksaan PCR

Pemeriksaan whole blood culture PCR terhadap S. Typhi hanya

membutuhkan waktu kurang dari 8 jam, dan memiliki sensitivitas yang

tinggi sehingga lebih unggul dibanding pemeriksaan biakan darah biasa

yang membutuhkan waktu 5–7 hari. In-flagelin PCR terhadap S. Typhi

memiliki sensitivitas 93,58% dan spesifisitas 87,9%. Pemeriksaan nested-

polymerase chain reaction (Nested-PCR) menggunakan primer H1-d

dapat digunakan untuk mengamplifikasi gen spesifik S. typhi dari darah

pasien dan merupakan pemeriksaan diagnostik cepat yang menjanjikan.

Pemeriksaan nested PCR terhadap gen flagelin (fliC) dari S. typhi dapat

dideteksi dari spesimen urin 21/22 (95.5%), dikuti dari spesimen darah

12
20/22 (90%), dan tinja 15/22 (68,1%).5 Prosedur yang dilakukan terdiri

dari tiga tahapan yaitu denaturasi, anealing dan DNA polymerase

extension yang kemudian hasilnya akan divisualisasikan dan hasil positif

bila didapatkan amplikon berupa pita/band sebesar 100-200 bp.6

d. Pemeriksaan hematologi

Pemeriksaan hematologi untuk demam tifoid tidak spesifik. Leukopeni

sering dijumpai namun bisa terjadi leukositosis pada keadaan adanya

penyulit misalnya perforasi. Trombositopenia dapat terjadi, namun bersifat

reversibel. Anemia pada demam tifoid dapat disebabkan depresi sumsum

tulang dan perdarahan intra intestinal. Pada hitung jenis dapat ditemukan

aneosinofilia dan limfositosis relatif. Pada demam tifoid dapat terjadi

hepatitis tifosa ditandai peningkatan fungsi hati tanpa adanya penyebab

hepatitis yang lain. 5,13

e. Pemeriksaan serologi terhadap spesimen darah

Pemeriksaan serologis test cepat antibodi S. Typhi saat ini merupakan

diagnostik bantu yang paling banyak dilaporkan dan dikembangkan,

mengingat sebagian besar penderita demam tifoid adalah penduduk negara

berkembang dengan sarana laboratoriumnya terbatas.

Tubex TF merupakan uji aglutinasi kompetitif semikuantitatif untuk

mendeteksi adanya antibodi IgM terhadap antigen lipopolisakarida (LPS)

O-9 S.typhi dan tidak mendeteksi IgG. IgM akan muncul 48 jam setelah

terpapar antigen namun beberapa kepustakaan lain menyatakan bahwa

13
IgM akan muncul pada hari ke 3-4 demam. Antigen LPS O-9 sangat

spesifik terhadap salmonella serogrup D karena mengandung gula yang

sangat jarang yaitu epitop α-D-tyvelose sehingga reaksi silang dengan

kuman salmonella nontyphi atau non-salmonella typhi sangat kecil terjadi.

Antigen LPS O-9 adalah tipe thymus-independent, sangat imunogenik dan

responsif terutama pada anak. Kriteria penilaian Tubex TF® yaitu negatif

dengan nilai 0-2, borderline 3 (belum dapat disimpulkan), nilai 4 positif

lemah, nilai 6-10 positif kuat. Sementara nilai intermediate 1,3,5,7 dan 9

memang tidak terdapat pada skala warna tetapi bisa diekstrapolasi.6

Telah banyak penelitian yang membuktikan bahwa pemeriksaan ini

memiliki sensitivitas spesifisitas hampir 100% pada pasien demam tifoid

dengan biakan darah positif S. Typhi. Pemeriksaan antibodi IgM terhadap

antigen O9 lipopolisakarida S. Typhi (Tubex)R dan IgM terhadap S.

Typhi (Typhidot)R memiliki sensitivitas dan spesifisitas berkisar 70% dan

80%. Rapid Diagnostic Test (RDT) Tubex dan Typhidot tidak

direkomendasi sebagai uji diagnosis cepat tunggal, pemeriksaan kultur

darah dan teknik molekuler tetap merupakan baku emas. Penelitian di

Bangladesh (2008) menunjukan bahwa Tubex memiliki sensitivitas 60%,

spesifisitas 58%, positive predictive value 90% dan negative predictive

value 58%; sedangkan Typhidot memiliki sensitivitas 67%, spesifisitas

54%, positive predictive value 85% dan negative predictive value 81%.5

14
Tabel 1. Perbandingan berapa pemeriksaan penunjang untuk demam tifoid.

H. Manajemen Terapi

Tatalaksana demam tifoid pada anak dibagi atas dua bagian , yaitu

tatalaksana umum dan bersifat suportif dan tatalaksana khusus berupa

15
pemberian antibiotik sebagai pengobatan kausal. Tatalaksana demam tifoid

juga bukan hanya tatalaksana yang ditujukan kepada penderita penyakit

tersebut, namun juga ditujukan kepada penderita karier salmonella typhi,

pencegahan pada anak berupa pemberian imunisasi tifoid dan profilaksis bagi

traveller dari daerah non endemik ke daerah yang endemik demam tifoid

a. Tatalaksana umum

Tatalaksana suportif merupakan hal yang sangat penting dalam

menangani demam tifoid selain tatalaksana utama berupa pemberian

antibiotik. Pemberian rehidrasi oral ataupun parenteral, penggunaan

antipiretik, pemberian nutrisi yang adekuat serta transfusi darah bila ada

indikasi, merupakan tatalaksana yang ikut memperbaiki kualitas hidup

seorang anak penderita demam tifoid.13

Pada tifoid berat disarankan rawat inap di rumah sakit, termasuk di

dalamnya tatalaksana antibiotika. Pengobatan penderita demam tifoid di

rumah sakit bersifat suportif meliputi tirah baring, diet, medikamentosa

dan terapi penyulit (sesuai penyulit yang terjadi). Pasien tirah baring

minimal 5 hari bebas demam hingga kurang lebih selama 14 hari.

Mobilisasi dilakukan bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien.

Diet dilakukan dengan makanan awal bubur saring, kemudian bubur kasar

dan akhirnya nasi (meningkat sesuai kesembuhan pasien). Namun

beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemberian makanan tingkat dini

yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa (pantang sayuran dengan

16
serat kasar) dapat diberikan dengan aman. Rehidrasi oral atau parenteral

serta transfusi darah bila ada indikasi juga perlu diperhatikan

Medikamentosa meliputi antipiretik dan lain-lain sesuai tanda, gejala,

serta keluhan pasien.1

b. Terapi antibiotik

Penentuan antibiotik lini pertama dalam pengobatan demam tifoid

didasarkan pada faktor efikasi, ketersediaan dan biaya.13

1. Antibiotik lini pertama adalah kloramfenikol, ampisilin/amoksisilin

dan kotrimoksasol atas pertimbangan murah dan mudah di dapat

terutama untuk daerah pelosok yang jangkauan fasilitas kesehatan

optimalnya masih sulit.

a) Kloramfenikol merupakan drug of choice lini pertama yang

diberikan pada demam tifoid pada anak dan sampai sekarang

masih digunakan, terutama di negara-negara berkembang,

termasuk di Indonesia. Dosis kloramfenikol 50-100 mg/kgbb/hari,

oral atau IV, dibagi dalam 4 dosis selama 10-14 hari. Beberapa

keunggulan kloramfenikol diantaranya adalah efikasi yang baik

(demam turun rata-rata hari ke 4-5 setelah pengobatan dimulai),

mudah didapat, harganya murah, dan dapat diberikan secara oral.

Namun demikian, dalam lima tahun terakhir telah dilaporkan kasus

demam tifoid berat pada anak bahkan fatal yang disebabkan oleh

17
adanya resistensi obat ganda terhadap Salmonella typhii (multiple

drug resistance/MDR).12 Kloramfenikol mempunyai kekurangan,

yaitu menyebabkan efek samping berupa anemia aplastik akibat

supresi sumsum tulang belakang, menyebabkan agranulositosis,

menginduksi terjadinya leukemia dan menyebabkan Gray baby

syndrome. Kelemahan lain obat ini adalah tingginya angka relaps

(5-7%) bila diberikan sebagai terapi demam tifoid dan tidak bisa

digunakan untuk mengobati karier S. typhi.13

b) Amoksisilin dan ampsilin dapat digunakan sebagai obat alternatif

pada penderita demam tifoid dengan leukopenia (leukosit <2000

ul), hipersensitivitas terhadap kloramfenikol, atau yang resisten

terhadap kloramfenikol (walaupun menurut literatur,

kemampuannya masih dibawah kloramfenikol). Dosis amoksisilin

100 mg/kgbb/hari, terbagi dalam 3-4 kali, oral atau intravena,

selama 10-14 hari. Dosis ampisilin 200 mg/kgbb/hari, terbagi

dalam 3-4 kali, oral atau intravena, selama 10-14 hari. Pemberian

amoksisilin oral selama 14 hari sama efektifnya dengan pemberian

ampisilin intravena untuk mengobati demam tifoid yang resisten

terhadap kloramfenikol. Bebas demam akan tercapai setelah 5 hari

pengobatan.13

c) Kotrimoksazol/ Trimetoprim-Sulfametoksazol (TMP-SMX) sama

efektifnya dengan kloramfenikol dalam mengobati tifoid.

18
Amoksisilin, ampisilin, dan kotrimoksazol dapat digunakan

sebagai alternatif pada kasus demam tifoid yang resisten terhadap

kloramfenikol. Dosis kotrimoksazol 6 mg/kgbb/hari, oral, selama

10-14 hari.13

Tabel 2. Antibiotik yang diberikan pada demam tifoid tanpa komplikasi

2. Antibiotik lini kedua adalah sefalosporin generasi III.

Sefalosporin generasi III seperti seftriakson atau sefiksim diberikan

diindikasikan pada kasus-kasus yang resisten terhadap antibiotik lini

pertama. Bahkan untuk beberapa kasus yang resisten terhadap

19
fluorokuinolon, seftriakson dan sefiksim dianggap masih sensitif dan

membawa hasil yang baik bila digunakan sebagai terapi alternatif.13

a) Sefiksim mempunyai efikasi dan toleransi yang baik terhadap

demam tifoid dengan angka kesembuhan klinis lebih dari 90%

dengan waktu penurunan demam 5-7 hari, durasi pemberiannya

lama (14 hari) dan angka kekambuhan serta fecal carrier terjadi

pada kurang dari 4%. Sefiksim dapat digunakan sebagai alternatif

bagi sefalosporin generasi III lainnya yaitu seftriakson karena

pemberiannya melalui oral. Dosis sefiksim 10 mg/kgbb/hari, oral,

dibagi dalam 2 dosis, selama 10-14 hari.

b) Seftriakson merupakan antibiotik beta-lactamase dengan spektrum

luas, memiliki waktu paruh yang panjang sehingga dapat diberikan

1-2 kali sehari. Efek samping yang mungkin timbul adalah reaksi

alergi, peningkatan fungsi hati, trombositosis dan leukopenia.

Dilapokan bahwa pasien demam tifoid menunjukkan respon klinis

yang baik dengan pemberian seftriakson satu kali sehari. Rata-rata

demam akan turun dalam waktu empat hari, semua hasil biakan

menjadi negatif hari keempat, dan tidak ditemukan kekambuhan.

Pada kasus berat dan memerlukan rawat inap (pasien dengan

muntah yang menetap, diare berat, distensi abdomen, atau

kesadaran menurun) diberikan seftriakson dengan dosis 80

20
mg/kgbb/hari, intravena atau intramuskular, sekali sehari, selama 5

hari.

3. Antibiotik lini ketiga adalah meropenem, azithromisin dan

fluorokuinolon yang dipakai pada kasus demam tifoid multi drug

resistance (MDR).13

a) Beberapa penelitian terakhir menunjukkan bahwa fluorokuinolon

(siprofloksasin, ofloksasin, levofloksasin dan gatifloksin)

merupakan obat pilihan yang optimal untuk demam tifoid,

khususnya pada dewasa dan anak di beberapa negara.

Fluoroquinolone memiliki penetrasi ke jaringan yang sangat baik,

dapat membunuh S. typhi intraseluler di dalam monosit/makrofag,

serta mencapai kadar yang tinggi dalam kandung empedu

dibandingkan antibiotik lain.1 Namun penggunaannya masih

kontroversial karena pada anak dibawah 14 tahun dapat merusak

pertumbuhan tulang rawan anak serta akhir-akhir ini telah banyak

ditemukan kasus demam tifoid yang resisten terhadap kuinolon.

b) Azithromisin biasa digunakan pada demam tifoid MDR sebagai

alternatif bagi resistensi terhadap fluorokuinolon atau sefalosporin

generasi ketiga. Dosis azithromisin 20 mg/kgbb/hari, oral, selama

7 hari.

c) Pada kasus berat dan dengan kesadaran menurun, diberikan

deksametason 1-3 mg/kgbb/hari, intravena, dibagi 3 dosis hingga

21
kesadaran membaik. Tatalaksana bedah dilakukan pada kasus-

kasus dengan penyulit perforasi usus. Jika pengobatan antibiotik

gagal mengatasi siklus hepatobilier, kandung empedu harus

direseksi. Walaupun kolesistektomi tidak selalu berhasil

memberantas karier karena infeksi liver masih mungkin menetap.

Tabel 3. Antibiotik yang diberikan pada demam tifoid berat atau dengan
komplikasi.

I. Komplikasi

Perforasi usus halus dilaporkan dapat terjadi pada 0,5-3%, sedangkan

perdarahan usus pada demam tifoid anak terjadi 1-10%, dan ensefalopati

tifoid (10-40%). Komplikasi biasanya terjadi pada minggu ke-3 sakit, walau

22
pernah dilaporkan terjadi pada minggu pertama. Pada perforasi usus ditandai

oleh nyeri abdomen lokal pada kuadran kanan yang kemudian diikuti muntah,

nyeri pada abdomen, defans muscular.13

J. Prognosis

Prognosis yang buruk dapat saja terjadi bila terjadi keterlambatan

diagnosis, perawatan dan pengobatan. Munculnya komplikasi seperti perforasi

gastrointestinal atau perdarahan hebat, meningitis, endocarditis dan

pneumonia mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi.13

K. Pencegahan

Strategi pencegahan yang dipakai adalah untuk selalu menyediakan

makanan dan minuman yang tidak terkontaminasi, higienitas dari setiap orang

terutama yang menyangkut kebersihan tangan dan lingkungan, sanitasi yang

baik, dan tersedianya airbersih sehari-hari. Strategi pencegahan ini menjadi

penting seiring dengan munculnya kasus resistensi. Selain strategi di atas

seiring perkembangan jaman, di buat vaksinasi untuk mencegah penyakit

ini.Vaksin ini di peruntukkan bagi para pendatang dari negara maju ke negara

endemik demam tifoid. Vaksin-vaksin yang sudah ada di antaranya.1

a. Vaksin Vi Polysaccharide

Vaksin ini diberikan pada anak dengan usia diatas 2 tahun dengan

diinjeksikan secara subkutan atau intra muskuler. Vaksin ini efektif

selama 3 tahun dan direkomendasikan untuk revaksinasi setiap 3 tahun.

23
Vaksin ini memberikan efikasi perlindungan sebesar 70-80%. Contoh di

Indonesia : TYPHIM Vi® (Sanofi Pasteur, SA), Typherix® (Glaxo Smith

Kline), Vivaxim®  campuran Hepatitis A inaktif dan tifoid.1

b. Vaksin Ty21a

Vaksin oral ini tersedia dalam sediaan salut enterik dan cair yang

diberikan pada anak usia 6 tahun ke atas. Vaksin diberikan dalam 3 dosis

dan masing-masing diselang 2 hari. Antibiotik dihindari 7 hari sebelum

dan sesudah vaksinasi. Vaksin ini efektif selama 3 tahun dan memberi

efikasi perlindungan 67-82%. Contoh di Indonesia : Vivotif® (Berna

Biotech, Ltd)

c. Vaksin Vi-conjugate

Vaksin ini diberikan pada anak usia 2-5 tahun di Vietnam dan

memberikan efikasi perlindungan 91,1% selama 27 bulan setelah

vaksinasi. Efikasi vaksin ini menetap selama 46 bulan dengan efikasi

perlindungan sebesar 89%.

24
25

Anda mungkin juga menyukai